Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur sehingga


dapat ditemukan hampir disemua tempat. Insidensi penyakit jamur yang terjadi di
berbagai rumah sakit di Indonesia bervariasi antara 2,93-27,6% meskipun angka
ini tidak menggambarkan populasi umum. Mikosis dibagi menjadi mikosis
profunda dan mikosis superfisial. Mikosis superfisial dibagi menjadi
dermatofitosis dan nondermatofitosis.1

Pitiriasis versikolor (PV) atau lebih dikenal dengan panu adalah infeksi
jamur superfisial nondermatofitosis yang ditandai perubahan pigmen kulit akibat
kolonisasi stratum korneum oleh jamur lipofilik dimorfik dari flora normal kulit,
Malassezia furfur. Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale dapat
menyebabkan penyakit jika bertransformasi menjadi fase miselium sebagai
Malassezia furfur. Dari semua jenis Malassezia, hanya M. pachydermatis yang
membutuhkan lingkungan kaya lipid, seperti kulit manusia atau media kultur yang
diperkaya lipid, karena tidak mampu mensintesis asam lemak jenuh rantai
menengah-panjang. Malassezia menghasilkan berbagai senyawa yang
mengganggu melanisasi dan menyebabkan perubahan pigmentasi kulit.2,3

Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), terutama di daerah


tropis yang beriklim panas dan lembap, termasuk Indonesia. Prevalensinya
mencapai 50% di negara tropis. Penyakit ini menyerang semua ras, angka
kejadian pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan mungkin terkait
pekerjaan dan aktivitas yang lebih tinggi. Pitiriasis versikolor lebih sering
menginfeksi dewasa muda usia 15-24 tahun, saat aktivitas kelenjar lemak lebih
tinggi.1,3

Lesi khas pitiriasis versikolor berupa makula, plak, atau papul folikular
dalam berbagai warna, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, sampai eritematosa,
berskuama halus di atasnya, dikelilingi kulit normal. Skuama sering sulit terlihat.

1
Untuk membuktikan skuama yang tidak tampak, dapat dilakukan peregangan atau
penggoresan lesi dengan kuku jari tangan sehingga skuama tampak lebih jelas,
dikenal sebagai evoked scale sign, finger nail sign, Besniers sign, scratch sign,
coup dongle sign atau stroke of the nail sign. Peregangan atau penggoresan lesi
akan meningkatkan kerapuhan stratum korneum kulit yang terinfeksi pitiriasis
versikolor, sehingga akan muncul tanda klinis yang berguna untuk membantu
menegakkan diagnosis, terutama jika pemeriksaan mikologis tidak tersedia dan
diagnosis klinis tidak pasti.1,2,3

Penyakit ini sangat menarik oleh karena keluhannya bergantung pada


tingkat ekonomi penderita. Bila penderita dari golongan ekonomi rendah
(misalnya: tukang becak, pembantu rumah tangga) penyakit ini tidak dihiraukan.
Tetapi pada penderita dengan ekonomi menengah keatas yang mengutamakan
penampilan maka penyakit ini adalah penyakit yang sangat bermasalah.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. IR
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 34 tahun
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Murni, lorong telaga
Status : Menikah
Bangsa : Indonesia

2.2 Anamnesis : Autoanamnesis pada tanggal 24 Maret 2017

Keluhan Utama :
Bercak putih disertai sisik halus pada punggung, leher, dan lengan atas
yang bertambah banyak dan meluas sejak 4 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poli kulit RSUD Raden Mattaher dengan keluhan bercak
putih yang disertai sisik halus pada punggung, dada, leher, dan lengan atas
yang bertambah banyak dan meluas sejak 4 bulan yang lalu. Awalnya bercak
putih muncul sedikit, kemudian semakin bertambah banyak dan melebar
disertai dengan sisik-sisik halus jika bercak tersebut digosok atau digores.
Keluhan ini tidak disertai dengan rasa gatal. Bercak putih mati rasa disangkal,
Keluhan muncul saat pasien berkeringat banyak dan menggunakan baju yang
lembab.
Keluhan ini sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Pasien belum pernah
berobat untuk keluhan yang dirasakannya. Pasien hanya membeli obat jamur
di apotik (kalpanax), dan mengoleskannya pada bercak putih tersebut selama
paling lama 7 hari, obat ini telah digunakan sejak beberapa tahun yang lalu.
Setelah dirasakan keluhan berkurang pasien menghentikan pengobatannya.

3
Kemudian selang beberapa bulan, keluhan serupa berulang kembali. Untuk
keluhan yang sekarang, sebelum ke RS, pasien mengoleskan obat yang sama
pada ruam.
Pasien bekerja sebagai karyawan yang bergerak dibidang keuangan, dan
sering keluar untuk survey nasabah setiap 3 bulan sekali. Pasien mengaku
mudah berkeringat tapi jarang langsung mengganti pakaian yang lembab, dan
setiap kali selesai survey lapangan keluhan pasien semakin bertambah parah.
Pasien mandi 2 kali sehari, pagi dan sore hari, menggunakan handuknya
sendiri.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pernah mengalami keluhan yang sama sejak 2 tahun yang lalu yang hilang
timbul. Riwayat atopi pada pasien disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah pasien pernah memiliki penyakit yang sama, sembuh dengan
pengobatan. Riwayat keluarga yang memiliki riwayat alergi tidak ada.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
1. Keadaan Umum : Baik, tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : Afebris

Pemeriksaan Organ

1. Kepala : Normocephal, simetris, ekspresi biasa


2. Mata : Exopthalmus (-), conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-),
pupi isokor, reflex cahaya (+) normal
3. THT
Telinga : Normotia, fungsi pendengaran baik, serumen (+).

4
Hidung : Deviasi septum (-), rinore (-), pembesaran konka (-),
perdarahan (-), sumbatan (-).
Tenggorokan : Tonsil T1-T1
4. Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), atropi papil lidah (-)
sariawan (-)
5. Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trachea (-), JVP : 5-2
cmH2O
6. Thoraks
Paru :
- Inspeksi : Simetris, tidak ada gerakan paru yang tertinggal, otot
bantu pernafasan (-), pelebaran sela iga (-)
- Palpasi : Fremitus sama kanan dengan kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
- Perkusi : Sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler (+/+) di kedua lapangan paru, wheezing (-/-),
ronkhi (-/-)

Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari ICS V linea MCS, thrill (-)
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

7. Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), organomegali (-), timpani


(+), BU (+) normal
8. Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-),CRT < 2
detik, deformitas (-), pergerakan normoaktif
9. Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2
detik , deformitas (-), , pergerakan normoaktif

2.4 Status Dermatologis :

Regio colli posterior, truncus anterior et posterior, ekstremitas superior


dextra et sinistra.
Makula hipopigmentasi, multipel, lentikular-plakat, diskret sebagian
konfluen; ditutupi skuama putih, halus, kering, selapis.

5
Gambar 1. Lokasi dan Distribusi Ruam pada Pasien

Regio Colli dan Truncus anterior

6
Regio Truncus Posterior dan regio brachialis dextra et sinistra

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Namun disarankan
untuk dilakukan :
Pemeriksaan KOH dari skuama : hifa pendek dengan spora (spaghetti
with meatballs)
Pemeriksaan Wood lamp : ruam berfluoresensi kuning keemasan

2.6 Diagnosis Banding

Pityriasis versicolor
Pityriasis alba
Vitiligo
Pityriasis rosea

7
2.7 Diagnosis Kerja
Pityriasis versicolor

2.8 Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
Edukasi Pasien :

- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya adalah panu,


penyebabnya adalah jamur dan dapat menular.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penggunaan obat selama 2 pekan,
namun bercak putih hilang dalam waktu cukup lama (bulan).
- Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan dan kelembaban kulit
terutama pada daerah yang berkeringat banyak (punggung, leher,
lengan) dengan cara segera mengganti pakaian bila basah.
- Edukasi pasien untuk menggunakan pakaian yang bersih, kering, tidak
ketat dan dapat menyerap keringat
- Edukasi pasien untuk mengkonsumsi makanan yang sehat
- Kontrol kembali

2. Medikamentosa
- Ketokonazol tab 200 mg perhari selama 7-10 hari
- Selenium sulfide 2,5% lotion dioleskan pada lesi selama 7-10 menit
kemudian dibilas, 3-4 kali seminggu

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Pityriasis versikolor adalah penyakit infeksi pada superfisial kulit dan
berlangsung kronis yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur. Penyakit ini
biasanya tidak memberikan keluhan subyektif, namun tampak adanya bercak
berskuama halus berwarna putih sampai coklat kehitaman pada kulit yang
terinfeksi. Dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, muka dan
kulit kepala yang berambut.3,4

3.2. Etiologi dan patogenesis


Penyakit ini disebabkan oleh jamur Malasezia furfur. Malassezia furfur
(dahulu dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale)
merupakan jamur lipofilik yang normalnya hidup di keratin kulit dan folikel
rambut manusia saat masa pubertas dan di luar masa itu. Sebagai organisme yang
lipofilik, Malassezia furfur memerlukan lemak (lipid) untuk pertumbuhan in vitro
dan in vivo. Secara in vitro, asam amino asparagin menstimulasi pertumbuhan
organisme, sedangkan asam amino lainnya, glisin, menginduksi (menyebabkan)

9
pembentukan hifa. Pada dua riset yang terpisah, tampak bahwa secara in vivo,
kadar asam amino meningkat pada kulit pasien yang tidak terkena panu. Jamur ini
juga ditemukan di kulit yang sehat, namun baru akan memberikan gejala bila
tumbuh berlebihan. Beberapa faktor dapat meningkatkan angka terjadinya
pityriasis versikolor, diantaranya adalah turunnya kekebalan tubuh, faktor
temperatur, kelembaban udara, hormonal dan keringat.3,5
Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya
pityriasis versicolor yaitu Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau
Pityrosporum ovale yang berbentuk oval. Malassezia furfur merupakan fase spora
dan miselium. Malassezia berubah dari bentuk blastospore ke bentuk mycelial.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi. Malassezia memiliki enzim oksidasi
yang dapat merubah asam lemak pada lipid yang terdapat pada permukaan kulit
menjadi asam dikarboksilat. Asam dikarboksilik ini menghambat tyrosinase pada
melanosit epidermis dan dapat mengakibatkan hipomelanosit. Tirosinase adalah
enzim yang memiliki peranan penting dalam pembentukan melanin. Malassezia
Furfur dapat menginfeksi pada individu yang sehat sebagaimana ia dapat
menginfeksi individu dengan immunocompromised, misalnya pada pasien kanker
atau AIDS.3,5
Malassezia furfur dapat dikultur dari kulit yang terinfeksi maupun yang
normal dan dianggap bagian dari flora normal, terutama di daerah tubuh manusia
yang kaya dengan sebum. Hasil peningkatan kelembaban, suhu dan ketegangan
CO2 tampaknya menjadi faktor penting yang berkontribusi terhadap infeksi.
Malassezia furfur adalah dimorfik, organisme lipofilik yang tumbuh secara in
vitro hanya dengan tambahan asam lemak C12-C14 seperti minyak zaitun dan
lanolin. Dalam kondisi yang tepat, ia berubah dari jamur saprofit menjadi bentuk
miselium yang didominasi parasit, yang menyebabkan penyakit klinis. Faktor
predisposisi transisi miselium termasuk, lingkungan yang lembab, hiperhidrosis,
kontrasepsi oral, penggunaan kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing,
imunosupresi, serta keadaan malnutrisi.3
Organisme yang menginfeksi biasanya hadir di lapisan atas stratum
korneum, dan dengan penggunaan mikroskop elektron bisa dilihat bahawa jamur

10
ini menyerang tidak hanya antara tetapi dalam sel-sel berkeratin. Jumlah korneosit
jelas menunjukkan pergantian sel meningkat pada kulit yang terinfeksi. Ada
beberapa mekanisme yang dipostulasikan untuk perubahan dalam pigmentasi,
termasuk produksi asam dikarboksilat yang dihasilkan oleh spesies Malassezia
(asam azelaic misalnya) yang menyebabkan penghambatan kompetitif tirosinase
dan mungkin efek sitotoksik langsung pada melanosit hiperaktif. 3
Bercak hiperpigmentasi kulit terjadi karena peningkatan berlebihan dalam
ukuran melanosom dan perubahan dalam distribusi mereka di epidermis,
memberikan kawasan yang terkena warna kulit yang lebih gelap dari normal. Lesi
hipopigmentasi pula dapat diakibatkan dari penghambatan enzim dopa-tyrosinase
oleh fraksilipid, karena jamur menghasilkan asam azelaic di lokasi cedera yang
terinfeksi, yang menghambat tirosinase, mengganggu melanogenesis.6

3.3. Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi untuk terjadinya pityriasis versikolor antara lain :4
1. Faktor endogen: malnutrisi, immunocompromised, penggunaan
kontrasepsi oral, hamil, luka bakar, terapi kortikosteroid,
adrenalektomi, Cushing syndrome.
2. Faktor eksogen: kelembapan udara, oklusi oleh pakaian, penggunaan
krim ataulotion, dan rawat inap.

3.4. Epidemiologi
Prevalensi penderita pityriasis versikolor di Amerika diperkirakan sekitar
2-8% dari populasi. Jumlah kasus tertinggi terdapat pada daerah dengan
temperatur dan kelembaban yang tinggi. Prevalensi pityriasis versikolor diseluruh
dunia diperkirakan sekitar 50% pada daerah panas dan lembab, dan 1,1% pada
iklim dingin. Tinea versikolor terjadi pada semua ras, tapi erupsinya lebih sering
pada kulit hitam . Tidak ada perbedaan dalam hal jenis kelamin. Sering terjadi
pada dewasa dan remaja dimana glandula sebasea lebih aktif bekerja.3,4

3.5. Manifestasi Klinis

11
Biasanya tidak ada keluhan (asimtomatis), tetapi dapat dijumpai gatal pada
keluhan pasien. Pasien yang menderita Pityriasis versikolor biasanya
mengeluhkan bercak pigmentasi dengan alasan kosmetik. Predileksi pityriasis
vesikolor yaitu pada tubuh bagian atas, lengan atas, leher, abdomen, aksila,
inguinal, paha, genitalia. Bentuk lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus
dengan ukuran lesi dapat milier, lentikuler, numuler sampai plakat. Ada dua
bentuk yang sering dijumpai:3,4,5
1. Bentuk makuler: berupa bercak yang agak lebar, dengan squama halus
diatasnya, dan tepi tidak meninggi.
2. Bentuk papuler: seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut.

Gambar 1. Pityriasis versikolor (a) lesi yang lebih gelap karena hiperemia
sekunder sebagai respon inflamasi dari peningkatan melanin

12
Gambar 2. Pityriasis versicolor (c) makula salmon colored yang bersatu
membentuk patch yang besar. (d) sisik yang tampak seperti debu.

Gambar 3. Pityriasis versicolor menunjukkan lesi hiperpigmentasi dalam lesi


Kaukasia (kanan) dan hipopigmentasi dalam Aborijin Australia (kiri).

3.6. Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis
Penderita biasanya mengeluhkan tampak bercak putih pada kulitnya.
Keluhan gatal ringan muncul terutama saat berkeringat, namun
sebagian besar pasien asimptomatik.3,4

13
2. Pemeriksaan fisik
Lesi berupa makula hipopigmentasi atau berwarna-warni, berskuama
halus, berbentuk bulat atau tidak beraturan dengan batas tegas atau tidak
tegas. Skuama biasanya tipis seperti sisik dan kadangkala hanya dapat
tampak dengan menggores kulit (finger nail sign). Predileksi di bagian
atas dada, lengan, leher, perut, kaki, ketiak, lipat paha, muka dan kepala.
Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah yang tertutup pakaian dan
bersifat lembab.3,4
3. Pemeriksaan penunjang 3,4
Pemeriksaan KOH 20%
Pemeriksaan ini memperlihatkan kelompok sel ragi bulat berdinding
tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek),
yang akan lebih mudah dilihat dengan penambahan zat warna tinta parker
blue-black atau biru laktofenol. Gambaran ragi dan miselium tersebut
sering dilukiskan sebagai meat ball and spageti .
Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian
kulit yang mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan dengan kapas
alcohol 70%, lalu dikerok dengan skapel steril dan jatuhnya ditampung
dalam lempeng-lempeng steril. Sebagian dari bahan tersebut diperiksa
langsung dengan KOH 20% yang di beri tinta parker biru hitam,
dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas penutup dan diperiksa di
bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur, maka akan terlihat
garis yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarak-jarak
tertentu dipisahkan oleh sekat-sekat atau seperti butir-butir yang
bersambung seperti kalung. Pada ptyriasis versicolor hifa tampak
pendek-pendek, bercabang, terpotong-potong, lurus atau bengkok dengan
spora yang berkelompok.

14
Gambar 4. Gambaran ragi dan miselium sering disebut spaggeti
and meatball

Pemeriksaan dengan sinar wood


Pemeriksaan dengan sinar wood, dapat memberikan perubahan
warna seluruh daerah lesi sehingga batas lesi lebih mudah dilihat. Daerah
yang terkena infeksi akan memperlihatkan flouresensi warna kuning
keemasan sampai orange.

Gambar 3. Pemeriksaan dengan wood Lamp

3.7. Diagnosis Banding

15
Diagnosis Banding meliputi ruam-ruam putih pada kulit seperti vitiligo
dan pitiriasis alba.
1. Vitiligo
Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif,
seringkali familial ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit,
berbatas tegas dan asimtomatis.
Makula hipomelanosis pada vitiligo yang khas berupa bercak putih
seperti kapur, bergaris tengah beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong dengan tepi berbatas tegas dan
kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai skuama.
Vitiligo mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada
daerah terpajan (muka, dada bagian atas, dorsum manus), daerah
intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah orifisium (mulut, hidung,
mata, rektum), pada bagian ekstensor permukanaa tulang yang
menonjol (jari-jari, lutut, siku). Pada pemeriksaan histopatologi tidak
ditemukan sel melanosit dan reaksi dopa untuk melanosit negatif.3,4

Gambar 5. Tempat predileksi dari vitiligo

Pada pemeriksaan dengan lampu Wood makula amelanotik pada


vitiligo tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi vitiligo dengan
makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi lainnya.
Penatalaksanaan vitiligo dapat diberikan:
a. Tabir surya untuk melindungi kulit yang terlihat agar tidak
mengalami reaksi terbakar surya dan tidak terjadi tanning pada
kulit yang normal. Yang dianjurkan adalah tabir surya dengan
SPF lebih dari 30.

16
b. Kosmetik penutup untuk menyembunyikan lesi vitiligo
sehingga tidak tampak. Merek yang tersedia misalnya
Covermark (Lydia OLeary), Dermablend, Vitadye dan Dy-o-
Derm. Biasanya warna disesuaikan dengan warna kulit dan
tidak mudah hilang.
c. Kortikosteroid topikal pemakaian kortikosteroid
berlandaskan pada teori autoimun. Jika tidak ada respon selam
2 bulan maka terapi dianggap tidak akan berhasil. Evaluasi
perlu dilakukan setiap bulan untuk mencegah timbulnya atropi
kulit dan telangiektasia
d. Pemakaian psoralen denga UVA Psoralen secara topikal
ataupun sistemik yang diikuti oleh pajanan terhadap sinar UVA
(PUVA) menyebabkan proliferasi sel-sel pigmen di dalam umbi
rambut dan perpindahan sel-sel pigmen tersebut kedaerah kulit
yang putih (hipopigmentasi)
e. Minigrafting dapat digunakan pada vitiligo segmental yang
stabil dan tidak dapat diobati dengan teknik yang lain.
f. Bleaching terapi ini digunakan untuk vitiligo yang luas,
gagal dengan terapi PUVA, atau menolak PUVA. Yang
digunakan adalah Monobenzylether of hydroquinon 20%
cream, dioleskan 2 kali sehari. Biasanya dibutuhkan waktu 9-
12 bulan agar terjadi depigmentasi.

A B
Gambar 5. Vitiligo pada regio fasial (A) dan regio ekstremitas inferior
(B)

2. Pitiriasis Alba

17
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-
40%). Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat oval. Pada
mulanya lesi berwarna merah muda atau sesuai warna kulit dengan
skuama halus diatasnya. Setelah eritema menghilang lesi yang
dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini
penderita datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna.
Bercak biasanya multiple 4 sampai 20. Pada anak-anak lokasi kelainan
pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut, dagu, pipi serta
dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya
asimtomatik tetapi dapat juga terasa gatal dan panas.3,4
Pada pemeroksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di stratum
basal dan terdapat hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelaianan ini dapat
dibedakan dari vitiligo dengan adanya batas yang tidak tegas dan lesi
yang tidak amelanotik serta pemeriksaan menggunakan lampu wood.
Kelainan hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-perubahan
pasca inflamasi dan efek penghambatan sinar ultra violet oleh
epidermis yang mengalami hipereratosis dan parakeratosis.
Terapi pitiriasis alba kadang tidak memuaskan namun penyakit ini
dapat menyembuh sendiri seiring dengan meningkatnya usia, namun
pernah dilaporkan lesi yang menetap hingga dewasa. Terap yang dapat
digunakakn berupa kortikosteroid topikal. Untuk lesi pititriasis alba
yang luas dapat digunakan PUVA.

Gambar 6. Pitiriasis alba pada regio fasial tampak batas yang kurang jelas

3.8. Pengobatan

18
Pengobatan pityriasis versicolor dapat diterapi secara topical maupun
sistemik. Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana
mencapai 60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab
itu diperlukan terapi profilaksis untuk mencegah rekurensi :3,4,7
1. Pengobatan topical
Pengobatan topikal diberikan untuk lesi yang bersifat lokal dengan
infeksi sedang. Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun
dan konsisten. Obat yang dapat digunakan ialah :
Lotion selenium sulfide 2,5% dioleskan pada lesi selama 7-10 menit
kemudian dibilas. Penggunaan sehari-hari pada lesi yang luas 3-4 kali
seminggu, dan di tappering 1 atau 2 kali perbulan dan gunakan terapi
maintenance untuk mencegah kekambuhan.
Ketokonazol sampho 2% diamkan selama 5 menit kemudian bilas, 3
hari berturut-turut.
Terbinafin solusio 1% 2 kali sehari selama 7 hari

2. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus pityriasis versicolor yang luas,
kekambuhan yang sering, atau jika pemakaian obat topical tidak berhasil.
Obat yang dapat diberikan adalah :
Ketokonazol 200 mg per hari selama 7-10 hari
Flukonazol 400 mg setiap minggu selama 2 minggu
Itrakonazol 200-400 mg perhari 3-7 hari

Terbinafin oral, allylamine tidak direkomendasikan untuk penatalaksanan


malassezia karena penetrasinya tidak efektif.

3.9. Prognosis
Perjalanan penyakit berlangsung kronik, namun umumnya memiliki
prognosis baik. Lesi dapat meluas jika tidak diobati dengan benar dan faktor
predisposisi tidak dieliminasi. Masalah lain adalah menetapnya hipopigmentasi,
diperlukan waktu yang cukup lama untuk repigmentasi kembali seperti kulit
normal. Hal itu bukan kegagalan terapi, sehingga penting untuk memberikan
edukasi pada pasien bahwa bercak putih tersebut akan menetap beberapa bulan
setelah terapi dan akan menghilang secara perlahan.3

19
BAB IV
ANALISA KASUS

Pytiriasis versicolor merupakan infeksi jamur superfisial pada kulit yang


biasanya disebabkan oleh saprofit yang tidak menyebabkan inflamasi. Kelainan
kulit ini bersifat umum, luas, dan jinak, walaupun sering terjadi berulang. Seperti
yang ditunjukkan dari namanya, pytriasis versicolor menunjukkan manifestasi
klinis makula dengan berbagai macam warna dari putih ke merah muda atau
coklat. Lesi ini memiliki karakteristik kulit yang mengelupas, walaupun pada lesi
yang lebih luas bukti ini hanya dapat ditemukan pada tepi makula, dan bisa
hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi. Pada beberapa pasien dapat mengeluh
gatal/pruritus, tetapi pytiriasis versicolor biasanya bersifat asimptomatis, dan pada
kebanyakan pasien hanya mengeluhkan alasan kosmetik dari penyakit ini.
Pasien Tn. IR datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Raden
Mattaher pada tanggal 24 Maret 2017 dengan keluhan bercak putih yang disertai
sisik halus pada punggung, dada, leher, dan lengan atas. Pasien kemudian
didiagnosis sebagai pityriasis versicolor berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik.
Dari anamnesis, didapatkan keluhan bercak putih yang disertai sisik halus
pada punggung, dada, leher, dan lengan atas yang bertambah banyak dan meluas.
Awalnya bercak putih muncul sedikit, kemudian semakin bertambah banyak dan
melebar disertai dengan sisik-sisik halus jika bercak tersebut digosok atau digores.
Hal ini sesuai dengan gambaran pityriasis versicolor yang dikarakteristikkan oleh
makulae irreguler depigmentasi berskuama, yang paling sering terjadi pada tubuh
dan ekstremitas, serta dapat disertai oleh pruritus ringan.
Pasien bekerja sebagai surveyor finance dengan tingkat paparan sinar
matahari yang lebih sering, pasien mengaku mudah berkeringat tapi jarang
langsung mengganti pakaian yang lembab, dan setiap kali selesai survey lapangan
keluhan pasien semakin bertambah parah, keluhan ini tidak disertai dengan rasa
gatal. Bercak putih mati rasa disangkal. Data ini menguatkan dugaan pityriasis

20
versicolor oleh karena pasien ini memiliki faktor-faktor predisposisi untuk
terjadinya pityriasis versicolor, yaitu tinggal di daerah tropis, temperatur dan
kelembaban yang tinggi dan mudah berkeringat.
Pada pemeriksaan fisik di regio colli posterior, truncus anterior et posterior,
ekstremitas superior dextra et sinistra didapatkan fluoresensi makula
hipopigmentasi, multipel, lentikular-plakat, diskret sebagian konfluen; ditutupi
skuama putih, halus, kering, selapis. Berdasarkan kepustakaan ruam terletak di
tubuh dan ekstremitas yang merupakan tempat yang paling sering timbulnya
pityriasis versicolor. Ruam merupakan gambaran makulae hipopigmentasi,
berbentuk bulat, irregular, sebagian berkonfluensi satu sama lain, berbatas tegas,
jumlah multiple dengan ukuran diameter bervariasi antara 1-2 cm.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena diagnosis
dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaa fisik dan dermatologis.
Berdasarkan kepustakaan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan pitiriasis versikolor antara lain adalah lampu Wood dan KOH.
Pemeriksaan di bawah lampu Wood menunjukkan fluoresensi kuning yang sesuai
dengan gambaran pityriasis versicolor. Pemeriksaan dengan KOH menunjukkan
hifa pendek dengan spora. Adanya sel budding yeast yang berbentuk ovoid
bersama hifa menyebabkan gambaran spaghetti and meatballs.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah pitiriasis alba, vitiligo dan pitirasis
rosea. Gambaran ruam pada pasien ini berupa makulae hipopigmentasi yang
berbatas tegas menurunkan kemungkinan diagnosis pityriasis alba dan vitiligo.
Pityriasis alba biasanya berlokasi di wajah, bagian luar lengan dan bahu. Lesinya
berbatas tidak tegas dan skuama lebih kasar, lesi tampak berwarna abu-abu.
Vitiligo biasanya mudah dikenali dengan area-area depigmentasi berbatas tegas
dan tidak berskuama, biasanya di regio wajah, ekstremitas dan genital. Pada
pitiriasis rosea lesi inisial berbentuk eritem dan skuama halus disusul oleh lesi-lesi
kecil sejajar kosta menyerupai pohon cemara terbali, serta lesi muncul serentak
dalam beberapa hari. Predileksinya dibadan, lengan atas bagian proksimal dan
paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit serta sembuh dalam 3-8
minggu.

21
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan informasi berupa edukasi bahwa
penyakitnya adalah panu, penyebabnya adalah jamur dan dapat menular. Kondisi
ini tidak meninggalkan jaringan parut yang permanen atau perubahan pigmentasi,
dan perubahan warna kulit membaik dalam waktu 1-2 bulan setelah terapi
dimulai. Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan dan kelembaban kulit terutama
pada daerah yang berkeringat banyak (punggung, leher, lengan) dengan cara
segera mengganti pakaian bila basah. Menggunakan pakaian yang bersih, kering,
tidak ketat dan dapat menyerap keringat serta mengkonsumsi makanan yang sehat
dan kontrol kembali untuk menilai keberhasilan terapi.
Penatalaksanaan farmakologis pada pasien ini berupa ketoconazole oral 1 x
200 mg selama 7-10 hari dan Selenium sulfide 2,5% lotion dioleskan pada lesi
selama 7-10 menit kemudian dibilas, 3-4 kali seminggu.
Berdasarkan kepustakaan pityriasis versicolor dapat sukses diterapi dengan
berbagai agen jika dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Agen
topikal yang efektif meliputi selenium sulfida, sodium sulfasetamid,
siklopiroksolamin, serta antifungi azole dan allilamin. Selenium sulfida lotion
dioleskan pada area kulit yang terinfeksi setiap hari selama 2 minggu, setiap kali
setelah dioleskan, dibiarkan selama 10 menit sebelum dicuci/mandi. Pemberian
per minggu agen-agen topikal selama beberapa bulan ke depan dapat membantu
mencegah rekurensi.
Terapi oral juga efektif untuk pityriasis versicolor dan seringkali lebih
dipilih pada pasien karena lebih mudah dan tidak memakan waktu. Terapi oral
dapat diberikan bersama regimen topikal. Ketoconazole, fluconazole, dan
itraconazole merupakan agen oral pilihan pertama. Berbagai regimen dosis telah
digunakan. Dengan ketoconazole, diberikan dosis 200 mg per hari selama 10 hari
dan sebagai dosis tunggal 400 mg, keduanya memiliki hasil yang sama.
Fluconazole diberikan dalam dosis 150 sampai 300 mg setiap minggu selama 2-4
minggu. Itraconazole biasanya diberikan pada 200 mg per hari selama 7 hari.
Pramiconazole dan sertaconazole juga telah digunakan dalam terapi pityriasis
versicolor. 4

22
BAB V
KESIMPULAN

Pityriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi disebabkan oleh
Malasezia furfur. Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit kronis yang ditandai
oleh bercak putih sampai coklat yang bersisik, makula dikulit, skuama halus
disertai rasa gatal. Faktor predisposisi penyakit ini adalah suhu yang tinggi, kulit
berminyak, hiperhidrosis, faktor herediter, pengobatan dengan glukokortikoid,
defisiensi imun, pengangkatan glandula adrenal, penyakit Cushing, kehamilan,
malnutrisi, luka bakar, terapi steroid, dan penggunaan kontrasepsi oral.
Angka kejadian pada pria dan wanita dalam jumlah yang seimbang. Penyakit
ini banyak ditemukan pada usia 15-24 tahun, dimana kelenjar sebasea (kelenjar
minyak) lebih aktif bekerja. Predileksi pityriasis vesikolor yaitu pada tubuh
bagian atas, lengan atas, leher, abdomen, aksila, inguinal, paha, genitalia. Pada
anamnesis dikeluhkan gatal ringan, adanya bercak/macula berwarna putih
(hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) dengan rasa gatal yang akan
muncul saat berkeringat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bercak-bercak
berwarna-warni, bentuk tidak teratur -teratur, batas jelas-difus. Sering didapatkan
lesi bentuk folikular atau lebih besar, atau bentuk nummular yang meluas
membentuk plakat. Kadang-kadang dijumpai bentuk campuran (folikular dengan
nummular, folikular dengan plakat ataupun folikular atau nummular dengan
plakat). Periksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penyakit ini adalah
pemeriksaan dengan KOH 10% dan lampu wood. Pengobatan pada penyakit ini
menggunakan pengobatan topikal, sistemik dan terapi hipopigmentasi. Prognosis
baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosita, Cita. Kurniati. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya :


Dept.Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
2008
2. Tan Sukmawati, Reginata G. Uji Provokasi Skuama pada Pitiriasis
Versikolor. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara. CDK-229/ vol. 42 no. 6. Jakarta,
Indonesia. 2015
3. Kundu, R.V. and A. Garg. Yeast Infections: Candidiasis, Tinea (Pityriasis)
Versicolor, and Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis, in Fitzpatrick's
Dermatology In General Medicine. 7th edition. M. Lowell A. Goldsmith,
MPH, et al., Editors. McGraw-Hill. p. 3280-3285. 2008
4. Budimulja, Unandar. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2013
5. Johnson. R.A, Suurmond. D .Color Atlas And Synopsis of Clinical
Dermatology. Dalam: Fitzpatrick TB, Wolff K, Johnson RA, Suurmond
D, penyunting. Dermatology in general medicine. Edisi ke-5. New
York: McGraw-Hill. h. 729. 2007
6. Ortonne JP, Bahadoran P. Hypomelanosis and Hypermelanosis in
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th Edition. Mc Graw-
Hill. New York 836-862. 2008
7. Gupta Aditya K, Folley Kelly A. 2015. Antifungal Treatment for Pityriasis
Versicolor. Journal of Fungi. Canada. Received: 24 December 2014 /
Accepted: 4 March 2015 / Published: 12 March 2015

24

Anda mungkin juga menyukai