Anda di halaman 1dari 26

PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

PAPER

CYSTOID MACULAR EDEMA

Disusun oleh:
MAGHFIRA AULIA
140100031

Pembimbing:
dr.Vanda Virgayanti, M.Ked(Oph), Sp. M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2019
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Cystoid Macular Edema”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepanitraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Vanda
Virgayanti, M. Ked (Oph), Sp. M selaku pembimbing yang telah memberikan
saran dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
dan masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun agar kedepannya menjadi lebih baik.
Besar harapan penulis semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih.

Medan, 7 Mei 2019


Penulis

Maghfira Aulia

i
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2
2.1. Anatomi Retina dan Makula ..................................................... 2
2.2. Histologi Retina dan Makula ..................................................... 5
2.3. Fisiologi Retina .......................................................................... 8
2.4. Cystoid Macular Edema ............................................................. 10
2.4.1. Definisi .......................................................................... 10
2.4.2. Epidemiologi ................................................................. 11
2.4.3. Etiologi .......................................................................... 11
2.4.4. Patofisiologi .................................................................. 12
2.4.5. Manifestasi Klinis ......................................................... 15
2.4.6. Diagnosis ....................................................................... 16
2.4.7. Penatalaksanaan ............................................................ 18
2.4.8. Prognosis ....................................................................... 19
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 21

ii
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


2.1. Lapisan- lapisan bola mata ...............................................................2
2.2. Anatomi Retina ................................................................................3
2.3. Perdarahan Retina ............................................................................4
2.4. Topografi Makula.............................................................................5
2.5. Lapisan retina neural .......................................................................6
2.6. Lapisan-lapisan Retina ....................................................................7
2.7. Fototransduksi dan inisiasi potensial aksi di jalur penglihatan .....10
2.8. Retinopati diabetik nonproliferatif sedang ....................................14
2.9. Honey-comb appearance ..............................................................16
2.10. Pemeriksaan angiografi fluoresens. ...............................................17
2.11. Pemeriksaan OCT ........................................................................17

iii
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cystoid Macular Edema (CME) didefinisikan sebagai kondisi terbentuknya
rongga seperti kista akibat akumulasi cairan di lapisan pleksiformis luar dan
lapisan inti dalam bagian retina.1 Cystoid Macular Edema merupakan kelanjutan
penyakit retina yang sering dan terjadi pada beberapa kondisi yang patologis
seperti inflamasi intraokular, oklusi vena retina, retinopati diabetik, dan paling
sering setelah operasi katarak.2
Studi di Amerika menunjukan bahwa edema angiografi dapat terjadi pada
60% dari operasi intrakapsular, sekitar 15-30 % pada operasi ekstrakapsular, dan
4-11 % pada fakoemulsifikasi. Di sisi lain pada CME klinis terjadi pada 0,1- 2,35
% pasien.3 Insidensi tertinggi pada kedua CME (Angiography CME dan clinical
CME) terjadi pada 6-10 minggu setelah operasi.4 Keseluruhan prevalensi
gangguan visual yang dilaporkan terkait dengan uveitis CME adalah 33 - 42 %.5
Edema makula disebabkan karena banyak cairan bertumpuk di dalam lapisan
retina. Manifestasi yang paling sering dijumpai pada CME adalah berkurangnya
ketajaman penglihatan. Namun, saat ini CME dapat terjadi tanpa penurunan tajam
penglihatan tetapi terdeteksi dengan pencitraan retina.6 Angiography CME yaitu
CME tanpa gejala dan hanya terdeteksi melalui pemeriksaan fluorescein
angiography dan Clinical CME yaitu CME dengan gejala penurunan
penglihatan.3

1
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Retina dan Makula


Bola mata orang dewasa normal hampir bulat, dengan diameter
anteroposterior sekitar 24,2 mm.7 Bola mata memiliki beberapa lapisan (Gambar
2.1):8
1. Tunika Fibrosa: merupakan lapisan terluar bola mata, terdiri dari kornea
di bagian anterior dan sklera di bagian posterior.
2. Tunika Vaskulosa: merupakan lapisan tengah bola mata, dan terdiri dari
tiga bagian, dari posterior ke anterior yaitu koroid, korpus siliaris, dan iris.
3. Tunika Nervosa: merupakan lapisan bola mata yang paling dalam yaitu
retina, melapisi ¾ posterior bola mata dan merupakan awal jalur
penglihatan.

Gambar 2.1 Lapisan-lapisan bola mata.8

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan
yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina
membentang ke anterior hampir sejauh korpus siliaris dan berakhir pada ora
serrata dengan tepi yang tidak rata (Gambar 2.2).

2
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen


retina sehingga juga bertumpuk dengan membran Bruch, koroid, dan sklera.
Permukaan dalam retina menghadap ke vitreus. Retina merupakan bagian mata
yang mengandung reseptor yang menerima rangsang cahaya. Secara kasar lapisan
retina terbagi atas dua lapisan, yaitu lapisan fotoreseptor (pars optika retina) dan
lapisan non-fotoreseptor atau lapisan epitel pigmen.7

Gambar 2.2. Anatomi Retina.7

Pemasok arteri utama ke orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri


oftalmika, cabang besar pertama dari bagian intrakranial. Cabang ini berjalan di
bawah nervus optikus dan bersamanya melewati kanalis optikus menuju orbita.
Cabang intraorbital pertama adalah arteri retina sentralis, yang memasuki nervus
optikus sekitar 8-15 mm di belakang bola mata.7
Retina menerima suplai darah dari dua sumber: koriokapilaria, yang berada
tepat di luar membrana Bruch, yang memperdarahi sepertiga luar retina, termasuk
lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel
pigmen retina; sumber kedua adalah arteri sentralis retina yang memperdarahi dua
pertiga bagian dalam retina, yang berasal dari arteri oftalmika, arteri ini berasal

3
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

dari arteri oftalmikus yang masuk ke mata bersama-sama dengan nervus optikus
dan bercabang pada permukaan dalam retina (Gambar 2.3).7

Gambar 2.3. Perdarahan Retina.7

Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm.


Istilah makula berasal dari kata macula lutea yang berarti bintik kuning,
dikarenakan warna kekuningan akibat adanya pigmen karotenoid (xanthophyl).
Terdapat dua pigmen utama pada makula yakni zeaxanthin dan lutein.7,9
Makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm
yang mengandung pigmen luteal kuning xantofil. Fovea merupakan zona
avaskular di retina pada angiografi fluoresens. Di tengah makula terdapat foveola
yang berdiameter 0,25 mm, yang secara klinis tampak jelas dengan oftalmoskop
sebagai cekungan yang menimbulkan pantulan khusus. Foveola merupakan bagian
retina yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya mengandung fotoreseptor kerucut.7
Secara topografi, makula terdiri dari umbo, foveola, fovea, parafovea dan
perifovea (Gambar 2.4). Umbo adalah pusat dari foveola, secara histologist terdiri
dari selapis sel basal tipis, sel – sel Muller dan sel kerucut. Foveola merupakan

4
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

area pusat cekungan di dalam fovea yang berisi sel kerucut, sel-sel Muller dan sel
glial. Fovea adalah pusat dari makula yang berupa cekungan berdiameter kurang
lebih 1,5 mm. Pada area ini terlihat bahwa sel kerucut terdorong ke tepi dan
lapisan pleksiforma luar ( lapisan Henle ) menjadi horizontal, sedangkan serat sel
Muller tersusun secara miring. Di dalam fovea terdapat area Fove Avascular Zone
(AFC). Parafovea memiliki ketebalan 1,5 mm mengelilingi fovea, area ini
memiliki sepuluh lapis sel retina. Perifovea juga memiliki ketebalan 1,5 mm, area
ini mengelilingi parafovea dan merupakan bagian terluar dari makula.
Vaskularisasi makula berasal dari arteri retina sentralis, korio kapiler, areteri
silliaris retina yang berjalan dari papil nervus optikus ke makula.9

Gambar 2.4 Topografi Makula.


1. Umbo, 2. Foveola ,3. Fovea, 4. Parafovea, 5. Perifovea 9

2.2. Histologi Retina dan Makula


Retina merupakan lapisan internal mata yang terdiri atas dua lapisan utama.
Lapisan pigmen luar adalah epitel yang berada pada membran Bruch tepat di
dalam koroid. Lapisan dalam adalah retina neural, mengandung neuron dan
fotoreseptor. Epitel pigmen terdiri atas se1-se1 kolumnar dengan inti basal.
Lapisan ini juga mengandung granula melanin. Granula melanin adalah sejumlah
penjuluran dan sitoplasma apikal. Regio sel ini juga mengandung sejumlah besar
vakuola fagositik, lisosom sekunder, peroksisom, dan banyak retikulum

5
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

endoplasma kasar dengan regio khusus di sel-sel ini untuk isomerisasi all trans
retinal (berasal dari vitamin A) dan pengangkutannya ke fotoreseptor.10
Lapisan dalam merupakan retina neural, mengandung neuron dan fotoreseptor.
Retina neural memiliki tiga lapisan neuron utama (Gambar 2.5). Suatu lapisan luar
sel fotosensitif, sel kerucut dan batang; suatu lapisan pertengahan neuron bipolar,
yang menghubungkan sel kerucut dengan batang; dan lapisan internal sel
ganglion, yang bersinaps dengan sel bipolar melalui dendritnya dan mengirimkan
akson yang bergabung membentuk nervus optikus yang meninggalkan mata dan
menuju otak.10

Gambar 2.5. Lapisan retina neural.10

Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut


(Gambar 2.6):7
1. Membran limitans interna
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju nervus optikus
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion
dengan sel amakrin dan sel bipolar
5. Lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar amakrin dan horizontal
6. Lapisan pleskiform luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan
sel horizontal dengan fotoreseptor

6
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor


8. Membran limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10. Epitel pigmen retina

Gambar 2.6. Lapisan-lapisan Retina.8,10

Area posterior retina tempat nervus optikus meninggalkan retina tidak


memiliki fotoreseptor dan dikenal sebagai bintik buta retina, atau diskus optikus.
Pada sisi temporal diskus optikus, di kutub posterior aksis optik, terdapat area
khusus retina yang disebut fovea sentralis. Fovea adalah suatu cekungan dangkal
yang hanya memiliki sel kerucut di tengahnya, dengan sel bipolar dan ganglion
yang berada hanya di tepi. Pembuluh darah tidak melalui area ini dan cahaya jatuh
langsung pada sel kerucut di bagian tengah fovea ini, yang membantu
menciptakan ketajaman penglihatan yang sangat tepat di region ini.10
Struktur yang mengelilingi fovea sentralis adalah makula lutea, atau makula,
yang berdiameter 5,5 mm. Di tempat ini, semua lapisan retina dijumpai dan kedua
lapisan pleksiformis banyak mengandung berbagai karotenoid, yang memberikan
warna kuning di area ini. Karotenoid memiliki sifat antioksidan dan menyaring
cahaya dengan panjang gelombang pendek yang berpotensi merusak sehingga
membantu melindungi sel kerucut fovea.10

7
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

2.3. Fisiologi Retina


Fungsi utama mata adalah memfokuskan berkas cahaya dari lingkungan ke sel
batang dan sel kerucut retina. Fotoreseptor kemudian mengubah energi cahaya
menjadi sinyal listrik untuk ditransmisikan ke sistem saraf pusat. Fototransduksi
oleh sel retina mengubah rangsangan cahaya menjadi sinyal saraf. Fotoreseptor
(sel batang dan sel kerucut) terdiri dari tiga bagian:
1. Segmen luar, yang terletak paling dekat dengan eksterior mata,
menghadap ke koroid. Bagian ini mendeteksi rangsangan cahaya.
2. Segmen dalam, yang terletak di bagian tengah fotoreseptor. Bagian ini
mengandung perangkat metabolik sel.
3. Terminal sinaps, yang terletak paling dekat dengan bagian interior
mata, menghadap sel bipolar. Bagian ini menyalurkan sinyal yang
dihasilkan fotoreseptor .11
Setiap retina mengandung sekitar 150 juta fotoreseptor, dan lebih dari satu
milyar molekul fotopigmen mungkin terkemas di dalam segmen luar setiap
fotoreseptor. Fotopigmen mengalami perubahan kimiawi ketika diaktifkan oleh
sinar. Melalui serangkaian tahap, perubahan yang dipicu oleh cahaya ini dan
pengaktifan fotopigmen yang kemudian terjadi menyebabkan terbentuknya
potensial reseptor yang akhirnya menghasilkan potensial aksi. Potensial aksi
menyalurkan informasi ini ke otak untuk pemprosesan visual. Fotopigmen terdiri
dari dua komponen: opsin, suatu protein yang merupakan bagian integral dari
membran diskus; dan retinen, suatu turunan vitamin A yang terikat di bagian
dalam molekul opsin . Retinen adalah bagian fotopigmen yang menyerap
cahaya.11
1. Aktivitas fotoreseptor dalam gelap
Dalam keadaan gelap, Membran plasma segmen luar fotoreseptor
mengandung saluran Na+ bergerbang kimia. Saluran ini berespons terhadap
pembawa pesan kedua internal, GMP siklik atau cGMP (Guanosin Monofosfat
Cyclic). Pengikatan cGMP ke saluran Na+ ini membuat saluran ini tetap terbuka.
Tanpa cahaya, konsentrasi cGMP tinggi (Gambar 2.8a). Karena itu, saluran Na+.
fotoreseptor, terbuka jika tidak terdapat rangsangan, yaitu dalam keadaan gelap.

8
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Kebocoran pasif Na+ masuk ke sel menyebabkan depolarisasi fotoreseptor.


Penyebaran pasif depolarisasi ini dari segmen luar (tempat lokasi saluran Na+) ke
ujung sinaps (tempat penyimpanan neurotransmitter fotoreseptor) membuat
saluran Ca2+ berpintu voltase di ujung sinaps tetap terbuka. Masuknya kalsium
memicu pelepasan neurotransmirer dari ujung sinaps selama dalam keadaan
gelap.11
2. Aktivitas fotoreseptor dalam keadaan terang
Pada pajanan ke sinar, konsentrasi cGMP menurun melalui serangkaian reaksi
biokimia yang dipicu oleh pengaktifan fotopigmen (Gambar 2.7b). Retinen
berubah bentuk ketika menyerap sinar. Perubahan konformasi ini mengaktifkan
fotopigmen. Sel batang dan sel kerucut mengandung suatu protein G yang
dinamai transdusin. Fotopigmen yang telah aktif mengaktifkan transdusin, yang
sebaliknya mengaktifkan enzim intrasel fosfodiesterase. 11
Enzim ini menguraikan cGMP sehingga konsentrasi cGMP di fotoreseptor
berkurang. Penurunan cGMP memungkinkan saluran Na+ berpintu kimiawi
tertutup. Penutupan saluran ini menyebabkan hiperpolarisasi membran.
Hiperpolarisasi ini, yang merupakan potensial reseptor secara pasif menyebar dari
segmen luar ke ujung sinaps fotoreseptor. Di sini perubahan potensial
menyebabkan penutupan saluran Ca2+ berpintu voltase dan, karenanya, penurunan
pelepasan neurotransmitter dari ujung sinaps. Semakin terang cahaya, semakin
besar respons hiperpolarisasi dan semakin besar penurunan pelepasan
neurotransmiter. 11
Fotoreseptor bersinaps dengan sel bipolar. Sel-sel ini, selanjutnya, berakhir di
sel ganglion, yang akson-aksonnya membentuk saraf optik untuk transmisi sinyal
ke otak. Neurotransmiter yang dibebaskan dari ujung sinaps fotoreseptor memiliki
efek inhibitorik pada sel bipolar. Penurunan pengeluaran neurotransmiter yang
menyertai hiperpolarisasi reseptor yang diinduksi oleh cahaya menurunkan efek
inhibitorik pada sel bipolar. Semakin besar pencahayaan pada sel reseptor
semakin besar pengurangan inhibisi terhadap sel bipolar dan semakin besar efek
eksitasi pada sel-sel berikutnya dalam jalur penglihatan ke otak.11

9
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Gambar 2.7. Fototransduksi dan inisiasi


potensial aksi di jalur penglihatan.11

2.4. Cystoid Macular Edema


2.4.1. Definisi
Cystoid Macular Edema (CME) didefinisikan sebagai kondisi terbentuknya
rongga seperti kista akibat akumulasi cairan di lapisan pleksiformis luar dan
lapisan inti dalam bagian retina.1 Cystoid Macular Edema (CME) merupakan

10
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

bentuk penebalan retina yang terjadi lokal di mana cairan terakumulasi dalam
bentuk ruang kistik terutama pada lapisan luar retina pada makula.12

2.4.2. Epidemiologi
Frekuensi CME yang tidak terkait dengan operasi katarak sangat bervariasi,
baik di Amerika Serikat maupun internasional, tergantung pada etiologi atau
kondisi yang mendasari terjadinya CME. Angka kejadian yang bervariasi karena
kesulitan dalam mengamati CME yang tidak jelas secara klinis, bias ahli bedah
dalam melaporkan CME, dan kurangnya dalam pemeriksaan angiografi fluoresens
atau Optical Coherence Tomography (OCT).6
Studi di Amerika menunjukan bahwa edema angiografi dapat terjadi pada 60
% dari operasi intrakapsular, sekitar 15-30 % pada operasi ekstrakapsular, dan 4-
11 % dalam fakoemulsifikasi.3 Keseluruhan prevalensi gangguan visual yang
dilaporkan terkait dengan uveitis CME adalah 33 - 42 %.5
Cystoid Macular Edema dengan berbagai etiologi sering menyebabkan
hilangnya penglihatan yang signifikan biasanya dalam kisaran 20/40 hingga
20/200. Distribusi antara laki-laki dan perempuan memiliki prevalensi yang sama
terhadap kejadian CME. Usia kejadian CME bervariasi sesuai dengan etiologi,
misalnya pada retinipati diabetik terjadi pada usia 40 tahun ke atas.6

2.4.3. Etiologi
Walaupun penyebab paling umum yang sering dapat menyebabkan terjadinya
edema makula kistoid adalah setelah dilakukannya operasi katarak, namun
berbagai macam kondisi dapat diasosiasikan dengan penumpukan cairan pada
ruang kistoid di regio makula.6 Berikut merupakan beberapa penyebab tersering
dari CME:13
1. Pasca operasi katarak
2. Penyakit vaskular retina
3. Inflamasi intraokular
4. Akibat efek samping obat-obatan
5. Distrofi retina

11
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

2.4.4. Patofisiologi
Edema makula disebabkan karena banyak cairan bertumpuk di dalam lapisan
retina. Pada keadaan normal, kadar cairan di dalam retina jumlahnya tetap dan
diatur keseimbangannya oleh tekanan osmotik dan hidrostatik antara retina dan
vaskular di sekitarnya, dan keduanya dipisahkan oleh blood-retina barrier.
Kerusakan atau gangguan pada blood- retina barrier ini menyebabkan cairan
dapat berakumulasi di ronggga kistoid di dalam retina.6
Beberapa mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan bagaimana bisa
terjadi edema makula kistoid ini. Karakteristik dari distribusi kebocoran
vaskular dan edema retina mungin dapat dijelaskan secara baik melalui mediator
difusi, (contohnya prostaglandin) yang dilepaskan oleh mata. Mediator
inflamasi ini dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah retina.6

1. Pasca operasi katarak


Cystoid Macular Edema (CME) yang terjadi setelah operasi katarak adalah
Irvine-Gass Syndrome. Walaupun penyebab CME setelah operasi katarak belum
diketahui secara pasti namun mekanisme utama diperkirakan berhubungan dengan
inflamasi.14 Trauma operasi menyebabkan pelepasan fospolipid membran sel.
Dengan enzim phospolipase A2, fospolipid diubah menjadi asam arakidonat.
Asam arakidonat dimetabolisme oleh cyclooxygenase-1 dan 2 menjadi
prostaglandin yang merupakan mediator utama inflamasi.15
Difusi posterior dari mediator inflamasi diduga menyebabkan kerusakan
blood-retinal barrier (BRB). Blood-retinal barrier (BRB) bertanggung jawab
mencegah perpindahan plasma ke dalam retina dan menjaga homeostasis retina.
Kerusakan BRB menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler perifovea
sehingga menimbulkan penumpukan cairan intraretina dan membentuk kista.14
Pada operasi katarak, manipulasi operasi menyebabkan berbagai tingkatan trauma
iris. Iris merupakan jaringan yang aktif bermetabolisme dan melepaskan mediator
inflamasi ketika terjadi trauma sehingga dapat menimbulkan komplikasi CME.16

12
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

2. Penyakit vaskular retina


a. Retinopati Diabetik
Salah satu penyebab paling umum dari kehilangan pengelihatan pada pasien
dengan diabetes adalah edema makula diabetik.2 Retinopati diabetik adalah suatu
mikroangiopati progresif yang ditandai dengan kerusakan dan sumbatan
pembuluh darah kecil. Kelainan patologik yang paling dini adalah penebalan
membran basal endotel kapiler dan berkurangnya jumlah perisit. Kapiler
membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik yang disebut
mikroaneurisma.7
Keparahan dapat ringan dan tanpa gejala sampai kehilangan penglihatan yang
berat. Edema makula diabetik adalah istilah umum sebagai penebalan retina pada
diameter dua diskus dari pusat foveal baik secara fokal ataupun difus. Edema
fokal sering terkait dengan eksudat keras yang berbentuk bundar (deposit
lipoprotein) yang dihasilkan dari kebocoran mikroaneurisma. Edema difus
merupakan kerusakan blood-retinal barrier yang lebih luas, ditandai dengan
kebocoran mikroaneurisma dan kapiler retina.2
Retinopati non proliferatif ringan ditandai oleh sedikitnya satu
mikroaneurisma. Pada retinopati nonproliferatif sedang, terdapat mikroaneurisma
luas, perdarahan intraretina, gambaran manik-manik pada vena (venous bending),
dan / atau bercak-bercak. Retinopati nonproliferatif berat ditandai oleh bercak -
bercak cotton wool, gambaran manik-manik pada vena, dan kelainan
mikrovaskular intraretina. Stadium ini terdiagnosis dengan ditemukannya
perdarahan intraretina di empat kuadran, gambaran manik-manik vena di dua
kuadran, atau kelainan mikrovaskular intraretina berat di satu kuadran.7

13
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Gambar 2.8 Retinopati diabetik nonproliferatif sedang


menunjukkan gambaran mikroaneurisma, perdarahan dalam,
perdarahan berbentuk nyala-api, eksudat, dan bercak cotton-wool.7

b. Oklusi Vena Retina


Oklusi vena retina adalah gangguan vaskular retina yang sering terjadi dan
berpotensi menimbulkan kebutaan.7 Oklusi vena retina menyebabkan peningkatan
tekanan intravaskular, kerusakan blood-retinal barrier, dan kebocoran vaskular.
Hipoksia retina bagian dikaitkan dengan peningkatan kadar Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF) dengan adanya mediator-mediator inflamasi seperti nitric
oxide dan sitokin yang berkontribusi menyebabkan rupturnya blood-retinal
barrier. Hipertensi sering dikaitkan dengan oklusi vena retina dengan
meningkatkan tekanan hidrostastik intrakapiler.5

3. Inflamasi Intraokular
Edema makula kistoid dapat terjadi setelah adanya gangguan pada blood-
retinal barrier dan merupakan penyebab utama dari kehilangan pengelihatan
pada pasien dnegan uveitis. Inflamasi intraocular menyebabkan kerusakan sel
yang mengakibatkan aktivasi kaskade asam arakidonat dan pelepasan
prostaglandin, nitrit oksida, interleukin-6, dan VEGF. Mediator inflamasi ini
menyebabkan hiperpermeabilitas pada dinding pembuluh darah retina dan
menyebabkan kerusakan retinal pigmented epithelium sehingga menghasilkan
cairan dan protein intravaskular ke interstitial retina.5

14
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Uveitis kronis sering diasosiasikan dengan edema makula kistoid, umumnya


dikarenakan karena terjadinya kerusakan pada blood-retina barier. Inflamasi yang
berjalan kronis dapat merusak keutuhan dari pembuluh darah perimakular, yang
pada akhirnya menyebabkan pembentukan rongga kistoid pada makula. Biasanya
kasus ini terjadi pada kedua mata.6 Radang uvea dapat mengenai hanya bagian
depan jaringan uvea atau selaput pelangi (iris) dan keadaan ini disebut iritis. Bila
mengenai bagian tengah uvea maka keadaan ini disebut siklitis. Biasanya iritis
akan disertai dengan siklitis yang disebut sebagai uveitis.17

4. Akibat efek samping obat-obatan


Penanganan glaukoma dengan latanaprost dihubungakan dengan terjadinya
CME. Latanoprost disebutkan mempunyai efek mirip prostaglandin yang
menyebabkan CME. Biasanya CME sembuh setelah penghentian obat.6

5. Distrofi retina
Distrofi retina biasanya pada retinitis pigmentosa.13 Retinitis pigmentosa
merupakan salah satu kelainan pada retina yang dikaitkan dengan terjadinya
CME. Retinitis pigmentosa merupakan sekelompok degenerasi retina herediter
yang ditandai oleh disfungsi progresif fotoreseptor dan disertai oleh hilangnya sel
secara progresif dan akhirnya atrofi beberapa lapisan retina.7 Studi menunjukkan
bahwa terjadi kenaikan permeabilitas dari epitel pigmen retina dan kapiler
perifoveal pada pemeriksaan dengan angiografi. Penelitian menemukan suatu
antibodi antiretina pada pasien dengan retinitis pigmentosa yang memiliki CME,
sehingga dapat disimpulkan bahwa proses ini terkait dengan autoimun.6

2.4.5. Manifestasi Klinis


Umumnya edema makula kistoid muncul keluhan berupa kehilangan
penglihatan sentral pada salah satu mata, walaupun pada beberapa kasus dapat
terjadi pada kedua mata, tergantung pada etiologinya.6 Namun, saat ini CME dapat
terjadi tanpa penurunan tajam penglihatan tetapi terdeteksi dengan pencitraan
retina.5 Angiography CME yaitu CME tanpa gejala dan hanya terdeteksi melalui
pemeriksaan fluorescein angiography dan Clinical CME yaitu CME dengan

15
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

gejala penurunan penglihatan.3 Onset dari gejalanya umumnya gradual, namun


beberapa pasien mungkin dapat menyadarinya secara mendadak saat mereka
memeriksa salah satu mata mereka secara terpisah. Gejala lain yang dapat
muncul berkaitan dengan etiologi yang mendasari terjadinya edema tersebut.6
Manifestasi klinis lainnya dari edema makula termasuk mikropsia, di mana
tampak objek lebih kecil dari sebenarnya dan metamorfopsia.5 Jika edemanya
persisten, penurunan pengelihatan bisa terjadi secara permanen.13
Pasien dengan oklusi vena retina biasanya datang dengan penurunan
penglihatan mendadak tanpa nyeri. Pasien biasanya berusia lebih dari 50 tahun,
dan lebih dari separuhnya mengidap penyakit.7
Pasien dengan Irvine-Gass Syndrome datang dengan keluhan mata kabur 4-6
minggu setelah operasi katarak. Meskipun demikian gejala dapat muncul lebih
awal kira-kira 2 minggu setelah operasi atau bahkan lebih lambat yakni 12
minggu setelah operasi katarak.12

2.4.6. Diagnosis
1. Diagnosis CME dapat ditegakkan dari anamnesis dengan adanya gejala klinis
berupa pandangan kabur, mikropsia, dan metamorfopsia. Adanya riwayat
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dan hipertensi. Adanya riwayat
operasi katarak, ataupun penggunaan obat-obatan seperti latanoprost.1,5,6
2. Pada pemeriksaan visus didapatkan visus 20/40 atau lebih buruk.12
3. Pemeriksaan oftalmoskopi
Pemeriksaan dengan oftalmoskop tampak honey-comb appearance di daerah
makula oleh karena adanya multiple cystoid oval spaces (Gambar 2.9).13

Gambar 2.9 Pemeriksaan funduskopi tampak


honey-comb appearance pada Cystoid Macular Edema13

16
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

4. Fluorescein angiography
Fluorescein angiography merupakan gold standard dalam diagnosis CME.
Pada CME dikenali dengan penurunan tajam penglihatan yang tidak diketahui
penyebabnya, dengan karakteristik flower petal patern atau petaloid appearance
of cystic space (Gambar 2.10) pada pemeriksaan fluorescein angiografi atau
dengan peningkatan ketebalan retina pada pemeriksaan Optical Coherence
Tomography (OCT).14,18

Gambar 2.10 Pemeriksaan angiografi fluoresens tampak


petaloid pattern pada Cystoid Macular Edema.18

5. Optical Coherence Tomography (OCT)


Optical Coherence Tomography adalah sebuah pemeriksaan imaging non
invasif dengan memberikan gambar penampang makula (Gambar 2.11) dengan
resolusi tinggi dan dapat menentukan ada atau tidaknya edema makula kistoid
dengan memvisualisasikan rongga yang terisi cairan di retina.6,14

Gambar 2.11. Pemeriksaan OCT pada edema makula kistoid


akibat retinopati diabetik.6

17
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan edema makula kistoid
ditentukan bergantung pada etiologi yang mendasari terjadinya edema. Apabila
dicurigai terjadi akibat retinopati diabetik, maka dapat dilakukan gula darah dan
toleransi glukosa. Apabila terjadi akibat uveitis kronis, maka evaluasi yang
menyeluruh harus dilakukan terhadap uveitisnya tersebut.6

2.4.7. Penatalaksanaan
Pada CME karena diabetes atau oklusi vena retina pemberian anti-VEGF
dapat efektif.19 Vascular Endothelial Growth Factor meningkatkan permeabilitas
vaskular dengan melonggarkan endothelial cell junction sehingga meningkatkan
permeabilitas dan terjadi kebocoran plasma. Yang termasuk Anti VEGF yaitu:
pegaptanib, ranibizimab, dan bevacizumab.2 Pada penderita makular edema
diabetikum suntikan triamsinolon memberikan perbaikan penglihatan dan laser
koagulasi dapat dilakukan pada penderita makular edema diabetikum.17
Terapi yang digunakan pada pasien edema makula yang diakibatkan oleh
oklusi vena retina adalah kombinasi terapi dari laser photocoagulation Hal ini
dilaporkan bisa memperbaiki daya penglihatan.6
Carbonic anhidrase inhibitor (topikal atau sistemik) digunakan untuk
pengobatan CME akibat distrofi retina bawaan.19 Mekanisme obat ini akan
menghambat enzim carbonic anhidrase sehingga terjadi peningkatan transport
cairan epitel pigmen retina dari ruang sub retina ke koroid dan dapat mengurangi
edema. Asetazolamid merupakan agent terapetik dalam penatalaksanaan edema
makula akibat retinitis pigmentosa.2
CME dapat diberikan ketorolak topikal 0,5 % atau prednison asetat 1 %. Pada
suatu penelitian klinis dengan ketorolak topikal 0,5 % atau prednison asetat 1 %
memberikan efek yang baik pada CME kronik. Untuk memperbaiki tajam
penglihatan, kombinasi ketorolak topikal 0,5 % dan prednison asetat 1 % 4 kali
sehari memberikan hasil yang lebih baik dari pada pemberian obat satu jenis
saja.18

18
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

Untuk peradangan atau CME setelah operasi dapat diberikan pengobatan


dengan beberapa tahap berikut:
1. Topikal: steroid (deksametason 0,1% 4 kali perhari) dikombinasikan
dengan Non steroid anti-inflamatory drugs (NSAID) (ketorolak 0,3 %
3 kali perhari)
2. Kemudian dievaluasi 4-6 minggu, jika menetap:
3. Berikan steroid periokular ( posterior sub tenon/ metilprednisolon/
triamsinolon), dan lanjutkan pengobatan topikal
4. Lalu dievaluasi 4-6 minggu jika menetap:
5. Pertimbangkan mengulangi pengobatan periokular, atau berikan
steroid intravitreal (triamsinolon 2 mg), vitektomi, steroid sistemik
(prednisolon 40 mg satu kali perhari, titrasi sampai 3 minggu, atau IV
metilprednisolon 500 mg dosis tunggal, CME uveitis bisa memerlukan
dosis yang lebih tinggi) , topikal atau oral carbonic anhidrase inhibitor
( dorzolamid, asetazolamid).19

Terapi bedah diindikasikan ketika sumber yang menimbulkan clinical CME


diketahui serta tidak respon terhadap pemberian obat. Neodymium- doped Yttrium
Alumunium Garnet (Nd:YAG) laser atau vitrektomi dapat digunakan untuk
menghilangkan perlengketan vitreous terhadap insisi katarak sehingga
membebaskan traksi vitreomakula.18

2.4.8. Prognosis
Prognosis visual pada mata dengan CME tergantung pada etiologinya. Jika
CME membaik setelah pengobatan, ketajaman visual 20/40 atau lebih baik umum
terjadi. Namun, dengan CME yang berlangsung lama, visus 20/100 hingga 20/200
sering terjadi. Pasien CME setelah operasi katarak dapat mencapai visus 6/9 atau
lebih dalam waktu 3-12 bulan dari operasinya.6,19

19
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

BAB III
KESIMPULAN

Cystoid Macular Edema (CME) didefinisikan sebagai kondisi terbentuknya


rongga seperti kista akibat akumulasi cairan di lapisan pleksiformis luar dan
lapisan inti dalam bagian retina. Frekuensi CME yang tidak terkait dengan operasi
katarak sangat bervariasi, baik di Amerika Serikat maupun internasional,
tergantung pada etiologi atau kondisi yang mendasari terjadinya CME. Beberapa
penyebab tersering dari CME: pasca operasi katarak, penyakit vaskular retina,
inflamasi intraocular, akibat efek samping obat-obatan, dan distrofi retina.
Diagnosis CME dapat ditegakkan dari anamnesis.pemeriksaan visus,
pemeriksaan oftalmologi, fluorescein angiography, Optical Coherence
Tomography (OCT), dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaa CME dapat
dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa NSAID, steroid, carbonic
anhidrase inhibitor, anti VEGF ; maupun tatalaksana berupa pembedahan sesuai
etiologi yang mendasari. Prognosis visual pada mata dengan CME tergantung
pada etiologinya.

20
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Kanski, Jack J. Clinical Ophthalmology. 7th ed. Cina. Elsevier .2011: 630.
2. Rotsos TG, Moschos MM. Cystoid Macular Edema. Clinical
Ophthalmology.. 2008; 2 (4): 919-930.
3. Carricondo PC, Abalem MF, Machado CG, Junior NK. Prophylaxis and
treatment of cystoid macular edema after cataract surgery. Rev Bras
Oftalmo. 2015;74 (2): 113-8.
4. American Academy Of Ophthalmology. Basic Clinical Science Course:
Retina and Vitreous. Section 12th . San Fransisco. American Academy Of
Ophthalmology. 2018.
5. Schaal S, Kaplan HJ. Medical and Surgical Management: Cystoid Macular
Edema. USA. Springer. 2017.
6. Eshraghi H. Nonpseudophakic Cystoid Macular Edema. Emedicine. 2018.
7. Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2008 Vaughan GD, Asbury T. Oftalmologi
Umum. Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Wangko S. Histofisiologi Retina. Jurnal Biomedik. 2013; 5(3): 1-6
9. Efendi RG , Wimbo S. Idiopatihic Macular Hole. Jurnal Oftalmologi
Indonesia. 2008 ; 6 (3): 158-168.
10. Mescher AL. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas. Edisi ke-12.
Jakarta: EGC. 2011: 409-414.
11. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2012
12. Helvinda W, Puteri ER. Irvine Gass Syndrome. Jurnal Kesehatan Andalas.
2018; 7(1): 43-50
13. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. 4th ed. New Delhi: New
Age International Ltd; 2007: 273-4
14. Tsilimbaris MK, Tsika C, Diakonis V, Karavitaki A, Pallikaris I. Cataract
Surgery: Macular Edema and Cataract Surgery. 2013: 321- 336
15. Cho H, Madu A. Etiology and treatment of the inflammatory causes of
cystoids macular edema. Jurnal of Inflammation Research. 2009; 2: 37-43

21
PAPER NAMA : MAGHFIRA AULIA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 140100031
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA MEDAN

16. Lobo C. Pathogenesis of pseudophakic cystoid macular oedema. European


Ophthalmic Review. 2012; 6(3):178–84.
17. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2008: 180-234.
18. American Academy Of Ophthalmology. Basic Clinical Science Course:
Lens and cataract. Section 11th . San Fransisco. American Academy Of
Ophthalmology. 2014: 181-183.
19. Denniston AKO, Murray PI. Oxford Handbook of Ophthalmology. 4th
Edition. London. Oxford University Press. 2018: 604-5.

22

Anda mungkin juga menyukai