Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

PNEUMOTHORAKS

Disusun Oleh:

Rike Despriyani
NIM. 1808436241

Pembimbing:
dr. Surya Hajar, Sp.P (K) FISR

KEPANITERAAN KLINIK PULMONOLOGI


DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara bebas dalam


cavum pleura, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga
paru-paru tidak mengembang dengan maksimal. Pneumotoraks dapat terjadi baik
secara spontan atau traumatik. Pneumothoraks spontan itu sendiri dapat bersifat
primer dan sekunder. Sedangkan pneumothoraks traumatik dapat bersifat
iatrogenik dan non iatrogenik. Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan
pleura visceralis. Diantara pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura.
Cavum pleura normal berisi sedikit cairan sereous jaringan. Tekanan intrapleura
selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif intrapleural membantu dalam
proses respirasi.1,2
Insidensi pneumothoraks sulit diketahui. Namun dari sejumlah penelitian
yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pneumothoraks sering terjadi pada
penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih seringdaripada
wanita, dengan perbandingan 5:1. Pada pria, resiko pneumothoraks spontan akan
meningkat pada perokok berat dibanding non prokok. Pneumothoraks spontan
sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak dekade ketiga kehidupan
(20-40 tahun).3Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Ahmad Provinsi Riau
angka kejadian pneumothoraks tahun 2017 adalah 8 kasus dari 10 kasus penyakit
di ruang paru terpadu RSUD Arifin Ahmad Provinsi Riau.4
Untuk diagnosis dilakukan dengan beberapa tahap dari melakukan
anamnesis, gejala klinis yang terjadi bervariasi, tergantung masing-masing
individu mulai dari yang paling berat hingga yang paling ringan. Biasanya
penderita mengeluh nyeri dada, sesak, mudah lelah dan denyut jantung yang
cepat, dan juga dilakukan pemeriksaan fisik yang terdiri dari inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi. Kemudian dilakukan juga pemeriksaan radiologi yang di
dapatkan pada foto toraks adanya bayangan udara dalam cavum pleura
memberikan bayangan radiolusen yang tanpa struktur jaringan paru (avascular
2

pattern), dan juga bisa didapatkan pendorongan jantung dan trakea ke


kontralateral.Terapi yang diberikan pada pasien dengan pneumothoraks juga harus
bervariasi, mulai yang observasi hingga tindakan bedah 3
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi paru-paru dan pleura


1. Anatomi pleura
Pleura merupakan lapisan pembungkus paru (pulmo). Dimana antara pleura
yang membungkus pulmo dexta dan sinistra dipisahkan oleh adanya mediastinum.
Pleura dari interna ke eksterna terbagi atas 2 bagian: 1,2
a. Pleura visceralis / pulmonis, yaitu pleura yang langsung melekat pada
permukaan pulmo.
b. Pleura parietalis, yaitu bagian pleura yang berbatasan dengan dinding
thorax.
Kedua lapisan ini saling berhubungan pada hilus pulmonale sebagai
ligamentum pulmonale (pleura penghubung). Diantara kedua lapisan pleura
terdapat sebuah rongga yang disebut dengan cavum pleura ini terdapat sedikit
4

cairan pleura yang berfungsi agar tidak terjadi gesekan antar pleura ketika proses
pernafasan.
Pleura parietal bedasarkan letaknya terbagi atas :
a. Cupula pleura (pleura cervicalis)
Merupakan pleura parietalis yang terletak diatas costa I namun tidak
melebihi dari collum costae nya. Cupula pleura terletak setinggi 1-1,5 inchi di atas
1/3 medialos.clavicula.
b. Pleura parietalis pars diafraghmatica :
Pleura yang menghadap ke diafraghma permukaan thoracal yang dipisahkan
oleh fascia endothoracica.
c. Pleura parietalis pars mediastinalis (medialis) :
Pleura yang menghadap ke mediastinum/ terletak di bagian medial dan
membentuk bagian lateral dari mediastinum.

Vaskularisasi pleura
Pleura parietal divaskularisasi oleh Aa. Intercostalis,
a.mammaria,a.musculophrenica dan vena-venanya bermuara pada system vena
dinding toraks. Sedangkan pleura visceralisnya mendapatkan vaskularisasi dari
Aa. Bronchiales.

Inervasi Pleura
a. Pleura parietalis pars costalis diinervasi oleh Nn. Intercostalis
b. Pleura paritalis pars diaphramatica bagian perifer diinervasi oleh Nn.
Intercostales, sedangkan bagian central oleh n.phrenicus
c. Pleura visceralis diinervasi oleh seraut afferent otonom dari plexus
pulmonalis.

2. Fisiologi Pleura
Fungsi mekanis pleura adalah meneruskan tekanan negatif toraks kedalam
paru-paru yang elastik dapat mengembang. Tekanan pleura pada waktu istirahat
(restting pressure) dalam posisi tiduran adalah -2 sampai -5 cm H2O, sedikit
bertambah negative di apex sewaktu posisi berdiri. Sewaktu inspirasi tekanan
5

negative meningkat menjadi -25 sampai -35 cm H2O. Selain fungsi mekanis,
seperti telah disinggung diatas, cavum pleura steril karena mesothelial bekerja
melakukan fagositosis benda asing dan cairan yang diproduksinya bertindak
sebagai lubrikans. Cairan cavum pleura sangat sedikit, sekitar 0,3 ml/ kg, bersifat
hipoonkotik dengan kosentrasi protein 1g/ dl. Gerakan pernafasan dan gravitasi
kemungkinan besar ikut mengatur jumlah produksi dan resorbsi cairan cavum
pleura. Reasorbsi terjadi terutama pada pembuluh limfe pleura parietalis, dengan
kecepatan 0,1 sampai 0,15 ml/kg/jam.

2.2 Definisi dan Klasifikasi Pneumothoraks


Pneumothoraks adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam
cavum pleura. Pada kondisi normal, cavum pleura tidak terisi udara sehingga
paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumothoraks
adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang
menyebabkan kolapsnya paru. Klasifikasi menurut penyebabnya, pneumothoraks
dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu;1
1. Pneumothoraks spontan yaitu setiap pneumothoraks yang terjadi secara
tiba-tiba. Pneumothoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi kedalam dua
jenis yaitu;
a. Pneumothoraks spontan primer, yaitu pneumothoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar
yang jelas. Lebih sering pada laki-laki muda sehat dibandingkan
wanita. Timbul akibat ruptur bulla kecil (12cm) subpleural, terutama
dibagian puncak paru.
b. Pneumothoraks spontan sekunder, yaitu pneumothoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang
mengalami ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain:
TB paru, asma lanjut, pneumonia, abses paru atau Ca paru. Fibrosis
kistik, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kanker paru-paru,
asma, dan infeksi paru-paru.
6

2. Pneumothoraks traumatik, yaitu pneumothoraks yang terjadi akibat adanya


suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan
robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumothoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi dua jenis,
yaitu:
a. Pneumothoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumothoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumothoraks traumatik iatrogenik aksidental adalah suatu
pneumothoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan tersebut
medis. Pneumothoraks jenis ini pun masih dibedakan menjadi dua,
yaitu:
1. Pneumothoraks traumatik iatrogenik aksidental adalah suatu
pneumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
2. Pneumothoraks traumatik iatrogenik artifisisal (deliberate) adalah
suatu pneumothoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam cavum pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai
permukaan paru-paru.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumothoraks dapat diklasifikasikan
kedalam tiga jenis yaitu:
1. Pneumotoraks tertutup (simple pneumothoraks) pada tipe ini, pleura dalam
keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga
tidak ada hubungan dengan dunia luar.
2. Pneumotoraks terbuka (Open Pneumothoraks), yaitu pneumothoraks
dimana terdapat hubungan antara cavum pleura dengan bronkus yang
merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
7

3. Pneumotoraks ventil (Tension Pneumothoraks) adalah pneumothoraks


dengan tekanan intra pleural yang positif dan makin lama makin
bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil.
Sedangkan menurut luasnya paru mengalami kolaps, maka pneumothorax
dapat di klasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumothoraks yang menekan pada
sebagian kecil paru (<50% volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumothoraks yang mengenai sebagian besar
paru (>50% volume paru).

2.3 Pneumotoraks Spontan4,5


2.3.1 Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada
paru-paru yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari.
Angka kejadian pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18 -28 per
100.000 pria pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and
Gray, 2007). Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi,
kurus, dan berusia antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari
terjadinya PSP adalah ruptur bula subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and
Huggins, 2004). Udara yang terdapat di ruang intrapleura tidak didahului
oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis. Namun banyak
pasien yang dinyatakan mengalami PSP mempunyai penyakit paru-paru subklinis.
Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok
meningkatkan resiko terjadinya pneumothoraks ini (Heffner and Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah terdapat
sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan
porositas menyebabkan kebocoran udara visceral dengan atau tanpa perubahan
emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko
terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura meningkat dari dasar ke
apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru orang bertubuh tinggi rentan
terhadap meningkatnya tekanan yang dapatmendahului proses pembentukan kista
subpleura. Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau
8

hilang secara spontan dalam 24-48 jam. Beberapa macam terapi yang dapat
dilakukan pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan atau
tanpa pleurodesis, d a n video-assisted thoracoscopic surgery (VATS)
(Heffner and Huggins, 2004). Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh
British Thoracic Society (BTS) dan American College of Chest Physician
(ACCP). Terdapat perbedaan untuk besar-kecilnya pneumotoraks dan jenis terapi
untuk PSP simptomatik dan PSP simptomatik yang stabil di antara keduanya.
Berikut adalah ringkasan gabungan panduan terapi menurut BTS dan
ACCP:
a. Clinically stable small pneumothorax
Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan
pneumotoraks kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala minimal adalah
dengan melakukan observasi. Panduan ACCP menyarankan dilakukannya
observasi sekitar 3-6 jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan dengan instruksi
lengkap,dan pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari berikutnya.6,7
b. Large pneumothorax and symptomatic small pneumothorax
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi.
BTS merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama
pada PSP luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil simtomatis. CXR
dilakukan setelah aspirasi untuk menentukan apakah terdapat perbaikan. Apabila
tidak adaperbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal kurang
dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama sudah
lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil maka pemasangan
drain interkostal harus dilakukan.6,7
c. Clinically unstable patients with a large pneumothorax
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan
pemasangan drain interkostal. Paru-paru harus dapat mengembang
sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR dilakukan setiap 24 jam.
d. Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat kebocoran udara
persisten atau paru-paru gagal melakukan re-ekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi
dilakukannya operasi meliputi terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua,
9

pneumotoraks kontralateral yang pertama, dan adanya reiko pekerjaan seperti


penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya menjalani tindakan
operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan seperti VATS,
pleural abrasion, surgical talc pleurodesis, pleurectomy, dan open thoracostomy.
Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak
mempengaruhi efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada
korelasiantara ukuran drain dan tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya
pasiendirawat. Namun kateter dengan diameter kecil tidak dapat
digunakan apabilaterdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya
kebocoran udara (menyebabkan reekspansi yang tidak adekuat).
Suction hanya dapat dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan
drain untuk mengurangi resiko terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan
harus dikonsulkan kepada dokter ahli paru-paru. BTS merekomendasikan
sistem suction dengan volume besar dan tekanan rendah (-10 to -20 cm
H2O). Drain sebaiknya tidak diklem kecuali diminta oleh ahli paru atau spesialis
bedah TKV. Pengekleman drain dapat berbahaya dan tidak ada bukti yang
menunjukkan peningkatan angka keberhasilan atau penurunan resiko rekurensi.
Indikasi klem drain adalah apabila terdapat kebocoran udara terus menerus karena
berpotensi menyebabkan tension pneumotoraks.
2.3.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder4,5,6,7
PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit
paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis
kistik, tuberkulosis, pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat
terjadi ada penyakit intersisiel paru seperti sarcoidosis,
lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and tuberous sclerosis.
Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui
alveoli yang melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae
biasanya terjadi akibat adanya kondisi komorbid. Penyebab terbanyak PSS
adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat. Apabila pneumotoraks terjadi
pasien COPD gejala sesak napas yang progresif muncul dan biasanya bersamaan
dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan penanda signifikan untuk mortalitas
pasien COPD. Setiap kejadian pneumotoraks meningkatkan resiko
10

kematian sampai dengan empat kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan
mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis tidak dilakukan. Untuk
penanganan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube untuk setiap
pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna mencegah rekurensi.
Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi dengan syringe dan
kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit paru yang mendasari
ringan. Sebagian besar pasien membutuhkan drainase melalui chest tube.
Pelepasan chest tube dilakukan setelah terjadi re-ekspansi p a r u d a n resolusi
kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan terakhir dan dilakukan
pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasidan mengalami
pneumotoraks rekuren.5,6

2.4. Patofisiologi Pneumotoraks5,6


Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,
iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan
primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ
paru dan pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi
diagnostik ataupun terapeutik.
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang
mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural
ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan
video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks
spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari
pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitiandengan komputasi
tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan bula subpleural
adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan perokok.
Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah
teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yangdiinduksi oleh
rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini
menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistemoksidan-
antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses
inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran
11

udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan


pneumomediastinum. Tekanan di mediastinum akan meningkat dan
pleuraparietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh
udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya
keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-
paru akan bertambah kecil dengan bertambah luasnya pneumotoraks.
Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak akibatberkurangnya kapasitas
vital paru dan turunnya PO2 .Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor
genetik berperan dalam patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer.
Beberapa kasus pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik
tertentu, seperti sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.
Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paruyang
sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan
alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan
berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum.
Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal
kerongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya
pneumotoraks spontan sekunder adalah penyakit saluran napas seperti PPOK,
kistik fibrosis, asma bronkial.

2.5 Diagnosis7,8
1. Anamnesis di dapatkan gejala yang sangat bervariasi, tergantung kepada
jumlah udara yang masuk ke cavum pleura, gejalanya bisa berupa :1
a. Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin nyeri jika
penderita menarik nafas dalam atau terbatuk
b. Sesak nafas
c. Dada terasa sempit
d. Mudah lelah
e. Denyut jantung yang cepat
f. Warna kulit menjadi keiruan akibat kekurangan oksigen
12

2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper
ekspansi pada dada), pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya
tertinggal, trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat, deviasi trakea,
ruang intercostals yang melebal.
b. Palpasi : pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar,
iktus jantung terdorong ke sisi thorax yang sehat, fremitus suara melemah
atau menghilang pada sisi yang sakit.
c. Perkusi: Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar, batas jantung terdorong kearah thorax yang sehat, apabila
tekanan intrapleural tinggi, pada tingkat yang berat terdapat gangguan
respirasi sianosis.
d. Aukultalsi:Pada bagian yang sakit , suara nafas melemah sampai
mengilang, suara vokal melemah dan tidak menggetar.
3. Pemeriksaan radiologi :
1. Foto rontgen gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus
pneumothoraks antara lain:
a. Bagian pneumothoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis-garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang
paru yang kolaps tidak membentuk garis akan tetapi berentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radioopaque
yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru
yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat
ringan sesak nafas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostalis melebar, diafragma mendatar dan tertekan kebawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi pneumothorax ventil dengan tekanan
intrapleura yang tinggi.
13

Gambar 2. foto Pneumotoraks dengan bayangan udara dalam cavum pleura


memberikan bayangan radiolusen yang tanpa struktur jaringan paru (avascular
pattern).
2. CT-scan toraks
Pada pemeriksaan CT-scan pneumotoraks tension didapatkan adanya kolaps
paru, udara di rongga pleura, dan deviasi dari struktur mediastinum. Pemeriksaan
CT-scan lebih sensitif daripada foto toraks pada pneumotoraks yang kecil
walaupun gejala klinisnya masih belum jelas. Penggunaan USG untuk
mendiagnosis pneumotoraks masih dalam pengembangan.7,8

Gambar 3. Pneumothorax ct scan potongan axial Tampak udara dan colaps paru
14

Gambar 4. Pneumothorax potongan axial tampak udara dan terjadinya colaps paru
2.5 Tatalaksana4,9,10
Penatalaksanaan pneumotoraks meliputi: 4
 Observasi
 Pemberian O2
 Torakosintesis
 Pemasangan Water Sealed Drainage (WSD)
Pemasangan WSD dilakukan untuk mengalirkan udara dan atau cairan
dari dalam rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negatif
rongga pleura. Pemasangan WSD dilakukan pada ICS 5 linea
midaksilaris pada hemitoraks yang terkena. Untuk WSD dicabut
apabila ketika pasien disuruh untuk batuk, undulasi cairan pada botol
WSD sudah tidak terdapat lagi. Untuk mengevaluasi keberhasilan
WSD dalam mengembangkan paru, maka dilakukan pemeriksaan
rontgen kembali.
 Operatif
a. Pleurodesis
Dilakukan dengan merekatkan pleura parietal dan pleuran viseral.
b. Torakoskopi
15

Torakoskopi merupakan suatu tindakan untuk melihat langsung


ke dalam rongga toraks menggunakan alat bantu torakoskop.
Torakoskopi bisa untuk diagnosis maupun untuk terapi.
c. Torakotomi
Torakotomi merupakan tindakan pembedahan pada rongga toraks.
Terapi ini digunakan bila terapi dengan torakospoi gagal
dilakukan.9,10

Gambar 5. Management pneumothoraks spontan


16

BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. G.P
No. MR : 01029427
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Pekanbaru
Masuk RS : 20-11-2019

ANAMNESIS (Auto-anamnesis)
Keluhan utama
Sesak nafas yang semakin memberat sejak 3 hari SMRS
Riwayat penyakit sekarang
- Pasien merupakan rujukan dari RS Awal Bros pekanbaru dengan diagnosis
pneumotoraks kiri spontan sekunder, sudah terpasang WSD. Tiga hari
SMRS pasien mengeluhkan sesak napas. Sesak tidak dipengaruhi oleh
cuaca, debu, makanan, dan aktivitas. Sesak berkurang jika pasien
berbaring kearah kiri.Batuk sejak 6 bulan yang lalu (+), batuk berdahak
(+) berwarna putih , batuk darah(-) nyeri dada kiri (+) nyeri tidak menjalar.
Pasien demam tidak terlalu tinggi, hilang timbul. Keringat malam (+) dan
mengalami penurunan berat badan. Nafsu makan menurun dan mengalami
penurunan berat badan 3 kg dalam 2 bulan terakhir ini. Pasien telah
berobat untuk keluhan demamnya ke Dokter, keluhan berkurang.
- 2 minggu SMRS pasien mengeluhkan sesak nafas, memberat ketika batuk,
sesak tidak dipengaruhi cuaca, aktivitas dan makanan, bunyi mengi (-),
sesak juga tidak dipicu oleh emosi.Sesak berkurang ketika pasien
berbaring dengan posisi kearah kiri. Pasien juga mengeluhkan adanya
17

demam (+) hilang timbul, mual (-), muntah (-), nyeri dada (+). BAB dan
BAK tidak ada keluhan.
Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat trauma pada dada (-)
- Riwayat konsumsi OAT (-)
- Riwayat Tumor (-)
- Riwayat darah tinggi (-)
- Riwayat DM (-)
Riwayat penyakit keluarga
- Tidak ada keluarga yang mengeluhkan hal yang sama
- Tidak ada keluarga dalam pengobatan TB Paru di rumah
Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan
- Pasien seorang pelajar
- Merokok (+) selama 11 tahun x 16 batang = 176 IB Ringan
- Konsumsi alkohol (-), tatto (-)
Pemeriksaan umum (24/11/2019)
- Kesadaran : Composmentis
- Keadaan Umum : Baik
- Tekanan Darah : 100/70mmHg
- Nadi : 80x/menit
- Napas : 30x/menit
- Suhu : 36,3 oC
- Keadaan gizi : BB = 48 kg TB = 160 cm
IMT = (underweight)

Pemeriksaan fisik (23/11/2019)


Kepala
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik-/-, reflek cahaya +/+, isokor,
diameter 2 mm.
- Hidung : nafas cuping hidung (-), keluar cairan/darah (-)
- Mulut : tidak kering, sianosis (-), lidah tidak kotor
18

- Leher: pembesaran kelenjar getah bening (-), deviasi trakea (-), JVP tidak
meningkat
Thoraks
Paru :
- Inspeksi: Pergerakan dinding dada asimetris, dada kiri tertinggal, terpasang
selang WSD di dada kiri, cairan berwarna putih keruh
- Palpasi : Vokal fremitus melemah di hemitoraks kiri.
- Perkusi: hipersonor dihemitoraks kiri, sonor dihemitoraks kanan.
- Auskultasi : Vesikuler melemah di hemitoraks kiri, Rh (-/-), Wh (-/-)
Jantung :
- Inspeksi :Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba1 jari medial linea midklavikula sinistra
- Perkusi : Batas jantung kanan : Linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri : 1 jari medial Linea midklavikula sinistra
- Auskultasi : BJ I dan BJ II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : perut datar, venektasi (-), penonjolan massa (-), perut kodok (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal 8x/menit
- Perkusi : timpani, shifting dullnes (-)
- Palpasi : perut supel, nyeri tekan epigastrium (-), organomegali (-)
Ekstremitas
Pitting edema (-/-), clubbing finger (-), akral teraba hangat, CRT <2 detik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (20/11/2019)
Darah Rutin
• Hb : 16.0 g/dl
• Ht : 76,3 %
• Leu : 10.500 /uL
• Plt : 595.000 /uL
19

Elektrolit
• Na+ : 138 mmol/L
• K+ : 5,0 mmol/L
• Cl : 105 mmol/L
Kimia darah
• Alb : 3,7 g/dL
• GDS : 105 mg/dL
• Ureum : 21.0 mg/dL
• Kreatinin : 1.01 mg/dL
2. Rontgen thoraks (19/11/2019)

Hasil rontgen toraks didapatkan :


 Identitas sesuai
 Foto PA
 Markert L
 Kekerasan keras
 Tampak radiolusen avaskuler pada hemitoraks sinistra
20

RESUME
Tn. GP 24 tahun, rujukan dari RS Awal Bros Pekanbaru dengan keluhan sesak
nafas yang semakin memberat sejak 3 hari SMRS. Sesak berkurang jika pasien
berbaring kearah kiri. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 6 bulan SMRS, batuk
berdahak. Nafsu makan menurun dan pasien mengatakan berat badan turun lebih
kurang 3 kg selama 2 bulan terakhir ini.
Pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum baik dan tanda-tanda vital
dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan pergerakan dinding
dada kiri tertinggal,terpasang selang WSD (+) dengan cairan WSD putih keruh,
vokal fremitus kiri melemah, perkusi hipersonor di hemitoraks kiri. Suara
pernafasan vesikuler pada paru kiri menghilang. Pada pemeriksaan Rontgen
Toraks didapatkan gambaran radiolusen avaskuler pada hemitoraks sinistra
dengan sudut costofrenikus tumpul.

DIAGNOSIS KERJA
TB paru bakteriologis kasus baru status HIV (-)
MASALAH
Pneuomotoraks sinistra ec. TB paru bakteriologis kasus baru
PENATALAKSANAAN
 Non farmakologi
- Bed rest
 Farmakologi :
- O2 via Nasal canule 3L/menit
- IVFD NaCl 0,9 % 500cc/ 8 jam
- Inj. ceftriaxon 1 x 2 IV
- N. Asetil Sistein 3x 200 mg P.O
- Paracetamol 3 x 500 mg p.O KP
- Curcuma 3 x 1 p.o
- OAT 4fdc 1 x 3
21

Anjuran Pemeriksaan Penunjang


- Sputum BTA + GenExpert

Follow Up Pasien

Tanggal S O A P
24- Sesak - Ku : TSS Pneumotorak • O2 via nasal kanul 4
11.2019 nafas - Kes : CM s Sinistra ec L/menit
berkur - TD : 120/70 mmHg TB paru
• IVFD nacl 0,9 %
ang - HR : 94 x/i bakteriologis
500cc/ 8 jam
- RR : 30 x/i
• Inj. ceftriaxon 1 x
- SpO2 : 99% dengan NK
2 IV
3lpm
- terpasang WSD di • N. Asetil Sistein
hemithoraks kiri 3x 200 mg P.O
Dengan produksi cairan • Paracetamol 3 x
putih keruh, undulasi (+), 500 mg p.O KP
buble(+) • Curcuma 3 x 1 p.o
• OAT 4fdc 1 x 3
Labor : Rencana :
Darah Rutin -Evaluasi WSD
Darah Rutin
• Hb : 16.0
g/dl
• Ht : 76,3 %
• Leu : 10.500
/uL
• Plt :
595.000 /uL

Elektrolit
• Na+ : 138
mmol/L
• K+ : 5,0
mmol/L
• Cl : 105
mmol/L
22

Kimia darah
• Alb : 3,7
g/dL
• GDS : 105
mg/dL
• Ureum : 21.0
mg/dL
• Kreatinin : 1.01
mg/dL

25-11- Sesak
Ku : baik
2019 nafas • O2 via nasal kanul 4
- Kes : CM
berkur L/menit
- TD : 100/70 mmHg
ang
- HR : 98 x/i • IVFD nacl 0,9 %
- RR : 24 x/i 500cc/ 8 jam
- SpO2 : 99% • Inj. ceftriaxon 1 x
- terpasang WSD di 2 IV
hemithoraks kiri dengan
• N. Asetil Sistein
produksi cairan puti keruh
3x 200 mg P.O
kehijauan undulasi( +)
• Paracetamol 3 x
buble (+)
500 mg p.O KP
• Curcuma 3 x 1 p.o
• OAT 4fdc 1 x 3

Rencana :
-Evaluasi WSD
23

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Dasar diagnosis klinis


Penegakan diagnosis pneumotoraks berdasarkan klinis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan radiologik. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan sesak
nafas yang tidak berkaitan dengan asma atau penyakit jantung sehingga penyakit
dipikirkan berasal dari kelainan di organ paru. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
pergerakan dinding dada kiri tertinggal, fokal fremitus kiri menurun, perkusi
hipersonor pada lapangan paru kiri serta vesikuler yang menurun pada lapangan
paru kiri. Sehingga dari temuan klinis dan pemeriksaan fisik tersebut dipikirkan
adanya udara di dalam kavum pleura yang menyebabkan pengembangan paru
kanan terganggu yang menimbulkan klinis dan hasil pemeriksaan fisik seperti
diatas. Pada pemeriksaan Rontgen tanggal 19 November 2019 didapatkan
gambaran radiolusen avaskuler pada hemitoraks kiri dengan kolaps paru sinistra
kesan pneumothoraks sinistra.

4.2 Dasar diagnosis etiologi


Etiologi TB paru klinis dipikirkan pada pasien ini karena adanya riwayat
batuk lama disertai keluhan penurunan berat badan, keringat pada malam hari,
demam hilang timbul, sehingga pada pasien ini dipikirkan penyebab
pneumotoraks adalah TB paru klinis, karena salah satu penyebab terjadinya
pneumotoraks adalah karena adanya infeksi.

4.3 Dasar Usulan pemeriksaan penunjang


Darah perifer lengkap untuk melihat apakah terdapat gambaran seperti
anemia pada pasien ini yang mengarah kepada suatu proses kronik atau proses
keganasan. Leukositosis dapat dijumpai apabila terdapat infeksi. Dilanjutkan
dengan pemeriksaan hitung jenis leukosit untuk menilai apakah infeksi terjadi
akut atau kronik. Kimia darah diperiksa untuk melihat apakah terdapat faktor
komorbid pada pasien. Rontgen toraks PA dilakukan untuk evaluasi terapi. Dan
24

dilakukan pemerikasaan sputum BTA dan GeneXpert untuk mendiagnosis TB


secara cepat dan tepat.

4.4 Dasar penatalaksanaan


Pasien diberikan antibiotik sensitif untuk bakteri anaerob seperti ceftriaxon.
Pada pasien karena adanya keluhan demam yang hilang timbul maka diberikan
paracetamol dan pada pasien ini diberikan acetylcsteine untuk mengencerkan
dahak yang menghalangi saluran pernapasan. Pada pasien ini untuk terapi definitif
sebaiknya dilakukan kultur dan uji resistensi antibiotik terlebih dahulu.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya: Airlangga University Press.
2. Arief N, Syahruddin E. 2008. Pneumotoraks. Available on
:http://www.pulmoui.com/tesis/PratamaAD.pdf . [ Cited byAugust 6,
2017].
3. Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary
Spontaneous Pneumthorax: Thers’s Confusion in the Air.
4. Pleural Disease Guidelines; British Thoracic Society.
5. Korom S, Canyurt H, Missbach A, et al; Catamenial pneumothorax
revisited: clinical approach and systematic review of the literature.
6. MacDuff A, Arnold A, Harvey J, on behalf of the BTS Pleural
DiseaseGuideline Group.Management of spontaneous pneumothorax:
British Thoracic Society pleural disease guideline 2010. Thorax2010; 65
Suppl 2: ii18-ii31.
7. Baumann MH, et al. Management of spontaneous pneumothorax. An
American College of Chest Physician. Delphi Consensus statement. Chest
2001;119:590-602
8. Tschopp JM et al. ERS Task Force statement: diagnosis and treatment of
primary spontaneous pneumothorax. Eur Respir J 2015;46:321-359
9. Zehtabchi S, Rios CL. Management of emergency department patients
with primary spontaneous pneumothorax:needle aspiration or tube
thoracostomy? Ann Emerg Med. 2008; availabale in :
https://doi.org/10.1016/j.annemergmed.2007.06.009
10. O. J. Bintcliffe, R. J. Hallifax, A. Edey et al., “Spontaneous
pneumothorax:time to rethink management?” The Lancet
RespiratoryMedicine,vol.3,no.7,pp.578–588,2015.

Anda mungkin juga menyukai