Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

STEVEN JHONSON SYNDROM

Disusun Oleh :
Astarie Bella Larasati,.MD
Fionny Novira Azelikha,.MD

Pembimbing :
dr. Gunawan Santosa

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA
KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH
2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS STEVEN JHONSON SYNDROME

Laporan ini di buat untuk sebagai pelengkap laporan kasus program internship
Di RSUD DR.R.Goeteng Purbalingga Periode Agustus 2022/2023 :

Purbalingga, …. Januari 2023


Dokter Pendamping :

dr. Gunawan Santosa


BAB I
Laporan Kasus
A. Identitas Pasien :
Nama : Ny. A
TTL (usia) : 20/09/1983 (38 th)
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Tanggal masuk : 20 Agustus 2022
Tanggal periksa : 28 Agustus 2022
No CM : 619124

B. Anamnesis
- Keluhan Utama : Demam
- Keluhan Tambahan : Nyeri kepala, bercak kemerahan di badan, bercak
keputihan di rongga mulut.
- Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari SMRS.
Keluhan demam muncul setelah pasien menonton festival. Pasien mengatakan telah
mengkonsumsi tolak angin untuk mengobati keluhan demamnya, namun belum
kunjung membaik. Pasien mengeluhkan ruam kemerahan pada tangan dan kaki.
Pasien pergi ke bidan dan mendapat obat racikan, namun tetap tidak ada perbaikan
kondisi. Keluhan ruam kemerahan pada kulit bertambah. Kemudian pasien
memutuskan untuk ke klinik dan pasien disarankan ke RSGT. Pasien juga
mengeluhkan nyeri kepala, muncul bercak kemerahan di leher dan badan hingga ke
bagian kemaluan. Mulut nyeri dan muncul bercak keputihan di rongga mulut, nyeri di
tenggorokan dirasakan hingga kesulitan untuk makan. Bercak keputihan banyak dan
gatal dirasakan sejak 4 hari SMRS. Nyeri perut ulu hati +, lemas +. Pasien memiliki
riwayat sakit lambung. Keluhan lain seperti mual, muntah, disangkal. Riwayat
keluhan yang serupa disangkal. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan rutin disangkal.
- Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Keluhan serupa sebelumnya (-)
Riwayat hepatitis : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat cuci darah : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
- Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hepatitis : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat Penyakit Sosial Ekonomi :
- Community
- Anak pertama dari dua bersaudara. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan
keluarga dekat baik
- Home
- Pasien tinggal di sebuah rumah bersama istri dan kedua anak.
- Occupational
- Pasien saat ini bekerja sebagai karyawan swasta
- Personal Habit
- Pasien tidak pernah mempunyai kebiasaan merokok dan minum kopi. Pasien
jarang berolah raga.
- Drugs and Diet
- Menu makan pasien terdiri dari nasi sayur-mayur, lauk-pauk, buah-buahan, dan
susu, kadang makan pedas dan asam. Pasien makan sehari 3 kali teratur.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Baik, tampak sakit ringan.
Kesadaran: GCS E4V5M6 (compos mentis)
Vital sign
TD : 120/77 mmHg
Nadi : 136 x/menit
RR : 20x/menit,
Suhu : 36 0C
SpO2 : 100% free air
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 160 cm
Indeks Massa Tubuh : 23,4 kg/m2

Pemeriksaan Kepala
Bentuk : Mesosefal, simetris
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya (+/+)
normal, pupil bulat isokor
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bercak keputihan di rongga mulut (+), perdarahan gingiva (-)
Leher : Deviasi trakea (-), KGB tidak teraba pembesaran
Pemeriksaan Dada
Paru
Inspeksi : Dada simetris (+), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus kanan = kiri,
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis (+)
Palpasi : Iktus cordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS 5, lebar 1cm, kuat
angkat
Perkusi : Batas jantung dbn
Auskultasi : S1>S2, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, jaundice (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (+) epigastrik
Perkusi : Timpani
Hepar : tak teraba
Lien : tak teraba

Ekstremitas superior Ekstremitas inferior


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral hangat + + + +
Bercak
kemerahan + + + +
(Makula eritem)

- UKK Pada Pasien :


- Hasil Lab
- Diagnosis Kerja :
Steven Jhonson Syndrome
- Tatalaksana :
Tatalaksana di IGD (20/08/22)
IVFD Asering 20 tpm
inj. Ketorolac 2x30 mg iv
Inj. Ranitidin 2x50 mg iv
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv (ST)
Nystatin drop 2x2 ml
Tatalaksana dr. Sp.DV
Inj. Dipenhidramin 2x1amp
Clotrimazole 2x1
Salep (Betametason + gentamicin + vaselin albumin + kenalog)
Tatalaksana dr. Sp.PD
IVFD NaCl 0,9% : aminofilin 30 tpm
Inf paracetamol 1x1gr
Inj. Dipenhidramin 2x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Minosep 0,2% 3x10cc
Diet protein nabati
- Prognosis :
Ad Vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad Functionan : Dubia ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah suatu kondisi dermatologis
yang terjadi akibat epidermolisis berat. Sindrom Stevens-Johnson (SJS) terjadi
sebagai reaksi eksfoliatif berat yang mempengaruhi terutama pada bagian kulit
dan membran mukosa. Manifestasi klinis yang khas meliputi penegangan
mucocutaneous, erosi hemoragik, erosi membran mukosa, makula eritematosa,
lepuh dan kulit menjadi gundul yang terjadi sebagai akibat pemisahan
epidermis dari dermis yang parah.(1)
Sindrom Stevens Johnson (SJS) merupakan suatu kegawat daruratan
pada kulit yang dapat mengancam jiwa. SJS sering terjadi sebagai reaksi yang
berat akibat penggunaan obat atau infeksi (namun jarang terjadi). Meskipun
intervensi sistemik dapat mengubah perjalanan klinis dari kondisi penyakit ini,
tindakan suportif dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mempercepat
resolusi. Karakteristik dari kondisi ini ditinjau dari terapi yang tersedia,
termasuk agen sistemik dan manajemen suportif.(2)
Insiden tahunan SJS dan TEN dalam populasi umum masing-masing
diketahui 1–6 dan 0,4–1,2 per juta orang. Tingkat kematian terkait dengan SJS
dan TEN masing-masing diperkirakan 1-5% dan 30%. Di Indonesia sendiri
tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya Stevens Johnson
Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang sering
menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik
(45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan
obat lain seperti amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan
seftriakson.(3,4)

B. Diskusi Pembahasan
Diagnosis SSJ pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan Penderita adalah seorang wanita berumur 38 tahun. Pada
kepustakaan dikatakan SSJ/NET lebih sering terdapat pada wanita daripada
pria sekitar 61-64% dapat mengenai semua ras dengan insiden tertinggi pada
rentang usia 46-63 tahun.1,5
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah suatu kondisi dermatologis
yang terjadi akibat epidermolisis berat. Sindrom Stevens-Johnson (SJS) terjadi
sebagai reaksi eksfoliatif berat yang mempengaruhi terutama pada bagian kulit
dan membran mukosa. Manifestasi klinis yang khas meliputi penegangan
mucocutaneous, erosi hemoragik, erosi membran mukosa, makula eritematosa,
lepuh dan kulit menjadi gundul yang terjadi sebagai akibat pemisahan
epidermis dari dermis yang parah.(1)
Sindrom Stevens Johnson (SJS) merupakan suatu kegawat daruratan
pada kulit yang dapat mengancam jiwa. SJS sering terjadi sebagai reaksi yang
berat akibat penggunaan obat atau infeksi (namun jarang terjadi). Meskipun
intervensi sistemik dapat mengubah perjalanan klinis dari kondisi penyakit ini,
tindakan suportif dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mempercepat
resolusi. Karakteristik dari kondisi ini ditinjau dari terapi yang tersedia,
termasuk agen sistemik dan manajemen suportif.(2)
Insiden tahunan SJS dan TEN dalam populasi umum masing-masing
diketahui 1–6 dan 0,4–1,2 per juta orang. Tingkat kematian terkait dengan SJS
dan TEN masing-masing diperkirakan 1-5% dan 30%. Di Indonesia sendiri
tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya Stevens Johnson
Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang sering
menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik
(45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan
obat lain seperti amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan
seftriakson.(3,4)
Berdasarkan anamnesis, keluhan utama pasien berupa kulit bintik-
bintik merah kehitaman hampir di seluruh tubuh, lepuh-lepuh yang kemudian
mengelupas hampir diseluruh muka, badan, tangan, kaki, dan kemaluan. Pada
mata terdapat sekret purulen dan bibir terdapat luka. Dari anamnesis dan allo-
anamnesis, penderita mengeluhkan rasa gatal dan panas yang timbul sejak
seminggu sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya penderita pernah
meminum obat yang dibeli di apotik karena keluhan demam tetapi lupa nama
obatnya. Empat hari kemudian permukaan kulit memerah dan lalu muncul
lepuh-lepuh berisi cairan. Kulit yang menjadi merah semakin banyak dan
meluas hingga penderita dibawa kerumah sakit. Riwayat pengobatan
sebelumnya tidak dijumpai. Pada kepustakaan dikatakan SSJ dan NET muncul
dalam 8 minggu (biasanya 4 – 30 hari) setelah terpapar dengan obat. Gejala
non spesifik seperti demam, sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1 – 3
hari sebelum muncul lesi pada kulit. Selanjutnya akan terjadi sakit menelan
dan rasa tersengat dan terbakar pada mata dan munculnya lesi pada kulit dan
mukosa. Erupsi dimulai dengan terdistribusi simetris pada wajah, batang tubuh
bagian atas dan tungkai atas. Bagian bawah lengan dan kaki relatif tidak
terkena tetapi lesi bisa juga meluas dengan cepat ke seluruh permukaan tubuh
dalam beberapa hari bahkan dalam beberapa jam.1,6
Pada pemeriksaan fisik dijumpai keadaan umum pasien lemah, pada
mata dijumpai konjungtiva hiperemis dan ditemukan sekret purulen. Pada
pemeriksaan dermatologi dijumpai makula hiperpigmentasi hampir menutupi
seluruh wajah, erosi, ekskoriasi sebagian tertutup krusta pada regio nasalis dan
oralis, makula eritema, erosi, ekskoriasi, krusta, deskuamasi pada regio
generalisata (badan, punggung, ekstremitas superior, ekstremitas inferior,
genitalia). Pada kepustakaan dikatakan gambaran lesi yang khas berupa
makula eritematosa, purpura dengan tepi yang tidak jelas dan menyatu.
Gabungan lesi nekrotik akan meluas.Gelembung pada SSJ/NET tipis, rapuh
dan mudah pecah serta ditemukan tanda Nikolsky positif. Lesi mukosa diawali
dengan eritema, diikuti dengan erosi yang nyeri pada mukosa pipi, mata dan
genital, hidung, uretra, vagina, saluran pencernaan dan saluran pernafasan.1,6
Pada pemeriksaan laboratorium didapati Hb: 12,2 g/dl, leukosit: 14000
sel/mm3, LED: 35 mm/jam, trombosit: 287.000 sel/mm3, eritrosit: 3,92
juta/mm3, sedangkan dari pemeriksaan urin rutin, fungsi ginjal, fungsi hati,
kadar gula darah, kolesterol berada dalam batas yang normal. Pada
kepustakaan dikatakan, pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik,
namun biasanya terjadi anemia, peningkatan sel leukosit, hitung jenis sel :
eosinofil meningkat, dan peningkatan laju endap darah.1,2
Diagnosis banding penyakit ini adalah Sindroma Stevens Johnson,
Nekrolisis Epidermal Toksik, Eritema Multiforme. Pengelupasan epidermis <
10% area permukaan tubuh total merupakan SSJ, dimana NET terjadi jika
melibatkan > 30% permukaan tubuh, kasus intermediet disebut sebagai
SSJ/TEN-overlap.2 Diagnosis banding eritema multiforme disingkirkan
karena eritema multiforme merupakan reaksi kutaneus yang biasanya tampak
setelah infeksi daripada setelah pengobatan, sering dikaitkan dengan infeksi
akut dan yang tersering adalah infeksi virus herpes simpleks, terdapat
gambaran lesi target berupa papul yang berbeda pada SSJ dimana lesi
targetnya berupa makula.2,6
Penatalaksanaan SSJ pada pasien terutama ditujukan untuk
menyelamatkan jiwa dan mencegah komplikasi. Penatalaksanaan umum
berupa identifikasi dan penghentian obat- obatan yang dicurigai sebagai
penyebab. Perawatan suportif dilakukan dengan menstabilkan keadaan umum
dan dirawat inap di rumah sakit. Menurut kepustakaan, pasien SSJ mengalami
kondisi yang kurang stabil, sehingga memerlukan monitoring dan perawatan
yang baik, nutrisi, cairan dan elektrolit, mempertahankan keadaan
hemodinamik agar tetap normal, mencegah hipotermia dan pengobatan
terhadap kemungkinan infeksi.1,2,3,5 Pengobatan pada pasien diberikan secara
topikal dan sistemik.1,2 Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk keadaan ini
kecuali bila pasien mengalami kelainan pada paru atau sepsis dan keterlibatan
multi organ.3
Penatalaksanaan pada pasien adalah diet makanan yang tinggi protein, IVFD
RL 20 tetes/menit, injeksi deksametason 1 ampul (5 mg)/8 jam, injeksi
antibiotik gentamisin 1 ampul (80 mg)/12 jam, injeksi ranitidin 1 amp (50
mg)/12 jam, kompres NaCl 0,9% pada daerah bibir, badan dan punggung,
daerah bibir diberikan triamsinolon asetonid 0,1% ointment (kenalog in
orabase®) 2xsehari. Menurut kepustakaan, pengobatan SSJ dapat diberikan
kortikosteroid, namun sampai saat ini hal ini masih menjadi kontroversi.
Dalam beberapa studi pemberian kortikosteroid pada fase akut dapat
mencegah perluasan dari penyakit serta berfungsi mengendalikan inflamasi
yang terjadi .Pengobatan antibiotic sistemik diberikan untuk penderita SSJ
dengan adanya bukti infeksi sekunder lokal dan sistemik. Namun, penderita
SSJ tanpa bukti infeksi sekunder juga bermanfaat diberikan antibiotik sistemik
untuk menghindari terjadinya infeksi saat proses pelepasan epidermis terjadi.1-
3
Kompres dilakukan untuk membersihkan kulit yang sakit dari debris dan
membuat keadaan yang basah menjadi kering, permukaan menjadi bersih
sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi proses
epitelisasi. Pada pasien ini terjadi komplikasi berupa konjungtivitis, diberikan
terapi berupa salep oksitetrasiklin ODS sekali per hari, obat tetes cendo-
lytreers 6x1tetes/hari ODS dan didapatkan perbaikan setelah dilakukan terapi
dan perawatan dari Departemen Ilmu Penyakit Mata.
Prognosis quo ad vitam dubia, quo ad funtionam dubia, quo ad
sanationam dubia. Angka kematian untuk SSJ dan NET termasuk tinggi antara
20-75%. SCORTEN merupakan salah satu cara untuk menentukan prognosis
SSJ-NET.1 Semakin tinggi nilai SCORTEN maka akan semakin tinggi angka
kematiannya. Menurut kepustakaan, prognosis tergantung pada etiologi yang
mendasari penyakit dan prognosis terbaik adalah SSJ akibat obat, karena
kelainan kulit cepat mengalami resolusi apabila obat pencetus segera
dihentikan dan segera mendapatkan terapi. Selain itu apabila etiologi sudah
diketahui dengan pasti, biasanya prognosisnya akan lebih baik karena
pemberian terapi akan menjadi lebih spesifik.1,3
DAFTAR PUSTAKA

1. Valeyrie-Allanore L, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (steven-johnson


syndrome and toxic epidermal necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DC, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill; 2008;349-62
2. Gerdts B, Vloemans AFPM, Kreis RW. Toxic epidermal necrolysis;15 years
experience in a Dutch burns centre. Dalam: JEADV 2007 (21):781-8
3. Hazin R, Ibrahim OA, Hazin MI, dkk. Steven-Johnson syndrome: Pathogenesis,
diagnosis and management. Dalam: Annual of medicine 2008 (40):129-38
4. Dalli RL, Kumar R, Kennedy P, Maitz P, dkk,. Toxic epidermal necrolysis/steven-
johnson syndrome: current trends in management. Dalam: ANZ. J Surg 2007
(77):671-6
5. Mockenhaupt M. Steven-johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis.
Dalam: J Revuz, Roujeau CJ, Kerdel FA, dkk editor. Life-threatening dermatoses
and emergencies in dermatology. Verlag Berlin Heidelberg: Springer: 2009; 87-95
6. Contact dermatitis and drug eruption. Dalam: James WD, Berger TG, Elston DM.
Andrew’s diseases of the skin clinical dermatology. Edisi ke-10. Kanada. Saunders
Elsevier:2006;91-139
7. Fagan S, Spies M, Hollyoak M, dkk. Exfoliative and necrotizing diseases of the skin.
Dalam: Herndon D editor. Total burn care. Edisi ke-3. Cina: Saunders
Elsevier:2007; 554-65
8. Paquet P, Pierad GE. New insight in toxic epidermal necrolysis (Lyell’s syndrome)
clinical considerations, pathobiology and targeted treatments revisited. Dalam:
Drug Saf 2010(33);189-212

Anda mungkin juga menyukai