Anda di halaman 1dari 36

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2018


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ODS KATARAK SENILIS MATUR

DISUSUN OLEH :
Nabilah Salsabila Pabundu
C11113021

SUPERVISOR PEMBIMBING :
Dr. dr. Halimah Pagarra, Sp.M(K)

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Ira Aldita Noviyanti

DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan bahwa laporan kasus dan
referat dengan judul ODS Katarak Senilis Matur, yang disusun oleh:
Nama : Nabilah Salsabila Pabundu
NIM : C111 13 021
Asal Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Telah diperiksa dan dikoreksi, untuk selanjutnya dibawakan sebagai tugas pada
bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada
waktu yang telah ditentukan.

Makassar, November 2018

Supervisor Pembimbing Pembimbing

Dr. dr. Halimah Pagarra, Sp.M(K) dr. Ira Aldita Noviyanti

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa ataupun akibat keduanya.
Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat bervariasi dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, tetapi biasanya berkaitan dengan proses degenatif. Katarak merupakan
penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di dunia. Di antara beberapa
jenis katarak, katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan.
Katarak senilis merupakan semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut,
yaitu usia di atas 50 tahun. Kekeruhan lensa pada katarak dapat mengenai kedua mata
dan berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang
lama. Kekeruhan lensa ini mengakibatkan lensa tidak transparan sehingga pupil akan
berwarna putih atau abu-abu. Pasien dengan katarak mengeluh penglihatan seperti
berasap dan tajam penglihatan yang menurun secara progresif (Ilyas, 2013).
Suatu studi juga yang dilakukan oleh Walmer Eye Institute pada tahun 2004
mencatat sekitar 20,5 juta penduduk usia lebih dari 40 tahun di Amerika menderita
katarak pada kedua matanya dan sekitar 6,1 juta diantaranya merupakan pseudofaki
atau afaki. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 30,1 juta kasus katarak
dan 9,1 juta kasus dengan pseudofakia atau afaki pada tahun 2020. Sementara itu,
sepertiga dari seluruh kasus kebutaan akibat katarak terjadi di daerah Asia Tenggara
dan diperkirakan setiap menitnya 12 orang mengalami kebutaan di dunia dan 4 orang
diantaranya berasal dari Asia Tengara (Victor, 2012).

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. BA
Umur : 69 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Toraja
Pekerjaan : Pensiun
No. Register Pasien : 108954
Tgl. Pemeriksaan : 19 November 2018
Rumah Sakit : Poliklinik RS Pendidikan Unhas

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Penglihatan kabur pada kedua mata
Anamnesis terpimpin :
Dialami sejak kurang lebih ± 2 tahun sebelum masuk Rumah Sakit. Penurunan
penglihatan ini terjadi secara perlahan-lahan. Dirasakan memberat sekitar 1
bulan terakhir. Awalnya gangguan penglihatan berupa penglihatan berkabut dan
terasa silau jika melihat cahaya terang, kemudian semakin lama penglihatan
semakin kabur sehingga pasien hanya bisa melihat dengan jarak yang sangat
dekat dan penglihatan membaik pada siang hari atau dengan cahaya terang,
gatal (-), mata merah (-), air mata berlebih (-), kotoran mata berlebih (-), rasa
mengganjal (-), rasa berpasir (+). Riwayat berobat sebelumnya (+) di toraja dan
4
mendapat terapi Braliflex dan Na Diclofenak. Riwayat penggunaan kacamata
baca ada namun tidak diketahui ukurannya dan lama kelamaan penglihatan
menjadi kabur. Riwayat DM disangkal. Riwayat HT diketahui pada tahun 2012
namun pasien tidak rutin minum obat. Riwayat keluarga dengan keluhan yang
sama tidak ada. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat penyakit mata lain
sebelumnya tidak ada.

Tanda Vital:
Keadaan umum : Baik/ Gizi Cukup/ Sadar
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 86x/ menit
Pernapasan : 20x/ menit

III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI


A. INSPEKSI

Gambar 1. Orbita Dextra et Sinistra

5
Gambar 2. Orbita Dextra Gambar 3. Orbita Sinistra

No Pemeriksaan OD OS

1. Palpebra Edema (-) Edema (-)


2. App. Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
3. Silia Sekret (-) Sekret (-)
4. Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
5. Bola mata Normal Normal
6. Mekanisme Ke segala arah Ke segala arah
muskular

7. Kornea Jernih, arcus senilis (+) Jernih, arcus senilis (+)


8. Bilik mata depan Normal Normal
9. Iris Cokelat, kripte (+) Cokleat, kripte (+)
10 Pupil Bulat, sentral, RC (+) Bulat,sentral,RC (+)
11. Lensa Keruh Keruh

6
B. PALPASI

No Pemeriksaan OD OS

1. Tensi Okuler Tn Tn
2. Nyeri Tekan (-) (-)
3. Massa Tumor (-) (-)
4. Glandula periaurikuler Pembesaran (-) Pembesaran (-)

C. Tonometri :
TOD : 18 mmHg
TOS : 20 mmHg

D. Visus : VOD = 1/60, tidak dapat dikoreksi


VOS = 1/60, tidak dapat dikoreksi

E. Campus visual : Tidak dilakukan pemeriksaan

F. Color Sense : Tidak dilakukan pemeriksaan

G. Light Sense : RCL +/+, RCTL +/+

7
H. Penyinaran Oblik

Pemeriksaan OD OS

Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)


Kornea Jernih, arcus senilis (+) Jernih, arcus senilis (+)
Bilik mata depan Normal Normal
Iris Cokelat, kripte (+) Cokelat, kripte (+)
Pupil Bulat, sentral, RC (+) Bulat,sentral,RC (+)
Lensa Keruh Keruh
Keruh

I. Keratometri

8
J. Funduskopi :
FOD: Refleks fundus (-), terhalang kekeruhan lensa
FOS: Refleks fundus (-), terhalang kekeruhan lensa

K. Slit Lamp
 SLOD: Konjungtiva hiperemis (-), kornea keruh (-), BMD, iris, dan pupil
dalam batas normal, iris shadow (-), lensa keruh penuh.
 SLOS: Konjungtiva hiperemis (-), kornea keruh (-), BMD, iris, dan pupil
dalam batas normal, iris shadow (-), lensa keruh penuh.

Gambar 4. Pemeriksaan Slit Lamp

L. Flouresence : Tidak dilakukan pemeriksaan

M. Laboratorium : Belum dilakukan pemeriksaan

IV. Resume
Seorang laki-laki, 69 tahun datang ke poliklinik mata RSUH dengan kelihan
penurunan penglihatan kedua mata kabur yang dialami sejak kurang lebih ± 2

9
tahun dan dirasakan memberat sekitar 1 bulan terakhir. Penurunan penglihatan
ini terjadi secara perlahan-lahan. Awalnya gangguan penglihatan berupa
penglihatan berkabut dan terasa silau jika melihat cahaya terang, kemudian
semakin lama penglihatan semakin kabur sehingga pasien hanya bisa melihat
dengan jarak yang sangat dekat dan penglihatan membaik pada siang hari atau
dengan cahaya terang, gatal (-), mata merah (-), air mata berlebih (-), kotoran
mata berlebih (-), rasa mengganjal (-), rasa berpasir (+), riwayat berobat
sebelumnya (+) di toraja dan mendapat terapi Braliflex dan Na Diclofenak.
Riwayat penggunaan kacamata baca ada namun tidak diketahui ukurannya dan
lama kelamaan penglihatan menjadi kabur.
Riwayat DM disangkal. Riwayat HT diketahui pada tahun 2012 namun pasien
tidak rutin minum obat.
Pada pemeriksaan inspeksi ditemukan lensa kesan keruh pada oculi dextra dan
sinistra
Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD = 1/60, VOS= 1/60
Pada pemeriksaan oftalmoskopi ditemukan FOD = Refleks fundus (-), FOS =
Refleks fundus (-)
Pada pemeriksaan slit lamp didapatkan SLOD = Lensa keruh total, iris shadow (-
). SLOS = Lensa keruh total, iris shadow (-).

V. Diagnosis
ODS Katarak Senilis Matur

VI. Penatalaksanaan
- Ekstraksi Katarak
- Pemasangan lensa IOL

10
VII. Rencana Pemeriksaan
- Laboratorium
- Biometri
- USG

VIII. PROGNOSIS
Qua ad vitam : Bonam
Qua ad functionam : Dubia ad Bonam
Qua ad sanationam : Dubia ad Bonam

IX. DISKUSI
Diagnosis katarak pada penderita berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, yaitu didapatkan keluhan utama berupa penglihatan yang kabur perlahan.
Gangguan penglihatan awalnya berupa penglihatan berkabut disertai riwayat
penglihatan silau jika melihat cahaya hingga saat ini pasien hanya dapat melihat
bayangan saja. Sehingga dari gejala diagnosis mengarah ke katarak. Penglihatan
kabur pada pasien ini disebabkan karena adanya kekeruhan lensa yang menyebabkan
terganggunya media refraksi.
Adapun faktor risiko terjadinya katarak meliputi usia diatas 40 tahun. (Ilyas,
2013). Berdasarkan penelitian Framingham Eye, ditemukan kasus katarak senilis
pada usia 45-64 tahun sebanyak 492,2 kasus per 100.000 dan 40,8 kasus per 100.000
pada usia 85 tahun dan lebih. (Ocampo, 2009). Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk mengidentifikasi faktor risiko terjadinya katarak senilis. Berbagai penyebab
yang mempengaruhi terjadinya katarak senilis seperti kondisi lingkungan (paparan
sinar UV), penyakit sistemik, trauma, toksik akibat penggunaan steroid, herediter dan
usia (Kemenkes RI, 2014). Pada pasien ini terdapat hipertensi sejak 6 tahun terakhir

11
namun pasien tidak berobat dengan rutin, sehingga dapat menjadi faktor risiko
terjadinya katarak.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan lensa pada kedua mata mengalami
kekeruhan total (white cataract) sehingga menyebabkan perburukan visus, refleks
pupil masih positif dan iris shadow negatif yang menunjukkan katarak stadium matur.
Pada pemeriksaan didapatkan VOS 1/60, pasien masih bisa melihat pada jarak yang
sangat dekat. Pasien juga mengaku penglihatan terlihat lebih baik pada siang hari atau
pada kondisi pencahayaan yang terang. Hal ini disebabkan karena kekeruhan pada
lensa yang total. Kemudian pada pemeriksaan iluminasi oblik didapatkan iris shadow
negatif serta pada funduskopi red refleks negatif yang menandakan katarak stadium
matur (Khurana, 2007).
Pasien didiagnosa dengan katarak senilis matur oculus dekstra dan sinistra dan
memiliki indikasi operasi karena katarak sudah mengalami maturasi dan terdapat
penurunan visus yang mengganggu kegiatan sehari-hari. Pasien dianjurkan untuk
melakukan operasi ECCE dan pemasangan IOL posterior chamber. Untuk itu, perlu
inform consent pada pasien dengan memberitahukan bahwa keluhan penglihatan
kabur disebabkan karena kekeruhan pada lensa dan membutuhkan tindakan operasi
untuk mengangkat lensa yang keruh dan diganti dengan lensa mata buatan untuk
memperbaiki ketajaman penglihatan serta mencegah komplikasi katarak, serta
menjelaskan mengenai komplikasi yang dapat timbul selama operasi dan pasca
operasi. Prognosis pada pasien ini baik karena katarak merupakan suatu kekeruhan
pada lensa yang dapat diperbaiki. Tidak ada perawatan medis yang terbukti berguna
untuk mencegah atau mengembalikan katarak. Sehingga penatalaksanaan definitif
untuk katarak adalah dengan tindakan operatif (PPK, 2014).

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Lensa


1.1. Anatomi lensa
Lensa merupakan struktur yang berasal dari lapisan ektoderm, transparan
berbentuk cakram bikonveks yang dapat menebal dan menipis pada saat terjadi
akomodasi. Lensa tidak memiliki suplai darah (avaskular) atau inervasi setelah
perkembangan janin dan hal ini bergantung pada aqueus humor untuk memenuhi
kebutuhan metaboliknya serta membuang sisa metabolismenya. Lensa terletak
posterior dari iris dan anterior dari korpus vitreous. Posisinya dipertahankan oleh
Zonula Zinn yang terdiri dari serat-serat yang kuat yang menyokong dan
melekatkannya pada korpus siliar (Khurana, 2007).

Gambar 5. Potongan bola mata

Pada lensa dewasa berukuran 9 mm ekuator dan 5 mm anteroposterior serta


memiliki berat sekitar 255 mg. Ketebalan relatif dari korteks meningkat seiring usia.

13
Pada saat yang sama, kelengkungan lensa juga ikut bertambah, sehingga semakin tua
usia lensa memiliki kekuatan refraksi yang semakin bertambah. Namun, indeks
refraksi semakin menurun juga seiring usia, hal ini mungkin dikarenakan adanya
partikel-partikel protein yang tidak larut. Maka, lensa yang menua dapat menjadi
lebih hipermetropik atau miopi tergantung pada keseimbangan faktor-faktor yang
berperan.(Vaughan, 2010)

Gambar 6. Struktur Lensa


Struktur lensa terdiri dari:
 Kapsula
Kapsula lensa memiliki sifat yang elastis, membran basalisnya yang
transparan terbentuk dari kolagen tipe IV yang ditaruh di bawah oleh sel-sel epitelial.
Kapsula terdiri dari substansi lensa yang dapat mengkerut selama perubahan
akomodatif. Lapis terluar dari kapsula lensa adalah lamela zonularis yang berperan
dalam melekatnya serat-serat zonula. Bagian anterior dan posterior preekuatorial
adalah bagian yang paling tebal dan daerah kutub posterior sentral adalah bagian
yang paling tipis di mana memiliki ketipisan sekitar 2-4 mm. Kapsul lensa anterior
lebih tebal dari kapsul posterior dan terus meningkat ketebalannya selama kehidupan.

14
Pinggir lateral lensa disebut ekuator, yaitu bagian yang dibentuk oleh gabungan
kapsul anterior dan posterior yang merupakan insersi dari zonula. (Khurana, 2007)
 Epitel Lensa
Epitel lensa terletak tepat di belakang kapsula anterior lensa dan terdiri dari
sel-sel epithelial yang mengandung banyak organel sehingga Sel-sel ini secara
metabolik ia aktif dan dapat melakukan semua aktivitas sel normal termasuk
biosintesis DNA, RNA, protein dan lipid . sehingga dapat menghasilkan ATP untuk
memenuhi kebutuhan energi dari lensa. Sel epitel akan menggalami perubahan
morfologis ketika sel-sel epitelial memanjang membentuk sel serat lensa. yang sering
disertai dengan peningkatan masa protein dan pada waktu yang sama, sel-sel
kehilangan organel-organelnya, termasuk inti sel, mitokondria, dan ribosom.
Hilangnya organel-organel ini sangat menguntungkan, karena cahaya dapat melalui
lensa tanpa tersebar atau terserap oleh organel-organel ini. Tetapi dengan hilangnya
organel maka fungsi metabolikpun akan hilang sehingga serat lensa bergantung pada
energi yang dihasilkan oleh proses glikolisis (Vaughan, 2010).

15
Gambar 7. Sel epitel lensa
 Korteks dan Nukleus
Tidak ada sel yang hilang dari lensa sebagaimana serat-serat baru diletakkan,
sel-sel ini akan memadat dan merapat kepada serat yang baru saja dibentuk dengan
lapisan tertua menjadi bagian yang paling tengah. Bagian tertua dari ini adalah
nukleus fetal dan embrional yang dihasilkan selama kehidupan embrional dan
terdapat pada bagian tengah lensa. Bagian terluar dari serat adalah yang pertama kali
terbentuk dan membentuk korteks dari lensa. (Khurana, 2007)
 Serat Zonula
Lensa disokong oleh serat-serat zonular yang berasal dari lamina basalis dari
epitelium non-pigmentosa pars plana dan pars plikata korpus siliar. Serat-serat zonula
ini memasuki kapsula lensa pada regio ekuatorial secara kontinu. Seiring usia, serat-
serat zonula ekuatorial ini beregresi, meninggalkan lapis anterior dan posterior yang

16
tampak sebagai bentuk segitiga pada potongan melintang dari cincin zonula.
(Khurana, 2007)

1.2. Fisiologi Lensa


Lensa merupakan media refraksi dan memiliki indeks refraksi, yang
normalnya sekitar 1,4 pada bagian tengah dan 1,36 pada bagian perifer yang berbeda
dari aqueous humor dan vitreous yang mengelilinginya. Pada keadaan tidak
berakomodasi, lensa memberikan kontribusi 15-20 dioptri (D) dari sekitar 60 D
seluruh kekuatan refraksi bola mata manusia. Sisanya, sekitar 40 D kekuatan
refraksinya diberikan oleh udara dan kornea.
Selain itu, lensa memiliki fungsi akomodasi sehingga mata mampu untuk
melihat jauh dan dekat. Hal ini dipengaruhi oleh kelenturan lensa, kontraksi otot –
otot siliaris dan ketegangan zonula zinn.
Aspek fisiologi terpenting dari lensa adalah mekanisme yang mengatur
keseimbangan air dan elektrolit lensa yang sangat penting untuk menjaga kejernihan
lensa. Karena kejernihan lensa sangat tergantung pada komponen struktural dan
makromolekular, gangguan dari hidrasi lensa dapat menyebabkan kekeruhan lensa.
Telah ditentukan bahwa gangguan keseimbangan air dan elektrolit sering terjadi pada
katarak kortikal, dimana kadar air meningkat secara bermakna.
Lensa manusia normal mengandung sekitar 66% air dan 33% protein dan
perubahan ini terjadi sedikit demi sedikit dengan bertambahnya usia. Korteks lensa
menjadi lebih terhidrasi daripada nukleus lensa. Sekitar 5% volume lensa adalah air
yang ditemukan diantara serat-serat lensa di ruang ekstraselular. Konsentrasi natrium
dalam lensa dipertahankan pada 20mM dan konsentrasi kalium sekitar 120 mM.
Transparansi lensa dipertahankan oleh keseimbangan air dan kation ( Na,
K).kedua kation ini berasal dari humor aqueus dan vitreus. Kadar kalium dibagian
anterior lebih tinggi dibandingkan posterior sedangkan Kadar natrium lebih tinggi di
17
posterior. Ion K bergerak kebagian posterior dan keluar ke humour aqueus , dan ion
Na bergerak ke anteior untuk menggantikan ion K dan keluar melalui pompa aktif
Na- K ATPase. Transport aktif asam-asam amino mengambil tempat pada epitel lensa
dengan mekanisme tergantung pada gradien natrium yang dibawa oleh pompa
natrium.
Lensa bersifat dehidrasi dan memiliki kadar ion kalium (K+) dan asam amino
yang lebih tinggi dari aqueous dan vitreus di sekelilingnya. Sebaliknya, lensa
mengandung kadar ion natrium (Na+), ion klorida (Cl-) dan air yang lebih sedikit dari
lingkungan sekitarnya. Keseimbangan kation antara di dalam dan di luar lensa adalah
hasil dari kemampuan permeabilitas membran sel-sel lensa dan aktifitas dari pompa
(Na+, K+-ATPase) yang terdapat pada membran sel dari epitelium lensa dan setiap
serat lensa. Fungsi pompa natrium bekerja dengan cara memompa ion natrium keluar
dari dan menarik ion kalium ke dalam. Mekanisme ini tergantung dari pemecahan
ATP dan diatur oleh enzim Na+, K+-ATPase. Keseimbangan ini mudah sekali
terganggu oleh inhibitor spesifik ATPase ouabain. Inhibisi dari Na+, K+-ATPase
akan menyebabkan hilangnya keseimbangan kation dan meningkatnya kadar air
dalam lensa. Pada perkembangan katarak kortikal beberapa studi telah menunjukkan
bahwa terjadi penurunan aktifitas Na+, K+-ATPase, sedangkan yang lainnya tidak
menunjukkan perubahan apa pun. Dan studi-studi lain telah memperkirakan bahwa
permeabilitas membran meningkat seiring dengan perkembangan katarak.
Pada lensa, energi yang diperoleh bergantung pada metabolisme glukosa.
Glukosa memasuki lensa dari aqueous baik melalui difusi sederhana dan melalui
difusi terfasilitasi. Kebanyakan glukosa ditranportasi ke dalam lensa dalam bentuk
terfosforilasi (Glukosa 6 fosfat) oleh enzim heksokinase. Ketika terbentuk, G6P
memasuki satu dari dua jalur metabolisme, yaitu glikolisis anaerob (95%) dan HMP-
shunt (5%). Jalur HMP-shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak
dan ribose, juga untuk aktivitas glutation reduktase dan aldose reduktase. Aldose
18
reduktase adalah enzim yang merubah glukosa menjadi sorbitol, dan sorbitol dirubah
menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehidrogenase.
Kadar tekanan oksigen dalam lensa sangat rendah. Tetapi walaupun tanpa
oksigen, lensa mampu mengahasilkan energi paling banyak melalui jalur glikolisis
dari pada jalur HMP shunt. Hal ini membuktikan bahwa lensa tidak tergantung pada
oksigen tetapi dipengaruhi oleh kadar glukosa Bagaimana pun, ketika glukosa
menurun atau kekurangan, lensa tidak dapat mempertahankan fungsi-fungsi ini dan
menjadi keruh pada beberapa jam sekalipun terdapat oksigen.

Gambar 8. Transpor aktif lensa

2. Definisi
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-
duanya (Ilyas, 2013). Lima puluh satu persen (51%) kebutaan diakibatkan oleh
katarak(WHO,2012). Katarak senilis merupakan jenis katarak yang paling sering

19
ditemukan. Katarak senilis adalah setiap kekeruhan pada lensa yang terjadi pada usia
lanjut, yaitu di atas usia 50 tahun.

3. Etiologi
Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat
juga akibat kelainan kongenital, atau penyulit penyakit mata lokal menahun.
Bermacam-macam penyakit mata dapat mengakibatkan katarak seperti glaucoma,
ablasi, uveitis, dan retinitis pigmentosa. Katarak dapat berhubungan dengan proses
penyakit intraocular lainnya.
Katarak dapat disebabkan oleh bahan toksik khusus (kimia dan fisik).
Keracunan beberapa jenis obat dapat menimbulkan katarak, seperti ; eserin (0,25%-
0,5%), kortikosteroid, ergot, dan asetilkolinesterase topical.
Kelainan sistemik atau metabolik yang dapat menimbulkan katarak adalah
diabetes militus, galaktosemia, dan distrofi miotonik. Katarak dapat ditemukan
dalam keadaan tanpa adanya kelainan mata atau sistemik (katarak senile, juvenile,
dan herediter) atau kelainan congenital mata.
Katarak dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti : fisik, kimia, penyakit
predisposisi, genetik dan gangguan perkembangan, infeksi virus dimasa
pertumbuhan janin, dan usia. (Khurana, 2007)

4. Faktor Risiko
Katarak adalah penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik internal maupun eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain adalah
umur dan jenis kelamin sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah
pekerjaan dan pendidikan yang berdampak langsung pada status sosial ekonomi dan
status kesehatan seseorang, serta faktor lingkungan, yang dalam hubungannya dalam
paparan sinat Ultraviolet yang berasal dari sinar matahari (Khurana,2007).
20
 Usia
Proses normal ketuaan mengakibatkan lensa menjadi keras dan keruh.
Dengan meningkatnya umur, maka ukuran lensa akan bertambah dengan
timbulnya serat-serat lensa yang baru. Seiring bertambahnya usia, lensa
berkurang kebeningannya, keadaan ini akan berkembang dengan
bertambahnya berat katarak. .Prevalensi katarak meningkat tiga sampai empat
kali pada pasien berusia >65 tahun (Pollreisz dan Schmidt, 2010).
 Jenis Kelamin
Usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan oleh laki-laki, ini
diindikasikan sebagai faktor resiko katarak dimana perempuan penderita
katarak lebih banyak dibandingkan laki-laki (WHO, 2012)
 Riwayat Penyakit
Diabetes Melitus (DM) dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks
refraksi, dan kemampuan akomodasi. Meningkatnya kadar gula darah, juga
akan meningkatkan kadar gula di aqueous humor. Glukosa dari aqueous akan
masuk ke lensa melalui difusi dimana sebagian dari glukosa ini diubah
menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase melalui jalur poliol, yang tidak
dimetabolisme dan tetap tinggal di lensa. Telah terbukti bahwa akumulasi
intraselular sorbitol menyebabkan perubahan osmotic sehingga air masuk ke
lensa, yang akan mengakibatkan pembengkakkan serabut lensa. Penelitian
pada hewan telah menunjukkan bahwa akumulasi poliol intraseluler
menyebabkan kolaps dan likuifaksi(pencairan) serabut lensa, yang akhirnya
terjadi pembentukan kekeruhan pada lensa (Pollreisz dan Schmidt, 2010).

21
5. Patogenesis
Terdapat 2 teori yang menyebabkan terjadinya katarak yaitu teori hidrasi dan
sklerosis.
1) Teori hidrasi terjadi kegagalan mekanisme pompa aktif pada epitel lensa
yang berada di subkapsular anterior, sehingga air tidak dapat dikeluarkan
dari lensa. Air yang banyak ini akan menimbulkan bertambahnya tekanan
osmotik yang menyebabkan kekeruhan lensa.
2) Teori sklerosis lebih banyak terjadi pada lensa manula dimana serabut
kolagen terus bertambah sehingga terjadi pemadatan serabut kolagen di
tengah. Makin lama serabut tersebut semakin bertambah banyak sehingga
terjadilah sklerosis nukleus lensa.
Pada usia lanjut terjadi perubahan dari struktur-struktur lensa yaitu korteks
menebal dan kurang elastis (1/4 dibanding anak) sehingga mulai terjadi presbiopi,
kemudian bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur dan terlihat bahan granular;
Sel-sel epitel-makin tipis, sel epitel germinatif pada ekuator bertambah besar dan
berat; serat lensa menjadi irregular, terdapat Brown Sclerotic Nucleu, akibat sinar
UV yang lama kelamaan merubah protein nukelus lensa.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparasi,
akibat perubahan pada serabut halus multipel yang memanjang dari badan siliar ke
sekitar daerah di luar lensa, misalnya menyebabkan penglihatan mengalami
distorsi. Pada protein lensa menyebabkan koagulasi, sehingga mengakibatkan
pandangan dengan penghambatan jalannya cahaya ke retina.

6. Tipe Katarak Senilis


6.1. Katarak Nuklear
Dalam tingkatan tertentu sklerosis dan penguningan nuklear dianggap
normal setelah usia pertengahan. Pada umumnya, kondisi ini hanya sedikit
22
mengganggu fungsi penglihatan. Jumlah sklerosis dan penguningan yang
berlebihan disebut katarak nuklear, yang menyebabkan opasitas sentral. Tingkat
sklerosis, penguningan dan opasifikasi dinilai dengan menggunakan biomikroskop
slit-lamp dan pemeriksaan reflex merah dengan pupil dilatasi.
Katarak nuklear cenderung berkembang dengan lambat. Sebagian besar
katarak nuklear adalah bilateral, tetapi bisa asimetrik. Cirri khas dari katarak
nuklear adalah membaiknya penglihatan dekat tanpa kacamata, keadaan inilah
yang disebut sebagai “penglihatan kedua”. Ini merupakan akibat meningkatnya
kekuatan focus lensa bagian sentral, menyebabkan refraksi bergeser ke myopia
(penglihatan dekat). Kadang-kadang, perubahan mendadak indeks refraksi antara
nukleus sklerotik dan korteks lensa dapat menyebabkan monocular diplopia .
Penguningan lensa yang progresif menyebabkan diskriminasi warna yang buruk.
Pada kasus yang sudah lanjut, nukleusnlensa menjadi opak dan coklat dan disebut
katarak nuklear brunescent.
Secara histopatologi, karakteristik katarak nuklearis adalah homogenitas
nukleus lensa dengan hilangnya lapisan tipis seluler.

6.2. Katarak Kortikal


Katarak kortikal adalah kekeruhan pada korteks lensa. Ini adalah jenis
katarak yang paling sering terjadi. Lapisan korteks lensa tidak sepadat pada bagian
nukleus sehingga lebih mudah terjadi overhidrasi akibat ketidakseimbangan
elektrolit yang mengganggu serabut korteks lensa sehingga terbentuk osifikasi
kortikal, yang ditunjukkan pada diabetes dan galaktosemia (Fong, 2008).
Perubahan hidrasi serat lensa menyebabkan terbentuknya celah-celah dalam pola
radial disekeliling daerah ekuator. Katarak ini cenderung bilateral, tetapi sering
asimetrik. Derajat gangguan fungsi penglihatan bervariasi, tergantung seberapa
dekat kekeruhan lensa dengan sumbu penglihatan (Harper et al,2010). Gejala yang

23
sering ditemukan adalah penderita merasa silau pada saat mencoba memfokuskan
pandangan pada suatu sumber cahaya di malam hari (Rosenfeld et al, 2007).
Pemeriksaan menggunakan biomikroskop slitlamp akan mendapatkan
gambaran vakuola, degenerasi hiropik serabut lensa, serta pemisahan lamella
kortek anterior atau posterior oleh air. Kekeruhan putih seperti baji terlihat di
perifer lensa dengan ujungnya mengarah ke sentral, kekeruhan ini tampak gelap
apabila dilihat menggunakan retroiluminasi. Secara histopatologi, karakteristik
dari katarak kortikal adalah adanya pembengkakan hidrofik serabut lensa. Globula
Morgagni (globules-globulus material eosinofilik) dapat diamati di dalam celah
antara serabut lensa (Rosenfeld et al, 2007).

6.3. Katarak Subkapsularis Posterior


Katarak subkapsularis posterior terdapat pada korteks di dekat kapsul
posterior bagian sentral (Harper et al,2010). Katarak ini biasanya didapatkan pada
penderita dengan usia yang lebih muda dibanding kedua jenis katarak yang lain.
Gejalanya antara lain adalah fotofobia dan penglihatan yang buruk saat mata
berakomodasi atau diberikan miotikum. Ini dikarenakan ketika pupil konstriksi
saat berakomodasi, cahaya yang masuk ke mata menjadi terfokus ke sentral,
dimana terdapat katarak subkapsularis posterior, menyebabkan cahay menyebar
dan mengganggu kemampuan mata untuk memfokuskan pada makula (Rosenfeld
et al, 2007).
Deteksi katarak subkapsularis posterior paling baik menggunakan
biomikroskop slitlamp pada mata yang telah ditetesi midriatikum. Pasda awal
pembentukan katarakakan ditemukan gambaran kecerahan mengkilap seperti
pelangi yang halus pada lapisan korteks posterior. Sedangkan pada tahap akhir
terbentuk kekeruhan granular dan kekeruhan seperti plak di kortek subkapsular

24
posterior (Rosenfeld et al, 2007). Kekeruhan lensa di sini dapat timbul akibat
trauma, penggunaan kortikosteroid (topical atau sistemik), peradangan atau
pajanan radiasi pengion (Harper et al, 2010).

7. Stadium Katarak Senilis


7.1. Katarak Insipien
Pada stadium ini akan terlihat hal-hal berikut :
1) Katarak kortikal : kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji
menuju korteks anterior dan posterior. Vakuol mulai terlihat di dalam
korteks.
2) Katarak subkapsular posterior : kekeruhan mulai terlihat anterior
subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan korteks berisi
jaringan degenerative (benda Morgagni)
Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi
yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap
untuk waktu yang lama (Ilyas, 2013).

7.2. Katarak Imatur


Katarak imatur, sebagian lensa keruh atau katarak. Katarak yang belum
mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan dapat bertambah
volume lensa akibat meningktnya tekanan osmotic bahan lensa yang
degenerative. Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan
hambatan pupil, sehingga terjadi glaukoma sekunder.

7.3. Katarak Matur


Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh massa lensa.
Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila
25
katarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan
keluar, sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi
kekeruhan seluruh lensa yang bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi lensa.
Bilik mata depan akan berukuran kedalaman normal kembali, tidak terdapat
bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris negatif (Ilyas,
2013).

7.4. Katarak Hipermatur


Katarak hipermatur, katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut,
dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi
keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi kecil, berwarna kuning dan
kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa.
Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka
korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan
memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nukleus yang
terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini disebut
sebagai katarak Morgagni.

26
Tabel 1. Perbandingan Stadium Katarak

Gambar 9. Katarak Senil Imatur Gambar 10. Katarak Senil Matur

Gambar 11. Katarak Senil Hipermatur


27
8. Gambaran Klinis
Adanya kekeruhan pada lensa bisa asimtomatis dan diketahui dengan
pemeriksaan mata rutin. Gejala katarak yang umumnya ditemukan seperti:
(Khurana, 2007)
1) Glare
Glare atau silau merupakan gangguan penglihatan yang paling awal
terjadi.
2) Uniocular polyopia
Penglihatan berbayang juga merupakan gejala awal yang muncul. Hal ini
terjadi karena refraksi yang ireguler akibat proses katarak.
3) Gambaran pelangi
Gambaran pelangi/coloured halo dapat terjadi pada beberapa pasien akibat
pemecahan spektrum warna putih karena adanya droplet air di lensa.
4) Titik hitam di depan lensa
5) Penglihatan kabur atau berkabut
6) Kehilangan penglihatan
Kemudian berdasarkan pemeriksaan dapat ditemukan tanda-tanda katarak
seperti: (Khurana, 2007)
1) Pemeriksaan visus
Tergantung dari tingkat maturasi dari katarak. Ketajaman penglihatan
bervariasi dari 6/9 hingga 1/∞.
2) Iluminasi oblik
Pada pemeriksaan iluminasi oblik menunjukkan kekeruhan lensa di
daerah pupil yang berbeda sesuai dengan tipe katarak.
3) Iris shadow

28
Dengan penyinaran oblik ke arah pupil, bayangan hitam bulan sabit akan
terlihat pada tepi pupil diatas bayangan abu-abu dari lensa. Pada lensa
yang keruh total, iris shadow negatif. Sehingga iris shadow menjadi
penanda katarak matur.

Gambar 12. A. Iris shadow positif. B. Iris shadow negatif


4) Oftalmoskopi
Pada pemeriksaan oftalmoskopi katarak parsial akan didapatkan bayangan
hitam diantara pantulan merah dari area fundus. Sedangkan pada katarak
komplit tidak didapatkan pantulan merah dari fundus.
5) Pemeriksaaan Slit Lamp
Slit lamp sebaiknya dilakukan dengan keadaan pupil dilatasi penuh untuk
mendapatkan morfologi kekeruhan dari lensa seperti lokasi kekeruhan,
ukuran, bentuk dan kepadatan nukleus.
Penegakan diagnostik dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan visus
yang tidak membaik dengan pinhole, pemeriksaan iris shadow, dan pemeriksaan
kekeruhan lensa yang dapat dilihat jelas dengan funduskopi teknik pemeriksaan
jauh. (PPK,2014)

29
9. Penatalaksanaan Katarak Senilis
Operasi katarak merupakan merupakan modalitas utama terapi katarak.
Tujuan dilakukan operasi katarak adalah perbaikan tajam penglihatan sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien (Purnaningrum, 2014).
Setelah pasien terdiagnosis katarak, penting bagi dokter untuk memberi tahu
keluarga bahwa katarak adalah gangguan penglihatan yang dapat diperbaiki dan
memberi tahu keluarga untuk kontrol teratur agar tidak terjadi komplikasi berupa
glaukoma dan uveitis. (PPK, 2014)
Pasien dengan katarak yang menimbulkan gangguan penglihatan yang
signifikan, katarak stadium matur atau timbul komplikasi dirujuk ke layanan
sekunder yang memiliki dokter spesialis mata untuk mendapatkan penatalaksanaan
selanjutnya.
Indikasi utama operasi katarak paling umum adalah keinginan pasien sendiri
untuk memperbaiki fungsi penglihatannya. Indikasi dilakukan tatalaksana bedah
untuk katarak tidak berdarakan visual acuity tertentu melaiankan berdasarkan
tingkat gangguan visual terhadap aktivitas sehari-hari (Rosenfeld, 2007). Misalnya
jika katarak masih imatur dengan visus 6/24 namun pasien adalah seorang polisi
dan sangat terganggu maka bisa dilakukan operasi. Jika katarak sudah matur
namun pasien tidak merasa tidak terganggu berarti tidak perlu dilakukan bedah.
Namun jika katarak mencapai hipermatur dapat meningkatkan resiko terjadinya
glaukoma dan uveitis. Indikasi medis untuk bedah katarak adalah glaukoma
fakolitik, glaucoma fakomorfik, uveitis fakoantigenik, dan dislokasi lensa ke bilik
anterior (Rosenfeld, 2007).
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa.
Terdapat 2 tipe ekstraksi lensa yaitu intra capsular cataract extraction (ICCE) dan
extra capsular cataract extraction (ECCE). ECCE sendiri terdiri dari dua teknik
yaitu Small Incision Cataract Surgery (SICS) dan Phakoemulsifikasi (Dua, 2009).
30
1) Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama
kapsulnya. Seluruh lensa dibekukan di dalam kapsulnya dengan cryophake
dan depindahkan dari mata melalui incisi korneal superior yang lebar.
Sekarang metode ini hanya dilakukan hanya pada keadaan lensa subluksatio
dan dislokasi. Pada ICCE tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan
tindakan pembedahan yang sangat lama populer. ICCE tidak boleh dilakukan
atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih
mempunyai ligamen hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada
pembedahan ini astigmatisme, glukoma, uveitis, endoftalmitis, dan
perdarahan.

31
Gambar 13. Tahap bedah ICCE dengan pemasangan IOL di anterior chamber

2) Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE)


Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran
isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga
nukleus dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan. Pembedahan ini
dilakukan pada pasien katarak imatur, pasien dengan kelainan endotel,
bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa intra ocular posterior,
perencanaan implantasi sekunder lensa intra ocular, kemungkinan akan

32
dilakukan bedah glukoma, mata dengan prediposisi untuk terjadinya prolaps
badan kaca, mata sebelahnya telah mengalami prolap badan kaca, sebelumnya
mata mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid macular edema, pasca bedah
ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak
seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini
yaitu dapat terjadinya katarak sekunder.

Gambar 14. Tahapan ECCE dengan pemasangan IOL di posterior


chamber

33
3) Small Incision Cataract Surgery SICS
Teknik ini dipandang lebih menguntungkan karena lebih murah dan
proses penyembuhannya lebih cepat. Teknik ini dilakukan ECCE dan
pemasangan IOL dengan insisi yang minimal sehingga tidak memerlukan
jahitan yang memungkinkan insisi dapat membaik dengan sendirinya.
(Khurana, 2007)

Gambar 15. Prosedur SICS

34
4) Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi merupakan suatu teknik ekstraksi lensa dengan
memecah dan memindahkan kristal lensa. Pada tehnik ini diperlukan irisan
yang sangat kecil (sekitar 2-3mm) di kornea. Getaran ultrasonik akan
digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya mesin fako akan
menyedot massa katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah lensa Intra
Okular yang dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut. Karena incisi
yang kecil maka tidak diperlukan jahitan dan irisan akan pulih dengan
sendirinya sehingga memungkinkan pasien dapat dengan cepat kembali
melakukan aktivitas sehari-hari. Tehnik ini bermanfaat pada katarak
kongenital, traumatik, dan kebanyakan katarak senilis.(Khurana, 2007)

Gambar 16. Prosedur Fakoemulsifikasi

35
DAFTAR PUSTAKA

Harper, R.A., Shock, J.P., 2010. Lensa. In: Whitcher, J.P. & Eva, P.R. (eds.),
Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran
Jakarta: EGC.

Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2013.

Khurana AK, editor. Comprehensive Ophthalmology. In: Diseases of the lens.


4th Edition. New Delhi: New Age International; 2007.p.377-386.

Lang GK. Lens. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas. 2nd Ed. ed. New
York: Thieme Stuttgart; 20010. p. 169-98.

Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. 2014.

Pollreisz, A., Schmidt, U., 2010. Diabetic Cataract—Pat hogenesis,


Epidemiology and Treatment. Vol. 2010. Available
from:http://www.hindawi.com/journals/joph/2010/608751.

Purnaningrum, N.P., 2014. Perbedaan Tajam Penglihatan Pascaoperasi


Fakoemulsifikasi pada Pasien Katarak Senilis dengan Diabetes Melitus dan
Tanpa Diabetes Melitus, Universitas Diponegoro.

Rosenfeld, S.I. et al, 2007. Basic and clinical course: lens and cataract.
Section 2007-2008. Singapore: American Academy of Ophthalmology.

Sirlan F. Blindness pattern in Indonesia. Sub Directorate Community Eye


Health, Ministry of Healthy, 2000,10-12.

World Health Organisation (2012). Global data on visual impairments


2012. WHO Press.

36

Anda mungkin juga menyukai