Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS ILMU PENYAKIT DALAM

ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE

Disusun Oleh :

Payal Morangkey

0107370173

Pembimbing :

dr. Vito A. Damay, Sp.JP(K). M.Kes. FIHA, FICA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE JUNI – AGUSTUS 2019

TANGERANG

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Abstrak
Pasien perempuan berusia 57 tahun yang memiliki riwayat penyakit jantung
kronik datang ke IGD dengan keluhan sesak napas yang memberat 4 jam SMRS dengan
kondisi tanda vital. hipotensi, takikardia, dan takipnea. Tatalaksana awal yang
diberikan pada pasien dengan kondisi membahayakan nyawa tersebut adalah
suplementasi oksigen melalui nasal cannule 3 lpm, diberikan Furosemide untuk
mengurangi gejala kongesti yang juga dialami pasien sehingga dapat meminimalisir
keluhan sesak nafas dan hemodinamik kembali stabil.

B. Latar Belakang
Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) sendiri merupakan suatu keadaan
dimana terjadi perburukan dari gejala gagal jantung secara tiba-tiba dan biasanya
disebabkan oleh edema paru kardiogenik dan sering mengarah pada hospitalisasi.1 15 –
20% pasien gagal jantung akut datang ke IGD karena serangan yang de novo (pertama
kali), atau yang lebih seringnya pada 70% pasien adalah karena akibat dari
dekompensasi penyakit gagal jantung kronik yang umumnya dicetuskan oleh faktor-
faktor ekstrinsik seperti infeksi, hipertensi tidak terkontrol, gangguan ritme, atau
ketidakpatuhan terhadap obat dan pola makan. Selain itu gagal jantung akut juga dapat
disebabkan oleh disfungsi jantung primer seperti pada disfungsi miokardial akut, acute
valve insufficiency, atau pericardial tamponade.2,3,4

C. Presentasi Kasus
Pasien perempuan berusia 57 tahun datang dengan keluhan sesak napas yang hilang
timbul sejak 3 hari terakhir yang memberat 4 jam SMRS. Sesak yang memberat terasa seperti
pasien sedang tenggelam dan terjadi terus menerus tanpa perbaikan dengan istirahat. Selain itu,
pasien juga mengalami orthopnea sehingga pasien tidur dengan dua buah bantal, Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea (PND), dan pada malam hari kebangun karena rasa sesak. Pasien juga
merasa terdapat nyeri dada disertai dengan keringat dingin yang muncul bersamaan dengan
sesak. Nyeri dada yang dirasakan seperti ditusuk – tusuk dan terasa berdebar – debar. Pasien
mengaku jika pasien mengalami stress yang cukup tinggi atau kelelahan yang kelebihan,

keluhan tersebut muncul. Pasien menyangkal terdapat batuk disertai dengan dahak. Pasien
memiliki riwayat penyakit jantung; pernah mengalami keluhan serupa dan dirawat di rumah
sakit sekitar 3 bulan yang lalu dan diagnosis memiliki riwayat CHF (Congestive Heart
Failure). Pasien menyangkal memiliki riwayat hipertensi, Diabetes Mellitus, TB paru ataupun
asma.

Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis,
saat pasien datang ke IGD pasien dalam keadaan hipotensi, takikardia dengan nadi 127x/menit,
dan takipnea dengan laju nafas 34x/menit. Pada auskultasi paru terdengar vesikuler pada kedua
lapang paru. Pada auskultasi jantung, terdengar bunyi jantung S1 – S2 irregular, tidak terapat
murmur ataupun gallop. Pada pemeriksaan ekstremitas pasien, akral hangat dengan pitting
edema pada kedua tungkai bawah pasien. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang pasien, terdapat pemanjangan prothrombin time


(27.70 seconds), terdapat juga Hiponatremia (134 mmol/L) dan hipocholremia (93 mmol/L).
Hasil EKG menunjukan irama sinus takikardia, deviasi aksis ke arah kiri dan terdapat fibrilasi
atrium. Pada foto thoraks tampak kardiomegali (CTR 78%).


















Hasil EKG (24 Juni 2019, pukul 02:34)



















Hasil EKG (25 Juni 2019, pukul 05.36)






Hasil EKG (26 Juni 2019, pukul 05:25)

























Foto X – ray Thoraks

Saat admisi di Instalasi gawat darurat (IGD) pasien dalam kondisi takikardia (HR 127x/menit)
dan takipnea (RR 34x/menit) dan pasien awalnya diberikan O2 via Nasal Canule 3 lpm,
Digoxin 0.25mg IV, Omeprazole 40mg IV dan Paracetamol 500mg PO, tekanan darah pasien
mulai naik menjadi 110/70 mmHg, dengan HR 102x/menit dan RR 20x/menit, SpO2 99% dan
diberiksan Furosemide 20mg IV. Pada keadaan pasien yang seperti ini dianjurkan untuk
dilakukan perawatan di Cardiac Corner (CC) untuk dapat dilakukan monitoring tanda – tanda
vital dan pemantauan intensif. Selain itu, diberikan drip Dobutamine 4 mcg/kgBB/menit dan
obat – obatan lain seperti Spironolactone 25mg 1 x 1 PO.

BAB II

DISKUSI KASUS

Sesak napas atau dyspnea menurut The American Thoracic Society (ATS)
adalah suatu keadaan subjektif dimana seseorang merasa tidak mendapat asupan udara
yang cukup.5 Dypsnea bukanlah sebuah sensasi tunggal karena otak manusia memiliki
kemampuan untuk membedakan berbagai sumber aferen yang masuk hingga akhirnya
menimbulkan respon yang berbeda-beda seperti diantaranya adalah merasa butuh usaha
lebih untuk bernafas, dada terasa tertekan, dan kehausan udara. Ketiga sensasi tersebut
juga tidak berada pada mekanisme fisiologis yang sama.5,6 Pada pasien yang datang
dengan keluhan dyspnea yang perlu dipikirkan adalah apakah gejala dyspnea tersebut
ditimbulkan dari masalah pada kardiak atau pulmonal. Dyspnea yang disebabkan oleh
masalah dari kardiak biasanya ditandai dengan adanya orthopnea dimana pasien merasa
sesak jika berbaring dengan posisi supine, pasien sering terbangun di malam hari karena
sesak atau yang disebut dengan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), bengkak,
peningkatan tekanan vena leher , penurunan volume urine yang keluar dan cenderung
akan membaik dengan pemberian diuretik. Sedangkan pada dyspnea yang disebabkan
oleh masalah pada pulmonal biasanya lebih didominasi oleh keluhan batuk, suara
mengi, jarang terdapat orthopnea dan PND karena umumnya pasien terbangun karena
batuk yang mengganggu. Berdasarkan gejala klinis yang dialami pada pasien ini
cenderung mengarah pada dyspnea yang disebabkan oleh masalah kardiak.
Beberapa penyakit dari kardiak yang dapat menyebabkan dyspnea diantaranya
adalah infark miokardial akut, tamponade jantung, gagal jantung kongestif, gagal
jantung akut yang terkompensasi, dan disfungsi katup jantung. Pada penyakit infark
miokardial akut gejala utama yang umumnya akan dikeluhkan pasien adalah nyeri dada
di area substrernal dengan karakteristik seperti tertekan, memiliki intensitas yang cukup
berat dan menetap bahkan dengan istirahat atau dengan pemberian nitrogliserin
sublingual. Selain itu biasanya dapat disertai dengan diaphoresis atau keringat hebat,
mual, muntah, dan tubuh terasa lemas.7 Pada penyakit jantung tamponade, dimana
adanya akumulasi cairan pada rongga perikardial, biasanya gejala yang ditimbulkan
dapat berupa nyeri dada, dyspnea, dan takipnea sedangkan tanda khas yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik diantaranya adalah hipotensi, distensi vena jugular,

dan terdengar muffled heart sounds pada auskultasi. Ketiga tanda tersebut dikenal
sebagai Beck’s Triad. Pada pemeriksaan foto toraks anteroposterior tampak gambaran
water bottle-shaped heart. Pada pasien ini penyakit jantung tamponade dapat
disingkirkan dari diagnosis kerja karena Beck’s Triad ataupun gambaran khas berupa
bottle-shaped heart pada foto toraks tidak terpenuhi.
Penyakit paru yang dapat menyebabkan dyspnea diantaranya adalah Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK), pada PPOK yang terdiri dari emfisema dan bronchitis
kronik, gejala yang akan dirasakan pasien diantaranya adalah batuk kronik yang dapat
disertai dengan produksi sputum maupun batuk kering dan dyspnea umumnya akan
dirasakan dengan pola yang progresif seiring perjalanan penyakit PPOK itu sendiri.
Selain itu pasien yang mengalami PPOK biasanya memiliki riwayat merokok aktif
lebih dari 40 bungkus per-tahunnya berdasarkan perhitungan dengan Brinkman Index
(BI).8 Pada pasien ini tidak terdapat keluhan yang sesuai dengan gejala dari PPOK yaitu
batuk berdahak, dyspnea progresif, dan riwayat merokok dengan kategori perokok
berat berdasarkan BI oleh karena itu PPOK juga dapat disingkirkan. Pemeriksaan foto
thoraks pada PPOK biasanya dapat ditemukan adanya peningkatan radiolusensi pada
lapang paru, diafragma yang mendatar, penurunan corakan bronkovaskular,
peningkatan rongga udara retrosternal, pelebaran ruang intercostal, serta gambaran
siluet jantung yang lebih vertical.9
Pada pasien ini gejala klinis menunjukkan tanda-tanda Acute Decompensated
Heart Failure (ADHF), diagnosis ini diperkuat dengan adanya riwayat gagal jantung
kongestif yang dialami pasien jika ditinjau dari The Framingham Criteria yang terdiri
dari kriteria mayor dan kriteria minor, dimana pasien harus memenuhi dua kriteria
mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor untuk dapat ditegakkan sebagai
penyakit gagal jantung.10 Kriteria mayor yang dimaksud diantaranya adalah:10
1. Paroxysmal nocturnal dyspnea atau orthopnea
2. Distensi vena jugular
3. Terdengar rhonki pada auskultasi
4. Acute pulmonary edema
5. Hepatojugular reflux
6. S3 gallop
7. Kardiomegali pada foto toraks
Sedangkan kriteria minornya adalah:10
1. Edema tungkai bawah bilateral

2. Dyspnea on exertion (DOE)


3. Hepatomegali
4. Nocturnal cough
5. Efusi pleura
6. Takikardia (nadi > 120x/menit)
Tanda dan gejala yang tampak pada ADHF umumnya lebih sering berhubungan
dengan kongesti dan volume yang berlebihan daripada hipoperfusi.11 Mekanisme
kongesti tersebut melibatkan mekanisme akumulasi dan redistribusi cairan. Pada
keadaan terjadinya disfungsi kardiak, beberapa jalur neurohormonal termasuk sistem
saraf simpatis, sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAAS) dan sistem arginin-
vassopressin teraktivasi untuk melawan efek negative dalam hal penghantaran okigen
ke jaringan perifer. Aktivasi neurohormonal mengarah pada terganggunya ekskresi
natrium melalui ginjal sehingga terjadi akumulasi natrium yang menyebabkan
akumulasi cairan.12,13 Edema jaringan terjadi jika transudasi dari kapiler ke interstitium
melebihi kemampuan drainase maksimal dari sistem limfatik. Peristiwa transudasi
tersebut merupakan akibat dari adanya tekanan hidrostatik dan onkotik di kapiler dan
interstitium. Tiga hal spesifik yang mendorong terjadinya edema adalah peningkatan
gradien tekanan hidrostatik transkapiler, penurunan gradien tekanan onkotik di
transkapiler dan peningkatan kapasitas interstitial. Sebenarnya pada individu yang
sehat, peningkatan natrium tidak selalu disertai dengan terjadinya edema karena dapat
diseimbangkan dengan glikosaminoglikan yang ada di interstitial melalui kapasitas
yang rendah sehingga mencegah terjadinya retensi air sebagai kompensasi.14,15 Pada
keadaan gagal jantung jika terdapat akumulasi natrium yang menetap,
glikosaminoglikan dapat mengalami disfungsi sehingga terjadi penurunan
kemampuannya sebagai penyeimbang dan terjadi peningkatan kapasitas. Pada gagal
jantung akut terjadinya edema paru atau edema perifer tidak bergitu berkorelasi dengan
tekanan pengisian jantung kiri dan jantung kanan,16,17. tetapi pada pasien dengan
disfungsi glikosaminoglikan jika terdapat sedikit peningkatan tekanan vena dapat
menyebabkan edema paru dan edema perifer. Selain itu natrium juga terdapat di
glikosaminoglikan interstitial dan tidak mencapai ginjal sehingga sulit dikeluarkan dari
tubuh.12 Selain akumulasi cairan, kongesti juga dapat berhubungan dengan redistribusi
cairan. Stimulasi simpatik dapat menginduksi vasokonstriksi sementara yang mengarah
pada perpindahan volume secara tiba-tiba dari splanknik dan sistem vena perifer
menuju ke sirkulasi paru tanpa retensi cairan eksogen.18,19 Mekanisme kongesti yang

melibatkan akumulasi cairan umumnya ditemukan pada gagal jantung dengan


dekompensasi dengan penurunan LVEF, sedangkan mekanisme redistribusi cairan
lebih sering ditemukan pada gagal jantung akut dengan preserved ejection fraction.
Pada penanganannya diuretik dapat berguna pada gagal jantung akibat akumulasi
cairan sedangkan vasodilator berguna jika terdapat redistribusi cairan.20
Manifestasi kongesti yang dapat dirasakan pasien dan diamati secara klinis
diantaranya adalah orthopnea, yaitu pasien merasa sesak saat berbaring, yang
disebabkan oleh adanya kongesti paru saat posisi berbaring karena pada posisi
horizontal terjadi redistribusi volume darah dari ekstremitas bawah dan splanchnic bed
menuju ke paru-paru.21 Pada orang normal hal ini hanya menimbulkan efek yang
minimal tetapi pada pasien dengan gangguan pompa ventrikel kiri volume tambahan
tersebut tidak mampu dipompa keluar sehingga terdapat penurunan kapasitas vital dan
kapasitas paru yang signifikan sehingga terjadi sesak nafas. Mekanisme yang serupa
juga terlibat dalam terjadinya PND, dimana ventrikel kiri tiba-tiba tidak mampu
menyeimbangkan output dari ventrikel kanan yang berfungsi lebih normal sehingga
terjadi kongesti paru, tetapi terdapat teori tambahan mengenai mengapa PND terjadi
hanya saat seseorang sedang tertidur yaitu adanya penurunan respons pusat pernapasan
di otak dan penurunan aktivitas adrenergik di miokardium saat tidur.22 Terjadinya
kegagalan ouput ventrikel kiri juga dapat meningkat saat sedang beraktivitas sehingga
terjadi peningkatan tekanan vena paru yang akhirnya menyebabkan timbulnya gejala
DOE.
Edema menyebabkan akumulasi cairan menutupi saluran pernapasan kecil,
pada saat inspirasi saluran napas kecil tersebut membuka dan menyebabkan
terdengarnya suara rhonki pada saat auskultasi. Rhonki lebih terdengar di daerah basal
paru karena tekanan hidrostatik jauh lebih besar tetapi seiring progresivitas kongesti
rhonki juga dapat terdengar di lapang paru yang lebih atas.7 Sedangkan suara jantung
S3 dapat terdengar pada gagal jantung sistolik karena adanya abnormalitas pada
pengisian ruang jantung yang dilatasi.7 Pada gagal jantung kanan dapat terjadi
peningkatan tekanan vena sistemik yang menimbulkan manifestasi klinis berupa
hepatomegaly yang disertai dengan nyeri tekan regio kanan atas abdomen dan distensi
vena jugular, hal inilah yang menyebabkan vena jugular merupakan suatu gambaran
dari fungsi atrium kanan jantung.7 Peningkatan tekanan vena jugular juga dapat
dipastikan dengan melakukan pemeriksaan refluks hepatojugular dengan mempalpasi
hepar. Pada jantung yang sehat pemberian tekanan pada hepar tidak meningkatkan

aliran darah ke vena leher karena jantung dapat segera meningkatkan output sebagai
respon terhadap peningkatan aliran balik vena sehingga mencegah peningkatan tekanan
vena secara keseluruhan. Pada gagal jantung kongestif tekanan yang diberikan pada
hepar dapat menyebabkan peningkatan vena leher karena jantung tidak mampu
merespon terhadap peningkatan aliran balik vena melalui peningkatan output sehingga
tekanan vena meningkat.23 Mengenai manifestasi klinis efusi pleura biasanya dapat
dinilai melalui pemeriksaan fisik perkusi yang terdengar redup di paru basal bagian
posterior. Efusi pleura dapat terjadi baik pada gagal jantung kanan maupun gagal
jantung kiri yang disebabkan karena vena pleura bermuara ke vena sistemik dan
pulmonal.7
Pada pasien terdapat tiga gejala yang termasuk pada kriteria penyakit gagal
jantung yaitu PND, orthopnea, terdengar rhonki, serta kardiomegali pada foto toraks.
ADHF sendiri merupakan suatu keadaan dimana terjadi perburukan dari gejala gagal
jantung secara tiba-tiba.1 Secara garis besar perburukan pada ADHF tersebut dapat
disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dan juga karena
sindrom koroner akut atau infark miokardial akut. Pada pasien ini ketidakpatuhan
konsumsi obat dapat menjadi penyebab karena pasien tidak rutin mengkonsumsi obat-
obatan.
Pada dasarnya diagnosis dari ADHF bergantung pada diagnosis klinis, oleh
karena itu evaluasi awal didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tetapi, tanda
dan gejala ADHF dapat menyerupai tanda dan gejala penyakit lain. Pada ADHF gejala
yang paling sensitif adalah dyspnea pada aktivitas minimal sedangkan gejala yang
paling spesifiknya adalah adanya PND dan keduanya terdapat pada pasien ini.11 Saat
mendapat pasien dengan keluhan yang mengarah pada ADHF sebaiknya segera
mengidentifikasi pasien-pasien yang memiliki risiko komplikasi tinggi untuk dapat
menentukan target tatalaksana yang spesifik. Klasifikasi secara klinis dapat dilakukan
melalui pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi ada tidaknya tanda dan gejala
kongestif sebagai akibat dari peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri yaitu “basah”
atau “kering” serta ada tidaknya hipoperfusi perifer akibat penurunan curah jantung
yaitu “dingin” atau “hangat”, dari kedua pilihan ini dapat diidentifikasi 4 kelompok
yaitu (Figure 5):7


Figure 1: Klasifikasi Gagal Jantung Akut Secara Klinis
Profil A “hangat dan kering”, artinya terkompensasi dan perfusi baik tanpa
kongesti. Profil A mengindikasikan hemodinamik yang normal sehingga gejala yang
ditimbulkan biasanya akibat faktor lain selain gagal jantung, yaitu penyakit parenkim
paru atau transient myocardial infarction. Kelompok yang kedua adalah Profil B
“hangat dan basah”, berarti perfusi perifer baik tetapi terdapat kongesti; Profil C
“dingin dan basah”, perfusi perifer buruk disertai dengan kongesti akibat adanya
gangguan penerusan curah jantung sehingga terjadi vasokonstriksi sistemik akibat
aktivasi sistem syaraf simpatik sehingga akral teraba dingin. Profil B dan C biasanya
pada pasien dengan edema paru akut dan Profil C cenderung lebih serius dibanding
Profil B, yang memiliki prognosis yang lebih buruk dari Profil A.24 Profil L “dingin
dan kering”, perfusi perifer tidak baik akibat rendahnya curah jantung tetapi tidak ada
kongesti. Profil L dapat terjadi pada pasien yang memang mengalami deplesi volume
atau terbatasnya cadangan volume tanpa volume overload seperti pada pasien dengan
dilatasi ventrikel kiri dan mitral regurgitasi yang dapat mengalami dyspnea saat
beraktivitas karena tidak bisa meneruskan curah jantung yang adekuat. Contoh
manifestasi dari gambaran basah adalah terdengar rhonki, peningkatan vena jugular,
edema di tungkai bawah, orthopnea atau PND. Sedangkan pada dingin manifestasi
yang dapat muncul adalah akral dingin, oliguria, mental confusion, narrow pulse
pressure.7 Pasien ini dapat diklasifikasikan dalam Profil C karena memiliki manifestasi
dari kongesti dari edema paru yaitu sesak seperti tenggelam, orthopnea, PND, terdengar
rhonki dan mengi pada auskultasi dan manifestasi dari hipoperfusi yaitu akral teraba
dingin terutama saat admisi di IGD.
Penanganan pasien yang datang dengan keluhan utama dyspnea dan kecurigaan
mengarah ADHF harus dioptimalkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
karena pemeriksaan penunjang harus dilakukan beriringan dengan tatalaksana awal

yang tepat mengingat hal ini adalah kondisi akut.25,26,27 Tujuan tatalaksana ADHF
menurut Heart Failure Society of America (HFSA) guidelines adalah:28,29
1. Perbaikan gejala
2. Pengembalian oksigenasi menjadi normal
3. Optimalisasi status volume
4. Identifikasi penyebab dan faktor yang memperberat
5. Optimalisasi terapi oral jangka panjang
6. Minimalisasi efek samping
7. Identifikasi apakah revaskulariasi atau device therapy lainnya efektif
8. Stratifikasi resiko untuk tromboemboli vena dan kemungkinan
membutuhkan antikoagulasi
9. Edukasi mengenai obat-obatan dan penanganan sendiri gagal jantung


Figure 6: Algoritme Tatalaksana Gagal Jantung Akut

Tatalaksana awal yang diberikan di IGD pada pasien ini sesuai dengan
algoritme (Figure 6) yaitu pasien diberikan terapi oksigen melalui nasal cannule 6 lpm.

Selain itu, karena pasien ini datang dengan kondisi hipotensi maka diberikan
Dobutamine, untuk meningkatkan curah jantung sehingga kerja jantung dalam
memompa darah menjadi lebih ringan. Dobutamine selain memiliki efek inotropik juga
memiliki efek kronotropik ringan melalui aktivasi adenylyl cyclase, meningkatkan
kadar Cyclic Adenosine Monophospate (cAMP) intrasel, sehingga dapat meningkatkan
kadar kalsium dan menstimulasi vasolidatasi perifer serta menurunkan afterload.
Kombinasi dari peningkatan intropik dan penurunan afterload inilah yang menstimulasi
peningkatan curah jantung secara signifikan. Dosis Dobutamine yang disarankan
adalah 2 – 20 mcg/kgBB/menit, pemberian pada pasien ini telah sesuai dengan batas
yang disarankan yaitu dosis awal 5 mcg/kgBB/menit yang dititrasi naik menjadi 7
mcg/kgBB/menit, 10 mcg/kgBB/menit dan diturunkan kembali menjadi 7
mcg/kgBB/menit, 5 mcg/kgBB/menit dan 2 mcg/kgBB/menit.24 Selain itu pada pasien
ADHF dengan kongesti juga diperlukan pemberian diuretik, tetapi pemberiannya harus
mempertimbangkan terlebih dahulu apakah perfusi sudah teratasi dengan baik setelah
pemberian dobutamine. Diuretik lini pertama yang dapat diberikan pada gagal jantung
akut adalah Furosemide dengan dosis awal 20 – 40 mg.24 Furosemide bekerja melalui
peningkatan ekskresi garam dan air dengan mengganggu sistem chloride-binding
cotransport yang akan menghambat penyerapan natrium dan klorida di ascending loop
of Henle dan tubulus kontortus distal ginjal serta ditambah sedikit efek vasodilatasi.
Pemberian terapi medikasi oral gagal jantung jangka panjang dapat
dipertimbangkan berdasarkan guideline dari American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association (ACCF/AHA) mengenai pasien gagal jantung
dengan penurunan ejection fraction yang datang dengan ADHF, yang perlu
diperhatikan adalah:
1. Terapi oral tetap harus dilanjutkan, bahkan dititrasi naik jika diperlukan,
terutama pada pasien gagal jantung dengan penurunan ejection fraction.
2. Pemberian Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE-I) atau
Angiotensin Receptor Blockers (ARBs) dan beta blockers memberikan
prognosis yang baik.
Selain itu sesuai data dari ESC bahwa pemberian obat-obatan di atas bertujuan
untuk memperbaiki gejala dan kapasitas dalam beraktivitas, menurunkan resiko
hospitalisasi tetapi pemberiannya harus dengan indikasi.29 Pemberian ACE-I dan ARBs
diindikasikan untuk pasien gagal jantung dengan LVEF < 40%, pasien dengan gagal
jantung NYHA kelas II – IV atau disfungsi sistolik ventrikel kiri yang asimtomatik

(NYHA kelas I).29 Pilihan yang dapat diberikan adalah Captopril dengan dosis awal 3
x 6.25 mg hingga target dosis 3 x 50 mg, Ramipril dengan dosis awal 1 x 2.5 mg hingga
target dosis 1 x 10 mg.29 Sedangkan indikasi pemberian beta blockers diantaranya
adalah untuk pasien stabil dengan gagal jantung sistolik ringan atau sedang dengan
LVEF < 40% (NYHA kelas II – III) dan merupakan pilihan lini pertama bersamaan
dengan pemberian ACE-I dan MRA pada pasien dengan gagal jantung stabil dan
dimulai sedini mungkin. Salah satu pilihan beta blockers yang dapat diberikan adalah
Bisoprolol dengan dosis awal 1 x 1.25 mg dengan target dosis 1 x 10 mg.29
Selain tatalaksana farmakologis pada pasien ADHF, ESC juga memberikan
anjuran tatalaksana non-farmakologis melalui edukasi bagi pasien dan keluarga seperti
dalam hal nutrisi pasien disarankan harus mengontrol konsumsi garam < 2000 mg dan
membatasi cairan yang masuk menjadi 1500 – 2000 ml.30,31 Edukasi juga perlu
diberikan mengenai penurunan berat badan pada pasien overweight atau obesitas.30,31
Hal lain yang perlu diberikan edukasi adalah mengenai olahraga, pasien diharapkan
dapat tetap rutin berolahraga minimal 2 kali setiap minggu untuk menghindari
penurunan massa otot. Selain itu pasien dan keluarga juga perlu diberikan edukasi jika
terdapat tanda-tanda perburukan gejala seperti kenaikan berat badan lebih dari 2 kg
dalam 3 hari untuk segera datang ke dokter.30,31,32
Tatalaksana gula darah turut menurunkan risiko mortalitas dan komplikasi
kardiovaskular karena berdasarkan data penelitian San Antonia Heart Study dari 4.875
pasien dengan diabetes melitus yang diikuti selama sekitar 8 tahun memiliki hubungan
yang signifikan antara diabetes melitus dengan peningkatan mortalitas secara
keseluruhan termasuk akibat kardiovaskular yaitu sebesar 52% atau 2 hingga 6 kali
lebih besar daripada pasien tanpa diabetes melitus.33,34 Selain itu pada pasien dengan
diabetes melitus risiko gagal jantung meningkat sebesar 40% jika dibandingkan dengan
pasien yang tidak menderita diabetes melitus.35
Pada pasien tersebut juga dilakukan pemeriksaan EKG dan ditemukan atrial
fibrilasi dengan rapid ventricular response (RVR). Fibrilasi atrium adalah takiaritimia
supraventrikular yang khasdikarakterisikan dengan aktivasi atrium yang tidak
terkoordinasi, yang mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium. Pada EKG biasa
ditembukan tidak ada konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang gertar
yang berviarasi amplitude, bentuk dan durasinya. Ciri – ciri fibrilasi atrium pada EKG
adalah adanya pola interval RR yang ireguler, tidak dijumpainya gelombang P yang
jelas, dan interval antara dua gelombang aktivasi atrium bervariasi.

Sasaran utama pada penatalaksanaan fibrilasi atrium adalah mengontrol


ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningktan denyut jantung dan
menghindari/ mencegah adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioeversi
merupakan salah satu penatalaksaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut
pengertiannya, kardioeversi sendiri adalah suatu tatalaksana yang berfungsi untuk
mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya,
kardioeversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological
Cardioeversion) dan pengobatan elektrik (Electrical cardioeversion)
- Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah yang merupakan pengobatan untuk mencegah adanya
komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan atau antitrombosis,
hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurang resiko dan terbentuknya thrombus dalam
pembuluh darah serta cabang – cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai untuk
mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah:
1. Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses
pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi. Warfarin diberikan
secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu
+ 1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin di metabolism dengan cara oksidasi (bentuk
L) dan reduksi (bentuk D) yang kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama
kerja + 40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo – oksigenase dari trombosit (COX2)
dengan cara astilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX2 ini adalah menghambat
produksi endoperoksida dan tromoksan (TXA2) di dalam trombosit. Hal inilah yang
menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin dalam
waktu lama dapat menyebabkan pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor pembekuan darah,
terutama faktor II, VII, IX dan X.
- Mengurangi denyut jantung
Terdapar 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan peningkatan denyut jantung
yaitu obat digitalis, beta – blocker, dan antagonis kalsium. Obat – obat tersebut bisa digunakan
secara individual ataupun kombinasi.

1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatan kontraktilitas jantung dan menurunkan denyut
jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga
memperlambat sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan
peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.
2. β-blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf simpatis. Saraf
simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung.
Efek ini akan berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalisum menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung akibat
2+
dihambatnya ion Ca dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati Ca2+ channel yang
terdapat pada membrane sel.
- Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk menteraturkan
irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tatalaksana yang
berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
kardioversi dibagi menjadi 2 yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion)
dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion).
• Pharmacological Cardioeversion (Anti aritmia)
- Amiodarone
- Dofetilide
- Flecainide
- Ibutilide
- Propafenone
• Electrical cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat logam (bantalan)
ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah mengembalikan irama jantung
kembali normal atau sesuai dengan NSR (nodus sinus rhythm).
Terapi Antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada pasien AF meliputi
antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan baru) dan antiplatelet. Antagonis Vitamin
K (warfarin atau Coumadin) adalah obat antikoagulan yang paling banyak digunakan untuk
pencegahan stroke pada AF.

Antikoagulan Baru (AKB) seperti dabigatran, rivaroxaban dan apixaban. Dabigatran bekerja
dengan cara menghambat langsung thrombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya
bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pinto DS, Lewis S. Pathophysiology of acute decompensated heart failure. In: Basow
DS, ed. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2012.
2. Gheorghiade M, Zannad F, Sopko G, et al. Acute heart failure syndromes: current state
and framework for future research. Circulation 2005; 112:3958.
3. Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, et al. Acute decompensated heart failure:
contemporary medical management. Tex Heart Inst J 2009; 36:510
4. Fonarow GC, ADHERE Scientific Advisory Committee. The Acute Decompensated
Heart Failure National Registry (ADHERE): opportunities to improve care of patients
hospitalized with acute decompensated heart failure. Rev Cardiovasc Med 2003; 4
Suppl 7:S21.
5. Parshall MB, Schwartzstein RM, Adams L, et al. An official American Thoracic
Society statement: update on the mechanisms, assessment, and management of
dyspnea. Am J Respir Crit Care Med 2012; 185: 435–452.
6. Laviolette L, Laveneziana P. Dyspnoea: a multidimensional and multidisciplinary
approach. Eur Respir J 2014; 43: 1750–1762.
7. Pathophysiology Of Heart Disease : A Collaborative Project Of Medical Students And
Faculty / Editor Leonard S. Lilly.— 5th Ed.
8. [Guideline] Qaseem A, Wilt TJ, Weinberger SE, et al. Diagnosis and Management of
Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease: A Clinical Practice Guideline Update
from the American College of Physicians, American College of Chest Physicians,
American Thoracic Society, and European Respiratory Society. Ann Intern Med. 2011
Aug 2. 155(3):179-191.
9. Semin Respir Crit Care Med. Author manuscript; available in PMC 2015 Feb 19.
Published in final edited form as: Semin Respir Crit Care Med. 2010 Jun; 31(3): 276–
285. Published online 2010 May 21. doi: 10.1055/s-0030-1254068.
10. Ho KK, Pinsky JL, Kannel WB, Levy D. The epidemiology of heart failure: the
Framingham Study. J Am Coll Cardiol. 1993 Oct. 22 (4 suppl A):6A-13A.
11. Costanzo MRJessup M. Treatment of congestion in heart failure with diuretics and
extracorporeal therapies: effects on symptoms, renal function, and prognosis. Heart Fail
Rev 2012;17:313–324.

12. Nijst P Verbrugge FH Grieten L Dupont M Steels P Tang WHW Mullens W. The
pathophysiological role of interstitial sodium in heart failure. J Am Coll Cardiol
2015;65:378–388.
13. McKie PM Schirger JA Costello-Boerrigter LC Benike SL Harstad LK Bailey KR
Hodge DO Redfield MM Simari RD Burnett JC Chen HH. Impaired natriuretic and
renal endocrine response to acute volume expansion in pre-clinical systolic and
diastolic dysfunction. J Am Coll Cardiol 2011;58:2095–2103.
14. Titze J Shakibaei M Schafflhuber M Schulze-Tanzil G Porst M Schwind KH Dietsch P
Hilgers KF. Glycosaminoglycan polymerization may enable osmotically inactive Na+
storage in the skin. Am J Physiol Heart Circ Physiol 2004;287:H203–H208.
15. Guyton AC. Interstitial fluid pressure. Pressure-volume curves of interstitial space. Circ
Res 1965;16:452–460.
16. Breidthardt T Irfan A Klima T Drexler B Balmelli C Arenja N Socrates T Ringger R
Heinisch C Ziller R Schifferli J Meune C Mueller C. Pathophysiology of lower
extremity edema in acute heart failure revisited. Am J Med 2012;125:1124.e1–
1124.e8.
17. Zile MR Adamson PB Cho YK Bennett TD Bourge RC Aaron MF Aranda JM Abraham
WT Stevenson LW Kueffer FJ. Hemodynamic factors associated with acute
decompensated heart failure: part 1–insights into pathophysiology. J Card Fail
2011;17:282–291.
18. Sánchez-Marteles M Rubio Gracia J Giménez López I. Pathophysiology of acute heart
failure: a world to know. Rev Clin Esp 2016;216:38–46.
19. Cotter G Metra M Milo-Cotter O Dittrich HC Gheorghiade M. Fluid overload in acute
heart failure–re-distribution and other mechanisms beyond fluid accumulation. Eur J
Heart Fail 2008;10:165–169.
20. Rudiger A Harjola V-P Müller A Mattila E Säila P Nieminen M Follath F. Acute heart
failure: clinical presentation, one-year mortality and prognostic factors. Eur J Heart Fail
2005;7:662–670.
21. Rappaport E. Dyspnea: pathophysiology and differential diagnosis. Prog Cardiovasc
Dis. 1971;13:532–45. [PubMed].
22. J. Marion Bryant, M.D. The Hepato-Jugular Reflux: A Helpful Sign in the Diagnosis
and Treatment of Congestive Heart Failure. Vol. 165.
23. Wang CS, Fitzgerald JM, Schulzer M, et al., JAMA, 2005;294:1944–56.

24. Rees PJ, Clark TJH. Paroxysmal nocturnal dyspnea and periodic respiration. Lancet.
1979;2:1315–17. [PubMed]
25. Ponikowski P, Jankowska EA. Pathogenesis and clinical presentation of acute heart
failure. Rev Esp Cardiol (Engl Ed) 2015;68:331–337. & Metra M, Felker GM, Zaca`
V, Bugatti S, Lombardi C, Bettari L, Voors AA, Gheorghiade M, Dei Cas L. Acute
heart failure: multiple clinical profiles and mechanisms require tailored therapy. Int J
Cardiol 2010;144:175–179. & Filippatos G, Zannad F. An introduction to acute heart
failure syndromes: defin- ition and classification. Heart Fail Rev 2007;12:87–90.
26. Maisel AS, Peacock WF, McMullin N, Jessie R, Fonarow GC, Wynne J, Mills RM.
Timing of immunoreactive B-type natriuretic peptide levels and treatment delay in
acute decompensated heart failure: an ADHERE (Acute Decompensated Heart Failure
National Registry) analysis. J Am Coll Cardiol 2008;52:534 – 540.
27. Peacock WF, Emerman C, Costanzo MR, Diercks DB, Lopatin M, Fonarow GC. Early
vasoactive drugs improve heart failure outcomes. Congest Heart Fail 15: 256 – 264.
28. Wuerz RC, Meador SA. Effects of prehospital medications on mortality and length of
stay in congestive heart failure. Ann Emerg Med 1992;21:669 – 674.
29. [Guideline] Lindenfeld J, Albert NM, Boehmer JP, et al, for the Heart Failure Society
of America. HFSA 2010 comprehensive heart failure practice guideline. J Card Fail.
2010 Jun. 16(6):e1-194.
30. European Heart Journal. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure – Web Addenda. Doi:10.1093/eurheartj/ehw128.
31. Swedberg K, Dargie H, Drexler H et al., Guidelines for the diagnosis and treatment of
chronic heart failure: executive summary (update 2005): the Task Force for the
Diagnosis and Treatment of Chronic Heart Failure of the European Society of
Cardiology, Eur Heart J (2005);26: pp. 1,115-1,140.Crossref | PubMed.
32. Heart Failure Association of America Executive Summary, HFSA 2006
Comprehensive Heart Failure Practice Guideline, J Card Fail (2006);12: pp. 10-
38.Crossref | PubMed.
33. Morrish NJ, Wang SL, Stevens LK, Fuller JH, Keen H. WHO Multinational Study
Group. Mortality and causes of death in the WHO multinational study of vascular
disease in diabetes. Diabetologia 2001; 44 (Suppl 2):S14–S21.
34. Wei M, Gaskill SP, Haffner SM, Stern MP. Effects of diabetes and level of glycemia
on all-cause and cardiovascular mortality: the San Antonio Heart Study. Diabetes care
1998; 21:1167–1172.

LAMPIRAN
Lampiran 1: Hasil pemeriksaan laboratorium
Jumat, 24 – 05 – 2019
Hematology Result Reference Range
Hemoglobin 13.80 g/dL 11.70 – 15.50
Hematocrit 41.90% 35.00 – 47.00
Erythrocyte 4.18 x 106 µL 3.80 – 5.20
Leukocyte 7.60 x 103 µL 3.80 – 10.60
Platelet 245.00 x 103 µL 150.00 – 440.00
MCV, MCH, MCHC
MCV 86.40 fL 80.00 – 100.00
MCH 28.20 pg 26.00 – 34.00
MCHC 32.60 g/L 32.00 – 36.00
Biochemistry
SGOT-SGPT
SGOT (AST) 27 U/L 0 – 40
SGPT (ALT) 25 U/L 0 – 41
Ureum 43.0 mg/dL < 50.00
Creatinine 1.04 mg/dL 0.5 – 1.3
eGFR 59.6 mL/mnt/1.73 m2 >= 60 Normal Kidney
Function
Blood Glucose POCT
Random Blood Glucose 173 mg/dL < 200
Electrolyte
Sodium (Na) 134 mmol/L 137 – 145
Potasium (K) 4.0 mmol/L 3.6 – 5.0
Chloride (Cl) 93 mmol/L 98 – 107

Anda mungkin juga menyukai