Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT DALAM

PEMBIMBING :
DR. ARIEF BUDIMAN, SP. PD

PENYUSUN :
DR. ERWIN

RSUD BANGKA SELATAN

INTERSHIP PERIODE 2019-2020

1
BAB I

ILUSTRASI KASUS

Identitas pasien :

Nama : Tn. Pardamun


Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Berkebun
Alamat : Ds Burak
Tanggal MRS : 2 Agustus 2019
Pemeriksaan : 3 Agustus 2019

Anamnesis

Dilakukan secara autoanamnesis


Rawat inap tanggal : 02 Agustus 2019- 05 Agustus 2019
Keluhan utama : Sesak napas berat yang muncul sejak 2 jam SMRS
Keluhan tambahan : Batuk berdahak sejak 24 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengaku memiliki keluhan sesak yang dideritanya sejak usia 17 tahun.
Pasien mengaku sesak kambuh mendadak dan berlangsung selama beberapa jam
kemudian membaik dengan sendirinya. Sesak dirasa seperti menekan dada dan disertai
dengan bunyi ngik ngik. Pasien mengaku sesak kambuh atau bertambah berat jika

2
terpapar dengan asap rokok dan debu. Saat sedang tidak kambuh pasien menyangkal ada
masalah dalam bernapas.

Pasien mengaku tidak pernah mengonsumsi obat untuk sesak napasnya. Sesak
napas kambuh kira-kira 2 kali dalam seminggu dan pasien masih bisa beraktivitas seperti
biasa. Ketika pasien berusia 39 tahun pasien mengalami sesak berat mendadak sehingga
harus dirawat di RS. Pasien menyangkal ada keluhan batuk bedahak maupun demam
yang menyertai sesaknya. Pasien kemudian didiagnosa asma oleh dokter dan
mendapatkan obat. Pasien kemudian membeli alat nebulizer dan menggunakan ventolin
atau terkadang combivent nebu ketika sedang mengalami serangan sesak. Pasien juga
terkadang membeli sendiri salbutamol 4 mg yang dikonsumsinya ketika sesak bersama
menggunakan nebulisasi. Pasien menyangkal menggunakan obat lain maupun obat
inhaler.

Sejak 5 jam SMRS pasien mengaku batuk kering yang disertai dengan pilek dan
hidung mampet namun tidak disertai demam. Pasien mengaku ada anggota keluarga yang
sedang sakit saluran napas atas sejak 3 hari sebelumnya. Pasien mengaku serangan sesak
menjadi semakin sering sejak keluhan batuk pilek muncul, kira-kira 2 kali sehari
sehingga pasien kesulitan untuk melakukan pekerjaan berkebunnya, pasien juga mengaku
sulit tidur karena sesaknya. Pasien menggunakan nebulizer ventolin setiap malam dan
merasa sesak agak berkurang. Sejak 1 hari SMRS pasien merasa batuk berdahak kental
berwarna putih kental dan merasa meriang. Pasien merasa sesak bertambah berat dan
tidak merespon terhadap penggunaan nebulizer, pasien tidak mengonsumsi obat lain.
Pasien kemudian diantar ke IGD karena sesak berat yang tidak membaik dengan
nebulasisasi sejak 1 jam SMRS. Pasien tidak dapat berkata-kata dan posisi lengan
menyangga tubuh bagian atas. Sesak napas disertai dengan bunyi mengi.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Pasien mengaku ada keluhan bersin-bersin setiap pagi dan hidung gatal
disertai dengan ingus encer keluar setiap pagi sejak usia 4 tahun. Keluhan ini

3
berkurang sejak usia 17 tahun. Keluhan kulit gatal sejak kecil disangkal.
Pasien menyangkal alergi makanan dan obat-obatan. Pasien menyangkal ada
sakit lainnya.
 Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat kolesterol disangkal
 Riwayat penyakit paru disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Pasien mengaku ibu pasien memiliki keluhan yang sama dengan pasien
 Riwayat sakit paru disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat darah tinggi disangkal

Riwayat Kebiasaan :

Pasien mengaku pernah merokok saat usia 12 tahun sampai 17 tahun karena ikut-
ikutan teman. Pasien paling banyak menghabiskan 3 batang dalam sehari namun pasien
kemudian berhenti merokok karena merasa serangan sesak menjadi semakin sering dan
berat sejak merokok. Pasien mengaku anggota keluarga di rumah ada yang merokok
namun mereka merokok di luar rumah agar pasien tidak terpapar asap rokok. Pasien
mengaku bekerja di kebun dan banyak terpapar dengan debu di lingkungan kerjanya.

Pemeriksaan Fisik ( Tanggal 03 Agusuts 2019)

 Keadaan Umum : Tampak sakit sedng


 Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4 V5 M6)
 Warna kulit : Sawo matang
 Tanda-tanda vital:
o Tekanan darah : 110/ 70mmHg
o Nadi : 104x/menit, teratur, kuat, penuh
4
o RR : 36x/menit
o Suhu : 37oC
 Status gizi
o BB : 60 kg
o TB : 170 cm
o IMT : 20,76 kg/m2

Kepala: : normocephali, deformitas (-)


Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, Refleks cahaya langsung dan tidak
langsung +/+, pupil isokor 3mm/3mm
Telinga : deformitas -/-, sekret -/-
Hidung : deformitas -/-, sekret -/-
Mulut : mukosa oral kering, faring hiperemis (-)
Leher : KGB tidak teraba pembesaran. Trakea deviasi (-)
pembesaran tiroid (-), JVP 5+2 cm H2O

Paru
Inspeksi : gerakan napas tampak simetris

Palpasi : gerakan napas teraba simetris, fremitus taktil simetris kanan dan kiri,
sela iga tidak melebar
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru, BPH pada ICS V, peranjakan 1 sela
iga.
Auskultasi : vesikular +/+, ronchi (-/-). Wheezing (+/+) inspirasi dan ekspirasi
pada seluruh lapang paru

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula sinistra


Palpasi : Ictus cordis teraba, kuat angkat di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi :

Batas atas : ICS III linea midklavikularis sinistra


5
Batas kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Kesan kardiomegali (-)
Auskultasi : SI dan SII regular, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
Inspeksi : tampak cembung
Palpasi : supel, nyeri tekan (-) dan , hepatomegali (-), splenomegaly (-),
ballotement -/-; vesica urinaria tidak teraba; undulasi (-)
Perkusi : timpani, pekak samping (-), shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) 5 x/menit

 Punggung

Inspeksi : Gerak napas tampak simetris dalam keadaan


statis dan dinamis, alignment vertebra baik

Palpasi : gerakan napas teraba simetris dalam keadaan statis dan dinamis,
fremitus taktil simetris kanan dan kiri, sela iga tidak melebar

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : vesikular +/+, ronchi (-/-). Wheezing (+/+) inspirasi

dan ekspirasi di seluruh lapang paru

 Ekstremitas : akral dingin, CRT <2 detik, edema(-/-),


 Genitalia : tidak diperiksa
 Anus dan rectum : tidak diperiksa

6
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

Hemoglobin 15,2 13,5 – 17,5 g/dL

Hematokrit 41 40 – 52%

Leukosit 6.400 4.000 – 10.000/uL

Eritrosit 4,68 4.5 – 6.5 juta/uL


Rontgen
Trombosit 250.000 150 – 450 ribu/uL thorax
(2/8/19)
Basofil 0.6 0-1 %

Eosinofil 9,7 (H) 1-3 %

Neutrofil segmen 64,3 50 - 70 %

Neutrofil batang - 2-6 %

Limfosit 20,1 20-40 %

Monosit 5,3 2–8%

Gula Darah Sewaktu 111 70 - 150 mg/dL

Ureum 17 13 – 43 mg/dL

Kreatinin 0.9 0,5 – 1,2/dL

7
Resume
Anamnesis
Tn. P laki-laki usia 49 tahun dengan riwayat sesak berulang yang bersifat kambuhan sejak
10 tahun SMRS, mengeluhkan frekuensi serangan sesak menjadi setiap hari sejak pasien batuk
pilek sejak 5 hari SMRS  24 jam SMRS batuk berdahak kental putih. Pasien kemudian datang
dengan keluhan sesak berat yang muncul mendadak sejak 1 jam SMRS, terdengar wheezing dan

8
tidak membaik dengan nebulisasi menggunakan ventolin di rumah dan di Puskesmas. Pasien
menggunakan obat asma uap di rumah hanya jika serangan kambuh. Penggunaan obat kontrol
disangkal. Pasien memiliki riwayat atopi berupa rhinitis alergi. Riwayat penyakit lain disangkal.
Pasien terpapar dengan asap, debu di lingkungan rumah dan kerja

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4 M6 V5)
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 104 kali/menit
Pernapasan : 36 kali/menit, teratur
Suhu tubuh : 36.7ᵒC
Saturasi : 91% dengan udara bebas
Hidung : Sekret +/+,
Thorax : Gerak napas simetris, vesikuler -/-, rhonki -/-
wheezing +/+
Pemeriksaan penunjang
Lab darah : kesan eosinofil meningkat, tanda infeksi bacterial -
Rontgen thorak : corakan bronkovaskuler kedua paru meningkat
EKG : sinus takikardia

Diagnosis Kerja :
Asma persisten berat dengan eksaserbasi akut derajat berat

Diagnosis banding :
PPOK

Tatalaksana IGD
• Rawat dalam bangsal
• IVFD Asering 20 tpm

9
• Inj dexametason 1 ampul (5 mg) IV
• Nebulisasi dengan combivent/ 8 jam
• Asetilsistein 3 x 200 mg

Tatalaksana di Bangsal
Tanggal Subjective Objective Assessment Planning

10
3/8/19, Sesak KU - : Asma - Diet makan biasa
Hari sudah tampak bronkial - O2 2 lpm via nasal kanul
Rawat I berkurang sakit dengan - IVFD Asering 20 tpm
Batuk ringan eksaserbasi - Inj Omeprazole 1 x 40 mg IV
berdahak Kesadara akut - Nebu ventolin + pulmicort/ 8
(+) n : CM jam
Demam (-) TD: - Cefixim 2 x 200 mg
malam hari 130/90 - Retaphyl SR 1 x 300 mg
Mual (-), mmHg - OBH syr 3 x I cth
Muntah (-), HR: 92 - Asetilsistein 3 x 200 mg
Intake x/min - Fisioterapi
adekuat: RR: 26
makan 3x x/min
porsi Suhu:
36,7 OC

Paru:
vesikuler
-/-,
rhonki
basah
kasar -/-,
wheezing
+/+

11
4/8/19, Sesak Keadaan
- Asma - Diet makan biasa
Hari sudah umum : bronkial - O2 2 lpm via nasal kanul
Rawat II berkurang tampak dengan - IVFD Asering 20 tpm
Batuk sakit eksaserbasi - Inj Omeprazole 1 x 40 mg IV
berdahak ringan akut - Nebu ventolin + pulmicort/ 8
(+) Kesadara jam
Demam (-) n : CM - Cefixim 2 x 200 mg
malam hari TD: - Retaphyl SR 1 x 300 mg
Mual (-), 130/90 - OBH syr 3 x I cth
Muntah (-), mmHg - Asetilsistein 3 x 200 mg
Intake HR: 86 - Fisioterapi
adekuat: x/min
makan 3x RR: 26
porsi x/min
Suhu:
36,5 OC

Paru:
vesikuler
-/-,
rhonki
basah
kasar -/-,
wheezing
+/+

5/8/19, Sesak KU - : Asma - Aff nasal kanul


Hari sudah tampak bronkial - Aff akses vena
Rawat berkurang sakit dengan Rencana pulang
III Batuk ringan eksaserbasi

12
berdahak Kesadara akut
(+) n : CM
Demam (-) TD:
malam hari 130/90
Mual (-), mmHg
Muntah (-), HR: 80
Intake x/min
adekuat: RR: 20
makan 3x x/min
porsi Suhu:
36,5 OC

Paru:
vesikuler
-/-,
rhonki
basah
kasar -/-,
wheezing
+/+
minimal

Paru:
vesikuler
-/-,
rhonki
basah
kasar -/-,
wheezing
+/+

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Dan Etiologi Asma


Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada
awal kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10
tahun dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-
anak, terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun
perbandingan ini menjadi sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda
antara satu kota dengan kota yang lain dalam negara yang sama. Di Indonesia
prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %.4,5
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma.
Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun
keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai
dengan reaksi kulit terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat
di udara, dan dapat pula disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
atau respon positif terhadap tes provokasi yang melibatkan inhalasi antigen
spesifik.5
Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus
tersering dari eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut secara biologis dapat
merusak struktur daripada saluran nafas melalui aktifitas proteolitik, yang
selanjutnya menghancurkan integritas dari tight junction antara sel-sel epitel. Sekali
fungsi dari epitel ini dihancurkan, maka alergen dan partikel lain dapat dengan
mudah masuk ke area yang lebih dalam yaitu di daerah lamina propia. Penyusun
daripada tungau-tungau pada debu rumah ini yang memiliki aktivitas protease ini

14
dapat memasuki daerah epitel dan mempenetrasi daerah yang lebih dalam di saluran
pernafasan. 3
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi juga
merupakan pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif. Kira-kira
25% sampai 30% dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini
menyimpulkan bahwa merokok ataupun terkena asap rokok akan meningkatkan
morbiditas dan keparahan penyakit dari penderita asma. Terpapar asap rokok yang
lama pada pasien asma akan berkontribusi terhadap kerusakan dari fungsi paru,
yaitu

15
penurunan kira-kira 18% dari FEV 1 selama 10 tahun.Pasien asma yang memiliki
kebiasaan merokok akan mempercepat terjadinya emfisema. Mekanisme yang
mendasari daripada efek rokok pada pasien asma dijelaskan pada tabel 1.1

2.2 Patofisiologi Asma


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan
proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu
hiperresponsif dari bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan4,5
2.2.1 Penyempitan Saluran Napas

Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala


dan perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada
saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. 3
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan
terhadap penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan
bronkodilator. Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses
inflamasi. Hal ini penting pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas

16
disebabkan karena perubahan struktural atau disebut juga ”remodelling”.3 Proses
inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan

17
pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel
parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan
penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan
menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway
remodelling.2
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan
yang menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses
remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal
terjadinya proses ini kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik,
dikatakan proses remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses
dari remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular
matrik di dalam dan sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran
sel atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.5

18
2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis
yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme
yang

19
bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini
belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot
polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang
menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran
respiratorik selama kontraksi otot polos.6,7
2.3 Faktor Pencetus Asma
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host
factor) dan faktor lingkungan. 2
a. Faktor host
 Genetik
 Obesitas
 Jenis kelamin

b. Faktor lingkungan
 Rangsangan alergen.
 Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
 Infeksi.
 Merokok
 Obat.
 Penyebab lain atau faktor lainnya.

2.4 Gambaran Klinis Asma

Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi.
Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan
toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan
pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala
tersebut timbul musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi
diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus
seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan,

20
atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada
pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat
bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.4

21
2.5 Diagnosis Asma2,3
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas
yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.

Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga


(atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan
penyakit dan pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat
meningkatkan kecurigaan terhadap asma adalah :
1. Di dengarkan suara mengi (wheezing) sering pada anak-anak
Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi
diagnosis sama, apabila terdapat :
1. Memiliki riwayat dari:
a. Batuk, yang memburuk dimalam hari
b. Mengi yang berulang
c. Kesulitan bernafas
d. Sesak nafas yang berulang
2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam
3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu
4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau
penyakit atopi
5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :
a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia
c. Perubahan temperatur
d. Debu tungau
e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)
f. Beraktivitas

22
g. Serbuk tepung sari
h. Infeksi saluran pernafasan

23
i. Rokok
j. Ekspresi emosi yang kuat
6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas


dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian
penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada
pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas. 2,3
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas,
reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah
pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi).
Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus
dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi
melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini
tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus.2,3
2.6 Klasifikasi Asma2,3
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan
Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan)2
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
I. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
 Gejala < 1x/minggu  ≤ 2x/bulan  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
 Tanpa gejala diluar serangan  APE ≥ 80% nilai terbaik
 Serangan singkat  Variabilitas APE < 20%
II. Persisten
Ringan Mingguan APE ≥ 80%
 Gejala > 1x/minggu, tapi <  > 2x/bulan  VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
1x/hari  APE ≥ 80% nilai terbaik
 Serangan dapat mengganggu  Variabilitas APE 20-30%
aktivitas dan tidur
 Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
III. Persisten
Sedang Harian APE 60-80%
 Gejala setiap hari  >1x/minggu  VEP1 60-80% nilai prediksi
 Serangan menggangu aktivitas
24  APE 60-80% nilai terbaik
dan tidur  Variabilitas APE > 30%
 Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten
Berat Kontinyu APE ≤ 60%
 Gejala terus menerus  Sering  VEP1 ≤ 60% nilai prediksi
 Sering kambuh  APE≤ 60% nilai terbaik
 Aktivitas fisik terbatas  Variabilitas APE > 30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Penderita dalam Pengobatan2

Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian


Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Gejala dan faal paru dalam pengobatan Intermite Pesisten Persiste
n ringan n
sedang
Tahap I: Intermiten Intermiten Persisten ringan Persiste
Gejala < 1x/mggu n
Serangan singkat sedang
Gejala malam <
2x/bln
Faal paru normal diluar serangan
Tahap II: Persisten Ringan Persisten ringan Persisten sedang Persisten
Gejala >1x/mggu, tapi berat
<1x/hari
Gejala malam >2x/bln, tapi
<1x/mggu Faal paru normal diluar
serangan

25
Tahap III: Persisten Persisten sedang Persisten berat Persisten
Sedang Gejala setiap hari berat
Serangan mempengaruhi tidur dan
aktivitas Gejala malam >1x/mggu
60%<VEP1<80% nilai
prediksi 60%<APE<80%
nilai terbaik
Tahap III: Persisten Persisten berat Persisten berat Persisten
Berat Gejala terus berat
menerus Serangan
sering
Gejala malam sering
VEP1≤60% nilai prediksi,
atau APE≤60% nilai terbaik

2.7 Penatalaksanaan Asma


Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang
dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen
program penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen
pengobatan yang dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola
hidup sehat.2
EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu
sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol
faktor

26
pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga
penanganan serangan asma di rumah.
PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma
oleh penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
A. Pemantauan tanda gejala asma.
B. Pemeriksaan faal paru

IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS


Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus,
akan tetapi sebagian lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus
asmanya.

MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA


PANJANG
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu
bulan. Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka
panjang untuk mencapai atau mempertahankan keadaan asma yang
terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan:
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol
adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi
dan komponen yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang
menyebabkan asma. Pada tingkat vascular, glukokortikosteroid

27
inhalasi bertujuan menghambat terjadinya hipoperfusi,
mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa udem, dan
pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis).4

28
Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid
inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan
nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualitas hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti
kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran nafas atas.
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid
oral terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu.
Efek samping jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi
aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit,
striae, dan kelemahan otot.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan
antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui
reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi
pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga
kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Efek samping
umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan
inhalasi.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif
bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat
digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka panjang efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai

29
aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma
malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek samping berpotensi
terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau lebih) dengan gejala
gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu
dan

30
sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia dan kadangkala
merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan
kematian.
e. Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi otot
polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan
mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian
inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik
dibandingkan preparat oral. Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis β2
kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2
kerja lama inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam,
memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega)
dan menurunkan frekuensi serangan asma.
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih
sedikit atau jarang daripada pemberian oral.
f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis
semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor
leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas).
Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan
menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain
bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.

B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat

31
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi
atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek

32
samping minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2 yaitu
relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator
dari sel mast dan basofil. Efek sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor
otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah
efek bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai
manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan
mempertahankan respon terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian
satu dengan berikutnya.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat
refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa
kering di mulut dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.
C. Tahapan penanganan asma
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat
tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy.
D. Pengobatan berdasarkan derajat berat
asma Tabel 3. Pengobatan Sesuai Berat Asma2
Semua tahapan : ditambahkan agonis β2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-
4x/hari

33
Berat Asma Medikasi Alternatif/Pilihan Lain Alternatif Lain
Pengontrol
Harian
Asma Tidak perlu - -
Intermite
n

34
Asma Glukokortikosteroid  Teofilin lepas lambat -
Persisten inhalasi (200-400ug  Kromolin
Ringan BD/hari atau  Leukotrien modifiers
equivalennya)
Asma Kombinasi inhalasi  Kombinasi inhalasi  Ditambah
Persisten glukokortikosteroid glukokortikosteroid agonis β2 kerja
Sedang (400- 800ug BD/hari (400- 800ug BD/hari lama oral, atau
atau equivalennya) dan atau equivalennya)  Ditambahka
agonis β2 kerja lama ditambah teofilin lepas n teofilin
lambat, atau lepas
 Kombinasi inhalasi lambat
glukokortikosteroid
(400- 800ug BD/hari
atau equivalennya)
ditambah agonis β2
kerja lama oral, atau
 Glukokortikostero
id inhalasi dosis
tinggi (>800ug
BD atau
equivalennya)
atau
 Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800ug
BD atau
equivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers

35
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/
Persisten glukokortikosteroid meti
Berat (>800ug BD/hari atau l prednisolon oral selang
equivalennya) dan sehari
agonis β2 kerja lama, 10 mg ditambah agonis β2
ditambah ≥1 dibawah kerja lama oral, ditambah
ini: teofilin lepas lambat
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral
Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi
asma tetap terkontrol

MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT


Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.

Tabel 4. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut1

Gejala Berat Serangan Keadaan


dan Akut Menganca
Tanda Ringa Sedang Bera m Jiwa
n t
Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur terlentang Duduk Duduk membungkuk

36
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantu
k, gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi < 20/menit 20-30/menit > 30 menit
nafas
Nadi < 100 100-120 > 120 Bradikardia
Pulsus - ± + -
paradoksu 10 mmHg 10-20 mmHg > 25 mmHg kelelaha
s n otot
Otot bantu - + + Torakoabdo
nafas dan minal
retraksi paradoksal
suprasternal
Mengi Akhir ekspirasi paksa Akhir ekspirasi Inspirasi Silent chest
dan
ekspirasi
APE > 80% 60-80% < 60%
PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 90%

Tabel 5. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat
Pengobatan1

Seranga Pengobatan Tempat pengobatan


n

37
Ringan Terbaik: Di rumah
Aktivitas relatif normal Inhalasi agonis
Berbicara satu kalimat dalam 1 β2 Alternatif: Di praktek dokter/
nafas Kombinasi oral agonis β2 klinik/ puskesmas
Nadi < 100 dan teofilin
APE > 80%
Sedang Terbaik:
Jalan jarak jauh timbulkan Nebulasi agonis β2 @ 4 Darurat
gelaja Berbicara beberapa jam Alternatif: gawat/RS
kata dalam 1 nafas - Agonis β2 subkutan Klinik
Nadi 100-120 - Aminofilin iv Praktek
APE 60-80% - Adrenalim 1/1000 0,3 mL dokter
sc Oksigen bila mungkin Puskesmas
Kortikosteroid sistemik
Berat Terbaik: Darurat
Sesak saat istirahat Nebulasi agonis β2 @ 4 jam gawat/RS
Berbicara kata perkata dalam Alternatif: Klinik
1

38
nafas - Agonis β2 sc/iv
Nadi > 120 - Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc
APE < 60% atau 100 L/dtk
Aminofilin bolus dilanjutkan
drip Oksigen
Kortikosteroid iv
Mengancam jiwa Seperti serangan akut berat Darurat gawat/RS
Kesadaran berubah /menurun Pertimbangkan intubasi dan ICU
Gelisah ventilasi mekanik
Sianosis
Gagal nafas

KONTROL SECARA TERATUR


Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma
jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke
ahli paru pada keadaan-keadaan tertentu.

39
40
Jika asma tidak terkontrol pada pengobatan yang dijalani, maka pengobatan
harus di naikkan. Secara umum, perbaikan harus dilihat selama 1 bulan. Tetapi
sebelumnya harus dinilai tehnik medikasi pasien, kepatuhan dan usaha menghindari
faktor resiko. Jika asma sebagian terkontrol, dipertimbangkan menaikkan
pengobatan yang tergantung pada keefektifan terhadap pengobatan yang ada,
keamanan, dan harga serta kepuasan pasien terhadap pengobataan yang dijalani
pasien. Dan jika, asma berhasil dikontrol selama minimal 3 bulan, pengobatan
dapat diturunkan secara gradual. Tujuan nya adalah mengurangi pengobatan.
Monitoring tetap penting dilakukan setelah asma terkontrol, karena asma dapat
tetap dapat terjadi eksaserbasi apabila kehilangan kontrol.3

1
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Megan Stapleton, PharmD, Amanda Howard-Thompson. Smoking and Asthma.


JABFM May–June 2011 Vol. 24 No. 3, p.313-322
2. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto,
E. et al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
3. N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. House dust mite extract
downregulates C/EBPa in asthmatic bronchial smooth muscle cells. Eur Respir J
2011; 38: 50–58
4. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. (2010),
Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, Ontario Canada.
5. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,
Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.
6. I. Bara, A. Ozier, J-M. Tunon de Lara, R. Marthan and P. Berger. Pathophysiology
of bronchial smooth muscle remodelling in asthma. Eur Respir J 2010; 36: 1174–
1184
7. McFaden, ER. (2005), Asthma, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL. Draunwald,
D. Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of Medicine, 16th ed, Vol
2, McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.
8. Chesnutt, MS. Prendergast, TJ. (2007), Lung, In: McPhee, SJ. Papadakis, MA.
(eds) Current Medical Diagnosis and Treatment, 46th ed, McGrawHill,
Philadelphia, pp: 230-241.
9. G. Horvath and A. Wanner. Inhaled corticosteroids: effects on the airway
vasculature in bronchial asthma. Eur Respir J 2006; 27: 172–187
10. Mario Castro, Adalberto S. Rubin, Michel Laviolette. Effectiveness and Safety of
Bronchial Thermoplasty in the Treatment of Severe Asthma. Am J Respir Crit
Care Med Vol 181. pp 116–124, 2010

2
3

Anda mungkin juga menyukai