i
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)
Oleh :
MUARO JAMBI
Pembimbing Pendamping
ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang berjudul “Hipertensi
Urgensi + Hypertensive Heart Disease + CKD + Anemia”. Tulisan ini dimaksudkan sebagai
syarat untuk menyelesaikan tugas Program Internsip Dokter Indonesia di bagian Bedah RSUD
Sungai Gelam Muaro Jambi.
Terwujudnya case report session ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan
pendampingan dari dr. Ema Lusida Sp.PD dan dr. Deka Yuhendrizal selaku dokter pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan ilmu kepada penulis,
sehingga sebagai ungkapan hormat dan penghargaan penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Penulis menyadari bahwa case report session ini masih memiliki banyak keterbatasan dan
kekurangan dalam penulisan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang membacanya. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan.
Muaro Jambi,
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg pada
pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Meskipun hasil pengukuran tekanan darah
di klinik merupakan standar baku utama dalam menegakan diagnosis hipertensi, pengukuran
tekanan darah pasien secara mandiri di luar klinik sudah mulai dilakukan. Namun patut menjadi
perhatian bahwa tekanan darah diukur secara hati-hati menggunakan alat ukur yang tervalidasi.
Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang sering
dijumpai di instalasi gawat darurat dan ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut. Krisis
hipertensi dibagi menjadi dua jenis, yaitu Hipertensi emergensi (darurat) dan Hipertensi urgensi
(mendesak). Hipertensi urgensi ini merupakan peningkatan tekanan darah yang signifikan tanpa
adanya kerusakan target organ (tanpa gejala dan keluhan dari penderitanya) sehingga seringkali
tidak terdeteksi oleh penderitanya.
Hypertensive Heart Disease (HHD) adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak
sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Hipertensi yang
berkepanjangan dan tidak terkontrol dapat mengubah struktur jantung yang dapat menyebabkan
berbagai komplikasi.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : Ny. PJ
Umur : 71 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : 3 Mei 1951
Alamat : RT 02 Sumber Agung
No.RM : 87.71.01
2.2 ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada pasien dan alloanamnesis pada keluarga pasien di R.Meranti
RSUD Sungai Gelam Muaro Jambi pada 29 November 2022
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh batuk kering sejak 1 hari SMRS dan kaki bengkak yang makin memberat
sejak 2 minggu SMRS
b. Keluhan Tambahan
sesak
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSUD Sungai Gelam dengan keluhan batuk kering sejak 1 hari
SMRS. Batuk dirasakan pasien terus menerus sehingga mengganggu aktivitas. Batuk
dirasakan memberat terutama saat malam hari sehingga pasien sulit tidur. Pasien juga
mengeluhkan sedikit sesak akibat batuk tersebut. Nyeri kepala disangkal oleh pasien.
Selain batuk, pasien juga mengeluhkan kedua kakinya yang semakin membengkak sejak
2 minggu SMRS. Nyeri pada kaki disangkal oleh pasien, hanya pasien merasa sulit
beraktivitas karena bengkak tersebut. Nyeri dada (-), pandangan kabur (-), demam (-),
mual (-), muntah (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengaku bahwa setiap dibawa ke bidan, tekanan darah pasien selalu
tinggi namun pasien tidak ada keluhan. Oleh karena itu, pasien hanya mengonsumsi obat
jika diberi oleh bidan saja. Riwayat DM disangkal.
e. Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa, riwayat hipertensi dan DM
pada keluarga disangkal.
2
Tekanan darah: 252/131 mmHg
Nadi : 82 x/i
Suhu : 36,8 c
Respirasi : 24 x/i
Saturasi O2 : 98%
d. Antropometri
Berat badan : 60kg
Tinggi badan : 155cm
e. Kepala/THT
Kepala : Normocephal
Rambut : Rambut berwarna hitam, distribusi merata, alopecia (-)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
Isokor, edema preorbital (+)
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Septum deviasi (-), epistaksis (-)
Mulut : tidak ada kelainan
Faring : hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
f. Leher : Pembesaran kelenjar leher (-), massa (-), JVP 5+2 cmHg
g. Thoraks
1. Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Vokal fremitus sama kanan-kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
2. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba
Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea parasternal kanan
Batas kiri : ICS V linea axila anterior kiri
Batas atas : ICS II linea parasternal kanan
Auskultasi: BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
h. Abdomen
Inspeksi : dinding abdomen cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : abdomen soepel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+), nyeri tekan (-)
3
i. Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral hangat, crt < 2 detik
Ekstremitas bawah : akral hangat, crt < 2 detik, edema pretibial (+)
4
d. Pemeriksaan Rontgen Thoraks (26 November 2022)
2.5 DIAGNOSA
Diagnosa Primer
Hipertensi Urgensi
Diagnosa Sekunder
Hypertensive Heart Disease
Chronic Kidney Disease
Anemia normositik normokrom
2.6 PENATALAKSANAAN
- IVFD NaCl 0,9% X gtt/min
- PO Amlodipine 10mg per 24 jam
- PO Simvastatin 10mg per 24 jam
- Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam
Advice saat di IGD oleh dr. Sp.PD
- Inj. Furosemide 40 mg IV per 24 jam
- Rencana transfuse PRC 1 kolf
2.7 FOLLOW UP
Tanggal Follow up
26/11/2022 S: os datang dengan keluhan batuk kering sejak 1 hari SMRS, kaki bengkak
hilang timbul sejak 2 minggu SMRS, sesak (+), nyeri dada (-)
O:
Keadaan umum: tampak sakit sedang; Kesadaran: kompos mentis
5
TD: 162/80 mmHg; N: 85x/I; RR: 24x/I; T: 37,4°C; SpO2: 98 %
Pemeriksaan Fisik:
Kepala: Normocephal
Mata: KA (+/+), SI (-/-)
Mulut: Mulut kering (-)
THT: Dalam batas normal
Leher: Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cm H2O
Thorax: Paru: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor: BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: Soepel, cembung, BU (+), nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri
ketok CVA (-/-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, edema pada pada kedua punggung
tangan dan pada kedua punggung kaki
Pemeriksaan Penunjang:
DR :
- Hb: 7,3 mg/dl
- RBC: 2600 mg/dl
- WBC :7800 mg/dl
- PLT: 141.000 mg/dl
- Ht: 22 %
A: HHD + post Hipertensi urgensi + CKD + Anemia
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500cc X gtt/min
- Inj. Furosemid 40mg / 12 jam iv
- Transfusi prc 1 kolf
PO
- Amlodipin tab 10mg/24jam
- Prorenal tab /8jam
- Simvastatin tab 10mg/24jam
6
TD: 150/90 mmHg; N: 80x/I; RR: 23x/I; T: 36,8°C; SpO2: 98 %
Pemeriksaan Fisik:
Kepala: Normocephal
Mata: KA (+/+), SI (-/-)
Mulut: Mulut kering (-)
THT: Dalam batas normal
Leher: Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cm H2O
Thorax: Paru: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor: BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: Soepel, cembung, BU (+), nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri
ketok CVA (-/-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, edema pada pada kedua punggung
tangan
Pemeriksaan Penunjang:
DR :
- Hb: 8,1 mg/dl (post transfuse prc ke-1)
- RBC: 2860 mg/dl
- WBC : 6090 mg/dl
- PLT: 147.000 mg/dl
- Ht:24,4 %
A: HHD + post Hipertensi urgensi + CKD + Anemia
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500cc X gtt/min
- Inj. Furosemid 40mg / 12 jam iv
- Inj Omeprazole 40mg/12 jam iv
- Transfusi prc 1 kolf
PO
- Amlodipin tab 10mg/24jam
- Prorenal tab /8jam
- Simvastatin tab 10mg/24jam
- Antasida tab /8jam
7
28/11/2022 S: os mengatakan nyeri pada ulu hati
O:
Keadaan umum: tampak sakit sedang; Kesadaran: kompos mentis
TD: 159/84 mmHg; N: 84x/I; RR: 20x/I; T: 36,6°C; SpO2: 98 %
Pemeriksaan Fisik:
Kepala: Normocephal
Mata: KA (+/+), SI (-/-)
Mulut: Mulut kering (-)
THT: Dalam batas normal
Leher: Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cm H2O
Thorax: Paru: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor: BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: Soepel, cembung, BU (+), nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri
ketok CVA (-/-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, edema pada pada kedua punggung
tanagn dan pada kedua punggung kaki
Pemeriksaan Penunjang:
DR :
- Hb: 8,7 mg/dl (post transfuse prc ke-2)
- RBC: 3150 mg/dl
- WBC : 7630 mg/dl
- PLT: 149.000 mg/dl
- Ht:26,7 %
A: HHD + post Hipertensi urgensi + CKD + Anemia (post transfuse ke-
1)
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500cc X gtt/min
- Inj. Furosemid 40mg / 12 jam iv
- Inj Omeprazole 40mg/12 jam iv
PO
- Amlodipin tab 10mg/24jam
- Prorenal tab /8jam
- Simvastatin tab 10mg/24jam
- Antasida tab /8jam
8
KIE: elevasi kaki menggunakan bantal tambahan untuk mengurangi bengkak
9
TD: 190/90 mmHg; N: 81x/I; RR: 18x/I; T: 36,5°C; SpO2: 98 %
Pemeriksaan Fisik:
Kepala: Normocephal
Mata: KA (+/+), SI (-/-)
Mulut: Mulut kering (-)
THT: Dalam batas normal
Leher: Pembesaran KGB (-), JVP 5+2 cm H2O
Thorax: Paru: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor: BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen: Soepel, cembung, BU (+), nyeri tekan epigastrium (-), Nyeri
ketok CVA (-/-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, edema pretibial (+/+)
Pemeriksaan Penunjang:
DR :
- Hb: 10,5 mg/dl (post transfuse prc ke-3)
- RBC: 375 mg/dl
- WBC : 5310 mg/dl
- PLT: 138.000
- Ht: 30,2%
A: HHD + post Hipertensi urgensi + CKD + Anemia (post transfuse ke-
3)
P:
- IVFD NaCl 0,9% 500cc X gtt/min
- Inj. Furosemid 40mg / 12 jam iv
- Inj Omeprazole 40mg/12 jam iv
PO
- Amlodipin tab 10mg/24jam
- Prorenal tab /8jam
- Simvastatin tab 10mg/24jam
- Antasida tab /8jam
- Bisoprolol tab 10mg/24jam
- Clonidine tab 0,15mg/8jam
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
HIPERTENSI
3.1. Definisi
Hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum,
hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di
dalam arteri menyebabkan meningkatknya resiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung,
serangan jantung dan kerusakan ginjal. Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua
angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka
yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik).
Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang berat
(>180/120 mm Hg) disertai bukti kerusakan baru atau perburukan kerusakan organ target
(target organ damage/TOD). Pada kondisi klinis ini terjadi kerusakan organ diperantarai
hipertensi (hypertensive mediated organ damage/HMOD) yang mengancam nyawa (tabel-1),
sehingga memerlukan intervensi penurunan tekanan darah segera dalam kurun waktu menit
hingga jam dengan obat-obatan intravena (iv). Sedangkan Hipertensi urgensi merupakan
situasi terkait peningkatan tekanan darah yang berat pada kondisi klinis stabil tanpa adanya
perubahan akut atau ancaman kerusakan organ target atau disfungsi organ. Pada kondisi ini
tidak terdapat bukti klinis kerusakan organ akut diperantarai hipertensi, sehingga Kaplan et
al-2015 menggantikannya dengan istilah Hipertensi berat yang tidak terkontrol (uncontrolled
severe hypertension), sedangkan ACC/AHA guidelines-2017 juga menyebutnya peningkatan
tekanan darah dengan nyata (markedly elevated blood-pressure). Penurunan tekanan darah
pada keadaan ini dilaksanakan dalam kurun waktu 24-48 jam. Terdapat perbedaan batas (cut-
off) tekanan darah yang dipakai batasan krisis hipertensi antara ACC/AHA guidelines-2017
(TD >180/120 mm Hg) dan ESC/ESH guidelines-2018 (TD sistolik ≥180 mm Hg dan/atau
TD diastolik ≥110 mm Hg). Sedangkan pada beberapa registry menggunakan batasan TD
sistolik ≥220 mm Hg atau TD diastolik ≥120 mm Hg. Dibalik perbedaan cut-off tekanan darah,
perlu diingat bahwa tingkat tekanan darah absolut bukan merupakan kondisi yang lebih
penting dibandingkan kecepatan peningkatan tekanan darah.
11
3.2. Epidemiologi
Pada pasien hipertensi kronik diperkirakan sekitar 1-2% akan mengalami krisis hipertensi
dalam kurun waktu hidupnya, diantaranya hipertensi emergensi diperkirakan kurang lebih 25%
kasus. Insiden tahunan hipertensi emergensi diperkirakan sebanyak 1-2 kasus per 100.000
pasien. Faktor risiko yang paling penting didapatkan pada krisis hipertensi adalah mereka
yang tidak terdiagnosis atau tidak patuh menjalani pengobatan. Mortalitas selama perawatan
di rumah sakit pada krisis hipertensi diperkirakan sebanyak 4-7%. Angka kematian dalam
satu tahun diantara pasien dengan hipertensi emergensi mencapai angka lebih dari 79%.
12
3.3. Etiologi dan Klasifikasi
Hipertensi emergensi dan urgensi perlu dibedakan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan
fisik, karena baik faktor risiko dan penanggulangannya berbeda. Krisis hipertensi bisa terjadi
pada keadaan-keadaan sebagai berikut: akselerasi peningkatan TD yang tiba-tiba, hipertensi
renovaskuler, glomerulonephritis akut, eclampsia, phaeokromositoma, penderita hipertensi
yang tidak meminum obat atau minum obat anti-hipertensi tidak teratur, trauma kepala, tumor
yang mensekresi renin, dan minum obat precursor cathecolamine (misalnya MAO inhibitor).
Suatu Penelitian longitudinal oleh Saguner AM dkk-2010 mendapatkan hasil bahwa, ketidak-
patuhan terhadap pengobatan merupakan faktor risiko terpenting krisis hipertensi.
Secara umum, hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu hipertnesi primer dan hipertensi sekunder.
a. Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial (hipertensi
primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus
hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berperan untuk terjadinya hipertensi ini
telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis
hipertensi esensial tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini
diduga bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi
primer. Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol.
b. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau
obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Disfungsi renal yang
diakibatkan penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder
yang paling sering. Obat-obat tertentu juga dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder
dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati /
mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam
penanganan hipertensi sekunder.
13
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut European Society of Cardiology (ESC) 2018.
Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut Joint National Committee (JNC) VIII.
Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
14
3.4.Patofisiologi
Hipertensi emergensi dapat terjadi pada berbagai setting klinis, tetapi umumnya terjadi
pada hipertensi kronis (yang sering tidak minum obat anti-hipertensi atau hipertensi yang tidak
terkendali), dengan tekanan darah biasanya diatas 180/120 mmHg. Peningkatan tekanan darah
secara kronis pada pasien ini, tidak mempengaruhi perfusi organ target oleh karena adanya
mekanisme autoregulasi. Autoregulasi adalah kemampuan pembuluh darah berdilasi atau
berkonstriksi sebagai respon perubahan tekanan arterial, sehingga perfusi organ normal dapat
dipertahankan. Mekanisme autoregulasi ini terjadi pada vaskuler otak dan ginjal melibatkan
saluran kalsium tipe-L (L-type calcium channels), terjadi vasodilasi progresif pada tekanan
arterial rendah dan vasokonstriksi progresif pada tekanan arterial tinggi.
Gambar. Kurve Aliran Darah Serebral (Cerebral Blood Flow=CBF) pada Berbagai Level Tekanan
Darah Sistemik Subyek Normotensi dan Hipertensi. (Pergeseran Autoregulasi ke-Kanan Terlihat pada
Hipertensi Kronis).
Pada individu normotensi, vaskuler arterial dapat mempertahankan aliran darah pada
rentangan tekanan nadi (mean arterial pressure/MAP) berkisar 70-150 mmHg yang diasosiasikan
dengan TD sistolik berkisar 90-180 mmHg. Bila tekanan darah meningkat melebihi “set-point”
autoregulasi tersebut, maka akan terjadi hiperperfusi yang melewati batas (breakthrough
hyperperfusion). Pada individu dengan hipertensi kronis peningkatan tekanan darah melebihi “set-
point” diatas tidak akan menimbulkan permasalahan nyata, oleh karena vaskuler arterial
mengalami perubahan adaptif. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung kronis mengakibatkan
perubahan vaskuler arterial secara fungsional dan struktural (penebalan dan kekakuan), sehingga
15
kurve “set-point” autoregulasi digambarkan bergeser kekanan (shifted to the right). Walaupun
terjadi pergeseran autoregulasi, breakthrough hyperperfusion akan tetap terjadi bila MAP
meningkat tinggi melebihi 180 mmHg.
Pathogenesis diatas menjelaskan sejumlah temuan klinis. Misalnya, pada subyek yang
sebelumnya normotensi atau hipertensi ringan, seperti pada anak-anak dengan glomerulonephritis
akut dan wanita hamil yang mengalami eclampsia, gejala dan tanda hipertensi emergensi terjadi
pada level tekanan darah lebih rendah dibandingkan subyek hipertensi kronis. Hal ini terjadi oleh
karena tidak adanya perubahan adaptif vaskuler arterial yang bersifat kronis pada subyek
normotensi.
Secara histo-patologi perubahan struktural vaskuler arterial ginjal tipikal pada HT emergensi
adalah penebalan edematous subendothel konsentrik (onion-skin appearance) (gambar-A) dan
kolaps glomerulus (gambar-B).
Gambar. Histopatologi Biopsi Ginjal pada Disfungsi Ginjal terkait Hipertensi Emergensi.
16
Endothelium berperan sentral pada homeostasis tekanan darah, oleh karenanya berperan
penting pada pathofisiologi krisis hipertensi. Pada kondisi normotensi dan hipertensi kronis,
endothelium mengontrol resistensi vaskuler dengan melepaskan vasodilator endogen (nitric
oxide/NO, prostacyclin/PGI2). Pada hipertensi urgensi, perubahan akut resistensi vaskuler akan
terjadi sebagai respon produksi berlebih cathecolamines, angiotensin II (ang II), vasopressin
(ADH), aldosteron, thromboxane (TxA2), dan endothelin-1 (ET-1), atau berkurangnya produksi
vasodilator endogen (NO, PGI2). Peningkatan tekanan darah yang akut atau berat juga akan
mendorong endothelium mengekspresikan cellular adhesion molecules (CAMs). Pada kondisi
hipertensi emergensi, terjadi ketidak-mampuan kontrol endothelium terhadap tonus vaskuler,
sehingga terjadi breakthrough hyperperfusion pada organ target, nekrosis fibrinoid arteriolar, dan
peningkatan permeabilitas endotheliaum disertai edema perivaskuler. Berkurangnya aktivitas
fibrinolitik endothelium bersamaan dengan aktivasi koagulasi dan agregasi platelet mengakibatkan
terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC).
Mekanisme awal yang memicu kerusakan endothelial melibatkan penyebab yang
multifaktorial, antara lain: cidera mekanikal, aktivasi sistem renin-angiotensin (renin-angiotensin
system/RAS), stress oksidatif dan produksi sitokin pro-inflamasi. Terjadinya cedera endothelial
vaskuler berakibat pada hilangnya kemampuan antithrombotik endothel, aktivasi platelet dan
kaskade koagulasi, peningkatan permeabilitas dinding vaskuler dan proliferasi sel otot polos
vaskuler yang berakhir dengan nekrosis fibrinoid. Kombinasi antara aktivasi sistem hormonal dan
pelepasan bahan vasoaktif (RAS, catecholamine, endothelin, vasopressin) mengakibatkan
lingkaran setan antara terjadinya peningkatan tekanan darah dan cedera vaskuler. Penelitian yang
dilakukan oleh Derhaschnig U, et al - 2013 menunjukkan bahwa, pasien dengan hipertensi
emergensi berkaitan dengan peningkatan biomarker inflamasi, koagulasi, aktivasi platelet dan
fibrinolisis. Sebaliknya, pasien dengan hipertensi urgensi menunjukkan biomarker yang tidak
berbeda dengan kontrol normotensi.
• Usia
17
Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga
prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian
sekitar di atas usia 65 tahun. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang
disebabkan oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi
lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik.
• Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak yang
menderita hipertensi dibandingkan wanita. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung
dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki
manopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya
hipertensi pada wanita lebih meningkat dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor
hormonal.
• Genetik
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi
risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (essensial). Faktor genetik juga
berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson
bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya
dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke
anak-anaknya.
18
jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika
stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul
kelainan organis atau perubahaan patologis. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi
pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih
disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka.
• Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang
masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri yang
mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah tinggi. Merokok juga meningkatkan
denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada
penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah
arteri.
• Olahraga
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi
penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan melakukan olahraga aerobik yang
teratur dapat menurunkan tekanan darah tanpa perlu sampai berat badan turun.
• Konsumsi alkohol berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan
tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol
dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan
tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat apabila
mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya.
• Komsumsi garam berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar
tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60%
kasus hipertensi primer (essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah dengan
mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang.
• Hiperlipidemia/Hiperkolestrolemia
Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan kadar kolestrol total,
trigliserida, kolestrol LDL atau penurunan kadar kolestrol HDL dalam darah. Kolestrol
19
merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian
tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.
20
- Pemeriksaan awal (darah lengkap, ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, urinalisis)
- Pemeriksaan pada kecurigaan HT sekunder (aktivitas renin plasma, aldosteron,
catecholamine).
b. Pemeriksaan Penunjang:
- Elektrokardiografi, foto polos thoraks
- Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi (USG ginjal, CT-scan atau MRI otak,
echocardiography, CT scan atau MRI thoracoabdominal)
Walupun umumnya pada krisis hipertensi ditemukan TD ≥180/120 mmHg, perlu diperhatikan
kecepatan kenaikan tekanan darah tersebut dan derajat gangguan organ target yang terjadi.
3.7.Tatalaksana
Prinsip umum tatalaksana hipertensi emergensi adalah therapi anti-hipertensi parenteral
mulai diberikan segera saat diagnosis ditegakkan di UGD sebelum keseluruhan hasil
pemeriksaan laboratorium diperoleh. Dilakukan perawatan diruang intensif (ICU/intensive
care unit) untuk memonitor ketat tekanan dan kerusakan organ target. Penurunan tekanan
secara gradual bertujuan mengembalikan autoregulasi organ, sehinnga perfusi organ yang
normal dapat dipertahankan. Hindari penurunan tekanan agresif pada hipertensi non-emergensi
dan juga penurunan tekanan yang terlalu cepat. American College of Cardiologi/American
Heart Association (ACC/AHA)-2017 mengeluarkan pedoman algoritme diagnosis dan
manajemen krisis hipertensi. Pada pedoman ACC/AHA-2017 target penurunan TD dibedakan
dengan melihat ada atau tidaknya kondisi yang memaksa (with or without compelling
condition). Secara umum bila tidak didapatkan compelling condition, tatalaksana hipertensi
emergensi adalah dengan melakukan penurunan TD maksimal 25% dalam jam pertama,
kemudian target penurunan TD mencapai 160/100-110 mmHg dalam 2 sampai 6 jam,
selanjutnya TD mencapai normal dalam 24 sampai 48 jam.1 Penurunan TD yang lebih agresif
dilakukan bila didapatkan compelling condition (aorta dissekan, pre-eclampsia berat atau
eclampsia, dan krisis pheochromocytoma). Sedangkan penurunan TD yang kurang agresif
dilakukan pada HT dengan kondisi komorbid penyakit serebro-vaskuler (perdarahan
intraserebral akut dan stroke iskhemik akut).
21
Gambar. Manajemen Hipertensi pada Pasien Perdarahan Intraserebral Akut
Gambar. Manajemen Hipertensi (HT) pada Perdarahan Pasien Strok Iskhemik Akut.
Aspek spesifik obat anti-hipertensi intravena kerja singkat yang dipergunakan pada hipertensi
emergensi memungkinkan penurunan TD terkontrol secara gradual dan ketat. Karakteristik efek
anti-hipertensi tersebut memungkinkan pengendalian tekanan darah dengan segera bila terjadi
respon penurunan tekanan darah yang berlebihan. Penentuan obat anti-hipertensi yang dipilih
memerlukan pemahaman patofisiologi hipertensi. Dengan tanpa melihat etiologi, mediator yang
umum didapatkan pada sebagian besar krisis hipertensi adalah vasokonstriksi perifer perantara
humoral, sedangkan penyebab yang paling umum didapatkan adalah ketidak-patuhan menjalani
pengobatan, faktor-faktor lainnya bersifat memicu respon tersebut.
Dari berbagai pilihan obat pada tatalaksana hipertensi emergensi, tidak didapatkan obat tunggal
yang diketahui lebih superior dibandingkan lainnya. Tabel berikut menyajikan karakteristik
farmakologis obat anti-hipertensi emergensi.
22
Tabel. Tipe Obat, Dosis, dan Karakteristik Therapi HT Emergensi.
Tabel. Tipe Obat, Dosis, dan Karakteristik Therapi Hipertensi Emergensi (lanjutan).
23
Tabel. Tatalaksana Tipe Spesifik Hipertensi Emergensi.
24
Sedangkan pemilihan obat-obatan untuk therapi HT urgensi lebih luas dibandingkan HT
emergensi. Mengingat hampir semua anti-HT yang dipergunakan, akan menurunkan TD secara
efektif sesuai durasi kerjanya. Pada table dibawah menyajikan obat-obat farmakologis untuk
therapi HT urgensi.
3.8. Komplikasi
• Jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan kematian pada pasien
hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan hasil dari perubahan struktur dan fungsi
yang menyebabkan pembesaran jantung kiri disfungsi diastolik, dan gagal jantung.
• Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan hemoragik otak. Sekitar
85% dari stroke karena infark dan sisanya karena hemoragik. Insiden dari stroke meningkat
secara progresif seiring dengan peningkatan tekanan darah, khususnya pada usia > 65 tahun.
Pengobatan pada hipertensi menurunkan insiden baik pada stroke iskemik ataupun stroke
hemoragik.
• Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering terjadi pada renal
insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan darah harus 130/80 mmHg atau
lebih rendah, khususnya ketika ada proteinuria.
3.9.Prognosis
Pasien dengan hipertensi urgensi akan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas
jangka panjang pasien tersebut. Mortalitas satu tahun pasien yang mengalami episode
25
hipertensi urgensi mencapai 9%. Hipertensi yang tidak dikelola dengan baik akan
meningkatkan risiko kematian dan seringkali menjadi “silent killer”.
Prognosis jangka panjang pada pasien dengan hipertensi urgensi atau emergensi tidak
begitu baik. Sebuh studi retrospektif yang dilakukan pada 670 dewasa dengan peningkatan
tekanan darah yang cukup tinggi menunjukkan bahwa 57,5% telah menderita hipertensi
emergensi. Terlihat bahwa 98% pasien dengan hipertensi emergensi dan 23,2% pasien dengan
hipertensi urgensi perlu dirawat di rumah sakit. Angka kelangsungan hidup rata-rata ditemukan
dalam 14 hari pada para pasien yang menderita emergensi neurovaskular dan 50 hari pada
pasien dengan emergensi kardiovaskular.
Hipertensi merupakan factor risiko utama bagi penyakit jantung dan stroke. Hipertensi dapat
menyebabkan penyakit jantung sistemik (menurunnya suplai darah untuk otot jantung sehingga
menyebabkan angina dan serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh
otot jantung yang menebal.
Hipertensi meningkatkan beban kerja jantung dan seiring dengan berjalannya waktu hal ini dapat
menyebabkan penebalan otot jantung. Oleh karena jantung memompa darah melawan tekanan
yang meningkat pada pembuluh darah, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa
jantung setiap menitnya (cardiac output) berkurang.
Banyak factor yang saling memengaruhi yang ikut serta dalam terjadinya HHD, antara lain
hemodinamik structural, neuroendokrin, seluler, dan factor molekuler. di satu sisi, factor-faktor ini
memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain, peningkatan
26
tekanan darah menyebabkan perubahan yang merugikan pada struktur dan fungsi jantung melalui
2 cara, yaitu secara langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui
neurohormonal terkait dan perubahan vascular.
Diagnosis HHD didasarkan pada riwayat pengukuran tekanan darah, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan awal pasien hipertensi harus menyertakan riwayat
lengkap dan pemeriksaan fisik untuk mengonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring factor-faktor
risiko penyakit kardiovaskuler lain, menyaring penyebab sekunder hipertensi, mengidentifikasi
konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup terkait
tekanan darah dan menentukan potensi intervensi. Pengukuran tekanan darah yang terpercaya
tergantung pada perhatian terhadap detail mengenai teknik dan kondisi pengukuran. Akurasi
instrument pengukur tekanan darah terotomatisasi harus dikonfirmasi. Pada pemeriksaan fisik,
status antropometri (berat badan dan tinggi badan) pasien harus dicatat. Pada pemeriksaan awal,
tekanan darah harus diukur pada kedua lengan dan lebih baik pada posisi terlentang, duduk dan
berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi postural. Pada pemeriksaan laboratorium,
meliputi urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin, blood urea nitrogen (BUN) atau kreatinin
serum, natrium, kalium, kalsium, dan tyroid stimulating hormone (TSH) serum, hematokrit,
elektrokardiogram, glukosa darah puasa, koleterol total, high-density lipoprotein (HDL), low
density lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
27
Pencegahan terhadap komplikasi yang dapat terjadi akibat HHD memerlukan tatalaksana yang
tepat secara farmakologi maupun non-farmakologi. Tatalaksana non-farmakologi yang dapat
diberikan antara lain: edukasi pasien berkaitan dengan penyakit seperti factor risiko yang dapat
diubah,pengobatan yang harus dijalani, dan komplikasi yang dapat terjadi,cara mengonsumsi obat
yang tepat, serta pengaturan diet, aktivitas fisik dan penurunan berat badan. Sedangkan,
tatalaksana farmakologi yang dapat diberikan antara lain golongan beta bloker, ACE inhibitor,
diuretic dan CCB.
Hipertensi pada dasarnya adalah penyakit yang dapat merusak pembuluh darah sesuai organ target.
Seorang yang tidak memiliki gangguan pada ginjal sebelumnya, namun menderita hipertensi yang
tidak terkontrol apalagi dalam waktu yang lama akan menyebabkan komplikasi pada kerusakan
ginjal dan kerusakan ginjal tersebut akan memperparah hipertensi pada pasien. Kejadian ini
menyebabkan tingkat terapi hemodialisa dan angka kematian akibat panyakit gagal ginjal menjadi
meningkat.
Hipertensi menyebabkan barotrauma pada kapiler glomerulus dan meningkatkan tekanan kapiler
glomerulus tersebut, yang lama kelamaan akan menyebabkan glomerulosklerosis.
Glomerulosklerosis dapat merangsang terjadinya hipoksia kronis yang menyebabkan kerusakan
ginjal. Hipoksia yang terjadi menyebabkan meningkatnya kebutuhan metabolisme oksigen pada
tempat tersebut, yang menyebabkan keluarnya substansi vasoaktif (endotelin, angiotensin, dan
norepinefrin) pada sel endothelial pembuluh darah lokal tersebut yang menyebabkan
meningkatnya vasokonstriksi. Aktivasi RAS (renin-angiotensin sistem) disamping menyebabkan
vasokonstriksi, juga menyebabkan terjadinya stress oksidatif yang meningkatkan kebutuhan
oksigen dan memperberat terjadinya hipoksia. Stress oksidatif juga menyebabkan penurunan
efisiensi transport natrium dan kerusakan pada DNA, lipid, dan protein sehingga pada akhirnya
akan menyebabkan terjadinya tubulointersisial fibrosis yang memperparah terjadinya kerusakan
ginjal.
Sebenarnya peningkatan tekanan darah (hipertensi) dapat mengirimkan feedback negatif kepada
ginjal untuk menurunkan produksi renin, apabila kondisi ginjal baik, maka produksi renin akan di
tekan dan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah. Tapi dalam hal ini apabila kelainan terjadi
pada jaringan ginjal yang rusak (renal disease), maka feedback negatif yang terjadi tidak optimal
28
dan tidak dapat menurunkan produksi renin, kejadian ini menyebabkan terjadinya hipertensi yang
menetap.
Gambar. Mekanisme kerusakan ginjal pada hipertensi. Hipertensi menyebabkan kerusakan sel
glomerular, meningkatkan vasoaktif substance, atkivasi RAS, dan stress oksitatif yang menyebabkan
terjadinya hipoksia kronis dan menyebabkan kerusakan ginjal
Gambar. The Renin – Angiotensin System. Renin yang terbentuk dari ginjal menjadi angiotensin I dan
angiotensin II
Anemia merupakan komplikasi tersering yang terjadi akibat CKD. Anemia terjadi pada 80-90% pasien
penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g% atau
hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat
besi total/ Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada
penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Penatalaksanaan terutama ditujukan
pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO)
29
merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian
karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah
11-12 g/dl.
30
BAB IV
RESUME
Pasien Ny. PJ usia 71 tahun, tinggal di Sumber Agung, MRS tanggal 26 November 2022.
Diagnosis pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan anamnesis keluhan yang dialami pasien tersebut merupakan tanda dan
gejala Infeksi saluran pernapasan atas disertai hipertensi urgensi.
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan batuk kering sejak 1 hari SMRS. Batuk dirasakan
pasien terus menerus sehingga mengganggu aktivitas. Batuk dirasakan memberat terutama saat
malam hari sehingga pasien sulit tidur. Pasien juga mengeluhkan sedikit sesak akibat batuk
tersebut. Nyeri kepala disangkal oleh pasien. Selain batuk, pasien juga mengeluhkan kedua
kakinya yang semakin membengkak sejak 2 minggu SMRS. Nyeri pada kaki disangkal oleh pasien,
hanya pasien merasa sulit beraktivitas karena bengkak tersebut. Nyeri dada (-), pandangan kabur
(-), demam (-), mual (-), muntah (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan umum didapatkan pasien sakit sedang dengan kesadaran compos mentis, GCS
15. Tekanan darah 252/131 mmHg, Nadi 82 x/menit, Suhu 36,8 c, Respirasi 24 x/menit, dan
Saturasi O2 98% tanpa bantuan oksigen. Pada pemeriksaan fisik kepala, mata, telinga, hidung,
tenggorokan, leher, paru, dan abdomen tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan fisik jantung,
didapatkan pelebaran pada batas kiri jantung yaitu pada linea axila anterior sinistra. Pada
pemeriksaan ekstremitas juga didapatkan edema pretibia pada kedua kaki pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain laboratorium darah rutin, kimia darah, ekg, dan
ronten thorakx. Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan hasil hemoglobin 7,3 mg/dl, RBC 2600,
trombosit 141.000, dan hematokrit 22%, dimana hasil lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan
kimia darah, didapatkan hasil Kolesterol total 347 mg/dl, ureum 148,24 mg/dl dan kreatinin 11,15
mg/dl dengan kesan ketiganya mengalami peningkatan. Pada pemeriksaan ekg didapatkan kesan
sinus rhytm dengan left axis deviation. Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kesan
kardiomegali.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tersebut pasien
didiagnosis Hipertensi Urgensi dan diagnosis sekunder Hipertensive Heart Disease, Chronic
Kidney Disease, dan Anemia. Di IGD, pasien diberikan terapi berupa IVFD NaCl 0,9% X gtt/min
untuk keseimbangan cairan tubuh pasien, PO Amlodipine 10mg per 24 jam untuk menurunkan
tekanan darah dan PO Simvastatin 10mg per 24 jam sebagai pengontrol kolesterol serta
dikonsulkan kepada spesialis penyakit dalam untuk di rawat inap dan advice selanjutnya yaitu
Injeksi Furosemid 40mg per 12 jam dan Transfusi PRC 1 kolf.
31
DAFTAR PUSTAKA
Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casery DE, Collins KJ, Himmelfarb CD, et
al.ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/ APhA/ ASH/ ASPC/ NMA / PCNA Guideline for the
Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults.
Hypertension 2018;71:e13-e115
Alley WD, Copelin II EL. Hypertensive Urgency. [Updated 2022 Nov 27]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513351/?report=classic
Ningrum AF.Penatalaksanaan Holistik pada Pasien Hypertensive Heart Disease.JIMKI vol.8 Ed.
Nov 2019-Feb 2020.Jakarta: BAPIN-ISMKI; 2020
Bryan Williams et al. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension.
European Heart Journal (2018) 39, 3021–3104
Sabatine MS. Pocket Medicine (Sabatine), Fifth Edition. Philadelphia, USA: Lippincott Williams
& Wilkins, a Wolters Kluwer business. 2014
Kasper, Braunwald, Fauci, et al. Harrison’s principles of internal medicine 17th edition. New York:
McGrawhill:2008
Sarafidis PA, Bakris GL. Evaluation and Treatment of Hypertensive Emergencies and Urgencies.
In: Feehally J, Floege J, Tonelli M, Johnson RJ, editors. Comprehensive Clinical Nephrology 2019.
6th edition. Elsevier.p. 444-452
32
Elliot WJ. Hypertensive Emergencies and Urgencies. Bakris GL, Sorrentino MJ, editors.
Hypertension – A Companion to Braunwald’s Heart Disease 2018. 3thedition. Elsevier.p.427-432
11. Ramos AP, Varon J. Current and Newer Agents for Hypertensive Emergencies.Curr Hypertens
Rep 2014; 16:452-458
Charved YL & Boulange AQ,2011, Mini Rivew, Role of adiposetissue renin–angiotensin system
in metabolic and inflammatory diseases associated with obesity. international Society of
Nephrology, Kidney International 79, 162–16
Palm F, Nordquist L, 2011. Renal oxidative stress, oxygenation, and hypertension. Am J Physiol
Regul Integr Comp Physiol 301: R1229–R1241
Haase VH, 2013. Mechanisms of Hypoxia Responses in Renal Tissue. Science in Renal Medicine,
J Am Soc Nephrol 24: 537–541
Hong NJ & JL Garvin, 2015. Endogenous flow-induced nitric oxide reduces superoxidestimulated
Na/H exchange activity via PKG in thick ascending limbs.Am. J. Physiol. Renal Physiol.
308:F444-9
33