Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

TRAUMA THORAX

Disusun Oleh:
Anisafitri Siregar 14010016
Cut Zia Firdina 140100033
Namira Ayu Natasya 140100216
Singgih Prawira 140100206
Ricky Alexander 140100179
Fakhri Syahnaufal 140100102

Pembimbing:
dr.Marshal, Sp.B,Sp.BTKV(K)

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami yang
berjudul “TRAUMA THORAX”.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen


pembimbing, “dr. Marshal,SP.B,Sp.BTKV (K)” yang telah memberikan
bimbingan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat
pada waktunya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini


masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan
kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak yang
terlibat dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.

Medan, 15 Juli 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1

1. Latar Belakang Masalah 1


2. Tujuan 2
3. Manfaat 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................3

2.1. Definisi .....................................................................................................3

2.2. Epidemiologi..............................................................................................3

2.3. Patogenesis................................................................................................3

2.4. Patologi .....................................................................................................6

2.5. Diagnosis ..................................................................................................7

2.6 Penatalaksanaan..........................................................................................8

2.7 Komplikasi..................................................................................................9

2.8 Prognosis.....................................................................................................10

BAB 3 STATUS PASIEN................................................................................11

BAB 4 FOLLOW UP PASIEN.......................................................................

BAB 5 DISKUSI KASUS...............................................................................

BAB 6 KESIMPULAN...................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan
atau organ intra thoraks, oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam (Mattox, et
al., 2013).
Trauma thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks,
fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim
paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumothoraks
danhematothoraks(Milisavljevic, et al., 2012)
Trauma thoraksdapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan
sternum, rongga pleura saluran nafas intra thoraksdan parenkim paru. Kerusakan
ini dapat terjadi tunggal atau kombinasi tergantung mekanisme cedera
(Gallagher, 2014)
Pneumothorax didefinisikan sebagai suat penyakit yang berbahaya seperti
penyakit jantung, paru-paru, stroke dan kanker banyak dialami oleh orang-orang
yang berusia lanjut. Tetapi di era yang modern ini, penyakit-penyakit berbahaya
tersebut tidak jarang diderita oleh usia yang masih produktif. Faktor utama
penyebab penyakit yang menyerang usia produktif tersebut adalah pola hidup
yang tidak seimbang, jarang berolahraga, dan adanya peningkatan konsumsi
rokok di kalangan muda. Salah satu penyakit yang sering menyerang adalah
penyakit paru. Sehingga diperlukan suatu bentuk rehabilitasi yang dapat
memulihkan kondisi kesehatan agar dapat melanjutkan hidup menjadi lebih baik.
Salah satu organ vital manusia adalah paru-paru. Banyak penyakit paru-
patu yang menjadi salah satu penyebab utama kematian seseorang, salah satunya
adalah pneumothorax. Pneumothorax adalah adanya udara dalam rongga pleura.
Pneumothorax dapat terjadi secara spontan atau karena trauma (British Thoracic
Society 2003). Tension pneumothorax disebabkan karena tekanan positif pada
saat udara masuk ke pleura pada saat inspirasi. Pneumothorax dapat
menyebabkan cardiorespiratory distress dan cardiac arrest. Pneumothorax
disebabkan karena robekan pleura atau terbukanya dinding dada. Dapat berupa
pneumothorax yang tertutup dan terbuka atau menegang (Tension
Pneumothorax).
Terdapat beberapa jenis pneumotoraks yang dikelompokkan berdasarkan
penyebabnya: (a) pneumotoraks spontan (primer dan sekunder), (b)
pneumotoraks 5egative5, (luka tusuk, peluru) atau tumpul (benturan pada
kecelakaan kendaraan bermotor), (c) pneumotoraks juga 5ega merupakan
komplikasi dari tindakan medis tertentu (misalnya torakosentesis), (d)
pneumotoraks karena tekanan. Kurang lebih 75% trauma tusuk pneumothorak
disertai hemothorak. Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu 5egative
untuk dapat mempertahankan paru dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan
pada rongga pleura pada akhir inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi
2 s/d 4 cm H2O. Pneumothorak menyebabkan paru kollaps, baik sebagian
maupun keseluruhan yang menyebabkan tergesernya isi rongga dada ke sisi lain.
Gejala sesak nafas progressif sampai sianosis gejala syok.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan kasus
luka bakar dan membandingkannya dengan landasan teori yang sesuai.
Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan
Program Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan


kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintergrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang
dijumpai di lapangan.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Dinding Thoraks

Thoraks merupakan rongga yang dibatasi dan dikelilingi oleh dinding


thoraks yang dibentuk oleh tulang, kartilage, dan otot. Didalam rongga thoraks
terdapat dua ruangan yaitu paru-paru dan mediastinum serta terjadi proses sistem
pernapasan dan peredaran darah organ yang terletak dalam rongga dada yaitu;
esophagus, paru paru, hepar, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe
(Ombregt, 2013).
Dinding thoraks merupakan sistem kompleks dari sejumlah struktur
tulang, tulang rawan, ligamen, otot dan tendon. Bagian superfisial dari dinding
thoraks adalah struktur tulang dan muskulus-tendon yang menghubungkan
tungkai atas dengan batang tubuh. Bagian kranial dibatasi oleh tulang vertebra
thoraks pertama, tulang kosta pertama, klavikula dan tepi atas manubrium. Batas
inferior dipisahkan terhadap abdomen oleh diafragma. Suatu kurungan thoraks
terdiri dari 12 pasang tulang kosta. Setiap kosta terdiri dari kepala, leher, dan
badan. Pada bagian kepala memiliki suatu faset untuk terhubung dengan sendi
kostovertebra. Kecuali kosta satu dan dua, semuanya mempunyai cekungan
untuk perjalanan serat saraf dan pembuluh darah pada tepi bawah
tulang(Ombregt, 2013). Tulang kosta berfungsi melindungi organ vital rongga
thoraks seperti jantung, paru-paru, hati dan Lien (Assi & Nazal, 2012).
Gambar 2.1 Anatomi rongga thoraks

2.2 Trauma Toraks

2.2.1 Definisi

Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan


atau organ intra thoraks, oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam (Mattox, et
al., 2013).
Trauma thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks,
fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim
paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumothoraks
danhematothoraks(Milisavljevic, et al., 2012)

2.2.2 Epidemiologi
Trauma thoraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.Di Amerika Serikat dan Eropa rata-rata
mortalitas trauma tumpul thoraks dapat mencapai 60%. Disamping itu 20-25%
kematian multipel trauma disebabkan oleh trauma thoraks (Veysi, et al., 2009).
Trauma tumpul dinding dada terjadi lebih dari 10% kasus trauma yang datang ke
ruang gawat darurat di seluruh dunia, dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
mulai 4 hingga 20% (Battle, et al., 2012).

2.2.3 Etiologi
Trauma pada thoraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan
trauma tajam. Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan
kendaraanbermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis
tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan
terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat
yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda.
Penyebab trauma thoraksoleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3
berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendahseperti trauma tusuk,
berenergi sedang seperti pistol,dan berenergi tinggi seperti pada senjata militer.
Penyebab trauma thoraksyang lain adalahadanya tekanan yang berlebihan pada
paru-paru yang bisa menyebabkan pneumothoraksseperti pada scuba(David,
2005;Sjamsoehidajat,2003).
Trauma thoraksdapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan
sternum, rongga pleura saluran nafas intra thoraksdan parenkim paru. Kerusakan
ini dapat terjadi tunggal atau kombinasi tergantung mekanisme cedera
(Gallagher, 2014)

2.2.4. Patofisiologi
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi
pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah luar oleh otot -
otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma menghasilkan tekanan
negatif dari intratoraks. Proses ini menyebabkan masuknya udara pasif ke paru -
paru selama inspirasi. Trauma toraks mempengaruhi strukur - struktur yang
berbeda dari dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4
komponen, yaitu dinding dada, rongga pleura, parenkim paru, dan mediastinum.
Dalam dinding dada termasuk tulang - tulang dada dan otot - otot yang terkait.
Rongga pleura berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat terisi oleh
darah ataupun udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim paru
termasuk paru - paru dan jalan nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat
mengalami kontusio, laserasi, hematoma dan pneumokel. Mediastinum termasuk
jantung, aorta / pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan
esofagus. Secara normal toraks bertanggungjawab untuk fungsi vital fisiologi
kardiopulmoner dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme
jaringan pada tubuh.
Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi
keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (Eckstein & Handerson, 2014;
Lugo,, et al., 2015).
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada
beberapa faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari cedera,
cedera lain yang terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang mendasari.
Pasien - pasien trauma toraks cenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek
pada fungsirespirasinya dan secara sekunder akan berhubungan dengan disfungsi
jantung.
Pengobatan dari trauma Toraks bertujuan untuk mengembalikan fungsi
kardiorespirasi menjadi normal, menghentikan perdarahan dan mencegah
sepsis(Saaiq, et al., 2010; Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,, et al., 2015)
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan sampai
berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma.
Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa fraktur kosta simpel.
Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel
dengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio pulmonum.
Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma
langsung pada jantung (Saaiq et al., 2010; Lugo, et al., 2015).
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan kardiovaskuler. Gangguan
sistem respirasi dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung
kerusakan anatominya. Gangguan faal respirasi dapat berupa gangguan fungsi
ventilasi, difusi gas, perfusi, dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu
penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan
pembuluh darah (Saaiq, et al., 2010; Mattox, et al., 2013; Lugo,, et al., 2015).

2.2.5. Sistem Skoring Trauma Toraks


· Chest Trauma Score (CTS)
Beberapa sistem penilaian telah dibuat untuk mengevaluasi prognosis
pasien setelah terjadinya trauma pada toraks seperti Pulmonary Contusion Score
(PCS) atau Skor Wagner, yang dihitung sebagai indikator independen dari
prognosis yang menilai mortalitas dan morbiditas setelah trauma tumpul toraks.
Traumamultipel toraks dan organ - organ di dalamnya ditemukan pada mayoritas
pasien setelah trauma tumpul toraks (Huber, et al., 2014; Chen, et al., 2014).
Beberapa faktor telah diidentifikasi yang menyebabkan morbiditas dan
mortalitas pasien trauma toraks antara lain umur pasien, jumlah patah tulang
kosta, ada tidaknya patah tulang kosta bilateral, dan derajat keparahan dari
kontusio pulmonum. Faktor - faktor tersebut diatas berhubungan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas dari gagal nafas, deep vein thrombosis,
dan emboli pulmonum. Nilai Chest Trauma Score (CTS) lebih dari 5
berhubungan dengan outcome pasien yang lebih buruk. Selain itu kelompok
pasien tersebut mempunyai risiko empat kali lipat kematian dibandingkan
dengan kelompok pasien dengan CTS kurang dari 5 (Chen, et al., 2014).
Trauma toraks yang terlokalisir terjadi bersamaan dengan trauma tumpul
pada toraks. Kebanyakan kasus tersebut berhubungan dengan trauma ringan
seperti fraktur iga dan lecet pada dada. Tetapi pada trauma oraks berat dengan
AIS > 3 terjadi pada 80% - 90% pasien dengan multiple trauma (Chen, et al.,
2014).
Sistem CTS dapat memprediksi kemungkinan pasien membutuhka
ventilasi mekanik dan lamanya perawatan. Score CTS 7-8 dapat memprediksi
peningkatan risiko mortalitas dan perlunya intubasi (Pressley, et al., 2012).
Karena karakteristik yang homogen dari pasien trauma yang datang
dengan poli trauma dengan komorbid yang multipel, CTS tidak dapat
mengidentifikasikan setiap outcome yang mungkin terjadi. Sebagai tambahan,
karena pola manajemen trauma, pasien selalu overtriage sebagai upaya untuk
mencegah cedera yang terlewat, CTS dibuat untuk meningkatkan sensitivitas
dengan spesifisitas yanglebih rendah untuk mencegah terlewatnya pasien dengan
kemungkinan outcome yang lebih jelek. Pada penelitian Chen, et al. (2014) nilai
sensitivitas receiver operating characteristics (ROC) CTS pada acute respiratory
failure sebesar 0,72. CTS adalah suatu metode yang mudah dan cepat untuk
menilai keparahan relatif dari pasien trauma toraks. Meskipun tidak ada satupun
sistem penilaian yang dapat meramalkan secara sempurna dari outcome, CTS
menyediakan suatu metode yang mengelompokkan trauma dinding Toraks
sehingga bisa potensi untuk mengintervensi lebih awal pasien di dalam rumah
sakit (Chen, et al., 2014).
Chest Trauma Score dibuat dari beberapa faktor yang diidentifikasikan
sebelumnya berhubungan dengan outcome yang lebih buruk, termasuk umur,
jumlah fraktur tulang rusuk, kontusio pulmonum, dan trauma yang bilateral atau
tidak (Pressley, et al., 2012).

Gambar 2.2. Sistem Chest Trauma Score (Chen, et al., 2014)


· Abbreviated Injury Scale (AIS)
Abbreviated Injury Scale memberikan deskripsi trauma organ berdasarkan
beratnya trauma pada organ tersebut dan tidak memberikan prediksi atau
outcome.AIS sendiri pertama kali dipublikasikan pada tahun 1971 dan
merupakan dasar dari ISS. Terdapat beberapa kali revisi dari AIS sejak pertama
kali dipublikasikan. AIS - 71 hanya untuk trauma tumpul, AIS - 85 meliputi
trauma penetrating dan AIS - 90 mendeskripsikan lebih dari 1300 jenis trauma
dan memberikan dasar dari banyak sistem skoring trauma. Skala trauma pada
AIS dari 1 sampai 6. Setiap organ yang mengalami trauma memiliki derajat AIS
seperti pada gambar (Chawda, et al., 2004).

Gambar 2.4. Derajat penilaian Abbreviated Injury Scale (Chawda, et al.,


2004)
Setiap trauma organ memiliki skor AIS yang dibagi menjadi enam bagian
tubuh yaitu kepala, wajah, dada, abdomen, ekstremitas dan struktur eksternal.
Hanya skor AIS tertinggi yang digunakan pada setiap bagian tubuh. Skor AIS
tiga bagian tubuh yang mengalami trauma terberat dikuadratkan dan dijumlahkan
sehingga menghasilkan ISS seperti table 2.3 (Chawda, et al., 2004).
Gambar 2.5. Abbreviated Injury Scale (AIS) Toraks (Chawda, et al., 2004)

· Injury Severity Score (ISS)

Skor injury severity score merupakan suatu skoring klinis untuk


mengevaluasi tingkat keparahan trauma. Hal ini berhubungan dengan mortalitas,
morbiditas, dan periode rawat inap pasca trauma. Kuantifikasi angka survival
pasien trauma menjadi dasar untuk mengevaluasi efektivitas perawatan
kesehatan yang diberikan dan efikasi alternatif terapeutik yang baru (Chawda, et
al., 2004; Domingues, et al., 2011; Ehsai, et al., 2014).

Skoring ISS ini digunakan untuk menentukan “trauma mayor”. Koding


cedera traumatik dengan ISS didasarkan pada lokasi anatomis dari enam zona
tubuh. Zona tubuh ini meliputi: 1) kepala atau leher termasuk spina servikal, 2)
wajah termasuk tulang wajah, hidung, mulut, mata, dan telinga, 3) dada, spina
torakal, dan diafragma, 4) abdomen atau pelvis, organ abdominal, dan spina
lumbalis, 5) ekstremitas, tulang pelvis, 6) eksternal. Abbreviated Injury Scale
(AIS) didasarkan pada anatomi dari cedera dan sistem skoring ini
mengklasifikasikan tiap cedera pada zona tubuh berdasarkan keparahan pada
suatu skala angka enam. Oleh karena itu, untuk menghitung ISS, kode AIS
tertinggi diambil dari tiga zona tubuh yang mengalami cedera terparah. Lalu,
tiap kode AIS dikuadratkan kemudian dijumlahkan (ISS=A2+B2+C2, dimana A,
B, dan C merupakan skoring AIS untuk tiga regio tubuh ISS yang mengalami
cedera paling parah). Skoring ISS berkisar antara 1 hingga 75 dan bila salah satu
dari tiga skor adalah 6 maka skor secara otomatis dihitung menjadi 75. Skor 6
atau unsurvivable dapat mengindikasikan penghentian untuk perawatan lebih
lanjut.

Suatu trauma mayor ditentukan bila skor ISS lebih dari 15 (Domingues, et
al., 2011; Ehsaei, et al., 2014). Walaupun ISS telah menjadi indeks terbaik untuk
menentukan tingkat keparahan trauma selama hampir 20 tahun, namun skoring
ini hanya meliputi satu cedera yang paling parah di setiap regio tubuh,
bagaiamanapun, pasien politrauma dapat memiliki dua cedera terparah pada satu
regio tubuh yang sama. Pada kasus seperti ini, ISS akan meng-underestimate
tingkat keparahan trauma (Domingues, et al., 2011).

· Thoracic Trauma Severity Score (TTSS)

Data menunjukkan bahwa untuk mendiagnosa dan memberikan terapi pada


pasien dengan trauma toraks masih mengikuti standar yang sangat luas. System
skoring yang dapat membantu dalam memprediksi komplikasi pada pasien
dengan trauma Toraks sangat diperlukan (Aukema, et al., 2011). Untuk hal
tersebut pada tahun 2000 Pape dan kawan - kawan di Jerman mengembangkan
suatu scoring system baru yang bernama Thoracic Trauma Severity Score
dengan parameter yang terdiri dari umur pasien, parameter resusitasi, lesi
intraToraks, cedera yang melibatkan dinding dada, cedera yang melibatkan
pleura, ratio dari PaO2/FIO2.

Rontgen dada dapat memberikan data awal pada skor ini. Tujuan dibuatnya
skor ini untuk membantu dokter ataupun tenaga medis pada unit gawat darurat
mengidentifikasi pasien yang mengalami resiko tinggi terjadinya komplikasi
pada trauma toraks. Skor ini dirasakan lebih baik dalam menentukan keparahan
dari cedera toraks dibandingkan dengan skor trauma secara umum seperti ISS
dan TRISS. Grading dari TTSS dapat dilihat pada gambar (Hildebrand, et al.,
2002; Aukema, et al., 2011; Subhani, et al., 2014).

Gambar 2.7. Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) (Aukema, et al., 2011)

Penerapan dari skor ini lebih pada peningkatan resiko kematian seiring
dengan meningkatnya skor. Skor 0-5 pada pasien trauma toraks
direkomendasikan untuk rawat jalan, skor 6-10 diindikasikan untuk rawat inap,
skor 11- 20 diindikasikan untuk perawatan di ruang intensif dan diatas itu 21-25
merupakan kasus yang fatal kebanyakan mengalami kematian segera (Subhani,
et al., 2014).
2.2.6. Klasifikasi trauma thoraks

· Pneumotoraks(American College of Surgeons Commite on Trauma,


2005, Willimas, 2013)

Pneumotoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang


terperangkap di rongga pleura akibat robeknya pleura visceral, dapat
terjadi spontan atau karena trauma, yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses
pengembangan paru. Pneumotoraks terjadi karena trauma tumpul atau
tembus toraks.

Dapat pula terjadi karena robekan pleura viseral yang disebut


dengan barotrauma, atau robekan pleura mediastinal yang disebut dengan
trauma trakheobronkhial. Rhea (1982), membuat klasifikasi
pneumotoraks atas dasar persentase pneumotoraks, kecil bila
pneumotoraks 40 %.

Pembagian pneumothoraks:

1. Simple peumotoraks(American College of Surgeons Commite on


Trauma, 2005) adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan
tekanan intra toraks yang progresif.

Adapun Manifestasi klinis yang dijumpai :

Paru pada sisi yang terkena akan kolaps. Pada pemeriksaan foto toraks
dijumpai adanya gambaran radiolusen atau gambaran lebih hitam pada
daerah yang terkena, biasanya dijumpai gambaran pleura
line.Penatalaksanaan simple pneumotoraks dengan Torakostomi atau
pemasangan selang intra pleural + WSD.

2. Tension pneumotoraks(American College of Surgeons Commite on


Trauma, 2005) adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan
intra toraks yang semakin lama semakin bertambah atau progresif. Pada
tension pneumotoraks ditemukan mekanisme ventil atau udara dapat
masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar.

Adapun manifestasi klinis yang dijumpai :

a. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi


kolaps total paru, mediastinal shift atau pendorongan mediastinum ke
kontralateral, deviasi trachea, hipotensi &respiratory distress berat.

b. Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat,
takipneu, hipotensi, tekanan vena jugularis meningkat, pergerakan
dinding dada yang asimetris. Tension pneumotoraks merupakan
keadaan life-threatening, maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan
foto toraks.

Penatalaksanaan tension pneumotoraks berupa dekompresi segera


dengan needle insertion pada sela iga II linea mid-klavikula pada daerah
yang terkena. Sehingga tercapai perubahan keadaan menjadi suatu simple
pneumotoraks dan dilanjutkan dengan pemasangan Torakostomi + WSD.

3. Open pneumothorax (American College of Surgeons Commite on


Trauma, 2005) terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada toraks
sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan
mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar.
Dikenal juga sebagai sucking-wound.

Penatalaksanaan open pneumotoraks :

a. Luka tidak boleh di eksplore.

b. Luka tidak boleh ditutup rapat yang dapat menciptakan mekanisme


ventil.

c. Pasang plester 3 posisi.

d. Torakostomi + WSD.
e. Singkirkan adanya perlukaan atau laserasi pada paru-paru atau organ
intra toraks lain.

f. Umumnya disertai dengan perdarahan atau hematotoraks.

Pada pneumotoraks kecil (< 20%) gejala minimal dan tidak ada
respiratory distress, serangan yang pertama kali, sikap kita adalah
observasi dan penderita istirahat 2-3 hari. Bila pneumotoraks sedang, ada
respiratory distress atau pada observasi nampak progresif foto toraks,
atau adanya tension pneumothorax, dilakukan tindakan bedah dengan
pemasangan torakostomi + WSD untuk pengembangan paru dan
mengatasi gagal nafas.

Tindakan torakotomi dilakukan bila:

1. Kebocoran paru yang masif sehingga paru tak dapat mengembang (bullae
/ fistel bronkopleura).

2. Pneumotoraks berulang.

3. Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension pneumothorax).

4. Pneumotoraks bilateral.

5. Indikasi social (pilot, penyelam, penderita yang tinggal di daerah


terpencil).

6. Teknik bedah Pendekatan melalui torakotomi anterior, torakotomi


posterolateral dan sternotomi mediana, selanjutnya dilakukan reseksi
bleb, bulektonomi, subtotal pleurektomi. Parietalis dan Aberasi pleura
melalui Video Assisted Thoracoscopic surgery (VATS), dilakukan reseksi
bleb, aberasi pleura dan pleurektonomi.

· Hematotoraks (Hemotoraks) (Willimas, 2013)


Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul
atau tembus pada toraks. Sumber perdarahan umumnya berasal dari A.
interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu diingat bahwa rongga
hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien
hematotoraks dapat terjadi syok hipovolemik berat yang mengakibatkan
terjadinya kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan yang
nyata oleh karena perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di
dalam rongga toraks.

Manifestasi klinis yang ditemukan pada hematotoraks sesuai


dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah yang terakumulasi. Perlu
diperhatikan adanya tanda dan gejala dari instabilitas hemodinamik dan
depresi pernapasan.

Pemeriksaan foto toraks boleh dilakukan bila keadaan pasien


stabil. Pada kasus hematotoraks terlihat bayangan difus radio-opak pada
seluruh lapangan paru, dijumpai bayangan air-fluid level pada kasus
hematopneumotoraks.

Penatalaksanaan hematotoraks

1. Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan


sirkulasi.

2. Pada 90 % kasus hematotoraks tindakan bedah yang dilakukan hanya


dengan Torakostomi + WSD.

3. Tindakan operasi torakotomi emergensi dilakukan untuk menghentikan


perdarahan apabila dijumpai :

a. Dijumpai perdarahan massif atau inisial jumlah produksi darah di


atas 1500 cc.

b. Bila produksi darah di atas 5 cc/kgBB/jam.

c. Bila produksi darah 3-5 cc/kgBB selama 3 jam berturut-turut. Bila


kita memiliki fasilitas, sarana, dan kemampuan tindakan video
assisted thoracic surgery atau VATS dapat dilakukan evakuasi darah
dan penjahitan fistula atau robekan paru pleura parieatalis.

· Flail Chest

Menurut Sjamsuhidajat (2005), flail chest adalah area toraks yang


melayang, disebabkan adanya fraktur iga multipel berturutan lebih atau
sama dengan 3 iga, dan memiliki garis fraktur lebih atau sama dengan 2
pada tiap iganya. Akibatnya adalah terbentuk area melayang atau flail
yang akan bergerak paradoksal dari gerakan mekanik pernapasan dinding
toraks. Area tersebut akan bergerak masuk pada saat inspirasi dan
bergerak keluar pada saat ekspirasi.

A. Karakteristik (Brunicardi, 2006)

1. Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding toraks saat


inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam ventilator

2. Menunjukkan trauma hebat

3. Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala,


abdomen, ekstremitas) Komplikasi utama adalah gagal napas,
sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang seringkali
diperberat oleh edema atau kontusio paru, dan nyeri.

Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan


fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint atau bandage
yangmelingkari toraks, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik
pernapasan secara keseluruhan (Brunicardi, 2006).

B. Penatalaksanaan (Brunicardi, 2006)

1. Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda


kegagalan pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang
biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan AGD (Analisa gas darah)
berkala dan takipneu

2. Pain control

3. Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi


internal melalui operasi)

4. Bronchial toilet

5. Fisioterapi agresif

6. Tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet

C. Indikasi Operasi atau stabilisasi pada flail chest:

· Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain, seperti


hematotoraks masif.

· Gagal atau sulit weaning ventilator.

· Menghindari cacat permanen.

· Indikasi relatif Menghindari prolong ICU stay dan prolong hospital


stay. Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga
tidak didapatkan lagi area yang melayang atau flail.

· Tamponade jantung
Tamponade jantung adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh
akumulasi cairan dalam ruang perikardial, sehingga mengurangi pengisian
ventrikel dan kompromi hemodinamik berikutnya. Kondisi ini merupakan
keadaan darurat medis, yang komplikasinya meliputi edema paru-paru, syok, dan
kematian.
Penyebab tamponade jantung dapat disebabkan oleh keganasan (30%-
60% kasus), uremia (10%), penyakit infeksi serta trauma toraks. Pada pasien
yang menjalani operasi katup, tamponade berhubungan dengan efusi perikardial.
Gejala tamponade jantung bervariasi berdasarkan kegawatan dan
penyebab yang mendasari tamponade jantung. Pasien dengan tamponade akut
dapat menunjukkan gejala dispnea, takikardi dan takipnea. Extremitas yang
dingin dan basah karena hipoperfusi kadang dijumpai pada pasien. Gejala
lainnya yang dapat timbul, yaitu:
· Peningkatan TVP
· Pulsus paradoxus
· Chest pressure
· Penurunan UOP
· Konfusi
· Disforia
Diagnosis yang segera merupakan kunci untuk mengurangi risiko
mortalitas terhadap pasien dengan tamponade jantung. Ekokardiografi dapat
dilakukan sebagai visualisasi kompresi kelainan ventrikular dan atrial sirkulasi
darah ke jantung.
Tatalaksana pada tamponade jantung merupakan emergensi medis yang
membutuhkan drainase yang urgensi terhadap cairan perikardial. Sebaiknya,
pasien dimonitor di ICU dan mendapatkan:
· Oksigen
· Mempertahankan volume intravaskular yang adekuat untuk
meningkatkan cardiac output
· Tirah baring dengan elevasi pada tungkai, dapat membantu peningkatan
venous return.
· Evaluasi pemeriksaan ekokardiogram dan foto toraks untk melihat
rekurensi penumpukan cairan.

2.2.7.Komplikasi

Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%,


pneumotoraks 5%, hematotoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum
20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat
akanmenjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade
terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang
sangat serius dengan angka kematian 20-43% (Aukema, et al., 2011; Lugo, et
al., 2015 ; El-Menyar, et al., 2016).

Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks yang
paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding toraks,
perdarahan masif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit,
subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma
ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang
cenderung sedikit (Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al., 2015 ).

Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun
tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada trauma toraks.
Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding
dada (Saaiq, et al., 2010; Milisavljevic, et al., 2012). Gejala yang spesifik pada
fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau
pada saat bergerak. Pasien akan berusaha mencegah daerah yang terkena untuk
bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal ini meningkatkan risiko atelektasis
dan pneumonia (Novakov, et al., 2014 ; Feng Lin, et al., 2015 ; Lugo, et al.,
2015).

Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang
berdekatan patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah
kostokondral. Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu
lintas menjadi penyebab yang paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan
berdasarkanpemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan Toraks (Wanek &
Mayberry, 2004; Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015)

Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering
kali disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus
dicurigai pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium
(dengan nyeri prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan
dari pemeriksaan fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic,
et al., 2012).

Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang


paling umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma
tumpul pada dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan
parenkim, edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi
pada sebagian paru. Kontusio juga dapat menyebabkan hematoma intrapulmoner
apabila pembuluh darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi), foto
toraks, dan CT scan toraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru
membutuhkan ventilasi mekanik (Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al., 2015).

Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks


sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan
visceralis. Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan
Pneumotoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan
terbentuknya emfisema subkutis. Pneumotoraks pada trauma tumpul toraks
terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba - tiba
menyebabkanterjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat
menyebabkan ruptur alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke pleura
visceralis ke mediastinum menyebabkan Pneumotoraks atau emfisema
mediastinum. Selain itu Pneumotoraks juga dapat terjadi ketika adanya
peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup
menyebabkan peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau
bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari
trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada Pneumotoraks
adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al.,
2015).

Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat


masuk ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru,
atau mediastinum. Insiden dari hematotoraks tinggi pada trauma tumpul, 37%
kasus berhubungan dengan pneumotoraks (hemopneumotoraks ) bahkan dapat
terjadi hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al., 2015). Terjadinya
hemotoraks yang massive dengan drainage sekitar 1000 mililiter ataupun 100
mililiter per jam lebih daari 4 jam pada kasus akut mengindikasikan untuk
dilakukan thoracotomy emergency karena sangat beresiko mengancam nyawa
bahkan kematian (Cobanoglu, et al., 2012).
BAB III

STATUS ORANG SAKIT

Nama : NS
No. RM : 355670
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 26-09-1960
Alamat : Setiabudi Gg. Sepakat
Pekerjaan : Wiraswata

Anamnesis

Keluhan Utama : Sesak Nafas

Telaah :

Hal ini dialami pasien sejak 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya
pasien sedang bekerja shift malam di sekitar pasar I Padang Bulan lalu ditusuk
oleh sekelompok orang tidak dikenal dengan senjata tajam. Timbul luka
tersebut pada punggung pasien. Luka tusuk juga ditemukan pada lengan kanan
pasien. Keluhan disertai dengan sesak nafas. Riwayat mual muntah tidak
dijumpai. Riwayat pingsan tidak dijumpai.

Riwayat penyakit terdahulu : -

Riwayat pengobatan : Tidak jelas

Riwayat operasi : Tidak dijumpai

Riwayat keluarga :-
Primary survey
A : Clear,
B : Spontan, RR : 24x/i
C : TD 110/70 mmHg, HR 96x/i, CRT >2”
D : GCS 15
E : Undress, log roll
VAS : 4

AMPLE

• A : No history of allergies
• M : No history of medication
• P : No history of past illnesses
• L : Last meal 4 hours before accident
• E : Street

Secondary Survey
• Kepala : Dalam batas normal
• Dada : Pada status lokalisata
• Abdomen : Dalam batas normal
• Genitalia : Laki-laki, dalam batas normal
• Extremities : Dalam batas normal

Pemeriksaan Fisik

Status Generalisata

Sensorium : Compos mentis


Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Temp : 36.7 C

Kepala

- Mata : Pupil isokor, reflex cahaya +/+


- Hidung & mulut
: Dalam batas normal
- Leher
: Dalam batas normal

Dada : Pada status lokalisata

Abdomen : Dalam batas normal

Genitalia : Laki-laki, dalam batas normal

Ekstremitas : Dalam batas normal

Localized State: Back

· L : - Lacerated wound o/t right back, ukuran 4 x 2 cm


setentang iga 5-6, tepi luka irregular, perdarahan aktif
minimal, swelling tidak dijumpai, bruising tidak
dijumpai.
- Lacerated wound o/t right back, ukuran 2 x 1 cm
setentang iga 5, tepi luka irregular, perdarahan aktif
minimal, swelling tidak dijumpai, bruising tidak
dijumpai.

· L : Suara napas paru kanan = kiri

· L : Nyeri tekan minimal, teraba seperti kertas perkamen di sekitar


luka, warm skin.

PemeriksaanPenunjang

PemeriksaanLaboratorium IGD (11 Juli 2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan

Hematologi

Hemoglobin (HGB) 9,8 g/dL 13-18

Eritrosit (RBC) 3,05 juta/ μL 4,5 – 6,5

Leukosit (WBC) 13.170 / μL 4.000 – 11.000

Hematokrit 27 % 39 – 54

Trombosit (PLT) 304.000/μL 150.000 – 450.000

Ginjal

BUN 16 mg/dL 9-21

Ureum 34 mg/dL 19-44

Kreatinin 0.72 mg/dL 0,7 – 1,3

Metabolisme Karbohidrat

Glukosa darah (sewaktu) 213 mg/dL <200

Elektrolit

Natrium 138 mEq/L 135-155

Kalium 3.8 mEq/L 3,6-5,5


Klorida 102 mEq/L 96-106

Foto Thoraks (11 Juli 2019)


Foto Thoraks (12 Juli 2019)
i

3.6

Diagnosis : Hemothorax ec Blunt thoracal injury

3.7 Tatalaksana

IVFD Ringer Lactat 30 gtt/i

Pemasangan Chest tube


Inj Tetagram

Inj Ceftriaxon 1 gr

Inj Ranitidin 50 mg

Inj Ketorolac 30 mg
BAB 4

FOLLOW UP

12 Juli 2019

S Nyeri

O Sensorium: compos mentis

HR: 88 x/i

RR: 20 x/i

TD: 100/60 mmHg

Thoraks:

- Inspeksi: Lacerated wound o/t (R) back


- Palpasi: Fremitus kanan = kiri
- Perkusi: sonor pada kedua hemithoraks
- Auskultasi: SP: Vesikuler, kanan = kiri; ST:-/-

A Nonpenetrating thoracal injury + lacerated wound o/t (R) back and (R)
arm.

P IVFD Ringer Lactat20 gtt/i

Inj Ceftriaxon 1 gr

Inj Ranitidin 50mg

Inj Ketorolac 30mg

Anda mungkin juga menyukai