Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

*Dokter Internsip Periode November 2022-November 2022/ Januari 2023


** Pembimbing dr. Ema Lusida, SpPD
*** Pendamping dr. Deka Yuhendrizal

PPOK EKSASERBASI AKUT DD BRONKOPNEUMONIA+HIPERTENSI


URGENCY+HIPERGLIKEMIA+HIPERURESEMIA

Oleh:

dr. Fazilla Maulidia*

Pembimbing: dr. Ema Lusida, SpPD


Pendamping : dr. Deka Yuhendrizal

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


WAHANA RSUD SUNGAI GELAM
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2023

1
LEMBAR PENGESAHAN

PPOK EKSASERBASI AKUT DD BRONKOPNEUMONIA+HIPERTENSI


URGENCY+HIPERGLIKEMIA+HIPERURESEMIA

Oleh:
dr. Fazilla Maulidia

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


WAHANA RSUD SUNGAI GELAM
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2023

Muaro jambi, Januari 2023

Pembimbing Pendamping wahana

dr. Ema Lusida, Sp.PD dr. Deka Yuhendrizal

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
sebab karena rahmaNya, laporan kasus yang berjudul “PPOK Eksaserbasi Akut
Dd Bronkopneumonia + Hipertensi Urgency + Hiperglikemia + Hiperuresemia”
sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Program Internsip Dokter
Indonesia.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.Ema Lusida, Sp.PD. selaku
pembimbing dan dr. Deka Yuhendrizal selaku pendamping wahana RSUD Sungai
Gelam. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih kedepannya. Akhir kata, semoga
laporan ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta
pengetahuan kita.

Muaro Jambi, Januari 2023

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang


ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang bersifat progresif dan tidak
sepenuhnya reversible, yang disebabkan oleh proses inflamasi pada paru. PPOK
saat ini merupakan penyebab kematian nomor empat di dunia namun diperkirakan
akan menjadi penyebab kematian nomor 3 pada tahun 2020. Lebih dari 3 juta
orang meninggal akibat PPOK pada tahun 2012 yang menyumbang 6% dari
semua kematian secara global. PPOK merupakan tantangan kesehatan masyarakat
yang penting yang dapat dicegah dan diobati. PPOK adalah penyebab utama
kematian kronis dan morbiditas di seluruh dunia. Banyak orang menderita
penyakit ini selama bertahun-tahun dan meninggal karena penyakit ini atau
komplikasinya. Secara global, beban PPOK diproyeksikan akan meningkat dalam
beberapa dekade mendatang karena paparan terus-menerus terhadap faktor risiko
PPOK dan penuaan populasi.
Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan
penigkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola penyakit infeksi
yang menurun sedangkan penyakit degenerative meningkat, serta meningkatnya
kebiasaan merokok dan polusi udara. Merokok merupakan salah satu faktro risiko
terbesar PPOK. Perokok dilaporkan memiliki risiko 45% lebih tinggi terkena
PPOK dibandingkan dengan yang tidak merokok. Walaupu begitu, merokok
bukan penyebab utama dari PPOK, banyak factor lain yang dapat memengaruhi
PPOK.
Stadar baku emas (gold standard) pemeriksaan pada PPOK adalah dengan
melakukan tes fungsi paru dengan pemeriksaan spirometry. Spirometri tidak
hanya berfungsi sebagai alat diagnostic tetapi jga prognostic untuk melihat
perbaikan fungsi paru setelah pemberian terapi. Normlanya, pada pasien PPOK
terjadi hambatan aliran udara yang disebabkan oleh sekresi mucus.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTIKASI PASIEN


Nama : Ny. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 60 tahun
Alamat : Sungai gelam
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
MRS : 22 Desember 2022

2.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)


2.2.1 Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan sesak yang memberat sejak 1 jam SMRS.

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak 1 jam
SMRS. Keluhan sesak mulai dirasakan sudah sejak 5 tahun SMRS, namun
dahulunya sesak dirasakan hilang timbul dan tidak begitu mengganggu aktivitas.
Sesak yang dirasakan bisa mencapai 2-3 kali dalam sebulan dan membaik setiap
pasien meminum obat warung bermerk dagang napacin. 1 tahun SMRS keluhan
sesak semakin sering terjadi bisa mencapai 5 kali dalam satu bulan. Keluhan sesak
nafas bertambah parah sejak 1 bulan SMRS dan semakin memberat 1 jam SMRS.
Pasien mengatakan sesak bertambah saat pasien berbaring. Keluhan sedikit
membaik saat duduk. Sesak dirasakan sampai mengganggu aktivitas pasien.
Pasien sering mengeluhkan keringat dingin saat malam hari.
Pasien juga mengeluhkan batuk, keluhan batuk mulai dirasakan 1 tahun
SMRS, terjadi kadang- kadang, batuk disertai dahak berwarna kuning. Pasien
mengatakan batuk berkurang pada saat duduk dan biasanya keluhan hilang dengan

5
sendirinya. Pasien juga mengeluhkan mual. Demam (-), batuk berdahak (-), nyeri
dada (-), berdebar-debar (-), penurunan nafsu makan(-), berat badan menurun (-),
muntah (-) BAB dan BAK tidak ada keluhan.

2.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sejak 5 tahun SMRS sudah sering mengeluhkan keluhan serupa dan
sudah sering dirawat di RS. Riwayat hipertensi (+), namun pasien tidak meminum
obat penurun tekanan darah. Riwayat penyakit seperti asma dan diabetes melitus
tidak diketahui oleh pasien.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa (-), riwayat hipertensi di keluarga (-), riwayat DM
di keluarga (-), riwayat asma di keluarga (-).

2.2.5 Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien seorang ibu rumah tangga. Pasien mengaku adalah perokok aktif
selama 44 tahun, dalam sehari pasien dapat menghabiskan 1 bungkus rokok/12
batang harum manis.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
Status Generalisata
1. KeadaanUmum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tekanan darah : 224/123 mmHg
4. Nadi : 111x/menit
5. Pernafasan : 36x/menit
6. Suhu : 36,5°C
7. SpO2 tanpa oksigen : 91%
8. SpO2 dengan oksigen : 95%
9. BeratBadan : 56 kg
10. Tinggi Badan : 153 cm
11. IMT : 56 /(1,53)2 =23,93 (Normal)

6
Pemeriksaan Organ
1. Kepala : Normocepal
2. Mata : CA(-/-), SI (-/-)
3. Telinga : Nyeri tekan (-), bengkak (-)
4. Hidung : Deformitas (-), napas cuping hidung (-)
5. Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), Pursed lip breathing (-)
6. Tenggorok : Tidak dilakukan
7. Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cmH2O
8. Thorak : Bentuk dbn, otot bantu napas (+)
Pulmo
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Simetris, retraksi iga (-), Simetris, retraksi iga (-)
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler melemah, Vesikuler melemah
Wheezing (+), rhonki (+) Wheezing (+),

Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi Ictus cordis tidak teraba
Perkusi Batas Jantung
Atas : ICS II line parasternal sinistra
Kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternal dextra

Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi Datar, massa (-), jaringan parut (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri
ketok costovertebra (-/-)

7
Perkusi Timpani
Auskultasi Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, CRT<2s, sianosis (-), edem (-),
Inferior : Akral hangat, CRT<2s, sianosis (-), edem (-)

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


2.4.1 Pemeriksaan Penunjang dari IGD
Darah Rutin
Jenis Pemeriksaan Hasil Harga Normal
WBC 11.620 (4-10,0 103/mm3)
RBC 4.69 (3,5-5,5 106/mm3)
HGB 12.2 (11,0-16 g/dl)
HCT 38.7 (35,0-5,50 %)
PLT 357 (100-300 103/mm3)
MCV 82.5 (80-100 fl)
MCH 36.4 (3,5-5,5 106/mm3)
MCHC 32.0 (3,5-5,5 106/mm3)

Paramater Hasil Harga Normal


FAAL GINJAL
Ureum 38,17 15-39 fl
Kreatinin 1,22 L 0,9 – 1,3
P 0,6 – 1,1

GDS 261 < 200 mg/ dl


KOLESTEROL TOTAL 190 < 200 mg/ dl
ASAM URAT 9,1 L 3,4 – 7,0
P 2,4 – 5,7

8
2.5 Diagnosis Kerja
Diagnosis Primer:
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik eksaserbasi akut
Diagnosis Sekunder :
 Hipertensi urgency
 Hiperglikemia
 Hiperuresemia

2.6 Diagnosis banding:


 Bronkopneumonia
 Asma
 Bronkitis
 Bronkiektasis
 Tuberkulosis

2.7 Pemeriksaan Penunjang


 Rontgent Thoraks

 Simetris, trakea ditengah, hilus menebal, corakaan bronkovaskular


(+), CRT > 50 %, aorta elongasi (-), aorta dilatasi (-).
 Kesan: kardiomegali
 Elektrokardiografi (02/12/2022)

9
Interpretasi EKG :
Irama : Sinus Rhythm
Regularitas : Reguler
Frekuensi : 93x/menit
Axis : Normoaxis
Gel. P : Normal (0,08 s)
PR interval : Normal (0,12 s)
Kompleks QRS : Normal (0,08s)
ST segmen : Normal
Gel. T : Normal
Kesan :Sinus Rhythm, normoaksis,
HR 93x/menit, reguler,

2.8 Tatalaksana
Non-farmakologi
 Tirah baring (bed rest)
 Hidari aktivitas berlebihan
 Hindari pemicu serangan sesak (merokok)
 Diet gizi seimbang

Farmakologi
Tatalaksana awal di IGD:
 IVFD RL gtt xx permenit
 O2 8 lpm single mask
 Injeksi ondansentron 4 mg
 Injeksi omeprazole 40 mg
 Skin test ceftriaxone
 Injeksi ceftriaxone 1 gr
 Nebu combovent + NaCl 0,9 % 3cc

Advice dr. Ema Lusida, Sp.PD: (acc rawat inap)


 IVFD RL gtt xx permenit
 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr iv
 Injeksi furosemide 1x20 mg iv

10
 Nebu combivent + flexotide/8 jam
 PO N –acetylsistein 3x400 mg
 PO candesartan 1x8 mg
 PO glimepirid 1x1 mg
 O2 8 lpm single mask
 Diet bubur
 Cek GDS/ 8 jam

2.9 Follow up
Tabel 2.11 Follow Up Pasien
Tanggal Perkembangan
03/12/11 S : sesak berkurang, batuk berdahak (+), mual (-), muntah (-)
O : TD:161/82 mmHg N: 108x/menit T : 36,5 C RR: 23x/menit SpO2 dengan
oksigen: 98 % SpO2 tanpa oksigen: 93%
Pemeriksaan Paru: vesikuler (+/+) melemah, rhonki (+/+) , wheezing (+/+)
A : PPOK eksaserbasiakut sedang-berat dd bronkopneumonia + hipertensi urgency
+ hiperglikemia e.c DM tipe 2 + hiperuresemia
P:
 IVFD RL gtt xx permenit
 O2 3 lpm nasal canul
 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr iv (hari ke 2)
 Injeksi furosemide 1x20 mg iv
 Nebu combivent + flexotide/8 jam
 PO N –acetylsistein 3x400 mg
 PO candesartan 1x8 mg
 PO glimepirid 1x1 mg
Advice dr. Ema Lusida, Sp.PD:
 Terapi lanjutkan
Tanggal Perkembangan
04/12/22 S : sesak berkurang, batuk berdahak (+), mual (-), muntah (-)
O : TD:175/95 mmHg N: 78x/menit T : 36,6 C RR: 20x/menit SpO2 dengan

11
oksigen: 97 % SpO2 tanpa oksigen: 92%
GDS: 120 mg/dl
Pemeriksaan Paru: vesikuler (+/+) melemah, rhonki (+/+) , wheezing (-/-)
A : PPOK eksaserbasiakut sedang-berat dd bronkopneumonia + hipertensi urgency
+ hiperglikemia e.c DM tipe 2 + hiperuresemia
P:
 IVFD RL gtt xx tetes permenit
 O2 3 lpm nasal kanul
 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr iv (hari ke 3)
 Injeksi furosemide 1x20 mg iv
 Nebu combivent + flexotide/8 jam
 PO N –acetylsistein 3x400 mg
 PO candesartan 1x8 mg
 PO glimepirid 1x1 mg
 Inj lantus 8 unit/24 jam
Advice dr. Ema Lusida, Sp.PD:
 Boleh rawat jalan
Obat pulang:
 Inj lantus 8 unit/24 jam
 PO N –acetylsistein 3x400 mg
 PO candesartan 1x8 mg
 PO glimepirid 1x1 mg
 PO azitromicin 1x500 mg
 Sortide 50/150 2x1 hisap

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Paru


3.1.1 Anatomi Paru

Anatomi Paru

Paru-paru adalah dua organ yang berbentuk seperti bunga karang besar
yang terletak di dalam torak pada sisi lain jantung dan pembuluh darah besar.
Paruparu memanjang mulai dari dari akar leher menuju diagfragma dan secara
kasar berbentuk kerucut dengan puncak di sebelah atas dan alas di sebelah bawah.
Diantara paru-paru mediastinum, yang dengan sempurna memisahkan satu sisi
rongga torasik sternum di sebelah depan. Di dalam mediastinum terdapat jantung,
dan pembuluh darah besar, trakea dan esofagus, dustuk torasik dan kelenjar timus.
Paru-paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru-paru sebelah kiri mempunyai dua
lobus, yang dipisahkan oleh belahan yang miring. Lobus superior terletak di atas
dan di depan lobus inferior yang berbentuk kerucut. Paru-paru sebelah kanan
mempunyai tiga lobus. Lobus bagian bawah dipisahkan oleh fisura oblik dengan
posisi yang sama terhadap lobus inferior kiri. Sisa paru lainnya dipisahkan oleh
suatu fisura horizontal menjadi lobus atas dan lobus tengah. Setiap lobus
selanjutnya dibagi menjadi segmensegmen yang disebut bronko-pulmoner,
mereka dipisahkan satu sama lain oleh sebuah dinding jaringan koneknif , masing-

13
masing satu arteri dan satu vena. Masing-masing segmen juga dibagi menjadi
unit-unit yang disebut lobulus.

3.1.2 Fisiologi Paru


Fungsi utama paru adalah sebagai alat pernapasan yaitu melakukan
pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan menghirup masuknya udara dari
atmosfer kedalam paru-paru (inspirasi) dan mengeluarkan udara dari alveolar ke
luar tubuh (ekspirasi).
Secara anatomi, fungsi pernapasan ini dimulai dari hidung sampai ke
parenkim paru. Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang
berfungsi sebagai konduksi (pengantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai
respirasi (pertukaran gas). Pernapasan dapat berarti pengangkutan oksigen (O2) ke
sel dan pengangkutan CO2 dari sel kembali ke atmosfer. Proses ini terdiri dari 4
tahap yaitu:
a) Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari
alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh, karena
masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan
walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume
residu. Volume ini penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk
mengaerasikan darah.
b) Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.
c) Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari
sel-sel.
d) Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

Dari aspek fisiologis, ada dua macam pernapasan, yaitu


a) Pernapasan luar (eksternal respiration) yaitu penyerapan O2 dan pengeluaran
CO2 dalam paru-paru.
b) Pernapasan dalam (internalrespiration) yang aktivitas utamanya adalah
pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel.
Untuk melakukan tugas pertukaran udara, organ pernapasan disusun oleh
beberapa komponen penting antara lain :

14
a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot dan saraf perifer
b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran nafas, alveoli dan pembuluh darah.
c. Pleura viseralis dan pleura parietalis.
d. Beberapa reseptor yang berada di pembuluh arteri utama. Sebagai organ
pernapasan dalam melakukan tugasnya dibantu oleh sistem kardiovaskuler dan
sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain mensuplai darah bagi paru
(perfusi), juga dipakai sebagai media transportasi O2 dan CO2 sistem saraf pusat
berperan sebagai pengendali irama dan pola pernapasan. Dalam mekanika
pernapasan terdapat tiga tekanan yang berperan penting dalam ventilasi:
1. Tekanan atmosfer (760 mmHg) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat
udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi. Tekanan atmosfer berkurang
seiring dengan penambahan ketinggian diatas permukaan laut karna lapisan-laisan
dipermukaan bumi juga semakin menipis.
2. Tekanan intra-alveolus/ intrapulmonal (760 mmHg) adalah tekanan didalam
alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui saluran napas
penghantar, udara cepat mengalir menuruni gradien tekanannya setiap etekanan
intra-alveolus berbeda d 10 atmosfer;udara terus mengalir sampai kedua tekanan
seimbang (ekuilibrium).
3. Tekanan intrapleura (756 mmHg) adalah tekanan didalam kantung pleura.
Ditimbulkan dari luar paru didalam rongga thoraks. Sebelum inspirasi terlihat
otot-otot pernapasan relaks dan besar tekanan intra-alveolus sama dengan tekanan
atmosfer. Pusat irama dasar pernapasan (dorsal respiratory group/DRG
group/DRG di formasio retikularis medula oblongata) mengirimkan impuls dari I
neuron I-DRG melalui n.phrenicus ke otot- otot inspirasi dan ke neuron E-VRG
(ventral respiratory group).
Diafragma dan m.external intercostal berkontraksi →rongga thorak membesar
→tekanan transmural (intra-pleura & intra-alveolar) meningkat →jaringan paru
→tekanan intra-alveolar↓ →udara masuk ke alveolus. Napas dalam melibatkan
otot inspirasi tambahan : m.sternocleidomastoideus dan m. scalenus. Pada akhir
inspirasi otot-otot inspirasi relaks→ tekanan transmural (intrapleura intrapleura
dan atmosfer) menurun→ dinding dada menekan jaringan paru →tekanan intra-
alveolar meningkat→ udara keluar. Impuls dari neuron E-VRG menghambat

15
neuron I-DRG sehingga menghentikan aktivitasnya dengan penglepasan
rangsangan inhibisi. Ekspirasi tenang tidak melibatkan otot-otot ekspirasi.
Ekspirasi aktif melibatkan otot-otot ekspirasi: m.internal intercostal dan
m.abdominalis.

3.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis

3.2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.1
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2020 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sebagai
penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala
pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh saluran
napas dan / atau kelainan alveolar yang biasanya disebabkan oleh paparan
signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya dan dipengaruhi oleh faktor host
termasuk perkembangan paru-paru yang tidak normal. komorbiditas yang
signifikan dapat berdampak pada morbiditas dan mortalitas. 2
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda.Akan tetapi menurut PDPI
2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru
yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi
dinding alveolar.1,3
PPOK eksaserbasi akut merupakan suatu kondisi perburukan dari gejala
penyakit PPOK yang bersifat akut dan menetap dengan gejala yang lebih berat

16
dibandingkan dengan varian gejala harian normal sehingga memerlukan
perubahan dari obat-obatan yang biasa digunakan.2

3.2.2 Etiologi
Hingga saat ini merokok merupakan factor risiko utama untuk PPOK.
Merokok mengambil bagian 40%-70% dari kasus PPOK dan menimbulkan respon
inflamasi, disfungsi silia, dan cedera oksidatif. Polusi udara dan paparan pada
pekerjaan adalah etiologi umum lainnya. Stress oksidatif dan ketidakseimbangan
proteinase-antiproteinase juga merupakan factor penting dalam patognesis PPOK,
terutama pada pasien dengan defisiensi alfa-1-antitripsin, dimana pasien tersebut
memiliki emfisema panacinar pada usia dini.4

3.2.3 Epidemiologi
PPOK lebih sering terjadi pada usia lanjut, terutama memasuki usia 65
tahun keatas. Kematian pada wanita terjadi peningkatan dua kali lipat selama 20
tahun terakhir dan saat ini sama dengan pada pria. Jumlah kasus PPOK di
Amerika Serikat telah menigkat 41% sejak 1982 dan PPOK memengaruhi 1%
hingga 3% wanita kulit putih dan 4% hingga 6% pria kulit putih. PPOK
diproyeksikan menjadi penyebab kematian nomor tiga di dunia pada tahun 2020.
Hal ini deisebabkan karena peningkatan dari jumlah perokok dan angka harapan
hidup populasi dunia serta penurunan mortalitasakibat penyakit kardiovaskular.
Meta-analisis sistemtis telah menunjukkan bahwa prevalensi PPOK pada dewasa
lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya. 4
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi. Insiden PPOK sangat bervariasi antar negara, dalam sebagian besar
penelitian, kejadian PPOK lebih besar pada pria daripada wanita. Insiden COPD
juga lebih besar pada individu yang lebih tua, terutama pada mereka yang
berusia 75 tahun dan lebih tua.Berdasarkan data dari studi the Latin American
Project for the Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO), sebuah
penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil,
Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar

17
14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan
11,3%.Pada studi the Burden of Obstructive Lung Disease (BOLD), penelitian
serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah
10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada
perempuan. Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013
(RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit
ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)
dibanding perempuan (3,3%).2

3.2.4 Faktor Risiko


1) Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru sehingga kebiasaan merokok menjadi
penyebab terpenting pada PPOK. Risiko PPOK pada perokok tergantung pada
jumlah rokok yang dihisap, usia mulai merokok, dan lamanya merokok. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian juml
ah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tah
un:
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
c. Ten pack years adalah perhitungan derajat berat merokok dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
 Jumlah pack years = jumlah pak (bungkus) rokok yg dihisap sehari x
jumlah tahun merokok.[pak (bungkus) rokok = 20 batang rokok]
2) Polusi udara

18
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel
akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya
PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara
terbagi menjadi:
1. Polusi di dalam ruangan
a. Asap rokok
b. Asap dapur (kompor,kayu,arang,dll)
2. Polusi di luar ruangan
a. Gas buang kendaraan bermotor
b. Debu jalanan
3. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun).

3) Infeksi saluran nafas bawah berulang


Patogenesis dan progesivitas PPOK dipengaruhi oleh infeksi virus dan
bakteri, yang mana kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan nafas
yang berperan dalam menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran nafas berat
pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan
gejala respirasi pada saat dewasa. Hal tersebut dikarenakan oleh seringnya
kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya
hipereaktivitas bronkus yang merupakan faktor risiko PPOK.

4) Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor resiko terjadinya PPOK belum dapat
dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan,
pemukiman yang padat, nutrisi yang buruk dan faktor lain yang
berhubungan dengan status sosial ekonomi, kemungkinan dapat
menjelaskan hal ini. Kemajuan ekonomi menyebabkan berkembangnya
berbagai industri dengan dampak peningkatan polusi udara.

5) Tumbuh kembang paru


Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahira

19
n, dan pajanan sewaktu kecil. kecepatan maksimal penurunan fungsi paru s
eseorang adalah resiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalisa menyata
kan bahwa berat lahir dapat mempengaruhi nilai VEP1 pada anak.

6) Faktor Genetik
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah mutasi
gen Serpina-1 yang mengakibatkan kekurangan alpha-1 antitrypsin
sebagai inhibitor dari protease serin. Ditemukan pada usiamuda dengan
kelainan emfisema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi
baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1
antitrypsin yang berat. Meskipun kekurangan alpha-1 antitrypsin yang
hanya sebagian kecil dari populasi didunia, hal ini menggambarkan adanya
interaksi antar gen dan pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK.

7) Jenis kelamin
Hubungan yang pasti antara gender dengan kejadian PPOK masih belum
jelas, penelitian terdahulu menyatakan bahwa terdapat perbedaan kadar
beberapa biomarker plasma pada laki laki dan perempuan perokok dengan
PPOK yang berimplikasi pada emfisema (IL-6, IL16, VEGF), pada
perempuan biasanya lebih berat.2

3.2.5 Patogenesis
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran napas yang
besar dan kecil bahkan unit respiratori termina. Secara gambling, terdapat
2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronchitis kronis
dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan
pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal
bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang
nyata.2,5
Penyempitan saluran napas tampak pada saluran napas yang besar
dan kecil disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran napas

20
terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran napas yang
dibentuk oleh sel skuamos akan mengalami metaplasia, sel-sel silia
mengalami atropi dan kelenjar mucus menjadi hipertropi. Proses ini akan
direspon dengan terjadinta remodeling saluran napas tersebut, hanya saja
proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan
inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi
tersebut. Saluran napas yang kecil akan memberikan beragam lesi
penyempitan pada saluran napasnya, termasuk hyperplasia sel goblet,
infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submucosa, peningkatan
kontraksi otot polos.
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah
alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema
sentrisinar (sentrilobular), emfisema parasinar (panlobular) dan emfisema
periasinar (perilobular) yang sering dibahas dan skar emfisema atau
irregular dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola
kerusakan saluran napas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya
pembesaran rongga udara pada permukaan saluran napas yang kemudian
menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.
Inflamasi pada saluran napas pasien PPOK merupakan suatu
respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok.
Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronchitis kronis, sedangkan
pada emfisema paru, ketidakseimbangan pada protease dan anti protease
serta defisiensi alfa-1 antitripsin menjadi dasar pathogenesis PPOK. Proses
inflamasi yang melibatkan yang melibatkan neutrophil, makrofag, dan
limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan
berinteraksi dengan struktur sel pada saluran napas dan parenkim. Secara
umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran napas ini meningkat
seiring derajat keparahan penyakit dan akan menetap meskipun telah
berhenti merokok.
Peningkatan neutrophil, makrofag, dan limfosit T di paru-paru
akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan
melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses

21
penyakit, diantaranya adalah leukotren, chemotactic factors seperti CXC
chemokines, IL-8 dan growth related oncogene alpha, TNF-alfa, IL-1 beta
dan TGF beta. Selain itu ketidakseimbangan aktivitas protease atau
inaktivitas antiprotease, adanya stress oksidatif dan paparan factor risiko
juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi neutrophil dan
makrofag serrta aktivasi factor transkripsi seperti nuclear factor sehingga
terjadi lagi pemacuan dari factor-faktro inflamasi yang sebelumnya telah
ada.
Secara umum patofisiologi yang mendasari terjadinya PPOK
adalah peradangan dan penyempitan saluran napas perifer menyebabkan
transfer oksigen menurun, terjadilah penurunan VEP. Pada bronkhitis
kronis perubahan awal terjadi pada saluran udara yang kecil. Selain itu,
terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal
(emfisema),yang menyebabkan hilangnya elasticrecoil, hiperinflasi,
terperangkapnya udara, dan peningkatan usaha untuk bernapas, sehingga
terjadi sesak napas. Pada saluran napas kecil terjadi penebalan akibat
peningkatan pembentukan folikel limfoid dan penimbunan kolagen di
bagian luar saluran napas,sehingga menghambat pembukaan saluran
napas. Lumen saluran napas kecil berkurang karena penebalan mukosa
berisi eksudat sel radang yang meningkat sejalan dengan beratnya
penyakit. Hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh beberapa
derajat penebalan dan hipertofi otot polos pada bronkiolus respiratorius.
Dengan berkembangnya penyakit, kadar CO2 meningkat dan dorongan
respirasi bergeser dari CO2 ke hipoksemia, dorongan pernapasan juga
mungkin akan hilang sehingga memicu terjadinya gagal napas.2,5
Menurut Hipotesis Elastase-Antielastase, di dalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase untuk
mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara
enzim proteolitik elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan
jaringan elastis paru. Ketidakseimbangan ini dapat dipicu oleh adanya
rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi yang

22
menyebabkan elastase bertambah banyak atau oleh adanya defisiensi alfa-
1 antitripsin.
Pada PPOK terjadi penyempitan saluran napas dan keterbatasan
aliran udara karena beberapa mekanisme inflamasi, produksi mukus yang
berlebihan, dan vasokontriksi otot polos bronkus, seperti terlihat pada
gambar.

Gambar 3.1 Perbandingan saluran pernapasan pada PPOK dan normal


Mekanisme patofisiologi yang mendasari PPOK terjadi akibat
peradangan dan penyempitan saluran nafas perifer sehingga bermanifestasi
sebagai penurunan VEP1, sementara kerusakan parenkim paru pada
emfisema akan menurunkan prosestransfer gas pada paru, sehingga terjadi
ketidakseimbangan ventilasi- perfusi.
Saluran napas normal akan melebar karena perlekatan alveolar
selama ekspirasi diikuti oleh proses pengosongan alveolar dan
pengempisan paru. Perlekatan alveolar pada PPOK rusak karena emfisema
menyebabkan penutupan jalan napas ketika ekspirasi dan menyebabkan
air trapping pada alveoli dan hiperinflasi. Saluran napas perifer
mengalami obstruksi dan destruksi karena proses inflamasi dan fibrosis,
lumen saluran napas tertutup oleh hipersekresi mukus yang terjebak akibat
bersihan mukosilier kurang sempurna.
Proses tersebut kemudian akan berlanjut pada abnormalitas
perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa

23
hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini
berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas
yang berat telah terjadi. Factor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon
dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis
(hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi kapiler pulmonal
menjadi factor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi
pulmonal.

Gambar 3.2 Konsep patofisiologi PPOK

3.2.6 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan
kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflamasi paru.
Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti
berikut ini:1
 Sesak. Sesak yang ditimbulkan bersifat progresif (semakin lama
semakin bertambah berat) dan biasanya bertambah berat dengan
aktivitas. Sesak yang dirasakan bersifat persisten atau menetap
sepanjang hari. “perlu usaha untuk bernapas”, pasien juga merasakan
susah bernapas atau terengah-engah.

24
 Batuk kronik. Batuk yang dirasakan pasien biasanya hilang timbul
dan bisa berdahak ataupun tidak berdahak.
 Batuk kronik berdahak. Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK.
 Riwayat terpajan faktor risiko. Riwayat pajanan yang berisiko yaitu
terutama asap rokok, debu dan bahan kimia di tempat kerja, serta
asap dapur.
Pasien yang memiliki eksaserbasi akut akan mengalami gejala seperti:
 Sesak nafas yang semakin bertambah
 Produksi sputum meningkat
 Perubahan warna sputum

3.2.7 Penegakan Diagnosis


PPOK harus dicurigai pada tiap pasein yang mengalami dispneu
(sesak napas), batuk kronis ataupun produksi sputum, riwayat menderita
infeksi saluran napas bawah berulang dan/atau riwayat terpapar factor
risiko yang dapat menyababkan PPOK. Spirometry diperlukan untuk
menegakkan diagnosis; adanya post-bronkodilator FEV1/FVC <0.70
mengkonfirmasi adanya keterbatasan aliran udara yang persisten. Tujuan
penilaian pada PPOK adalah untuk menentukan tingkatan limitasi airflow,
pengaruh penyakit terhadap status Kesehatan pasien, dan risiko yang dapat
terjadi mendatang (seperti eksaserbasi, perawatan di rumah sakit hingga
kematian) juga untuk menentukan terapi yang tepat. Penyakit komorbid
kronis juga sering didabatkan pada pasien PPOK, penyakit kardiovaskular,
disfungsi skeletal, sindroma metabolic, osteoporosis, depresi, ansietas dan
ca paru. Penyakit komorbid ini harus diketahui dan ditangani secara tepat
karena dapat mempengaruhi angka mortalitas dan rawat inap secara
independent pada pasien dengan PPOK.2
1. Anamnesis
Adanya keluhan sesak napas, sesak dengan atau tanpa bunyi
mengi, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+),
PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala, riwayat pajanan dengan

25
faktor risiko (merokok, zat iritan), Riwayat faktor predisposisi (BBLR,
ISPA berulang , lingkungan asap rokok atau polusi udara) riwayat
penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan
perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas (jantung, osteoporosis,
muskulskeletal, keganasan), dan dampak penyakit terhadap aktivitas.
a. Dispnea yang progresif, memberat saat olahraga, dan
persisten/menetap
b. Batuk kronis dapat intermiten dan tanpa dahak serta bersin
berulang
c. Produksi sputum kronis/ lama
d. Infeksi saluran napas bawah berulang
e. Riwayat terpapar factor risiko : factor genetic, kelainan kongenital,
merokok (tembakau), asap dari proses memasak dan pemanasan
bahan bakar, paparan bahan dari pekerjaan (debu, uap, gas, dan
bahan kimia lain).
f. Riwayat keluarga PPOK dan/atau riwayat kesehatan terdahulu (
seperti BBLR, Riwayat infeksi saluran napas saat anak-anak)
g. Pada PPOK berat juga dapat ditemukan penurunan berat badan,
fatigue, dan anoreksia2
2. Pemeriksaan Fisik1,2
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan. Adapun kelainan yang
dapat terlihat pada pasien PPOK adalah:
 Inspeksi : cara bernafas pursed-lips breathing, bentuk dada
barrel-chest, diameter antero-posterior dan transversal sama
besar. penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas,
pelebaran sela iga, bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai, adanya
penampilan pink puffer atau blue bloater.
 Palpasi : fremitus melemah dan sela iga melebar
 Perkusi : hipersonor, batas jantung mengecil, letak diagframa
rendah, hepar terdorong kebawah.

26
 Auskultasi : suara nafas vesikuler melemah atau normal, terdapat
ronkhi dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, suara jantung
terdengar jauh.
3. Pemeriksaan Penunjang1,2
- Pemeriksaan Faal Paru
Penilaian menggunakan spirometri dapat menentukan
derajat obstruksi dan merupakan parameter yang paling umum yang
digunakan dalam penilaian beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit, berdasarkan penilaian VEP1, VEP1 prediksi, KVP,
VEP1/KVP dan Uji bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan):
Obstruksi jika %VEP1 (VEP1/VEP1 pred) <80% VEP1 % <75%.
VEP1 diukur sebelum diberikan bronkodilator dan pada pasien
dengan PPOK stabil.
- Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah rutin.
Peningkatan kadar Hb dan jumlah eritrosit (polisitemia sekunder)
dan defisiensi kadar alfa-1 antitripsin (kongenital).
- Foto toraks
Pada emfisema akan didapatkan paru hiperinflasi atau
hiperlusen, diagframa mendatar dan letak rendah, ruang retrosternal
melebar dan jantung menggantung (jantung pendulum/eye drop
appearance). Sedangkan pada bronkitis kronis akan terlihat
gambaran paru normal, namun terlihat corakan bronkovaskular
meningkat.
- Kultur dan sensitivitas kuman
Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta
resistensi kuman terhadap antibiotik yang dipakai. Pemeriksaan ini
juga diperlukan jika tidak ada respon terhadap antobiotik yang
dipakai sebagai pengobatan pada permulaan penyakit. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.

27
Gambar 3.3 Assesssment ABCD

3.2.8 Diagnosis Banding


Tabel 3.1 Diagnosa Banding PPOK2
Diagnosis Gambaran klinis
PPOK 1. Onset pada usia pertengahan
2. Gejala semakin progresif
3. Terdapat riwayat merokok atau terpajan oleh polusi
yang berbahaya.
Asma 1. Onset pada awal usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala memburuk pada malam atu dini hari
4. Riwayat alergi, rhinitis, atau eksim
5. Riwayat keluarga asma
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Foto thoraks: dilatasi bronkus dan penebalan dinding
bronkus
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran thoraks : infiltrasi paru
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)

28
4. Lokasi prevalensi TB tinggi

3.2.9 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen
yaitu mengurangi gejala, mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan
toleransi latihan, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan
menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi serta
menurunkan angka kematian. Adapun penatalaksanaan secara umum
PPOK meliputi: edukasi, berhenti merokok, terapi farmakologi,
rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanik dan terapi nutrisi.
3.2.10 Terapi PPOK Stabil

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai


evaluasi berkala atau di rumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil
dan mencegah eksasebasi.
i. Terapi Non - Farmakologis
1. Motivasi dan pendidikan meliputi :
- Usaha mengurangi faktor risiko (polusi, debu)
- Edukasi-motivasi berhenti merokok
- Farmakoterapi stop merokok
2. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan,
rehabilitasi psikososial
3. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) untuk PPOK
stadium III, AGD :
- PaO2 < 55 mmHg, atau SaO2 < 88% dengan/tanpa hiperkapnia
- PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 <88% disertai hipertensi
pulmonal, edema perifer karena gagal jantung, polisitemia.
ii. Terapi Farmakologis
1. Bronkodilator
Diutamakan secara inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat atau obat berefek panjang (long acting).
Terdapat 3 golongan :

29
- Agonis ß-2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin,
formoterol, salmeterol. Bentuk inhaler digunakan untuk menatasi
sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Sebagai oabat pemeliharaan digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang.
- Antikolinergik : ipratropium bromide, oksitroprium bromide.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga dapat mengurangi sekresi lender
- Metilxantin : teofilin lepas lambat, bila kombinasi ß-2 dan
steroid belum memuaskan. Dianjurkan bronkodilator kombinasi
daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi.

3.2.11 Terapi PPOK Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya yang mengakibatkan
perubahan terapi. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor
lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Pasien
yang memiliki eksaserbasi akut akan mengalami gejala seperti :
1. Sesak nafas yang semakin bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen)
Adapun klasifikasi PPOK eksaserbasi dibagi menjadi tiga, antara lain :
1. Ringan (memiliki 1 gejala diatas ditambah dengan infeksi saluran
nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan >
20% nilai dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar); terapi hanya
menggunakan SABDs (short-acting bronchodilators).
2. Sedang (hanya memiliki 2 gejala diatas); terapi dengan menggunakan
SABDs ditambah dengan antibiotik dan atau kortikosteroid oral.
3. Berat (terdapat peningkatan gejala sesak nafas, peningkatan produksi
sputum, dan peningkatan purulensi sputum) pasien membutuhkan

30
perawatan rumah sakit atau perawatan emergensi. Eksaserbasi berat
juga dapat berhubungan dengan gagal nafas akut.
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah yaitu dengan
bronkodilator seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari.
Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 hari. Bila infeksi dapat
diberikan antibiotik spektrum luas (termasuk S. pneumonia, H.
influenzae, M. catarrhalis).

Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:


- Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.
- Bronkodilator: inhalasi agonis ß2 (dosis dan frekuensi
ditingkatkan) + antikolinergik
- Pada eksaserbasi akut berat + aminofilin (0,5mg/ kgbb/jam).
Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus perlahan
(10 menit) untuk menghindari efek samping. Lalu lanjutkan
perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam. Pemberian aminofilin drip dan
terbutalin dapat bersama-sama dalam 1 botol cairan perinfus.
Cairan infus yang digunakan adalah dektrose 5%, NaCl 0,9% atau
ringer laktat.
- Steroid : prednisolon 30-40mg PO selama 10-14 hari
- Steroid intravena : pada keadaan berat.

Indikasi rawat inap pada PPOK:1


- Eksaserbasi sedang-berat
- Terdapat komplikasi
- Infeksi saluran nafas berat
- Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik
- Gagal jantung kanan

Berhenti merokok adalah satu-satunya usaha intervensi


yang paling efektif dalam memperlambat progresifitas penyakit

31
dan mengurangi risiko berkembangnya PPOK. Adapun strategi
untuk membantu pasien bisa berhenti merokok meliputi 5A:2
a. Ask (tanyakan) yaitu mengidentifikasi semua perokok pada
setiap kunjungan.
b. Advise (nasihati) yaitu memberikan dorongan kuat pada semua
perokok untuk berhenti merokok.
c. Assess (nilai) yaitu keinginan untuk berusaha berhenti merokok
(misal: dalam 30 hari ke depan).
d. Assist (bimbing) yaitu bantu pasien dengan rencana berhenti
merokok,menyediakan konseling praktis, serta
merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (atur) yaitu buat kontak lebih lanjut

Gambar 3.4 Terapi Farmakologi


Patient Group Essential Recommended Depending on
local guidelines

A Smoking cessation (can Physical activity Flu vaccination


include pharmacologic pneumococcal
treatment) Vaccination

B,C,D Smoking cessation (can Physical activity Flu vaccination


include pharmacologic pneumococcal
treatment) pulmonary Vaccination
rehabilitation
Gambar 3.5 Terapi Non Farmakologi

32
3.2.12 Prognosis
Prognosis PPOK sangat ditentukan oleh derajat obstruksi saluran
nafas. Prognosis yang buruk ditentukan oleh dua indikator utama, yaitu
derajat obstruksi dan adanya kor pulmonal. Obstruksi yang makin berat
akan memperburuk prognosis PPOK. Bila PPOK terdeteksi sejak awal,
dengan penghentian merokok akan dapat mengurangi laju perkembangan
PPOK.6

3.2.13 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah: 1
1. Gagal napas
a. Gagal napas akut
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan
pH normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu
tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
b. Gagal napas kronik, ditandai oleh:
-Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi
berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
3. Kor pulmonal

33
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat
disertai gagal jantung kanan.

3.11.14 Pencegahan
Dalam usaha pencegahan terjadinya PPOK selain perlu diadakan
program promosi kesehatan nasional tentang gaya hidup sehat ada
beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
ini yaitu:2,6
1. Berhenti merokok, sehingga dapat memperlambat proses perburukan
penyakit, mencegah komplikasi, dan memperpanjang harapan hidup.
2. Latihan pernapasan (purse-lip breathing dan diaphragmatic
breathing).
3. Perkusi dada, berfungsi untuk membantu mengeluarkan dahak yang
berlebihan dari paru.
4. Olahraga, pilihlah olahraga yang sanggup dilakukan oleh pasien
misalnya berjalan, bersepeda, berenang dan sebagainya.
5. Mempertahankan berat badan ideal.
6. Minum banyak air sehingga dapat membantu mengencerkan dahak.
7. Konsumsi cukup protein, buah dan sayuran.

3.2 Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg.Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dengan tekanan darah
diastolik ≤ 90 mmHg. Berbagai studi membuktikan bahwa prevalensi HST
pada usia lanjut sangat tinggi akibat proses penuaan, akumulasi kolagen,
kalsium serta degradasi elastin pada arteri. Kekakuan aorta yang pada
akhirnya mengakibatkan penurunan tekanan darah diastolik. HST juga dapat
terjadi pada keadaan anemia, hipertiroidisme, insufisiensi aorta, fistua
arteriovena dan Paget Disease.7,8

34
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi dalam dua golongan yaitu :
a. Hipertensi primer/hipertensiesensial
Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang
90%-95% tidak diketahui penyebabnya atau tanpa tanda-tanda kelainan
organ didalam tubuh, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya
hidup seperti kurang bergerak(inaktivitas).9
b. Hipertensi sekunder/hipertensi nonesensial
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang dapat diduga penyebabnya, pada
sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada
sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat
tertentu (misalnya pil KB), penyebab lainnya adalah: 9

- Penyakit : Penyakit ginjal kronik, sindroma cushing, koarktasi aorta,


obstructive sleep apnea, penyakit paratiroid, feokromositoma,
aldesteronism primer, penyakit renovaskular, penyakittiroid.
- Obat-obatan : Prednison, fludrokortison,triamsinolon
- Makanan : Sodium, etanol,licorice
- Obat jalanan yang mengandung bahan-bahan sebagai berikut :
cocaine, cocaine withdrawal, ephedra alkaloids,nicotine withdrawal,
anabolic steroids, narcotic withdrawal, dan ketamin.

Hubungan merokok dan hipertensi

Zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang


dihisap melalui rokok akan memasuki sirkulasi darah dan merusak lapisan
endotel pembuluh darah arteri, zat tersebut mengakibatkan proses
artereosklerosis dan tekanan darah tinggi. pada studi autopsy, dibuktikan
adanya kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan proses
artereosklerosis pada selurh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan
denyut jantung, sehingga kebutuhan oksigen otot- otot jantung bertambah.
Merokok pada penderita tekanan darah tinggi akan semakin meningkakan
risiko kerusakan pembuluh darah arteri. 9

35
3.3 Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat akibat
defisiensi insulin secara relatif ataupun absolut sehingga menyebabkan
komplikasi seperti hiperglikemia, dan kerusakan organ lainnya. 10
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.11

Tabel Tipe DM11

Gambar patofisiologi pada DM

Pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar


glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan

36
karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk
zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa
haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa
lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori. 11

Manifestasi klinis yang dibagi menjadi 2, yaitu gejala khas dan gejala
tidak khas. Gejala khas diabetes mellitus adalah sebagai berikut:
1. Haus yang berlebihan (polidipsia):kadar gula darah yang tinggi
menyebabkan tubuh mengirimkan sinyal ke otak dan menimbulkan
rangsangan haus. Tubuh mendorong konsumsi lebih banyak air untuk
mengencerkan gula darah agar kembali ke tingkat normal.
2. Buang air kecil yang berlebihan (poliuria): Cara lain tubuh mencoba untuk
menyingkirkan tambahan gula dalam darah adalah dengan mengeluarkannya
dalam urin.
3. Makan berlebihan (polifagia): Jika tubuh mampu, maka akan
mengeluarkan lebih banyak insulin dalam rangka untuk mencoba
menurunkan kadar gula darah yang berlebihan. Selain itu, tubuh resisten
terhadap tindakan insulin pada diabetes tipe 2. Salah satu fungsi insulin
adalah untuk merangsang rasa lapar. Oleh karena itu, kadar insulin yang lebih
tinggi mengakibatkan peningkatan rasa lapar dan makan.
4. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Adapun gejala tidak khas lain yang mungkin dikemukakan oleh pasien
antara lain cepat lelah, kesemutan, gatal, penglihatan kabur, mudah
mengantuk, luka sulit sembuh, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva
pada wanita.11

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa


darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah
yang diambil dan cara pemeriksaan yang di pakai. Untuk diagnosis,

37
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis
DM, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik
yang terpecaya (yang melakukan program pemantauankendali mutu secara
teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga
dipakai bahan darah utuh(whole blood), vena ataupun kalpiler dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa
glukosa darah kapiler.11

Gambar Alur penegakkan diagnosis diabetes mellitus11

38
3.4 Hiperuresemia
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadarserum
asam urat (hingga di atas 7,0 mg/dl untuk pria dan 6,0 mg/dl untuk wanita)
dalam tubuh. Nilai normal kadar asam urat 2,4 – 6,0 mg/dL pada wanita dan
3,5 – 7,0 mg/dL pada pria Hiperurisemia disebabkan oleh kelainan genetik
dalam sistem metabolisme tubuh yang menyebabkan tubuh menghasilkan asam
urat lebih banyak dan atau disebabkan karena tubuh tidak dapat mengeliminasi
asam urat dari tubuh. 13
Meskipun hiperurisemia merupakan dasar untuk pengembangan gout,
keberadaannya justru sering tidak menimbulkan gejala. Gout merupakan suatu
keadaan dimana kadar asam urat terlalu tinggi dalam cairan tubuh sehingga
terbentuk kristal monosodium urat pada cairan sinovial, yang menyebabkan
terjadinya nyeri dan inflamasi.13
Gangguan hiperurisemia di tandai dengan suatu serangan mendadak
atau tiba – tiba di daerah persendian. Saat bangun tidur misalnya, ibu jari kaki
dan pergelangan kaki anda terasa sakit seperti terbakar dan bengkak. Gejala
hiperurisemia adalah serangan akut biasanya sering menyerang pada satu sendi
denagan gejala bengkak, kemerahan, nyeri hebat, panas dan gangguan gerak
dari sendi yang terserang terjadi mendadak yang mencapai puncaknya kurang
lebih 24 jam. Lokasi yang sering pertama diserang adalah sedi pangkal ibu jari
kaki. 13

Komplikasi Hiperurisemia:
Radang sendi akibat asam urat (gouty arthritis)
Komplikasi hiperurisemia yang paling dikenal adalah radang sendi
(gout). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa, sifat kimia asam urat cenderung
berkumpul di cairan sendi ataupun jaringan ikat longgar. Meskipun
hiperurisemia merupakan faktor resiko timbulnya gout, namun, hubungan
secara ilmiah antara hiperurisemia dengan serangan gout akut masih belum
jelas. Atritis gout akut dapat terjadi pada keadaan konsentrasi asam urat serum
yang normal. Akan tetapi, banyak pasien dengan hiperurisemia tidak mendapat
serangan atritis gout.

39
Gejala klinis dari Gout bermacam-macam, yaitu, hiperurisemia tak
bergejala, serangan akut gout, gejala antara (intercritical), serangan gout
berulang, gout menahun disertai tofus. Keluhan utama serangan akut dari
gout adalah nyeri sendi yang amat sangat yang disertai tanda peradangan
(bengkak, memerah, hangat dan nyeri tekan). Adanya peradangan juga dapat
disertai demam yang ringan. Serangan akut biasanya puncaknya 1-2 hari
sejak serangan pertama kali. Namun pada mereka yang tidak diobati,
serangan dapat berakhir setelah 7-10 hari. Serangan biasanya berawal dari
malam hari. Awalnya terasa nyeri yang sedang pada persendian. Selanjutnya
nyerinya makin bertambah dan terasa terus menerus sehingga sangat
mengganggu.

Komplikasi Hiperurisemia pada Ginjal


Tiga komplikasi hiperurisemia pada ginjal berupa batu ginjal,
gangguan ginjal akut dan kronis akibat asam urat. Batu ginjal terjadi sekitar
10-25% pasien dengan gout primer. Kelarutan kristal asam urat meningkat
pada suasana pH urin yang basa. Sebaliknya, pada suasana urin yang asam,
kristal asam urat akan mengendap dan terbentuk batu. Gout dapat merusak
ginjal, sehingga pembuangan asam urat akan bertambah buruk. Gangguan
ginjal akut gout biasanya sebagai hasil dari penghancuran yang berlebihan
dari sel ganas saat kemoterapi tumor. Penghambatan aliran urin yang terjadi
akibat pengendapan asam urat pada duktus koledokus dan ureter dapat
menyebabkan gagal ginjal akut. Penumpukan jangka panjang dari kristal pada
ginjal dapat menyebabkan gangguan ginjal kronik.13

40
BAB IV
RESUME

Ny. R, 60 tahun, dirawat di RSUD Sungai Gelam dengan keluhan sesak


nafas yang memberat sejak 1 jam SMRS, Keluhan sesak mulai dirasakan sudah
sejak 5 tahun SMRS, namun dahulunya sesak dirasakan hilang timbul dan tidak
begitu mengganggu aktivitas. Sesak yang dirasakan bisa mencapai 2-3 kali dalam
sebulan dan membaik setiap pasien meminum obat warung bermerk dagang
napacin. 1 tahun SMRS keluhan sesak semakin sering terjadi bisa mencapai 5 kali
dalam satu bulan. Keluhan sesak nafas bertambah parah sejak 1 bulan SMRS dan
semakin memberat 1 jam SMRS. Pasien mengatakan sesak bertambah saat pasien
berbaring. Keluhan sedikit membaik saat duduk. Sesak dirasakan sampai
mengganggu aktivitas pasien. Pasien sering mengeluhkan keringat dingin saat
malam hari.
Pasien juga mengeluhkan batuk, keluhan batuk mulai dirasakan 1 tahun
SMRS, terjadi kadang- kadang, batuk disertai dahak berwarna kuning. Pasien
mengatakan batuk berkurang pada saat duduk dan biasanya keluhan hilang dengan
sendirinya. Pasien juga mengeluhkan mual. Demam (-), batuk berdahak (-), nyeri
dada (-), berdebar-debar (-), penurunan nafsu makan (-), berat badan menurun (-),
muntah (-) BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Dari pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran komposmentis, TD 224/123 mmHg, Hr 111x/menit, RR 36
kali/ menit, suhu 36,5o C, saturasi O2 95% dan saturasi tanpa O2 91%. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan bunyi napas vesikuler (+) menurun, wheezing (+/+),
ronki (+/+).Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosisi WBC pasien
ini sebesar 11.620 yang menunjukkan ada peningkatan leukosit, GDS 261 mg/dl
yang menunjukkan hiperglikemia dan asam urat 9,1 yang menunjukkan
hiperuresemia. Pada pemeriksaan penunjang, foto toraks didapatkan hasil
tampak simetris, trakea ditengah, hilus menebal, corakaan bronkovaskular (+),
CRT > 50 %, aorta elongasi (-), aorta dilatasi (-). Pada pemeriksaan
elektrokardiografi terdapat kesan Sinus Rhythm, normoaksis, reguler.

41
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis PPOK karena adanya keluhan sesak
nafas yang semakin hari semakin berat dimana menunjukkan bahwa sesak yang
dialami pasien mengalami progresifitas dan bersifat kronik. Pasien ini memiliki
riwayat merokok selama 44 tahun sebanyak 12 batang/ hari. Didapatkan indeks
brinkman (IB)= 528 yang termasuk dalam kategori perokok sedang. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien memiliki resiko tinggi terjadinya Obstruksi pada
paru nya yang kronik karena dimana pada dasarnya pemicu PPOK terbanyak
(95% kasus) di Negara berkembang adalah karena merokok. Batuk disertai
dengan peningkatan jumlah sputum merupakan satu proses dari adanya bronkitis
kronis pada pasien. Faktor etiologi peradangan bronkus ini bisa diakibatkan oleh
terpajannya paru dengan asap rokok yang lama. Batuk berdahak yang berwarna
kehijauan menandai adanya infeksi sekunder oleh bakteri.
Dari pemeriksaan RR 36x/menit, ronkhi (+/+), wheezing (+/+), perkusi.
Pada pasien ini diberikan O2 simple mask 8 L/menit untuk mencegah terjadinya
hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang dapat menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian oksigen sangat penting untuk mempertahankan
kebutuhan oksigen dalam tubuh sehingga dapat mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun diorgan-organ lainnya.
Pada IGD pasien diberikan terapi: IVFD RL gtt xx tpm, O2 8 lpm single
mask, injeksi ondansentron 4 mg, injeksi omeprazole 40 mg, injeksi ceftriaxone
1 gr, nebu combovent + NaCl 0,9 % 3cc.
Selama perawatan di bangsal pasien diberikan terapi IVFD RL gtt xx
tetes permenit, injeksi ceftriaxone 2x1 gr iv, injeksi furosemide 1x20 mg iv,
nebu combivent + flexotide/8 jam, PO N–acetylsistein 3x400 mg, PO
candesartan 1x8 mg, PO glimepirid 1x1 mg, O2 8 lpm single mask, diet bubur.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).PPOK; Diagnosis dan


penatalaksanaan. Jakarta. Ed 2016.
2. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Global Strategy for
the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease.National Institutes of Health. National heart, Lung and
blood Institute. Update 2020.
3. Regional COPD Working Group. COPD prevalence in 12 Asia-Pacific
countries and regions: projections based on the COPD prevalence
estimation model.
4. Sharifabad MA.Chronic Obstructive Pulmonary Disease. BMJ Best
Practice 2019. [internet]. Diakses dari :
https://bestpractice.bmj.com/topics/en-us/7/pdf/7/COPD.pdf
5. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI.
Obstruksi Saluran Pernapsan Akut. Jakarta: Interna Publishing p.1590
6. Alsagaff H, dkk. Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: Graha
Masyarakata Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga; 2011.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi I. Jakarta:
PERKI;2015.
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Teknis Penemuan
dan Penatalaksanaan Hipertensi. Jakarta: Direktorat Pengendalian
Penyakit Tidak Menular Subdit Pengendalian Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah. Jakarta: Kemenkes. 2013
9. Yogiantoro, muhammad. Pendekatan klinis hipertensi. Dalam: Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI.Jilid
II. Jakarta: Interna Publishing: 2014.
10. Fischer C, Faselis CJ. USMLE step 2 CK lecture notes internal medicine.
New York: Kaplan Medicine. 2006.
11. Soegondo S. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe
2 di indonesia. Jakarta: Perkeni.2011.

43
12. Silbernagl S. Florian L.Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta:
EGC.2007.
13. Asmak N. Hiperuresemia. Repository Unismus. 2017. Diunduh 15
Desember 2022 http://repository.unimus.ac.id.

44

Anda mungkin juga menyukai