Anda di halaman 1dari 41

BAB I

ILUSTRASI KASUS

1.1.Identitas Pasien

Nama : Tn. AS

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat Tanggal lahir : Jakarta, 17-04-1952

Usia : 67 Tahun

Alamat : Pasar Minggu

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan

Nomor rekam medis : 41-93-**

Tanggal masuk RS : 18 November 2019

1.2.Anamnesis

Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 21 November 2019 pukul 07.00 di bangsal


cempaka atas Rumah Sakit Marinir Cilandak.

1.2.1. Keluhan Utama

Sesak nafas sejak 3 hari SMRS

1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSMC pada tanggal 18 November 2019 dengan keluhan
sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini sudah dirasakan pasien
sejak 2 minggu yang lalu namun memberat dalam 3 hari terakhir. Saat sesak, pasien
mengatakan dada terasa berat, namun tidak terdapat nyeri dada. Pasien mengatakan sesak
napas yang dialaminya terjadi sepanjang hari. Sesak dirasakan jika pasien melakukan
aktivitas ringan seperti berjalan kaki dan diperberat dengan tidur terlentang. Setiap
malamnya pasien tidur dengan 3 bantal. Pasien tidak merasakan dada berdebar-debar,
keringat berlebih, mual, muntah, nyeri perut, batuk, demam. Sebelumnya pasien pernah
merasakan gejala serupa.

Pasien merupakan pasien poli jantung dengan diagnosa CHF et causa HHD, AF.
Pasien sudah tidak kontrol ke poli jantung selama 2 bulan. Pasien pernah dirawat inap di
RSMC pada bulan Juli,2019 dengan diagnosis CHF. Selama 2 bulan tersebut pasien juga
tidak mengontrol konsumsi cairannya.

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah dirawat di RSMC pada tahun 2018 dengan diagnosa stroke iskemik.
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan penyakit paru. Pasien juga memiliki riwayat
hipertensi yang tidak terkontrol. Pasien tidak memiliki riwayat diabetes mellitus, kolesterol
tinggi , maupun alergi. Pasien tidak pernah operasi sebelumnya. Pasien tidak sedang berada
dalam pengobatan penyakit lainnya.

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak memiliki riwayat keluhan serupa. Keluarga pasien juga tidak
ada yang memiliki riwayat penyakit jantung, penyakit paru, diabetes mellitus, kolesterol
tinggi, hipertensi, maupun alergi.

1.2.5 Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien sudah berhenti mengonsumsi rokok sekitar 2-3 tahun yang lalu. Pasien
jarang berolahraga. Pasien mempunyai kebiasaan tidur menggunakan satu bantal saja.
Pasien tidak menjalani diit khusus. Pasien makan tiga kali dalam sehari.

1.3.Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 November 2019 pukul 07.00 di bangsal
cempaka atas Rumah Sakit Marinir Cilandak

1.3.1 Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4, M6, V5)

Berat badan : Tidak diukur

Tinggi badan : Tidak diukur

Tekanan darah : 140/100

Nadi : 135

Pernapasan : 36

Suhu : 37 ̊C

1.3.2 Pemeriksaan Sistem


Sistem Deskripsi

Normocephali, deformitas (-), depigmentasi (-), rambut hitam, tersebar


Kepala
merata, tidak mudah dicabut

KGB tidak teraba membesar, Tiroid tidak teraba membesar,distensi vena


Leher
jugularis (-), otot napas tambahan (-)

Wajah Simetris, pucat (-), ikterik (-), sianosis (-)

Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-), edema periorbital (-/-),

Mata sekret. (-/-), ptosis (-/-), pupil isokor 3mm/3mm,

refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)

Telinga Serumen (-/-), sekret (-/-), refleks cahaya (+/+)

Hidung Sekret (-/-), epistaksis (-/-), deviasi septum (-), napas cuping hidung (-)

Mulut Bibir pucat (-), kering (-), luka (-), depigmentasi (-), lidah papil atrofi (-)

Tenggorok Tonsil T1/T1 tidak hiperemis, faring hiperemis (-)

Gigi Gigi utuh


Toraks
Inspeksi : Bentuk normal, pengembangan dada simetris statis dinamis, luka operasi
Paru (-), retraksi (-)

Palpasi : Pengembangan dada simetris, taktil fremitus normal simetris

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+) (+/+) (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung JVP 6 cm, hepatojugular reflux (-)

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, bekas luka (-)

Palpasi : iktus kordis teraba, thrill (-), heave (-)

Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Inspeksi : datar, bekas operasi (-), hiperemis (-), diskolorasi (-), caput medusae (-),
darm contour (-), darm steifung (-)

Auskultasi : Bising usus 12 x/menit



Abdomen
Palpasi : Supel, NT (-), hepar dan spleen tidak teraba

Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen, timpani pada Traube’s space,
shifting dullness (-)

Vertebra Deformitas (-)

Look : edema (-/-), clubbing finger (-), sianosis (-), hiperemis (-), diskontinuitas
jaringan (-)
Ekstremitas
Atas Feel : akral hangat, CRT < 2 detik, pulsasi teraba simetris

Move : normotonus, kekuatan 5555/5555

Look : edema (-/-), clubbing finger (-), sianosis (-), hiperemis (-), diskontinuitas
jaringan (-)
Ekstremitas
Bawah Feel : akral hangat, CRT < 2 detik, pulsasi teraba simetris

Move : normotonus, kekuatan 5555/5555


1.4.Pemeriksaan Penunjang

A. EKG 18 November 2019

Interpretasi :
HR : 94 – 136bpm

Irama : fibrilasi atrium

PR interval: tidak bisa dinilai

QRS complex: 96ms

QT interval: 356ms

Axis: normoaxis

Tampak q wave pada lead II, III, aVF

Tampak gelombang M pada lead V5, V6

Kesan :

Fibrilasi atrium dengan rapid ventricular response

Infark inferior lama

Left bundle branch block


B. Pemeriksaaan Laboratorium 18 November 2019

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hematologi

Hemoglobin 14,6 g/dl 14,0 – 18,0

Hematokrit 45 vol% 42,0 – 52,0

Leukosit 6,6 ribu/μl 5 – 10

ribu/μl
Trombosit 207 130 - 400

Kimia

Ureum 33 mg/dl
20 – 50

Creatinine 1,01 0,8 – 1,1


mg/dl

Glukosa Darah Sewaktu 116 mg/dl < 200


C. EKG 19 November 2019

Interpretasi :

HR : 94bpm

Irama : fibrilasi atrium

PR interval: tidak dapat dinilai

QRS complex: 100ms

QT interval: 388ms

Axis: normoaxis

Tampak gelombang q pada lead II, III, aVF

Tampak gelombang M pada lead V5, V6

Kesan :

FIbrilasi atrium dengan normal ventricular response

Infark lama interior

Left bundle branch block


D. Pemeriksaan Laboratorium 19 November 2019

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Kimia

Glukosa Darah
107 mg/dl 70-115
Puasa

Cholesterol total 196 mg/dl 150-220

HDL cholesterol 30 mg/dl >=55

LDL cholesterol 141 mg/dl <150

Trigliserida 127 mg/dl 60-165

Asam Urat 6.3 mg/dl 3.4-7.0

E. Foto rontgen thorax AP tanggal 19 November 2019

Cor: ukuran membesar, cephalisasi (-)


Paru : tampak infiltrate di kedua lapang paru. Corakan bronkovaskuler
tampak bertambah dengan penebalan fissure minor. Hilus kanan dan kiri normal
Sinuses dan diafragma baik
Tulang-tulang intak
Kesan: Kardiomegali, bronchitis kronis

1.5.Resume

Pasien laki-laki berusia 67 tahun datang ke IGD RSMC pada tanggal 18


November 2019 dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 2 minggu yang lalu namun
memberat dalam 3 hari terakhir. Saat sesak, pasien mengatakan dada terasa berat,
namun tidak terdapat nyeri dada. Pasien mengatakan sesak napas yang dialaminya
terjadi sepanjang hari. Sesak dirasakan jika pasien melakukan aktivitas ringan
seperti berjalan kaki dan diperberat ketika tidur terlentang. Setiap malam pasien
tidur dengan 3 bantal.

Pasien merupakan pasien poli jantung dengan diagnosa CHF et causa HHD,
AF. Pasien sudah tidak kontrol ke poli jantung selama 2 bulan. Pasien pernah
dirawat inap di RSMC pada bulan Juli,2019 dengan diagnosis CHF. Selama 2 bulan
tersebut pasien juga tidak mengontrol konsumsi cairannya.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah pasien 140/100 mmHg,


nadi 135x/menit, Laju napas 36x/menit, dan suhu tubuh 37 ̊C. Pemeriksaan sistem
secara Head to toe dalam batas normal.

Dilakukan pemeriksaan penunjang EKG sebanyak dua kali selama pasien


menjalani rawat inap, yang menunjukkan adanya fibrilasi atrium, infark interior
lama, dan left bundle branch block. Pada pemeriksaan foto rontgen thorax AP
ditemukan adanya kardiomegali.

1.6.Diagnosis

Diagnosis kerja : ADHF, fibrilasi atrium

10
Diagnosis banding : PPOK

1.7.Tatalaksana
 Oksigen Nasal Cannule 3lpm
 Pemasangan Cateter
 IV stopper
 Furosemide IV 2x40mg
 Digoxin IV 1x0.5mg
 Nitroglycerin SL 2x5mg
 Atorvastatin PO 1x40mg
 Aspilet PO 1x80mg
 Clopidogrel PO 1x75mg
 Ramipril PO 1x5mg
 Warfarin PO 1x2mg
 Bisoprolol PO 1x5mg

1.8.Prognosis

Quo ad vitam: dubia ad malam

Quo ad functionam: malam

Quo ad sanationam: malam

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pendahuluan
Definisi dari sesak nafas atau dispnea menurut American Thoracic
Society merupakan pengalaman subyektif akan ketidaknyamanan ketika
bernafas yang memiliki kualitas sensasi dan intensitas yang berbeda. Hal ini
merupakan hasil dari interaksi dari faktor fisiologis, psikologis, sosial dan
lingkungan. Dyspnea on exertion (DOE) memiliki sensasi yang sama
dengan dyspnea, namun sesak nafas ini muncul dengan aktivitas dan
membaik dengan istirahat.1
Dyspnea on exertion merupakan sebuah gejala dari penyakit. Penyakit-
penyakit ini biasa datang dari dua sistem organ yaitu sistem respiratorik dan
kardiovaskuler. Penyebab dari sistem respiratorik termasuk asma, penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi akut, penumonia, embolisme
paru, keganasan, pneumotoraks, atau aspirasi. Penyebab dari sistem
kardiovaskular termasuk gagal jantung kongestif, edema paru, sindrom
koroner akut, tamponade perikardial, defek katup jantung, hipertensi
pulmoner, dan aritmia. Penyakit sistemik lain yang dapat menyebabkan
DOE adalah anemia, gagal ginjal akut, asidosis metabolik, tirotoksikosis,
sirosis hati, anafilaksis, sepsis, angioedema, dan epiglotitis.1
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu dalam mencari
penyebab dari DOE. Keluhan seperti batuk dapat mengindikasikan adanya
asma, PPOK, atau pneumonia. Sedangkan nyeri tenggorokan dapat
mengarah kepada epiglotitis. Nyeri pleuritik dapat mengindikasikan
perikarditis, embolisme paru, pneumotoraks, atau pneumonia. Keluhan
seperti orthopnea, nocturnal paroxysmal dyspnea, dan edema sangat
mengarah kepada diagnosis gagal jantung kongestif. Riwayat merokok
meningkatkan kemungkinan PPOK, gagal jantung kongestif, dan
embolisme paru. Keluhan demam mengarah kepada penyebab infeksius.1

12
Tanda dan gejala Diagnosis Banding
Batuk Asma, pneumonia
Nyeri tenggorokan Epiglotitis
Nyeri dada pleuritik Perikarditis, emboli paru,
pneumotoraks, pneumonia
Orthopnea, nokturnal paroksismal Gagal jantung kongestif
dyspnea, edema
Penggunaan tobako PPOK, gagal jantung kongestif,
emboli paru
Disfagia GERD, aspirasi

Sedangkan dari pemeriksaan fisik distensi dari vena leher dapat merujuk
pada cor pulmonale yang disebabkan oleh PPOK berat, gagal jantung
kongestif, atau tamponade jantung. Pembesaran kelenjar tiroid dapat
mengindikasikan hipertiroid atau hipotiroid. Hipersonor pada perkusi
mungkin mengindikasikan kemungkinan pneumotoraks atau emfisema
bulosa berat. Pada auskultasi jika ditemukan mengi konsisten terhadap
diagnosis penyakit paru obstruksi seperti asma atau PPOK, namun bisa juga
berhubungan dengan edema atau embolisme paru. Selain itu, edema paru
dan pneumonia dapat muncul dengan rales pada auskultasi. Pada auskultasi
jantung dapat ditemukan disaritmia, murmur, atau gallop. S3 gallop
mengindikasikan cardiac overfilling seperti pada gagal jantung kongestif,
sedangkan S4 gallop merujuk pada dismolitas dan disfungsi ventrikular
kiri.1

13
Pemeriksaan Fisik Diagnosis banding
Mengi, pulsus paradoksus, Asma akut, eksaserbasi PPOK
penggunaan otot bantu pernafasan
Mengi, clubbing, barrel chest, suara Eksaserbasi PPOK
nafas menurun
Demam, crackles, fremitus Pneumonia
meningkat
Edema, distensi vena leher, S3 atau Gagal jantung kongestif, edema
S4 refluks hepatojugular, murmur, paru
rales, hipertensi, mengi
Mengi, friction rub, bengkak Emboli paru
ekstremitas bawah
Menghilangnya suara nafas, Pneumotoraks
hiperesonansi
Stridor, demam, drooling Epiglotitis
Stridor, mengi, pneumonia Aspirasi benda asing
menetap

2.2.Gagal Jantung Kongestif


2.2.1. Definisi
Gagal jantung merupakan suatu kumpulan gejala klinis akibat
kelainan struktur atau fungsi jantung yang ditandai dengan gejala gagal
jantung seperti nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan
aktivitas yang dapat atau tidak disertai dengan kelelahan; tanda retensi
cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki; serta adanya
bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung baik saat
beraktivitas maupun saat beristrahat.2

14
Gambar 1. Gejala gagal jantung2

Terdapat beberapa terminologi dalam menjelaskan gagal jantung


yaitu disfungsi sistolik (fraksi ejeksi terganggu atau heart failure with
reduced ejection fraction) HFrEF atau disfungsi diastolik (fungsi fraksi
ejeksi normal atau heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF)).2
Terminologi yang sering digunakan juga adalah gagal jantung akut
di mana kejadian atau terjadi perubahan yang cepat dari tanda dan gejala
gagal jantung, yang terbagi menjadi 2 jenis yaitu gagal jantung akut yang
baru terjadi pertama kali (de novo) dan gagal jantung dekompensasi akut
pada gagal jantung kronis yang sebelumnya stabil (ADHF). Sedangkan
terminologi gagal jantung kronik digunakan untuk menggambarkan pasien
dengan gejala tipikal dan tanda klinis gagal jantung beberapa waktu. Gagal
jantung stabil adalah ketika kondisi pasien dengan gejala dan tanda yang
sedang dalam pengobatan dan tidak mengalami perubahan paling tidak
selama 1 bulan. Gagal jantung kongesti, menggambarkan adanya gagal
jantung akut atau kronik dengan bukti gejala kelebihan volume.2

15
2.2.2. Epidemiologi
Diperkirakan sebanyak 6.5 juta pasien di Amerika yang mengalami
gagal jantung dan sekitar 960.000 kasus baru setiap tahunnya, dengan 8 juta
atau lebih pasien diperkirakan akan mengalami gagal jantung pada tahun
2030. Pada 75% kasus terjadi pada individu berusia diatas 65 tahun, 1%
kasus terjadi pada individu berusia di bawah 60 tahun dan 10% pada
individu berusia diatas 80 tahun; dan 75% kasus gagal jantung didahului
dengan hipertensi. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibandingkan Amerika disertai dengan manifestasi klinis yang lebih berat.
Ditemukan pada tahun 2013 sebanyak 530.068 penduduk Indonesia
menderita gagal jantung.3,4
2.2.3. Etiologi dan Faktor Pencetus
Penyebab dari gagal jantung adalah gangguan kontraktilitas
ventrikel, meningkatnya afterload, atau terganggunya relaksasi dan
pengisian ventrikel. Gagal jantung yang disebabkan oleh abnormalitas
pengosongan ventrikel oleh karena terjadi gangguan kontraktilitas, dan
peningkatan afterload disebut sebagai disfungsi sistolik; sedangkan jika
disebakan oleh abnormalitas dari relaksasi diastol atau pengisian ventrikel
disebut sebagai disfungsi diastolik. Gagal jantung dapat bersifat
asimtomatik untuk beberapa waktu karena karena kerusakannya bersifat
ringan atau karena disfungsi jantung terimbangi dengan mekanisme-
mekanisme kompensasi. Manifestasi klinis sering kali dicetuskann oleh
berbagai situasi seperti meningkatnya kerja jantung yang menyebabkan
keseimbangan berubah menjadi terdekompensasi.2,5

16
Gambar 2. Etiologi gagal jantung5

Tabel 1. Pencetus dekompensasi gagal jantung6

Peningkatan kebutuhan metabolik Demam, infeksi, anemia, takikardia,


hipertiroid, kehamilan
Peningkatan preload Kelebihan sodium dalam diet, kelebihan
cairan, gagal ginjal
Kondisi yang meningkatkan afterload Hipertensi tidak terkontrol, emboli paru

Kondisi yang mengganggu Pengobatan inotropik negatif, miokardial


kontraktilitas iskemia atau infark, ingesti ethanol yang
berlebihan
Tidak mengkonsumsi pengobatan gagal jantung
Detak jantung yang terlalu lambat

17
2.2.4. Patofisiologi
Gagal jantung muncul sebagai akibat dari kelainan pada struktur,
fungsi, ritme, atau konduksi jantung yang menyebabkan jantung tidak dapat
mensuplai tubuh dengan oksigen yang memadai. Di negara maju, sebagian
besar kasus disebabkan oleh infark miokard (disfungsi sistolik), hipertensi
(disfungsi diastolik dan sistolik), atau dalam banyak kasus keduanya.
Penyakit katup degeneratif, kardiomiopati idiopatik, dan kardiomiopati
alkohol juga merupakan penyebab utama gagal jantung. Gagal jantung
sering terjadi pada pasien usia lanjut yang memiliki beberapa kondisi
komorbiditas seperti angina, hipertensi, diabetes, dan penyakit paru-paru
kronis. Beberapa komorbiditas umum seperti disfungsi ginjal bersifat
multifaktorial (penurunan perfusi atau penurunan volume akibat
overdiuresis), sedangkan penyebab lain seperti anemia, depresi, gangguan
pernafasan, dan cachexia masih kurang dipahami.6,7
CHF tidak hanya menunjukkan ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan pengiriman oksigen yang memadai; tetapi juga respons
sistemik yang berusaha mengkompensasi ketidakmampuan tersebut. Faktor
penentu curah jantung (Cardiac output) adalah denyut jantung dan stroke
volume. Stroke volume merupakan jumlah volume darah yang dipompa
keluar dari ventrikel. Denyut jantung merupakan kemampuan jantung untuk
memompa per menitnya. Stroke volume ditentukan oleh preload,
kontraktilitas, dan afterload. Preload merupakan volume yang memasuki
ventrikel kiri untuk dipompa keluar, kontraktilitas mencirikan pompa dari
jantung, dan afterload menentukan apa yang harus dilawan oleh jantung.6,7

18
Preload disebut juga sebagai end diastolic volume/ volume ventrikel
kiri. Preload tidak hanya tergantung pada volume intravaskular; itu juga
dipengaruhi dengan berkurangnya pengisian ventrikel. Jika terjadi
peningkatan tekanan pleura positif (yang terlihat pada hiperinflasi dinamis
pada penyakit paru obstruktif kronik atau asma) dapat mengurangi tekanan
atrium kanan dan dengan demikian mengurangi pengisian ventrikel. Fungsi
diastolik ditentukan oleh 2 faktor: elastisitas atau distensibilitas ventrikel
kiri, yang merupakan fenomena pasif, dan proses relaksasi miokard, yang
merupakan proses aktif yang membutuhkan energi metabolis. Kehilangan
distensibilitas ventrikel kiri normal atau relaksasi oleh perubahan struktural
(misalnya, hipertrofi ventrikel kiri) atau perubahan fungsional (misalnya,
iskemia) mengganggu pengisian ventrikel (preload). Penurunan pengisian
ventrikel, yang meningkatkan tekanan atrium kiri dan tekanan vena paru
dan menyebabkan kongesti paru.6,7
Variabel kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung,
yang mewakili pemompaan otot jantung dan biasanya dinyatakan sebagai
fraksi ejeksi atau ejection fraction. Fraksi ejeksi merupakan presentase
darah yang dipompa ventrikel kiri setiap kontraksinya, dihitung dengan cara
stroke volume dibagi dengan volume total. Jantung dengan fungsi sistolik
normal akan mempertahankan fraksi ejeksi >50-55%. Infark miokard dapat
menyebabkan tidak berfungsinya miokardium sehingga mengganggu
kontraktilitas jantung. Faktor lain yang menekan fungsi sistolik miokard
termasuk agen farmakologis (penghambat saluran kalsium), hipoksemia,
dan asidosis berat. Pada pasien dengan gagal jantung sistolik, sering kali
memiliki nilai fraksi ejeksi <40%, sedangkan pada gagal jantung diastolik
memiliki fraksi ejeksi yang normal. Hal ini dikarenakan pada gagal jantung
diatolik, jantung memiliki kemampuan kontraksi yang adekuat namun
memiliki ruang yang sempit sehingga volume totalnya memang sedikit
sehingga stroke volume juga sedikit dan presentasenya menjadi normal.6,7

19
Penentu akhir stroke volume adalah afterload. Dalam istilah dasar,
afterload adalah beban yang harus dikerjakan oleh pompa, yang biasanya
diperkirakan secara klinis dengan tekanan arteri rata-rata atau mean arterial
pressure. Bersama-sama, 3 variabel ini terganggu pada pasien dengan
CHF.6,7
Jika curah jantung turun, denyut jantung atau stroke volume harus
meningkat untuk mempertahankannya. Namun, patofisiologi di belakang
CHF tidak hanya mencakup kelainan struktural, tetapi juga respons
kardiovaskular terhadap perfusi yang buruk dengan aktivasi sistem
neurohumoral. Penurunan suplai darah akan dideteksi oleh ginjal yang
kemudian akan mengaktivasi Renin-Angiotensin-Aldosterone system atau
RAAS serta hormon vasopressin atau antidiuretic hormone (ADH) yang
menyebabkan terjadinya retensi garam dan air. Retensi cairan ini
menyebabkan mengingkatnya volume darah pada ruang jantung,
meningkatkan kontraksi sementara, namun juga menyebabkan
penumpukkan cairan dipembuluh darah. Aliran darah ini akan masuk ke
pembuluh darah di paru-paru, dan darah yang telah teroksigenisasi akan
dibawa ke vena pulmonalis, namun karena terjadi gangguan pada kontraksi
jantung, darah tersebut akan terhambat di vena pulmonalis. Darah yang
belum teroksigenisasi berada di jantung dan karena adanya peningkatan
tekanan pada vena pulmonalis, tekanan pada arteri pulmonalis pun ikut
meningkat. Sehingga, terjadi rembesan cairan ke ruang intersititial pada
paru yang berujung pada kongesti. Difusi oksigen juga menjadi lebih lambat
karena melalui medium cair sehingga terdapat keluhan sesak. Orthopnea
juga dikeluhkan oleh sebab terdapat gaya gravitasi yang berkurang saat
pasien dalam posisi berbaring, darah dari vena di ekstremitas dan bagian
tubuh bawah dapat mengalir ke bagian tubuh atas dan mencapai sirkulasi
paru dan jantung dengan lebih mudah, dan akhirnya menyebabkan sesak.6,7

20
Awalnya, respons ini akan mencukupi, tetapi aktivasi yang
berlangsung lama menyebabkan hilangnya miosit dan perubahan maladaptif
pada miosit yang bertahan dan matriks ekstraseluler. Miokardium akan
mengalami remodeling dan dilatasi sebagai respons terhadap stress. Proses
ini juga memiliki efek yang merugikan pada fungsi paru-paru, ginjal, otot,
pembuluh darah, dan mungkin organ lain. Remodeling menyebabkan
dekompensasi jantung lebih lanjut dari komplikasi, termasuk regurgitasi
mitral yang disebabkan oleh peregangan katup annulus, dan aritmia jantung
disebabkan oleh remodeling atrium.6,7
Ketika terjadi penumpukan cairan di jantung, maka terjadi
peningkatan tekanan jantung dan dapat menyebabkan kongesti pada paru-
paru. Sehingga, paru-paru menyediakan berbagai mekanisme untuk
menghindari edema paru. Pada awalnya, ketika tekanan meningkat, kapiler
paru direkrut dan meningkatkan kapasitansi untuk menangani volume
tambahan. Ketika tekanan terus meningkat, volume dapat dialihkan dari
alveoli ke interstisium. Pada titik ini, dengan gradien tekanan, cairan akan
terbentuk di septa interlobular dan daerah perihilar. Seperti disebutkan di
atas, gagal jantung kronis dikaitkan dengan peningkatan kapasitansi vena
dan drainase limfatik paru-paru.6,7
Gagal jantung kiri merupakan jenis gagal jantung yang sering
ditemui dan dapat disebabkan oleh beberapa hal. Adanya gangguan pada
miokardium, seperti pada ischemic heart disease, menyebabkan kurangnya
suplai oksigen sel-sel jantung sehingga terjadi pembentukkan jaringan parut
dan kontraksi menjadi berkurang dan jumlah stroke volume pun menurun.
Hipertensi dalam jangka waktu lama menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi pada pembuluh darah sistemik yang menyebabkan
peningkatan tekanan pada vaskuler sistemik, sehingga jantung harus
memompa lebih kuat untuk melawan tekanan vaskuler sistemik yang lebih
tinggi. Hal ini juga menyebabkan adanya hipertrofi pada otot jantung di

21
ventrikel kiri, yang artinya tuntutan oksigen juga meningkat pada bagian
tersebut. Sedangkan, arteri koroner pada bagian ventrikel kiri terjepit
sehingga aliran darah menuju sel otot jantung tersebut berkurang. Tidak
tercukupinya supply dan demand ini menyebabkan kontraksi jantung jadi
lemah. Hipertrofi yang terjadi pada otot jantung bersifat konsentrik,
menyebabkan otot jantung jadi lebih tebal sehingga, jumlah darah yang
dapat diisi ke dalam ruang ventrikel jadi lebih sedikit dan mengganggu
fungsi diastolik dari ventrikel.6,7
Dilated cardiomyopathy menyebabkan ventrikel kiri menjadi
dilatasi dengan tujuan untuk mengisi ruang dengan volume darah yang lebih
banyak. Peregangan otot jantung untuk sementara dapat meningkatkan
kontraksi jantung, namun jika kondisi ini terus menerus dipertahankan,
dinding otot jantung menjadi lebih tipis dan lama kelamaan menjadi lemah
dan kekuatan memompanya juga menurun. Sesuai dengan mekanisme
Frank-Starling, dimana stroke volume akan meningkat sebagai respon
terhadap peningkatan volume darah di ventrikel sebelum kontraksi.6,7
Gagal jantung kanan umumnya terjadi akibat gagal jantung kiri.
Peningkatan tekanan pada vena pulmonalis akan menyebabkan peningkatan
tekanan arteri pulmonalis, sehingga terjadi peningkatan demand pada
ventrikel kanan jantung. Rangkaian kejadian ini menyebabkan adanya
penumpukkan volume pada jantung kanan dan kongesti sistemik dengan
gejala berupa distensi vena jugular, asites, hepatosplenomegali, serta pitting
edema. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan
adalah terdapatnya shunt seperti pada kasus ventricular septal defect (VSD)
dan atrial septal defect (ASD), atau adanya cor pulmonale akibat dari
penyakit paru kronis di mana darah akan mengalir dari tekanan tinggi ke
tekanan rendah.6,7

22
Kondisi otot jantung pada gagal jantung dapat terbagi menjadi 2,
yaitu thin and stretch – sesuai dengan Hukum Frank-Starling, serta thicken
and ischemic. Gangguan pada otot jantung ini akan berpengaruh pada
kemampuan kontraksi jantung dalam memompa darah. Ketika terjadi
gangguan pada otot jantung, kontraksi lama kelamaan tidak berdetak secara
seragam. Hal ini menyebabkan irama jantung yang ireguler dan
menyebabkan aritmia.6,7
Fibrilasi atrium juga ditemukan berhubungan dengan gagal jantung
dan dekompensasinya. Hubungan patofisiologi keduanya belum dapat
dijelaskan sepenuhnya akan tetapi karena kedua kondisi ini sering
ditemukan bersamaan pada pasien maka dipikirkan bahwa terdapat
hubungan antara keduanya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, salah satu
faktor yang menentukan curah jantung adalah preload yang kemudian
ditentukan oleh salah satunya waktu pengisian ventrikel. Fibrilasi atrium
menimbulkan laju nadi yang cepat dan menurunkan waktu diastolic
sehingga menurunkan pengisian ventrikel. AF yang tidak terkontrol dapat
menimbulkan dekompensasi.

2.2.5. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung dapat dibuat berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan jasmani, elektrokardiografi/ foto toraks, ekokardiografi-
doppler dan kateterisasi. Anamnesis sendiri seringkali kurang bisa
menegakan diagnosis, namun dapat memberikan petunjuk mengenai
penyebabnya seperti infark miokard atau hipertensi yang tidak terkontrol;
pencetus seperti diet yang tidak dijaga atau tidak mengkonsumsi obat secara
teratur; dan tingkat keparahan.7

23
Gejala gagal jantung dapat berhubungan dengan penurunan curah
jantung (mudah lelah dan lemas) atau dengan retensi cairan berlebih
(dispnea, ortopnea). Jika terjadi progresivitas menjadi gagal jantung kanan
mungkin ada kongesti hati (ketidaknyamanan kuadran kanan atas), rasa
kenyang dini, dan penurunan nafsu makan. Retensi cairan juga
menghasilkan edema perifer dan kadang-kadang meningkatkan lingkar
perut akibat asites. Tidak adanya dispnea saat aktivitas pada dasarnya
menyingkirkan kemungkinan gagal jantung karena disfungsi ventrikel kiri.
Edema paru (disertai ronki dan mengi) dominan pada gagal jantung akut
atau subakut.2

Gambar 3. Tanda dan gejala gagal jantung2

24
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik gagal jantung
terdekompensasi dapat diklasifikasikan menjadi:

Profil A “hangat dan kering” artinya terkompensasi dan perfusi baik


tanpa kongesti. Profil A menandakan hemodinamik yang normal sehingga
gejala yang ditimbulkan biasanya akibat faktor lain selain gagal jantung
seperti penyakit parenkim paru. Profil B “hangat dan basah” berarti perfusi
perifer baik tetapi terdapat kognesti. Contoh manifestasi dari gambaran
basah atau kongesti adalah orthopnea, terdengar rhonki, peningkatan JVP,
dan edema tungkai bawah. Profil L “dingin dan kering” menandakan perfusi
perifer yang buruk akibat rendahnya curah jantung tetapi tidak ada kongesti.
Hal ini dapat terjadi diakibatkan deplesi olume atau terbatasnya cadangan
volume tanpa volume overload seperti pada pasien dengan dilatasi ventrikel
kiri dan mitral regurgitasi yang mengalami sesak nafas saat beraktivitas
karena tidak memiliki curah jantung yang adekuat. Manifestasi klinis dari
gambaran dingin adalah akral dingin, oliguria, penurunan kesadaran, dan
narrow pulse pressure. Profil C “dingin dan basah” merupakan gabungan
dari keduanya dan merupakan kondisi yang paling berbahaya.

25
Pada pasien dengan dispnea, rontgen dada adalah tes pertama yang
berguna untuk membedakan pasien dengan gagal jantung dari pasien
dengan penyakit paru primer. Temuan radiografi yang menunjukkan gagal
jantung termasuk kardiomegali (rasio jantung-ke-dada di atas 50%),
kranialisasi, dan efusi pleura. Elektrokardiogram (EKG) abnormal
meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal jantung, tetapi memiliki
spesifisitas yang rendah. Beberapa kelainan pada EKG memberikan
informasi tentang etiologi (misalnya infark miokard), dan temuan
pada EKG mungkin memberikan indikasi untuk terapi (misalnya
antikoagulasi untuk AF, pacu jantung untuk bradikardia). Gagal jantung
tidak mungkin terjadi pada pasien dengan EKG normal (sensitivitas 89%).
Oleh karena itu, penggunaan EKG secara rutin dianjurkan untuk
menyingkirkan HF.2,6,7
Ekokardiografi adalah tes yang paling berguna dan tersedia secara
luas pada pasien dengan dugaan gagal jantung untuk menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan ini memberikan informasi langsung tentang volume
ruang, fungsi sistolik dan diastolik ventrikel, ketebalan dinding, fungsi
katup, dan hipertensi paru. Informasi ini sangat penting dalam menegakkan
diagnosis dan dalam menentukan perawatan yang tepat.7
Sampai saat ini, belum ada tes laboratorium yang dapat menentukan
diagnosis gagal jantung. Brain natriuretic peptide adalah salah satu
neurohormon yang disekresi oleh atrium dan ventrikel juga sebagai respon
terhadap peregangan dan terhadap peningkatan ketegangan dinding
(increased wall tension). BNP memiliki sensitivitas setinggi 70% dan
spesifitas setinggi 99%. Pro-Brain Natriuretic Peptide Terminal N (NT-
proBNP) juga dapat digunakan dengan angka sensitivitas setinggi 99% dan
spesifitas setinggi 85%. Pengukuran BNP dan NT-proBNP
direkomendasikan untuk seluruh pasien gagal jantung, baik pasien rawat
inap maupun pasien rawat jalan. BNP adalah sebuah neurohormon yang
merupakan bentuk aktif dari proBNP. BNP disimpan sebagai butiran
sekretori di kedua ventrikel dan, pada tingkat lebih rendah, di atrium.

26
Sebagai respon terhadap ekspansi volume dan tekanan berlebih atau volume
overload, substansi proBNP disekresikan ke dalam ventrikel dan dipecah
menjadi dua bentuk yaitu Pro-Brain Natriuretic Peptide Terminal N (NT-
proBNP) dan hormon BNP aktif.2,6,7

Gambar 4. Pemeriksaan penunjang pada gagal jantung2

27
Tabel 2. Kriteria Framingham dapat pula digunakan untuk diagnosis gagal
jantung kongestif6
Kriteria Mayor Kriteria Minor Mayor atau Minor
- Paroksismal nokturnal dyspnea - Edema ekstremitas - Penurunan BB >4.5
atau orthopnea - Batuk malam hari kg dalam 5 hari
- Distensi vena leher - Dispnea on exertion pengobatan

- Ronki paru - Hepatomegali


- Kardiomegali - Efusi pleura
- Edema paru akut - Penurunan kapasitas
- Gallop S3 vital 1/3 dari normal
- Peninggian tekanan vena - Takikardia
jugularis (>120/menit)
- Refluks hepatojugular
Diagnosis gagal jantung ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor

Tabel 3. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan New York Heart Association


(NYHA)6

Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari-hari tidak


menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas
Kelas II Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
aktivitas sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
Kelas III Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang
dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari-
hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa adanya kelelahan.
Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik,
keluhan akan semakin meningkat

28
2.2.6. Tatalaksana
Non-medikamentosa
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam
keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak
bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional,
kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan
mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang
dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan
gagal jantung.2

 Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan


meningkatkan kualitas hidup pasien. Hanya 20 - 60% pasien yang
taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi
 Pemantauan berat badan mandiri rutin dilakukan setiap hari, jika
terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, maka dosis
diuretik dapat dipertimbangkan untuk ditingkatkan.
 Asupan cairan, dilakukan restriksi cairan 1,5-2 L/hari
dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat yang
disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan - sedang tidak memberikan keuntungan klinis.
 Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan
gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal
jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
 Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor
penurunan angka kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir
berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai
retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi
pasien harus dihitung dengan hati-hati .

29
 Latihan fisik
Latihan fisik disarankan untuk semua pasien gagal jantung kronik
stabil.

Medikamentosa
Pada kasus ini, pasien mengalami gagal jantung kongesti dengan
keadaan gagal jantung akut atau acute decompesated heart failure
(ADHF), sehingga dalam tatalaksananya diberikan terapi gagal
jantung akut.5

30
Rekomendasi tatalaksana farmakologis HF berdasarkan ESC 2016
antara lain5:
 Diuretik merupakan pendekatan awal untuk manajemen kongesti.
Pemberian diuretik bersama dengan vasodilator dapat
menghilangkan keluhan dispnea, jika tekanan darah
memungkinkan. Lini pertama pada kasus gagal jantung akut adalah
furosemide. Dosis pemberiannya harus dibatasi pada dosis terkecil
yang dapat memberikan efek klinis yang memadai, dan dimodifikasi
sesuai dengan fungsi ginjal sebelumnya dan dosis diuretik yang
digunakan sebelumnya. Pasien dengan gagal jantung akut dengan
onset baru atau pasien dengan gagal jantung kronis tanpa riwayat
gagal ginjal atau penggunaan diuretik sebelumnya dapat merespons
pada IV bolus 20-40 mg, sedangkan pada pasien yang pernah
menggunakan diuretik sebelumnya biasanya membutuhkan dosis
yang lebih tinggi. Torasemide IV bolus 10-20 mg bisa menjadi
alternatif. Pada kasus dengan HF akut dengan volume overload,
thiazid (hidroclorotiazid 25mg p.o.) dan antagonis aldosterone
(spironolactone, eplerenon 25-50 mg po) dapat diberikan bersamaan
dengan loop diuretik. Kombinasi beberapa macam obat seringkali
lebih efektif dan mililiki efek samping yang lebih rendah jika
diberikan satu dosis obat dengan dosis yang tinggi.
 Vasodilator intravena memiliki manfaat ganda yaitu dengan
mengurangi tonus vena (mengoptimalkan preload) dan tonus arteri
(mengurangi arfterload), sehingga dapat meningkatkan stroke
volume. Vasodilator sangat berguna pada pasien AHF dengan
hipertensi, sedangkan pada mereka dengan SBP <90 mmHg harus
dihindari. Nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang
baik untuk pasien dengan gagal jantung dekompensasi berat dengan
edema paru yang besar. Pada kondisi yang lebih ringan, bisa
digunakan nitrogliserin sublingual. Dosis maksimal nitrat adalah
200mcg/menit. Dosis harus dikontrol dengan hati-hati untuk

31
menghindari penurunan tekanan darah yang berlebihan. Vasodilator
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan stenosis mitral
atau aorta yang signifikan.

Gambar 5. Vasodilator intravena

 Pemberian Oksigen dosis tinggi direkomendasikan bagi pasien


dengan saturasi perifer < 90% atau PaO2 < 60 mmHg, untuk
memperbaiki hipoksemia. Oksigen direkomendasikan untuk
diberikan sedini mungkin pada pasien hipoksemia untuk mencapai
saturasi oksigen > 95% (90% pada pasien dengan COPD). Oksigen
diberikan dengan menggunakan nonrebreathing mask untuk
memperoleh PaO2 > 60 mmHg. Ventilasi dengan tekanan akhir
respirasi positif (PEEP) harus dipikirkan sedini mungkin pada
pasien dengan edema paru kardiogenik akut dan semua pasien
dengan HF akut hipertensif karena dapat memperbaiki parameter
klinis termasuk keluhan sesak.2,5
 Profilaksis tromboemboli direkomendasikan pada pasien yang
belum mendapat antikoagulan dan tidak memiliki kontraindikasi
terhadap antikoagulan, untuk menurunkan risiko deep vein
thrombosis dan emboli paru.2,5
 Digoxin sebagian besar diindikasikan pada pasien dengan AF
dengan rapid ventricular rate (>110 bpm) dan diberikan dalam IV
bolus 0,25-0,5 mg. Namun, pada pasien dengan komorbiditas atau
faktor lain yang mempengaruhi metabolisme digoxin (termasuk obat
lain) dan/atau pada orang tua, dosis pemeliharaan mungkin sulit
untuk diperkirakan secara teoritis, dan dalam situasi ini harus

32
ditetapkan secara empiris, berdasarkan pengukuran dari konsentrasi
digoksin dalam darah perifer.2,5
 Opium (IV) harus dipertimbangkan terutama bagi pasien yang
gelisah, cemas atau distress untuk menghilangkan gejala-gejala
tersebut dan mengurangi sesak nafas. Morfin bersifat sangat efektif
untuk meringankan gejala sesak dan rasa gelisah, meningkatkan
kapasitas vena, dan menurunkan tekanan pada atrium kiri. Dosis
awal pemberian morfin adalah 2-8mg IV dan bisa diulang setelah 2-
4 jam. Pemberian morfin harus dicegah pada pasien dengan edema
paru akibat opioid, dan edema neurogenik. Kesadaran dan usaha
nafas harus diawasi secara ketat, karena pemberian obat ini dapat
menekan pernafasan.2,5
 Obat inotropic TIDAK direkomendasikan kecuali pasien mengalami
hipotensi (tekanan darah sistolik < 85 mmH), hipoperfusi atau syok,
dikarenakan faktor keamanannya (bias menyebabkan aritmia
atrial/ventricular, iskemia miokard dan kematian).2,5

33
Gambar 6. Algoritme tatalaksana edema paru pada gagal jantung2

Pada pasien ADHF ec CHF, kombinasi diuretik dan ACEI harus


menjadi terapi inisial dengan penambahan awal beta-blocker (β-bloker)
dosis rendah setelah mencapai kondisi stabil. Tiga macam BB yang
memiliki bukti kuat mengurangi mortalitas antara lain: carvedilol,
metoprolol, dan bisoprolol. Indikasi pemberian BB adalah LVEF < 40%,
NYHA FC II-IV, pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah
kejadian infark miokard, dan dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan
aldosterone antagonis jika diindikasikan). Kontraindikasi penggunaan BB
adalah asma, AV blok derajat II dan III, sinus bradikardi (<50bpm), dan sick
sinus syndrome (tanpa keberadaan pacemaker.2,5

Tatalaksana jangka panjang2,5


 Diuretik

34
Diberikan untuk mengurangi edema dengan cara menurunkan
volume darah dan tekanan vena, dan diperlukan restriksi konsumsi
garam untuk mengurangi retensi cairan pada pasien dengan gejala
HF dan pada HFrEF untuk meredakan gejala.2,5
 Angiotensin converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
ACEI telah terbukti mengurangi mortalitas dan mobiditas pada
pasien dengan HFrEF dan direkomendasikan kecuali terdapat
kontraindikasi atau tidak ditoleransi pada semua pasien yang
bergejala. Dosis ACEI harus dititrasi ke dosis maksimum yang dapat
ditoleransi untuk mencapai penghambatan sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAAS) yang memadai. ACEI juga direkomendasikan
pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri asimptomatik
untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian di rumah sakit.2,5
 Angiotensin receptor blocker (ARB) dapat diberikan pada pasien
yang tidak dapat mentoleransi ACEI.2,5
 Beta-adrenergic blocker
Beta-blocker mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien
bergejala dengan HFrEF, meskipun telah diobati dengan ACEI dan,
dalam banyak kasus, diuretik. Terdapat suatu konsensus yang
mengatakan bahwa beta-blocker dan ACEI saling melengkapi, dan
dapat dimulai bersama segera setelah seseorang diagnosis dengan
HFrEF. Beta-blocker harus dimulai pada pasien yang stabil secara
klinis dengan dosis rendah dan secara bertahap naik ke dosis
maksimum yang dapat ditoleransi. Pada pasien yang dirawat karena
HF (AHF) beta-blocker akut harus dimulai dengan hati-hati di
rumah sakit, setelah pasien distabilkan. Namun, karena ini adalah
analisis subkelompok retrospektif, dan karena beta-blocker tidak
meningkatkan risiko, komite pedoman memutuskan untuk tidak
membuat rekomendasi yang terpisah sesuai dengan irama jantung.
Beta-blocker harus dipertimbangkan sebagai rate control pada
pasien dengan HFrEF dan AF. Beta-blocker direkomendasikan pada

35
pasien dengan riwayat infark miokard dan disfungsi sistolik LV
asimptomatik untuk mengurangi risiko kematian.2,5
 Hydralazine dan nitrat untuk memperbaiki gejala, fungsi ventrikel,
kapasitas aktivitas, dan survival pada pasien yang intolerans
terhadap ACEI/ARB atau sebagai tambahan terapi pada
ACEI/ARB.2,5
 Mineralocorticoid/aldosterone agonist (MRA)
MRA (spironolactone dan eplerenone) memblokir reseptor yang
mengikat aldosteron dan hormon steroid lainnya. Spironolakton atau
eplerenon direkomendasikan pada semua pasien yang bergejala
(walaupun telah diobati dengan ACEI dan beta-blocker) dengan
HFrEF dan LVEF ≤35%, untuk mengurangi mortalitas dan rawat
inap HF. Perhatian harus dilakukan ketika MRA digunakan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan pada mereka dengan
kadar serum kalium 0,55 mmol / L. Pemeriksaan rutin kadar kalium
serum dan fungsi ginjal harus dilakukan sesuai dengan status
klinis.2,5

2.2.7. Prognosis
Secara epidemiologis menunjukkan tingkat kelangsungan hidup
rata-rata (mean survival rate) pada gagal jantung kronis adalah
80-90%, 50-60%, dan 30% masing-masing pada 1, 5, dan 10
tahun. Namun, kompleksitas penyakit dan komorbiditasnya
menyebabkan sulit untuk menggeneralisasikan studi populasi
ini kepada individu. Penting untuk menilai setiap pasien secara
individu tetapi basis bukti ini dapat memberikan panduan yang
berguna untuk diskusi pengobatan dan prognosis. Prognosis
tampaknya telah meningkat dari waktu ke waktu, menyoroti
pentingnya pengobatan yang optimal dengan penyesuaian dosis
termasuk peningkatan titrasi obat jika perlu. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menemukan pengobatan yang efektif
untuk HFpEF dan HFmrEF, tetapi saat ini fokus untuk dokter

36
harus pada perawatan komorbiditas dan mengontrol gejala yang
terkait.9

Bertambahnya usia, LVSD, peningkatan peptida


natriuretik yang signifikan, dan penanda lain dari penyakit
pembuluh darah atau ginjal adalah prediktor terbaik dari
prognosis yang buruk. Informasi prognostik harus digunakan
dalam perawatan primer untuk mengidentifikasi pasien yang
berisiko, meningkatkan pengobatan yang sesuai, tetapi juga
membicarakan mengenai harapan pengobatan yang realistis
dan mempertimbangkan kebutuhan awal untuk diskusi seputar
resusitasi, perawatan akhir kehidupan, dan keterlibatan
layanan perawatan paliatif.9

37
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien laki-laki berusia 67 tahun datang ke IGD RSMC pada tanggal 18


November 2019 dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 2 minggu yang lalu namun
memberat dalam 3 hari terakhir. Saat sesak, pasien mengatakan dada terasa berat,
namun tidak terdapat nyeri dada. Pasien mengatakan sesak napas yang dialaminya
terjadi sepanjang hari. Sesak dirasakan jika pasien melakukan aktivitas ringan
seperti berjalan kaki dan diperberat ketika tidur terlentang. Setiap malam pasien
tidur dengan 3 bantal. Pasien merupakan pasien poli jantung dengan diagnosa CHF
et causa HHD, AF. Pasien sudah tidak kontrol ke poli jantung selama 2 bulan.
Pasien pernah dirawat inap di RSMC pada bulan Juli 2019 dengan diagnosis CHF.
Selama 2 bulan tersebut pasien juga tidak mengontrol konsumsi cairannya. Pasien
merupakan mantan perokok yang telah berhenti 2 – 3 tahun SMRS.

Berdasarkan anamnesis, dicurigai pasien menderita acute decompensated


heart failure (ADHF) dikarenakan pasien memiliki tanda-tanda khas gagal jantung
yaitu sesak nafas, orthopnea, dan dyspnea on exertion. Pasien juga memiliki
riwayat CHF sebelumnya yang tidak terkontrol. Kondisi dekompensasi dapat
dicetuskan oleh beberapa hal. Pencetus pada pasien ini dapat berasal dari konsumsi
cairan yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan fluid overload. Pencetus lain
juga dapat berasal dari gangguan irama yaitu fibrilasi atrium yang diderita oleh
pasien. Pasien juga merupakan seorang perokok. Terakhir, pasien juga menderita
hipertensi yang tidak terkontrol dan hal ini juga dapat menyebabkan dekompensasi.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari anamnesis, dipikirkan bahwa pasien
menderita ADHF dan berikutnya dilakukan pemeriksaan fisik untuk mencari tanda-
tanda dari gagal jantung.

38
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah pasien 140/100 mmHg,
nadi 135x/menit ireguler, Laju napas 36x/menit, dan suhu tubuh 37 ̊C. Pemeriksaan
39truct secara Head to toe dalam batas normal.

Pada pemeriksaan fisik meskipun tidak ditemukan adanya rhonki namun


pasien mengalami takipnea yang menandakan bahwa pasien sesak nafas. Tidak
ditemukan adanya tanda-tanda kongesti yang jelas seperti peningkatan JVP, suara
jantung S3, murmur, rhonki, atau edema tungkai bawah. Pasien juga tidak memiliki
tanda-tanda perfusi buruk seperti hipotensi dan akral dingin. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dapat diklasifikasikan dalam profil B
“hangat dan basah”. Sebenarnya pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-
tanda kongesti yang jelas namun karena pasien mengalami orthopnea maka
klasifikasi yang paling tepat adalah profil B. Tidak mungkin pasien berada pada
profil A karena pasien mengalami sesak nafas. Pasien juga dapat diklasifikasikan
ke dalam NYHA kelas IV karena gejala ada pada saat istirahat. Selain daripada
gagal jantung, pasien memiliki laju nadi yang cepat dan ireguler, menandakan
adanya suatu gangguan irama. Selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk memastikan diagnosis.

Dilakukan pemeriksaan penunjang EKG sebanyak dua kali selama pasien


menjalani rawat inap, yang menunjukkan adanya fibrilasi atrium, infark interior
lama, dan left bundle branch block. Pada pemeriksaan foto rontgen thorax AP
ditemukan adanya kardiomegali. Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan
adanya kelainan.

Temuan yang menunjang diagnosis ADHF adalah adanya kardiomegali,


sebuah gangguan struktural. Pasien juga ditemukan memiliki gangguan irama
fibrilasi atrium yang awalnya dengan rapid ventricular response. Pemeriksaan
penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan enzim jantung untuk
memastikan pasien tidak mengalami infark berulang. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan ekokardiografi guna menilai fungsi ventrikel kiri pasien.

39
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, ditemukan pasien memenuhi 2
kritera mayor yaitu kardiomegali dan orthopnea serta 1 kriteria minor yaitu DOE.
Berdasarkan kriteria Framingham tersebut diagnosis CHF sudah dapat ditegakkan.
Terlebih lagi, pasien memiliki riwayat CHF sebelumnya yang menguatkan
diagnosis. Kondisi yang dialami pasien bersifat akut yang dicetuskan oleh tidak
terkontrolnya konsumsi cairan serta hipertensi dan AF yang tidak terkontrol
sehingga pasien didiagnosis menderita ADHF.

Pasien menderita ADHF profil B sehingga tatalaksana yang diberikan


adalah restriksi cairan, diuretic, dan vasodilator. Terapi oksigen dosis tinggi
diindikasikan pada pasien dengan saturasi perifer <90%. Pada pasien saturasi 99%
sehingga hanya diberikan NC 3lpm untuk meringankan sesak nafasnya. Pada
pasien dilakukan restriksi cairan dan telah diberikan Furosemide IV 2x40mg serta
Nitrogliserin SL 2x5mg. Untuk menangani fibrilasi atrium diberikan Digoxin IV
1x0.5mg dan Warfarin PO 1x2mg untuk profilaksis emboli. Untuk tatalaksana
gagal jantung jangka panjang, obat yang disarankan adalah ACEI/ARB dan B-
blocker. Pada pasien diberikan Ramipril PO 1x5mg dan Bisoprolol PO 1x5mg.
Karena pasien pernah mengalami infark maka obat-obatan antiplatelet diteruskan.

Selain daripada terapi medikamentosa, penting untuk dilakukan edukasi.


Perlu ditekankan pentingnya control teratur dan pembatasan cairan sehari-hari.
Pasien juga disarankan untuk berolahraga secara teratur sesuai anjuran yaitu selama
30 menit sebanyak 5 kali seminggu dengan intensitas sedang.

Prognosis pada pasien cenderung buruk dikarenakan usia yang sudah lanjut,
kondisi klinis yang buruk, serta adanya komorbiditas yaitu fibrilasi atrium.
Kepatuhan pasien untuk mengikuti terapi juga diragukan karena pasien memiliki
riwayat tidak control sebelumnya. Untuk dapat menentukan prognosis dengan lebih
baik dapat dilakukan ekokardiografi.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Berliner D, Schneider N, Welte T, Bauersachs J. The differential diagnosis


of dyspnea. Dtsch Arzlebl Int. 2016; p. 834-41
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung. Buku Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung.
2015;1: p.1-47
3. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi Kesehatan
Jantung. Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dan Data Penduduk
Sasaran. 2014;1: p.1-4
4. Savarese G, Lund L. Global Public Health Burden of Heart Failure. Card
Fail Rev. 2017;03: p.7-11
5. Ponikowski P, Voors A, Anker S, Bueno H, Cleland J, Coats A et al.
European Society of Cardiology Guidelines for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic Heart Failure. European Heart Journal.
2016;37: p.2129-2200
6. Miranda D, Lewis GD, Fifer MA. Heart failure. In: Lily, LS, editors.
Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer;
2011. p. 220- 247.
7. Figueroa MS, Peters JI. Congestive heart failure : diagnosis,
patophysiology, therapy, and implications for respiratory care. Respiratory
care. 2006; 51: p. 403-10
8. Panggabean M. Gagal jantung. In: Setiati S, Alwi I, Sudowo AW,
Simadibrata A, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 6th ed. 2014; p. 1132-150
9. Jones NR, Hobbs FDR, Taylor CJ. Prognosis dollowing a diagnosis of heart
failure and the role of primary care: a review of the literature. BJGP open.
2017; 1: p. 1-8

41

Anda mungkin juga menyukai