Anda di halaman 1dari 35

MINI-CEX

SINUSITIS

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Pendidikan Profesi Dokter


Stase Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan dan Kepala Leher
RSUD Tidar Kota Magelang

Diajukan Kepada :
dr. M. Chrisma P, Msi.Med., Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Aulia Rahmah (20130310059)
Rianti (20130310078)

SMF BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN DAN KEPALA LEHER


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Perum Griya Banjar Permai
Tanggal pemeriksaan : 18 Mei 2018

B. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Hidung tersumbat dan nyeri.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT RSUD Tidar Kota Magelang dengan keluhan hidung
tersumbat dan nyeri di sekitar hidung sejak lebih kurang 1 minggu yang lalu. Keluhan
disertai telinga berdenging dan batuk pilek yang tak kunjung sembuh. Pasien juga
mengatakan keluhan juga disertai dengan demam, cairan kental kekuningan keluar dari
hidung dan berbau tidak sedap. Keluhan pertama kali sekitar ± 5 tahun yang lalu pasien
sudah dianjurkan untuk operasi namun pasien mengaku belum berani. Dalam 5 tahun
pasien rutin kontrol ke poli RSUD Tidar. Dalam 1 minggu terakhir pasien mengaku
keluhan memberat dan tidak tertahankan karena mengganggu aktivitas. Setelah di
lakukan pemeriksaan di poli THT pasien dianjurkan untuk mondok untuk penanganan
lebih lanjut.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengalami hal serupa sebelumnya dalam 5 tahun terakhir kambuh
kambuhan. Pasien mempunyai riwayat DM sejak 7 tahun yang lalu, riwayat sakit
jantung disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan hal yang sama. HT (-), DM (-)
E. Riwayat Personal Sosial
Pasien dengan status ekonomi cukup

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Vital sign : TD: 110/80 mmHg
Nadi: 80x/menit
Suhu: 36 oC
d. Aktivitas : Normoaktif
e. Kooperativitas : Cukup
f. Status Gizi : Cukup
g. Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
h. Thoraks : Simetris, tidak ada retraksi.
i. Paru : SDV +/+
j. Jantung : S1/S2 reguler
k. Abdomen : Supel, nyeri tekan (-)
l. Kulit : Sianosis (-), ikterik (-)
m. Ekstremitas : Akral hangat, edem tungkai (-/-)

2. Status Lokalis (THT)


Telinga Dextra Sinistra
Tragus Nyeri tekan (-), edema Nyeri tekan (-), edema
(-) (-)
Aurikula Normotia, hematoma (- Edema(-), nyeri tarik
), nyeri tarik aurikula (-)
aurikula (-), pus(-),
hiperemis(-)
Liang Telinga Lapang, serumen (+), Lapang, serumen (+),
hiperemis (-), edema (-), hiperemis (-), edema (-),
otorhea (-) otorhea (-)
Membran Timpani Intak : retraksi (-), Intak : retraksi (-),
bulging (-), edema (-), bulging (-), edema (-),
cone of light (+) cone of light (+)

Hidung Dextra Sinistra


Bentuk Simetris Simetris
Mukosa Hiperemi (-) Hiperemi (-)
Sekret (+) (+)
Konka Inferior Hipertrofi Hipertrofi
Polip - -
Massa - -
Discharge - -
Septum Nasi Ditengah, tidak ada deviasi, perdarahan (-)

Tenggorokan Dextra Sinistra


Tonsil T1 T1
DPP Hiperemi (-)
Uvula Ditengah, hiperemi (-), edema (-), bentuk normal

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
Lekosit 7.2 4.5-11 Ribu/ul
Eritrosit 4.0 4.50-6.5 Juta/ul
Hemoglobin 11.2 11.5-16.5 g/dl
Hematokrit 33,2 40-54 Vol%
Trombosit 321 150-450 Ribu/ul
MCV 79.9 76-96 Fl
MCH 27,5 27.5-32 Pg
MCHC 34.5 30-35 g/dl
CT 5’00” 1-10 Menit
BT 2’30” 2-7 menit
Hitung Jenis
Eosinofil% 3 1-6 %
Basofil% 0 0.0-1.0 %
Limfosit% 39 20-45 %
Monosit% 7 2-10 %
Neutrofil% 55 40-75 %
Kimia Klinik
GDS 487 70-140 mg/dL
Imunologi/Serologi
HBs Ag (Rapid) Negatif Negarif
Kesan :
Sinusitis maxillaris bilateral dan ethmoidalis
E. DIAGNOSIS BANDING
- Rhinitis
F. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis utama :
- Pansinusitis

Diagnosis penyerta
- Diabetes melitus tipe 2
- Vertigo
- Tinnitus
- Hearing loss auris sinistra

G. TERAPI
 Inf. Nacl 20 tpm
 Inj. ketorolac 3x1 Amp
 Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
 Inj. Kalnex 3x500 mg
 Proneuron prn (bila pusing)
 Tebokan 0-0-1
 Alprazolam 0.25 mg 1x1
 Lantus 1x12 iu

H. EDUKASI

 Pasien dianjurkan untuk tetap menjaga kebersihan hidung, termasuk rutin cuci
hidung.
 Antibiotik harus diminum sampai habis walaupun gejala sudah hilang, dengan
tujuan eradikasi kuman penyebab dapat tercapai, dan tidak sampai
menimbulkan resistensi serta komplikasi.
 Jika keluhan berulang, sehingga mengganggu aktivitas, pertimbangkan untuk
tindakan bedah.
 Pasien hendaknya kontrol ke dokter untuk dievaluasi.

BAB II
PENDAHULUAN

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Data

dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada

urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan

di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan

oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data

penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-

Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rhinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435

pasien, 69%nya adalah sinusitis.

Menurut American Academy of Otolaryngology - Head & Neck Surger 1996, istilah

sinusitis lebih tepat diganti dengan rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan:

(1) secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung,

(2) sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis, dan

(3) gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun

sinusitis.

Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus

meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang

berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki

pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit

rhinosinusitis ini.Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri.

Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya

dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial, komplikasi ini terjadi akibat
tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan

pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas. Terapi antibiotic

diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya

polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.


BAB III
PEMBAHASAN
Anatomi

Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk sinus

paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki muara (ostium) ke

dalam rongga hidung.Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi

hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus

ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium

highmore) dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang

merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui

ostium masing-masing.

Gambar 2.1

Sinus paranasalis tampak depan dan samping

Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan

perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sphenoidalis. Sinus
maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang

pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior

sedangkan sinus sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-

superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18

tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis

tengah.

Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta vena yang

menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina. Pada

meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat

muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid

Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus

frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis.

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi:

a. Grup Anterior :

· Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior

· Ostia di meatus medius

· Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring

b. Grup Posterior :

· Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis

· Ostia di meatus superior

· Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring

2.1.1. Sinus Maksilaris

a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I.

b. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada

pars zygomaticus maxillae.


c. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa.

d. Berhubungan dengan:

1) Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika

dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.

2) Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.

3) Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.

e. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa sinus

melalui cabang dari nervus maksilaris.

2.1.2 Sinus Frontalis

a. Sinus frontalis mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resessus

frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.

b. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm.

Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.Tidak simetris

kanan dan kiri, terletak di os frontalis.

c. Volume pada orang dewasa ± 7cc.

d. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).

e. Berhubungan dengan3:

1) Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.

2) Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.

3) Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.

f. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal

dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri carotis inernal.

Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari

nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus

2.1.3 Sinus Ethmoid


a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV.

b. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15

cellulae, dindingnya tipis.

c. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan mata

d. Berhubungan dengan3:

1) Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika

terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis,

encefalitis dsb).

2) Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada

sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga

terjadi Brill Hematoma.

3) Nervus Optikus.

4) Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.

e. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari a. sphenopalatina. Inervasi mukosa berasal

dari divisi oftalmika dan maksilari nervus trigeminus

2.1.4 Sinus Sphenoidal

a. Terbentuk pada fetus usia bulan III

b. Terletak pada corpus, alas dan Processus os sphenoidalis.

c. Volume pada orang dewasa ± 7 cc.

d. Berhubungan dengan:

1) Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.

2) Glandula pituitari, chiasma n.opticum.

3) Tranctus olfactorius.

4) Arteri basillaris brain stem (batang otak)


e. Suplai darah berasal dari arteri carotis internal dan eksternal. Inervasi mukosa berasal

dari nervus trigeminus.

Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior

rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus

maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.

2.1.5 Kompleks Ostio-Meatal

Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus

etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),

terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus

frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila

Fisiologi

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.

Beberapa pendapat mengenai fungsi sinus paranasal antara lain :

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara

inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara

yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai

vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri

dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila

udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar

1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.


d. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas

suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan

sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi

suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu

bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mucus

Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari

meatus medius, tempat yang paling strategis.

Definisi

Sinus adalah saluran pada tulang tengkorak yang menghubungkan rongga hidung dan

rongga mata. Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam

kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus

paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi

virus, bakteri maupun jamur.

Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus

ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sphenoidalis

(terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat

berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang

terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut

pansinusitis.
Etiologi

Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis

(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun).

Penyebab sinusitis akut:

a. Virus

Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian

atas (misalnya pilek).

b. Bakteri

Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal

tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus

influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat

akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya

akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.

Bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah Streptociccus pneumonia (30-

50%), Hemophylus influenza (20-40%) dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M.

catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik, bakteri yang ada lebih

condong ke arah bakteri gram negative dan anaerob.

c. Jamur

Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan jamur

yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system kekebalan. Pada

orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.

d. Peradangan menahun pada saluran hidung.


Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnyapada

penderita rinitis vasomotor.

e. Penyakit tertentu.

Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan

danpenderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).

Penyebab sinusitis kronis:

a. Asma

b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)

c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.

Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti :

a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.

b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok, polusiudara,

atau karena panas dan kering.

c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :

a) Atresia atau stenosis koana

b) Deviasi septum

c) Hipertroti konka media

d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik

e) Tumor atau neoplasma

f) Hipertroti adenoid

g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi

h) Benda asing

d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek

e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal

f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan


imunosupresi oleh obat.

Klasifikasi

Secara klinis sinusitis dibagi atas :

a. Sinusitis akut : batas waktu ≤ 4 minggu.

b. Sinusitis subakut : antara 4 minggu sampai 3 bulan

c. Sinusitis Kronis : ≥ 3 bulan.

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2:

a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang

menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis

b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan

sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)

Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens

dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga

mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap

kuman yang masuk bersama udara pernafasan.

Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang

berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga

menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga

sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal

yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial

yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam

sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret

akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi
antibiotik. Jika terapi inadekuat maka inflamasi berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri

anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa

yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin

diperlukan tindakan operasi.

Gambar 2.2
Patofisiologi Sinusitis

Diagnosis

Penegakan diagnosis sinusitis secara umum :

Kriteria Mayor Kriteria Minor


a. Sekret nasal yang purulen a. Edem periorbital
b. Drainase faring yang purulen b. Sakit kepala
c. Purulent Post Nasaldrip c. Nyeri di wajah
d. Batuk d. Sakit gigi
e. Fotorontgen(Water’sradiograph atau e. Nyeri telinga
air fluid level) : Penebalan lebih 50% f. Sakit tenggorok
dari antrum g. Nafas berbau
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau h. Bersin-bersin bertambah sering
opaksifikasi dari mukosa sinus i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
dan bakteri
k. Ultrasound

Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan ≥ 2

kriteria minor.

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis

akut

2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus

dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada anak-

anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan

komplikasi yang disebabkan sinusitis.

b. Imaging

1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis dengan

menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan perselubungan. Pada sinusitis

maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) :

a) Posisi Caldwell

Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja sedemikian

rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan

batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen

adalah 15°kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion.


Gambar 2.3
Posisi Caldwell
b) Posisi Waters

Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah untuk

memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila. Hal ini

didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu

menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata dan tragus

membentuk sudut lebih kurang 37°dengan filmproyeksi waters dengan mulut terbuka

memberikan pandangan terhadap semua sinus paranasal.

Gambar 2.5

Posisi Waters

c) Posisi lateral

Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

Gambar 2.6
Posisi lateral

2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan

suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40%

pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya

sinusitis.

3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai

sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut.

Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah sebagai

berikut:

a. Sinusitis Akut

1. Gejala Subyektif

Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada

anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.

Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, sertagejala

lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring

(post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus

yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.

a) Sinusitis Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering

terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya

lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung

dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),

sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak

di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan

daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang

menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga.

Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak,

misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan

menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk

iritatif non produktif seringkali ada.

b) Sinusitis Ethmoidalis

Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi

sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali

merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.

Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap

sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.

Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-

kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di

pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung.

c) Sinusitis Frontalis

Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis

anterior.

Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata,

biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan

mereda hingga menjelang malam.

Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin

terdapat pembengkakan supra orbita.

d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola

mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis,

sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.

2. Gejala Obyektif

Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior) terkena

secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi

dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.

Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada

sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul

pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis

maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus

medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah tampak keluar

dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi

sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.

Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit

dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien

kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis

maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.

Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.

Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak

lebih suram dibanding sisi yang normal.


Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak

perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang

sakit.

Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus

superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di

hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan

haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.

b. Sinusitis Subakut

Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam,

sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.

Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi

posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus

yang sakit, suram atau gelap.

c. Sinusitis Kronis

Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar

disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor

predisposisinya.

Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa

hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik,

sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan

sinusitis akut tidak sempurna.

1. Gejala Subjektif

Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post

nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.

c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba

eustachius.

d) Ada nyeri atau sakit kepala.

e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau

bronkhiektasis atau asma bronkhial.

g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.

2. Gejala Objektif

Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat

pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dari

meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi

sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis

yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat

menyertai poliposis hidung kronis.

3. Pemeriksaan Mikrobiologi

Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S.

aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso bakterium.

4. Diagnosis Sinusitis Kronis

Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :

a) Anamnesis yang cermat

b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior

c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah

sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.


Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya

Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis(sinus penuh

dengan cairan)

d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral.

Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus

supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala

pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama

untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi

Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus

frontal, sphenoid dan ethmoid.

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:

1) Penebalan mukosa,

2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yangdapat dilihat

pada foto waters.

e) Pungsi sinus maksilaris

f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus, apakah

ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana keadaan

mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan

menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu.

g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi.

h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-

endoskopi.

i) Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan

sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak
: penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada

satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-

kasus kronik).

Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :

a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan

CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang

terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid

level.

b) Polip yang mengisi ruang sinus

c) Polip antrokoanal

d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus

e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa

jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan

yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.

f) Tumor

Penatalaksanaan

Sinusitis Akut

a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan

Haemophilus influenzae. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik

(2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol

dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk

memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien

atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka

pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan
maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin

klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi

tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.

b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-

endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi

sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi

komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi

komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret

tertahan oleh sumbatan.

Sinusitis Subakut

a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,

yaitu diatermi atau pencucian sinus.

b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan

resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa

dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.

c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave

Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki

vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.

d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal

atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus

cara Proetz.
Sinusitis Kronis

a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan

diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-

14 hari.

b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +

terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik

alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi

10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-

endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks

osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika

tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.

c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,

frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.

e. Pembedahan

Radikal

− Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.

− Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.

− Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.

Non Radikal

− Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan

membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

Indikasi: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat ; sinusitis

kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel ; polip ekstensif, adanya

komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.


Komplikasi

CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat

infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin

dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.

a. Komplikasi orbita

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.

Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis

dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.

Terdapat lima tahapan :

1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus

ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina

papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada

kelompok umur ini.

2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita

namun pus belum terbentuk.

3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita

menyebabkan proptosis dan kemosis.

4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap

ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.

Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva

merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran

vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :


a) Oftalmoplegia.

b) Kemosis konjungtiva.

c) Gangguan penglihatan yang berat.

d) Kelemahan pasien.

e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf

kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

b. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista

ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus

dan biasanya tidak berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar dan

melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai

pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam

sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan

menekan saraf didekatnya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel

meskipun lebih akut dan lebih berat.

Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa

yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

c. Komplikasi Intra Kranial

1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,

infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari

sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina

kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.


2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali

mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh

nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.

3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan

otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi

perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.Terapi komplikasi intra kranial ini

adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami abses

dan pencegahan penyebaran infeksi.

d. Osteomielitis dan abses subperiosteal

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah

infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise,

demam dan menggigil.

Diagnosis Banding

Dari anamnesis bila didapatkan keluhan:

 Hidung terseumbat dan berair, cairan putih kekuningan:

- Common cold

- Rhinitis

- Sinusitis

- Korpus alienum di hidung

- Adenoitis

 Sakit kepala:

- Tension headache

- Migraine headache

- Sinus headache
- Cluster headache

- Reffered pain headache

 Batuk kronik:

- Pertusis

- Bronchitis

- Tuberculosis

- Sinusitis

- GERD

Pencegahan

a. Pasien dengan rhinitis alergi harus segera diobato karena edema mukosa dapat

menyebabkan obstruksi sinus.

b. Bila adenoid mengalami infeksi, mengilangkan itu berarti mengeliminasi sarang infeksi

dan dapat mengurangi infeksi pada sinus.

c. Menjaga kebersihan gigi dan mulut.

Prognosis

Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan.

Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat

simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang

baik. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) akan mengembalikan fungsi sinus dan gejala

akan semubuh secara komplit atau moderat sekita 80-90% pada pasien dengan sinusitis kronis

rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsive terhadap medikamentosa.


BAB III

KESIMPULAN

Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau

infeksi virus, bakteri maupun jamur. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris,

sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.Penyebab utama sinusitis adalah

infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena

adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat

diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke

tenggorol (post nasal drip). Klasifikasi dari sinusitis berdasarkan klinis yatu sinusitis akut,

subakut dan kronik, sedangkan klasifikasi menurut penyebabnya adalah sinusitis rhinogenik

dan dentogenik. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial.

Tatalaksana berupa terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi,

mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.

Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini mengenai sinusitis dapat memberikan

prognosis yang baik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3

2. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6

3. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced

Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar Ilmu

Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115 – 119.

5. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck

Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8

6. Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.

Jakarta: EGC; 2000. 26-48

7. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. 2-9

8. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.

Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 20 Oktober 2013]

9. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Penerbit

Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106

10. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti, editor, Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Balai Penerbit FK UI,

Jakarta, 2002, 121 – 125

Anda mungkin juga menyukai