Anda di halaman 1dari 6

GLAUKOMA SEKUNDER SETELAH OPERASI KATARAK KONGENITAL PENDAHULUAN Glaukoma sekunder merupakan suatu komplikasi post operasi yang

penting pada operasi katarak pada pediatrik. Insidennya dilaporkan bervariasi antara 6% dan 26% pada literatur, berdasarkan lamanya follow up post operasi. Insiden dari glaukoma sekunder post operasi katarak pada pediatrik cukup tinggi, walaupun dengan tehnik operasi yang terbaru. Pada tahun 1970, insidennya cukup tinggi karena keperluan dari pelaksanaan operasi katarak. Dengan pengenalan tindakan lensectomy dan vitrectomy secara otomatis, diharapkan pengangkatan lensa dan sisa-sisa kapsul lebih efektif, inflamasi postoperasi akan berkurang dan menurunkan juga insiden glaukoma sekunder. Glaukoma aphakic pada anak-anak sulit untuk didiagnosis dan diterapi. Mereka bisa muncul tanpa gejala, walaupun dengan tingginya tekanan intra okuler. Walaupun onset dari aphakic glaucoma pada anak-anak terlambat, yang termasuk dalam tanda dari glaukoma pada anak-anak yaitu; epiphora, blepharospasm, photophobia, peningkatan diameter cornea, Haabs striae dan cornea berkabut mungkin tidak terlihat. Lebih lanjut, sangat sulit untuk memeriksa kondisi ini pada anak-anak karena usianya yang muda, dasar penglihatan yang tidak adekuat dikarenakan kekeruhan dari kapsul posterior lensa atau adanya nystagmus. Glaukoma sekunder postoperasi katarak kongenital sangat sulit untuk diatasi. Dua sampai tiga anak membutuhkan tiga atau lebih obat untuk mengontrol tekanan intra okulernya. Mereka menunjukkan angka kegagalan yang tinggi dengan trabeculectomy, dengan 50% memerlukan dua atau lebih tindakan operasi untuk mengontrol tekanan intraokulernya. Akhirnya anak-anak tersebut mungkin membutuhkan pemasangan tube untuk mengontrol tekanan intra okuler. Tujuan dari penelitian ini untuk menemukan insiden dan faktor resiko yang berhubungan dengan glaukoma sekunder postoperasi katarak kongenital pada penelitian cohort di Australia pada anak-anak dari pusat rujukan tersier yang lebih besar.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan suatu penelitian retrospective case series. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan rekomendasi dari Declaration of Helsinki dan disetujui oleh Rumah sakit Anak di Westmead Human Ethics Committee. Data Rekam medis pasien dengan katarak kongenital yang mendapat pembedahan/ operasi pada usia 16 tahun atau lebih muda antara tahun 1985 dan 2005 dengan atau tanpa pemasangan lensa intraokuler (IOL) di Rumah sakit anak-anak di Westmead Human Ethics Committee digunakan dalam penelitian ini. Untuk dapat masuk dalam penelitian ini, minimal follow up yang diikuti dari saat operasi sampai akhir pengukuran tekanan intra okuler

selama 6 bulan. Yang dikeluarkan atau tidak diikutkan dalam penelitai ini adalah pasien dengan dysgenesis segmen anterior, syndrome yang berkaitan dengan glaukoma seperti Lowe syndrome, riwayat trauma mata, glaukoma kongenital atau operasi mata sebelumnya selain operasi katarak. Data dikumpulkan dari catatan pasien tentang faktor resiko yang telah dipertimbangkan menjadi hal penting dan relevant untuk perkembangan dari glaukoma. Yang termasuk dalam hal ini adalah usia saat dilakukan operasi katarak, riwayat katarak atau glaukoma pada keluarga, dan mikrokornea, yaitu yang memiliki diameter kornea < 10 mm atau < 9,5 dibulan pertama kehidupan. Kriteria ini dipilih, pada mereka yang memiliki kekurangan diameter kornea setidaknya 1 mm dari ukuran yang sesuai dengan umur untuk umur pada umumnya. Tidak semua pasien memiliki ukuran kornea pada data pasien, tetapi suatu diagnosa klinis dari mikrokornea diambil dari nilai wajah: Persistent Hyperplastic Primary Vitreous (PHPV); kelainan sistemik; primary posterior cpasulotomy dan anterior vitrectomy; operasi membran sekunder; dan pemasangan IOL. Data tentang klasifikasi morfologi katarak tidak tersedia dari semua pasien dan tidak dimasukkan dalam penelitian. Data follow up para pasien salah satunya diperoleh dari Rumah sakit anak di Westmead atau ruang consultasi pribadi ophthalmologists pedriatik rumahsakit anak di Westmead. Hasil utama diukur dari ada tidaknya glaukoma dan waktu munculnya glaukoma dari operasi awal. Glaukoma didefinisikan sebagai suatu tekanan Intra okuler 26 mmHg yang diukur dengan tonometer applanasi, tonometri puff atau tonopen lain di klinik atau saat pasien dalam pengaruh anestesi. Saraf optik, gonioskopi dan evaluasi lapang pandang tidak digunakan untuk mendefinisikan glaukoma, karena data tersebut tidak tercantum secara jelas di rekamedis dari semua subjek penelitian. Ambang 26 mm Hg dipilih dalam penelitian ini untuk meningkatkan kemungkinan bahwa pasien diidentifikasi glaukoma. Peneliti menggunakan Sistem Analisis Statistik (SAS, v9, SAS Institute, Cary, NC) untuk analisis data. Multivariat Cox proportional hazards modelling digunakan untuk menguji prediktor potensial dari glaukoma sekunder. Univariate model awalnya dilakukan untuk menguji prediktor individual dan kemudian dimasukkan dalam model multivariat untuk prediktor dengan p < 0,25 dalam suatu langkah yang lebih lanjut. Kriteria untuk retensi dalam model multivariat adalah p< 0,05. Kami menggunakan model regresi Cox ini untuk memperkirakan proportional hazards ratio. Untuk mengatasi penyimpangan potensial genetik pada anak dengan bilateral katarak aphakic glaukoma, penyesuaian untuk intrasubject korelasi potensial dalam model Cox dibuat menggunakan perkiraan varians sandwich yang kuat. Perkiraan bertahan untuk setiap kelompok diperkirakan menggunakan Kaplan Meier metode.

HASIL Dalam seri kasus retrospektif ini, 423 mata dari 283 pasien telah dilakukan operasi untuk katarak kongenital dalam jangka waktu 20 tahun (1985-2005). Ada 49 pasien (17%) yang memiliki tindak lanjut kurang dari 6 bulan dan dikeluarkan dari analisis lebih lanjut. 234 pasien sisanya (358 mata) memiliki data follow-up yang memadai untuk dimasukkan dalam penelitian. Dari jumlah tersebut, 110 berupa katarak unilateral, dan 124 berupa katarak bilateral. Glaukoma didiagnosis pada rata-rata 4,9 (SD 2.2) tahun post operasi katarak (median, 3,6 tahun, kisaran, 10 hari hingga 16,8 tahun). Pada tindak lanjut, 48 mata yang diteliti telah berkembang menjadi glaukoma, yang merupakan 13,4% dari total mata yang dioperasi, dan 36 dari 234 pasien telah berkembang menjadi glaukoma, yaitu 15,4% dari total pasien. Rata-rata follow-up postoperasi katarak hingga pemeriksaan terakhir adalah 6,3 (5.0) tahun (median, 4,6 tahun, kisaran, 0,5-20,3 tahun) untuk semua subyek penelitian, yaitu 10,3 (6,9) tahun (median, 7,8 tahun; kisaran, 1,5-20,3 tahun) bagi mereka yang berkembang menjadi glaukoma dan 5,7 (4,4) tahun (median, 4,3 tahun, kisaran, 0,5-20,3 tahun) untuk mereka yang tidak berkembang menjadi glaukoma (p< 0,001). Usia rata-rata pada operasi katarak adalah 2,4 (SD 3.3) tahun (Median, 0,6 tahun, kisaran, 7 hari -15,9 tahun) untuk studi semua subyek, yaitu 0,48 (1,1) tahun (median, 0,21 tahun; jangkauan, 7 hari -5,5 tahun) bagi mereka yang berkembang menjadi glaukoma dan 2,6 (3.4) tahun (median, 0,7 tahun, kisaran, 10 hari - 15,9 tahun) untuk mereka yang tidak berkembang menjadi glaukoma (p<0,001). Penjelasan data tentang penelitian pasien dengan kejadian glaukoma pasca operasi disajikan dalam tabel 1. Pada anak yang memiliki katarak bilateral, 16% dari mata yang dioperasi berkembang menjadi glaukoma, dan anak-anak dengan katarak unilateral, 13% dari mata yang dioperasi berkembang menjadi glaukoma. Dari mereka dengan katarak bilateral, 12 / 18 (67%) berkembang menjadi glaukoma pada kedua mata, di mana sepertiganya berkembang menjadi glaukoma hanya pada satu mata. Menariknya, tidak ada pasien dengan katarak bilateral mendapat glaukoma pada tindakan nonoperatif mata. Tabel 2 dan 3 menyajikan univariat dan multivariat analisis Cox proportional hazards model pada masing-masing potensi prediktor glaukoma sekunder. Secara continue variabel umur pada operasi katarak dianalisis di Cox proportional hazards model baik sebagai variabel kontinyu dan sebagai variabel dikotomis (usia< 9 bulan atau usia> 9 bulan). Kedua model tersebut tepat, tapi akhirnya diputuskan untuk menggunakan usia sebagai variabel dikotomis sesuai dengan literatur sebelumnya.

implantasi IOL primer dilakukan pada 96 mata, dan tidak satupun dari pasien berkembang menjadi glaukoma sekunder. Tabel 4 membandingkan rata-rata usia, durasi follow-up dan waktu untuk terjadinya glaukoma antara mata pseudophakic dan aphakic. Kurva hubungan antara usia operasi katarak dan perkembangan glaukoma sekunder ditunjukkan pada gambar 1. Analisis survival memprediksi tingkat yang lebih tinggi untuk glaukoma dengan durasi follow-up yang lebih lama. 10-years prevalence rate dari glaukoma adalah 29,9% pada kelompok '' usia saat operasi katarak 9 bulan atau kurang'', dibandingkan dengan 5% pada kelompok'' usia operasi katarak lebih dari 9 bulan''. Perbedaan ini akan lebih terlihat pada 20-tahun follow up. Perbandingan prevalensi glaukoma adalah 57,0% dalam kelompok ''usia operasi katarak 9 bulan atau kurang'', ini dibandingkan dengan 8,8% di kelompok'' usia operasi katarak lebih dari 9 bulan''. Median logMAR ketajaman visual untuk populasi penelitian adalah 0,5. Proporsi subyek dengan ketajaman visual logMAR > 0.5 (Ketajaman visual kurang dari 6/18) dimana 48,5% bagi mereka yang tidak berkembang menjadi glaukoma dan 86,5% bagi mereka yang berkembang menjadi glaukoma. PEMBAHASAN Katarak kongenital memiliki komplikasi kerusakan penglihatan dan sekitar 10% kebutaan pada anak diseluruh dunia. Waktu untuk dilakukannya operasi katarak tergantung dari morfologi dari katarak, dan operasi yang lebih awal bertujuan untuk mencegah terjadinya ambliopia yang irreversible. Namun, pelaksanaan operasi yang lebih awal tetap berhubungan secara signifikan dengan glaukoma postoperasi. Penelitian ini dilaksanakan pada suatu kelompok pasien katarak pada anak dengan tindakan operasi menggunakan tehnik modern. Definisi dari glaukoma berdasarkan pada tekanan intra okuler daripada menggunakan saraf optik, gangguan lapang pandang dan temuan goniskopi yang lebih konsisten dengan penelitian glaukoma pediatrik lainnya. Hal ini diakui bahwa prevalensi glaukoma yang sebenarnya pada anak-anak bervariasi, tergantung pada definisi yang digunakan untuk mendefinisikan glaukoma. Dimasukkannya perubahan saraf optik pada pasien dengan TIO < 26 mm Hg akan meningkatkan prevalensi glaukoma sekunder. Namun, ketebalan central kornea, yang meningkat pada anak aphakic / pseudophakic, dapat menurunkan prevalensi sejati glaukoma, karena TIO mungkin saja dianggap terlalu tinggi dengan peningkatan ketebalan pusat kornea. Frekuensi dari glaukoma sekunder pada operasi katarak pediatrik bervariasi, tergantung pada lamanya follow-up. Pada penelitian ini mengidentifikasi angka prevalensi sebesar 13,4% untuk glaukoma sekunder. Hasil ini konsisten dengan literatur yang diterbitkan sebelumnya, yaitu 6-26%.

Follow-up minimal selama 6 bulan untuk dimasukkan ke studi mungkin melemahkan prevalensi sejati, suatu follow-up yang lebih lama dikaitkan dengan peningkatan prevalensi sekunder glaukoma. Onset glaukoma sekunder dapat terjadi dalam jangka waktu yang lama. Dalam penelitian kami, waktu yang berarti untuk glaukoma adalah 4,9 tahun yang konsisten dengan laporan lain, 2,612,2 years. Glaukoma sekunder dapat terjadi bertahun-tahun setelah operasi awal, kisaran dalam seri ini adalah 10 hari -16,8 tahun, menyoroti kebutuhan untuk surveilans seumur hidup anak-anak ini. Usia pada operasi katarak diketahui merupakan prediktor progresi ke arah glaukoma sekunder. Variasi ambang untuk usia telah didokumentasikan dalam literatur mulai dari 10 hari sampai 5 tahun kehidupan. Sebuah penelitian yang baru-baru ini oleh Rabiah di JAAPOS dihipotesiskan suatu ambang batas usia 9 bulan menjadi prediktor yang signifikan untuk glaukoma: yang dioperasi saat atau sebelum usia 9 bulan adalah 3,8 kali mungkin berkembang menjadi glaukoma dibanding mereka yang dioperasi setelah usia 9 months. Data kami mendukung teori ini, dengan usia kurang dari 9 bulan suatu prediktor yang signifikan untuk progresifitas glaukoma. Dalam penelitian kohort pasien kami, anak-anak yang dioperasi pada usia 9 bulan atau kurang tiga kali lebih mungkin berkembang menjadi glaukoma dibanding mereka yang dioperasi setelah usia 9 bulan. Pada akhir masa penelitian, tingkat prevalensi glaukoma adalah 57,0% pada anak-anak yang dioperasi pada usia 9 bulan atau kurang. Penelitian ini juga menjelaskan mikrokornea sebagai faktor risiko yang signifikan dalam perkembangan glaukoma. Dalam studi ini, diagnosis mikrokornea telah didiagnosis oleh dokter, namun, diagnosis yang tepat dari mikrokornea menggunakan sutu caliper akan menghindari pengukuran bias. Penelitian kami mengidentifikasi riwayat keluarga pada katarak kongenital atau glaukoma sebagai prediktor untuk glaukoma sekunder. Namun, karena jenis dari pengumpulan data, kami tidak dapat membedakan apakah efek ini disebabkan oleh riwayat keluarga pada katarak kongenital atau riwayat keluarga pada glaukoma. Peran genetika di glaukoma sekunder membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Primer posterior capsulotomy / anterior vitrectomy dan PHPV yang telah dilaporkan dalam studi sebelumnya menjadi prediktor penting untuk glaucoma sekunder. Dalam penelitian kami, kedua faktor adalah prediktor yang signifikan dari perkembangan menjadi glaukoma sekunder dalam model univariat. Namun, mereka tidak mencapai statistik yang signifikan dalam model multivariat. Hal ini mungkin karena korelasi antara variabel penjelas; pasien yang mendapat PHPV atau capsulotomy posterior utama / anterior vitrectomy juga mungkin sangat muda (usia kurang dari 9 bulan) pada saat operasi katarak. Kami mengakui bahwa PHPV dan primer posterior

capsulotomy / anterior vitrectomy diakui menjadi faktor risiko untuk perkembangan glaukoma di literatur yang diterbitkan sebelumnya, dan kekurang signifikansi statistik kami dalam model multivariat dapat mencerminkan ukuran sederhana dan sifat bias yang melekat dalam studi retrospektif. Berbagai teori telah dihipotesiskan berkenaan dengan mekanisme dari glaukoma sekunder pada perkembangan anak-anak. Ada dua teori yang telah mendapatkan momentum yang signifikan. Salah satu menjelaskan bahwa sudut filtrasi dari mata bayi adalah rentan terhadap inflamasi postoperasi. Teori kedua berkaitan dengan adanya mekanisme yang tidak diketahui dari lensa yang menginduksi aphakic glaucoma. Asrani et al mengidentifikasi lebih dari 1000 kasus pemasangan IOL utama dalam operasi katarak kongenital dan diidentifikasi hanya satu kasus yang berkembang menjadi glaukoma sekunder. Mereka mengusulkan bahwa IOL mencegah toksik metabilit vitreous memasuki ruang anterior atau hal ini mendukung untuk hilangnya kemampuan trabekuler meshwork pada aphakia. Sangat menarik untuk dicatat bahwa dalam penelitian kami, tak satu pun dari 96 pasien yang mendapatkan pemasangan IOL primer berkembang glaukoma. Hal ini menunjukkan bahwa lensa intraokular di beberapa cara menjadi agent protektif terhadap glaukoma. Namun, hasil ini perlu diinterpretasikan dengan hati-hati, karena mata yang dilakukan pemasangan IOL primer dapat dianggap normal, dan mata yang diprepisposisikan menjadi glaukoma sekunder dapat dikeluarkan dari pemasangan IOL utama. Dalam penelitian kohort kami, hanya 4 pasien dengan pemasangan IOL sebelum usia 9 bulan. Sebuah review retrospektif baru-baru ini oleh Trivedi dan rekan menunjukkan bahwa bias seleksi adalah alasan untuk rendahnya observasi insiden glaukoma pada pseudophakia. Dalam review mereka untuk pasien yang menjalani operasi katarak dalam 4,5 bulan pertama kehidupan, kejadian glaukoma adalah 24% untuk anak-anak dengan pseudophakic dan 19% untuk aphakic. Penelitian pengobatan bayi dengan aphakia memiliki tujuan sekunder dari pemeriksaan komplikasi, termasuk perkembangan kejadian glaukoma pada anak dengan aphakic. Ini kemudian dapat memberikan jawaban mengapa pseudophakia menjadi agen protektif terhadap glaukoman pada anak-anak. Penelitian ini menegaskan tingginya prevalensi dari glaukoma sekunder setelah operasi katarak kongenital dan bahwa sifat variabel dari onset untuk glaukoma sekunder membutuhkan surveilans seumur hidup untuk anak-anak. Penelitian prospektif lebih lanjut yang diperlukan untuk menemukan peran IOL utama dalam pencegahan sekunder glaukoma dan untuk mengungkap patogenesis penyakit kelemahan penglihatan ini.

Anda mungkin juga menyukai

  • Perjalanan Penyakit
    Perjalanan Penyakit
    Dokumen3 halaman
    Perjalanan Penyakit
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • TRANEKSAMAT
    TRANEKSAMAT
    Dokumen2 halaman
    TRANEKSAMAT
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • Askep Klien Gagal Jantung
    Askep Klien Gagal Jantung
    Dokumen8 halaman
    Askep Klien Gagal Jantung
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • MMSE
    MMSE
    Dokumen7 halaman
    MMSE
    Anggi Pressistha II
    Belum ada peringkat
  • Tugas Hidung
    Tugas Hidung
    Dokumen18 halaman
    Tugas Hidung
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • A Melo Blast Oma
    A Melo Blast Oma
    Dokumen6 halaman
    A Melo Blast Oma
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • Angina Ludovici
    Angina Ludovici
    Dokumen16 halaman
    Angina Ludovici
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • Pseudokista Upload
    Pseudokista Upload
    Dokumen13 halaman
    Pseudokista Upload
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • Diagnostik Evaluasi Dispnea
    Diagnostik Evaluasi Dispnea
    Dokumen10 halaman
    Diagnostik Evaluasi Dispnea
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • Referat Moisturizeri
    Referat Moisturizeri
    Dokumen13 halaman
    Referat Moisturizeri
    septiandwirismianto
    100% (1)
  • Cystic Fibrosis
    Cystic Fibrosis
    Dokumen10 halaman
    Cystic Fibrosis
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • SBP
    SBP
    Dokumen4 halaman
    SBP
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat
  • Lapsus 1
    Lapsus 1
    Dokumen7 halaman
    Lapsus 1
    septiandwirismianto
    Belum ada peringkat