Anda di halaman 1dari 9

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KRISIS HIPERTENSI

Disusun Oleh:
Wan Aishah Fariha Binti Wan Nazri (112019180)

Pembimbing:
Dr. Afif Faizi Assaffah, Sp PD

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA JAKARTA
PERIODE 8 FEBRUARI – 17 APRIL 2021
Pendahuluan

Dokter di bagian unit gawat darurat sering melakukan triase pada pasien dengan krisis hipertensi,
yang akut dan peningkatan berat tekanan darah yang timbul dengan profil yang sangat heterogen
mulai dari tidak adanya gejala kerusakan organ target sehingga yang mengancam jiwa. Pendekatan
dalam pengaturan hipertensi akut masih belum mencukupi dan berbeda dengan rekomendasi evidence
based yang memandu manajemen tekanan darah yang meningkat secara kronis. Sebagai tambahan,
sejumlah besar pasien di unit gawat darurat dipengaruhi oleh hipertensi kronis, dan memerlukan
rujukan ke rawat jalan sebelum melakukan intervensi akut. Yang terpenting, sedikit uji klinis secara
acak telah membahas efek jangka pendek dan jangka panjang penurunan tekanan darah akut pada
jantung, morbiditas dan mortalitas serebrovaskular. Oleh itu krisis hipertensi merupakan
kegawatdaruratan yang memerlukan penurunan tekanan darah segera.

Krisis hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang parah, lebih tinggi dari
180/120 mmHg, terkait atau tidak dengan kerusakan organ baru atau kerusakan organ yang semakin
memburuk. Informasi dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang menentukan
manajemen berikut yang mungkin memerlukan tatalaksana antihipertensi secara oral atau intravena.
Pilihan obat tertentu bergantung pada penyebab krisis, demografi pasien, risiko kardiovaskular, dan
komorbiditas. Untuk keadaan hipertensi emergensi, pengurangan tekanan darah maksimum sebanyak
20-25% dalam 1 jam pertama dan kemudian ke 160/110–100 selama 2–6 jam berikutnya, adalah
dianggap tepat dengan penurunan bertahap lebih lanjut dilakukan 24-48 jam berikutnya untuk
mencapai tingkat tekanan darah normal. Sementara dalam kasus hipertensi urgensi, penurunan
tekanan darah secara bertahap dalam 24–48 jam dengan pengobatan oral adalah pendekatan terbaik
dan penurunan tekanan darah yang agresif harus dihindari.

Definisi Krisis Hipertensi

Definisi krisis hipertensi dapat dibagi berdasarkan dua kategori yaitu hipertensi urgensi dan hipertensi
emergensi. Hipertensi urgensi adalah apabila tekanan darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg tanpa
disertai gejala dari kerusakan organ target. Hipertensi emergensi pula adalah peningkatan tekanan
darah lebih tinggi dari 180/120 mmHg disertai dengan kerusakan organ target yang harus diwaspadai
yaitu1,2:

1. Neurologi: ensefalopati hipertensi, strok iskemik atau hemoragik, papil edema, perdarahan
intrakranial.
2. Jantung: sindrom koroner akut, edema paru, diseksi aorta, gagal jantung akut.
3. Ginjal: proteinuria, hematuria, gangguan ginjal akut.
4. Mata: retinopati.

Epidemiologi

Di Amerika, krisis hipertensi mempengaruhi sehingga 500,000 atau kira-kira 1% orang dewasa yag
menderita hipertensi. Hampir 3,2% pesakit yang datang ke unit gawat darurat mengalami krisis
hipertensi, namun dengan penurunan kejadian hipertensi, kejadian krisis hipertensi juga telah
berkurang dengan ketara. Didapatkan bahwa 76% krisis hipertensi adalah hipertensi urgensi dan 24%
adalah hipertensi emergensi. Krisis hipertensi lebih banyak berlaku di kalangan pesakit dengan
penyakit buah pinggang, termasuk stenosis arteri ginjal dan gangguan ginjal kronik. Krisis hipertensi
lebih banyak berlaku pada orang tua dan penduduk kulit hitam bukan Hispanik. Kejadian krisis
hipertensi juga terjadi pada lelaki 2 kali lebih sering daripada perempuan.3,4

Etiologi

Krisis hipertensi dapat terjadi sendiri atau dikarenakan komplikasi dari hipertensi primer atau
sekunder.3,4 Antara penyebab terjadinya krisis hipertensi termasuklah:

1. Kehamilan
Wanita hamil dapat mengalami krisis hipertensi berbentuk preeklamsia atau eklamsia. 3
2. Penyakit ginjal
Ginjal memiliki peran penting dalam mengatur tekanan darah, sehingga krisis hipertensi dapat
berlaku pada pasien dengan gangguan ginjal.3,4
3. Hipertensi rebound
Ketidak patuhan obat, dosis yang tidak sesuai dan interupsi dalam tatalaksana hipertensi
adalah antara penyebab dapat terjadi hipertensi yang tidak terkontrol. 3,4
4. Penggunaan obat terlarang
Krisis hipertensi boleh terjadi akibat penggunaan obat terlarang seperti kokain, phencyclidine,
obat simpatomimetik dan amfetamin. 3,4
5. Krisis hipertensi induksi obat
Beberapa obat dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Antaranya adalah obat
golongan monoamine oxidase yang dikaitkan dengan krisis hipertensi jika diambil bersama
produk makanan yang kaya dengan tyramine. 3,4
Patofisiologi

Patofisiologi krisis hipertensi sehingga detik ini masih tidak difahami dengan jelas. Namun, dikatakan
krisis hipertensi terjadi karena kegagalan fungsi autoregulasi dan peningkatan resistensi vaskular
sistemik karena vasokonstriksi humoral yang berlaku mendadak dan cepat. Peningkatan tekanan
darah menyebabkan stress mekanik dan jejas endotel sehingga permeabilitas pembuluh darah
meningkat. Ini memicu kaskade koagulasi dan deposisi fibrin.2,5 Proses ini menyebabkan iskemia dan
pelepasan mediator vasoaktif tambahan yang menyebabkan gangguan fungsi. Sistem renin-
angiotensin kemudian diaktifkan sehingga membawa pada vasokonstriksi lanjutan seterusnya
mengeluarkan sitokin proinflamasi. Ginjal juga membebaskan bahan vasokonstriksi hasil penekanan
pada natriuresis. Semua mekanisme ini menyababkan iskemia, hipoperfusi organ dan gangguan
fungsi yang akhirnya mengakibatkan krisis hipertensi.5,6

Manifestasi Klinis

Gambaran klinikal krisis hipertensi sangat bervariasi dari peningkatan tekanan darah yang parah
tanpa gejala yang tidak dapat diketahui penyebab sehingga penemuan kerusakan organ akut.4 Gejala
yang sering didapatkan pada pasien antara lain termasuk sesak napas, sakit dada, epistaksis, edema
paru, gangguan penglihatan, nyeri dada dan deficit neurologis fokal. Namun, terdapat juga pasien
yang datang dengan perdarahan intracranial, diseksi aorta, miokard infark dan gangguan ginjal akut.3,7

Diagnosa Krisis Hipertensi

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mendiagnosis dan
memastikan apakah pasien ada kerusakan organ.8

1. Anamnesis
Harus ditanyakan kepada pasien tentang riwayat hipertensi, riwayat operasi, riwayat
penggunaan obat, riwayat gangguan ginjal dan riwayat kehamilan pada pasien wanita. 8,9
2. Pemeriksaan fisik
Pengukuran tekanan darah harus dilakukan dengan tepat selain perlu memeriksa tekanan
darah di semua ekstremitas. Pemeriksaan fundoskopi, neurologis, paru dan jantung juga
penting untuk dilakukan.2,8,9
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan umum yang biasa dilakukan termasuk fundoskopi, elektrokardiogram,
hemoglobin dan hitung trombosit, kreatinin, eLFG, rasio albumin-kreatinin urin, urinalisis
lengkap. Pemeriksaan spesifik lain yang dapat dilakukan termasuk troponin, CK-MB atau
NT-proBNP, foto toraks, ekokardiografi, CT angiografi, CT atau MRI otak, USG ginjal dan
penapisan obat dalam urin.10

Tatalaksana Krisis Hipertensi

Hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi harus dibedakan untuk membantu proses tatalaksana
pada pasiesn. Pasien dengan hipertensi emergensi memerlukan diagnosa dan rawatan secepatnya
untuk mencegah kerusakan organ yang lebih parah dan menurunkan angka morbiditas dan
kematian.11

Untuk hipertensi urgensi penurunan tekanan darah dilakukan dalam beberapa jam dengan target
tekanan darah normal dalam 1-2 hari.2 Pada hipertensi urgensi, penurunan tekanan darah secara
agresif harus dielakkan karena hipertensi urgensi kebiasaannya berawal dari hipertensi kronik yang
tidak dikontrol dan jika dilakukan penurunan tekanan darah secara mendadak akan menyebabkan
penurunan perfusi tisu sehingga organ dapat mengalami iskemik dan infark. 11 Berikut adalah obat
yang dapat diberikan:

1. Captopril adalah angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I) yang sering digunakan


dalam hipertensi urgensi baik secara oral atau sublingual. Jika diberi secara oral, onset mulai
kerjanya dalam 15 hingga 30 menit dan bekerja selama 4-6 jam. Laluan sublingual pula
menurunkan tekanan dengan lebih efektif pada 10 sampai 30 menit pertama. Penggunaan oral
lebih disukai kerana lebih selamat dan mudah sedangkan kaedah sublingual tetap berguna
pada pasien yang tidak dapat menelan. Dos yang disyorkan adalah 12.5-25 mg boleh diulang
selepas 30-60 menit. Efek samping utama adalah hipotensi, kegagalan buah pinggang akut
dan angioedema. Kontraindikasi pemberian obat ini adalah pada pasien dengan stenosis arteri
ginjal, stenosis aorta, hypovolemia dan kehamilan karena memiliki efek teratogenik. 11
2. Nifedipine adalah calcium-channel blockers dihidropiridin oral/sublingual banyak digunakan
dalam tatalaksana krisis hipertensi. Setelah pemberian kapsul nifedipine kerja cepat (5–10
mg) penurunan tekanan darah yang cepat biasanya terlihat dalam 5-10 menit dan efek
puncaknya dalam 30-60 menit sedangkan durasi waktu kerjanya antara 6 sehingga 8 jam. Efek
dari obat ini tidak dapat diprediksi dan mungkin berlebihan, mengakibatkan hipotensi dan
refleks takikardia dengan keluhan flushing, sakit kepala, palpitasi, dan mual. Selanjutnya,
kejadian iskemik otak, ginjal, dan miokard yang dipicu oleh nifedipine juga telah banyak
dilaporkan. Dikarenakan kurangnya dokumentasi klinis terkait hal ini, penggunaan nifedipine
sublingual dan oral kerja cepat tidak disarankan dalam pengelolaan krisis hipertensi.
Nifedipine kerja lambat, 20mg secara oral, memiliki profil yang lebih aman dan efektif.
Nifedipine kerja lambat ini menurunkan tekanan darah 15-30 menit setelah asupan dengan
efek maksimal setelah 4-6 jam dan menghasilkan kadar obat dalam plasma yang tahan lama
yang penurunan tekanan darah nya bertahan sampai 10-12 jam. Mencegah penurunan tekanan
darah yang mendadak, nifedipine kerja lambat memiliki waktu kerja yang bagus dan
menurunkan tekanan darah secara berperingkat, lancer dan untuk waktu yang lebih lama.11
3. Amlodipine adalah calcium-channel blockers dihidropiridin oral. Obat ini memiliki absorbsi
saluran pencernaan yang baik dengan konsentrasi puncak pada 6-12 jam setelah asupan.
Penurunan tekanan darah yang signifikan biasanya dicapai setelah 24-48 jam setelah dosis
pertama dan dapat terjadi peningkatan denyut jantung biasanya muncul setelah 10 jam yang
diawali dengan vasodilatasi. Efek samping lain dapat berbentuk palpitasi, flushing dan edema
perifer. Dalam beberapa kasus di mana kaptopril atau nifedipine tidak tersedia, amlodipine
bisa menjadi pilihan tatalaksana untuk krisis hipertensi.11

Bagi hipertensi emergensi pula, pertama harus dikonfirmasi organ target yang terdampak kemudian
ditentukan penatalaksanaan spesifik selain penurunan tekanan darah. Kedua, tentukan kecepatan dan
besaran penurunan tekanan darah yang aman dan ketiga adalah tentukan obat antihipertensi yang
diperlukan.10 Target terapi secara umum adalah penurunan mean arterial pressure MAP <25% dalam
waktu kurang dari 1 jam melalui parenteral. Dalam 2-6 jam stabil, tekanan darah harus diturunkan
sehingga 160/100-110 mmHg dan jika masih stabil, tekanan darah diturunkan lagi sesuai target dalam
24-48 jam.2,11 Setelah tekanan darah mencapai nilai target, pemberian obat secara oral dapat
diberikan.11 Penurunan tekanan darah secara mendadak dapat menyebabkan iskemia organ target.
Namun, khusus pada diseksi aorta tanpa syok, tekanan darah sistolik 120 mmHg harus dicapai dalam
waktu 20 menit dan pada kejadian coroner akut atau edema paru kardiogenik akut tekanan darah
sistolik harus diturunkan segera sehingga di bawah 140 mmHg.2,10,11 Berikut adalah obat yang dapat
diberikan:

1. Labetalol adalah gabungan alfa-1 selektif dan non selektif beta-adrenergik receptor blocker.
Labetalol dimetabolisme di hati untuk membentuk konjugat glukuronida tidak aktif dengan
waktu paruh sekitar 5,5 jam. Efek hipotensi labetalol intravena dimulai dalam 2-5 menit
setelah administrasi, mencapai puncak pada 5–15 menit, dan berlangsung lama sekitar 2–6
jam. Karena efek pemblokiran beta-nya, detak jantung dapat dipertahankan atau sedikit
berkurang dan tidak seperti agen penghambat beta-adrenergik murni, labetalol tidak
mempengaruhi curah jantung. Ini mengurangi resistem sistemik tanpa menurunkan aliran
darah perifer dan mempertahankan aliran darah otak, ginjal dan koroner. dikarenakan ini, obat
ini adalah salah satu obat pilihan untuk iskemia miokard akut, diseksi aorta, stroke iskemik
akut dan hipertensi ensefalopati. Selain itu, obat ini banyak digunakan dalam keadaan krisis
hipertensi yang diinduksi kehamilan karena sedikitnya yang melewati plasenta. Labetalol
dapat diberikan sebagai dosis awal 20mg, diikuti dengan penambahan dosis berulang 20-80
mg yang diberikan pada interval 10 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai.
Sebagai alternatif, setelah dosis pemuatan awal, dapat diinfuskan mulai dari 1–2 mg/menit
dan dititrasi hingga efek hipotensif yang diinginkan tercapai. 11
2. Nicardipine adalah calcium-channel blocker turunan dihidropiridin dengan aktivitas
vasodilatasi pada otak dan koroner. Awal kerja nicardipine intravena adalah antara 5 dan 15
menit dengan offset klinis dalam 30 menit. Dosis nicardipine tidak tergantung pada berat
badan pasien dan dimulai dengan kecepatan infus awalnya 5mg/jam, meningkat 2,5 mg/jam
setiap 15 menit sehingga penurunan tekanan darah yang diinginkan tercapai. Manfaat
terapeutik yang berguna dari nicardipine adalah obat ini telah terbukti meningkatkan stroke
volume dan aliran darah koroner dengan baik dan berpengaruh pada keseimbangan oksigen
miokard sehingga berguna untuk pasien dengan penyakit arteri koroner dan gagal jantung
sistolik. Obat ini juga dianjurkan untuk pengobatan stroke iskemik akut karena efek
vasodilatasi serebralnya. 10,11
3. Nitrogliserin adalah venodilator yang menurunkan preload dan curah jantung. Obat ini sering
digunakan bersama dengan agen antihipertensi yang lain terutama pada miokard infark akut
dan edema paru. Obat ini diberikan melalui infus intravena dan menghasilkan venodilatasi
yang relatif lebih besar daripada pelebaran arteriol. Obat ini kurang efektif dibandingkan
dengan obat antihipertensi lain yang digunakan untuk mengobati keadaan hipertensi
emergensi dan pengaruhnya terhadap tekanan darah sangat bervariasi. Namun, obat ini sangat
berguna pada pasien dengan gejala penyakit koroner dan edema paru untuk mengontrol gejala
dan tekanan darah. Dosis awal nitrogliserin adalah 5mg/menit, yang dapat ditingkatkan
seperlunya hingga maksimum 100 mg/menit. Onset kerjanya adalah 2–5 menit, sedangkan
durasi kerja adalah 5–10 menit. Sakit kepala dan takikardia adalah efek samping utama dari
pemberian obat ini. Methemoglobinemia telah dilaporkan pada pasien menerima obat ini
selama lebih dari 24 jam. 10,11
4. Clonidine, adalah alfa2-agonist kerja sentral, yang merupakan salah satu obat yang paling
banyak digunakan dalam keadaan hipertensi emergensi di Eropah. Jika diberikan secara
intravena, 150–300mcg clonidine diberikan sebagai bolus lambat. Efek pada tekanan darah
biasanya dimulai dalam 30 menit dan berlangsung selama 4 hingga 6 jam. Efek samping
paling umum adalah bradikardia dan blok atrioventricular. Saat meresepkan clonidine, dokter
harus memperhitungkan dua aspek penting yaitu risiko hipertensi rebound dan sifat sedatifnya
pada dosis tinggi. Penghentian klonidin secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis hipertensi
yang lebih parah yang seringkali tidak akan merespon terapi.10,11
5. Diltiazem adalah golongan calcium-channel blocker yang mula bekerja dalam 3 menit dan
dapat bekerja sehingga 10 jam. Dosis awal diberikan secara intravena dengan dosis 0,25mg/kg
dalam 2 menit dan dilanjutkan drip intravena 5mg/jam. Obat ini dapat dijadikan obat
alternative pada pasien hipertensi dengan ensefalopati. Obat ini kontraindikasi bagi pasien
dengan bradikardi dan gagal jantung.10

Prognosis

Dalam sebuah penelitian terhadap 315 pasien dengan krisis hipertensi, 40% masih hidup setelah
33 bulan. Penyebab kematian yang paling umum adalah gagal ginjal 39,7%, stroke 23,8%,
miokard infark 11,1%, dan gagal jantung 10,3%.3

Angka survival penderita hipertensi emergensi mengalami peningkatan dalam dekade terakhir,
meskipun demikian kelompok pasien ini tetap dalam kategori risiko tinggi dan perlu dilakukan
penapisan untuk hipertensi sekunder. Setelah tekanan darah mencapai tingkat aman dan stabil
dengan terapi oral, pasien dapat rawat jalan. Kontrol rawat jalan dianjurkan minimal satu kali
sebulan hingga target tekanan darah optimal tercapai dan dilanjutkan kontrol teratur jangka
panjang.10

Kesimpulan

Krisis hipertensi adalah penting dan kejadian umum yang perlu diketahui di antara yang bekerja
di unit gawat darurat. Informasi dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
menentukan penatalaksanaan yang diberikan sama ada diberikan antihipertensi oral atau
intravena. Pilihan obat tertentu juga tergantung pada penyebab yang mendasari krisis, demografi
pasien, risiko kardiovaskular dan komorbiditas. Penatalaksanaan selanjutnya dengan perhatian
khusus untuk control hipertensi kronis pada pasien juga penting sama seperti pentingnya
pengobatan yang tepat untuk fase akut.
Daftar Pustaka

1. Taylor, D. A. (2015). Hypertensive Crisis. Critical Care Nursing Clinics of North America,
27(4), 439–447.
2. Tanto C, Hustrini N.M. Kapita Selekta: Krisis Hipertensi. Media Aesculapius. Jakarta.
2014:h.642-4
3. Rodriguez, M. A., Kumar, S. K., & De Caro, M. (2010). Hypertensive Crisis. Cardiology in
Review, 18(2), 102–107.
4. Ipek, E., Oktay, A. A., & Krim, S. R. (2017). Hypertensive crisis. Current Opinion in
Cardiology, 32(4), 397–406.
5. Papadopoulos, D. P., Mourouzis, I., Thomopoulos, C., Makris, T., & Papademetriou, V.
(2010). Hypertension crisis. Blood Pressure, 19(6), 328–336.
6. Wani-Parekh, P., Blanco-Garcia, C., Mendez, M., & Mukherjee, D. (2017). Guide of
Hypertensive Crisis Pharmacotherapy. Cardiovascular & Hematological Disorders-Drug
Targets, 17(1).
7. Muiesan, M. L., Salvetti, M., Amadoro, V., di Somma, S., Perlini, S., Semplicini, A.,
Pedrinelli, R. (2015). An update on hypertensive emergencies and urgencies. Journal of
Cardiovascular Medicine, 16(5), 372–382.
8. Suneja, M., & Sanders, M. L. (2017). Hypertensive Emergency. Medical Clinics of North
America, 101(3), 465–478
9. Brathwaite, L., & Reif, M. (2019). Hypertensive Emergencies. Cardiology Clinics.
10. Lukito AA, Harmeiwaty E, Hustrini NM, editors. Konsensus penatalaksanaan hipertensi
2019. Jakarta: Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia; 2019.
11. Maloberti, A., Cassano, G., Capsoni, N., Gheda, S., Magni, G., Azin, G. M., Giannattasio, C.
(2018). Therapeutic Approach to Hypertension Urgencies and Emergencies in the Emergency
Room. High Blood Pressure & Cardiovascular Prevention, 25(2), 177–189.

Anda mungkin juga menyukai