Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS

Hemoptisis e.c TB Paru

Di Susun Oleh :
Amanda Anandita
2007730009

Pembimbing :
dr. M. Fachri, Sp.P

STASE INTERNA RS ISLAM JAKARTA UTARA


FAKULTAS KEDOKTERAN dan KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2012

1|Laporan Kasus TB Paru


BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit ini hampir selalu fatal tanpa pengobatan, data terbaru di Indonesia tahun
2001 di kemukakan oleh Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan penyehatan lingkungan
Dep Kes RI, Prof.Dr Umar Fahcri Ahmadi, MPH kasus terbaru penderita TBC di Indonesia
sekitar 583.000 kasus per tahun. Secara nasional TBC membunuh kira-kira 140.000 orang per
tahun atau setiap hari 43 orang meninggal karena penyakit TBC ini.

Insidensi Tuberculosis dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini
di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara
berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Tuberculosis
merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau angka kematian
(mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup
lama

Jika tidak ditangani secara tepat, mortalitas penyakit ini mendekati 100%, tetapi
dengan pengobatan yang dini dan adekuat mortalitas dapat di tekan, Karena itu
penanggulangan TBC tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan saja namun juga
mencakup masalah sosial, ekonomi, sikap dan prilaku penderita perlu mendapat perhatian.
Karena itu sangat penting untuk mengenal, mendiagnosa, secara dini dan melakukan
pengobatan yang adekuat terhadap penderita TBC. Dan di harapkan kepada tenaga medis
agar angka-angka tersebut dapat di tekan.

2|Laporan Kasus TB Paru


BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. Q

TTL : Jakarta, 9 April 1976

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Johar Baru, Jakarta Pusat

Pekerjaan : Ekspedisi

Tanggal dan jam masuk RS : 16 Febuari 2012 pukul 21.42 WIB

Nomor rekam medik : 15 68 78

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Batuk berdarah sejak 2 minggu SMRS.

Keluhan Tambahan

Batuk berdahak, pilek, demam, sesak napas, pusing, mual, keringat malam, mudah
lelah, berat badan menurun.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien laki-laki 35 tahun datang ke IGD RSIJ Sukapura dengan keluhan batuk
berdarah sejak 2 minggu yang lalu. 2 bulan SMRS pasien mengeluh batuk berdahak dengan
dahak berwarna kehijauan. Pasien juga merasa sering merasa lelah, keringat malam, demam
yang naik turun sehingga pasien merasakan seperti meriang, nafsu makan menurun, dan berat
badan menurun. 2 minggu SMRS pasien mengeluh batuk berdarah. Batuk berdahak
sepanjang hari, tetapi batuk berdarah hanya 1 kali dalam 1 hari. Darah berwarna merah segar
pada awalnya, dan berwarna merah kehitaman diakhir batuk. Darah sebanyak sekitar
setengah gelas. Darah tidak bercampur dengan makanan. Batuk berdarah didahului dengan
batuk dan tidak diikuti dengan perasaan mual. Apabila pasien batuk berdarah, maka pasien
akan merasakan sesak napas. Batuk berdarah berhenti dan sesak napas pasien membaik.

3|Laporan Kasus TB Paru


Pasien sudah berobat ke RS selama 2 kali, didiagnosa tuberkulosis dan diberikan obat anti
tuberkulosis. 4 jam SMRS pasien batuk berdarah kembali sebanyak 2 kali dengan darah
berwarna merah segar di awal batuk dan kehitaman diakhir batuk. Darah sebanyak sekitar 1
gelas. Sehingga membuat pasien khawatir dan pergi ke IGD. Pasien merasakn mual tetapi
tidak muntah. Pasien juga merakan mudah merasa lelah. BAK pasien normal tetapi BAB
pasien berwarna kehitaman sejak 4 minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien belum pernah mengalamai gejala seperti yang dikeluhkan sekarang.


 Tidak ada riwayat hipertensi.

 Tidak ada riwayat penyakit jantung.

 Tidak ada riwayat Diabetes Mellitus.

Riwayat Penyakit Keluarga

 Anak pasien mengeluhkan gejala sama seperti yang dikeluhkan pasien. Telah berobat
ke dokter dan didiagnosis sebagai flek paru dan sedang menjalani terapi.
 Tidak ada riwayat hipertensi didalam keluarga.
 Tidak ada riwayat penyakit jantung.
 Tidak ada riwayat Diabetes Mellitus didalam keluarga.

Riwayat Pengobatan

Pasien minum OAT selama 10 hari SMRS. Tetapi pasien tidak merasakan keluhan
membaik.

Riwayat Alergi

 Tidak ada riwayat alergi obat-obatan.


 Tidak ada riwayat alergi makanan , dll

Riwayat Psikososial

Pasien merokok sekitar 10 batang setiap hari selama 10 tahun. Tidak minum-
minuman beralkohol, jarang berolahraga, makan teratur, pasien bekerja sebagai ekspedisi.

4|Laporan Kasus TB Paru


PEMERIKSAAN UMUM

Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang.

Kesadaran : Composmentis

Status Gizi

Berat badan sebelum sakit : 45 kg

Berat badan sesudah sakit : 42 kg

Tinggi badan : 155 cm

IMT : 17,48 (underweight)

Tanda vital

Suhu : 36,20 C

Nadi : 80 kali per menit

Pernafasan : 20 kali per menit

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

STATUS GENERALIS

Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah rontok, distribusi merata

Mata :

 Pupil : Isokhor
 Refleks cahaya : +/+
 Konjungtiva : Anemis +/+
 Sklera : Ikterik -/-

Hidung :

 Septum deviasi :-
 Sekret : -/-
 Hiperemis : -/-

5|Laporan Kasus TB Paru


Telinga :

 Bentuk telinga normal kanan dan kiri


 Membran timpani intak kanan dan kiri
 Mukosa : tidak hiperemis kanan dan kiri
 Serumen : -/-
 Sekret : -/-

Mulut :

 Mukosa bibir kering


 Karies pada gigi
 Faring tidak hiperemis

Leher :

 Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening


 Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid

Torax

Paru

Inspeksi :

 Normochest
 Bentuk dada simetris
 Tidak ada retraksi dinding dada

Palpasi :

 Tidak ada nyeri tekan


 Vokal fremitus +/+

6|Laporan Kasus TB Paru


Perkusi :

 Sonor diseluruh lapang paru


 Batas paru hepar : linea midclavicularis ICS 5

Auskultasi :

 Vesikular dikedua lapang paru


 Ronkhi +/-
 Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tampak di ICS 5 mid clavicula sinistra

Palpasi : IKtus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra ICS 5

Perkusi : Batas jantung kanan linea sternalis dekstra ICS 4,

batas jantung kiri dilinea midclavicularis sinistra ICS 5

Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, murmur -, gallop –

Abdomen

Inspeksi : Perut tampak datar, tidak ada venektasi, tidak ada skar.

Auskultasi : Bising usus 4 kali per menit

Perkusi : Shifting dullness (-)

Asites : Negatif

Palpasi :

 Hepatomegali (-)
 Spleenomegali (-)
 Nyeri epigastrium (+)

Ekstremitas Atas : Ekstremitas atas hangat, edema -/-

Ekstremitas Bawah : Akral hangat, edema -/-

7|Laporan Kasus TB Paru


Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

17 Febuari 2012
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Kimia
Gula Darah Sewaktu 110 mg/dl < 120

Enzim
SGOT 12 U/L 0 – 37
SGPT 19 U/L 0 – 40

Faal Ginjal
Ureum 15 mg/dl 20 – 40
Kreatinin 0.8 mg/dl 0.3 – 0.6

Elektrolit
Natrium 125 mEq/L 134 – 146
Kalium 4.2 mEq/L 3.4 – 4.5
Chlorida 98 mEq/L 96 – 108

Hematologi
Laju Endap Darah 36 mm/jam L : 0 – 15
P : 0 – 20
Hb 7.10 g/dl L : 13.8 – 17.0
P : 11.3 – 15.5
Leukosit 20.400 /mm3 L : 4.5 – 10.8
P : 4.3 – 10.4
Leukosit Differensial
Basofil 0 % 0 – 0.3 %
Eosinofil 1 % 2–4%
Batang 4 % 1–5%
N. Segmen 76 % 51 – 67 %
Limfosit 16 % 20 – 30 %
Monosit 3 % 2–6%
Hematokrit 21.0 % L : 40.0 – 50.0
P : 38.0 – 47.0
Trombosit 456 ribu/mm3 L : 185 – 482
P : 132 – 440
18 Febuari 2012

BTA Ddirect -
Negatif BTA I

Faal hati
Bilirubin total 0.8 mg/dl 1 – 12
Albumin 3.8 g/dl 3.2 – 4.5
Globulin 2.2
8|Laporan Kasus TB Paru
Immunoserologi
HbSAg -
IU/L

Hematologi
DPL
Hb 10.6 g/dl L : 13.8 – 17.0
P : 11.3 – 15.5
Hematokrit 31.8 % L : 40.0 – 50.0
P : 38.0 – 47.0
Leukosit 8.000 /mm3 L : 4.5 – 10.8
P : 4.3 – 10.4
Trombosit 381 ribu/mm3 L : 185 – 402
P : 132 – 440

Faeces
Faeces lengkap/rutin
Konsistensi Lunak
Darah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
Amoeba Negatif Negatif
Kista Negatif Negatif
Telur cacing Negatif Negatif
Eritrosit Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Darah samat +1 Negatif

19 Febuari 2012

BTA direct -
BTA II

21 Febuari 2012

BTA direct -
BTA III

Pembekuan
Masa perdarahan 2’00” Menit 1 -3
Masa pembekuan 3’00” Menit 2–6

Elektrolit
Natrium 132 mEq/L 134 – 146
Kalium 3.3 mEq/L 3.4 – 4.5
Chlorida 108 mEq/L 96 – 108

Hematologi
Laju Endap Darah 28 mm/jam L : 0 – 15
P : 0 – 20

9|Laporan Kasus TB Paru


Hb 11.4 g/dl L : 13.8 – 17.0
P : 11.3 – 15.5
Leukosit 7.800 /mm3 L : 4.5 – 10.8
P : 4.3 – 10.4
Leukosi Differensial
Basofil 0 % 0 – 0.3 %
Eosinofil 0 % 2–4%
Batang 2 % 1–5%
N. Segmen 79 % 51 – 67 %
Limfosit 13 % 20 – 30 %
Monosit 6 % 2–6%
Hematokrit 33.4 % L : 40.0 – 50.0
P : 38.0 – 47.0
Trombosit 331 ribu/mm3 L : 185 – 482
P : 132 – 440

22 Febuari 2012

Masa protrombin 12.4 Detik 11 – 14


APTT 40.8 Detik 26 – 36

Pemeriksaan foto thorax :

 CTR normal

 Kavitas pada apex kanan

 Pleural line menebal

 Corakan ekstrisif apex kiri

Kesan : Tuberkulosis paru lesi luas

RESUME

Pasien laki-laki 35 tahun, pekerjaan ekspedisi, datang ke RS dengan keluhan


hemoptisis sejak 2 minggu yang lalu dengan darah sebanyak sekitar setengah gelas. Setiap
hemoptisis pasien sesak napas. 2 bulan SMRS pasien batuk berdahak dengan dahak berwarna
hijau, demam naik turun, nafsu makan menurun, keringat malam, berat badan menurun, mual,
badan mudah terasa lelah. 4 jam SMRS pasien hemoptisis sebanyak 2 kali, darah sebanyak 1
gelas. Melena sejak 4 minggu SMRS.

10 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

 Underwight ( IMT 17.48)

 Ronkhi +/-

 Nyeri tekan epigastrium +

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :

 Ureum 15 mg/dl (menurun)

 Kreatinin 0.8 mg/dl (meningkat)

 Natrium 125 mEq/L (menurun)

 LED 36 mm/1 jam (meningkat)

 Hb 7.10 g/dl (menurun)

 Leukosit 20.400 mm3 (meningkat), dengan neutrofil segmen meningkat dan limfosit
menurun

Pada pemeriksaan foto thorax menunjukan : Kesan TB Paru

DAFTAR MASALAH

1. Hemoptisis e.c Tb paru BTA negatif LLKB

2. Hipokalemia

3. Anemia

4. Sindrom dispepsia

5. Melena

11 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
ASSESMENT

Assesment Hemoptisis e.c TB Paru BTA negatif

Berdasarkan anamnesis :

Batuk berdahak sejak 2 bulan SMRS dengan dahak kehijauan. 2 minggu SMRS batuk
berdarah, 1 kali dalam 1 hari, darah berwarna merah segar diawal dan merah kehitaman
diakhir batuk. Pasien merasakan sesak nafas setiap batuk berdarah dan membaik apabila
batuk berhenti. Demam naik turun, mudah merasa lelah, keringat malam, nafsu makan
menurun, berat badan menurun.

Berdasarkan pemeriksaan fisik :

 IMT 17.48  underwight

 Ronkhi di apex kanan

Berdasarkan pemeriksaan foto thorax:

Kesan : Tuberkulosis paru lesi luas

Pemeriksaan laboratorium :

 LED 36 mm/1 jam (meningkat)

 Hb 7.10 g/dl (menurun)

 Leukosit 20.400 mm3 (meningkat), dengan neutrofil segmen meningkat dan limfosit
menurun

Rencana pemeriksaan penunjang : Mantoux Test, Bronkoskopi

Rencana terapi :

 Levofloxacin 750 mg IV drip

 OAT KDT 3x 1

 Vit K 1x1 amp

12 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Assesment Hipokalemia

Berdasarkan anamnesis :

Pasien merasakan badan mudah terasa lemah

Pemeriksaan laboratorium :

 Kalium 125 mEq/L

Rencana terapi :

 Nacl 0,9 % 500 cc + kalek 500 mg 2 amp / 10 jam

Assesment Anemia

Berdasarkan anamnesis :

Pasien merasakan badan mudah terasa lemah

Berdasarkan pemeriksaan fisik :

Konjungtiva anemis +/+

Pemeriksaan laboratorium :

 Hb 7.10 g/dl

Rencana terapi :

 Ferrosulfat 200mg 1x1

 Vit C 3x1 amp

Assesment Sindrom Dispepsia

Berdasarkan anamnesis :

Pasien merasakan mual tetapi tidak muntah

Berdasarkan pemeriksaan fisik :

Nyeri tekan epigastrium +

Rencana terapi :

 Impressa syrup 2x1

13 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Assesment Melena

Berdasarkan anamnesis :

BAB pasien berwarna kehitaman sejak 4 minggu SMRS

Pemeriksaan laboratorium :

 Darah samar feses +

 APTT 40.8 detik (memanjang)

Rencana pemeriksaan penunjang : Endoskopi saluran cerna bawah, enzim penanda hati

WD : Hemorhoid, Ulkus Peptikum

Rencana terapi :

 Pantoprazole 1x1 amp

14 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
BAB III

PEMBAHASAN
HEMOPTISIS

Definisi

Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah, atau
sputum yang berdarah. Sputum mungkin bercampur dengan darah. Mungkin juga seluruh
cairan yang dikeluarkan paru-paru berupa darah. Setiap proses yang mengakibatkan
terganggunya kontinuitas aliran pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan perdarahan.
Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius. Mungkin ini merupakan manifestasi yang
paling dini dari tuberkulosis aktif. Sebab-sebab lain dari hemoptisis adalah karsinoma
bronkogenik, infarksi, dan abses paru-paru.

Hemoptisis harus dibedakan dengan hematemesis. Hematemesis disebabkan oleh lesi


pada saluran cerna, sedangkan hemoptisis disebabkan oleh lesi pada paru atau
bronkus/bronkiolus.

Klasifikasi

Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.

1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam

Yang sering terjadi darah bercampur dengan sutum. Umumnya pada bronkitis.

2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam

Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya pada
kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.

3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam

Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.

4. Pseudohemoptisis

Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau
dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious).

Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis


Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah (hemoptoe)
bila dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada batuk darah (hemoptoe)
akan didapatkan tanda-tanda sebagai berikut :
15 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Tanda-tanda batuk darah:
1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan.
2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran
napas.
3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan.
4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian
warna menjadi lebih tua atau kehitaman.
5. pH alkalis.
6. Bisa berlangsung beberapa hari
7. Penyebabnya : kelainan paru

Tanda-tanda muntah darah :


1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah.
2. Suara napas tidak ada gangguan.
3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium.
4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa makanan.
5. pH asam.
6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe.
7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis.

Differentiating Features of Hemoptysis and Hematemesis


Hemoptysis Hematemesis
History

Absence of nausea and vomiting Presence of nausea and vomiting

Lung disease Gastric or hepatic disease

Asphyxia possible Asphyxia unusual

Sputum examination

Frothy Rarely frothy

Liquid or clotted appearance Coffee ground appearance

Bright red or pink Brown to black

Laboratory

Alkaline pH Acidic pH

Mixed with macrophages and neutrophils Mixed with food particles


16 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Hemoptysis Hematemesis

Diagnostic Clues in Hemoptysis: Physical History


Clinical clues Suggested diagnosis*
Anticoagulant use Medication effect, coagulation disorder

Association with menses Catamenial hemoptysis

Dyspnea on exertion, fatigue, orthopnea, Congestive heart failure, left ventricular dysfunction,
paroxysmal nocturnal dyspnea, frothy pink mitral valve stenosis
sputum

Fever, productive cough Upper respiratory infection, acute sinusitis, acute


bronchitis, pneumonia, lung abscess

History of breast, colon, or renal cancers Endobronchial metastatic disease of lungs

History of chronic lung disease, recurrent Bronchiectasis, lung abscess


lower respiratory track infection, cough with
copious purulent sputum

HIV, immunosuppression Neoplasia, tuberculosis, Kaposi’s sarcoma

Nausea, vomiting, melena, alcoholism, chronic Gastritis, gastric or peptic ulcer, esophageal varices
use of nonsteroidal anti-inflammatory drugs

Pleuritic chest pain, calf tenderness Pulmonary embolism or infarction

Tobacco use Acute bronchitis, chronic bronchitis, lung cancer,


pneumonia

Travel history Tuberculosis, parasites (e.g., paragonimiasis,


schistosomiasis, amebiasis, leptospirosis), biologic
agents (e.g., plague, tularemia, T2 mycotoxin)

Weight loss Emphysema, lung cancer, tuberculosis,


bronchiectasis, lung abscess, HIV

Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : 


1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur
dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

17 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah :
1. Tumor :
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
2. Infeksi
a. Aspergilloma.
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).
c. Tuberkulosis paru.
3. Infark Paru
4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus
b. Goodpasture’s syndrome.
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.
d. Bechet’s syndrome.
6. Cedera pada dada/trauma
a. Kontusio pulmonal.
b. Transbronkial biopsi.
c. Transtorakal biopsi memakai jarum.
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena.
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.
8. Bleeding diathesis.

Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok
yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular. Infeksi merupakan penyebab yang sering
didapatkan antara lain : tuberkulosis, bronkiektasis dan abses paru. Pada dewasa muda,
tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis merupakan penyebab yang sering
didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan penyebab yang sering
didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis. 

18 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Patofisiologi Hemoptisis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari
cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan
paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran
gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari
perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya
aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi
membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan
dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi
rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk
darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh
darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada
dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti padaGoodpasture’s
syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan
aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh
darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh
darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis
pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat
menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas

19 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke
dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.

Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan
diagnosis. Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30
tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga prognosis baik. Teori
perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan
a. Pada prinsipnya berasal dari :
b. Saluran napas
i. Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia
dan abses paru.
ii. Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis
paru, karsinoma paru dan bronkiektasis.
iii. Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis,
penyakit oleh karena cacing.
c. Sistem kardiovaskuler
i. Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.
ii. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.
d. Lain-lain
i. Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti
hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus

20 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan obat-obat
antikoagulan
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas :
1. Hemoptisis massif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
 Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
 Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam, akan
tetapi Hb kurang dari 10 g%.
 Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%,
tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti. 
 Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe
selain terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot
darah, sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran besarnya
perdarahan yang terjadi.
 Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga
mempunyai kelemahan oleh karena :
o Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan
kadang-kadang dengan cairan lambung, sehinga sukar untuk
menentukan jumlah darah yang hilang sesungguhnya.
o Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan
tinja, sehingga tidak ikut terhitung
o Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.

Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh :
 Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik
(hypovolemik shock).
 Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai dengan
adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada
jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan
terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu
tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa
asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
21 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
 Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
 Lamanya perdarahan.
 Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
 Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.

Klasifikasi menurut Pusel  :


+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif
empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan dari
muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak
dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis darah berwarna kecoklatan atau
kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan
terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung. 
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-
urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga
penanganannya dapat disesuaikan.
1) Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk
mendapatkan data-data :
- Jumlah dan warna darah
- Lamanya perdarahan
- Batuknya produktif atau tidak

22 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
- Sakit dada, substernal atau pleuritik
- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk
- Wheezing
- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. 
- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
- Perokok berat dan telah berlangsung lama
- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
- Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan
petunjuk sebagai berikut  :
Keadaan Hemoptoe Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach distress
tenggorokan, ingin batuk
2. Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan
disertai batuk dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
Dahulu kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
Guaiac test (-) hitam, Guaiac test (-)

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat
mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik
dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis,
teleangiektasi. 
23 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita
hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya.

4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian
sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang – ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik 
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis,
lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk
melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa
selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih
impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi
merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat
optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam
membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing,
disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat
terjadinya perdarahan. 

Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya
berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan

24 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan
mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama
kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. 
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas
yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan
menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks
batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan
renjatan hipovolemik. 
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
-
Terapi konservatif 
-
Terapi definitif atau pembedahan. 

1. Terapi konservatif
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus).  Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah
aspirasi darah ke paru yang sehat.
 Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
 Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran
napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
 Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
 Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya
vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
 Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
 Pemberian oksigen

Tindakan selanjutnya bila mungkin :


 Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
 Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan
bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi pembedahan
 Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.

25 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
 Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada
perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan
operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe
yang berulang dapat dicegah.

Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut :


1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih
dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk
darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dantetapi lebih
dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan
48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak
berhenti.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal
perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan
pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin
digunakan adalah :
-
Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur
dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis
pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian
dihisap dengan suction.
-
Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu ditentukan oleh
tiga faktor :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.

26 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan
renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam
jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.
Prognosis
Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptoe yang
rekuren.
Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :
1) Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang
lebih baik.
2) Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3) Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)

27 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
TB PARU

DEFINISI

Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia
melalui udara pernapasan kedalam paru. Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran
napas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi
pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.

ETIOLOGI

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk


batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan
Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat
dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif
kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat.

PATOFISIOLOGI

Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan


dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara
(airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel,
kuman ini tidak menghasilkan toksin yang di kenal. Dalam tetesan droplet yang terhirup dan
mencapai alveoli. Penyakit timbul akibat menetapnya dan berproliferasinya kuman tersebut
dan adanya interaksi dari tuan rumah, misalnya basil tidak virulen yang di suntikan contoh
BCG hanya dapat hidup selama beberapa bulan atau tahun pada tuan rumah normal.
Resistensi dan hipersensitivitas tuan rumah sangat mempengaruhi perkembangan penyakit.

Penyakit ini dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel, sel efektornya adalah
makrofag, sedangkan limfosit biasanya sel T adalah sel imunoresponsinya. Tipe imuniitas
seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang di aktifkan ditempat infeksi oleh
28 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
limfosit dan limfokinnya.Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas atau reaksi
lambat.

Pembentukan dan perkembangan lesi-lesi dan penyembuhannya atau progresifnya


terutama ditentukan oleh:

1. Jumlah kuman yang masuk dan perkembangbiakan selanjutnya.

2. Resistensi dan hipersensivitas dari hospes.

Saat masuk ke tubuh manusia kuman mycobacterium tuberculosis akan membentuk


dua tipe lesi utama:

1. Tipe eksudatif, ini terdiri dari reaksi peradangan akut, lekosit polimorfonuklir dan
kemudian, monosit sekitar basil tuberkel. Tipe ini terlihat pada jaringan paru-paru,
dimana lesi ini mirip dengan pnemonia bakterie, tipe ini dapat sembuh dengan
resolusi sehingga seluruh eksudat di absorpsi sehingga mengakibatkan nekrosis massif
dari jaringan atau dapat berkembang menjadi tipe produktif, selama fase ini tes
tuberculin positif.

2. Tipe produktif, bila berkembang maksimal lesi ini akan menjadi suatu granuloma
menahun yang terdiri dari 3 daerah:

 Daerah sentral yang luas, yang mempunyai sel sel inti banyak yang
mengandung basil tuberkel.

 Daerah tengah terdiri dari sel-sel epiteloid pucat.

 Derah perifer yang terdiri dari fibroblas, limfosit dan monosit kemudian
terbentuk jaringan fibrosa perifer dan daerah sentral mengalami nekrosis dan
membentuk kaverne, selanjutnya lesi ini sembuh dengan fibrosis atau kalsifikasi.

Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional,
basil dapat menyebar lebih lanjut dan mencapai aliran darah yang selanjutnya menyebar ke
seluruh organ, tetapi kuman ini mutlak hidup ditempat yang memiliki kandungan oksigen
yang tinggi oleh karena itu lokasi utama penyakit ini adalah di paru.

29 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang di kelilingi oleh limfosit, reaksi ini membutuhkan
waktu 10 sampai 20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif
padat dan seperti keju, lesi seperti ini disebut dengan nekrosis kaseosa.

Lesi primer paru–paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar
getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Ini dapat dilihat pada
orang sehat yang selalu menjalani pemeriksaan radiologi.

Cara penularan kuman mycobacterium tuberculosis:

1. Kuman dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita TB menjadi droplet nuclei


(partikel kecil yang merupakan gabungan antara sel tubuh dan sel yang sudah terinfeksi.
Setiap kali penderita TB batuk akan dikeluarkan 3000 droplet yang infektif (memiliki
kemampuan menginfeksi), partikel infeksi ini dapat hidup pada udara bebas selama 1-2
jam, tergantung ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan kelembaban.
Dalam suasana lembab kuman dapat hidup berhari-hari.

2. Kuman yang terhirup dapat menghindari pertahanan mekanik saluran napas


bagian atas dan akan menuju alveoli dimana infeksi awal terjadi, kuman ini akan
membentuk sarang primer dan di ikuti pembesaran kelenjar getah bening yang disebut
komplek primer.

3. Komplek primer selanjutnya mengalami perjalanan penyakit tergantung virulensi,


jumlah kuman, dan ketahanan tubuh penderita. Ini dapat sembuh sama sekali tanpa cacat,
sembuh dengan meninggalkan sedikit jaringan paru atau berkomplikasi dan menyebar
baik secara hematogen atau limfatogen.

Tidak semua orang yang menghirup kuman TBC akan tertular penyakit tersebut. Pada
orang yang sehat, biasanya kuman tersebut menjadi tidak aktif dan orang itu tetap sehat tetapi
kuman tersebut akan jadi aktif bila:

 Kekurangan gizi

 Kondisi fisik yang lemah

 Terkena penyakit tertentu sepeti HIVdan Diabetes melitus

30 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
 Pecandu obat-obat terlarang

 Menggunakan hormon steroid

 Perokok berat

Kuman-kuman akan mulai berkembang-biak dan menimbulkan penyakit TBC.


Timbulnya penyakit bisa langsung terjadi setelah terinfeksi atau butuh waktu tahunan untuk
berkembang.

Gambar1. Penyebaran bakteri tuberkulosis

Gambar2. Mycobacterium tuberculosis

MANIFESTASI KLINIS

31 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk
berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri
dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita
bahkan kematian.

Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan:

1. Gejala Respiratorik
 Batuk lebih dari 3 minggu
 Dahak (sputum)
 Batuk darah
 Sesak nafas
 Nyeri dada
 Wheezing

2. Gejala Sistemik
 Demam dan menggigil
 Penurunan berat badan
 Rasa lelah dan lemah (Malaise)
 Berkeringat banyak terutama di malam hari
 Tidak ada nafsu makan (Anoreksia)
 Sakit-sakit pada otot (Mialgia)

KLASIFIKASI TUBERKULOSIS PARU

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi
kasus” yang meliputi empat hal, yaitu :

1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru

2) Bakteriologi ; hasil pemeriksaan mikroskopis : BTA positif dan BTA negatif

3) Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat

4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati

32 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh
dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan
untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
2. Mencegah timbulnya resistensi,
3. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
4. Meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
5. Mengurangi efek samping.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:


1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

33 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum
a. Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah :
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
ii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan ganbaran tuberculosis
aktif
iii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif
ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
Myccobacterium tuberculosis positif

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif atau BTA negatif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
34 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)


Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,
bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

TB paru juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


1) TB Paru BTA (+) yaitu:

 Dengan atau tanpa gejala.

 Gambaran radiology sesuai dengan TB paru.

2) TB paru BTA (-)

 Gejala klinik dan gambaran radiologi sesuai dengan TB paru.

 BTA (-).

3) Bekas TB paru

 BTA (-).

 Gejala klinik tidak ada, ada gejala sisa akibat kelainan paru yang di
tinggalkan.

35 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
 Radiolgi menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, terlebih gambaran serial
menunjukan foto yang sama

 Riwayat pengobatan TB (+)

Sedangkan WHO membagi penderita TB atas 4 kategori:

1. Kategori I: kasus baru dengan dahak (+) dan penderita dengan keadaan berat
seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, spondilitis
dengan gangguan neurologik dan lain-lain.

2. Kategori II: kasus kambuh atau gagal dengan dahak yang tetap (+).

3. Kategori III: kasus dengan dahak (-), tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus TB
diluar paru selain kategori I.

4. Kategori IV: tuberkulosis kronik.

KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit tuberculosis didasarkan pada:

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda:

a. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronkhi basah).

b. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.

c. Secret di saluran nafas dan ronkhi.

d. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan
bronchus.

2. Laboratorium
a. Kultur sputum.
b. Mantoux Test/Tuberkulin Test.
c. Biopsi jarum pada jaringan paru.
36 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
3. Radiologis
Foto Thoraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB
yaitu:

a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah.

b. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular).

c. Adanya kavitas, tunggal, atau ganda.

d. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.

e. Adanya kalsifikasi.

f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.

g. Bayangan milier.

Gambar3: Uji Tuberkulin

37 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
PENATALAKSANAAN MEDIS

Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT.

Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

38 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Tahap awal (intensif)
• Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
• Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
• Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
• Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.
• Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
di Indonesia:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

 Kategori Anak: 2HRZ/4HR


Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.

 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

39 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT dan peruntukannya.


a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
40 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

c. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari).

41 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien, baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu
dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

Pemantauan Hasil Kemajuan Pengobatan TB

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan


pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih
baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan.
Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena
tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak
dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen
tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan
ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

42 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
43 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
b. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak
(follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya

Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

44 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.

Default (Putus berobat)


Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.

Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan
kelima atau lebih selama pengobatan.

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB
pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent
ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan.
Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya
supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari
kemungkinan tertular TB.

b. Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan
pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi
tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan
INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
45 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB
sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 mg).

d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama
seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien
TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan
mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan
stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus
memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal)
Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk
menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap
infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul
sukarela dengan test HIV).

e. Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb
sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan
sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H)
selama 6 bulan.

f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan
dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati,
Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

46 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
g. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan
dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan
dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.Streptomisin dan Etambutol
diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetap paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti
diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan
anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy
diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat
kelainan tersebut.

i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien
seperti:
• Meningitis TB
• TB milier dengan atau tanpa meningitis
• TB dengan Pleuritis eksudativa
• TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan
secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan.

j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1) Untuk TB paru:
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
47 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
• Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.

2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan
neurologik.

EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA


Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit:


Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian
pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit.

48 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut
hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk

• Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut: Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum
diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging”
dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana
yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian
diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses
rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti
hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan
lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain.
Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan
risiko terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh
sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek.
Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut
HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan
desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar
terjadi keracunan yang berat.

PROGNOSIS

1. Jika berobat teratur sembuh total (95%).


2. Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 % yang mungkin relaps.

KOMPLIKASI
49 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :

1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat


mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan
napas.
2. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps
dari lobus akibat retraksi bronchial.
3. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
4. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, dan ginjal.

50 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. Diagnostic Standard and Classification of Tuberculosis in


Adults and Children. 2000. USA.

Bahar, A. Tuberkulosis Paru dalam Soeparman, WS. Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Balai
Penerbit FKUI, 2003: Jakarta.

Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis, 2007: Jakarta.

E, Jewetz, Mikrobiology Untuk Profesi Kesehatan edisi 16, Fransisico (terjemahan), EGC,
2004: Jakarta.

Wilson, Price, Patofisiologi,Konsep-konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ed,4. EGC, 2004:


Jakarta.

World Health Organization. Treatment of Tuberculosis Guideline. 2010 : Geneva,


Switzerland

World Health Organization. Global Tuberculosis Control. 2011 : Geneva, Switzerland

51 | L a p o r a n K a s u s T B P a r u

Anda mungkin juga menyukai