Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

TONSILITIS

Disusun oleh:

Muhammad Achmad Yani

1102019129

Pembimbing:

dr. Arroyan Wardhana, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT

PERIODE 29 JANUARI – 24 FEBRUARI 2024

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD KOJA
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 2


BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
BAB II ........................................................................................................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................. 4
1. Anatomi Makro dan Mikro Tonsil .................................................................................. 4
2. Definisi dan Klasifikasi................................................................................................... 5
3. Epidemiologi dan Faktor Risiko ..................................................................................... 6
4. Etiopatogenesis dan Patofisiologi ................................................................................... 6
5. Diagnosis dan Diagnosis Banding .................................................................................. 8
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik .............................................................................. 8
b. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................ 10
i. Pemeriksaan mikroskopik dan kultur swab tenggorok .............................................. 10
ii. Rapid antigen test (RAT) .......................................................................................... 10
iii. Titer antibodi anti streptokokus ............................................................................... 10
c. Diagnosis banding ..................................................................................................... 10
6. Tatalaksana .................................................................................................................... 11
a. Tonsilitis akut ............................................................................................................ 11
i. Analgetik .................................................................................................................... 11
ii. Terapi tambahan ........................................................................................................ 11
iii. Antibiotik ................................................................................................................. 11
b. Tonsilitis kronik ........................................................................................................ 13
i. Tonsilektomi .............................................................................................................. 13
c. Tonsilitis difteri ......................................................................................................... 15
7. Komplikasi dan Prognosis ............................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 16
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis, atau radang amandel, adalah penyakit yang umum terjadi dan merupakan
sekitar 1,3% dari kunjungan rawat jalan. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh infeksi virus
atau bakteri, dan jika tidak dengan komplikasi, akan muncul sebagai sakit tenggorokan.
Tonsilitis akut adalah diagnosis klinis. Pembedaan antara penyebab bakteri dan virus bisa jadi
sulit; namun, hal ini sangat penting untuk mencegah penggunaan antibiotik yang berlebihan
(Anderson & Paterek, 2023).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Makro dan Mikro Tonsil

Tonsil adalah salah satu dari mucosa-associated lymphoid tissue (MALT), yaitu struktur
limfoid sekunder yang terbentuk atas jaringan nodul limfoid. Pada tonsil, nodul-nodul limfoid
berada di daerah submukosa dibatasi oleh kapsul jaringat ikat pada sisi profunda dan jaringan
epitel mukosa pada sisi superfisial (Gambar 1). Pada beberapa jenis tonsil dapat ditemukan
kripta, yaitu lipatan-lipatan jaringan epitel tonsil kedalam yang membentuk cekungan pada
permukaan tonsil (Mescher, 2018). Terdapat beberapa jenis tonsil yang dibagi berdasarkan
lokasi, yaitu tonsila pharyngea (adenoid), tonsilla tubaria, tonsillae palatina, dan tonsilla
lingualis yang membentuk seperti suatu susunan cincin yang disebut cincin Waldeyer (Gambar
2 dan 3) (Soepardi et al., 2007; Paulsen and Waschke, 2013).

Gambar 1. Anatomi mikroskopik tonsil. GC, sentrum germinativum; E, epitel; C,


kripta; LN, nodul limfoid; CT, kapsul tonsil
Gambar 2. Cincin Waldeyer (Perry and Whyte, 1998)

Gambar 3. Anatomi makroskopik tonsilla palatina dan tonsilla lingualis

2. Definisi dan Klasifikasi

Tonsilitis adalah peradangan dari tonsilla palatina. Berdasarkan durasi penyakit, tonsilitis
dapat dibagi menjadi tonsilitis akut, tonsilitis akut rekuren, dan tonsilitis kronik. Tonsilitis akut
dibagi lebih lanjut menjadi tonsilitis akut bakterial dan viral. Sedangkan tonsilitis yang
memberikan gambaran klinis suatu membran di atas permukaan tonsilla palatina yang
meradang disebut tonsilitis membranosa. Tonsilitis membranosa meliputi tonsillitis difteri,
tonsillitis septik, angina Plaut Vincet, penyakit kelainan darah (e.g., leukemia akut, anemia
pernisiosa, neutropenia maligna, infeksi mononukleosis), proses spesifik lues dan tuberkulosis,
infeksi jamur (moniliasis, aktinomikosis, dan blastomikosis), dan infeksi virus (morbilli,
pertusis, dan skarlatina) (Kemenkes, 2018; Soepardi et al., 2007).

3. Epidemiologi dan Faktor Risiko

Prevalensi tonsilitis lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan individu dewasa,


berhubungan dengan prevalensi ISPA yang lebih prominen pada anak-anak. Selain usia,
riwayat imunisasi anak yang tidak lengkap juga meningkatkan risiko untuk tonsilitis difteri.
Beberapa kebiasaan seperti jenis makanan, higienitas mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat dapat meningkatkan risiko
tonsilitis kronik (Soepardi et al., 2007; WHO, 2017). Di Indonesia, tidak terdapat data
epidemiologi spesifik mengenai tonsilitis, hanya data mengenai infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA), dengan prevalensi 9,3% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala yang
pernah dialami (Riskesdas, 2018).

4. Etiopatogenesis dan Patofisiologi

Pada umumnya, penyebab utama dari tonsilitis adalah infeksi bakteri streptokokus grup A
beta hemolitik (GABHS) seperti Streptococcus pyogenes atau suatu perluasan dari common
cold yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi virus atau bakteri ini umumnya menyebabkan
tonsilitis akut. Transmisi dari patogen ini dapat melalui droplet atau kontak langsung, seperti
berciuman. Sebagai suatu bagian dari MALT, tonsilla palatina memiliki fungsi untuk
memproses antigen mikroorganisme seperti virus atau bakteri yang masuk ke dalam rongga
mulut, hidung, dan faring, sehingga mudah terkena infeksi dan pada akhirnya dapat menjadi
fokus infeksi. Patogen yang mencapai epitel tonsil akan kemudian memicu pertahan tubuh dan
pengeluaran leukosit polimorfonuklear yang akan membentuk detritus atau eksudat tonsil
bersama dengan kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas (Kemenkes,
2018; Soepardi et al., 2007).

Bentuk tonsilitis akut dengan detritus pada kripta tonsil yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu dan membentuk alur-alur maka akan
terjadi tonsilitis lakunaris (Gambar 4). Detritus yang melebar lebih jauh dapat membentuk
suatu pseudomembran yang menutupi tonsil (Gambar 5). Gambaran detritus atau eksudat pada
tonsil ini lebih umum ditemukan pada tonsilitis akut bakterial dibandingkan viral dikarenakan
respon leukosit polimorfonuklear yang lebih prominen pada infeksi bakteri (Kemenkes, 2018;
Soepardi et al., 2007).

Gambar 4. Tonsilitis folikularis, tonsilitis lakunaris dan pseudomembran pada tonsilitis


difteri

Infeksi dan inflamasi yang dialami tonsilla palatina tersebut akan menyebabkan
pembengkakan pada tonsil dan nyeri menelan. Perbesaran tonsil dapat menyebabkan gangguan
menelan dan bernapas. Kondisi tonsilitis juga dapat menyebabkan gejala-gejala konstitusional
seperti demam suhu tinggi, lesu, nyeri kepala, dan nyeri sendi. Nyeri alih melalui nervus
glosofaringeus dapat menyebabkan otalgia. Infeksi yang terjadi juga dapat menyebabkan
pembengkakan kelenjar getah bening submandibular dan servikal (Soepardi et al., 2007).

Pada infeksi tonsilitis atau paparan iritan yang berulang (rokok atau beberapa jenis
makanan), lapisan epitel mukosa dan jaringan limfoid tonsil menjadi terkikis. Proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut
sehingga ruang antara kelompok kripte melebar yang akan diisi oleh detritus. Proses ini meluas
hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa
tonsilaris. Saat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripta
membesar dan terisi detritus. Hal ini menandakan suatu proses tonsilitis kronik. Pembesaran
yang spesifik pada tonsil dan adenoid akibat infeksi berulang di hidung dan tenggorok dapat
menyebabkan obstruksi nasal dan atau gangguan bernafas, menelan, serta gangguan tidur
(Kemenkes 2018).

5. Diagnosis dan Diagnosis Banding


a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala yang dapat timbul pada tonsilitis akut bakterial meliputi, nyeri tenggorok (terutama
waktu menelan), demam tinggi, lesu, nyeri sendi, tidak nafsu makan, dan otalgia. Pada
pemeriksan fisik dapat ditemukan tonsil yang membengkak, hiperemis, dan detritus atau
eksudat. Perbesaran tonsil dinyatakan dalam T0, T1, T2, T3, dan T4. T0 apabila tonsil berada
di dalam fossa tonsil atau telah diangkat. T1 apabila besar tonsil 1/4 jarak arkus anterior dan
uvula, dimana tonsil tersembunyi di dalam pilar tonsilar. T2 apabila besar tonsil 2/4 jarak arkus
anterior dan uvula, dimana tonsil membesar ke arah pilar tonsilar. T3 apabila besar tonsil 3/4
jarak arkus anterior dan uvula, atau terlihat mencapai luar pilar tonsilar. T4 apabila besar tonsil
mencapai arkus anterior atau lebih, dimana tonsil mencapai garis Tengah. Dapat juga
ditemukan perbesaran kelenjar getah bening submandibular atau servikal.

Perbedaan gambaran klinis yang seringkali dapat diidentifikasi dibandingkan dengan


tonsilitis akut viral meliputi tidak adanya perbesaran KGB, tidak ada nyeri tenggorok, demam
dengan suhu lebih rendah atau tidak ada demam, tidak ada eksudat tonsil dan gejala-gejala
common cold yang menyertai tonsilitis seperti batuk, pilek, dan hidung tersumbat. Untuk
membantu menilai apakah suatu tonsilitis disebabkan atas infeksi GABHS atau bukan, telah
dibentuk sistem skoring Centor termodifikasi (Gambar 5). Skor yang lebih tinggi pada sistem
skoring ini meningkatkan risiko infeksi etiologic GABHS (Gambar 6) (Kemenkes, 2018;
Soepardi et al., 2007).
Gambar 5. Kriteria Centor untuk penilaian risiko infeksi streptokokus grup A
termodifikasi

Gambar 6. Interpretasi skor risiko infeksi streptokokus grup A dengan kriteria Centor
yang dimodifikasi

Khusus untuk tonsilitis difteri, gejala yang ditemukan dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
gejala umum, lokal, dan akibat eksotoksin. Gejala umum meliputi suhu subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, dan nyeri menelan. Gejala lokal meliputi
pembengkakan tonsil dilapisi pseudomembran yang dapat meluas ke palatum molle, uvula, dan
bahkan menyumbat saluran napas. Membran ini melekat erat pada dasarnya dan mudah
berdarah bila diangkat. Perbesaran KGB pada leher juga dapat sangat besar menyerupai leher
sapi atau bull neck. Gejala akibat eksotoksin menyebabkan miokarditis hingga dekompensasio
kordis, parese pada saraf kranial yang menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan pernapasan,
dan pada ginjal dapat menyebabkan albuminuria (Soepardi et al., 2007).

Gejala yang timbul pada tonsilitis kronik meliputi rasa menngganjal di tenggorok,
tenggorokan kering, napas berbau, dan dapat ditemukan gangguan menelan atau bernapas.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dengan kripta lebar dan berisi
detritus (Kemenkes, 2018; Soepardi et al., 2007).
b. Pemeriksaan Penunjang
i. Pemeriksaan mikroskopik dan kultur swab tenggorok

Pemeriksaan mikroskopik dan kultur tidak diperlukan untuk tonsilitis


dengan kecurigaan etiologi viral, hanya pada kecurigaan etiologi bakterial
seperti GABHS atau tonsilitis difteri. Hasil kultur positif swab tenggorok
untuk GHBS dapat menentukan diagnosis nyeri tenggorok akibat
streptokokus, namun kultur yang negatif tidak menyingkirkan
kemungkinan penyebabnya adalah streptokokus. Terdapat beberapa kasus
dimana didapatkan streptokokus namun tidak terdapat bukti infeksi secara
serologik. Tonsilitis difteri dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik
dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan
bawah pseudomembran dan didapatkan Corynebacteium diphteriae
(Kemenkes, 2018; Soepardi et al., 2007).

ii. Rapid antigen test (RAT)

RAT memiliki spesifisitas yang tinggi sehingga tata laksana wajib


diberikan apabila diperoleh hasil yang positif untuk streptokokus
(Kemenkes, 2018; Soepardi et al., 2007).

iii. Titer antibodi anti streptokokus

Titer antibodi streptokokus dapat digunakan untuk mengindentifikasikan


infeksi streptokokus grup A pada pasien yang dicurigai memiliki demam
reumatik atau komplikasi non-supuratif lainnya, tetapi tidak rutin
digunakan dalam diagnosis tonsilitis karena streptokokus. Hal ini karena
hasil yang diperoleh dapat menunjukkan infeksi yang telah lampau, bukan
infeksi sekarang (Kemenkes, 2018; Soepardi et al., 2007).

c. Diagnosis banding

Diagnosis banding tonsilitis meliputi sebagai berikut (Kemenkes, 2018; Soepardi et al.,
2007):

• Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)


• Mononukleosis Infeksiosa
• Penyakit Kronik Faring Granulomatosa
• Faringitis tuberkulosa
• Faringitis luetika
• Lepra
• Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis, dan blastomikosis
• Infeksi virus morbilli, pertusis, dan skarlatina

6. Tatalaksana
a. Tonsilitis akut
i. Analgetik

Dapat diberikan ibuprofen atau paracetamol. Khusus anak-anak dengan


risiko dehidrasi tidak dianjurkan ibuprofen (Kemenkes, 2018).

ii. Terapi tambahan

Pada pasien dengan gejala berat dapat diberikan kortikosteroid seperti


prednisone 3x1 selama 3 hari. Obat kumur antiseptik yang berisi
chlorhexidine atau benzydamine memberikan hasil yang baik dalam
mengurangi keluhan nyeri tenggorok dan memperbaiki gejala (Kemenkes
2018).

iii. Antibiotik

Pemberian antibiotik dapat ditentukan berdasarkan skor Centor


termodifikasi, dan hasil RAT atau kultur swab tenggorok (Gambar 7).
Antibiotik yang dapat digunakan meliputi (Kemenkes 2018):

• Amoksisilin peroral 50-60 mg/kgbb dibagi dalam 2-3 kali


pemberian (Dosis dewasa 3x500 mg) selama 10 hari.
• Sefalosporin generasi pertama seperti cephalexin dan cefadroxil
diberikan selama 10 hari. Cefadroxil peroral 30 mg/kgbb sekali
sehari (dosis maksimum 1 g), cephalexin jarang digunakan di
Indonesia.
• Klindamisin peroral 7mg/kgbb, 3 kali sehari (dosis maksimum 300
mg) selama 10 hari.
• Azitromisin peroral 12 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum
500 mg) selama 5 hari.
• Eritromisin etilsuksinat (EES) 40 mg/kgbb/hari, 2-4 kali (4x400
mg pada dewasa) selama 10 hari.
• Apabila tidak terdapat alergi pada penisilin V, penisilin V dapat
diberikan selama 10 hari. Dosis anak ialah 250 mg per oral, 2-3
kali sehari. Dosis dewasa ialah 4x250 mg perhari, atau 2x500 mg
perhari.

Gambar 7. Algoritma penentuan penggunaan antibiotik pada tonsilitis akut


b. Tonsilitis kronik

Istilah tonsilitis kronik pada beberapa literatur sudah tidak digunakan lagi.
Tonsilitis kronik ini lebih mengarah pada tonsilitis akut rekuren. Terapi konservatif
dilakukan dengan pemberian obat-obatan simptomatik dan obat kumur yang
mengandung desinfektan. Terapi operatif melibatkan tindakan tonsilektomi dengan
atau tanpa adenoidektomi

i. Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah yang


mengangkat keseluruhan jaringan tonsil palatina, termasuk kapsulnya
dengan melakukan diseksi ruang peritonsiler di antara kapsula tonsil dan
dinding muskuler tonsil. Tindakan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa
adenoidektomi. Indikasi tonsilektomi menurut AAO-HNS pada tahun
2019 meliputi (Mitchell et al., 2019):

• ISPA rekuren yang memenuhi kriteria (setidaknya 7 serangan


dalam 1 tahun terakhir, setidaknya 5 serangan dalam 2 tahun
terakhir, setidaknya 3 serangan dalam 3 tahun terakhir, dengan
dokumentasi rekam medis untuk setiap serangan dan ≥1 hal
berikut: suhu >38 C, adenopati servikal, eksudat tonsil, atau tes
positif untuk GABHS)
• ISPA rekuren yang tidak memenuhi kriteria tetapi memiliki
komorbid (alergi/intoleransi banyak antibiotik, demam berulang,
stomatitis aftosa, faringitis, adenitis, atau >1 riwayat abses
peritonsillar)
• Obstructive sleep-disordered breathing (OSDB)
• Obstructive sleep apnea (OSA)

Sedangkan menurut Kemenkes, indikasi tonsilektomi dibagi menjadi


indikasi absolut dan indikasi relatif sebagai berikut (Kemenkes 2018):

• Indikasi absolut
o Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: obstruksi saluran
napas misal pada OSAS, disfagia berat yang disebabkan
obstruksi, gangguan tidur, komplikasi kardiopulmoner,
gangguan pertumbuhan dentofasial, gangguan bicara
(hiponasal).
o Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan
pengobatan medis dan drainase.
o Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil
unilateral.
o Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
• Indikasi relatif
o Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun dengan
terapi antibiotik adekuat.
o Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik
dengan pemberian terapi medis.
o Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus B-
hemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik resisten β-laktamase.

Adenoidektomi adalah tindakan pengangkatan adenoid, dapat


dilaksanakan dengan atau tanpa tonsilektomi. Adeniodektomi
bersamaan tosilektomi dilakukan pada usia ≤7 tahun tanpa melihat
ukuran adenoid. Namun ketika usia lebih dari tujuh tahun,
adenoidektomi dilakukan atas indikasi hipertrofi adenoid. Indikasi
dilakukan adenoidektomi antara lain hipertrofi adenoid, adenoiditis
yang menyebabkan otitis media rekuren, sinusitis akut rekuren, dan
sinusitis kronik pada anak, dan OSA (Kemenkes 2018).

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai


kontraindikasi tonsilektomi, keadaan tersebut adalah (Kemenkes 2018):

• Gangguan perdarahan.
• Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat.
• Anemia.
• Infeksi akut yang berat.
• Palatoskizis
c. Tonsilitis difteri

Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000 - 100.000 unit. Antibiotika Penicillin procaine IM 25.000-
50.000 U/kg BB maks 1,5 juta selama 14 hari, atau Eritromisin oral atau injeksi
diberikan 40 mg/KgBB/hari maks 2 g/hari interval 6 jam selama 14 hari.
Kortikosteroid dapat diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas, dan bila terdapat penyulit miokarditis diberikan prednison 2
mg/KgBB selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap. Karena penyakit ini
menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-
3 minggu (Kemenkes 2017; Soepardi et al., 2007).

7. Komplikasi dan Prognosis

Tonsilitis akut pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses
peritonsil (Quinsy), abses parafaring, bronkitis, glomerulonefritis akut, miokarditis, artritis
serta septikemia akibat infeksi v. Jugularis interna (sindrom Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil
akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur
karena terjadinya sleep apnea (Soepardi et al., 2007).

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rinitis
kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara
hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis,
iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis. Prognosis umumnya baik, tetapi
bila terjadi komplikasi infeksi GABHS seperti penyakit jantung rematik atau glomerulonefritis,
pasien dapat mengalami sekuelae jangka panjang (Anderson & Paterek, 2023; Soepardi et al.,
2007).

Pada kasus tonsilitis difteri, laringitis difteri dapat berlangsung cepat, pseudomembran
menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat
timbul komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
cordis. Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring
sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal. Mortalitas penyakit ini tergolong tinggi
(Lamichhane & Radhakrishnan, 2023; Soepardi et al., 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Anderson J, Paterek E. Tonsillitis. [Updated 2023 Aug 8]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544342/

Kemenkes (2017) Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri, Kemenkes RI. Available
at: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2018/01/buku-pedoman-
pencegahan-dan-penanggulangan-difteri.pdf (Accessed: 08 February 2024).

Kemenkes (2018) PNPK Tata Laksana Tonsilitis, PERHATI-KL. Available at: https://perhati-
kl.or.id/download/pedoman-nasional-pelayanan-kedokteran-tata-laksana-tonsilitis-3/
(Accessed: 08 February 2024).

Lamichhane A, Radhakrishnan S. Diphtheria. [Updated 2022 Aug 8]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560911/

Mescher, A.L. (2018) Junqueira’s Basic Histology: Text and Atlas. 15th edn. McGraw-Hill
Education.

Mitchell, R.B. et al. (2019) ‘Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children (Update)—
Executive Summary’, Otolaryngology - Head and Neck Surgery (United States),
160(2). Available at: https://doi.org/10.1177/0194599818807917.

Paulsen, F. and Waschke, J. (2013) Sobotta Atlas of Human Anatomy. 15th edn. Elsevier.

Perry, M. and Whyte, A. (1998) ‘Immunology of the tonsils’, Immunology Today. Available at:
https://doi.org/10.1016/S0167-5699(98)01307-3.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_20
18/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf

Soepardi, E.A. et al. (2007) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala,
& Leher . 6th edn. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
WHO (2017) Diphtheria, WHO. Available at: https://www.who.int/teams/immunization-
vaccines-and-biologicals/policies/position-papers/diphtheria (Accessed: 8 February
2024).

Anda mungkin juga menyukai