Anda di halaman 1dari 8

3.2.8.

Terapi nebulasi

Sejumlah mekanisme patofisiologis diyakini berkontribusi pada gambaran klinis

trauma inhalasi secara keseluruhan. Satu yang menonjol dari ciri patologisnya adalah

pembentukan padatan pada saluran napas, yang terbentuk dari sel epitel mati, sel inflamasi,

mukosa dan fibrin. Padatan ini menyebabkan atelektasis dan selanjutnya ketidakcocokan

ventilasi-perfusi. Heparin nebulisasi merupakan strategi umum untuk membantu pemecahan

fibrin yang mengikat padatan yang terbentuk tersebut, meski penggunaannya tidak universal.

Saat ini sedang dilakukan uji coba terkontrol dengan metode plasebo-kontrol secara acak

mengenai efek dari heparin nebulisasi51, hal ini diperlukan untuk memberikan bukti

fundamental yang mendukung penggunaan heparin nebulisasi. Penelitian dilakukan dengan

membandingkan pemberian heparin nebulisasi dengan dosis 10.000 IU secara bergantian

dengan N-acetylcysteine (NAC) dua jam, dibandingkan dengan pemberian dosis yang lebih

rendah, yaitu 5000 IU, hasilnya didapatkan pengurangan skor cedera paru dan durasi ventilasi

mekanis tanpa efek samping, namun tidak berpengaruh pada penurunan angka mortalitas atau

lama perawatan di ICU.52 Namun, pada penelitian ini tidak memasukkan kelompok kontrol

non-heparin dan tatalaksana yang diberikan, merupakan protokol heparin spesifik, bukan

penggunaan heparin tunggal. Beberapa bukti yang mendukung hal tersebut diberikan oleh

McIntire, yang mendemonstrasikan dalam studi kasus-kontrolnya, termasuk 72 pasien yang

diberikan terapi heparin, didapatkan pengurangan durasi penggunaan ventilator (7,0 vs 14,5

hari), namun tetap tidak ada perbedaan pada angka kejadian kematian atau perdarahan. 53

Sebuah studi kohort retrospektif berskala relatif besar menemukan peningkatan oksigenasi

arteri dengan heparin nebulisasi dalam kombinasi dengan N-acetylcysteine, tetapi tidak ada

manfaat klinis yang berarti.54 Studi koagulasi laboratorium juga tidak menyarankannya

dikarenakan terdapat hipokoagulabilitas darah sistemik sekunder yang diakibatkan

penggunaan heparin nebulisasi.55


Penggunaan regimen beta agonis pada kasus trauma inhalasi sudah tersebar luas

dimana-mana, meskipun penggunaannya masih diperdebatkan di berbagai literatur karena

hasil uji klinis yang bertentangan. Terdapat beberapa studi yang telah dilakukan dengan

media domba,56 tetapi penggunaan pada manusia masih berpedoman pada profil keamanan

yang baik dari obat-obatan sebelumnya yang sering digunakan pada kasus gangguan saluran

pernapasan tipe non-burn. Demikian pula, penggunaan larutan garam hipertonik nebulisasi

telah digunakan pada kasus trauma inhalasi, meskipun tidak ada bukti yang memberikan

informasi tentang manfaat dari terapi tersebut. Nitrit oksida inhalasi (iNO) telah digunakan

dalam beberapa aspek perawatan intensif pada kasus trauma inhalasi. Karena manfaatnya

telah dibuktikan dengan peningkatan tekanan parsial oksigen arteri pada pasien gagal napas

akut, meskipun pada akhirnya tetap tidak berdampak pada angka survival dari pasien.57

Sheridan memberikan ulasannya tentang bukti terbatas yang tersedia secara khusus, dan

menemukan bahwa hanya ada tiga penelitian berkualitas rendah (total 29 pasien). Penelitian

ini menunjukkan bahwa pemberian terapi iNO dapat meningkatkan oksigenasi pada sekitar

dua pertiga pasien, disertai dengan peningkatan angka kelangsungan hidup pada pasien, dan

tidak ditemukan adanya komplikasi.58

3.2.8.1. Rekomendasi

Pemberian heparin nebulisasi dapat menurunkan durasi pengguanan ventilator (Level

3). Dimana pemberian heparin nebulisasi yang dikombinasi dengan NAC, dengan dosis

10.000 IU secara bergantian dengan NAC dapat mengurangi tingkat keparahan cedera paru

dan durasi penggunaan ventilasi mekanik yang diakibatkan trauma inhalasi (Level 1). iNO

telah terbukti meningkatkan oksigenasi pada beberapa pasien dengan trauma inhalasi, dan

dapat diujicobakan secara individual pada pasien dengan trauma inhalasi.

3.2.9. Kortikosteroid

Kortikosteroid sebelumnya telah dianggap sebagai terapi adjuvant dalam manajemen empiris
trauma inhalasi, sebagaimana sering digunakan dalam berbagai penyakit saluran napas.

Namun, berdasarkan beberapa penelitian yang diterbitkan tidak menemukan manfaat apa pun

dalam penggunaan steroid59,60 dan tidak menurunkan angka mortalitas. 61 Ada dugaan bahwa

steroid sebenarnya mungkin dapat memperburuk risiko infeksi.62 Greenhalgh menjelaskan

masih kurangnya data yang dipublikasikan tentang penggunaan kortikosteroid pada kasus

luka bakar, meskipun banyak digunakan di pada kasus gangguan pernafasan lain seperti

asma.63

3.2.9.1. Rekomendasi

Penggunaan kortikosteroid empiris tidak dianjurkan penggunaannya pada kasus

trauma inhalasi.

3.2.10. Surfaktan eksogen

Surfaktan paru adalah lipoprotein endogen yang meningkatkan fungsi alveoli dengan

mengurangi tegangan permukaan penghalang air pada alveolus, sehingga mengurangi upaya

yang diperlukan untuk ventilasi yang efektif.64 Fungsi surfaktan tersebut terhambat oleh

adanya fibrin, hal inilah yang terjadi pada kasus trauma inhalasi. 65 Fibrin membentuk matriks

terpolimerisasi yang menyebabkan keadaan hidrofobik, dimana hal tersebut menghambat

fungsi penting dari surfaktan, yang kemudian menurunkan keefektifan dari surfaktan.66

Masalah khusus ini kemudian mengarah kepada penggunaan surfaktan eksogen melalui

bronkoskopi pada pasien ARDS akibat trauma inhalasi yang telah mencapai batas waktu

penggunaan ventilasi mekanis. Dalam beberapa laporan, pemberian surfaktan eksogen telah

berkontribusi pada peningkatan fungsi paru dan tingkat oksigen pada pasien.67 Pallua

melaporkan keempat pasien dalam laporan tersebut mengalami perbaikan klinis, dan dapat

bertahan hidup, meskipun dengan perkiraan prognosis awal yang buruk. Serangkaian laporan

kasus kedua menemukan respons campuran terhadap pemberian surfaktan pada anak-anak

dengan gangguan pernapasan akut setelah trauma inhalasi. Empat dari tujuh pasien
mengalami peningkatan oksigenasi, dimana keempat pasien ini menerima pengobatan

surfaktan lebih awal dalam perjalanan klinis mereka.68

3.2.10.1. Rekomendasi

Saat ini masih terdapat kekurangan bukti yang mendukung manfaat penggunaan rutin

surfaktan eksogen pada manajemen trauma inhalasi, meskipun pada beberapa laporan kasus

didapatkan prognosis yang baik. Studi lebih lanjut diperlukan untuk meneliti manfaat

pemberian surfaktan pada manajemen awal dan akhir dari ARDS akibat trauma inhalasi.

3.2.11. Terapi antimikroba

Pneumonia terkait ventilator adalah sekuel umum dari trauma inhalasi. 69 Pengobatan

umumnya adalah dengan terapi antimikroba empiris, disesuaikan dengan hasil aspirasi cairan

paru atau kultur. Brusselaers menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang baik (masing-

masing 83,0% dan 96,2%) dari pengawasan endotrakeal rutin pada pasien trauma inhalasi

dalam memprediksi organisme penyebab resistem obat untuk pneumonia terkait ventilator

berikutnya, dengan nilai prediksi positif dan negatif 87% dan 95%. 70 Semua kecuali satu dari

serangkaian kasus luka bakar pediatrik dengan trauma inhalasi memiliki bukti histologis

pneumonia, dan 29% nya terkait dengan invasi bakteri bronkiolus submukosa. 71 Namun

demikian, terapi antimikroba dengan tidak adanya infeksi klinis belum terbukti mengurangi

angka mortalitas dalam serangkaian kasus retrospektif. 72 Dan hal tersebut menyebabkan

kemungkinan terkait dengan resistansi multi obat meningkat.62

3.2.11.1. Rekomendasi.

Kultur surveilans endotrakeal rutin direkomendasikan untuk memberikan terapi

antimikroba target awal untuk pneumonia terkait ventilator. Namun secara umum terapi

antimikroba profilaksis tidak dianjurkan.

3.2.12. Hidroksikobalamin

Pengobatan keracunan sianida umumnya didasarkan pada kecurigaan klinis, karena


pemeriksaan laboratorium khusus untuk sianida tidak tersedia cukup cepat untuk

memungkinkan pengobatan toksisitas yang efektif. Asidosis laktat dengan anion gap yang

tinggi dapat mengindikasikan keracunan sianida,73 seperti halnya perbedaan saturasi oksigen

arteriovenous <10mmHg.74 Hydroxycobalamin dalam mengikat hidrogen sianida

membuatnya cocok untuk ekskresi ginjal. Mayoritas unit luka bakar di Amerika Utara tidak

menggunakan hidroksikobalamin secara empiris, dan tampaknya ada kebingungan tentang

kegunaannya.75 Bukti yang baik untuk keamanan hidroksikobalamin diberikan dalam uji coba

terkontrol plasebo,76 studi untuk kemanjuran dibatasi pada seri kasus retrospektif. Dari bukti

yang ada, ada penelitian yang menunjukkan pemberian hidroksikobalamin dikaitkan dengan

tingkat kelangsungan hidup yang baik dan profil efek samping yang rendah, 77 di Prancis, hal

ini didukung oleh data rangkaian kasus dari administrasi rutin pra rumah sakit. 78

Hydroxycobala lebih baik bila dibandingkan dengan penawar sianida lain seperti natrium

tiosulfat.79 Hydroxcobalamin dikaitkan dengan peningkatan artefaktual yang tidak penting


80
secara klinis pada tingkat kreatinin kinase dan menghasilkan perubahan warna merah pada

urin. Perubahan warna ini dapat mengganggu mesin hemodialisis.81

3.2.12.1. Rekomendasi

Hydroxocobalamin adalah pengobatan lini pertama yang cocok untuk pasien dengan

gejala keracunan sianida dan telah diberikan dengan aman dalam pengaturan pra-rumah sakit.

3.3. Hasil

3.3.1. Kematian dan kualitas hidup

Cedera pernafasan merupakan ciri kritis dari luka bakar; trauma inhalasi adalah,
7,82,83.
dengan% TBSA dan usia, merupakan salah satu prediktor kematian terkuat. Korelasi ini

juga berlaku untuk anak-anak.84 Di sebuah studi di antara populasi Jepang, trauma inhalasi

mungkin merupakan satu-satunya prediktor kematian yang paling signifikan, di atas usia dan

TBSA.85 Chen dkk. menemukan bahwa trauma inhalasi tidak meningkatkan mortalitas ketika
skor Indeks Luka Bakar (sebagai ukuran TBSA dan kedalaman luka bakar) melebihi 50. 86

Selain itu, hubungan spesifik antara trauma inhalasi dan mortalitas mungkin dibingungkan

oleh fakta bahwa cedera inhalasi lebih sering terlihat pada luka bakar kulit yang lebih parah. 87

Pada anak yang selamat, kualitas hidup jangka panjang telah terbukti berhubungan dengan %

TBSA ketika diukur dengan cedera pernafasan Skala Penilaian Disabilitas Organisasi
88
Kesehatan Dunia. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa cedera pernafasan tidak

memiliki dampak negatif pada kualitas hidup jangka panjang minimal 5 tahun setelah luka

bakar.

3.3.1.1. Rekomendasi

Trauma inhalasi dapat digunakan sebagai salah satu prediktor terkuat dari kematian

akibat luka bakar pada orang dewasa dan anak-anak. Peran trauma inhalasi sebagai indikator

prognostik kualitas hidup jangka panjang masih bisa diperdebatkan, karena masih kurangnya

penelitian berkualitas baik di bidang hasil pasien jangka panjang.

3.3.2. Penanda biokimia

Penanda biologis tertentu telah diidentifikasi memiliki implikasi prognostik.

Imunomodulator lokal dapat diuji dalam cairan lavage bronchoalveolar dari pasien dengan

cedera pernafasan. Tampaknya ada hubungan dengan kematian dan tingkat rendah dari

sejumlah interleukin dan sitokin lain termasuk TNF-a, yang mendukung teori yang

menghubungkan hiporesponsivitas paru dengan mortalitas.89. Setelah ini, Davis mengukur

tingkat interleukin sistemik yang lebih tinggi pada tingkat trauma inhalasi yang lebih parah,

menunjukkan peran terutama untuk mengukur IL-8 untuk memberikan panduan prognostik90

Finnerty mengidentifikasi tingkat IL-7 sistemik yang rendah dan tingkat IL-12p70 yang

tinggi pada trauma inhalasi yang pada gilirannya terkait dengan mortalitas yang lebih tinggi

secara signifikan.91 Meskipun memberikan bukti yang relatif kuat, heterogenitas populasi

Finnerty dan Davis dan bias seleksi membatasi aplikasi praktis saat ini dari data ini untuk
penelitian klinis. Sebagai contoh, hanya pasien dengan kecurigaan trauma inhalasi dalam

penelitian Davis yang dilibatkan dalam penelitian (sebagai lawan dari mereka yang secara

formal didiagnosis dengan cedera pernafasan dengan bronkoskopi), dan pemeriksaan

laboratorium interleukin relatif tidak dapat diakses dalam praktek klinis rutin.

3.3.2.1. Rekomendasi.

Peran pengukuran imunomodulator dalam memandu prognosis untuk cedera

pernafasan, dan aplikasi praktis dari informasi ini, saat ini sangat terbatas. Dengan kemajuan

dalam pengobatan molekuler, pengukuran imunomodulator tidak hanya dapat digunakan

dalam prognostikasi tetapi dapat memberikan platform untuk pengobatan imunomodulasi

yang ditargetkan dari respon inflamasi sistemik dari luka bakar.

3.4. Batasan

Trauma inhalasi adalah kelainan klinis multi-disiplin yang luas, dan karena itu

beberapa area belum dimasukkan, seperti penanganan keracunan karbon monoksida dan

fisioterapi dada.

Bukti yang mengisi ulasan ini memberikan dasar yang efektif untuk praktik berbasis klinis.

Namun, studi berkualitas baik yang memberikan bukti Level I atau Level II secara konsisten

kurang. Ada banyak penelitian aktif dalam bidang patologi dan manajemen luka bakar.

Namun, penelitian bergantung pada banyaknya jenis studi hewan yang penting tetapi terbatas

pengalihan langsung ke dalam praktik klinis. Meskipun ada sejumlah database, jumlah yang

relatif rendah dari kasus luka bakar yang masuk ke unit individu dapat menghasilkan studi

yang rendah dalam percobaan prospektif dan seri kasus kecil; sementara kebanyakan

penelitian yang lebih besar bergantung pada analisis kohort retrospektif. Faktor-faktor ini

berkontribusi pada risiko bias seleksi yang tinggi di sebagian besar penelitian, dan

kompleksitas penanganan luka bakar dikombinasikan dengan jumlah peserta yang rendah

menghadirkan risiko bias perancu yang cukup besar.


4. Kesimpulan

Trauma inhalasi tetap menjadi area kritis pada penelitian luka bakar, dengan implikasi

yang signifikan pada kelangsungan hidup luka bakar secara keseluruhan. Penulis telah

mengidentifikasi sejumlah strategi yang memiliki basis bukti yang dapat diterima untuk

mendukung penggunaannya secara tepat pada pasien. Bronkoskopi dan penggunaan suPAR

untuk mengidentifikasi cedera inhalasi relatif kuat didukung modalitas diagnosis. Masa depan

diagnostik pada cedera inhalasi menjanjikan penggunaan suPAR dan bronkoskopi virtual

sebagai teknik non-invasif untuk diagnosis, dalam kasus di mana bronkoskopi fibreoptik

tidak memungkinkan.

Sudah jelas bahwa trauma inhalasi menempatkan beban sistemik yang signifikan pada

tubuh, dan ini harus diingat oleh dokter. Namun, tidak ada bukti yang telah diidentifikasi

untuk menunjukkan tindakan tambahan untuk resusitasi IV atau nutrisi perlu diambil.

Ada banyak sekali strategi ventilasi, dan tentu saja teknik konvensional ventilasi

endotrakeal volume tidal rendah yang banyak digunakan di wajah memiliki sedikit bukti yang

mendukung untuk strategi alternatif. Mungkin ada yang muncul peran untuk teknik lain,

termasuk penggunaan volume tidal yang lebih tinggi untuk anak-anak dan HFOV. Menurut

kebijaksanaan konvensional, penulis tidak menemukan dasar untuk merekomendasikan

steroid empiris atau antibiotik-meskipun kultur pengawasan harus dilakukan. Sejumlah aspek

disertakan manajemen cedera inhalasi telah menjadi subjek yang sedikit perhatian, atau

berada dalam fase awal penerapan klinis. Ini termasuk ECMO, penanda biokimia untuk

prognostikasi dan surfaktan eksogen, beberapa di antaranya memiliki potensi untuk

mengubah penanganan cedera pernafasan di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai