Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

HAEMOPTISIS ec TB PARU

Oleh:

dr. Riska oktarinda utami

Pembimbing:

dr. Ibrahim Muhammad

RUMAH SAKIT AR BUNDA


LUBUK LINGGAU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus yang berjudul
“HAEMOPTISIS ec TB PARU”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi kewajiban kepaniteraan dokter
internship. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Ibrahim Muhammad atas bimbingan dan segala masukan sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan sebaik–baiknya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan tulisan ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, penulis berharap semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya, serta bagi semua pihak yang membutuhkan.

Lubuk Linggau, mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i

KATA PENGANTAR................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

BAB II STATUS PASIEN......................................................................................2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................7

BAB IV ANALISIS KASUS....................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit ini hampir selalu fatal tanpa pengobatan, data terbaru di Indonesia tahun
2001 di kemukakan oleh Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan penyehatan
lingkungan Dep Kes RI, Prof.Dr Umar Fahcri Ahmadi, MPH kasus terbaru penderita TBC
di Indonesia sekitar 583.000 kasus per tahun. Secara nasional TBC membunuh kira-kira
140.000 orang per tahun atau setiap hari 43 orang meninggal karena penyakit TBC ini.

Insidensi Tuberculosis dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini
di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada
negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah.
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau angka
kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi
yang cukup lama

Jika tidak ditangani secara tepat, mortalitas penyakit ini mendekati 100%, tetapi
dengan pengobatan yang dini dan adekuat mortalitas dapat di tekan, Karena itu
penanggulangan TBC tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan saja namun juga
mencakup masalah sosial, ekonomi, sikap dan prilaku penderita perlu mendapat perhatian.
Karena itu sangat penting untuk mengenal, mendiagnosa, secara dini dan melakukan
pengobatan yang adekuat terhadap penderita TBC. Dan di harapkan kepada tenaga medis
agar angka-angka tersebut dapat di tekan.

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien

Nama : TN.Nawawi

Umur : 59 th

Alamat : Ds.III Aringin

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam
Masuk Rumah Sakit : 25 mei 2022
2.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Batuk berdarah sejak 2 minggu SMRS.

Keluhan Tambahan :

Batuk berdahak, pilek, demam, sesak napas, pusing, mual, keringat malam, mudah
lelah, berat badan menurun.

A. Riwayat penyakit sekarang :


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki 59 tahun datang ke IGD RS ARbunda lubuk linggau
dengan keluhan batuk berdarah sejak 2 minggu yang lalu. 2 bulan SMRS pasien
mengeluh batuk berdahak dengan dahak berwarna kehijauan. Pasien juga merasa
sering merasa lelah, keringat malam, demam yang naik turun sehingga pasien
merasakan seperti meriang, nafsu makan menurun, dan berat badan menurun. 2
minggu SMRS pasien mengeluh batuk berdarah. Batuk berdahak sepanjang hari,
tetapi batuk berdarah hanya 1 kali dalam 1 hari. Darah berwarna merah segar
pada awalnya, dan berwarna merah kehitaman diakhir batuk. Darah sebanyak
sekitar setengah gelas. Darah tidak bercampur dengan makanan. Batuk berdarah
didahului dengan batuk dan tidak diikuti dengan perasaan mual. Apabila pasien

2
batuk berdarah, maka pasien akan merasakan sesak napas. Batuk berdarah
berhenti dan sesak napas pasien membaik.
Pasien sudah berobat ke RS lain selama 1 kali, didiagnosa tuberkulosis dan tidak
diberikan obat sama sekali . 4 jam SMRS pasien batuk berdarah kembali
sebanyak 2 kali dengan darah berwarna merah segar di awal batuk dan
kehitaman diakhir batuk. Darah sebanyak sekitar setengah gelas. Sehingga
membuat pasien khawatir dan pergi ke IGD. Pasien merasakn mual tetapi tidak
muntah. Pasien juga merasakan mudah merasa lelah. BAK pasien normal tetapi
BAB pasien berwarna kehitaman sejak 4 minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien belum pernah mengalamai gejala seperti yang dikeluhkan sekarang.


 Tidak ada riwayat hipertensi.
 Tidak ada riwayat penyakit jantung.
 Tidak ada riwayat Diabetes Mellitus.

Riwayat Penyakit Keluarga

 Anak pasien mengeluhkan gejala sama seperti yang dikeluhkan pasien. Telah
berobat ke dokter dan didiagnosis sebagai flek paru dan sedang menjalani terapi.
 Tidak ada riwayat hipertensi didalam keluarga.
 Tidak ada riwayat penyakit jantung.
 Tidak ada riwayat Diabetes Mellitus didalam keluarga.

Riwayat Pengobatan
Pasien hanya meminum obat batuk biasa yang dibelinya di warung.

Riwayat Alergi

 Tidak ada riwayat alergi obat-obatan.


 Tidak ada riwayat alergi makanan , dll

Riwayat Psikososial
Pasien merokok sekitar 10 batang setiap hari selama 10 tahun. Tidak minum-
minuman beralkohol, jarang berolahraga, makan teratur, pasien bekerja sebagai ekspedisi.

3
2.3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang.


Kesadaran : Composmentis
Status Gizi
Berat badan sebelum sakit : 45 kg
Berat badan sesudah sakit : 42 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 17,48 (underweight)
Tanda vital
Suhu : 36,20 C
Nadi : 80 kali per menit
Pernafasan : 20 kali per menit
Tekanan Darah : 110/70 mmHg

STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah rontok, distribusi merata
Mata :

 Pupil : Isokhor
 Refleks cahaya : +/+
 Konjungtiva : Anemis +/+
 Sklera : Ikterik -/-

Hidung :

 Septum deviasi :-
 Sekret : -/-
 Hiperemis : -/-

Telinga :

 Bentuk telinga normal kanan dan kiri


 Membran timpani intak kanan dan kiri

4
 Mukosa : tidak hiperemis kanan dan kiri
 Serumen : -/-
 Sekret : -/-

Mulut :

 Mukosa bibir kering


 Karies pada gigi
 Faring tidak hiperemis

Leher :

 Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening


 Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid

Torax
Paru
Inspeksi :

 Normochest
 Bentuk dada simetris
 Tidak ada retraksi dinding dada

Palpasi :

 Tidak ada nyeri tekan


 Vokal fremitus +/+

Perkusi :

 Sonor diseluruh lapang paru


 Batas paru hepar : linea midclavicularis ICS 5

Auskultasi :

 Vesikular dikedua lapang paru

5
 Ronkhi +/-
 Wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tampak di ICS 5 mid clavicula sinistra
Palpasi : IKtus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra ICS 5
Perkusi : Batas jantung kanan linea sternalis dekstra ICS 4,
batas jantung kiri dilinea midclavicularis sinistra ICS 5
Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, murmur -, gallop –

Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, tidak ada venektasi, tidak ada skar.
Auskultasi : Bising usus 4 kali per menit
Perkusi : Shifting dullness (-)
Asites : Negatif
Palpasi :

 Hepatomegali (-)
 Spleenomegali (-)
 Nyeri epigastrium (+)

Ekstremitas Atas : Ekstremitas atas hangat, edema -/-


Ekstremitas Bawah : Akral hangat, edema -/-

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan
Pemerksaan Lab DarahHASIL NILAI RUJUKAN
22/01/2022
Hb 12,3 gr/dl 13,5-17,5
Ht 39 % 40-52%
Eritrosit 4,0 4-5.9
Leukosit 8000/mm3 4400-11300
Trombosit 180000U/L 150000-450000
MCV 90 74-108
MCH 30 27-32
6 MCHC 34 32-36
CRP <5 <5 MG/l
BSE 93 74-139 mg/dL
B.Pemeriksaan BTA

C.Pemeriksaan Ro Thorax

7
Pemeriksaan foto thorax :
 CTR normal

 Kavitas pada apex kanan

 Corakan ekstrisif apex kiri

Kesan : susp.Tuberkulosis paru

B. Pemeriksaan EKG

Kesan : Normal EKG

2.5 DIAGNOSIS : Haemoptosis ec TB paru

2.6 Penatalaksanaan :
A. Tatalaksana awal yang dilakukan saat pasien tiba di IGD adalah :

8
 O2 10 LPM NRM
 IVFD NaCL 0,9% gtt 20x/m
 Inj. Omeprazole 1 amp
 Inj. Asamtraneksamat 1 amp
 Cek Laboratorium
 Ro Thorax
 ekg
 Konsul dr. Sp.P
B. Terapi di ruangan :
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
 Inj. Panloc 1x40 mg
 Inj. Solvinex 2x1 amp
 Sucralfat 4x2 C PO
 Sanmol 3x500 mg
 Lesichol 1x1
 Edukasi tirah baring
 Cek TCM, BTA

2.7 PROGNOSIS
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : bonam
 Quo ad sanationam : bonam

9
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN
HEMOPTISIS
Definisi
Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah, atau
sputum yang berdarah. Sputum mungkin bercampur dengan darah. Mungkin juga
seluruh cairan yang dikeluarkan paru-paru berupa darah. Setiap proses yang
mengakibatkan terganggunya kontinuitas aliran pembuluh darah paru-paru dapat
mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius. Mungkin
ini merupakan manifestasi yang paling dini dari tuberkulosis aktif. Sebab-sebab lain
dari hemoptisis adalah karsinoma bronkogenik, infarksi, dan abses paru-paru.
Hemoptisis harus dibedakan dengan hematemesis. Hematemesis disebabkan
oleh lesi pada saluran cerna, sedangkan hemoptisis disebabkan oleh lesi pada paru atau
bronkus/bronkiolus.

Klasifikasi
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam

Yang sering terjadi darah bercampur dengan sutum. Umumnya pada bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam

Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya pada
kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam

Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.


4. Pseudohemoptisis

Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring)
atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan
(factitious).

10
Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis
Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah
(hemoptoe) bila dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada batuk
darah (hemoptoe) akan didapatkan tanda-tanda sebagai berikut :
Tanda-tanda batuk darah:
1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan.
2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam
saluran napas.
3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan.
4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari
kemudian warna menjadi lebih tua atau kehitaman.
5. pH alkalis.
6. Bisa berlangsung beberapa hari
7. Penyebabnya : kelainan paru

Tanda-tanda muntah darah :


1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah.
2. Suara napas tidak ada gangguan.
3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium.
4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa
makanan.
5. pH asam.
6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe.
7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis.

Differentiating Features of Hemoptysis and Hematemesis


Hemoptysis Hematemesis
History

Absence of nausea and vomiting Presence of nausea and vomiting

Lung disease Gastric or hepatic disease

Asphyxia possible Asphyxia unusual

11
Hemoptysis Hematemesis
Sputum examination

Frothy Rarely frothy

Liquid or clotted appearance Coffee ground appearance

Bright red or pink Brown to black

Laboratory

Alkaline pH Acidic pH

Mixed with macrophages and Mixed with food particles


neutrophils

Diagnostic Clues in Hemoptysis: Physical History


Clinical clues Suggested diagnosis*
Anticoagulant use Medication effect, coagulation disorder

Association with menses Catamenial hemoptysis

Dyspnea on exertion, fatigue, orthopnea, Congestive heart failure, left ventricular


paroxysmal nocturnal dyspnea, frothy pink dysfunction, mitral valve stenosis
sputum

Fever, productive cough Upper respiratory infection, acute sinusitis, acute


bronchitis, pneumonia, lung abscess

History of breast, colon, or renal cancers Endobronchial metastatic disease of lungs

History of chronic lung disease, recurrent Bronchiectasis, lung abscess


lower respiratory track infection, cough with
copious purulent sputum

HIV, immunosuppression Neoplasia, tuberculosis, Kaposi’s sarcoma

Nausea, vomiting, melena, alcoholism, Gastritis, gastric or peptic ulcer, esophageal


chronic use of nonsteroidal anti- varices
inflammatory drugs

Pleuritic chest pain, calf tenderness Pulmonary embolism or infarction

Tobacco use Acute bronchitis, chronic bronchitis, lung cancer,


pneumonia

Travel history Tuberculosis, parasites (e.g., paragonimiasis,


schistosomiasis, amebiasis, leptospirosis),
biologic agents (e.g., plague, tularemia, T2
mycotoxin)

Weight loss Emphysema, lung cancer, tuberculosis,

12
Clinical clues Suggested diagnosis*
bronchiectasis, lung abscess, HIV

Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : 


1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena
jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah :


1. Tumor :
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
2. Infeksi
a. Aspergilloma.
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).
c. Tuberkulosis paru.
3. Infark Paru
4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus
b. Goodpasture’s syndrome.
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.
d. Bechet’s syndrome.
6. Cedera pada dada/trauma
a. Kontusio pulmonal.
b. Transbronkial biopsi.
c. Transtorakal biopsi memakai jarum.
7. Kelainan pembuluh darah

13
a. Malformasi arteriovena.
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.
8. Bleeding diathesis.

Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3


kelompok yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular. Infeksi merupakan
penyebab yang sering didapatkan antara lain : tuberkulosis, bronkiektasis dan abses
paru. Pada dewasa muda, tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis
merupakan penyebab yang sering didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus
merupakan penyebab yang sering didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis. 

Patofisiologi Hemoptisis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari
cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada
jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya
untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis
yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya
perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi
beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus
yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari
perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah
menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk
menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada
pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti
pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler

14
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti padaGoodpasture’s
syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan
aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang
pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran
pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya
anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah
pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas

7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi
ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.

Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas
penegakan diagnosis. Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita,
berumur sekitar 30 tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga
prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan
a. Pada prinsipnya berasal dari :
b. Saluran napas
i. Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru,
pneumonia dan abses paru.

15
ii. Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh
tuberkulosis paru, karsinoma paru dan bronkiektasis.
iii. Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis),
silikosis, penyakit oleh karena cacing.
c. Sistem kardiovaskuler
i. Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.
ii. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma
aorta.
d. Lain-lain
i. Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti
hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus
lupus sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan obat-
obat antikoagulan
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas :
1. Hemoptisis massif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
 Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
 Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam,
akan tetapi Hb kurang dari 10 g%.
 Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g
%, tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti. 
 Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada
hemoptoe selain terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi
dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan
gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.
 Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga
mempunyai kelemahan oleh karena :
o Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum
dan kadang-kadang dengan cairan lambung, sehinga sukar
untuk menentukan jumlah darah yang hilang sesungguhnya.
o Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama
dengan tinja, sehingga tidak ikut terhitung

16
o Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.

Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh :
 Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik
(hypovolemik shock).
 Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai
dengan adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan
mekanik pada jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini
dilakukan pemantauan terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-fungsi
vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua
bentuk, yaitu bentuk akut berupa asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa
renjatan hipovolemik.

Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:


 Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
 Lamanya perdarahan.
 Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
 Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.

Klasifikasi menurut Pusel  :


+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang,
positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan
dari muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah

17
dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis darah berwarna
kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan
kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang
memancar dari hidung. 
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan
urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang
sehingga penanganannya dapat disesuaikan.
1) Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk
mendapatkan data-data :
- Jumlah dan warna darah
- Lamanya perdarahan
- Batuknya produktif atau tidak
- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
- Sakit dada, substernal atau pleuritik
- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan
batuk
- Wheezing
- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. 
- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
- Perokok berat dan telah berlangsung lama
- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
- Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat
digunakan petunjuk sebagai berikut  :
Keadaan Hemoptoe Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach distress
tenggorokan, ingin batuk
2. Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan
disertai batuk dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan

18
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
Dahulu kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
Guaiac test (-) hitam, Guaiac test (-)

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat
mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik
dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis,
teleangiektasi.

3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap
penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat
perdarahannya.

4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan
demikian sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang – ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik 
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang
tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial,
mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan
batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan
disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan
bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang

19
mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop
serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat
bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta
mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan
balon khusus di tempat terjadinya perdarahan. 

Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan
biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner
dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab
utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. 
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran
napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe
paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam
jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam
jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik. 
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
- Terapi konservatif 
- Terapi definitif atau pembedahan. 

1. Terapi konservatif
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus).  Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah
aspirasi darah ke paru yang sehat.
 Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
 Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran
saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.

20
 Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
 Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
 Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang
terjadi.
 Pemberian oksigen

Tindakan selanjutnya bila mungkin :


 Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
 Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan
bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi pembedahan
 Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
 Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian
pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptoe yang berulang dapat dicegah.

Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut :


1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi
lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan
batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dantetapi
lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama
pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah
tersebut tidak berhenti.

21
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan
asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi
dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang
mungkin digunakan adalah :
- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat
lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan
NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik.
Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5
mm.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu ditentukan
oleh tiga faktor :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran
pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan
renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam
jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.
Prognosis
Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptoe
yang rekuren.
Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :
1) Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2) Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3) Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)

22
TB PARU

DEFINISI
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk kedalam
tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam paru. Kemudian kuman tersebut
menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem
saluran limfe, melalui saluran napas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-
bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru
maupun di luar paru.

ETIOLOGI

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini


berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan
(Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh,
kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari
penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang
kontak erat.

PATOFISIOLOGI
Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi
melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-
kuman basil tuberkel, kuman ini tidak menghasilkan toksin yang di kenal. Dalam
tetesan droplet yang terhirup dan mencapai alveoli. Penyakit timbul akibat menetapnya
dan berproliferasinya kuman tersebut dan adanya interaksi dari tuan rumah, misalnya
basil tidak virulen yang di suntikan contoh BCG hanya dapat hidup selama beberapa
bulan atau tahun pada tuan rumah normal. Resistensi dan hipersensitivitas tuan rumah

23
sangat mempengaruhi perkembangan penyakit.

Penyakit ini dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel, sel efektornya adalah
makrofag, sedangkan limfosit biasanya sel T adalah sel imunoresponsinya. Tipe
imuniitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang di aktifkan ditempat
infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas
atau reaksi lambat.

Pembentukan dan perkembangan lesi-lesi dan penyembuhannya atau progresifnya


terutama ditentukan oleh:
1. Jumlah kuman yang masuk dan perkembangbiakan selanjutnya.

2. Resistensi dan hipersensivitas dari hospes.

Saat masuk ke tubuh manusia kuman mycobacterium tuberculosis akan membentuk


dua tipe lesi utama:
1. Tipe eksudatif, ini terdiri dari reaksi peradangan akut, lekosit polimorfonuklir
dan kemudian, monosit sekitar basil tuberkel. Tipe ini terlihat pada jaringan
paru-paru, dimana lesi ini mirip dengan pnemonia bakterie, tipe ini dapat
sembuh dengan resolusi sehingga seluruh eksudat di absorpsi sehingga
mengakibatkan nekrosis massif dari jaringan atau dapat berkembang menjadi
tipe produktif, selama fase ini tes tuberculin positif.

2. Tipe produktif, bila berkembang maksimal lesi ini akan menjadi suatu
granuloma menahun yang terdiri dari 3 daerah:

 Daerah sentral yang luas, yang mempunyai sel sel inti banyak yang
mengandung basil tuberkel.

 Daerah tengah terdiri dari sel-sel epiteloid pucat.

 Derah perifer yang terdiri dari fibroblas, limfosit dan monosit kemudian
terbentuk jaringan fibrosa perifer dan daerah sentral mengalami nekrosis
dan membentuk kaverne, selanjutnya lesi ini sembuh dengan fibrosis atau
kalsifikasi.

Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional,
basil dapat menyebar lebih lanjut dan mencapai aliran darah yang selanjutnya menyebar

24
ke seluruh organ, tetapi kuman ini mutlak hidup ditempat yang memiliki kandungan
oksigen yang tinggi oleh karena itu lokasi utama penyakit ini adalah di paru.

Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang di kelilingi oleh limfosit, reaksi ini
membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan
gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi seperti ini disebut dengan nekrosis
kaseosa.

Lesi primer paru–paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar
getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Ini dapat dilihat pada
orang sehat yang selalu menjalani pemeriksaan radiologi.
Cara penularan kuman mycobacterium tuberculosis:
1. Kuman dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita TB menjadi droplet nuclei
(partikel kecil yang merupakan gabungan antara sel tubuh dan sel yang sudah
terinfeksi. Setiap kali penderita TB batuk akan dikeluarkan 3000 droplet yang
infektif (memiliki kemampuan menginfeksi), partikel infeksi ini dapat hidup pada
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi
yang baik dan kelembaban. Dalam suasana lembab kuman dapat hidup berhari-
hari.

2. Kuman yang terhirup dapat menghindari pertahanan mekanik saluran napas bagian
atas dan akan menuju alveoli dimana infeksi awal terjadi, kuman ini akan
membentuk sarang primer dan di ikuti pembesaran kelenjar getah bening yang
disebut komplek primer.

3. Komplek primer selanjutnya mengalami perjalanan penyakit tergantung virulensi,


jumlah kuman, dan ketahanan tubuh penderita. Ini dapat sembuh sama sekali tanpa
cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit jaringan paru atau berkomplikasi dan
menyebar baik secara hematogen atau limfatogen.

Tidak semua orang yang menghirup kuman TBC akan tertular penyakit tersebut.
Pada orang yang sehat, biasanya kuman tersebut menjadi tidak aktif dan orang itu tetap
sehat tetapi kuman tersebut akan jadi aktif bila:

 Kekurangan gizi

25
 Kondisi fisik yang lemah

 Terkena penyakit tertentu sepeti HIVdan Diabetes melitus

 Pecandu obat-obat terlarang

 Menggunakan hormon steroid

 Perokok berat

Kuman-kuman akan mulai berkembang-biak dan menimbulkan penyakit TBC.


Timbulnya penyakit bisa langsung terjadi setelah terinfeksi atau butuh waktu tahunan
untuk berkembang.

Gambar1. Penyebaran bakteri tuberkulosis

26
Gambar2. Mycobacterium tuberculosis

MANIFESTASI KLINIS
Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk
berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas,
nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas
penderita bahkan kematian.
Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan:
1. Gejala Respiratorik
 Batuk lebih dari 3 minggu
 Dahak (sputum)
 Batuk darah
 Sesak nafas
 Nyeri dada
 Wheezing

2. Gejala Sistemik
 Demam dan menggigil
 Penurunan berat badan
 Rasa lelah dan lemah (Malaise)
 Berkeringat banyak terutama di malam hari
 Tidak ada nafsu makan (Anoreksia)
 Sakit-sakit pada otot (Mialgia)

KLASIFIKASI TUBERKULOSIS PARU


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi
kasus” yang meliputi empat hal, yaitu :

27
1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru

2) Bakteriologi ; hasil pemeriksaan mikroskopis : BTA positif dan BTA negatif

3) Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat

4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah


1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan
untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
2. Mencegah timbulnya resistensi,
3. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
4. Meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-
effective)
5. Mengurangi efek samping.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

28
1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain.

b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum


a. Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah :
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
ii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan ganbaran
tuberculosis aktif
iii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif
ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan Myccobacterium tuberculosis positif

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

29
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif atau BTA negatif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara
patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

TB paru juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


1) TB Paru BTA (+) yaitu:

 Dengan atau tanpa gejala.

 Gambaran radiology sesuai dengan TB paru.

2) TB paru BTA (-)

30
 Gejala klinik dan gambaran radiologi sesuai dengan TB paru.

 BTA (-).

3) Bekas TB paru

 BTA (-).

 Gejala klinik tidak ada, ada gejala sisa akibat kelainan paru yang di
tinggalkan.

 Radiolgi menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, terlebih gambaran


serial menunjukan foto yang sama

 Riwayat pengobatan TB (+)

Sedangkan WHO membagi penderita TB atas 4 kategori:


1. Kategori I: kasus baru dengan dahak (+) dan penderita dengan keadaan berat
seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, spondilitis
dengan gangguan neurologik dan lain-lain.

2. Kategori II: kasus kambuh atau gagal dengan dahak yang tetap (+).

3. Kategori III: kasus dengan dahak (-), tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus
TB diluar paru selain kategori I.

4. Kategori IV: tuberkulosis kronik.

KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit tuberculosis didasarkan pada:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda:
a. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronkhi basah).
b. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.
c. Secret di saluran nafas dan ronkhi.
d. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung
dengan bronchus.

31
2. Laboratorium
a. Kultur sputum.
b. Mantoux Test/Tuberkulin Test.
c. Biopsi jarum pada jaringan paru.

3. Radiologis
Foto Thoraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang
diagnosis TB yaitu:
a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical lobus
bawah.
b. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular).
c. Adanya kavitas, tunggal, atau ganda.
d. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
e. Adanya kalsifikasi.
f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
g. Bayangan milier.

Gambar3: Uji Tuberkulin

32
PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.

Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

33
• Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
• Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
• Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
• Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
• Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

 Kategori Anak: 2HRZ/4HR


Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori
anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

34
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT dan peruntukannya.


a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
• Pasien kambuh

35
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

c. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).

36
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)
dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien, baru tanpa indikasi
yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama.
Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis
kedua.

Pemantauan Hasil Kemajuan Pengobatan TB


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau
kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2
spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

37
38
b. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang
dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya

Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

39
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.

Default (Putus berobat)


Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.

Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

b. Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu
menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian
OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada
bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui.

40
Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan
berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang
mengandung estrogen dosis tinggi (50 mg).

d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah
sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya
dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV
adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai
berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan
Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan
Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara
terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur.
Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT
(Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).

e. Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana
pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)
maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin
(R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak
diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya
kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan
ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT

41
yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

g. Pasien TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu
dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat
diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan
ginjal.Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal
ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap paling aman untuk pasien dengan
gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat
oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan.
Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB,
dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi
komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.

i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien
seperti:
• Meningitis TB
• TB milier dengan atau tanpa meningitis
• TB dengan Pleuritis eksudativa
• TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan
kemajuan pengobatan.

j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1) Untuk TB paru:

42
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
• Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.

2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai
kelainan neurologik.

EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA


Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan
gejala.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit:


Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan

43
dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT
dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun
pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit.
Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit
tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk

• Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut: Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum
diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging”
dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau
karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu
kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila
dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat
diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut
dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini
akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling
ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan
jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid
atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi.
Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab
mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.

PROGNOSIS

1. Jika berobat teratur sembuh total (95%).


2. Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 % yang mungkin relaps.

44
KOMPLIKASI
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya
jalan napas.
2. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus
akibat retraksi bronchial.
3. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada
paru
4. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan
ginjal.

45
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien laki-laki 59 tahun datang ke IGD RS ARbunda lubuk


linggau dengan keluhan batuk berdarah sejak 2 minggu yang lalu. 2 bulan
SMRS pasien mengeluh batuk berdahak dengan dahak berwarna kehijauan.
Pasien juga merasa sering merasa lelah, keringat malam, demam yang naik
turun sehingga pasien merasakan seperti meriang, nafsu makan menurun,
dan berat badan menurun. 2 minggu SMRS pasien mengeluh batuk
berdarah. Batuk berdahak sepanjang hari, tetapi batuk berdarah hanya 1 kali
dalam 1 hari. Darah berwarna merah segar pada awalnya, dan berwarna
merah kehitaman diakhir batuk. Darah sebanyak sekitar setengah gelas.
Darah tidak bercampur dengan makanan. Batuk berdarah didahului dengan
batuk dan tidak diikuti dengan perasaan mual. Apabila pasien batuk
berdarah, maka pasien akan merasakan sesak napas. Batuk berdarah
berhenti dan sesak napas pasien membaik.
Pasien sudah berobat ke RS lain selama 1 kali, didiagnosa tuberkulosis dan
tidak diberikan obat sama sekali . 4 jam SMRS pasien batuk berdarah
kembali sebanyak 2 kali dengan darah berwarna merah segar di awal batuk
dan kehitaman diakhir batuk. Darah sebanyak sekitar setengah gelas.
Sehingga membuat pasien khawatir dan pergi ke IGD. Pasien merasakn
mual tetapi tidak muntah. Pasien juga merasakan mudah merasa lelah. BAK
pasien normal tetapi BAB pasien berwarna kehitaman sejak 4 minggu
SMRS.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

 Underwight ( IMT 17.48)

 Ronkhi +/-

 Nyeri tekan epigastrium +

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :

 Hb 12.3g/dl (menurun)

 Ht 37 /(Menurun)

46
Pada pemeriksaan foto thorax menunjukan : Kesan TB Paru

Berdasarkan kriteria tersebut maka pasien ini dapat didiagnosis dengan TB paru karena
terdapat keluhan sesak yang diawali batuk dan demam, tanpa ada mengi, dan dari hasil
lab darah serta radiology juga tampak kelainan yang memperkuat diagnosis pasien

DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. Diagnostic Standard and Classification of Tuberculosis in


Adults and Children. 2000. USA.
Bahar, A. Tuberkulosis Paru dalam Soeparman, WS. Ilmu Penyakit Dalam, jilid II,
Balai Penerbit FKUI, 2003: Jakarta.
Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, 2007: Jakarta.
E, Jewetz, Mikrobiology Untuk Profesi Kesehatan edisi 16, Fransisico (terjemahan),
EGC, 2004: Jakarta.
Wilson, Price, Patofisiologi,Konsep-konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ed,4. EGC,
2004: Jakarta.
World Health Organization. Treatment of Tuberculosis Guideline. 2010 : Geneva,
Switzerland
World Health Organization. Global Tuberculosis Control. 2011 : Geneva, Switzerland

47

Anda mungkin juga menyukai