Anda di halaman 1dari 10

Diagnostik Evaluasi Dispnea

WALTER C. MORGAN, M.D., Kaiser Permanente Medical Center, Riverside, California HEIDI L. HODGE, M.D., Kaiser Permanente Medical Offices, Longview, Washington Am Fam Physician. 1998 Feb 15;57(4):711-716. Dispnea adalah gejala yang umum dan, dalam banyak kasus, dapat secara efektif dikelola di kantor oleh dokter keluarga. Diagnosis diferensial terdiri dari empat kategori umum: jantung, paru, jantung atau paru campuran, dan noncardiac atau nonpulmonary. Sebagian besar kasus dispnea akibat penyakit jantung atau paru, yang mudah diidentifikasi dengan menanyakan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik. Foto dada, elektrokardiograf dan skrining spirometri merupakan test diagnostic yang mudah dilakukan yang dapat memberikan informasi yang berharga. Dalam kasus tertentu dimana hasil tes tidak dapat disimpulkan atau memerlukan klarifikasi, pengujian fungsi paru lengkap, pengukuran gas darah arteri, echocardiography dan pengujian latihan treadmill standar atau latihan lengkap pengujian cardiopulmonary mungkin berguna. Konsultasi dengan ahli jantung atau paru dapat membantu untuk memandu pemilihan dan interpretasi lini kedua pengujian Dispnea didefinisikan sebagai pernapasan abnormal atau tidak nyaman dalam konteks pernafasan yang normal bagi seseorang sesuai dengan tingkat kebugaran dan ambang latihan untuk pernafasannya.1-4 Dispnea adalah gejala yang umum dan dapat disebabkan oleh kondisi yang berbeda. Hal Ini sering disebabkan oleh beberapa etiologi. Meskipun penyebab lain dapat berkontribusi, sistem organ jantung dan paru adalah yang paling sering terlibat dalam penyebab dyspnea.5 Patofisiologi Fisiologi pernafasan normal dan pertukaran gas sangat kompleks, bahkan untuk dyspnea lebih komples lagi. Ventilasi berkaitan dengan metabolisme konsumsi oksigen dan eliminasi karbon dioksida yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dari kegiatan yang dilakukan. Karotis dan badan aorta dan kemoreseptor sentral merespon terhadap tekanan parsial oksigen (PO2), tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) dan pH darah dan cerebrospinal fluid.2 Ketika dirangsang, reseptor ini menyebabkan perubahan dalam tingkat ventilasi. Tingkat dan pola pernapasan juga dipengaruhi oleh sinyal dari reseptor saraf di parenkim paru-paru, saluran udara besar dan kecil, otot pernapasan dan dinding dada. Misalnya, pada pasien dengan edema paru, akumulasi cairan mengaktifkan serabut saraf di interstitium alveolar dan secara refleks menyebabkan dyspnea.2 zat inhalasi yang mengiritasi
1

dapat mengaktifkan reseptor di epitel saluran napas dan menghasilkan mukus, pernafasan dangkal, batuk, dan bronkospasme. Sistem saraf pusat, dalam menanggapi kecemasan, juga dapat meningkatkan jumlah pernafasan.3 Pada pasien yang mengalami hiperventilasi, koreksi berikutnya dari penurunan PCO2 saja tidak dapat mengurangi sensasi sesak napas. Hal ini mencerminkan interaksi antara kimia dan pengaruh saraf pada pernafasan.2, 3 Etiologi Diagnosis diferensial yang luas dari dyspnea berisi empat kategori umum: jantung, paru, jantung atau paru campuran, dan noncardiac atau nonpulmonary (Tabel 1). TABEL 1 Diferensial Diagnosis Dispnea Jantung: Gagal jantung kongestif (kanan, kiri atau biventricular) Penyakit arteri koroner Miokard infark (sejarah atau masa lalu) Cardiomyopathy Disfungsi Katup Hipertrofi ventrikel kiri Asymmetric septum hipertrofi Perikarditis Aritmia Paru: PPOK Asma Gangguan restriktif paru Penyakit paru Herediter Pneumotoraks Campuran jantung atau paru: PPOK dengan hipertensi paru dan kor pulmonal Deconditioning Emboli paru kronis Trauma Noncardiac atau nonpulmonary Metabolik kondisi (misalnya, asidosis) Nyeri Neuromuscular disorders Gangguan Otorhinolaryngeal Fungsional Kegelisahan Panic
2

Hiperventilasi

Penyebab dyspneu karena jantung termasuk gagal jantung kongestif kanan,kiri atau biventricular yang mengakibatkan disfungsi sistolik, penyakit arteri koroner, infark miokard akut atau lama, kardiomiopati, disfungsi katup, hipertrofi ventrikel kiri yang menyebabkan disfungsi diastolik, hipertrofi septum asimetris, perikarditis dan aritmia. Penyebab dyspneu karena paru mencakup proses obstruktif dan restriktif. Penyebab paling umum obstruktif adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan asma. Masalah paru-paru restriktif yang termasuk penyebab luar paru seperti obesitas, kelainan tulang belakang atau dinding dada, dan kelainan paru intrinsik seperti fibrosis interstisial, pneumokoniosis, penyakit granulomatosa atau penyakit kolagen vaskular. Gangguan campuran jantung dan paru juga merupakan sumber umum dari dyspnea6, 7 dan termasuk PPOK dengan hipertensi paru dan cor pulmonale, deconditioning, emboli paru dan trauma. Noncardiac atau penyakit nonpulmonary harus dipertimbangkan pada pasien dengan faktor risiko minimal untuk penyakit paru dan tidak ada bukti klinis penyakit jantung atau paru. Gangguan ini meliputi kondisi metabolik seperti anemia, diabetes ketoasidosis dan lainnya, penyebab kurang umum dari asidosis metabolik, nyeri di dinding dada atau di tempat lain pada tubuh, dan gangguan neuromuskuler seperti multiple sclerosis dan distrofi otot. Masalah rhinolaryngeal obstruktif meliputi obstruksi hidung akibat polip atau deviasi septum, pembesaran amandel dan penyempitan saluran napas supraglottic atau subglottic. Dispnea juga dapat terjadi sebagai manifestasi somatik dari gangguan kejiwaan, seperti gangguan kecemasan, dengan hiperventilasi yang dihasilkan. Anamnesis

Sama seperti perbedaan dari semua gejala,penggalian tentang anamnesis penting karena memberikan petunjuk, jika tidak ditemukan diagnosis yang sebenarnya, dalam banyak kasus (Tabel 2). TABEL 2 Petunjuk Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik untuk Kondisi yang Menyebabkan Dispnea Temuan Kondisi Anamnesis Dispnea saat aktivitas Jantung atau penyakit paru, deconditioning Dispnea saat istirahat Penyakit cardiopulmonary berat atau penyakit noncardiopulmonary (misalnya, asidosis) Ortopnea, paroksismal nocturnal dyspnea, Gagal jantung kongestif, penyakit paru edema obstruktif kronik

Obat

Merokok Alergi, wheezing, riwayat keluarga asma Penyakit arteri koroner Tekanan darah tinggi Kegelisahan

Beta blockers dapat memperburuk bronkospasme atau toleransi batas latihan. Fibrosis paru adalah efek samping yang jarang dari beberapa obat Emfisema, bronkitis kronis, asma Asma Dispnea sebagai setara anginal Hipertrofi ventrikel kiri, gagal kongestif Hiperventilasi, serangan panik jantung

lightheadedness, kesemutan di jari dan area Hiperventilasi perioral Trauma sebelumnya Pneumotoraks, nyeri dinding dada membatasi pernafasan

Paparan debu, asbes atau bahan kimia mudah Interstisial paru penyakit menguap Pemeriksaan fisik Gelisahan Nasal polip, deviasi septum Postnasal discharge Distensi vena Jugularis Penurunan pulsa atau bruit Gangguan kecemasan Dyspnea Alergi / asma Gagal jantung kongestif Penyakit perifer vaskuler dengan penyakit arteri koroner secara bersamaan karena hidung tersumbat

Peningkatan diameter anteroposterior dada Empisema Wheezing Rales Takikardia S3 Mur-mur Asma edema, paru Cairan Alveolar (edema, infeksi, dll)

Anemia, hipoksia, gagal jantung, hipertiroid Gagal jantung kongestif Kelainan katup
4

Hepatomegali, hepatojugular refluks ,edema Sianosis, clubbing

Gagal jantung kongestif Kronis hipoksemia berat

Anamnesis yang tepat dapat memberikan informasi berharga dan petunjuk diagnostik untuk penyebab dyspnea. Faktor-faktor seperti durasi dyspnea faktor pencetus seperti latihan fisik, terjadinya siang hari atau malam hari, adanya nyeri dada atau palpitasi, jumlah bantal yang digunakan pasien saat tidur, seberapa baik kualitas tidur pasien, batuk terus menerus , toleransi melakukan aktiitas, dan kemampuan untuk bersaing dengan rekan-rekan semua dapat membantu mempersempit diferensial diagnosis.8, 9 Faktor lain yang perlu dipertimbangkan termasuk riwayat konsumsi tembakau, toleransi latihan, alergi lingkungan, riwayat pekerjaan dan adanya asma, penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif atau masalah katup jantung. Riwayat asma pada keluarga, masalah pada paru-paru (misalnya, bronkitis kronis, bronkiektasis, infeksi paru serius), alergi atau demam juga harus diperhatikan.9 Ketika mengevaluasi pasien dengan dyspnea karena masalah psikiatrik, akan sangat membantu untuk mengetahui apakah perasaan dyspnea dan kecemasan bersamaan, jika ada parestesia terkait mulut dan jari , dan jika kecemasan sebelum atau sesudah dyspnea. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik lengkap, seperti memeriksa dengan baik riwayat pasien , kemungkinan akan mennggambarkan keadaan klinisi terhadap diagnosa yang tepat dan meminimalkan pengujian laboratorium yang tidak perlu (Tabel 2). Patologi orofaringeal atau nasofaring dapat ditemukan dengan mengidentifikasi kelainan obstruktif yang nyata pada saluran hidung atau faring. Palpasi leher bisa menunjukkan adanya massa, seperti di tiromegali, yang dapat berkontribusi pada obstruksi jalan napas. Bruit leher adalah indikasi dari penyakit makrovaskuler dan tepat mengarah pada kelainan arteri koroner, terutama jika pasien memiliki riwayat diabetes, hipertensi atau merokok. Pemeriksaan thorax dapat menunjukkan peningkatan diameter anteroposterior, kecepatan pernapasan meningkat, kelainan bentuk tulang belakang seperti skoliosis atau kyphosis, bukti trauma dan penggunaan otot aksesori untuk bernafas. Kyphosis dan scoliosis bisa menyebabkan restriksi paru. Auskultasi paru-paru menyediakan informasi mengenai karakter dan simetri bunyi nafas seperti rales, ronki, berkurang atau wheezing. Rales atau wheezing dapat mengindikasikan gagal jantung kongestif, dan wheezing saat ekspirasi saja dapat mengindikasikan penyakit paru obstruktif. Pemeriksaan kardiovaskular dapat ditemukan murmur, bunyi jantung tambahan, lokasi titik maksimal impuls yang abnormal atau kelainan denyut jantung atau irama. Sebuah murmur sistolik dapat menunjukkan stenosis aorta atau mitral insufisiensi; suara jantung ketiga dapat
5

mengindikasikan gagal jantung kongestif dan ritme yang luar biasa dapat menunjukkan fibrilasi atrium. Perfusi perifer pada ekstremitas harus dievaluasi oleh pulsasi, waktu pengisian kapiler, edema dan pola pertumbuhan rambut. Pemeriksaan psikiatrik dapat mengungkapkan kecemasan disertai dengan tremulousness, berkeringat atau hyperventilation.2, 4,8 Pemeriksaan Diagnostik Modalitas diagnostik yang digunakan untuk mengevaluasi dispnea dapat dilakukan di tempat kerja dokter keluarga. 10 Evaluasi dasar diarahkan oleh sebab-sebab kemungkinan yang disarankan dalam riwayat dan pemeriksaan fisik. Penyebab organik yang paling umum dari dyspnea adalah kelainan jantung dan paru.6 Metode yang paling berguna untuk mengevaluasi dispnea adalah elektrokardiogram dan radiografi dada. Modalitas awal yang murah, aman dan mudah dilakukan. Mereka dapat membantu mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis umum. Elektrokardiogram dapat menunjukkan kelainan denyut jantung dan irama, atau bukti iskemia, cedera atau infark. Tegangan kelainan menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri atau kanan jika tegangan yang berlebihan, atau perikardial efusi atau penyakit paru obstruktif dengan diameter dada meningkat jika tegangan berkurang. Sebuah rontgen dada dapat mengidentifikasi kelainan rangka, seperti skoliosis, osteoporosis atau patah tulang, atau kelainan parenkim, seperti hiperinflasi, lesi massa, infiltrat, atelektasis, efusi pleura atau pneumotoraks. Sebuah siluet jantung yang meningkat dapat disebabkan oleh ukuran perikardial meningkat atau ukuran ruang meningkat. Sebuah fingers-stick penentuan kadar hemoglobin atau jumlah darah lengkap dapat mengukur keparahan pada kemungkinan anemia. Kelainan tiroid jarang ditemukan dengan dyspnea dan dapat dinilai dengan pengukuran kadar hormon thyroid-stimulating serum.4, 8 Sejarah, pemeriksaan fisik dan modalitas diagnostik awal seperti radiografi dada dan elektrokardiografi biasanya mengungkapkan penyebab atau penyebab dispnea, tapi pada kasus tertentu evaluasi diagnostik lebih lanjut mungkin diperlukan. Pemeriksaan bermanfaat lini kedua seperti spirometri, oksimetri nadi dan pengujian latihan treadmill. Tes ini dapat memperjelas diagnosis jika modalitas awal menunjukkan kelainan atau tidak dapat disimpulkan. Spirometri Spirometri tergantung pada usaha pasien, jika pasien tidak mampu untuk memberikan upaya maksimal, tes memiliki nilai terbatas. Untuk melakukan pengujian, kebanyakan pasien memerlukan demonstrasi spesifik dari teknik yang tepat dan pembinaan selama tes untuk menghasilkan upaya maksimal. Pasien mengembuskan napas penuh, kemudian mengambil inhalasi maksimum dan meniup sekeras dan secepat mungkin, melanjutkan pernafasan selama mungkin untuk memastikan bahwa volume maksimal terukur. Tes dapat diulang sampai hasilnya
6

konsisten. Spirometri adalah sangat aman dan hampir tidak ada resiko komplikasi serius.4,9 Kesalahan paling umum dalam teknik adalah kegagalan untuk buang napas secepat mungkin dan kegagalan untuk terus bernafas selama mungkin. Spirometri dapat membantu membedakan penyakit paru obstruktif akibat penyakit paru restriktif (Tabel 3). PPOK (bronkitis kronis atau emfisema) dan asma adalah penyebab paling umum dari gambara spirometri obstruktif. Pola restriktif dapat disebabkan oleh faktor luar paru, seperti obesitas; kelainan rangka, seperti kifosis atau scoliosis; kompresi efusi pleura, dan karena gangguan neuromuskuler, seperti multiple sclerosis atau distrofi otot. Sejumlah penyakit sistemik, seperti rheumatoid arthritis, lupus eritematosus sistemik dan sarkoidosis, dapat menyebabkan penyakit paru interstitial, yang mengarah pada pola restriktif pada spirometri. Penyebab lain penyakit interstisial termasuk farmers lung dan pneumoconiosis lain, keganasan infiltrasi, fibrosis akibat efek samping beberapa obat (misalnya, beberapa agen kemoterapi, amiodarone [Cordarone]) dan fibrosis idiopatik interstisial, yang merupakan kategori terbesar dari penyakit paru interstisial .9 Tabel 3 Spirometric Parameter Digunakan untuk Membedakan Obstruktif dari Penyakit Restiktif Paru Jenis kelainan Kelainan obstruksi Kelainan retriktif Screening spirometry FVC FEV1 paru or N paru or or FEV1/ FVC N or Volume paru total TLC RV or N or

= sedikit menurun; = moderat sangat menurun; = meningkat, N = normal; FVC = kapasitas vital paksa; FEV1 = volume ekspirasi paksa dalam satu detik; TLC = kapasitas total paru,RV= volume sisa Pulse oximetry Pulse Oksimetri menggunakan sumber cahaya inframerah untuk menentukan saturasi oksigen hemoglobin. Namun, persentase saturasi oksigen tidak selalu sesuai dengan tekanan parsial oksigen arteri (PaO2). Kurva desaturasi hemoglobin bisa digeser ke kiri atau kanan tergantung pada pH, suhu (misalnya, oksimeter digunakan pada ekstremitas dingin) atau karbon monoksida arteri atau tingkat karbon dioksida. Dengan demikian, persentase batas normal saturasi oksigen benar-benar dapat mencerminkan PaO2 rendah yang tidak normal dalam beberapa kasus. 10 Pulse oksimetri merupakan cara yang sering digunakan untuk penilaian noninvasive dan akurat dalam kebanyakan situasi klinis.

Gas Darah Arteri Pengukuran gas darah arteri dapat memberikan informasi tentang perubahan pH, hiperkapnia, hipokapnia atau hipoksemia. Pengukuran ini lebih sering digunakan untuk evaluasi dyspnea akut tetapi juga dapat digunakan dalam evaluasi pasien yang telah secara bertahap menjadi dyspneic atau dyspneic yang kronis. Pengukuran gas darah arteri bisa normal, bagaimanapun, pada pasien dengan penyakit paru yang signifikan secara klinis. Kelainan parameter gas darah arteri kadangkadang dapat dilihat hanya selama latihan, dengan cepat kembali ke normal selama istirahat. Pengukuran gas darah normal arteri tidak mengecualikan penyakit jantung atau paru sebagai penyebab dyspnea.2 Pengujian Fungsi Paru Lengkap Pengujian fungsi paru lengkap dapat diperoleh jika skrining spirometri kantor tidak meyakinkan. Pengukuran dari semua jenis volume paru-paru, seperti kapasitas paru total dan volume residu, dapat menunjukkan kombinasi penyakit obstruktif dan restriktif (Tabel 3). Kapasitas difusi paruparu untuk karbon monoksida (DLCO) sering dimasukkan dalam pengujian fungsi lengkap paru. Para DLCO digunakan untuk secara tidak langsung mengukur pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida di seluruh permukaan alveolar. Pengurangan kapasitas difusi dapat terjadi dalam berbagai kelainan alveolar atau interstisial, seperti edema, peradangan, infiltrasi infeksi, dan keganasan. Difusi oksigen berkurang nyata dapat berkontribusi dyspnea, namun biasanya terjadi dengan beberapa abnormality spirometric.2,4,10 Uji Latihan Treadmill Latihan tes treadmill dapat menunjukkan iskemia sebagai penyebab dyspnea.11 Tes ini dapat dilakukan ketika gejala atipikal untuk angina exertional atau ketika silent ischemia diduga sebagai penyebab dispnea saat aktivitas. Kemampuan pasien untuk melakukan tes treadmill dapat dibatasi oleh pengkondisian sedikit aerobik, karena kelainan pada ekstremitas bawah seperti radang sendi, klaudikasio atau edema, atau karena penyakit paru yang tidak disengaja. Latihan tes treadmill relatif aman dan memiliki beberapa risiko: hanya satu dari 10.000 pasien meninggal karena aritmia ganas atau infark miokard akut, dan hanya dua dari 10.000 memiliki aritmia serius tapi tidak berbahaya atau yangkomplikasi lain.11 Respon fisiologis normal untuk melaksanakan pengujian adalah peningkatan tekanan darah dan detak jantung. Untuk mencapai upaya maksimal, denyut jantung harus mencapai setidaknya 85 persen dari denyut jantung target untuk usia pasien. Penyakit jantung yang mendasarinya mungkin ditandai dengan perubahan segmen ST, karena aritmia atau perubahan tekanan darah tidak tepat selama latihan. Ada keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas tes treadmill, bagaimanapun, dan interpretasi hasil mungkin bervariasi. Hasil negatif pada pengujian latihan treadmill pada pasien yang memiliki dyspnea tetapi tidak ada nyeri dada atau faktor risiko jantung menunjukkan dyspnea yang disebabkan oleh sesuatu yang lain dari penyakit arteri

koroner. Bila hasil yang samar-samar atau sulit untuk ditafsirkan, uji diagnostik lebih lanjut atau konsultasi harus dipertimbangkan.7, 8 Echocardiography Ekokardiografi dapat mendeteksi kelainan katup dan mungkin membantu dalam diagnosa pasien dengan murmur yang meragukan dalam konteks dyspnea. Ukuran ruang jantung, hipertrofi dan fraksi ejeksi ventrikel kiri juga dapat dinilai. Sebuah akuisisi multigated scan (MUGA) jantung atau ventrikulografi radionucleotide juga dapat digunakan untuk mengukur fraksi ejeksi. Uji Latihan Cardiopulmonary Uji latihan cardiopulmonary mengkuantifikasi fungsi jantung, pertukaran gas paru, ventilasi dan kebugaran fisik. Pengujian latihan cardiopulmonary dapat digunakan pada kasus tertentu bila diagnosis masih belum jelas setelah pemeriksaan inital. Hal ini dapat sangat berguna dalam kasus dimana obesitas, kecemasan, deconditioning, exercise-induced asma atau masalah lain menghalangi pengujian latihan treadmill standar. Tes ini biasanya dilakukan di atas treadmill atau sepeda ergometer dan mengharuskan pasien bernapas ke mulut selama latihan. Pasien melakukan latihan semakin lebih sulit untuk titik kelelahan. Selama latihan, oksigenasi diukur dengan menggunakan salah pulse oksimeter atau saluran arteri, dan interpretasi tes lengkap membutuhkan analisis konsumsi oksigen, produksi karbon dioksida, ambang anaerobik, denyut jantung dan irama, tekanan darah, menit ventilasi, pemantauan terus menerus dari pertukaran gas, beratnya usaha yang dirasakan, dyspnea, sakit dada dan ketidaknyamanan kaki. Uji latihan Cardio-paru dapat membantu menentukan apakah kelainan terletak pada otot, paru, jantung atau system tulang.2 4

KESIMPULAN Pada kebanyakan pasien, penyebab atau berbagai penyebab dispnea dapat ditentukan secara langsung dengan menggunakan pemeriksaan riwayat dan fisik untuk mengidentifikasi secara menyeluruh etiologi jantung atau paru. Dalam kasus tertentu, pemeriksaan diagnostik tertentu atau konsultasi mungkin diperlukan untuk memastikan diagnosa atau memberikan bantuan manajemen terapi.

REFERENSI 1. Mahler DA, ed. Dyspnea. Mount Kisco, N.Y.: Futura Publishing, 1990. 2. Barker LR, Burton JR, Zieve PD, eds. Principles of ambulatory medicine. 2d ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1986. 3. Tobin MJ. Dyspnea. Pathophysiologic basis, clinical presentation, and management. Arch Intern Med. 1990;150:160413. 4. Silvestri GA, Mahler DA. Evaluation of dyspnea in the elderly patient. Clin Chest Med. 1993;14:393404. 5. Cockcroft A, Adams L, Guz A. Assessment of breathlessness. Q J Med. 1989;72:66976. 6. Mulrow CD, Lucey CR, Farnett LE. Discriminating causes of dyspnea through clinical examination. J Gen Intern Med. 1993;8:38392. 7. Braunwald E, ed. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. 5th ed. Philadelphia: Saunders, 1997. 8. Fauci AS, ed. Harrison's Principles of internal medicine. 14th ed. New York: McGraw-Hill, 1997. 9. Enright PL, Hyatt RE, eds. Office spirometry: a practical guide to the selection and use of spirometers. Philadelphia: Lea & Febiger, 1987:253. 10. Baum GL, Wolinsky E, eds. Textbook of pulmonary diseases. 4th ed. Boston: Little, Brown, 1989: 15952102. 11. Rubenstein E, Federman DD, eds. Respiratory medicine. In: Scientific American medicine. New York: Scientific American, 1995.

10

Anda mungkin juga menyukai