Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

ACS – NSTEMI

DISUSUN OLEH :
Agung Prasetyo
I4061162043

PEMBIMBING :
dr. Ranti Waluyan

KEPANITERAAN KLINIK ILMU EMERGENSI MEDIK DAN BEDAH


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR ABDUL AZIZ
SINGKAWANG
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul :

ACS – NSTEMI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Stase Emergensi Medik dan Bedah

Singkawang, Januari 2019

Pembimbing,

dr. Ranti Waluyan Agung Prasetyo

2
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri dada merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang timbul pada
dada bagian anterior diatas epigastrium dan dibawah mandibula. Nyeri dada dapat
disebabkan oleh etiologi kardiak dan non-kardiak. Salah satu etiologi kardiak dari nyeri
dada yang paling sering adalah sindrom koroner akut.1
Penyakit jantung koroner adalah salah satu penyakit degeneratif yang menjadi
masalah serius di dunia karena prevalensinya yang terus meningkat. Penyakit jantung
koroner ini disebabkan oleh manifestasi aterosklerosis di pembuluh darah koroner dan
banyak menyerang individu-individu di usia produktif. Di Amerika Serikat, pada tahun
1998, penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian utama dengan
persentase sebesar 48%, dan pada tahun 2004 didapatkan angka kematian akibat
penyakit jantung koroner di Amerika Serikat sebesar 450.000 kematian, sedangkan di
Indonesia, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 didapatkan 3 dari
1000 penduduk Indonesia menderita penyakit jantung koroner.2
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang
utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang
tinggi. Sindrom Koroner Akut adalah ketidak mampuan jantung akut akibat suplai
darah yang mengandung oksigen ke jantung tidak adekuat. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan oksigen, transpor oksigen darah berkurang dan yang paling
sering yaitu pengurangan aliran koroner karena penyempitan atau obstruksi arteri yang
disebabkan oleh aterosklerosis. Pada tahun 2006, hampir 1,4 juta penduduk Amerika
didiagnosis menderita sindrom koroner akut meliputi 537.000 dengan angina tak stabil
dan 810.000 dengan infark miokard akut.3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrome Koroner Akut - NSTEMI


2.1.1 Definisi
Angina pektoris tidak stabil didefinisikan sebagai angina pektorik (atau
ekuivalen rasa tidak nyaman di dada tipe iskemik) dengan satu diantara tampilan klinis
1) Terjadi saat istirahat atau aktivitas minimal dan biasanya berlangsung lebih dari 20
menit;
2) Nyeri hebat dan biasanya nyerinya jelas; atau
3) Biasanya lambat laun bertambah berat
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan America Heart
Associatin (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark miokard tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI) adalah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat
menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya pertanda kerusakan
miokardium dapat diperiksa, yaitu enzim CK-MB dan troponin I/T.4

2.1.2 Patofisiologi
Lima proses patofisiologi yang berperan terhadap perkembangan NSTEMI/UAP
adalah sebagai berikut
1. Ruptur plak atau erosi plak dengan tumpukan trombus non oklusi.
2. Obstruksi dinamis yang disebabkan oleh
a. Spasme arteri koroner epikardium seperti pada varian prinzmetal angina
b. Resistensi pembuluh darah koroner
c. Vasokonstriktor lokal seperti tromboksan A2 yang dilepaskan dari trombosit
d. Disfungsi dari endotel koroner dan
e. Stimulus adrenergik termasuk dingin dan kokain.
3. Penyempitan hebat lumen arteri koroner yang disebabkan oleh pembentukan
aterosklerotik yang progresif atau restenosis pasca intervensi koroner perkutan
4. Inflamasi; dan
5. Angina pektoris tidak stabil sekunder, yang menyebabkan peningkatan kebutuhan
oksigen atau penurunan suplai oksigen (misalnya dalam keadaan takikardi, demam,
hipotensi dan anemia.4

4
Pembentukan trombus intrakoroner menghasilkan salah satu dari beberapa hasil
potensial. Sebagai contoh, ruptur plak kadang-kadang dangkal, minor, dan terbatas,
sehingga hanya bentuk trombus kecil yang tidak oksklusif. Dalam kasus ini, trombus
dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam lesi atheromatous yang sedang tumbuh
melalui organisasi fibotik, atau mungkin dilisiskan dengan mekanisme fibrinolitik
alami. Ruptur plak asimptomatik berulang dari tipe ini dapat menyebabkan pembesaran
progresif bertahap dari stenosis koroner.
Namun, pecahnya plak yang lebih dalam dapat menyebabkan paparan yang
lebih besar dari kolagen dan faktor jaringan subendothelial, dengan pembentukan
trombus yang lebih besar yang secara lebih substansial menyumbat lumen pembuluh
darah. Obstruksi tersebut dapat menyebabkan iskemia berat yang berkepanjangan dan
timbulnya ACS. Jika trombus intraluminal di lokasi gangguan plak benar-benar
menyumbat pembuluh darah, aliran darah di luar obstruksi akan berhenti, iskemia yang
berkepanjangan akan terjadi, dan MI (biasanya ST-elevasi MI) akan terjadi.
Sebaliknya, jika trombus menutup sebagian pembuluh darah (atau jika benar-
benar menutup pembuluh tetapi hanya sementara karena rekanalisasi spontan atau
dengan bantuan vasospasme yang ditumpangkan), keparahan dan durasi iskemia akan
berkurang, dan NSTEMI atau UA terjadi. Perbedaan antara NSTEMI dan UA
didasarkan pada derajat iskemia dan apakah kejadian tersebut cukup parah untuk
menyebabkan nekrosis, ditunjukkan oleh adanya biomarker serum tertentu. 3

Gambar 1. Patofisiologi sindrom koroner akut3

5
2.1.3 Manifestasi Klinik
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan / berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten
(beberapa menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai
dengan keluhan penyerta seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri
abdomen, sesak napas dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan, sesak napas yang tidak dapat
diterangkan atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih
sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun),
wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun atau demensia. Walaupun keluhan
angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat
PJK. Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA.2
Presentasi klinis NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:
1) Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit
2) Angina awitan baru kelas III klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society
(CCS)
3) Angina stabil yang mengalami destabilisasi, menjadi semakin sering, lebih lama
atau menjadi makin berat, minimal kelas III klasifikasi CCS
4) Angina pasca infark miokard, angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah infark
miokard.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi
hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis, ronkhi basah halus atau
edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi
aorta, pneumtoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak sama perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.2

6
2.1.4 Diagnosis
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sadapan V3R dan V4R serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia
dinding inferior. Sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal non-diagnostik.2
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama.
Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat
membantu diagnosis. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP
antara lain:
1) Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20 menit);
2) Gelombang Q yang menetap;
3) Non-diagnostik;
4) Normal.
Depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di ≥ 2 sadapan berdekatan sugestif diagnosis UAP
atau NSTEMi, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil,
diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥ 1 mm. Depresi
segmen ST ≥ 1 mm dan/atau inversi gelombang T ≥ 2 mm di beberapa sadapan
prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI.
Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan non-diagnostik sementara
angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Pada keadaan
di mana EKG ulang tetap nenunjukkan kelainan yang non-diagnostik dan biomarka
jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau
selama 12-24 jam. EKG diulang setiap terjadi angina berulang atau setidaknya 1 kali
dalam 24 jam.2

7
Gambar 2. Abnormalitas EKG pada NSTEMI/UAP3

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan biomarka nekrosis


miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard. Tropnin I/T
sebagai biomarka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesivisitas lebih tinggi
dari CK-MB. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, sehingga
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak
dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama.2

8
Gambar 3. Algoritma diagnosis SKA2

9
2.1.5 Tatalaksana Awal
1. Tirah baring
2. Pada semua pasien NSTEMI direkomendasikan untuk mengukur saturasi oksigen
perifer
a. Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2 < 90% atau PaO2
<60 mmHg).
b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO 2 ≥ 90%.
3. Aspirin 160 – 320 mg diberikan segara kepada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat
absorpsi sublingual yang lebih cepat.
4. Penghamb at reseptor adenosin difosfat (ADP)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan fibrinolitik.
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
75 mg/hari.
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet subingual untuk pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri tidak hilang dengan
1 kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali.
Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi 3
dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang
tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.2

2.1.6 Stratifikasi Risiko


Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan
selanjutnya (konservatif atau invasif) pada NSTEMI. Beberapa stratifikasi risiko yang
digunakan adalah TIMI dan GRACE.2

10
Tabel 1. Skor TIMI untuk NSTEMI dan UAP

Tabel 2. Skor GRACE


Prediktor Skor Prediktor Skor
Usia dalam tahun 140-159 26
< 40 0 160-199 11
40 – 49 1 >200 0
50 – 59 36 Kreatinin
60 – 69 55 0-34 2
70 – 79 73 35-70 5
80 – 89 91 71-105 8
Laju denyut jantung 106-140 11
< 70 0 141-176 14
70-89 7 177-353 23
90-109 13 ≥354 31
110-149 23 Gagal jantung berdasarkan killip
150-199 36 I 0
>200 46 II 21
Tekanan darah sistolik III 43

11
<80 63 IV 64
80-99 58 Henti jantung saat tiba di RS 43
100-119 47 Peningkatan biomarka jantung 15
120-139 37 Deviasi segmen ST 30

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas killip merupakan klasifikasi risiko


berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infakr miokard akut dan
ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas.2

Tabel 3. Mortalitas 30 hari berdasarkan Killip

Waktu untuk melakukan angiografi (dihitung dari kontak medis pertama) dapat
dikelompokkan menjadi 4 kategori, berdasarkan profil resiko individu pasien. 2
1) Strategi invasif segera (<2 jam)
a) Instabilitas hemodinamik atau syok kardiogenik
b) Nyeri dada rekuren atau sedang berlangsung

12
c) Aritmia atau henti jantung yang mengancam jiwa
d) Komplikasi mekanis IM
e) Gagal jantung akut
f) Perubahan gelombang ST-T yang dinamis rekuren, terutama dengan elevasi
ST intermiten
2) Strategi invasif dini (<24 jam)
a) Peningkatan atau penurunan troponin
b) Perubahan gelombang ST atau T yang dinamis
c) Skor GRACE > 140
3) Strategi invasif (<72 jam
a) Insufisiensi ginjal (eGFR < 60 ml/menit/1,73 M2)
b) LVEF < 40% atau gagal jantung kongestif
c) Angina pasca infark dini
d) IKP
e) BPAK
f) Skor GRACE 109 – 140
4) Strategi invasif selektif
Karakteristik lain yang tidak disebutkan diatas

2.1.7 Terapi
1. Anti Iskemia
a) Penyekat Beta

13
b) Nitrat

c) Penyekat Kanal Kalsium

2. Antiplatelet

3. Antikoagulan

4. ACE-i atau ARB

14
5. Statin

2.2 Hipertensi Emergensi


2.2.1 Definisi
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi (> 180/110) dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah
terjadi kelainan organ target. Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu:
1. Hipertensi emergensi, yaitu dimana selain tekanan darah yang sangat tinggi
terdapat kelainan/kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga tekanan
darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat
mencegah/membatasi kerusakan target organ yang terjadi.
2. Hipertensi urgensi, yaitu terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak
disertai kelainan/kerusakan organ target yang progresif, sehingga penurunan
tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam sampai hari). 4

2.2.2 Manifestasi Klinis


Gejala yang timbul pada krisis hipertensi akibat organ target yang terganggu,
diantaranya nyeri dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta, mata
kabur pada edema papila mata, sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi
pada gangguan otak. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya tekanan darah, gejala
dan tanda keterlibatan organ target.4

2.2.3 Tatalaksana
Pasien dengan hipertensi emergensi, perawatan di ICU direkomendasikan untuk
pemantauan tekanan darah dan target organ secara kontinu serta pemberian obat
antihipertensi parenteral. Pasien dengan kondisi diseksi aorta, preeklampsia berat,
eklampsia, atau krisis pheochromocytoma, tekanan darah sistolik harus diturunkan
hingga < 140 mmHg selama 1 jam pertama dan < 120 mmH pada diseksi aorta.
Sedangkan pasien tanpa kondisi terserbut, tekanan darah diturunkan hingga tidak lebih
dari 25% dalam 1 jam pertama. Kemudian jika stabil, tekanan darah diturunkan

15
menjadi 160/100 mmHg dalam 2-6 jam selanjutnya, dan diturunkan secara hati-hati ke
normal selama 24-48 jam.5 Tetapi algoritma ini tidak berlaku pada stroke iskemik dan
perdarahan.

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan hipertensi emergensi 5

16
Tabel 6. Rejimen pengobatan hipertensi emergensi6

17
BAB III
PENYAJIAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. B
Usia : 63 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku : Melayu
Alamat : Singkawang
Tanggal masuk RS : 7 Januari 2019

1.2 Primary Survey


1. Airway
Snoring (-), gargling (-), stridor (-), cervical pain (-), deviasi trakea (-), obstruksi
benda asing (-). Tidak terdapat tanda trauma dan jejas pada wajah dan leher.
2. Breathing
Bernafas spontan, cepat, RR = 27 x/menit, gerakan dada simetris saat statis dan
dinamis, suara nafas dasar vesikuler (+/+), ronkhi (+/+) di basal, wheezing (-/-),
SpO2 92% tanpa O2. Pasien diberikan O2 3 lpm via nasak kanul, SpO2 meningkat
menjadi 97%.
3. Circulation
Nadi kuat angkat, cepat, dan reguler, 82 x/menit, CRT < 2”, tekanan darah 190/100
mmHg, akral hangat. BJ S1 S2, regular, M(-), G(-)
4. Disability
GCS E4V5M6, pupil isokor bulat 4 mm / 4 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+), kekuatan
motorik 5/5.
5. Exposure
Suhu tubuh 36,80C, tidak terdapat jejas

18
1.3 Secondary Survey
1.3.1 Keluhan Utama
Nyeri dada
1.3.2 Riwayat Penyakit Sekarang
1. A (Allergy)
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat
2. M (Medication)
Pasien sedang dalam pemgobatan hipertensi dan DM, tetapi pasien tidak
ingat obat-obat yang diminumnya.
3. P (Previous Ilness)
Pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus sejak beberapa
tahun yang lalu. Pasien rutin berobat ke poliklinik. Riwayat merokok (+)
sudah berhenti 6 tahun yang lalu.
4. L (Last Meal)
Makan terakhir tadi pagi
5. E (Environment/Event)
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada sejak 7 jam SMRS. Nyeri dada
dirasakan di dada sebelah kiri, dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Nyeri
dada menjalar hingga ke bahu kiri. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas
sejak 2 hari SMRS. Sesak nafas memberat bila pasien beraktivitas dan
tidur terlentang. Pasien tidur dengan 2 bantal. Pasien sering terbangun di
malam hari karena sesak. Sesak biasanya timbul saat beraktivitas, tetapi
sejak 2 hari terakhir, sesak timbul saat istirahat. Pasien juga mengeluhkan
nyeri ulu hati.

1.4 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum
a. Kesadaran : kompos mentis
b. GCS : 15 (E4V5M6)
c. Tanda Vital
1) Tekanan darah : 190/100 mmHg
2) Denyut nadi : 82 kali/menit, reguler, isi cukup, equal
3) Frekuensi nafas : 27 kali/menit
4) Suhu : 36,8 oC

19
2. Status Generalis
a. Kulit : Sawo matang, ikterik (-)
b. Kepala : Normosefalik
c. Mata : Konjungtiva anemis (- / -), sklera ikterik ( - / - ), refleks cahaya
direk / indirek ( + / + ), pupil isokor
d. Telinga : Sekret ( - / - )
e. Hidung : Simetris (+), sekret ( - / - )
f. Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), JVP 5 + 4 cmHg
g. Toraks
1) Paru
a) Inspeksi : Simetris, retraksi ( - / - )
b) Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri, nyeri tekan ( - / - )
c) Perkusi : Sonor ( + / + )
d) Auskultasi : Suara nafas dasar vesikuler ( + / + ), ronki (+/+)
basal, wheezing ( - / - )
2) Jantung
a) Inskepsi : Iktus kordis tidak tampak
b) Palpasi : Iktus kordis teraba pada SIC VI linea
midklavikula sinistra
c) Perkusi : Batas pinggang jantung SIC II parasternal
sinistra, batas jantung kanan pada SIC IV
parasternal dextra, batas jantung kiri pada SIC VI
anterior axilaris sinistra
d) Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 tunggal, reguler,
murmur (-), gallop (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi : Perut datar, venektasi (-), skar (-)
2) Auskultasi : Bising usus (+) 10x/menit, bruit (-), metallic sound (-)
3) Perkusi : Timpani
4) Palpasi : Nyeri tekan (+) epigastrium, hepar tidak teraba, lien
tidak teraba
i. Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”, pitting edema (+/+)

20
1.5 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 7 Januari 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Leukosit 7.480 sel/µL 4.000 – 10.000
Eritrosit 3,53 106/ µL 4,0 – 5,5
Hemoglobin 10,8 g/dL 11,0 – 16,0
Hematokrit 32,2 % 36 – 48
Trombosit 218.000 sel / µL 150 - 450
Ureum 79,05 mg/dL 10 – 50
Kreatinin 0,76 mg/dL 0,6 – 1,1
Kolesterol total 161 mg/dL < 200
GDS 310 mg/dL < 200

Hasil pemeriksaan elektrokardiografi tanggal 7 Januari 2019

Interpretasi
 Irama sinus
 Denyut jantung : 88 kali / menit
 Aksis : left axis deviation
 Interval PR : 0,20”
 Komplek QRS : < 0,12”
 QTc interval : 0,47”
 ST depresi di lead V5 dan V6
 T inversi di lead V5, V6, I dan aVF
 Hipertrofi ventrikel kiri
Kesimpulan : irama sinus dengan iskemia high lateral dan hipertrofi ventrikel kiri

21
1.6 Diagnosis
a. SKA - NSTEMI dd UAP killip II
b. Hipertensi emergensi
c. DM tipe 2

1.7 Tatalaksana
1. Tatalaksana di IGD
a. Tirah baring
b. O2 3 lpm via nasal kanul
c. ISDN 5 mg SL
d. Loading aspilet 320 mg
e. Loading clopidogrel 300 mg

f. Tatalaksana di Rawat Inap


a. Venflon
b. O2 3 lpm via nasal kanul
c. Inj furosemide 20 mg / 8 jam
d. Inj ranitidine 50 mg / 12 jam
e. Aspilet 1 x 80 mg
f. Clopidogrel 1 x 75 mg
g. ISDN 3 x 5 mg
h. Candesartan 1 x 8 mg
i. Metformin 3 x 500 mg

1.8 Prognosis
1. Ad vitam : Dubia ad bonam
2. Ad functionam : Dubia ad malam
3. Ad sanctionam : Dubia ad malam

22
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada primary survey, dari jalan napas (airway) tidak ditemukan adanya snoring,
gargling, stridor dan jejas pada wajah dan leher. Kemudian pada ventilasi (breathing)
didapatkan peningkatan frekuensi napas menjadi 27 x/menit, suara napas tambahan
ronkhi di kedua basal paru dan saturasi oksigen 92%. Pasien diberikan suplementasi
oksigen dengan O2 3 lpm, saturasi oksigen meningkat menjadi 97%. Pada sirkulasi,
didapatkan tekanan darah 190/100 mmHg dan tidak ditemukan tanda-tanda syok. Pada
disability, didapatkan GCS 15, tidak ditemukan kelemahan motorik dan pupil isokor.
Pada environment, tidak ditemukan jejas di seluruh tubuh.
Pada secondary survey, dari anamnesis didapatkan keluhan nyeri dada yang
atipikal (angina atipikal), yaitu nyeri dada yang dirasakan seperti di tusuk-tusuk,
menjalar ke bahu sebelah kiri. Keluhan diikuti oleh nyeri ulu hati (epigastrium) dan
sesak napas. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 190/100 mmHg, adanya
ronkhi di kedua basal paru, apex jantung bergeser ke lateral, peningkatan JVP, dan
pitting edema di kedua tungkai. Pada pemeriksaan EKG didapatkan gambaran irama
sinus dengan iskemia high lateral dan hipertrofi ventrikel kiri. Dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis sindrom koroner
akut NSTEMI dd UAP. Pada pasien ini, masih diperlukan pemeriksaan biomarka
jantung untuk membedakan antara NSTEMI dan UAP. Selain itu pada pasien ini, sudah
masuk ke kategori killip II karena sudah terdapat adanya kongesti di setengah paru. 2
Terapi yang diberikan di instalasi gawat darurat pada pasien dengan sindrom
koroner akut NSTEMI atau UAP yaitu pemberian aspirin dan clopidogrel loading dose.
Aspirin diberikan dengan dosis 320 mg (4 tablet) dan clopidogrel diberikan dengan
dosis 300 mg (4 tablet). Kemudian suplementasi oksigen diberikan bila saturasi oksigen
< 90%. Nitrogliserin diberikan bila nyeri dada sedang berlangsung. Karena nitrogliserin
tidak tersedia, ISDN dapat diberikan secara sublingual dengan dosis 5 mg. 2
Bila terdapat resiko sangat tinggi pada pasien, maka perlu dilakukan strategi
invasif (angiografi) dalam waktu < 2 jam perlu dilakukan. Tetapi pada pasien ini,
masuk ke kategori risiko intermediate (skor GRACE = 129) sehingga tindakan invasif
dapat ditunda dalam waktu 72 jam. Tetapi karena keterbatasan fasilitas, tindakan
invasif tidak dilakukan dan pasien diberikan terapi konservatif.2

23
BAB IV
KESIMPULAN

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan angina atipika, ronkhi basah halus di
basal, edema tungkai dan peningkatan JVP. Dari pemeriksaan EKG didapatkan
gambaran iskemik high lateral dan hipertrofi ventrikel kiri, sehingga dapat
ditegakkan diagnosis kerja NSTEMI dd UAP.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan biomarker jantung untuk membedakan antara
NSTEMI dan UAP.
3. Terapi awal dengan MONA (morfin, oksigen, aspirin) dapat diberikan pada pasien
dengan kemungkinan SKA maupun definitif SKA sesegera mungkin.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyohadi B, Arsana PM, Suryanto A, Soeroto AY, Abdullah M, editor. EIMED


PAPDI: Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. 2 ed. Jakarta: Persatuan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia; 2011.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Sindrome Koroner Akut. 4 ed. Jakarta; 2018.
3. Lilly LS, Harvard Medical School, editor. Pathophysiology of heart disease: a
collaborative project of medical students and faculty. 6 ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2016.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6 ed. Jakarta: Internal Publishing; 2014.
5. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE, Collins KJ, Dennison
Himmelfarb C, dkk. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA Guideline
for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure
in Adults: A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Hypertension. 13
November 2017;
6. Williams B, Mancia G, Spiering W, Agabiti Rosei E, Azizi M, Burnier M, dkk.
2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension. Eur Heart
J. 1 September 2018;39(33):3021–104.

25

Anda mungkin juga menyukai