Di Susun Oleh :
Amanda Anandita
2007730009
Pembimbing :
dr. M. Fachri, Sp.P
PENDAHULUAN
Penyakit ini hampir selalu fatal tanpa pengobatan, data terbaru di Indonesia tahun
2001 di kemukakan oleh Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan penyehatan lingkungan
Dep Kes RI, Prof.Dr Umar Fahcri Ahmadi, MPH kasus terbaru penderita TBC di Indonesia
sekitar 583.000 kasus per tahun. Secara nasional TBC membunuh kira-kira 140.000 orang per
tahun atau setiap hari 43 orang meninggal karena penyakit TBC ini.
Insidensi Tuberculosis dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini
di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara
berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Tuberculosis
merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau angka kematian
(mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup
lama
Jika tidak ditangani secara tepat, mortalitas penyakit ini mendekati 100%, tetapi
dengan pengobatan yang dini dan adekuat mortalitas dapat di tekan, Karena itu
penanggulangan TBC tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan saja namun juga
mencakup masalah sosial, ekonomi, sikap dan prilaku penderita perlu mendapat perhatian.
Karena itu sangat penting untuk mengenal, mendiagnosa, secara dini dan melakukan
pengobatan yang adekuat terhadap penderita TBC. Dan di harapkan kepada tenaga medis
agar angka-angka tersebut dapat di tekan.
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. Q
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Ekspedisi
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
Batuk berdahak, pilek, demam, sesak napas, pusing, mual, keringat malam, mudah
lelah, berat badan menurun.
Pasien laki-laki 35 tahun datang ke IGD RSIJ Sukapura dengan keluhan batuk
berdarah sejak 2 minggu yang lalu. 2 bulan SMRS pasien mengeluh batuk berdahak dengan
dahak berwarna kehijauan. Pasien juga merasa sering merasa lelah, keringat malam, demam
yang naik turun sehingga pasien merasakan seperti meriang, nafsu makan menurun, dan berat
badan menurun. 2 minggu SMRS pasien mengeluh batuk berdarah. Batuk berdahak
sepanjang hari, tetapi batuk berdarah hanya 1 kali dalam 1 hari. Darah berwarna merah segar
pada awalnya, dan berwarna merah kehitaman diakhir batuk. Darah sebanyak sekitar
setengah gelas. Darah tidak bercampur dengan makanan. Batuk berdarah didahului dengan
batuk dan tidak diikuti dengan perasaan mual. Apabila pasien batuk berdarah, maka pasien
akan merasakan sesak napas. Batuk berdarah berhenti dan sesak napas pasien membaik.
Anak pasien mengeluhkan gejala sama seperti yang dikeluhkan pasien. Telah berobat
ke dokter dan didiagnosis sebagai flek paru dan sedang menjalani terapi.
Tidak ada riwayat hipertensi didalam keluarga.
Tidak ada riwayat penyakit jantung.
Tidak ada riwayat Diabetes Mellitus didalam keluarga.
Riwayat Pengobatan
Pasien minum OAT selama 10 hari SMRS. Tetapi pasien tidak merasakan keluhan
membaik.
Riwayat Alergi
Riwayat Psikososial
Pasien merokok sekitar 10 batang setiap hari selama 10 tahun. Tidak minum-
minuman beralkohol, jarang berolahraga, makan teratur, pasien bekerja sebagai ekspedisi.
Kesadaran : Composmentis
Status Gizi
Tanda vital
Suhu : 36,20 C
STATUS GENERALIS
Mata :
Pupil : Isokhor
Refleks cahaya : +/+
Konjungtiva : Anemis +/+
Sklera : Ikterik -/-
Hidung :
Septum deviasi :-
Sekret : -/-
Hiperemis : -/-
Mulut :
Leher :
Torax
Paru
Inspeksi :
Normochest
Bentuk dada simetris
Tidak ada retraksi dinding dada
Palpasi :
Auskultasi :
Jantung
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, tidak ada venektasi, tidak ada skar.
Asites : Negatif
Palpasi :
Hepatomegali (-)
Spleenomegali (-)
Nyeri epigastrium (+)
Pemeriksaan Laboratorium
17 Febuari 2012
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Kimia
Gula Darah Sewaktu 110 mg/dl < 120
Enzim
SGOT 12 U/L 0 – 37
SGPT 19 U/L 0 – 40
Faal Ginjal
Ureum 15 mg/dl 20 – 40
Kreatinin 0.8 mg/dl 0.3 – 0.6
Elektrolit
Natrium 125 mEq/L 134 – 146
Kalium 4.2 mEq/L 3.4 – 4.5
Chlorida 98 mEq/L 96 – 108
Hematologi
Laju Endap Darah 36 mm/jam L : 0 – 15
P : 0 – 20
Hb 7.10 g/dl L : 13.8 – 17.0
P : 11.3 – 15.5
Leukosit 20.400 /mm3 L : 4.5 – 10.8
P : 4.3 – 10.4
Leukosit Differensial
Basofil 0 % 0 – 0.3 %
Eosinofil 1 % 2–4%
Batang 4 % 1–5%
N. Segmen 76 % 51 – 67 %
Limfosit 16 % 20 – 30 %
Monosit 3 % 2–6%
Hematokrit 21.0 % L : 40.0 – 50.0
P : 38.0 – 47.0
Trombosit 456 ribu/mm3 L : 185 – 482
P : 132 – 440
18 Febuari 2012
BTA Ddirect -
Negatif BTA I
Faal hati
Bilirubin total 0.8 mg/dl 1 – 12
Albumin 3.8 g/dl 3.2 – 4.5
Globulin 2.2
8|Laporan Kasus TB Paru
Immunoserologi
HbSAg -
IU/L
Hematologi
DPL
Hb 10.6 g/dl L : 13.8 – 17.0
P : 11.3 – 15.5
Hematokrit 31.8 % L : 40.0 – 50.0
P : 38.0 – 47.0
Leukosit 8.000 /mm3 L : 4.5 – 10.8
P : 4.3 – 10.4
Trombosit 381 ribu/mm3 L : 185 – 402
P : 132 – 440
Faeces
Faeces lengkap/rutin
Konsistensi Lunak
Darah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Kista Negatif Negatif
Telur cacing Negatif Negatif
Eritrosit Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Darah samat +1 Negatif
19 Febuari 2012
BTA direct -
BTA II
21 Febuari 2012
BTA direct -
BTA III
Pembekuan
Masa perdarahan 2’00” Menit 1 -3
Masa pembekuan 3’00” Menit 2–6
Elektrolit
Natrium 132 mEq/L 134 – 146
Kalium 3.3 mEq/L 3.4 – 4.5
Chlorida 108 mEq/L 96 – 108
Hematologi
Laju Endap Darah 28 mm/jam L : 0 – 15
P : 0 – 20
22 Febuari 2012
CTR normal
RESUME
10 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Ronkhi +/-
Leukosit 20.400 mm3 (meningkat), dengan neutrofil segmen meningkat dan limfosit
menurun
DAFTAR MASALAH
2. Hipokalemia
3. Anemia
4. Sindrom dispepsia
5. Melena
11 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
ASSESMENT
Berdasarkan anamnesis :
Batuk berdahak sejak 2 bulan SMRS dengan dahak kehijauan. 2 minggu SMRS batuk
berdarah, 1 kali dalam 1 hari, darah berwarna merah segar diawal dan merah kehitaman
diakhir batuk. Pasien merasakan sesak nafas setiap batuk berdarah dan membaik apabila
batuk berhenti. Demam naik turun, mudah merasa lelah, keringat malam, nafsu makan
menurun, berat badan menurun.
Pemeriksaan laboratorium :
Leukosit 20.400 mm3 (meningkat), dengan neutrofil segmen meningkat dan limfosit
menurun
Rencana terapi :
OAT KDT 3x 1
12 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Assesment Hipokalemia
Berdasarkan anamnesis :
Pemeriksaan laboratorium :
Rencana terapi :
Assesment Anemia
Berdasarkan anamnesis :
Pemeriksaan laboratorium :
Hb 7.10 g/dl
Rencana terapi :
Berdasarkan anamnesis :
Rencana terapi :
13 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Assesment Melena
Berdasarkan anamnesis :
Pemeriksaan laboratorium :
Rencana pemeriksaan penunjang : Endoskopi saluran cerna bawah, enzim penanda hati
Rencana terapi :
14 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
BAB III
PEMBAHASAN
HEMOPTISIS
Definisi
Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah, atau
sputum yang berdarah. Sputum mungkin bercampur dengan darah. Mungkin juga seluruh
cairan yang dikeluarkan paru-paru berupa darah. Setiap proses yang mengakibatkan
terganggunya kontinuitas aliran pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan perdarahan.
Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius. Mungkin ini merupakan manifestasi yang
paling dini dari tuberkulosis aktif. Sebab-sebab lain dari hemoptisis adalah karsinoma
bronkogenik, infarksi, dan abses paru-paru.
Klasifikasi
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sutum. Umumnya pada bronkitis.
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya pada
kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau
dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious).
Sputum examination
Laboratory
Alkaline pH Acidic pH
Dyspnea on exertion, fatigue, orthopnea, Congestive heart failure, left ventricular dysfunction,
paroxysmal nocturnal dyspnea, frothy pink mitral valve stenosis
sputum
Nausea, vomiting, melena, alcoholism, chronic Gastritis, gastric or peptic ulcer, esophageal varices
use of nonsteroidal anti-inflammatory drugs
17 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah :
1. Tumor :
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
2. Infeksi
a. Aspergilloma.
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).
c. Tuberkulosis paru.
3. Infark Paru
4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus
b. Goodpasture’s syndrome.
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.
d. Bechet’s syndrome.
6. Cedera pada dada/trauma
a. Kontusio pulmonal.
b. Transbronkial biopsi.
c. Transtorakal biopsi memakai jarum.
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena.
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.
8. Bleeding diathesis.
Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok
yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular. Infeksi merupakan penyebab yang sering
didapatkan antara lain : tuberkulosis, bronkiektasis dan abses paru. Pada dewasa muda,
tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis merupakan penyebab yang sering
didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan penyebab yang sering
didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis.
18 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Patofisiologi Hemoptisis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari
cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan
paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran
gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari
perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya
aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi
membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan
dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi
rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk
darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh
darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada
dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti padaGoodpasture’s
syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan
aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh
darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh
darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis
pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat
menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
19 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke
dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan
diagnosis. Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30
tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga prognosis baik. Teori
perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan
a. Pada prinsipnya berasal dari :
b. Saluran napas
i. Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia
dan abses paru.
ii. Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis
paru, karsinoma paru dan bronkiektasis.
iii. Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis,
penyakit oleh karena cacing.
c. Sistem kardiovaskuler
i. Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.
ii. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.
d. Lain-lain
i. Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti
hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus
20 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan obat-obat
antikoagulan
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas :
1. Hemoptisis massif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam, akan
tetapi Hb kurang dari 10 g%.
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%,
tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe
selain terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot
darah, sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran besarnya
perdarahan yang terjadi.
Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga
mempunyai kelemahan oleh karena :
o Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan
kadang-kadang dengan cairan lambung, sehinga sukar untuk
menentukan jumlah darah yang hilang sesungguhnya.
o Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan
tinja, sehingga tidak ikut terhitung
o Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh :
Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik
(hypovolemik shock).
Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai dengan
adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada
jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan
terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu
tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa
asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
21 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
Lamanya perdarahan.
Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif
empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.
Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan dari
muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak
dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis darah berwarna kecoklatan atau
kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan
terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung.
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-
urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga
penanganannya dapat disesuaikan.
1) Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk
mendapatkan data-data :
- Jumlah dan warna darah
- Lamanya perdarahan
- Batuknya produktif atau tidak
22 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
- Sakit dada, substernal atau pleuritik
- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk
- Wheezing
- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
- Perokok berat dan telah berlangsung lama
- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
- Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan
petunjuk sebagai berikut :
Keadaan Hemoptoe Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach distress
tenggorokan, ingin batuk
2. Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan
disertai batuk dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
Dahulu kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
Guaiac test (-) hitam, Guaiac test (-)
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat
mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik
dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis,
teleangiektasi.
23 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita
hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya.
4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian
sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang – ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis,
lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk
melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa
selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih
impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi
merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat
optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam
membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing,
disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat
terjadinya perdarahan.
Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya
berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
24 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan
mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama
kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas
yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan
menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks
batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan
renjatan hipovolemik.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
-
Terapi konservatif
-
Terapi definitif atau pembedahan.
1. Terapi konservatif
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah
aspirasi darah ke paru yang sehat.
Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran
napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya
vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
Pemberian oksigen
25 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada
perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan
operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe
yang berulang dapat dicegah.
26 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan
renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam
jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.
Prognosis
Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptoe yang
rekuren.
Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :
1) Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang
lebih baik.
2) Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3) Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)
27 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
TB PARU
DEFINISI
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia
melalui udara pernapasan kedalam paru. Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran
napas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi
pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI
Penyakit ini dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel, sel efektornya adalah
makrofag, sedangkan limfosit biasanya sel T adalah sel imunoresponsinya. Tipe imuniitas
seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang di aktifkan ditempat infeksi oleh
28 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
limfosit dan limfokinnya.Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas atau reaksi
lambat.
1. Tipe eksudatif, ini terdiri dari reaksi peradangan akut, lekosit polimorfonuklir dan
kemudian, monosit sekitar basil tuberkel. Tipe ini terlihat pada jaringan paru-paru,
dimana lesi ini mirip dengan pnemonia bakterie, tipe ini dapat sembuh dengan
resolusi sehingga seluruh eksudat di absorpsi sehingga mengakibatkan nekrosis massif
dari jaringan atau dapat berkembang menjadi tipe produktif, selama fase ini tes
tuberculin positif.
2. Tipe produktif, bila berkembang maksimal lesi ini akan menjadi suatu granuloma
menahun yang terdiri dari 3 daerah:
Daerah sentral yang luas, yang mempunyai sel sel inti banyak yang
mengandung basil tuberkel.
Derah perifer yang terdiri dari fibroblas, limfosit dan monosit kemudian
terbentuk jaringan fibrosa perifer dan daerah sentral mengalami nekrosis dan
membentuk kaverne, selanjutnya lesi ini sembuh dengan fibrosis atau kalsifikasi.
Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional,
basil dapat menyebar lebih lanjut dan mencapai aliran darah yang selanjutnya menyebar ke
seluruh organ, tetapi kuman ini mutlak hidup ditempat yang memiliki kandungan oksigen
yang tinggi oleh karena itu lokasi utama penyakit ini adalah di paru.
29 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang di kelilingi oleh limfosit, reaksi ini membutuhkan
waktu 10 sampai 20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif
padat dan seperti keju, lesi seperti ini disebut dengan nekrosis kaseosa.
Lesi primer paru–paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar
getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Ini dapat dilihat pada
orang sehat yang selalu menjalani pemeriksaan radiologi.
Tidak semua orang yang menghirup kuman TBC akan tertular penyakit tersebut. Pada
orang yang sehat, biasanya kuman tersebut menjadi tidak aktif dan orang itu tetap sehat tetapi
kuman tersebut akan jadi aktif bila:
Kekurangan gizi
30 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Pecandu obat-obat terlarang
Perokok berat
MANIFESTASI KLINIS
31 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk
berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri
dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita
bahkan kematian.
1. Gejala Respiratorik
Batuk lebih dari 3 minggu
Dahak (sputum)
Batuk darah
Sesak nafas
Nyeri dada
Wheezing
2. Gejala Sistemik
Demam dan menggigil
Penurunan berat badan
Rasa lelah dan lemah (Malaise)
Berkeringat banyak terutama di malam hari
Tidak ada nafsu makan (Anoreksia)
Sakit-sakit pada otot (Mialgia)
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi
kasus” yang meliputi empat hal, yaitu :
1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru
32 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan
untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
2. Mencegah timbulnya resistensi,
3. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
4. Meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
5. Mengurangi efek samping.
33 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum
a. Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah :
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
ii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan ganbaran tuberculosis
aktif
iii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif
ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
Myccobacterium tuberculosis positif
BTA (-).
3) Bekas TB paru
BTA (-).
Gejala klinik tidak ada, ada gejala sisa akibat kelainan paru yang di
tinggalkan.
35 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Radiolgi menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, terlebih gambaran serial
menunjukan foto yang sama
1. Kategori I: kasus baru dengan dahak (+) dan penderita dengan keadaan berat
seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, spondilitis
dengan gangguan neurologik dan lain-lain.
2. Kategori II: kasus kambuh atau gagal dengan dahak yang tetap (+).
3. Kategori III: kasus dengan dahak (-), tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus TB
diluar paru selain kategori I.
KRITERIA DIAGNOSIS
d. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan
bronchus.
2. Laboratorium
a. Kultur sputum.
b. Mantoux Test/Tuberkulin Test.
c. Biopsi jarum pada jaringan paru.
36 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
3. Radiologis
Foto Thoraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB
yaitu:
a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah.
e. Adanya kalsifikasi.
g. Bayangan milier.
37 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
38 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Tahap awal (intensif)
• Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
• Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
• Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
• Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
• Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
39 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
41 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien, baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu
dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
42 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
43 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
b. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak
(follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
44 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.
46 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
g. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan
dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan
dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.Streptomisin dan Etambutol
diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetap paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1) Untuk TB paru:
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
47 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
• Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
•
2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan
neurologik.
48 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut
hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk
• Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut: Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum
diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging”
dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana
yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian
diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses
rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti
hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan
lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain.
Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan
risiko terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh
sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek.
Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut
HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan
desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar
terjadi keracunan yang berat.
PROGNOSIS
KOMPLIKASI
49 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
50 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, A. Tuberkulosis Paru dalam Soeparman, WS. Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Balai
Penerbit FKUI, 2003: Jakarta.
E, Jewetz, Mikrobiology Untuk Profesi Kesehatan edisi 16, Fransisico (terjemahan), EGC,
2004: Jakarta.
51 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u