Ambliopia Anisometropia
Oleh : KELOMPOK 2
Pembimbing:
dr. Hj. Ani, Sp.M (K)
HALAMAN PENGESAHAN
Phantom
Ambliopia Anisometropia
Oleh: KELOMPOK 2
Phantom ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 19 Febuari
s.d. 26 Maret 2018
BAB I
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Kiki
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Sekolah Dasar
Alamat : Palembang
Tanggal Pemeriksaan: 8 Maret 2018
2. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
3. PemeriksaanFisik
Status Generalis
Status Oftalmologis
Tekananintra
15,6 mmHg 15,6 mmHg
ocular
Kedudukan Ortoforia
bola mata
GBM
5
4. Pemeriksaan Tambahan
Lensa coba
Streak retinoscopy
5. Diagnosis Banding
Ambliopia anisometropia
Ambliopia isometropia
Miopia simpleks ODS
6. Diagnosis Kerja
Ambliopia anisometropia
7. Tatalaksana
2. Operatif
Rujuk ke dokter spesialis mata
8. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Ambliopia berasal dari bahasa Yunani, amblyos yang berarti tumpul atau
pudar, dan opia yang berarti mata. Jadi ambliopia berarti penglihatan yang tumpul
atau pudar. Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan, walaupun sudah
diberi koreksi yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral (jarang) yang tidak dapat
dihubungkan langsung dengan kelainan struktural mata maupun jaras penglihatan
posterior.
Ambliopia merupakan penyebab terbanyak penurunan ketajaman penglihatan
pada anak, remaja, dan dewasa muda. Anak merupakan prioritas dalam VISION
2020, yang WHO menggagas untuk dapat mencegah gangguan ketajaman
penglihatan dibanding gangguan lain yang memerlukan deteksi dini misalnya katarak
kongenital, amblyopia merupakan gangguan yang diderita orang awam dan dalam
8
laporan pengelolaan menempati proporsi yang tinggi dalam hubungan antara dokter
mata dengan anak-anak4,5,6.
Ambliopia dikenal juga dengan istilah “mata malas” (lazy eye), adalah
berkurang-nya ketajaman penglihatan pada satu atau kedua mata walaupun sudah
dengan koreksi kacamata terbaik tanpa ditemukan kelainan struktur pada mata
maupun lintasan penglihatan bagian belakang. Ambliopia disebabkan karena
pengalaman penglihatan yang abnormal dari salah satu hal berikut : strabismus;
anisometropia atau kelainan refraksi kedua mata yang tinggi (isoametropia) atau
kekurangan stimulus7.
Klasifikasi Ambliopia
1. Ambliopia Strabismik
Ambliopia yang paling sering ditemui ini terjadi pada mata yang berdeviasi
konstan. Ambliopia strabismik ditemukan pada penderita esotropia dan jarang pada
mata yang eksotropia. Ambliopia umumnya tidak terjadi bila terdapat fiksasi yang
bergantian, sehingga masing-masing mata mendapat jalan/ akses yang sama ke pusat
penglihatan yang lebih tinggi, atau bila deviasi strabismus berlangsung intermiten
maka akan ada suatu periode interaksi binokular yang normal sehingga kesatuan
sistem penglihatan tetap terjaga baik. Ambliopia strabismik diduga disebabkan
karena kompetisi atau terhambatnya interaksi antara neuron yang membawa input
yang tidak menyatu (fusi) dari kedua mata, yang akhirnya menyebabkan dominasi
pusat penglihatan kortikal oleh mata yang berfiksasi dan lama kelamaan terjadi
penurunan respon terhadap input dari mata yang tidak berfiksasi.
Penolakan kronis dari mata yang berdeviasi oleh pusat penglihatan binokular
ini tampaknya merupakan faktor utama terjadinya ambliopia strabismik,namun
pengaburan bayangan foveal oleh karena akomodasi yang tidak sesuai,dapat juga
menjadi faktor tambahan.
Hal tersebut di atas terjadi sebagai usaha inhibisi atau supresi untuk
menghilangkan diplopia dan konfusi (konfusi adalah melihat 2 objek visual yang
berlainan tapi berhimpitan, satu di atas yang lain). Ketika kita menyebut ambliopia
strabismik, kita langsung mengacu pada esotropia, bukan eksotropia. Perlu diingat,
tanpa ada gangguan lain, esotropia primer-lah, bukan eksotropia,yang sering
dihubungkan dengan ambliopia. Hal ini disebabkan karena eksotropia sering
9
berlangsung intermiten dan atau deviasi alternat dibanding deviasi unilateral konstan,
yang merupakan ”prasyarat” untuk terjadinya ambliopia.
b. Fiksasi Eksentrik
Fiksasi eksentrik mengacu kepada penggunaan regio nonfoveal retina terus
menerus untuk penglihatan monokular oleh mata ambliopia. Fiksasi eksentrik
terdapat sekitar 80% dari penderita ambliopia. Fiksasi eksentrik ringan
(derajatminor), hanya dapat dideteksi dengan uji khusus, seperti visuskop, banyak
dijumpai pada penderita ambliopia strabismik dan hilangnya tajam penglihatan
ringan.
Secara klinis bukti adanya fiksasi eksentrik, dapat dideteksi dengan
melihatrefleks kornea pada mata ambliopia tidak pada posisi sentral, dimana
iamemfiksasi cahaya, dengan mata dominan ditutup. Umumnya tajam penglihatan
adalah 20/200 (6/60) atau lebih buruk lagi. Penggunaan regio nonfoveal untuk fiksasi
tidak dapat disimpulkan sebagai penyebab utama menurunnya penglihatan pada mata
yang ambliopia. Mekanisme fenomena ini masih belum diketahui.
2. Ambliopia Refraktif
Terbanyak kedua setelah ambliopia strabismik adalah ambliopia refraktif,
terjadi ketika adanya perbedaan refraksi antara kedua mata yang menyebabkan lama
kelamaan bayangan pada satu retina tidak fokus. Jika bayangan di fovea pada kedua
mata berlainan bentuk dan ukuran yang disebabkan karena kelainan refraksi yang
tidak sama antara kiri dan kanan, maka terjadi rintangan untuk fusi.
Lebih-lebih fovea mata yang lebih ametropik akan menghalangi pembentukan
bayangan (form vision). Kondisi ini diperkirakan sebagian akibat efek langsung dari
bayangan kaburpada perkembangan tajam penglihatan pada mata yang terlibat, dan
sebagian lagi akibat kompetisi interokular atau inhibisi yang serupa (tapi tidak harus
identik) dengan yang terjadi pada ambliopia strabismik. Derajat ringan anisometropia
hyperopia atau astigmatisma (1-2 D) dapat menyebabkan ambliopia ringan. Miopia
anisometropia ringan (< -3D) biasanya tidak menyebabkan ambliopia, tapi miopia
tinggi unilateral (-6 D) sering menyebabkan ambliopia berat.
Begitu juga dengan hyperopia tinggi unilateral (+6 D). Tapi pada beberapa
pasien, gangguan penglihatannya adalah ringan. Bila gangguan penglihatan sangat
besar, sering didapat bukti adanya malformasi atau perubahan degeneratif pada mata
ametropia yang menyebabkan kerusakan fungsional atau menambah faktor
ambliopiogenik.
10
3. Ambliopia Deprivasi
Istilah lama ambliopia ex anopsia atau ”disuse ambliopia” masih sering
digunakan untuk ambliopia deprivasi, dimana sering disebabkan oleh kekeruhan
media congenital atau dini, akan menyebabkan terjadinya penurunan pembentukan
bayangan yang akhirnya menimbulkan ambliopia. Bentuk ambliopia ini sedikit kita
jumpai namun merupakan yang paling parah dan sulit diperbaiki. Ambliopia bentuk
11
ini lebih parah pada kasus unilateral dibandingkan bilateral dengan kekeruhan
identik.
Anak kurang dari 6 tahun, dengan katarak kongenital padat/total
yangmenempati daerah sentral dengan ukuran 3 mm atau lebih, harus dianggap
dapatmenyebabkan ambliopiaberat. Kekeruhan lensa yang sama yang terjadi pada
usia> 6 thn lebih tidak berbahaya.
Ambliopia oklusi adalah bentuk ambliopia deprivasi disebabkan
karenapenggunaan patch (penutup mata) yang berlebihan. Ambliopia berat
dilaporkandapat terjadi satu minggu setelah penggunaan patching unilateral pada
anak usia< 2 tahun sesudah menjalani operasi ringan pada kelopak mata.
Epidemiologi
Walauppun amblyopia hanya mengenai 2-3% populasi, tapi bila dibiarkan akan
sangat merugikan nantinya bagi kehidupan penderita8. Prevalensi ambliopia yang
terdeteksi pada anak-anak diperkirakan antara 0,2-5,4% danpada dewasa antara 0,35-
3,6%. Di Eropa, prevalensi ambliopia pada anak berkisar 1-2,5%. Prevalensi
ambliopia lebih tinggi terjadi pada negara berkembang.Di Indonesia sendiri
didapatkan prevalensi ambliopia pada siswa kelas 1 sekolah dasar (SD) di
Kotamadya Bandung pada tahun 1989 sebesar 1,56%. Penelitian mengenai
ambliopia pada 2268 siswa SD usia 7-13 tahun di Yogyakarta pada tahun 2008
mendapatkan hasil amblyopia 1,5%7.
Faktor Risiko
Salah satu faktor risiko terjadinya amblyopia pada penelitian oleh Brown et
al11. adalah anisometropia astigmatisma. Berdasarkan kemampuan di dalam
menimbulkan amblyopia dari berbagai jenis kelainan refraksi: hipermetropia sebagai
penyebab yang paling menonjol pada proses terjadinya ambliopia. Hal ini
disebabkan karena meskipun anak mendekatkan matanya pada objek,
pengelihatannya akan tetap kabur bahkan lebih kabur. Macula lutea akan semakin
tidak terangsang karena dengan mendekarkan dirinya dengan objek yang ingin
dilihatnya, bayangannya justru akan menjauhi macula lutea.
Astigmatisma merupakan penyebab kedua terjadinya amblyopia, terutama
pada derajad astigmatisma yang tinggi sedangkan myopia jarang disebutkan sebagai
penyebab utama amblyopia12. Menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand13
12
tahun 2003 angka kejadian astigmatisma bervariasi antara 30%-70% dan dikatakan
bahwa kurang lebih 15odari sumbu utama tidak berefek pada risiko amblyopia tetapi
astigmatisma (p=0,0024). Pada penelitian tersebut melibatkan anak-anak dengan
astigmatisma miop simplek untuk menghindari pengaruh kekuatan koreksi sferis
pada kejadian amblyopia, sehingga astigma miop kompositus tidak dimasukkan.
Tatalaksana
Ambliopia tidak dapat sembuh dengan sendirinya dan bila tidak diterapi dapat
menyebabkan gangguan penglihatan permanen. Jika nantinya pada mata yang baik
itu timbul suatu penyakit atau trauma, maka penderita akan bergantung pada
penglihatan buruk dari mata yang ambliopia; oleh karena itu ambliopia harus
ditatalaksana secepat mungkin8.
Prognosis
Hampir seluruh ambliopia dapat dicegah dan bersifat reversibel dengan deteksi
dini dan intervensi yang tepat8,9. Anak dengan ambliopia atau yang beresiko
ambliopia hendaknya dapat diidentifikasi pada usia dini, dimana prognosis
keberhasilan terapi akan lebih baik10.
Tajam Penglihatan
Penderita ambliopia kurang mampu untuk membaca bentuk/huruf yangrapat
dan mengenali pola apa yang dibentuk oleh gambar atau huruf tersebut.
Tajam penglihatan yang dinilai dengan cara konvensional, yang berdasar
kepada kedua fungsi tadi, selalu subnormal. Telah diketahui bahwa penderita
ambliopia sulit untuk mengidentifikasi huruf yang tersusun linear (sebaris)
dibandingkan dengan huruf yang terisolasi,maka dapat kita lakukan dengan
meletakkan balok disekitar huruf tunggal. Hal ini disebut ”Crowding Phenomenon”.
Terkadang mata ambliopia dengan tajam penglihatan 20/20 (6/6) pada
hurufisolasi dapat turun hingga 20/100 (6/30) bila ada interaksi bentuk (countour
interaction). Perbedaan yang besar ini terkadang muncul juga sewaktu pasien yang
sedang diobati kontrol, dimana tajam penglihatannya jauh lebih baik pada huruf
isolasi daripada huruf linear. Oleh karena itu, ambliopia belum dikatakan sembuh
hingga tajam penglihatan linear kembali normal.
13
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada pemeriksaan umum didapatkan pasien tampak sehat, anak cukup kooperatif
dengan pemeriksa. Pada pemeriksaan oftalmologik didapatkan VOD 6/60 Ph+ 6/12 dengan
Crowding Test (+) dengan koreksi kacamata S – 4.00 6/12 dan VOS 6/7,5 Ph+ 6/6 dengan
koreksi kacamata S – 1.00. Dari hasil pemeriksaan ophtalmology didapatkan koreksi
kacamata lebih dari 2 D dan setelah dilakukan koreksi pada VOD tidak mencapai visus 6/6.
Hal ini menunjukkan pada kasus ini mengalami ambliopia. Ambliopia adalah suatu keadaan
dimana tajam penglihatan tidak mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegensinya
walaupun sudah dikoreksi dengan kelainan refraksi. Beda refraksi yang besar antara kedua
mata menyebabkan terbentuknya bayangan kabur pada satu mata. Amblyopia yang terjadi
akibat perbedaan refraksi kedua mata yang terlalu jauh atau lebih dari 2,5 dioptri,
mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan binocular tunggal, demikian pula terjadi pada
unilateral astigmatisme sehingga bayangan menjadi kabur. Perbedaan kelainan refraksi pada
pasien ini sebesar 3 dioptri yang mendukung penegakan diagnosis anisometropia. Ambliopia
anisometropia adalah keadaan bayangan benda pada kedua mata tidak sama besar yang
menimbulkan bayangan pada retina secara relative di luar focus disbanding dengan mata
lainnya, sehingga mata akan memfokuskan melihat dengan satu mata.
Penanganan pasien ini ialah pemberian resep kacamata sesuai hasil streak
retinoscopy, artificial tears eyedrop 4x1 gtt ODS. Hal ini sesuai dengan acuan pustaka dimana
salah satu prinsip penanganan ambliopia refraktif ialah memberikan resep kacamata dengan
koreksi terbaik atau koreksi kacamata secara tepat.Anjuran pada pasien ini ialah melakukan
follow up rutin pemeriksaan mata tiap bulan untuk mengetahui perjalanan penyakit apakah
14
terjadi perbaikan status ambliopia dan mendeteksi dini jika ditemukan perubahan ukuran
koreksi kacamata. Selain itu edukasi yang perlu dibeikan pada pasien ini, mengacu pada
terapi oklusi yaitu menutup mata yang penglihatannya lebih baik/dominan. Prinsip dasar
penutupan mata adalah memberikan kesempatan untuk menggunakan mata yang ambliopia
daripada mata yang sehat sehingga mata tersebut memperoleh peluang untuk
mengembangkan daya penglihatan normal. Idealnya, terapi ambliopia diteruskan hingga
terjadi fiksasi alternat atau tajam penglihatan dengan Snellen linear 20/20 (6/6) pada masing-
masing mata. Hasil ini tidak selalu dapat dicapai. Sepanjang terapi terus menunjukkan
kemajuan, maka penatalaksanaan harus tetap diteruskan. Follow up pasien dengan ambliopia
tergantung dari jenis ambliopia. Prognosis pasien ini ialah dubia ad bonam dengan
penanganan yang tepat. Sesuai acuan pustaka, bila penatalaksanaan dimulai sebelum usia 5
tahun, visus normal dapat tercapai. Hal ini akan semakin berkurang seiring dengan
pertambahan usia dan hanya kesembuhan parsial yang dapat dicapai bila usia lebih dari 10
tahun.Waktu yang diperlukan untuk lamanya terapi tergantung pada beberapa hal, yaitu:
derajat ambliopia, pilihan terapeutik yang digunakan, kepatuhan pasien terhadap terapi yang
dipilih, dan usia pasien. Pada pasien ini apabila datang ke layanan primer, diwajibkan dokter
umum untuk merujuk ke Dokter Spesialis Mata Subdivisi Pediatrik Oftalmologi.
15
DAFTAR PUSTAKA
11. Brown SA, Wih LM, Fu Cl. Prevalence of amblyopia and associated refractive errors
in anadult population in Victoria, Australia. Ophtalmic Epidemiol. 200; 7:249 – 58.
12. Vidyapati. Kelainan Refraksi pada Anak-anak. Seminar Penyakit Mata, Muktamar
XXI IDI. Yogyakarta. 1991: 13-21.
13. Maths Abrahamsson and Johan Sjostrand, Acta Opthalmologica Scandinavica. 2003:
81: 33 Febuary.