Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

Otomikosis sinistra

Oleh:

Fedia Riska Amilia

NIM.1830912320047

Pembimbing:

dr. Winda Safitri, Sp.THT-KL

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM
RSUD PENDIDIKAN ULIN
BANJARMASIN
Januari, 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................4
A. Definisi..................................................................................................4
B. Epidemiologi.........................................................................................4
C. Etiologi..................................................................................................5
D. Faktor Risiko.........................................................................................7
E. Mnifestasi Klinis...................................................................................7
F. Mikologi................................................................................................8
G. Predisposisi dan Patofisiologi................................................................10
H. Diagnosis...............................................................................................12
I. Penatalaksanaan.....................................................................................16
J. Hasil Monitoring terhadap Metode Pemilihan Terapi...........................24
BAB III DATA PASIEN....................................................................................27
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................27
BAB V KESIMPULAN....................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................28

2
BAB I
PENDAHULUAN

Otomycosis, yaitu infeksi jamur yang menyerang saluran telinga luar,

mungkin melibatkan telinga tengah ke dalam kasus membran timpani berlubang.

Gatal adalah gejala yang paling umum terjadi di lebih dari 90% dari pasien.

Beberapa pasien mungkin mengalami infeksi yang tumpang tindih infeksi bakteri

dengan nyeri, gangguan pendengaran, dan tinnitus. Otomycosis sering terjadi di

tempat yang panas dan lembab daerah (setinggi 54%), tetapi prevalensinya

menurun menjadi 9% di iklim sedang. Berenang dilaporkan sebagai risiko faktor

untuk otomycosis. Antibiotik topikal di liang telinga juga telah dilaporkan sebagai

faktor predisposisi otomycosis.1

Prevalensi dermatomikosis pada pasien dengan otomycosis berkisar antara

36,5% sampai 51% dan sama jamur patogen diisolasi dari dermatomikosis dan

otomycosis pada hampir setengah dari pasien ini. Namun, pengetahuan tentang

otomycosis masih terbatas. Identifikasi organisme patogen yang benar dan faktor

predisposisi dapat memudahkan klinisi untuk menemukan pengobatan yang sesuai

dan untuk mencegah kekambuhan. 1


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Otomikosis adalah infeksi jamur yang sering ditemukan di daerah meatus

acusticus externus, walaupun juga sering meninfeksi telinga bagian tengah.

Penyakit ini terjadi sebagai penyakit infeksi primer atau berkembang bersamaan

dengan infeksi bakteri eksternal akibat terapi antibiotic (antibiotik spektrum luas).

Otomikosis mungkin menjadi subakut atau akut dan ditandai paling banyak

biasanya dengan telinga gatal (pruritus), ketidaknyamanan, otalgia, cairan berbau

busuk, otorrhea, penskalaan, terkadang kehilangan pendengaran, dan atau

perasaan seolah-olah ada sesuatu di liang telinga.2

B. Epidemiologi

Infeksi jamur relatif lebih jarang bila dibandingkan dengan infeksi bakteri

pada otitis externa, dengan tingkat dilaporkan antara 7% dan 24% untuk semua

jenis infeksi.2 Otitis eksterna mencapai sekitar 5 hingga 20% dari total kunjungan

ke departemen Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT), di antara yang datang,

sekitar 10 sampai 25% dapat dikaitkan dengan infeksi jamur yang secara luas

disebut sebagai otitis eksterna jamur atau otomikosis. Meskipun otomikosis sudah

umum di seluruh dunia, penyakit ini lebih sering terjadi pada daerah tropis dan

subtropis. Otomikosis melibatkan epitel skuamosa di atasnya dari saluran telinga

luar tempat sebagian besar penyebab jamur menempati bagian medial saluran

telinga. Kecenderungan untuk berada di bagian medial disebabkan oleh fakta

bahwa
bagian ini hangat dan gelap dibandingkan dengan struktur lain dan mendukung

pertumbuhan jamur. Selain itu, lokasi reses timpani inferior juga memungkinkan

akumulasi debris, selanjutnya mendorong pertumbuhan jamur.3

Insiden otomikosis tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 21-30 tahun

dengan insiden terendah diamati pada usia kurang dari 10 tahun dan di atas 60

tahun. Beberapa penelitian melaporkan lebih tinggi prevalensi otomycosis pada

pria, tetapi wanita juga banyak karena penggunaan jepit rambut dan hijab.

Otomikosis terlihat terutama di kelas sosial ekonomi bawah. Ini juga memiliki

kecenderungan terjadi pada petani dan pekerja konstruksi karena bekerja di daerah

panas dan lembab. Otomikosis sebagian besar muncul dengan pada telinga

unilateral dengan telinga kanan lebih sering. Diliar negeri insidensi penyakit

otomikosis didapati banyak pada musim gugur, sedangkan otitis externa akut

banyak didapati pada musim panas.2

C. Etiologi

Flora yang ditemukan di saluran telinga luar terdiri dari serangkaian

mikroorganisme yaitu. genus Aspergillus atau jamur mirip ragi, Candida spp.,

Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Spesies Streptococcus,

Micrococcus, spesies Corynebacterium, Spesies Bacillus, Pseudomonas

aeruginosa, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis dll.

Flora komensal tidak patogen selama keseimbangan antara bakteri dan jamur

dipertahankan di saluran telinga luar.4 Spesies yang paling sering terdapat pada

otomikosis adalah Aspergillus flavus (42,4%), A. niger (35,9%), A. fumigatus


(12,5%), A. candidus (7,1%), A. terreus (1,6%), dan Paecilomyces variotii (0,5%).

Otomikosis dapat dijumpai di berbagai wilayah di dunia, umumnya prevalensi

otomikosis terkait dengan wilayah demografis dengan tingkat kelembaban yang

tinggi di daerah tropis dan subtropis. Negara tropis dan subtropis mempunyai

derajat kelembaban yang tinggi sekitar 70-80% dengan suhu udara sekitar 15-300

C.4

Tabel 1. Berbagai macam penyebab Otomikosis5

Penelitian oleh Khaled Ali,dkk juga didapatkan A. niger (50,98%) adalah

yang paling umum diisolasi, diikuti oleh Aspergillus flavus (33,33%), dan

kemudian oleh spesies Candida (14,7%). Hal ini sesuai. Namun, patogen jamur

utama pada otomycosis berbeda dalam berbagai laporan yang tergantung pada

variabilitas dalam distribusi geografis dan faktor lingkungan.5,6


Gambar 1. Berbagai gambaran jamur Aspergillus

D. Faktor Resiko

Faktor risiko umum untuk otomikosis diantaranya gaya hidup yang tidak

higienis, terdapat trauma kecil, peradangan atau cedera fisik pada daerah telinga,

penggunaan kolam renang, terkena panas dengan atmosfer lembab, seperti di

daerah tropis dan subtropis, penggunaan antibiotik dalam waktu lama, dan

penggunaan obat tetes telinga steroid untuk pasien yang memiliki gangguan

sistem kekebalan. Penggunaan jilbab atau hijab yang dikenakan oleh perempuan

juga menyumbang faktor resiko karena dapat menyebabkan lembab di daerah

kepala.5,7

E. Manifestasi Klinis

Otomikosis adalah memiliki gejala klinis yang umum. Meski tidak

mengancam nyawa, tetapi ini bisa menjadi kondisi yang membuat frustasi bagi

pasien dan dokter karena kebutuhan akan terapi jangka panjang, tindak lanjut rutin

dan kecenderungan kambuh. Gejala otomycosis paling umum adalah pruritis dan

otalgia. Keluhan umum lainnya adalah aural fullness, tinnitus, gangguan

pendengaran, sensasi gatal dan terdapat kotoran telinga.7 Gatal di telinga adalah
gejala yang paling umum di 89% pasien. Pertumbuhan jamur bercampur dengan

puing-puing epitel dan serumen membentuk sumbat mikotik yang khas. Hal ini

menimbulkan gejala telinga tersumbat, diikuti oleh gejala nyeri ditelinga.8

Tabel 2. Gejala yang dirasakan oleh pasien8

F. Mikologi

Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri

dari sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan karakteristik

utama yang membedakan jamur, karena banyak mengandung substrat nitrogen

disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari nukleus,

mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan

sentriol dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Benang-benang hifa bila

bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium.9

Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk

spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang

dibentuk hifa, besarnya antara 1-3µ, biasanya bentuknya bulat, segi empat,

kerucut atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan

memanjang membentuk hifa. terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual

(gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa

penggabungan). Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen


jamur yang dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat

perlekatan, jamur dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar

ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban, kompetensi dengan flora normal,

spingosin dan asam lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang tertutup dan

maserasi memudahkan masuknya jamur ke epidermis. Masuknya dermatofita ke

epidermis menyebabkan respon imun pejamu baik respon imun nonspesifik

maupun respon imun spesifik. Respon imun nonspesifik merupakan pertahanan

lini pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor

umum, seperti gizi, keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang

mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan dan respons radang. Respons

radang merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik terpenting yang dirangsang

oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu pertama

produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi

organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah lisozim, sitokin, interferon,

komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua merupakan elemen seluler,

seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi utama fagositosis, mencerna, dan

merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam respons imun yang spesifik.

Selsel lain yang termasuk respons radang nonspesifik ialah basophil, sel mast,

eosinophil, trombosit dan sel NK (natural killer). Neutrofil mempunyai peranan

utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur.9

Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah

jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B merupakan

sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai
mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organism asing, sehingga terjadi

amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk merspons secara cepat terhadap

adanya presentasi dengan memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan

dalam respons seluler terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada

infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh adanya kontak antara

limfosit dengan antigen. Aspergillus sp termasuk dalam kelas ascomycetes yang

berkembang biak dengan pembentukan hifa dan menghasilkan konidiospora

pembentuk spora. Jenis dari aspergillus yaitu Aspergillus niger, Aspergillus

flavus, Aspergillus fumigatus, Aspergillus nidulans, Aspergillus oryzae dan

Aspergillus wentii.9

G. Predisposisi dan Patofisiologi

Terjadinya suatu penyakit berhubungan dengan adanya interaksi antara

inang, agen dan faktor lingkungan. Keadaan lingkungan dan kondisi tubuh

manusia sebagai inang merupakan bagian dari faktor predisposisi terjadinya

otomikosis. Faktor predisposisi tersebut dapat meliputi ketiadaan serumen,

kelembaban yang tinggi, peningkatan temperatur dan trauma lokal yang biasanya

sering disebabkan oleh kapas telinga (cotton buds) dan alat bantu dengar.

Serumen sendiri memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang berfungsi menekan

pertumbuhan bakteri dan jamur. Olah raga air misalnya berenang dan berselancar

sering dihubungkan dengan keadaan ini oleh karena paparan ulang dengan air

yang menyebabkan keluarnya serumen dan keringnya kanalis auditorius

eksternus. Bisa juga disebabkan oleh adanya prosedur invasif pada telinga seperti

pada saat membersihkan telinga.2

Berbagai faktor mempengaruhi perubahan jamur saprotik menjadi jamur


patogenik, namun hal ini masih belum dipahami dengan jelas. Pada umumnya

para peneliti berpendapat bahwa dari sekian banyak faktor yang berperan dalam

timbulnya otomikosis yang terpenting ialah suhu dan kelembaban udara yang

meninggi serta bentuk anatomis dari liang telinga, dimana liang telinga

sebenarnya mempunyai lapisan kulit yang sama dengan lapisan kulit yang

menutupi bagian- bagian badan lainnya. Meskipun demikian dalam beberapa hal

terdapat perbedaan- perbedaan yang penting untuk diperhatikan. Liang telinga

dihubungkan dengan udara luar oleh orifisium yang sempit sehingga dapat

berfungsi sebagai suatu tabung biakan yang diliputi kulit yang merupakan

medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman dan jamur. Pada

kelembaban yang relatif di atas 80%, lapisan tanduk epitel dapat mengabsorpsi

air dari udara dalam jumlah banyak. Pertambahan isi cairan keratin di dalam dan

sekitar unit pilosebaseus menyebabkan pembengkakan dan obstruksi orilisium

dengan demikian mengurangi pengeluaran zat lipoid ke permukaan kulit yang

mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pembentukan serumen. Pada suhu

yang meninggi, produksi keringat menjadi berlebihan dan menyebabkan reaksi

bergeser kearah alkalis sehingga pembentukan serumen yang memerlukan pH

antara 4,7 sampai 7,5 terganggu. Tidak adanya serumen yang bersifat bakterisid

dan fungisid berarti hilangnya proteksi kulit meatus terhadap kuman dan jamur.

Aspergillus memiliki rentang pH optimum 5,7 dan tingkat pertumbuhan

maksimum pada suhu 37°C dan ini adalah cocok untuk semua jenis Aspergillus.

Jamur tidak mendapatkan asupan makanan yang banyak di luar MAE, hal inilah

yang membuat kecenderungan otomikosis terjadi pada sepertiga dalam MAE.2,9


Adanya perubahan dari tiga komponen yaitu inang, agen dan lingkungan

dapat mendukung terjadinya suatu penyakit. Aspergillus adalah jamur patogen

dapat menyebabkan infeksi saat mekanisme pertahanan tubuh inang menurun.

Keratin dan epidermis kulit merupakan mekanisme pertahanan terhadap spesies

Aspergillus. Jika kulit dan adneksanya rusak seperti pada kondisi yang

disebabkan kebiasaan mengorek telinga dan masuknya air yang mengubah

struktur kulit dan kondisi kelembaban liang telinga maka otomikosis dapat

terjadi. Pemberian antibiotika sistemik atau lokal pada liang telinga dalam

keadaan tertentu menyebabkan perubahan pada permukaan liang telinga

sedemikian rupa sehingga jamur segera tumbuh pada daerah tersebut.9

H. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis dapat didapatkan adanya keluhan

rasa gatal yang dominan, nyeri di dalam telinga, rasa penuh serta adanya sekret

yang keluar dari telinga. Pada riwayat biasanya terdapat kecenderungan

beraktifitas yang berhubungan dengan air, misalnya berenang, menyelam, dan

sebagainya.

Pada pemeriksaan MAE ditemukan berbagai variasi derajat inflamasi

meliputi hiperemi, edema liang telinga hingga terbentuknya jaringan granulasi.

Membran timpani sering tertutup debris, tampak meradang, tampak penebalan

dan kadang terjadi perforasi. Terkadang setelah debris dibersihkan akan tampak

ekskoriasis pada dinding MAE. Pada pemeriksaan otoskopi terdapat gambaran

Aspergillus sp berupa sumbatan oleh massa yang berwarna kelabu kotor terdiri

dari miselium dengan hifa dan konidiofora serta spora bersamaan eksudat dan
menyumbat hampir menutupi seluruh liang telinga. Pada pemeriksaan otoskopi

seringkali terdapat debris serta MAE yang eritema dan edem. Jika A. niger

adalah agen penyebab, dapat terlihat tumpukan jamur dengan bulatan spora

berwarna kehitaman. Debris ini meliputi meatus sehingga dapat mengakibatkan

obstruksi, terkadang digambarkan seperti kertas basah kehitaman dan MAE

dapat terlihat membengkak.10

Diagnosis klinis otomikosis dapat dibuat berdasarkan gejala dan

ditemukannya gambaran jamur di MAE serta ditunjang dengan gambaran yang

tampak pada mikroskop serta pertumbuhan jamur dari debris yang diperoleh dari

MAE pada biakan. Pada infeksi jamur Aspergillus sp akan tampak MAE yang

cenderung kering, tampak kumpulan konidiofora seperti jarum pentul halus

dengan warna bervariasi dari putih, kuning, coklat, hitam atau hijau tergantung

umur dan spesies Aspergilus

A B
Gambar 1. Gambaran otoskopi infeksi Aspergillus sp. (A) Gambaran
otoskopi infeksi Candida sp.2

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan

terhadap preparat langsung maupun dengan pembiakan. Pada pemeriksaan

preparat langsung, skuama yang diambil dari kerokan kulit liang telinga

diperiksa dengan KOH 10 % dan akan tampak hifa-hifa lebar, berseptum,


serta kadang-
kadang dapat ditemukan spora- spora kecil dengan diameter 2-3 u. Isolasi agen

penyebab dengan kultur dapat menunjukkan spesies jamur penyebab otomikosis.

Skuama dibiakkan pada media agar Saboraud dan dieramkan pada suhu kamar.

Media ini memiliki pH 5,6 + 0,2 dan mengandung kasein dari hasil pencernaan

pancreas, jaringan binatang hasil pencernaan lambung, dekstrose, agar dan air.

Media ini adalah media yang optimal untuk pertumbuhan jamur tetapi tidak baik

untuk pertumbuhan bakteri. Untuk menekan pertumbuhan bakteri dapat

ditambahkan kloramfenikol atau gentamisisn dan untuk menekan pertumbuhan

jamur saprofit ditambahkan cycloheximide. Sediaan diinkubasikan pada suhu 37O

C selama 48 jam dan koloni yang tumbuh kemudian dievaluasi. Koloni dapat

tumbuh dalam satu hingga dua minggu berupa koloni filamen berwarna putih.

Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung hifa dapat

ditemukan spora berjejer melekat pada permukaannya. Identifikasi jamur secara

makroskopis didasarkan pada bentuk, ukuran dan warna koloni. Identifikasi

secara mikroskopik biasanya dengan mengevaluasi fragile asexual conidia dan

fragmen growth teased free. Pemeriksaan dilakukan dengan pewarnaan

lactophenol cotton blue, methylen blue atau pengecatan Gram yang akan

mewarnai miselia, konidia dan spora. Seperti halnya infeksi mikroba, diagnosis

infeksi jamur tergantung pada konfirmasi observasi klinis dan investigasi

laboratorium. Infeksi fungi atau jamur superfisialis seringkali ditunjukkan

dengan karakteristik khususnya pada pemeriksaan fisik yang mendukung

diagnosis. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu mendukung penegakkan

diagnosis. Keberhasilan pemeriksaan laboratorium dapat ditentukan dari

ketepatan pengambilan sampel, baik jumlah


dan jenis spesimen, maupun cara pengambilan dan prosedur tes mikrobiologi.

Hal tersebut berbeda-beda pada masing-masing penyakit sesuai dengan tanda

dan gejala penyakit tersebut. Intepretasi laboratorium sendiripun dapat dibuat

secara pasti maupun dengan diagnosis banding dengan pertimbangan korelasi

klinis. Pengambilan sampel spesimen pada telinga dapat dilakukan dengan

pengerokan pada kulit liang telinga untuk mendapatkan debris. Dapat pula

dilakukan usapan untuk mendapatkan debris tersebut. Spesiemen harus diperiksa

sesegera mungkin. Bila tidak dapat dikirim ke laboratorium dalam waktu 2 jam,

maka harus disimpan pada suhu 40o C.9

Investigasi kemudian dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskop

langsung, tes serologi maupun kultur yang memiliki kelebihan maupun

keterbatasan masing- masing. Pada penelitian atau studi untuk mengetahui jenis

penyebab, kultur jamur seringkali merupakan pemeriksaan definitif meskipun

tidak jarang memiliki berbagai keterbatasan, terutama bila jumlah spesimen tidak

adekuat dan terlambatnya transport spesimen. Prosedur isolasi yang salah pun

dapat menyebabkan ketidakberhasilan diagnosis. Isolat kemudian dapat tumbuh

dalam waktu 2 hingga 4 minggu. Namun demikian Aspergillus sp dapat tumbuh

menjadi koloni yang dapat diidentifikasi dalam 7-10 hari. Kultur kemudian

sebaiknya dievaluasi 3 kali dalam seminggu dan disimpan pada suhu inkubasi

25- 300 C.9


Gambar 2. Gambaran Makroskopi (A) & Mikroskopi (B) Aspergillus sp

I. Penatalaksanaan

Prinsip dasar pengobatan otomikosis adalah aural toilet atau membersihkan

telinga yang bersifat efektif, menjaga telinga tetap kering, meminimalisir faktor

predisposisi, identifikasi organisme penyebab dan mengeliminasi otomikosis

dengan menggunakan anti jamur yang efektif baik anti jamur spesifik ataupun

nonspesifik. Tujuan utama pengobatan otomikosis adalah menghilangkan atau

membunuh organisme patogen dalam liang telinga dan memperbaiki membran

mukosa liang telinga. Meskipun penggunaan anti jamur sistemik tidak dilarang

pada otomikosis, penggunaanya diperuntukkan pada kasus yang lebih berat dan

memiliki respon yang lemah pada pengobatan lokal. Meskipun jarang digunakan,

keberhasilan pemberian anti jamur oral tidak sama seperti pada pemberian lokal

yang dianggap lebih adekuat pada kasus otomikosis.2,10

Sekarang ini ada empat golongan obat-obatan anti jamur yang utama yaitu

Poliene (Nistatin, ampoterisin B), Azol-imidazol (Klotrimazol 1%, elonazol,

mikonazol 2%, ketokonazol 2%, sulkonazol, aksikonazol, terkonazol,

senakonazol), Alilnamin (Naftilin, terbinafin, butenafin) dan echinicandin.

Standar prngobatan otomikosis adalah anti jamur topikal golongan azol. Obat

anti jamur topikal digunakan pada kulit atau mukosa yang tidak berambut. Efek
samping anti jamur topikal lebih minimal dibandingkan dengan anti jamur

sistemik. Antijamur topikal biasa digunakan pada infeksi superfisial yang

disebabkan jamur. Kelemahan dari antijamur topikal adalah tidak dapat

mengenai seluruh permukaan MAE. Frekuensi kambuh biasanya hanya didapati

pada otomikosis dengan spora yang persisten. Pada salah satu studi menyatakan

spora subepitelial yang persisten dapat dihilangkan pada penggunaan tetes

telinga anti jamur, namun di Indonesia penggunaan antijamur tetes jarang

digunakan. Golongan azol-imidazol ditemukan setelah tahun 1960, relatif

berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat

sintesis ergosterol jamur yang akan menimbulkan kerusakan pada membran sel

jamur.1,9

Fisiologi jamur

Jamur dapat lebih bertahan dalam keadaan alam sekitar yang tidak

menguntungkan dibanding dengan jasad-jasad renik lainnya. Jamur dapat hidup

pada pH 3,8-5,6, bersifat fakultatif artinya dapat hidup dalam keadaan aerobik

(ada oksigen) maupun anaerobik (tidak ada oksigen). Jamur dapat tumbuh dalam

kisaran suhu 22- 300C (saprofit) dan 30-370C (parasit), tanpa cahaya dengan

komponen struktural dinding sel kitin, selulose atau glukan. Jamur dapat hidup

dalam kadar gula 4-5%, resisten terhadap penisilin, tetrasiklin, kloramfenikol dan

peka terhadap griseofulvin (Pelczar dan Chan,1986). Jamur dapat ditanam pada

medium padat atau cair dalam tabung atau petri. Pertumbuhan jamur pada

umumnya lambat dibanding pertumbuhan bakteri,sehingga jika dalam

penanaman terdapat bakteri dan jamur, maka bakteri akan menutupi permukaan

media sebelum jamur sempat tumbuh. Pada dasarnya jamur mempunyai


keasaman yang
lebih besar dibanding dengan bakteri.9

Aspergillus

Aspergillus termasuk dalam divisi Eumycophyta, kelas Ascomycetes dan ordo

Aspergillales. Memiliki familia Aspergillaceae, genus Aspergillus dan spesies

Aspergillus sp. Aspergillus adalah jamur yang membentuk filament-filamen

panjang bercabang, dan dalam media biakan membentuk miselia dan

konidiospora. Ciri Aspergillus sp adalah mempunyai hifa berseptat dan miselium

bercabang, sedangkan hifa yang muncul diatas permukaan merupakan hifa fertile,

koloninya berkelompok, konidiospora berseptat atau non septat, pada ujung hifa

muncul sebuah gelembung, keluar dari gelembung ini berupa sterigma. Pada

sterigma muncul konidium-konidium berwarna yang memberi warna pada jamur

seperti hitam, coklat, kuning tua dan hijau. Pemilihan untuk jamur aspergillus

berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di RSUP sanglah pada tahun 2014

bahwa jamur yang paling banyak adalah Aspergillus sp. Bila diameter hambat

kurang dari 10 mm maka aktivitas penghambatnya dikategorikan resisten. Bila

diameter 10-20mm atau lebih maka dikategorikan sensitif.9

Antijamur mempunyai dua pengertian yaitu fungisidal dan fungistatik.

Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat membunuh jamur,

sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan jamur tanpa

mematikannya. Tujuan utama pengobatan infeksi jamur adalah membunuh

organisme yang patogen dan memulihkan kembali flora normal kulit dengan cara

memperbaiki membran mukosa yang merupakan tempat berkembangnya koloni

jamur. Menemukan target antijamur yang tepat adalah sulit karena pada manusia
jamur bersifat eukariotik, banyak proses molekuler dan seluler yang serupa dan

sering. Mekanisme antijamur dapat dikelompokkan menjadi9:

1. Gangguan pada membran sel

Gangguan ini dapat terjadi karena adanya ergosterol di dalam membran sel

jamur. Ergosterol merupakan komponen sterol yang sangat penting, yang mudah

diserang oleh antibiotik turunan polien. Komplek polien ergosterol yang terjadi

dapat menyebabkan kebocoran dari membran sel dan akhirnya lisis. Contoh

senyawa dengan mekanisme gangguan pada membran sel adalah amfoterisin B,

nistatin.

2. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur

Azol-azol menganggu sintesis ergosterol. Mereka memblokir dimetilasi14-

a- yang tergantung pada sitokrom P450 dari lanosterol, yang merupakan

prekursor ergosterol dalam jamur dan kolesterol dalam tubuh. Hal ini dapat

mengubah permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam

pengangkutan senyawa-senyawa esensial yang dapat menyebabkan

ketidakseimbangan metabolit sehingga menghambat biosintesis ergosterol dalam

sel jamur. Contoh senyawa dengan mekanisme penghambatan biosintesis

ergosterol dalam sel jamur adalah ketokonazol, flukonazol, itrakonazol.

3. Penghambatan sintesis protein jamur

Mekanisme ini merupakan mekanisme yang disebabkan oleh senyawa

turunan pirimidin. Efek antijamur terjadi karena senyawa turunan pirimidin

masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase dan dalam

sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah mengalami deaminasi menjadi

5-fluorourasil.
Sintesis protein sel jamur terganggu akibat penghambatan langsung sintesis

DNA oleh metabolit 5-flurourasil. Contoh senyawa dengan mekanisme

penghambatan sintesis protein jamur adalah flusitosin.

4. Penghambatan perkembangan jamur

Efek antijamur ini terjadi karena adanya senyawa antibiotik griseofulvin

yang mampu mengikat protein mikrotubulus dalam sel, kemudian merusak

struktur spindle mitotik dan menghentikan metafase pembelahan sel jamur

sehingga akan membatasi perkembangan jamur.

Larutan Ketokonazol 2%

Ketokonazol 2% termasuk golongan azol dengan nama sistematik ( 2 - ( 2 ,

4 – Dichlorobenzyloxy ) – 2 - ( 2 , 4 dichlorophenyl) putih, bau kurang

menyengat, sukar larut dalam air dan isopropranol, etanol. kloroform dan

propilen glikol, agak sukar larut dalam metanol, larut dalam dimetilformarnid,

mudah larut dalam dimetilsulfoksida, Titik lebur 78-88oC, penyimpanan pada

suhu 25-30°C dan terlindung dari cahaya, panels. Bisa disimpan pada lemari

pendingin Mekanisme Ketokonazol 2%, yaitu mengganggu kerja enzim sitoktom

P-450 lanosterol l4- demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk

mengubah lanasterol menjadi ergosterol. Ergosterol adalah sebuah sterol selular

utama jamur yang penting untuk menjaga integritas dan fungsi membran sel

jamur. Penghambatan biosintesis ergosterol menyebabkan rusaknya membran sel

jamur, merubah permeabilitasnya sehingga terjadi kehilangan elemen intraselular

penting. Selain itu terjadi penghambatan aktivitas enzim oksidatif dan

peroksidatif yang menyebabkan tingginya kadar hidrogen peroksida éntraselular

yang berkontribusi
pada kematian sel. Pada konsentrasi tinggi, golongan azol dapat menyebabkan ion

K positif dan ion lain bocor dan keluar dari sel jamur.1,2,9

Gambar 3. Rumus bangun Ketokonazol 2%

Larutan Povidon Iodin 1%

Unsur Iodium merupakan suatu germisid efektif. Mekanismenya tidak

diketahui dengan jelas. Larutan iodium 1:20.000 membunuh bakteri dalam 1

menit dan spora dalam 15 menit. Iodium yang digabungkan dengan polivinil

pirolidon menghasilkan suatu kompleks iodofor. Tahun 1955, povidon iodin

mulai diperdagangkaan setelah banyak diminati sebagai desinfektan. Merupakan

antiseptik eksternal dengan spektrum mikrobisidal untuk pencegahan atau

perawatan pada infeksi topikal yang berhubungan dengan operasi, luka sayat,

lecet, mengurangi iritasi mukosa ringan. Povidon iodin terdiri dari

polyvinylpyrrolidone (povidone, PVP) dan elemen iodine sekitar 9.0 % - 12.0%

iodin. Povidon iodin memiliki pH sekitar 1,5-6,5.9


2-Pyrrolidinone, 1-ethenyl-, homopolymer, campuran dengan iodine.
Gambar 4. Struktur povidon iodin

Povidon iodin adalah suatu bahan yang dapat larut dalam air dingin, ethyl

alcohol, isopropyl alcohol, polyethylene glycol, dan glycerol. Lebih stabil bila

dibandingkan dengan larutan iodine tincture atau larutan lugol. Shelanski dalam

percobaan secara in vitro pada tikus bahwa povidon iodin sebagai anti bakteri

tidak toksik dibandingkan dengan iodin tinctur. Povidon iodin merupakan iodine

kompleks yang berfungsi sebagai antiseptik, mampu membunuh mikroorganisme

seperti bakteri, jamur, virus, protozoa, dan spora bakteri. Aktifitas antimikroba

povidone iodine dikarenakan kemampuan oksidasi kuat dari iodine bebas

terhadap asam amino, nukleotida dan ikatan ganda, dan juga lemak bebas tidak

jenuh. Hal ini menyebabkan povidon iodin mampu merusak protein dan DNA

mikroba. Kemampuan povidon iodin dalam hal infalamasi adalah menghambat

interleukin- 1 beta (IL-1β) dan interleukin -8 (IL-8). Povidone iodin sebagai anti

jamur dengan cara penetrasi pada dinding luar jamur lalu membunuh selnya

dengan mengganggu struktur protein dan asam nukleat dari jamur. Sediaan

larutan povidon iodin yang berada dipasaran adalah konsentrasi 10 % yang

mengandung iodin 1%. Larutan povidon iodin 10% dapat diencerkan dengan

aquabidest perbandingannya 1:10 sehingga didapatkan larutan povidon iodin 1%

dengan konsentrasi iodin 0,1%, pH


rata-rata 2,05, viskositas rata-rata 3 cp dan berat jenis rata- rata 1,0269% yang

dihitung menggunakan piknometer dan pH meter Hana.9

Pendekatan pengobatan sangat bervariasi dan mungkin termasuk terapi

antijamur topikal, antiseptik seperti pewarna gentian violet (methylrosanilin),

topikal teroid, antijamur oral, asam asetat, dan aluminium asetat otic. Belum ada

agen yang disetujui FDA sebagai antijamur topikal untuk otomycosis.

Debridemen serial pada saluran telinga untuk mengeluarkan jamur, dilakukan

dengan mikroskopis visualisasi langsung agar tidak terjadi trauma pada saluran,

penting dalam beberapa kasus untuk mengendalikan infeksi. Biasanya antijamur

topikal adalah terapi lini pertama yang paling umum, Azoles, yang termasuk

imidazol yang lebih tua (misalnya, klotrimazol, ketokonazol, mikonazol) dan

triazol yang lebih baru (misalnya, flukonazol, itrakonazol, vorikonazol). Secara

umum, jamur lebih sulit untuk diobati dan agen seperti flukonazol yang

digunakan secara sistemik, hanya efektif melawan ragi. Meskipun tidak ada

konsensus tentang pengobatan otomikosis yang optimal, kotrimazol topikal

sering dianggap sebagai pengobatan lini pertama di A.S. Dapat digunakan secara

topikal sebagai tetes telinga atau krim dioleskan di MEA. Larutan 1% atau krim

mikonazol topikal 5% diterapkan ke telinga tengah marmut. Herasym dkk.

meninjau semua literatur yang berkaitan penggunaan klotrimazol topikal pada

manusia dengan otomycosis dan hanya ditemukan dua penelitian yang secara

spesifik menyebutkan ototoxicity. Flukonazol sering diberikan secara oral tetapi

memiliki laporan penggunaan topikal pada otomycosis. Azoles telah terbukti

efektif hingga 95%


pasien. Nistatin antijamur poliena (tidak diuji untuk ototoksisitas) dan

amfoterisin B (Ototoksik) juga dapat dioleskan sebagai bubuk atau krim. Banyak

kasus otomycosis karena Aspergillus atau spesies Candida yang resisten

mungkin memerlukan azoles oral seperti itraconazole atau vorikonazol. Cresyl

acetate otic (tingkat kesembuhan 86% tapi ototoksik) dan aluminium asetat otic

(86% angka kesembuhan tetapi ototoksik pada chinchilla dengan perforasi.

Banyak terapi antiseptik (misalnya gentian violet, asam asetat, povidone iodine)

telah terbukti ototoxic pada model hewan dan karenanya harus dihindari jika

memungkinkan pada pasien dengan perforasi membran timpani.2

J. Hasil Monitoring Terhadap Metode Pemilihan Terapi

Dalam beberapa penelitian kami, krim klotrimazol triamcinolone acetonide

digunakan pada kedua kelompok, tetapi tingkat kesembuhan dari kelompok

pengisian dan kelompok smearing berbeda secara signifikan. Karena, pada

kelompok drug filling, krim disuntikkan oleh staf medis di bawah endoskopi, dan

obat dapat disuntikkan dengan jelas ke dalam saluran pendengaran eksternal,

termasuk permukaan membran timpani dan mengisi seluruh saluran. Ini

mencapai cakupan penuh dari lesi jamur setelah menghilangkan debris lokal.

Namun, pada kelompok smearing filling, pasien membawa pulang krim dan

mengoleskannya sendiri ke dalam saluran. Pertama, kedalaman dan cakupannya

terbatas, dan kedua, kepatuhan pasien terhadap penerapan diri sehari-hari

dipertanyakan. Ini mungkin menjadi alasan bahwa tingkat kesembuhan pada

kelompok apusan lebih rendah daripada kelompok isian. Metode pemberian krim

serupa telah dilaporkan, tetapi kebanyakan dari mereka melibatkan pengisian

liang telinga hanya sekali


atau dua kali, 4-6 tidak sesering kelompok perlakuan kami, yang memiliki lebih

dari empat sesi berturut-turut.10

Gambar 5. Perbandingan outcome kedua metode pemberian obat.10

Mofatteh dkk, menemukan bahwa tidak ada perbedaan outcome klinis yang

signifikan antara pemberian Betadine ataupun Clotrimazole topikal, dalam

penelitian ini, klotrimazol dan povidone-iodine digunakan sebagai dua regimen

obat untuk pengobatan otomycosis. Klotrimazol adalah obat yang mengandung

golongan azol yang digunakan untuk mengobati infeksi. Beta-dine juga

merupakan obat untuk infeksi yang mudah dijangkau dan efeknya telah terbukti

pada otitis media supuratif kronis sebagai faktor pencetus otomycosis. Obat ini

adalah zat yang stabil, murah, dan resistensi bakteri dan jamur terhadapnya belum

dilaporkan. Oleh karena itu, betadine adalah pilihan terbaik untuk pengobatan

otomycosis di negara berkembang, karena biayanya yang rendah, keefektifan dan

kurangnya ototoxicity (efek toksik pada telinga). 11 Namun pada penelitian

Kiakojuri dkk, disebutkanbahwa disarankan pada penderita otomikosis, terutama


pada individu
dengan gangguan pada telinga dan timpani, penurunan klotrimazol dapat

digunakan untuk mencegah kekambuhan penyakit ini. Soal harga keekonomian

obat ini akan berakibat pada penurunan rasa tidak nyaman, biaya pengobatan, dan

pemborosan waktu pasien.12


BAB III

DATA PASIEN

I. DATA PRIBADI

Nama : Nn. Siti Maimunnah

Jenis Kelamin: Perempuan

Umur : 24 Tahun

Bangsa : Indonesia

Suku : Banjar

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa

Status : Belum menikah

Alamat : Marabahan

II. ANAMNESIS

Sumber : Anamnesis dengan pasien (Alloanamnesis)

Keluhan Utama :Gatal telinga kiri sejak 1 minggu

Perjalanan Penyakit :

Pasien datang ke poli THT RSUD Ansari Saleh dengan keluhan gatal pada telinga

kiri, gatal dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Gatal dirasakan terus menerus

sehingga sering di korek pasien dengan cotton bud. Selain itu pasien juga

merasakan telinganya terasa penuh dan nyeri, nyeri dirasakan sesekali hilang

timbul. Pasien mengatakan bahwa 1 tahun yang lalu juga pernah mengalami

keluhan yang sama di telinga kiri. Pasien ada riwayat hidung berair dan
tersumbat 2 minggu yang lalu, pasien mengaku sering mengalami hidung berair

jika cuaca dingin. Aktifitas sehari-hari pasien tidak terganggu. Keluhan telinga

berdenging, keluar cairan pada telinga, rasa pusing berputar disangkal. Keluhan

demam, pilek, hidung gatal, bersin, dan hidung buntu disangkal oleh pasien.

Keluhan tenggorokan seperti nyeri dan sulit menelan, batuk, suara serak dan sesak

nafas disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat alergi disangkal.. Pasien sering pilek jika cuaca dingin.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Keluarga pasien menyatakan tidak memiliki riwayat keluhan yang sama.

Riwayat alergi, dan riwayat keganasan pada keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan

Pasien sering mengorek telinganya menggunakan cotton bud 2 hari sekali.

III. STATUS GENERALIS

Keadaan Umum :Keadaan sakit : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Composmentis

GCS : E4V5M6

Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 82 Kali/Menit, Reguler, Kuat angkat

Respirasi : 18 kali/menit

Suhu : 36,7 ºC

SpO2 : 96% tanpa supplementasi O2

VAS :-
IV. STATUS LOKALIS

TELINGA

Inspeksi : Kelainan kongenital (-/-), massa (-/-),fistula (-/-)

Palpasi : Nyeri tekan preaurikular (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tekan

tragus (-/-), nyeri tarik aurikular (-/-)

MAE : Serumen obturan (+/-), sekret (+/-) mukopurulen, hiperemi(+/-) ,

udem(+/-), terdapat furunkel (-/-)

MT : Intak (-/-) (perforasi sentral, kecil, bulat, tepi rata/perforasi sentral,

subtotal, bulat, tepi rata), refleks cahaya (-/-) Hiperemis (+/-)

Gambar 6. Gambaran Otoendoskopi telinga kanan dan kiri

Test pendengaran

Test Rinne : +/+

Test Weber: Lateralisasi tidak ada

Test Schwabach : sama dengan pemeriksa

Kesimpulan: normal

HIDUNG

Inspeksi : Deformitas (-), Hiperemsi (-), Massa (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-)


Sinus: Nyeri tekan sinus frontalis (-/-), sinus maksilaris (-/-),

Sinus etmoidalis (-/-)

Rhinoskopi Anterior

Vestibulum : Edema (-/-), hiperemis (-/-), massa (-/-)

Kavum Nasi : Lapang (+/+), hiperemis (-/-), massa (-/-), edema konka (-/-),

sekret (-/-), konka (eutrofi/eutrofi), permukaan licin (+/+)

RP : Sulit dievaluasi

Transluminasi : Tidak dilakukan

TENGGOROKAN

Rongga mulut

Bibir : Simetris, mukosa lembab, hiperemis (-), ulkus (-)

Gingiva : Hiperemis (-), ulkus (-), massa (-), perdarahan (-)

Gigi geligi : Berlubang (-)

Lidah : deviasi (-), massa (-), ulkus (-), pseudomembran (-)

Palatum : massa (-), ulkus (-)

Uvula : deviasi (-), pseudomembran (-), ulkus (-), hiperemi (-)

Orofaring : hiperemis (-), post nasal drip (-), udem (-), massa (-)

Tonsil : hiperemis (-/-), T1/T1 warna (merah muda/merah muda),

permukaan licin (+/+), tidak ada pelebaran kripte, detritus (-/-)

Leher

Inspeksi : Pembesaran KGB (-), massa (-), hiperemis (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak teraba KGB yang membesar, massa (-),

pembesaran tiroid (-)

Laring : tidak dilakukan


VI. DIAGNOSIS

Otomikosis Dextra Sinistra

VII. TERAPI

 Aural toilet Auris Sinistra

 Antijamur (Ketokonazol krim 2% (2 kali sehari sehabis mandi)

 Rujuk dokter spesialis THT-KL

VIII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam

Quo ad functionam : Dubia ad Bonam


BAB IV

PEMBAHASAN

Otomikosis adalah infeksi jamur yang sering ditemukan di daerah meatus

acusticus externus, walaupun juga sering meninfeksi telinga bagian tengah.

Penyakit ini terjadi sebagai penyakit infeksi primer atau berkembang bersamaan

dengan infeksi bakteri eksternal akibat terapi antibiotic (antibiotik spektrum luas).

Pada pasien ini diagnosis otomikosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, yaitu

adanya rasa gatal pada liang telinga kiri, rasa penuh serta nyeri pada telinga. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan liang telinga bengkak, kemerahan, dan adanya

kotoran berwarna putih. Hal tersebut disebabkan oleh adanya akumulasi dari

debris mikotik dalam liang telinga. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan

pada otomikosis adalah dengan melakukan pemeriksaan KOH didapatkan hasil (+)

infeksi jamur. Akan tetapi tidak dilakukan pada pasien ini. Pada pemeriksaan

KOH, bila disebabkan oleh jamur yang membentuk filamen maka akan tampak

hifa atau anyaman hifa dan kadang-kadang ditemukan spora.

Faktor risiko terjadinya otomikosis pada pasien ini adalah kebiasaan mengorek

telinga menggunakan cotton bud juga menjadi faktor risiko terjadinya otomikosis

pada pasien ini. Kebiasaan ini dapat menyebabkan trauma (biasanya kecil dan

tanpa gejala) pada kulit kanalis auditorius eksternus dan menyebabkan terjadinya

endapan jamur pada luka tersebut sehingga terjadi infeksi jamur.

Prinsip penatalaksanaan pada pasien otomikosis adalah pengangkatan jamur dari

liang telinga, menjaga agar liang telinga tetap kering serta suasana asam,

pemberian obat anti jamur, serta menghilangkan faktor risiko. Tindakan


pembersihan liang telinga bisa dilakukan dengan berbagai macam cara antara lain

dengan lidi kapas/kapas yang dililitkan pada aplikator, pengait serumen, atau

suction. Pemberian terapi medikamentosa pada pasien ini dengan pemberian salep

miconazole. Semua golongan anti jamur dari golongan azoles seperti clotrimazole,

fluconazole, ketoconazole, dan miconazole lebih efektif yang kemudian diikuti

oleh golongan nystatin dan tolnaftate.

Meskipun pada pasien ini telah dilakukan pembersihan liang telinga dan

pemberian salep telinga antijamur, namun rekurensi masih menjadi pertimbangan

masalah kedepan. Hal tersebut bisa disebabkan beberapa faktor, antara lain

kepatuhan pasien dalam menjalankan edukasi yang telah diberikan, kepatuhan

dalam menggunakan obat sesuai aturan, dan respon jamur terhadap pengobatan.

Untuk itu perlu adanya anjuran kontrol ulang secara berkesinambungan untuk

mengevaluasi respon penyakit sehingga tidak menimbulkan komplikasi

kedepannya. Pasien juga disarankan untuk meninggalkan kebiasaan yang dapat

menyebabkan terjadinya otomikosis dimasa yang akan datang, antara lain dengan

tidak mengorek telinga, menjaga liang telinga agar tidak basah dan biasakan

berobat ke dokter jika ada keluhan.

BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus Nn. S usia 24 tahun dengan keluhan gatal pada telinga kiri,
rasa penuh, dan nyeri pada telinga. Pasien didiagnosis dengan otomikosis sinistra.

Dilakukan aural toilet pada telinga kanan pasien dan diberikan obat antijamur,

antibiotik. Pasien diberikan edukasi untuk mencegah faktor risiko untuk

menghidari keluhan serupa terjadi. Pasien juga diedukasi untuk kontrol ulang 7

hari kemudian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed MR, Abou-Halawa AS, Hessam WF, Abdelkader DSA. A search

for new otomycotic species and their sensitivity to different antifungals.

Interventional medicine & applied science. 2018;10(3):145–149.

2. Durand ML, Deschler DG. Infections of the Ears, Nose, Throat, and Sinuses.

Springer; 2018.

3. Abdullah I, Alzaid SAS, Aljasser MF, et al. Literature Review on Patient

Demographics, Risk Factors and Causative Agents of Otomycosis.

4. Aboutalebian S, Mahmoudi S, Mirhendi H, Okhovat A, Abtahi H,

Chabavizadeh J. Molecular epidemiology of otomycosis in Isfahan

revealed a large diversity in causative agents. Journal of medical

microbiology. 2019;68(6):918–923.

5. Ali K, Hamed MA, Hassan H. Identi fi cation of Fungal Pathogens in

Otomycosis and Their Drug Sensitivity : Our Experience. 2017.

6. Resident S, Resident S. Clinical and microbial study of Otomycosis.

2017;3(1):118–119.

7. Ismail MT, Al-Kafri A, Ismail M. Otomycosis in Damascus, Syria:

Etiology and clinical features. Current medical mycology. 2017;3(3):27.

8. Singh TD, Sudheer CP. Otomycosis : a clinical and mycological study.

2018;4(4):1013–1016.

9. Sastry AS, Bhat S. Essentials of medical microbiology. Jaypee Brothers,

Medical Publishers Pvt. Limited; 2018.


10. Li Y. Diagnosis and treatment of otomycosis in southern China.

2019;(July):1064–1068.

11. Mofatteh MR, Yazdi ZN, Yousefi M, Namaei MH. Comparison of the

recovery rate of otomycosis using betadine and clotrimazole topical

treatment ଝ. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. 2017:1–6.

12. Kiakojuri K, Rajabnia R, Omran SM, Pournajaf A, Karami M, Armaki MT.

Role of Clotrimazole in Prevention of Recurrent Otomycosis. 2019;2019.

Anda mungkin juga menyukai