OLEH :
PRESEPTOR :
dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK
I.1.
Definisi SJS
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SSJ, adalah
reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini
mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini
yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik
epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai
eritema multiforme (EM) (Adithan,2006).
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain :
sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema
poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter,
dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter
tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006).
I.2.
Epidemiologi SSJ
Jumlah kasus di Amerika Serikat cenderung meningkat pada awal musim
semi dan musim dingin. Untuk kasus overlap SSJ/NET, NSAID oksikam
(piroksikam, meloksikam, tenoksikam) dan sulfonamid merupakan penyebab
tersering di Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Kontras dengan
negara-negara Barat, penyebab tersering di negara-negara Asia Timur dan
Tenggara adalah allopurinol.
I.3.
Etiologi SSJ
1.
2.
3.
4.
5.
6.
napas atas.
4 kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.
a. Penyakit viral yang pernah dilaporkan termasuk HSV, AIDS,
infeksi
virus
coxsakie,
hepatitis,
influensa,
I.4.
Patofisiologi SJS
SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks
imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir
ini kokain dimasukkan dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ. Sampai
dengan setengah dari total kasus, tidak ada etiologi spesifik yang telah
diidentifikasi.
SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II
(sitolitik) menurut Coomb dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung
kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit
berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk
CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat
di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1,
ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat
di epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit
sehingga terjadi (Carroll, 2001):
1.
2.
dan glukosuriat
3.
Kegagalan termoregulasi
4.
5.
Infeksi
penelitian
terhadap
patofisiologi
SSJ/NET
dapat
memberikan
I.5.
hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah,
pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi
gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada
muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan
pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk
lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila
digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran
napas atas.
Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang
akan bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik.Riwayat demam
atau perburukan lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi,demam dilaporkan
terjadi sampai 85% dari seluruh kasus.
Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien
tidak dapat makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi
keluhan disuria. Riwayat penyakit SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan.
Rekurensi dapat terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau
pasien mengalami pajanan kembali.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan
sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.
Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan
panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok
(Adithan, 2006).
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan
sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat
merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap
infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik
untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang
yang mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :
a.
b.
c.
Ruam
Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin.
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir
d.
seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta
berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal,
muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis
e.
mukosa
okuler
merupakan
faktor
pencetus
yang
menyebabkan
I.6.
1.
2.
dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi
kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa
3.
I.7.
I.8.
Penatalaksanaan SSJ
I.9.
Medikametosa SSJ
Tidak ada obat spesifik yang menunjukkan keuntungan secara konsisten
pada terapi SSJ. Pemilihan antibiotik untuk infeksi bergantung kepada penyebab
infeksi tersebut.
Gejala klinis dan hasil laboratorium memperlihatkan bahwa infeksi pada
aliran darah memastikan penggunaan antibiotik. Organisme yang paling umum
antara
lain Staphylococcus
Enterobacteriaceae.
aureus, Pseudomonas
aeruginosa dan
spesies
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
diberikan 2 kali/hari.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada
hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan
menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang
dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam
fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Identitas
Nama
Ny. D
Umur
30 tahun
Jenis Kelamin
perempuan
Pekerjaan
IRT
Alamat
Status Perkawinan
Menikah
Negeri Asal
Padang
Agama
Islam
Suku
Minang
Tanggal Pemeriksaan :
23 Juli 2008
ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
Bercak merah disertai gelembung berisi cairan jernih, tersa gatal pada
hampir seluruh tubuh sembilan hari yang lalu.
Mata merah, terasa kabur dan bengkak sembilan hari yang lalu,
keluar kotoran dari mata
pasien
berobat
ke
bidan,
diberi
obat
amoxicillin,
Nyeri pada saat buang air kecil dan buang air besar tidak ada
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan umum
Kesadaran
composmentis
Status Gizi
sedang
Distribusi
: Generalisata
Bentuk
Susunan
: Tidak khas
Batas
: Tidak tegas
Ukuran
Efloresensi
: Milier plakat
: Plak hiperpigmentasi, makula hipepigmentasi, krusta
kehitaman
konjungtiva
tidak hiperemis
Sekret
(+)
Faring :
sukar dinilai
BAB III
RESUME
Seorang pasien perempuan, usia 30 tahun datang ke poliklinik kulit dan Kelamin
RSUP Dr. M. Djamil dengan:
-
STATUS DERMATOLOGIKUS
Lokasi
Distribusi
: Generalisata
Bentuk
Susunan
: Tidak khas
Batas
: Tidak tegas
Ukuran
: Milier plakat
Efloresensi
DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Stevens-Johnson
DIAGNOSIS BANDING
Nekrolisis Epidermal Toksin
PENATALAKSANAAN
TERAPI
Umum
-
Khusus
-
siprofloksasin 2 x 400 mg IV
PROGNOSIS
-
quo ad sanationam
bonam
quo ad vitam
bonam
quo ad kosmetikum
bonam
quo ad functionam
bonam
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5thedition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007. p:154-158.
Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.5th edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas