Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

Disusun Sebagai Bagian dari Persyaratan Menyelesaikan


Program Internship Dokter Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat

Disusun Oleh:
dr. Rizka Oktaviana
Pembimbing:
dr.Pandu Ishaq Nandana, SpU

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP DOKTER


INDONESIA
DINAS KESEHATAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
DINAS KESEHATAN KOTA MATARAM
RUMAH SAKIT RISA SENTRA MEDIKA MATARAM NUSA
TENGGARA BARAT
PERIODE MEI 2021-MEI 2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
“ DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER ”

Telah disetujukan dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Mengetahui

Dokter Pembimbing

dr.Pandu Ishaq Nandana, SpU

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Dengue Haemorrhagic Fever (DHF” dengan baik
dan tepat waktu.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas program
internship dokter Indonesia. Di samping itu, laporan kasus ini ditujukan untuk
menambah pengetahuan tentang DHF.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr.Pandu Ishaq Nandana, SpU selaku pembimbing dalam penyusunan laporan
kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan–rekan anggota
kelompok internship.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya
masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan
terimakasih yang sebesar–besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan
tambahan informasi yang bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, Februari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS …...................................................................... 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ………....................................................... 11

BAB IV PEMBAHASAN ………………………………………………...… 40

BAB V PENUTUP ………………………………………………………….. 43

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Dengue haemorrhagic fever (DHF) atau demam berdarah dengue (DBD)


merupakan penyakit akibat infeksi virus dengue yang masih menjadi problem
kesehatan masyarakat. Virus dengue ditransmisikan oleh Aedes aegypti atau
Aedes albopictus. Penyakit ini ditemukan nyaris di seluruh belahan dunia
terutama di negara-negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik
maupun epidemik. Kejadian DBD biasanya berkaitan dengan datangnya musim
penghujan. Penderita yang terinfeksi akan memiliki gejala berupa demam, disertai
dengan sakit kepala, nyeri retro orbita, otot dan persendian, hingga perdarahan
spontan.1,2
DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia selama 47
tahun terakhir. Pada tahun 2001, WHO memasukkan Indonesia dalam kategori
“A” pada stratifikasi DBD, yang mengindikasikan tingginya angka perawatan
rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak. Saat ini,
diperkirakan terdapat sekitar 2,5 miliar orang di dunia beresiko terinfeksi virus
dengue, dengan perkiraan 500.000 orang memerlukan rawat inap setiap tahunnya,
dimana proporsi penderita sebagian besar ialah anak-anak yang berusia kurang
dari 15 tahun, dengan 2,5% diantaranya dilaporkan meninggal dunia.3-5
Pemberian terapi pengobatan yang optimal pada penderita DBD dapat
menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Pengobatan DBD
pada dasarnya bersifat suportif dan simptomatik. Pengobatan suportif berupa
pengobatan dengan pemberian cairan pengganti seperti cairan intavena dan
pengobatan simptomatik yakni berupa pemberian antipiretik bila suhu > 38,5oC.6,7
Angka kematian pada penyakit DBD yang tidak segera mendapat perawatan
akan terus meningkat, akan tetapi angka kematian tersebut dapat diminimalkan
dengan tindakan atau peatalaksanaan yang cepat dan tepat. Berdasarkan uraian
diatas, maka penulis tertarik untuk membahas tentang DBD.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Sdr. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 19 tahun
Alamat : Mataram
No. RM : 030051
Tanggal masuk RS : 24 Oktober 2021

II.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Demam hari ke-3
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan demam hari ke-3. Demamnya terus menerus
sepanjang hari. Demam turun bila diberi obat penurun panas, namun tidak
lama demam timbul lagi.
Keluhan disertai dengan seluruh tubuh terasa lemas dan pegal-pegal, mual,
serta nafsu makan menurun, tetapi minum masih mau sedikit-sedikit.
Keluhan lainnya seperti batuk, pilek, muntah, disangkal. Keluhan seperti
adanya mimisan, gusi berdarah, atau adanya bintik-bintik/ruam pada tubuh,
disangkal.
Buang air besar (BAB) terakhir pagi hari sebelum masuk rumah sakit, 1 kali
dengan konsistensi biasa/normal, tidak bercampur darah. Buang air kecil
(BAK) dalam batas normal, warna kuning tidak bercampur darah.

2
c. Riwayat Penyakit Dahulu

Tabel 1. Riwayat penyakit dahulu pasien


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi - Difteria - Jantung -

Cacingan - Diare - Ginjal -

DBD - Kejang - Darah -

Thypoid - Maag - Radang paru -

Otitis - Varicela - Tuberkulosis -

Parotis - Asma - Morbili -

Kesan : Pasien tidak memiliki riwayat penyakit apapun sebelumnya.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit serupa sebelumnya.

e. Riwayat Sosio-Ekonomi
Pasien tinggal dengan kedua orang tuanya dirumah milik sendiri.
Lingkungan rumah bersih, terkadang ada debu, ventilasi baik, cahaya
matahari cukup, air minum dan air mandi berasal dari air tanah. Pola
kebersihan diri cukup baik. Di lingkungan rumah pasien (tetangga) ada yang
mengalami keluhan serupa seperti pasien dan sedang dilakukan perawatan
inap di rumah sakit.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.

II.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
b. Tanda Vital
- Kesadaran : compos mentis
- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 90x/menit

3
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu tubuh : 37,6 oC
c. Data antropometri
- Berat badan : 55 kg
- Tinggi badan : 70 cm
d. Kepala
- Bentuk : normocephal
- Rambut : rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata
- Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil
isokor,
RCL +/+, RCTL +/+
- Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-
- Hidung : bentuk normal, sekret -, nafas cuping hidung -/-
- Mulut : faring hiperemis -, T1-T1
e. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak
membesar
f. Thorax
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
- Palpasi : gerak napas simetris, vokal fremitus simetris +/+
- Perkusi : sonor dikedua lapang paru
- Auskultasi : Pulmo SN vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
: Cor BJ I & II normal, murmur -, gallop -
g. Abdomen
- Inspeksi : perut datar
- Auskultasi : bising usus dalam batas normal
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, umbilical, hepar
dan lien tidak teraba membesar
- Perkusi : shifting dullness -, nyeri ketok -
h. Kulit : ikterik -, petechie -, purpura -
i. Ekstremitas : akral hangat, sianosis -, edema -, CRT <2s
: Tourniquet test (+)

4
III.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah
Waktu pemeriksaan : 24 Oktober 2021
Tabel 3. Pemeriksaan darah rutin pasien
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin 15,4 g/dL 12 – 16

Hematokrit 42 % 35 – 47

Leukosit 7.120 ribu/uL 4 – 10

Trombosit 100.000 mm 150 – 450

NS1 positif negatif

III.5 DIAGNOSIS KERJA


Dengue haemorrhagic fever grade I

III.6 PENATAALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
- Tirah baring
- Edukasi kepada keluarga tentang penyakit yang diderita
b. Medikamentosa
Konsul dr. Ommy,Sp. PD
- IVFD RL 30 tpm
- Inj Pumpicel 1 vial/hari dalam NS 100cc
- Inj Terfacef 1gr/hari (IV) bolus pelan
- Inj Trovensis 4mg/12 jam (IV)
- Inj Farmadol 1 flash/8jam (IV)

5
III.7 FOLLOW UP
25 Oktober 2021
Anamnesis
Pasien mengeluh lemas, pusing, mual, penurunan nafsu makan dan nyeri
perut. Muntah tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS 456)
 TD : 120/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 oC
 Kepala/Leher : Anemis (-), ikterik (-), pembesaran KGB (-), deviasi
trakea (-)
 Thoraks : simetris
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Cor : S1 S2 tunggal (+), murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Datar, BU (+), timpani, nyeri tekan (+) epigastrium,
hepatosplenomegaly (-)
 Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-
Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Tabel 4. Pemeriksaan darah rutin pasien


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin 13,5 g/dL 12 – 16

Hematokrit 38 % 35 – 47

6
Leukosit 9.090 ribu/uL 4 – 10

Trombosit 105.000 mm 150 – 450

Assesment
Dengue haemorrhagic fever grade I

Planning
- Pantau TTV, gejala klinis
- Bed rest
- IVFD RL 30 tpm
- Inj Pumpicel 1 vial/hari dalam NS 100cc
- Inj Terfacef 1gr/hari (IV) bolus pelan
- Inj Trovensis 4mg/12 jam (IV)
- Inj Farmadol 1 flash/8jam (IV)

26 Oktober 2021
Anamnesis
Pasien mengeluh lemas, pusing, penurunan nafsu makan dan nyeri perut
minimal. Mual, muntah tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS 456)
 TD : 120/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36 oC
 Kepala/Leher : Anemis (-), ikterik (-), pembesaran KGB (-), deviasi
trakea (-)

7
 Thoraks : simetris
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Cor : S1 S2 tunggal (+), murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Datar, BU (+), timpani, nyeri tekan (+) epigastrium
 Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-
Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Tabel 5. Pemeriksaan darah rutin pasien


Jenis Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin 13,5 g/dL 12 – 16

Hematokrit 37 % 35 – 47

Leukosit 5.660 ribu/uL 4 – 10

Trombosit 120.000 mm 150 – 450

Assesment
Dengue haemorrhagic fever grade I

Planning
- Pantau TTV, gejala klinis
- Bed rest
- IVFD Asering 20tpm
- Inj Santagesic 400mg
- Inj Ranitidin 2 x 50mg

8
27 Oktober 2021
Anamnesis
Pasien mengeluh lemas, nafsu makan membaik dan nyeri perut tidak ada.
Mual, muntah tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS 456)
 TD : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
 Kepala/Leher : Anemis (-), ikterik (-), pembesaran KGB (-), deviasi
trakea (-)
 Thoraks : simetris
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Cor : S1 S2 tunggal (+), murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Datar, BU (+), timpani, nyeri tekan (-)
 Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-
Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Tabel 6. Pemeriksaan darah rutin pasien


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin 12,8 g/dL 12 – 16

Hematokrit 36 % 35 – 47

Leukosit 4.770 ribu/uL 4 – 10

Trombosit 155.000 mm 150 – 450

9
Assesment
Dengue haemorrhagic fever grade I

Planning
- Boleh pulang
- Paracetamol 3x1 bila timbul demam
- Ranitidine 2x1
- Becom-C 1x1

II.8 PROGNOSIS
- Ad vitam : Bonam
- Ad fungsionam : Bonam
- Ad sanationam : Bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI
Dengue haemorrhagic fever (DHF) atau demam berdarah dengue (DBD)
merupakan suatu penyakit epidemik akut, disebabkan oleh virus yang
ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penderita yang
terinfeksi akan memiliki gejala berupa demam ringan sampai tinggi, disertai
dengan sakit kepala, nyeri retro orbita, otot dan persendian, hingga perdarahan
spontan.1,2
DBD merupakan penyakit yang masih menjadi problem kesehatan
masyarakat. Penyakit ini ditemukan nyaris di seluruh belahan dunia terutama di
negara-negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun
epidemik. Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue biasanya berkaitan dengan
datangnya musim penghujan.1

II.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit DBD di Indonesia ditemukan pertama kali di Surabaya pada
tahun 1968, empat belas tahun setelah KLB di Manila (Filipina), akan tetapi
konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Penyakit ini menyebar ke
berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia
kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan,
jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat, baik dalam jumlah
maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap
tahun.8
DBD merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar
wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia tenggara, Amerika dan Karibia. DBD
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia selama 47 tahun terakhir.
Pada tahun 2001, WHO memasukkan Indonesia dalam kategori “A” pada
stratifikasi DBD, yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit
dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.5,9

11
Saat ini, terjadi peningkatan jumlah kasus DBD dari tahun 1968, yaitu 58
kasus menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015, dan 1.229 orang diantaranya
meninggal dunia. Terdapat sekitar 2,5 miliar orang di dunia beresiko terinfeksi
virus dengue, dengan perkiraan 500.000 orang memerlukan rawat inap setiap
tahunnya, dimana proporsi penderita sebagian besar ialah anak-anak yang berusia
kurang dari 15 tahun, dengan 2,5% diantaranya dilaporkan meninggal dunia.3,4

II.3 ETIOLOGI
II.3.1 VIRUS DENGUE
Virus penyebab demam Dengue termasuk Arbovirus (arthropod - borne
viruses). Virus ini merupakan anggota keluarga dari Flaviviridae (flavi = kuning)
dan genus Flavivirus, bersama-sama dengan virus demam kuning. Morfologi
virion Dengue berupa partikel sferis dengan diameter nukleokapsid 30nm dan
ketebalan selubung 10nm. Genomnya berupa RNA (ribonucleic acid). Protein
virus Dengue terdiri dari protein C untuk kapsid dan core, protein M untuk
membran, protein E untuk selubung dan protein NS untuk protein non struktural.10

Gambar 1. Virus dengue

Saat ini telah diketahui ada 4 tipe virus Dengue, terdiri dari 4 serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Tipe-tipe virus ini baru diketahui setelah
Perang Dunia II oleh Sabin yang berhasil mengisolasinya dari darah pasien pada
epidemi di Hawai, yang disebut sebagai tipe 1 (1952). Tipe 2 juga diisolasi oleh
Sabin (1956) dari pasien di New Guinea. Tipe 3 dan 4 diperoleh tahun 1960 dari
pasien yang mengalami DBD di Filipina pada tahun 1953.10,11
Virus Dengue memiliki tiga jenis antigen yang menunjukkan reaksi spesifik
terhadap antibodi yang sesuai yaitu:

12
a. Antigen yang dijumpai pada semua virus dalam genus Flavivirus dan
terdapat di dalam kapsid,
b. Antigen yang khas untuk virus Dengue saja dan terdapat pada semua tipe,
1 sampai 4, di dalam selubung,
c. Antigen yang spesifik untuk virus Dengue tipe tertentu saja, terdapat di
dalam selubung10

II.3.2 VEKTOR
DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor utama,
serta Aedes albopictus yang menjadi vektor pendamping. Kedua spesies nyamuk
ini ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di atas
1000 meter di atas permukaan laut, tapi dari beberapa laporan dapat ditemukan
pada daerah dengan ketinggian sampai dengan 1.500 meter, bahkan di India
dilaporkan dapat ditemukan pada ketinggian 2.121 meter, serta di Kolombia pada
ketinggian 2.200 meter.12
Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa
berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya. Kedua
spesies nyamuk tersebut termasuk ke dalam Genus Aedes dari Famili Culicidae.
Secara morfologi, keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih
yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Aedes aegypti berwarna hitam
dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis
lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Aedes albopictus yang juga
berwarna hitam, hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.13,14

(a) (b)
Gambar 2. (a) Aedes aegypti, (b) Aedes albopictus

13
Sampai saat ini gigitan nyamuk merupakan satu-satunya cara transmisi atau
penyebaran virus Dengue dari satu orang ke orang lain. Virus Dengue
memerlukan waktu 8 sampai 10 hari untuk berkembang biak dan kemudian
terkumpul dalam kelenjar liur nyamuk, sejak saat tersebut nyamuk tersebut
bersifat infeksius seumur hidupnya. Jika nyamuk itu menggigit orang yang tidak
memiliki kekebalan terhadap virus Dengue, inokulasi virus bersama air liur akan
menyebabkan penyakit.10
Nyamuk yang menularkan virus Dengue diketahui adalah nyamuk betina.
Hal ini tidak berarti bahwa nyamuk jantan tidak bisa mengandung virus Dengue,
tetapi nyamuk jantan tidak pernah menghisap darah manusia. Transmisi virus
dapat terjadi secara transovarial, yaitu dari nyamuk betina yang telah menghisap
darah pasien Dengue melalui telur, jentik-jentik, pupa (kepompong) sampai
menjadi nyamuk dewasa. Transmisi transovarial ini memungkinkan tetap adanya
kejadian infeksi Dengue meskipun vektor sudah banyak dibasmi dan perawatan
serta pengobatan pasien telah cukup berhasil menekan angka kesakitan.10
Nyamuk dewasa (jantan dan betina) yang keluar dari kepompong akan
mengadakan hubungan seksual. Sperma yang keluar disimpan dalam spermateka
nyamuk betina. Sebelum menghasilkan telur yang dibuahi, nyamuk betina
memerlukan darah dengan menggigit manusia atau pejamu lain, seperti monyet,
simpanse, kelinci, marmot, tikus dan hamster. Diperlukan waktu 2 - 3 hari untuk
perkembangan telur. Nyamuk Aedes biasanya berkembang biak di air tergenang
yang jernih pada berbagai tempat. Umumnya nyamuk bertelur pada siang hari dan
menghasilkan 60 - 90 butir telur. Dalam keadaan alamiah, seekor nyamuk betina
dapat bertelur sebanyak 10 kali. Untuk menjadi matang diperlukan waktu 24 - 72
jam.10
Aedes aegypti merupakan nyamuk domestik yang hidup dekat dengan
manusia dan tinggal di dalam rumah. Aedes albopictus bersifat semidomestik dan
biasanya terdapat di luar rumah di kawasan perumahan, juga di hutan. Kedua jenis
nyamuk itu biasanya aktif pada siang hari, tapi juga pada malam hari jika terdapat
cahaya, dapat menjadi aktif pula. Jika nyamuk betina tidak terganggu dalam
proses menggigit dan menghisap darah, ia akan menghisap darah sampai puas dan
tidak akan menggigit lagi sebelum bertelur. Jarak terbang nyamuk tersebut

14
biasanya tidak melebihi 350 meter. Jentik-jentik dan nyamuk dewasa dapat
ditemukan sepanjang tahun di semua kota di Indonesia.10

II.4 FAKTOR RISIKO


Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan
prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan
yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan
rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang
benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih
makmur terutama yang biasa bepergian.14,15
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang
merupakan reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah
Amazon Brazil adalah jenis kelamin laki-laki, faktor ekonomi, dan migrasi.
Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang menyebabkan DBD
adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena DBD pada periode
sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.16

II.5 PATOGENESIS
Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus Dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
Dengue akan menuju organ sasaran, yaitu sel kupffer hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limpatikus, sumsum tulang, serta paru.17
Berdasarkan perannya, virus Dengue terdiri dari antobodi netralisasi atau
neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah
infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran
reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis
DBD dan DSS.17
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang
masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan

15
antibody dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi
sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu
serotipe virus Dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe
virus Dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut
mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus Dengue lainnya, maka akan
terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk
pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus Dengue
serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi, bahkan cenderung
membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi.
Selanjutnya, akan teraktivasi dan memproduksi IL-1, IL6, tumor necrosis factor-
alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF). Akibatnya akan terjadi
peningkatan enhancement infeksi virus Dengue. TNF-A akan menyebabkan
kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan
tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah yang mekanismenya
sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. 10,18,19
Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan
merangsang komplemen. Komplemen adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukkan sejumlah protein plasma dan protein membran sel yang berperanan
dalam pertahanan tubuh. Komplemen bukanlah antibodi, tetapi dapat dikatakan
sebagai pelengkap bagi antibodi dalam melakukan suatu proses pertahanan tubuh.
Secara fisiologis ada empat sistem yang berkaitan, yaitu aktivasi komplemen,
pembentukan kinin, koagulasi dan fibrinolisis. Sistem komplemen, mempunyai
paling sedikit tiga fungsi, yaitu:
a. Menyebabkan lisisnya sel, bakteri dan virus berselubung
b. Opsonisasi terhadap sel asing, bakteri, virus, jamur untuk mempermudah
fagositosis
c. Membentuk fragmen-fragmen peptide, yang mengatur proses peradangan
dan respons imun10
Ada 2 jalan yang dapat ditempuh untuk terjadinya aktivasi komplemen yaitu
the classic complement pathway, yang diawali oleh adanya kompleks antigen -
antibodi (kompleks imun), dan the alternative complement pathway yang tidak
selalu memerlukan adanya antibodi. Unsur yang paling berperan dalam proses

16
aktivasi komplemen adalah C3a dan C5a yang mempunyai aktivitas
anaphylatoxin, yang menyebabkan kontraksi otot polos dan degranulasi sel mast
serta basophil, sehingga keluarlah histamin dan substansi vasoaktif lain yang akan
menginduksi kebocoran kapiler. Pada DBD, komplemen yang terbentuk, akan
memiliki farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan
prokoagulan, sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipolemik) dan
perdarahan.10,20
Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus
Dengue, akan terjadi infeksi dari ibu ke anak. Dalam tubuh anak tersebut terjadi
non neutralizing antibodies akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila
terjadi infeksi virus Dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi
proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi,
mengeluarkan IL-1, IL-6, TNF-A, serta PAF.21
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis
virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus
tersebut. Tetapi sebaliknya, apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus,
justru akan menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik
virus Dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM,
IgG-1 dan IgG-3.18,22
Pada infeksi virus Dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam
beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, tetapi derajat kerusakan
jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan
kematian karena infeksi virus. Kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh
gangguan metabolik.18
Teori lain menyebutkan, adanya tipe virus Dengue mutan yang memiliki
virulensi lebih tinggi, sehingga pada infeksi primer pun telah menimbulkan gejala
yang berat. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan jenis vektornya. Virus yang
berkembang dan disebarkan oleh Aedes albopictus (vektor asli yang banyak
dijumpai diluar kawasan perumahan) tidak mengalami mutasi, dan menimbulkan
penyakit yang tidak berat. Virus yang disebarkan oleh Aedes aegypti (vektor yang
diimport), mengalami mutasi dan menyebabkan penyakit yang lebih berat. Akan

17
tetapi sampai saat ini belum ditemukan bukti ilmiah mutlak yang menyokong
adanya jenis virus mutan yang menimbulkan gejala berat tersebut.10

II.6 PATOFISIOLOGI
Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme
patofisiologinya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan utama
adalah adanya syok yang khas pada DBD. Syok disebabkan kebocoran plasma
yang diduga karena proses immunologi, pada DD hal ini tidak terjadi. Manifestasi
klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang berkembang
di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari akan terjadi
viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah 5 hari timbul gejala.
Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-
Helper, menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper
akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan menyebabkan lisis makrofag yang
sudah memfagosit virus. Kemudian mengaktifkan sel B yang akan melepas
antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali, yaitu antibodi netralisasi,
antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut akan
menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala
sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.18,21
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus Dengue berkembang biak dalam
sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung
5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular,
antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang
muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM. Pada infeksi Dengue primer,
antibodi mulai terbentuk dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada
jadi meningkat.18
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi
primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam
hari ke-14, sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari

18
kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan
dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi
sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG
dan IgM yang cepat.23
Patofisiologi primer dari DBD dan DSS adalah peningkatan akut
permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung
penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemi.23

Gambar 3. Bagan kejadian infeksi virus Dengue


II.7 MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar
antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul
pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di
dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari. Gejala DBD ditandai dengan
manifestasi klinis, yaitu :
a. Demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari,
b. Perdarahan, seperti uji tourniquet positif, perdarahan kulit ataupun di
tempat lain

19
c. Hepatomegali,
d. Kegagalan peredaran darah (circulatory failure)11,21,24
Lama perjalanan penyakit dengue yang klasik umumnya berlangsung
selama 7 hari dan terdiri atas 3 fase, yaitu:
a. Fase demam, berlangsung 3 hari
Pada fase demam yang berlangsung 3 hari, anak memerlukan minum
yang cukup karena demam tinggi. Anak biasanya tidak mau makan dan
minum, sehingga dapat mengalami dehidrasi. Umumnya anak akan
tampak sakit berat, pada bagian wajah dapat terlihat kemerahan
(flushing), dan biasanya tanpa batuk dan pilek. Saat ini nilai hematokrit
masih normal dan viremia berakhir pada fase ini.
b. Fase kritis,
Fase demam akan diikuti oleh fase kritis yang berlangsung pada hari ke-4
dan ke-5 (selama kurang lebih 24 – 48 jam). Pada fase kritis, demam
turun, sehingga disebut sebagai fase deffervescene. Fase ini kadang
mengecoh karena orangtua menganggap anaknya sembuh oleh karena
demam turun, padahal anak memasuki fase berbahaya. Kebocoran
plasma menjadi nyata dan mencapai puncak pada hari ke-5. Pada fase ini,
akan tampak jumlah trombosit menurun dan nilai hematokrit naik, organ-
organ lain mulai terlibat. Meski hanya berlangsung 24-48 jam, fase ini
memerlukan pemantauan klinis dan laboratoris yang ketat.

c. Fase penyembuhan
Setelah fase kritis pada DBD, anak memasuki fase penyembuhan,
kebocoran pembuluh darah berhenti seketika, plasma kembali dari ruang
interstitial masuk ke dalam pembuluh darah. Pada fase ini, jumlah
trombosit mulai meningkat dan hematokrit menurun. Fase ini hanya
berlangsung 1-2 hari, tetapi dapat menjadi fase berbahaya apabila cairan
intravena tetap diberikan dalam jumlah berlebih, yang menyebabkan
anak dapat mengalami kelebihan cairan dan terlihat sesak. Pada hari-hari
tersebut, demam dapat meningkat kembali tetapi tidak begitu tinggi,
sehingga memberikan gambaran kurva suhu seperti pelana kuda.

20
Seringkali anak diberikan antibitiotik yang tidak diperlukan. Pada fase ini
anak terlihat riang, nafsu makan kembali muncul, serta aktif seperti
sebelum sakit.25

II.8 KLASIFIKASI
Terdapat beberapa klasifikasi DD atau DBD yang perlu diketahui, beberapa
diantaranya yaitu:
a. Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 1997
Dalam klasifikasi diagnosis WHO 1997, infeksi virus dengue dibagi
dalam tiga spektrum klinis yaitu undifferentiated febrile illness, demam
dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD). Dalam perjalanan
penyakit infeksi dengue ditegaskan bahwa DBD bukan lanjutan dari DD
namun merupakan spektrum klinis yang berbeda. Perbedaan antara DD
dan DBD adalah terjadinya kebocoran plasma (plasma leakage) pada
DBD, sedangkan pada DD tidak.
Selanjutnya DBD diklasifikasikan dalam empat derajat penyakit, yaitu:
1. Derajat I dan II, untuk DBD tanpa syok,
2. Derajat III dan IV untuk dengue shock syndrome (DSS)
Kesulitan terjadi saat menentukan klasifikasi dengue berat (severe
dengue) karena tidak tercakup di dalam kriteria diagnosis WHO 1997.
Jadi, kriteria WHO yang telah dipergunakan selama tiga puluh tahun
tersebut perlu dinilai kembali.26
b. Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2009
1. Dengue without warning signs,
Disebut juga sebagai probable dengue, sesuai dengan demam dengue
dan demam berdarah dengue derajat I dan II pada klasifikasi WHO
1997. Pada kelompok dengue without warning signs, perlu diketahui
apakah pasien tinggal atau baru kembali dari daerah endemik dengue.
Diagnosis tersangka infeksi dengue ditegakkan apabila terdapat
demam ditambah minimal dua gejala seperti :
a) Mual disertai muntah,
b) Ruam (skin rash),

21
c) Nyeri pada tulang, sendi, atau retro-orbital,
d) Uji torniket positif,
e) Leukopenia,
f) Gejala lain yang termasuk dalam warning signs
2. Dengue with warning signs
Secara klinis terdapat gejala:
a) Nyeri perut,
b) Muntah terus-menerus,
c) Perdarahan mukosa,
d) Letargi/gelisah,
e) Hepatomegali ≥2cm,
f) Disertai kelainan parameter laboratorium, yaitu peningkatan kadar
hematokrit yang terjadi bersamaan dengan penurunan jumlah
trombosit dan leukopenia
Pasien dengue without warning signs dapat dipantau harian dalam
rawat jalan. Namun apabila warning signs ditemukan maka pemberian
cairan intravena harus dilakukan untuk mencegah terjadi syok
hipovolemik.26

3. Severe dengue
Infeksi dengue diklasifikasikan sebagai severe dengue apabila terdapat
:
a) Severe plasma leakage (perembesan plasma hebat), akan
menyebabkan syok hipovolemik dengan atau tanpa perdarahan
b) Severe bleeding (perdarahan hebat), terjadi perdarahan
(hematemesis, melena, atau perdarahan lain yang dapat
mengancam kehidupan), disertai kondisi hemodinamik yang tidak
stabil sehingga memerlukan pemberian cairan pengganti dan atau
transfusi darah
c) Severe organ impairment (keterlibatan organ yang berat), termasuk
gagal hati, inflamasi otot jantung (miokarditis), keterlibatan
neurologi (ensefalitis), dan lain sebagainya

22
Setelah klasifikasi diagnosis dengue WHO 2009 disebarluaskan,
beberapa negara di Asia Tenggara mengadakan evaluasi kemungkinan
penggunaannya. Ternyata klasifikasi WHO 2009 belum dapat diterima
seluruhnya untuk menggantikan klasifikasi 1997, terutama untuk kasus
anak. Kemudian, batasan untuk dengue with atau without warning signs
terlalu luas, sehingga akan menyebabkan over diagnosis.26
c. Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2011
Klasifikasi diagnosis dengue WHO 2011 disusun hampir sama dengan
klasifikasi diagnosis WHO 1997, namun kelompok infeksi dengue
simtomatik dibagi menjadi DD, DBD, dan expanded dengue syndrome
yang terdiri dari isolated organopathy dan unusual manifestation.25,27
1. Demam dengue atau dengue fever, demam disertai 2 atau lebih tanda :
a) Sakit kepala
b) Nyeri retro-orbital
c) Mialgia
d) Atralgia
Dengan disertai hasil laboratorium berupa, leukopenia,
trombositopenia dan uji serologi virus (+). Namun, tanpa disertai
tanda kebocoran plasma (plasma leakage).
2. DBD derajat I, demam dengan gejala dan hasil laboratorium seperti
demam dengue, disertai uji tourniquet positif. Terdapat tanda
kebocoran plasma berupa hematocrit meningkat >20%.
3. DBD derajat II, terdapat tanda derajat I disertai perdarahan spontan di
kulit atau perdarahan ditempat lain.
4. DBD derajat III, ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, tekan nadi menurun (< 20mmHg) atau hipotensi (sistolik
menurun sampai <80 mmHg), disertai kulit yang lembab, akral dingin
dan pasien menjadi gelisah.
5. DBD derajat IV atau Dengue Syok Syndrom (DSS), terjadi syok berat
(profound shock), dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah
tidak dapat diukur. Stadium ini dapat terjadi pada hari ke 3,4 dan 5
serangan panas pada infeksi virus Dengue. Pada masa ini merupakan

23
masa kritis yang sering kali orang tua penderita atau penderita sendiri
kurang menyadarinya.
6. Expanded dengue syndrome
Kasus infeksi dengue dengan unusual manifestation tidak jarang
terjadi pada kasus anak. Unusual manifestation atau manifestasi yang
tidak lazim, pada umumnya berhubungan dengan keterlibatan
beberapa organ, seperti hati, ginjal, jantung, dan gangguan neurologis
pada pasien infeksi dengue. Kejadian unusual manifestation infeksi
dengue tersebut dapat pula terjadi pada kasus infeksi dengue tanpa
disertai perembesan plasma.28-30

Tabel 8. Expanded dengue syndrome

24
Sumber: Atypical manifestations of dengue, 2007.28

Tabel 9. Klasifikasi Derajat Infeksi Dengue ( WHO, 2011)


Grade Tanda dan Gejala Pemeriksaan Laboratorium

Demam dengue Demam dengan minimal dua - Leukopenia < 5000/mm3


kriteria berikut:
- Trombositopenia (< 00.003
- Nyeri kepala
- Peningkatan hematkcrit naik,
- Nyeri retroorbita biasanya 60- 10%

- Myalgia Tidak ada bukti kebocoran


plasma
- Atralgia/ nyeri tulang

- Ruam (rash)

- Manifestasi perdarahan

25
- Tidak ada bukti kebocoran
plasma

DBD grade I Demam dan manifestasi Trombositopenia (< 1.000.0003


perdarahan (uji tourniquet
- Peningkatan hematokrit naik,
positif) dan adanya bukti
biasanya 5- 10%
kebocoran plasma

Tidak ada bukti kebocoran


plasma

DBD grade II Sama seperti grade I, - Trombositopenia


ditambah adanya perdarahan (100.000/mm)
spontan
- Peningkatan hematokrit naik,
biasanya ≥ 20%

DBD grade III Sama seperti grade I dan II, - Trombositopenia


ditambah adanyakegagalan (100.000/mm)
sirkulasi (nadi lemah, tekanan
- Peningkatan hematokrit naik,
nadi < 20 mmHg, hipotensi,
biasanya ≥ 20%
lemas)

DBD grade IV Sama seperti grade III, - Trombositopenia


ditambah bukti nyata adanya (100.000/mm)
syok dengan tekanan darah
- Peningkatan hematokrit naik,
tidak terukur dan nadi tidak
biasanya ≥ 20%
teraba

II.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Isolasi dan identifikasi virus, mempunyai nilai ilmiah tertinggi karena
penyebab infeksi dapat dipastikan. Akan tetapi virus Dengue relatif labil
terhadap suhu dan faktor-faktor fisiko kimiawi tertentu, dan masa
viremia sangat singkat sehingga keberhasilan cara ini sangat tergantung
kepada kecepatan dan ketepatan pengambilan bahan, juga pengolahan
dan pengirimannya. Isolasi dapat dilakukan pada nyamuk, biakan sel atau
bayi mencit. Waktu yang diperlukan cukup lama yaitu 7 - 14 hari,
sehingga tidak dapat digunakan untuk panduan terapi. Di samping itu

26
biayanya relatif mahal dan hanya dapat dilakukan oleh laboratorium
tertentu saja. 10
b. Deteksi antigen adalah mencari bagian tertentu dari virus Dengue yang
menimbulkan penyakit baik yang berupa peptida ataupun asam nukleat.
Metode yang digunakan bisa immunofluorecence, immunoperoxydase,
atau polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan immunofluorescence
dan immunoperoxydase biasanya tidak cukup sensitif untuk mendeteksi
jumlah antigen yang sangat sedikit di dalam sirkulasi. Kedua tes ini lebih
sering digunakan untuk mendeteksi antigen di jaringan pada penelitian
post mortem. Metode PCR lebih sensitif karena dapat mendeteksi antigen
yang sangat sedikit dalam darah dan dalam waktu yang relatif singkat.
Akan tetapi hanya laboratorium tertentu saja yang dapat melakukan
metode diagnosis molekular ini dan juga biayanya amat mahal. 10
c. Tes serologi merupakan jenis pemeriksaan yang paling sering dilakukan.
Uji serologis yang klasik adalah uji hambatan hemaglutinasi, uji
pengikatan komplemen dan uji netralisasi. Uji yang lebih modern adalah
enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), immunoblot dan
immunochromatography. Uji netralisasi sebenarnya merupakan uji yang
terbaik, akan tetapi tekniknya sulit, sehingga jarang dipakai. Uji
hambatan hemaglutinasi dan uji pengikatan komplemen lebih mudah
dilakukan tetapi lebih tidak spesifik. Hasil yang positif hanya
menunjukkan bahwa pasien sedang atau baru saja terinfeksi oleh
Flaviviridae dan tidak dapat memastikan apakah penyebabnya virus
Dengue, apalagi serotipe tertentu. Hal ini disebabkan oleh adanya reaksi
silang antara anggota Flavivridae dan antar tipe virus Dengue.10
Saat ini uji serologi Dengue IgM dan IgG seringkali dilakukan. Pada
infeksi primer, IgM akan muncul dalam darah pada hari ke-3, mencapai
puncaknya pada hari ke-5 dan kemudian menurun serta menghilang
setelah 60-90 hari. IgG baru muncul kemudian dan terus ada di dalam
darah. Pada infeksi sekunder, IgM pada masa akut terdeteksi pada 70%
kasus, sedangkan IgG dapat terdeteksi lebih dini pada sebagian besar
(90%) pasien, yaitu pada hari ke-2. Apabila ditemukan hasil IgM dan IgG

27
negatif tetapi gejala tetap menunjukkan kecurigaan DBD, dianjurkan
untuk mengambil sampel kedua dengan jarak 3-5 hari bagi infeksi primer
dan 2-3 hari bagi infeksi sekunder. IgM pada sesorang yang terkena
infeksi primer akan bertahan dalam darah beberapa bulan dan
menghilang setelah 3 bulan.25
Dengan demikian, setelah fase penyembuhan, baik IgM maupun IgG
dengue akan tetap terdeteksi meskipun anak tidak menderita infeksi
dengue. Setelah 3 bulan, hanya IgG yang bertahan di dalam darah. IgG
dapat terdeteksi pada pemeriksaan darah seseorang yang telah terinfeksi
oleh salah satu serotipe virus dengue. Hal itu disebabkan oleh IgG dalam
darah bertahan dalam jangka waktu yang lama bahkan dapat seumur
hidup. Untuk itu, interpretasi serologi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
harus dilengkapi dengan anmanesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan
penunjang lainnya untuk menegakkan diagnosis dengue. Pemeriksaan
serologis terutama berguna untuk membedakan antara infeksi primer dan
sekunder.25

Gambar 4. Respon primer dan sekunder infeksi virus dengue


(Sumber : Soegijanto S, 2002)18

d. Pemeriksaan darah rutin, selalu dilakukan pada pasien dengue. Hasil


pemeriksaan laboratorium menunjukkan hampir 70% pasien dengue
mengalami :

28
1. Leukopeni (<5000/ul) yang akan kembali normal sewaktu memasuki
fase penyembuhan pada hari sakit ke-6 atau ke-7.
2. Jumlah trombosit mulai menurun pada hari ke-3 dan mencapai titik
terendah pada hari sakit ke-5. Trombosit akan mulai meningkat pada
fase penyembuhan serta mencapai nilai normal pada hari ke-7. Meski
jarang, ada pasien yang jumlah trombositnya mencapai normal pada
hari ke-10 sampai ke-14.
3. Perubahan hemostatik dan kebocoran plasma merupakan petanda
penting dini diagnosis DBD. Peningkatan nilai hematokrit 20% atau
lebih, mencerminkan kebocoran plasma yang bermakna dan
mengindikasikan perlunya penggantian volume cairan tubuh. 25

Tabel 9. Serotipe dan tipe infeksi dengue pada penderita ruang rawat
inap Departemen IKA FKUI-RSCM

Sumber: Data rekam medik Departemen IKA FKUI-RSCM.25

Tabel 10. Serotipe penyebab infeksi virus dengue di Departemen IKA


RSCM 2006-2010 berdasarkan pemeriksaan RT-PCR

29
Sumber: Data rekam medik Departemen IKA FKUI-RSCM.25

Data ruang rawat inap Departemen IKA FKUI-RSCM mendapatkan,


virus dengue serotipe 1 (DEN-1) merupakan penyebab infeksi primer
terbanyak, sedangkan penyebab infeksi sekunder terbanyak adalah
DENV-2. Beberapa pasien mengalami infeksi campuran dua serotipe
dengue. Selama kurun waktu tahun 2006 – 2010, DEN-2 dan DEN-3
merupakan virus yang terbanyak ditemukan sebagai penyebab infeksi
dengue di ruang rawat inap Departemen IKA FKUI-RSCM.25

II.10 PENATALAKSANAAN
Dalam tata laksana kasus dengue terdapat dua keadaan klinis yang perlu
diperhatikan yaitu:
a. Sistem triase
Dalam sistem triase, dapat dipilah pasien dengue dengan warning signs
dan pasien yang dapat berobat jalan namun memerlukan observasi lebih
lanjut.
b. Tata laksana kasus DSS
Penatalaksaan DSS pada prinsipnya adalah dengan pemberian cairan
yang adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum teratasi
selama 2 x 30 menit, pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan
transfusi PRC merupakan pilihan.25

30
Gambar 5. Alur triage yang dianjurkan
(Sumber : Modifikasi dari WHO, 2011)25,28

Tata laksana DD atau DBD sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi
atas 3 fase yang telah disebutkan.
a. Fase demam
Tata laksana pada fase demam DD atau DBD bersifat simtomatik dan
suportif. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis
10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >38oC. Pemberian aspirin dan
ibuprofen merupakan kontra indikasi. Kompres hangat kadang membantu
apabila anak merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian
antipiretik tidak mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat memperpendek
durasi demam.
Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain berupa larutan
oralit, larutan gula-garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien
memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah hebat, koreksi dehidrasi
sesuai kebutuhan. Apabila cairan intravena perlu diberikan, maka pada
fase ini biasanya kebutuhan sesuai rumatan. Semua pasien tersangka
dengue harus diawasi dengan ketat sejak hari sakit ke-3. pemberian
cairan oral untuk mencegah dehidrasi.31,28
b. Fase kritis

31
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya
hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian
syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala
merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan
hasil pemberian cairan, yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma
dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan
nadi. Tetesan berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital,
kadar hematokrit, dan jumlah volume urin. 28
Berikan cairan intravena sesuai dengan derajat dehidrasi sedang. Jenis
cairan, terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Kristaloid: ringer laktat (RL), ringer asetat (RA), ringer maleate, natrium
klorida (NaCl), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL),
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), Dekstrosa 5% dalam
1/2 larutan natrium klorida (D5/1/2NaCl) (Catatan: Untuk resusitasi syok
dipergunakan larutan kristaloid yang tidak mengandung dekstosa).
b. Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%,
gelafundin.
Cairan isotonik umumnya menghasilkan output atau prognosis yang lebih
baik. Kebutuhan cairan parenteral :
a. Berat badan < 15kg : 7ml/kgBB/jam
b. Berat badan 15 – 40kg : 5ml/kgBB/jam
c. Berat badan >40kg : 3ml/kgBB/jam25
Cairan parenteral umumnya hanya memerlukan waktu 24-48 jam sejak
kebocoran pembuluh kapiler spontan, sejak pemberian cairan dimulai. Pantau
tanda vital dan diuresis setiap jam. Periksa laboratorium (Ht, trombosit, leukosit
dan Hb) per 6 jam. Apabila terjadi perburukan klinis, berikan tatalaksana sesuai
dengan tata laksana syok atau DSS.

32
Tabel 11. Keuntungan dan kerugian beberapa kristaloid

Sumber : Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders,


2012.25

c. Fase penyembuhan
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen akan muncul pada daerah
esktremitas. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase
penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke
dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan
menyebabkan edema palpebra, edema paru dan distres pernafasan.
Upayakan lama pemberian cairan jangan melebihi 24-48 jam. Segera
hentikan pemberian cairan apabila pasien sudah masuk fase
penyembuhan untuk menghindari terjadinya kelebihan cairan yang dapat
mengakibatkan bendungan/edema paru karena reabsorpsi ekstravasasi
plasma.
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa
komplikasi dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke
dalam fase penyembuhan adalah :
1. Keadaan umum membaik
2. Meningkatnya nafsu makan
3. Tanda vital stabil
4. Ht stabil dan menurun sampai 35-40%
5. Diuresis cukup

33
Penderita dapat dipulangkan apabila dalam 24 jam tidak terdapat demam
tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik, nilai Ht
stabil tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau takipnea,
dan jumlah trombosit >50.000/mm3.25

Bagan 1. Tata laksana penderita tersangka DBD

34
Bagan 2. Tata laksana kasus penderita DBD

35
Bagan 3. Tata laksana kasus DBD derajat I dan II

36
Bagan 4. Tata laksana kasus DBD derajat III dan IV

Beberapa kondisi yang harus diperhatikan dalam tata laksana DBD adalah :
a. Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD atau
SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit sebaiknya diperiksa
pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu
terjadinya koagulasi intravascular disseminata (KID), sehingga tata

37
laksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila
penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi
asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan terjadi sebagai
akibat KID.32
b. Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus segera diberikan pada semua
pasien syok karena dapat terjadi hipoksia sistemik.25
c. Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien yang diduga mengalami pendarahan internal, terutama pada syok
yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala
sulit untuk mengetahui perdarahan internal apabila disertai
hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi
40%), tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang
mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian packed red
cell (PRC) dimaksudkan untuk mengatasi perdarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah, faktor pembekuan dan
trombosit.28,31
Kunci tata laksana DD atau DBD terletak pada deteksi dini fase kritis, yaitu
saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
kebocoran plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada
pengenalan tanda-tanda bahaya secara awal dan pemberian cairan larutan garam
isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal pengganti volume plasma sesuai
dengan derajat penyakit.25

II.11 EDUKASI
Penerangan pada pasien dan keluarga mengenai petanda gejala syok yang
mengharuskan pasien dibawa ke rumah sakit yang harus diberikan. Petanda
tersebut antara lain adalah:
a. Keadaan yang memburuk sewaktu pasien mengalami penurunan suhu

38
b. Setiap perdarahan yang ditandai dengan nyeri abdominal akut dan hebat
c. Mengantuk, lemah, tidur sepanjang hari, menolak untuk makan dan
minum, gelisah, sampai dengan perubahan tingkah laku
d. Kulit dingin dan lembab
e. Tidak buang air kecil selama 4-6 jam
Pasien harus dirawat apabila ada tanda-tanda syok, sangat lemah sehingga
asupan oral tidak dapat mencukupi, perdarahan, hitung trombosit <100.000/ mm3,
dan atau peningkatan Ht >10-20%, perburukan ketika penurunan suhu, nyeri
abdominal akut hebat, serta tempat tinggal yang jauh dari Rumah Sakit.25

39
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan demam hari ke-3. Keluhan disertai dengan,
seluruh tubuh terasa lemas dan pegal-pegal, mual, serta nafsu makan menurun,
tetapi minum masih mau sedikit-sedikit. Keluhan seperti adanya mimisan, gusi
berdarah, atau adanya bintik-bintik/ruam pada tubuh, disangkal. Buang air besar
(BAB) dan buang air kecil (BAK) dalam batas normal, tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan, TD 120/70mmHg, N 90 x/menit, RR
20x/mnt, T 37,6 C. Pada abdomen ditemukan nyeri tekan pada epigastrium,
umbilical, tidak teraba pembesaran hepar atau lien. Dilakukan uji tourniquet dan
didapatkan > 20 ptekie. Dari hasil lab darah rutin terdapat gambaran
trombositopenia (trombosit 100.000) dan NS1 positif. Sehingga pasien dirawat
dengan diagnosis kerja demam berdarah dengue atau dengue haemorrhagic fever
grade 1.
Pada pasien didapatkan demam dengan menggigil, berlangsung terus
menerus, naik turun selama 3 hari, hari hal ini dikarenakan demam terjadi akibat
reaksi antigen antibodi yang memicu keluarnya mediator inflamasi terutama IL-1,
IFN-gamma, TNF-alfa, IL-2 dan histamine. Dimana IL1, TNF-alfa dan IFN
gamma dikenal sebagai pirogen endogen yang dapat menimbulkan demam. IL-1
bekerja langsung pada pusat termoregulator sedangkan TNF-alfa dan IFN-gamma
bekerja untuk merangsang pelepasan IL-1. IL-1 dapat merubah asam arakidonat
menjadi prostaglandin-E2, selanjutnya PGE2 akan berdifusi ke hipotalamus atau
berekasi dengan cold sensitive neurons, dengan hasil akhir peningkatan
thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk
menahan panas (vasokonstriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil.
Terdapat manifestasi perdarahan yang pada pasien ditandai dengan ptekie
pada uji tourniquet. Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel
endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan

40
pada DHF. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(Adenosin di-phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (Reticulo Endothelial System)
sehingga terjadi trombositopenia. Selain itu juga terdapat teori yang
menghubungkan trombositopenia dengan meningkatnya megakariosit muda dalam
sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
restruksi trombosit.
Pada kasus, berdasarkan patokan diagnosis DHF menurut WHO tahun 2011,
gejala klinis dan laboratorium pada kasus ini didapatkan demam tinggi terus-
menerus selama 3 hari, disertai adanya gejala lain berupa myalgia dan terjadi
manifestasi perdarahan yaitu uji tourniquet positif. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan trombositopenia (≤ 100.000/uL), walaupun tidak
ditemukan tanda hemokonsentrasi, yang dapat dilihat dari peningkatan nilai
hematokrit ≥ 20% dibanding dengan nilai hematokrit nilai normal. Ditemukan 3
sampai 4 patokan klinis, disertai trombositopenia < 100.000, sudah cukup untuk
klinis membuat diagnosis DHF.
Pada pasien ini diberikan infus RL karena dapat memenuhi kebutuhan
cairan.
Pasien diberikan IVFD RL 30 tpm
Injeksi farmadol, digunakan untuk mengobati rasa nyeri pasien. Injeksi
pumpisel, digunakan untuk mengatasi nyeri perut pasien yang disebabkan karena
asam lambung pasien. Injeksi terfacef, digunakan untuk mengurangi infeksi yang
terjadi dalam tubuh pasien. Injeksi trovensis, digunakan untuk mengobati rasa
mual pasien.
Pada pasien ini di diagnosis banding dengan demam dengue (dengue fever)
dan demam chikungunya. Dengue fever manifestasi klinisnya sama seperti DHF.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan
dengue fever dari DHF, yaitu kebocoran plasma yang ditandai dengan hematokrit
≥ 20% dan adanya plasma leakage.
Demam chikungunya merupakan suatu penyakit infeksi virus akut yang
ditandai dengan sekumpulan gejala yang mirip dengan gejala infeksi virus dengue,

41
yaitu demam mendadak, arthralgia, dan leukopenia. Gejala klinis yang sering
dijumpai pada anak umumnya demam tinggi mendadak, disertai sakit kepala,
fotofobia, myalgia dan atralgia yang melibatkan berbagai sendi, anoreksia, dan
mual muntah. Nyeri sendi merupakan gejala yang menonjol dan dapat menjadi
persisten. Pada kulit sering ditemukan ptekie atau ruam makulopapular pada
tubuh dan ekstremitas, sering terjadi limfadenopati hebat.

Tabel 12. Perbedaan infeksi virus Chikungunya dan Dengue

42
BAB V
KESIMPULAN

Infeksi virus dengue pada manusia tidak selalu mengakibatkan demam


berdarah dengue (DBD), melainkan mempunyai spektrum manifestasi klinis yang
luas, mulai dari asimtomatik, demam dengue (DD), DBD, sampai demam
berdarah dengue disertai syok atau dengue shock syndrome (DSS). Gambaran
manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es
dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung
es yang terlihat di atas permukaan laut.
Seperti telah dipahami bahwa tanda dan gejala infeksi dengue tidak khas,
sehingga menyulitkan penegakan diagnosis terutama pada anak. Untuk itu, perlu
dipahami perjalanan penyakit agar tata laksana dilakukan secara bijak dalam
rangka upaya mengurangi kejadian yang tidak diinginkan.
Prinsip pemberian cairan untuk DBD adalah penggantian volume plasma.
Pilihan cairan resusitasi inisial untuk anak adalah kristaloid isotonis. Volume
pemberian cairan harus disesuaikan dengan kondisi klinis, tanda vital, produksi
urin dan kadar hematokrit. Evaluasi tanda klinis serta status hemodinamik pasien
setelah pemberian terapi cairan.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Djunaedi, D 2006, Demam Berdarah Dengue (DBD), Malang: Penerbit


Universitas Muhammadiyah Malang.
2. World Health Organization 2011, World Health Statistics 2011, France: WHO
Press.
3. Kemenkes RI 2016, Info Datin, 22 April – Hari Demam Berdarah Dengue,
Situasi DBD di Indonesia, Jakarta: Kemenkes RI.
4. World Health Organization 2014, Dengue and Severe dengue, Geneva: WHO
Press.
5. Andriani NWE, Tjitrosantoso H, Paulina V, Yamlean Y 2014, Kajian
Penatalaksanaan Terapi Pengobatan Demam Berdarah Dengue (Dbd)
Pada Penderita Anak Yang Menjalani Perawatan Di Rsup Prof. Dr. R.D
Kandou Tahun 2013, Jurnal Ilmiah – UNSRAT Vol. 3 No. 2, Manado:
Pharmacon.
6. Khie C, Herdiman TP, Robert 2009, Diagnosis dan terapi cairan pada demam
berdarah dengue, Jakarta: FK UI.
7. Hadinegoro, Rezeki S, Soegijanto WS, Suroso 2004, Tatalaksana Demam
berdarah dengue Di Indonesia, Jakarta: Depkes RI.
8. Kristina, Isminah, Wulandaari 2004, Demam Berdarah Dengue, Jakarta:
Depkes RI.
9. Departemen Kesehatan RI 2003, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue, Jakarta: Depkes RI.
10. Wiradharma D 1999, Diagnosis Cepat Demam Berdarah Dengue, Jurnal
Kedokteran Trisakti, Mei-Agustus 1999, Vol.18, No.2, Jakarta: FK Trisakti.
11. Kurane I 2007, Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on
Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious
Disease Vol 30, Tokyo: PubMed.
12. Noor R 2009, Nyamuk Aedes aegypti [cited 5 Januari 2019]; Available from:
http://id.shvoong.com/medicine-andhealth/epidemiology-publichealth/
2066459-nyamuk-aedes-aegypti

44
13. Lestari K, Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Di Indonesia. Farmaka, Vol. 5 No. 3, Bandung: Farmaka.
14. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F 2009, Mosquito-Borne
Dengue Fever Threat Spreading in the Americas, New York: Natural
Resources Defense Council Issue Paper.
15. Wilder-Smith A, Gubler D 2008, Geographic Expansion of Dengue: the
Impact of International Travel Vol. 92, USA: Med Clin NAm.
16. Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, et.al 2008, Risk Factors for Dengue
Virus Infection in Rural Amazonia: Population-based Cross-sectional
Surveys Vol 79 (4). USA: Am J Trop Med Hyg.
17. World Health Organization 2009, Dengue: Guidlines for Diagnosis,
Treatment, Prevention and Control. New Edition, Geneva: WHO Press.
18. Soegijanto S 2002, Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus
Dengue [cited 5 Januari 2019], Available from: www.pediatrikcom/
buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc
19. Dewi BE, Takasaki T, et.al 2007, Elevated Levels of Solube Tumour Necrosis
Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube Endothelial Cell adhesion
Molecules in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever Vol 31, New Delhi:
WHO Press.
20. Gibson RV 2010, Dengue Conundrums Vol 36, Netherlands: International
Journal of Antimicrobial Agents.
21. Candra A 2010, Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan Vol. 2 No. 2 Tahun 2010, Semarang: Aspirator.
22. Soegijanto S 2003, Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue Untuk Menurunkan
Prevalensi di Masyarakat, Surabaya: FK UNAIR.
23. Novriani H 2002, Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah
Dengue dan Dengue Syndrome Pada Anak Vol 134, Jakarta: Cermin Dunia
Kedokteran.
24. Nisa WD, Notoatmojo H, Rohmani A 2013, Karakteristik Demam Berdarah
Dengue pada Anak di Rumah Sakit Roemani Semarang, Semarang: Penerbit
Universitas Muhammadiyah

45
25. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG, Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders, Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
26. World Health Organization 2009, Dengue, guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. New edition, 2009. World Health Organization
(WHO) and Special Program for Research and Training in Tropical
Diseases (TDR), France: WHO Press.
27. Barniol J, Gaczkowski R et.al 2011, Usefulness and applicability of the
revised dengue case classification by disease: multi-centre study in 18
countries, UK: BMC Infect Dis.
28. World Health Organization 2011, Comprehensive guidelines for prevention
and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and
expanded edition, New Delhi: WHO.
29. Gulati S, Maheswari A 2007, Atypical manifestations of dengue, UK: Trop
Med Int Health.
30. Hadinegoro, Rezeki S, Soegianto S, Soeroso T, Waryadi S 2001, Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Jakarta: Ditjen PPM&PL
Depkes&Kesos R.I.
31. World Health Organization 2009, Dengue guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. New Edition, Geneva: WHO Press.
32. Sumpelmann R, Witt L, Brutt M, et.al 2010, Changes in acid-base, electrolyte
and hemoglobin concentrations during infusion of hydroxyethyl starch
130/0.42/6 : 1 in normal saline or in balanced electrolyte solution in
children. Pediatric Anesthesia, New Jersey: Blackwell Publishing Ltd.

46

Anda mungkin juga menyukai