Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. A DENGAN DIAGNOSA MEDIS “OPEN PNEUMOTHORAX ”

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok

Mata Kuliah: Keperawatan Gawat Darurat 1


Dosen Pembimbing : Danang Tri Yudono., S.Kep., Ns., M.Kep

KELOMPOK 6
1.KHOLIFAH NUR AZZAKIYAH ( 180103050 )

2.LAILATUL NISA ( 180103052 )

3.M RAHUL MAULANA ( 180103064 )

4.PUPUT KUSDIANA ( 180103077 )

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat ALLAH SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga
makalah ini telah terselesaikan.

Kami sadar bahwa terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, Kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesainya makalah ini
penulis mengucapkan terima kasih.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun tetap penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini di masa yang
akan datang. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin

Purwokerto, 11 april 2021

Penusun
DAFTAR ISI

Cover................................................................................................................................ i

Kata pengantar ............................................................................................................... ii

Daftar isi........................................................................................................................... iii

BAB 1 Pendahuluan ....................................................................................................... 1

a) Latar Belakang.................................................................................................... 1
b) Tujuan.................................................................................................................. 1

BAB 2 Konsep Teori....................................................................................................... 2

a) Pengertian............................................................................................................ 2
b) Etiologi.................................................................................................................. 2
c) Tanda dan Gejala................................................................................................ 3
d) Faktor Resiko ...................................................................................................... 5
e) Patofisiologi ......................................................................................................... 7
f) Pathway................................................................................................................ 9
g) Pemeriksaan ........................................................................................................ 10
h) Penatalaksanan Keperawatan Atau Medis....................................................... 10

BAB III Tinjauan Kasus................................................................................................. 14

a) Kasus ....................................................................................................................... 14
b) Asuhan Keperawtan............................................................................................... 14

BAB IV Penutup.............................................................................................................. 20

a) Kesimpulan.......................................................................................................... 20
b) Saran..................................................................................................................... 20

Daftar Pustaka................................................................................................................. 21

Lampiran
a) Jurnal 1.............................................................................................................. 22
b) Jurnal 2.............................................................................................................. 30
c) Jurnal 3.............................................................................................................. 40
BAB 1
PENDAHULUAN

a) Latar belakang

Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di dalam kavum/rongga pleura.


Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapatmempertahankan
paru dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura pada akhir
inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O.Kerusakan pada pleura
parietal dan/atau pleura viseral dapat menyebabkanudara luar masuk ke dalam rongga
pleura, Sehingga paru akan kolaps. Paling seringterjadi spontan tanpa ada riwayat
trauma; dapat pula sebagai akibat trauma toraks dankarena berbagai prosedur diagnostik
maupun terapeutik.Dahulu pneumotoraks dipakai sebagai modalitas terapi pada TB paru
sebelumditemukannya obat anti tuberkulosis dan tindakan bedah dan dikenal sebagai
pneumotoraks artifisial . Kemajuan teknik maupun peralatan kedokteran ternyata
jugamempunyai peranan dalam meningkatkan kasus-kasus pneumotoraks antara lain
prosedur diagnostik seperti biopsi pleura, TTB, TBLB; dan juga beberapa
tindakanterapeutik seperti misalnya fungsi pleura, ventilasi mekanik, IPPB, CVP dapat
pulamenjadi sebab teradinya pneumotoraks (pneumotoraks iatrogenik). Ada tiga
jalanmasuknya udara ke dalam rongga pleura, yaitu :

1. Perforasi pleura viseralis dan masuknya udara dan dalam paru


2. Penetrasi dinding dada (dalam kasus yang lebih jarang perforasi esofagusatau abdomen)
dan pleura parietal, sehingga udara dan luar tubuh masukdalam rongga pleura
3. Pembentukan gas dalam rongga pleura oleh mikroorganisme pembentuk gasmisalnya
pada empiema.Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak
kasus-kasus yang tidak di diagnosis sebagai pneumotoraks karena berbagai sebab.

b) Tujuan
1. Tujuan umum :
Untuk memperoleh informasi mengenai penyakit open pneumotoraks pada pasien dengan
gawat darurat

2. Tujuan khusus :

a. Untuk mengetahui proses timbulnya penyakit open pneumotoraks

b. Untuk mengetahui cara penanganan secara darurat pada pasien dengan open pneumotoraks

c. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang ditimbulkan jika tidak ditangani secara segera
pada pasien open pneumotoraks
BAB II
KONSEP TEORI
a) Pengertian
Pneumothorak adalah adanya udara dalam rongga pleura. Biasanya pneumotorak
hanya temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang hebat dapat ditemukan
pneumotorak bilateral, (Danusantoso dalam Wijaya dan Putri, 2013). Penumotorakhanya
adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura (Price, 2006). Pneumothorak
merupakan suatu keadaan terdapatnya udara di dalam rongga paru pleura (Muntaqqin,
2008). Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pneumothorak adalah
keadaan adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura
b) Etiologi
Pneumithorak dapat terjadi setiap kali permukaan paru-paru pecah dan
memungkinkan udara keluar dari paru-paru ke rongga pleura. Hal ini dapat terjadi ketika
luka beberapa tusukan dinding dada yang memungkinkan udara luar masuk ke ruang
pleura. Pneumothorak spontan dapat terjadi tanpa trauma dada, dan biasanya disebabkan
oleh kista kecil pada permukaan paru-paru. Kista tersebut dapat terjadi tanpa penyakit
paru-paru yang berhubungan, atau mereka dapat berkembang karena gangguan paru-paru
yang mendasari, emfisema yang paling umum, (Tschopp dalam .2014)
c) Tanda dan Gejala
Peningkatan tekanan udara di dalam pleura akan menghalangi paru-paru untuk
mengembang saat menarik napas. Akibatnya, dapat muncul gejala berupa:
1. Nyeri dada
2. Sesak napas
3. Keringat dingin
4. Warna kulit kebiruan atau sianosis
5. Jantung berdebar
6. Lemas
7. Batuk
d) Faktor Resiko
Pneumotoraks bisa menyerang seseorang yang tak memiliki riwayat penyakit paru-paru.
Kondisi ini biasanya sering terjadi pada pria yang berusia 20-40 tahun, terutama
merekayang memiliki fisik tinggi dan kurus. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang
bias meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks, antara lain:

1. Merokok.
2. Genetik, beberapa jenis penyakit ini merupakan penyakti keturunan.
3. Mengidap penyakit atau gangguan pada paru-paru.
4. Mengidap Sindrom Marfan.
5. Cedera akibat kontak olahraga, seperti sepak bola.
6. Aktivitas ekstrim yang menyebabkan kerusakan pada dada.
7. Pernah mengalami pneumotoraks sebelumnya.
e) Patofisiologi
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjung oleh jaringan
ikat,pembuluh-pembuluh dara kapiler dan pembuluh getah bening, rongga pleura dibatasi
oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis yang melapisi otot-otot
dinding dada, tulang dan kartilago, diapragma dan menyusup kedalam pleura dan tidak
sinsitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10-20ml) dan berfungsi
sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura, (Prince. 2006).
f) Pathway
g) Pemeriksaan
1. Pola pengkajian Pola fungsi kesehatan daat dikaji melalui pola Gordon dimana
pendekatan ini memungkinkan perawat untuk mengumpulkan data secara sistematis
dengan cara mengevaluasi pola fungsi kesehatan dan memfokuskan pengkajian fisik
pada masalah khusus. Model konsep dan tipologi pola kesehatan fungsional menurut
Gordon:
a. Pola persepsi manajemen kesehatan Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan
penanganan kesehatan. Persepsi terhadap arti kesehatan, dan penatalaksanaan
kesehatan, kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan.
Sensorik dan motorik menurun atau hilang, mudah terjadi injuri, perubahan persepsi
dan orientasi.
b. Pola nutrisi metabolik Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan
elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet, fluktasi BB dalam 1 bulan terakhir,
kesulitan menelan, mual/muntah, daya sensori hilang di daerah lidah, pipi,
tenggorokan dan dyspagia. Pada klien post craniotomy biasanya terjadi penurunan
nafsu makan akibat mual dan muntah.
c. Pola eliminasi Manajemen pola fungsi ekskresi, kandung kemih dan kulit,
kebiasaan defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalahmiksi (oliguri, disuria,
dll), frekuensi defekasi dan miksi, karakteristik urine dan feses, pola input cairan,
infeksi saluran kemih, distensi abdomen, suara usus hilang. Pada klien post
craniotomy pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik
usus. Setelah pembedahan klien mungkin mengalami inkontinensia urine,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan
mempergunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Kadang-kadang kontrol spingter urinarius hilang atau berkurang
d. Pola latihan aktivitas Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernapasan,
dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung. Kesulitan aktifitas akibat kelemahan,
hilangnya rasa, paralisis, hemiplegi, mudah lelah. Dalam aktivitas sehari-hari dikaji
pada pola aktivitas sebelum sakit dan setelah sakit.
e. Pola kognitif perseptual Menjelaskan persepsi sensori kognitif. Pola persepsi
sensori meliputi pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran, dan kompensasinya
terhadap tubuh. Gangguan penglihatan (penglihatan kabur), dyspalopia, lapang
pandang menyempit. Hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan
dibagian ekstremitas dan kadang-kadang pada sisi yang sama di muka.
f. Pola istirahat dan tidur Menggambarkan pola tidur, istirahat dan persepsi tentang
energi. Jumlah jam tidur pada siang dan malam.
g. Pola konsep diri persepsi diri Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan
persepsi terhadap kemampuan.
h. Pola peran hubungan Mengambarkan dan mengetahui hubungan peran pasien
terhadap anggota keluarga.
i. Pola reproduksi seksual Menggambarkan pemeriksaan genital.
j. Pola koping stres Mengambarkan kemampuan untuk mengalami stress dan
penggunaan sistem pendukung. Interaksi dengan orang terdekat, menangis, kontak
mata.
2. Pemeriksaan Fisik

a. Kepala Pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hemato atau riwayat
operasi.

b. Mata Penglihatan adanya kekaburan, akibat adanya gangguan nervus optikus


(nervus II), gangguan dalam mengangkat bola mata (nervus III), gangguan
dalam memotar bola mata (nervus IV), gangguan dalam menggerakkan bola
mata kelateral (nervus VI).

c. Hidung Saraf I (pada keadaan post craniotomy klien akan mengalami


kelainan pada fungsi penciuman unilateral atau bilateral)

d. Telinga Saraf VIII (perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan saraf vestibulokoklearis)

e. Mulut Saraf V (pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis


saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerak
mengunyah), Saraf VII (persepsi pengecapan mengalami perubahan. Saraf
XII (indera pengecapan mengalami perubahan).
f. Dada atau sistem pernafasan Perubahan pada sistem pernapasan bergantung
pada gradasi dari perubahan jaringan serebral. Pada keadaan hasil dari
pemeriksaan fisik sistem ini akan didapatkan hasil :
1. Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan alat bantu napas dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Ekspansi dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan
kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai :
retraksi dari otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen dan
respirasi paradoks (retraksi abdomen pada saat inspirasi). Pola napas
paradoksal dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
2. Pada palpasi frenitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
3. Pada perkusi adanya suara redup sampai pekak.
4. Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor,
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan
batuk yang menurun sehingga didapatkan pada klien dengan penurunan
tingkat kesadaran.
Pada klien dengan post craniotomy dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETTdengan ventilator dan biasanya
klien dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil.
Pengkajian klien dengan pemasangan ventilator secara komprehensif
merupakan jalur keperawatan kritis. Pada klien dengan tingkat kesadaran
compos mentis, pengkajian pada inspeksi pernapasan tidak ada kelainan.
Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
tidak didapatkan bunyi napas tambahan.

g. Sistem kardiovaskuler Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien post craniotomy


akibat cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah
normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia dan aritmia. Frekuensi nadi
cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan
tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkan
adanya perubahan perfusi jaringan atau tanda-tanda awal dari syok

h. Sistem Persayarafan Post craniotomy akibat cedera kepala menyebabkan


berbagai defisit neurologis terutama akibat pengaruh peningkatan tekanan
intrakranial yang disebabkan adanya perdarahan baik bersifat hematom
intraserebral, subdural dan epidural.Pengkajian sistem persyarafan merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem
lainnya.

i. Ekstremitas Pengkajian sistem motorik, pada saat inspeksi umum didapatkan


hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda lain dari tonus otot, kekuatan otot
dan keseimbangan dan koordinasi. Pengkajian refleks dilakukan pemeriksaan
refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat
refleks pada respon normal. Permeriksaan refleks patologis pada fase akut
refleks sisi yang lumpuh akan menghilang.

h) Penatalaksanan Keperawatan Atau Medis


1. Berikasn oksigen konsentrasi tinggi untuk mengatasi hipoksi
2. Ubah menjadi pneumotorak sederhana dengan memaskukkan jarum berdasarkan
besar kedalam rongga pleura untuk menghilangkan tekanan
3. Selang dada dimasukkan untuk membuang udara dan cairan yang tersisa. (Diane C
Baughman,2015)
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Asuhan Keperawatan

Tn.A umur 54 tahun, datang ke RS Harapan Bangsa Purwokerto dengan saudaranya. Klien
datang dalam keadaan sadar. Klien mengeluh sesak nafas dan nyeri pada dada sebelah kiri
setelah terjatuh dari ketinggian ± 8 meter 3 hari yang lalu.

B. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway :
 Sumbatan : Tidak ada
b. Breathing :
 Frekuensi :26 x/menit
 Irama : Tidak teratur
 Dada klien tampak simetris
 Suara nafas pada paru kiri menurun
c. Circulation :
 Suhu : 37°C
 Nadi : Nadi klien kuat, 85x/menit
 Warna kulit : Kulit klien normal, tidak pucat
 Perdarahan : Tidak ada
 Turgor kulit : Baik
d. Disability :
 Tingkat kesadaran : Composmentis
 Pupil : Isokor
 Reflek : Normal
e. Exposure
 Adanya jejas trauma di dada sebelah kiri.

2. Pengkajian Sekunder

Head To Toe

a) Kepala : Bentuk kepala mesochepal


b) Rambut : Terlihat hitam
c) Mata : Normal
d) Hidung : Bentuk normal
e) Mulut : Bibir kering
f) Telinga : Normal
g) Thorax :
1. Inspeksi : Bentuk dada simetris
2. Palpasi : Pergerakan simetris
3. Auskultasi : Vesikuler meningkat, ronki
h) Abdomen : Normal
i) Ekstremitas : Sianosis

C. Analisis Data Dan Diagnosa Keperawatan

No Analisa Data Problem Etiologi


1 DS : Klien mengatakan sesak nafas Ketidakefektifan Hiperventilasi
DO : Pemeriksaan TTV: Pola Nafas (00032)
 RR : 26 x/menit
 S :37°C
 TD : 110/70 mmHg
 N : 85 x/menit

 Diagnosa Keperawatan : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan


hiperventilasi
D. Outcome

No Dx Keperawatan NOC
1 Ketidakefektifan Pola Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam,
Nafa diharapkan pola nafas menjadi efektif dengan criteria hasil :
Status Pernafasan (0415)
Indikator Awal Akhir
Frekuensi pernafasan 2 4
Irama pernafasan 3 5
Suara auskultasi nafas 3 5

Keterangan :
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada

E. Intervensi

No Dx Keperawatan NIC Rasional


1 Ketidakefektifan Monitor Pernafasan  Berdasarkan hasil Penelitian
Pola Nafa (3350) “Penanganan Gawat Darurat
1. Posisikanpasien Tension Pneumothorax “ :

untuk melakukan Pada penanganan tension

posisi semifowler pneumothorax, needle

2. Berikan bantuan thoracocentesis di sela iga kelima

terapi nafas jika linea mid-aksila dan pemasangan

diperlukan, mini-WSD.

misalnya nebulizer

 Berdasarkan hasil Penelitian


“Penanganan Gawat Darurat
Tension Pneumothorax “
Needle thoracocentesis di sela
iga kelima lebih mudah dilakukan
dikarenakan dinding dada yang
lebih tipis daripada di sela iga
kedua linea mid klavikula.
 Berdasarkan hasil Penelitian
“Penanganan Gawat Darurat
Tension Pneumothorax “
Needle thoracocentesis dan
mini-WSD dapat memperbaiki
keadaan pasien tension
pneumothorax. Penanganan
open thoracostomy dianggap
lebih baik dan direkomendasikan
bila penolong memiliki keahlian
tersebut.

BAB IV
PENUTUP

a) Kesimpulan
Pneumothorak adalah adanya udara dalam rongga pleura. Biasanya pneumotorak hanya
temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang hebat dapat ditemukan pneumotorak
bilateral. Penumotorakhanya adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura.

b) Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu dibutuhkan kritik dan saran
dari para pembaca yang sifatnya membangun.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/26525956/LP_and_ASKEP_PNEUMOTHORAX_KONSEP_DASA
R_PNEUMOTORAKS

https://www.alodokter.com/pneumothorax

https://www.halodoc.com/kesehatan/pneumotoraks

https://id.scribd.com/doc/215269086/Makalah-Pneumothorax-baru-docx

DOI: http://dx.doi.org/10.33846/sf11201

Penanganan Gawat Darurat Tension Pneumothorax Dengan Needle Thoracocentesis ICS ke-5 &
Pemasangan Mini-WSD: A Case Report
Ricat Hinaywan Malik
Orthopaedi dan Traumatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret /
Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang; ricat.malik@gmail.com (koresponden)

ABSTRACT

Background: Tension pneumothorax is an emergency with high mortality rate that can be handled with
simple action. Besides due to many thoracic trauma, tension pneumothorax is rarely caused by infectious
diseases such as pulmonary tuberculosis. During this time, the treatment is with needle thoracocentesis
in the second intercostal space in mid-clavicle line and installation of chest tube-WSD in the fifth
intercostal space. Objective: To discuss emergency treatment with limited facilities and resources in
tension pneumothorax patients using needle thoracocentesis in the fifth intercostal space in mid-clavicle
line and mini-WSD installation. Methods: Case report, case choosed from a rare case that emergency
which patient treated and can survive until discharge from hospital with limited facilities and resources.
Results: A 38-year-old man was admitted to a hospital ward with shortness of breath that was getting
heavier the last week, coughing up sparse phlegm, and a fever. Physical examination: composmentis,
normal blood pressure, HR 132x/min, RR 34 x/min, temperature 37,5 oC, SpO2 80%. There is an increase
in JVP, asymmetric chest (left higher than right), right chest motion left behind, no chest pain,
hypersonor right chest, right chest auscultation sounds like air passing through water pipe, left chest
sounded roughly crackles. Support: leukocytosis, HIV positive on VCT, chest X-ray showing severe right
pneumothorax and left pulmonary tuberculosis. Patient was diagnosed with tension pneumothorax
secondary to pulmonary tuberculosis, other than AIDS. Emergency needle thoracocentesis is performed
in the right fifth intercostal space, mid-axilla line just above the 6th rib, and connected with mini-WSD.
The result is clinical improvement. Patient was survive until definitive action and further treatment can
be taken by the experts. Conclusion: The needle thoracocentesis of the fifth intercostal space in mid-
axilla line and mini-WSD is easier to perform and improve the clinical state of tension pneumothorax
patient.
Keywords: thoracocentesis; decompression; intercostal space; mini-water sealed drainage; secondary
tension pneumothorax
ABSTRAK

Latar Belakang: Tension pneumothorax merupakan keadaan gawat darurat dengan angka kematian
tinggi yang bisa ditangani dengan tindakan sederhana. Selain banyak disebabkan karena trauma toraks,
tension pneumothorax jarang disebabkan penyakit infeksi seperti tuberkulosis paru. Selama ini
penanganannya dengan needle thoracocentesis di sela iga kedua linea mid-klavikula dan pemasangan
chest tube-WSD di sela iga kelima. Tujuan: Mendiskusikan penanganan emergensi dengan keterbatasan
fasilitas dan sumber daya pada pasien tension pneumothorax menggunakan needle thoracocentesis di
sela iga kelima linea mid-klavikula dan pemasangan mini-WSD. Metode: Laporan Kasus, kasus dipilih
dari kasus emergensi yang jarang terjadi berupa kasus emergensi dimana pasien diberi penanganan dan
dapat bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit dengan keterbatasan fasilitas dan sumber daya.
Hasil: Seorang laki-laki, 38 tahun, dirawat di bangsal rumah sakit dengan sesak nafas yang semakin
memberat 1 minggu terakhir, batuk berdahak jarang, dan demam. Pemeriksaan fisik: komposmentis, TD
normal, HR 132x/min, RR 36 x/min, suhu 37,5 oC, SpO2 80%. Terdapat peningkatan JVP, dada asimetris
(kiri lebih tinggi dibanding kanan), gerak dada kanan tertinggal, tak ada nyeri tekan dada, dada kanan
hipersonor, auskultasi dada kanan terdengar seperti udara yang melewati pipa air, dada kiri terdengar
ronki kasar. Penunjang: leukositosis, VCT positif HIV, foto toraks menunjukkan pneumotoraks kanan
berat dan TB aktif paru kiri. Pasien didiagnosis tension pneumothorax sekunder karena TB paru, selain
AIDS. Dilakukan tindakan emergensi needle thoracocentesis di ICS 5 linea mid-aksila kanan tepat di atas
kosta ke-6, dan disambung dengan mini-WSD. Hasilnya terdapat perbaikan klinis. Pasien bertahan hidup
hingga dapat dilakukan tindakan definitif dan penanganan lebih lanjut oleh ahlinya. Kesimpulan:
Needle thoracocentesis sela iga kelima linea mid-aksila dan mini-WSD lebih mudah dilakukan dan
memperbaiki keadaan klinis pasien tension pneumothorax.

Kata kunci: torakosintesis; dekompresi; sela iga; mini-WSD; tension pneumothorax sekunder

PENDAHULUAN

Pneumotoraks spontan dibagi menjadi 2, yaitu primer (terjadi tanpa adanya penyakit paru yang
diketahui, termasuk iatrogenik) dan sekunder (terjadi pada pasien yang mengidap penyakit paru). (1,2)
Pneumotoraks spontan sekunder tersering terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) sebanyak 70%, diikuti penyakit paru lain seperti tuberkulosis. (2) Angka kejadian pneumotoraks
spontan terdapat 18 hingga 28 kasus pada laki-laki dan 2 hingga 6 kasus pada wanita untuk tiap 100.000
populasi.(1)

Simple pneumothorax dapat berubah cepat menjadi tension pneumothorax bila tak segera dikenali.
(3)
Tension pneumothorax adalah keadaan yang mengancam nyawa.(4,5) Tension pneumothorax terjadi
melalui mekanisme kebocoran udara “katup satu arah” dari paru-paru atau melalui dinding dada. Udara
terperangkap dalam kavum pleura dan dengan cepat membuat paru-paru kolaps. Mediastinum
terdorong ke sisi yang berlawanan dari sisi pneumothorax. Gejala dan tanda tension pneumothorax
diantaranya adalah: nyeri dada, ingin makan udara (air hunger), takipnea, distres respirasi, takikardi,
hipotensi, deviasi trakhea menjauhi sisi pneumotoraks, distensi vena leher, tidak adanya suara nafas di
sisi pneumotoraks, perkusi didapatkan hiperresonan/hipersonor, dan sianosis (manifestasi terlambat),
serta saturasi arteri dengan pulse oxymeter hasilnya
menurun.(5) Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi pada kasus berat. (2)

Diagnosis dilakukan secara klinis tanpa pemeriksaan radiologi yang menunda penanganan. (4,5) Tension
pneumothorax biasanya ditangani secara darurat dengan dekompresi jarum (needle decompression atau
disebut juga needle thoracocentesis) dengan cara memasukkan kateter jarum besar ke dalam ruang
pleura (kavum pleura).(2,5) Lokasi penusukan di interkostal kedua (ICS II) di linea mid-klavikula. (4) Karena
faktor tebalnya dinding dada, kekakuan kateter, dan komplikasi teknis atau anatomis, dekompresi
dengan jarum bisa gagal. Faktor ketebalan dinding dada, misalnya pasien dengan otot dada tebal atau
obesitas(4) mempengaruhi keberhasilan dekompresi needle.(5) Selain itu, kesalahan identifikasi ICS kedua
juga sering terjadi.(6) Panjang needle 5 cm akan dapat menembus kavum pleura >50%, sedangkan
panjang needle 8 cm dapat menembus kavum pleura >90%. Bukti terbaru mendukung penempatan
kateter needle ukuran besar di interkostal kelima (ICS V).(5) Dokter umum memiliki kompetensi bisa
melakukan needle dekompresi secara mandiri.(7) Tidak semua rumah sakit memiliki chest tube yang
disambungkan ke Water Sealed Drainage (WSD) dan tidak semua dokter bedah (atau sub-bedah)
standby terutama di rumah sakit daerah pedalaman (rural area), sehingga dokter umum setempatlah
yang berperan menyelamatkan nyawa pasien tension pneumothorax.

Laporan kasus ini akan mendiskusikan kasus seorang laki-laki dengan tension pneumothorax sekunder
yang dilakukan tindakan emergensi needle thoracocentesis di spatium intercostal kelima linea mid-aksila
dan pemasangan mini-WSD di rumah sakit dengan fasilitas dan sumber daya yang terbatas.
METODE

Metode yang digunakan oleh penulis adalah Case Report. Studi dilakukan di rumah sakit dengan
keterbatasan fasilitas dan jumlah sumber daya di kota Demak, dicari kasus pasien yang bersifat
emergensi (mengancam nyawa) yang jarang terjadi yaitu tension pneumothorax tetapi berada di bangsal
antara tahun 2013 hingga tahun 2014.

Setelah ditemukan pasien dengan diagnosis tersebut, disiapkan semua alat dan bahan yang dibutuhkan,
yaitu: lidokain, spuit, kasa steril, alkohol, IV cath no.14G, plester, infus/transfusion set, flabot kosong
(bekas infus 500 cc berisi cairan sekitar separuhnya, dan gunting. Semua alat dan bahan tersebut
seharusnya berada di IGD maupun bangsal rumah sakit manapun (termasuk rumah sakit terpencil).
Pasien dilakukan anestesi lokal di sela iga kelima (ICS V) linea mid-aksila. Setelah anestesi lokal, sebuah
IV cath ukuran terbesar (14G) ditusukkan sebagai torakosintesis di spatium interkosta kelima (ICS 5)
tepat di sisi atas kosta ke-6 linea midaksila kanan sesuai update terbaru Advance Trauma Life Support
(ATLS).(5) Jarum (needle) diambil dan cath tetap menancap yang kemudian difiksasi dengan plester.

Setelah tidak didapatkan udara keluar dari needle, dilanjutkan pemasangan mini-water sealed drainage
(mini-WSD) yang dapat dibuat menggunakan alat sederhana. Mini-WSD terdiri dari selang infus yang
disambungkan dengan IV cath di satu sisi, sedangkan sisi lainnya digunting/dipotong sebelum ujungnya
dan dimasukkan ke dalam botol infus yang berisi air setengah botol, dengan ujung selang infus
tenggelam hingga dasar botol. Pasien dievaluasi undulasi dan gelembung udara (bubble) yang muncul
tiap pasien inspirasi.

Pasien diikuti perkembangannya (follow-up) dan data didokumentasikan secara lengkap, untuk
kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan kasus (case report).

HASIL

Seorang laki-laki berusia 38 tahun dibawa ke IGD, dilanjutkan foto toraks dan rawat inap di bangsal
rumah sakit dengan keluhan sesak nafas. Pasien mengeluh sesak sejak sekitar 1 minggu yang lalu, telah
diperiksakan ke perawat dekat rumahnya, didiagnosis asma dan mendapat obat tetapi sesak nafas tidak
berkurang dan semakin berat. Pasien mengeluh demam sejak 4 hari terakhir, batuk jarang sejak 5 bulan
terakhir dengan dahak kadang putih, kuning, dan hijau kental. Pasien tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya, bukan perokok, tidak pernah menjalani pengobatan TB dan hipertensi. Pasien memiliki
riwayat trauma dada sekitar 1 minggu yang lalu karena jatuh di toilet dan dadanya membentur pipa,
nyeri dan tidak langsung sesak saat itu.

Pemeriksaan fisik di bangsal: status generalis tampak sulit bernafas, kesadaran komposmentis, gizi
cukup. Tanda vital: tekanan darah 120/80 mmHg, HR 132 kali/menit, RR 36 kali/menit, dan suhu tubuh
37,5oC (aksila). Saturasi oksigen perifer (SpO2) 80% dan dikoreksi menjadi 91% dengan oksigen non-
rebreathing mask (NRM). Rambut, kepala, kulit, mata, hidung, telinga, mulut, tenggorokan, jantung,
abdomen, anogenital, dan
ekstremitas dalam batas normal. Lehernya simetris, tidak teraba deviasi trakhea, tetapi tampak jelas peningkatan
tekanan vena jugularis( dilatasi vena).

Gambar 1. EKG menunjukkan sinus takikardi

(a) (b)

Gambar 2. Foto toraks pertama saat masuk rumah sakit (Gambar 2a).
Foto toraks kedua beberapa jam post Needle Thoracocentesis dan pemasangan Mini-WSD yang diaplikasikan selama
beberapa jam (hari kedua di rumah sakit) (Gambar 2b).
Inspeksi toraks tampak asimetris, hemitoraks kiri lebih tinggi daripada kanan, pergerakan hemitoraks kanan tertinggal
serta tidak dapat mengembang dengan baik, dan tampak tato di dada kiri atas. Pada palpasi tidak terdapat nyeri tekan di
seluruh lapang toraks. Perkusi hipersonor di hemitoraks kanan, sedangkan hemitoraks kiri sonor. Auskultasi suara
jantung terdengar cepat, tanpa gallop maupun murmur. Hemitoraks kanan tidak terdengar vesikuler, tidak ada ronki,
tidak ada wheezing, suara seperti udara yang melewati pipa dan lebih kuat di thoraks tengah kanan baik saat inspirasi
maupun ekspirasi. Hemitoraks kiri terdengar vesikuler, ronki kasar lebih keras di apeks terutama saat ekspirasi, dan
tanpa wheezing.

Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 15.3 g%, leukosit 16.900/mm 3, hitung jenis
leukosit eosinofil/basofil/stab/segmen/limfosit/monosit berturut-turut 0/0/0/82/15/3, platelet 397.000/mm 3, LED 1 dan
2 jam berturut-turut 78 dan 104. Gula Darah Sewaktu (GDS) sebanyak 149 mg/dl, urea 47 mg/dl, kreatinin 1.27 mg/dl,
SGOT 65 mg/dl, SGPT 40 mg/dl, BTA sewaktu negatif dan BTA pagi juga negatif. VCT dari HIV ditemukan reaktif.

EKG didapatkan hasil sinus takikardi (Gambar 1). Pemeriksaan radiologi dari X-foto toraks pertama (saat masuk RS)
didapatkan hasil Ahli Radiologi: pneumotoraks kanan berat (ada deviasi trakhea), paru kanan kolaps berat, tampak
tuberkulosis aktif, dan tidak didapatkan kardiomegali (Gambar 2a).

Gambar 3. Skema Needle Thoracocentesis sela iga kelima dilanjutkan pemasangan Mini-Water Sealed Drainage

(Mini-WSD)

Pasien diberikan oksigenasi adekuat dan diberikan penanganan gawatdarurat tanpa adanya dokter spesialis bedah dan
dokter spesialis paru yang standby saat itu, dan tanpa adanya chest-tube serta WSD di bangsal tersebut. Setelah anestesi
lokal, sebuah IV cath ukuran terbesar (14G) ditusukkan sebagai torakosintesis di spatium interkosta kelima (ICS 5) tepat
di sisi atas kosta ke-6 linea mid-aksila kanan. Suara seperti ban bocor terdengar sangat keras. Jarum (needle) diambil dan
cath tetap menancap yang kemudian difiksasi dengan plester. Sekitar setengah jam kemudian sudah tidak ada suara
udara keluar lagi, kemudian IV cath disambungkan dengan WSD kecil (mini-WSD). Mini-WSD terdiri dari selang infus
yang disambungkan dengan IV cath yang menancap di dada pada satu sisi, sedangkan sisi lainnya digunting/dipotong
sebelum ujungnya dan dimasukkan ke dalam botol infus yang berisi air setengah botol, dengan ujung selang infus
tenggelam hingga dasar botol (Gambar 3). Tampak undulasi dan gelembung udara (bubble) berlebihan yang muncul tiap
pasien inspirasi.

Pemeriksaan follow-up 2 jam setelah pemasangan mini-WSD, pasien masih tampak sesak nafas tetapi hasil anamnesis
merasa lebih baik (sesak berkurang, RR menjadi 32 kali/menit), dan sudah tidak tampak undulasi dan bubble lagi. Mini-
WSD dilepas dan luka bekas jarum ditutup dengan kasa povidon iodin dan diplester. Pemeriksaan radiologi X-foto toraks
ulang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan sumber daya manusia, sehingga baru dapat dilakukan 6 jam kemudian
(masuk hari kedua), dengan hasil menurut Ahli Radiologi bahwa pneumothorax kanan relatif sama, emfisema subkutis
kanan, dan masih tampak TB aktif paru kiri. Tak tampak cairan di kedua sisi hemotoraks (Gambar 2b).

Hari kedua, pasien ditangani dengan penanganan standar berupa continuous WSD dan obat antituberkulosis (OAT) oleh
Ahli Paru (pulmonologis), serta antibiotik, anti-HIV, dan simtomatik oleh Ahli Penyakit Dalam (internis), dan dilakukan
fisioterapi dada oleh Fisioterapis selama rawat inap. Paru mulai mengembang (Gambar 4) dan keadaan pasien berangsur
membaik. WSD standar dilepas setelah 20 hari, dan pasien keluar dari rumah sakit dengan lama rawat inap seluruhnya
21 hari (Tabel 1).

(a) (b)
Gambar 4. Foto toraks ketiga setelah WSD-Chest Tube terpasang, paru kanan mulai mengembang (hari kesembilan di
rumah sakit) (Gambar 4a). Foto toraks keempat dimana pengembangan paru kanan relatif sempurna saat WSD-Chest
Tube masih terpasang (hari ketujuh belas di rumah sakit) (Gambar 4b).

Tabel 1. Hasil Follow-Up setelah tindakan dekompresi Needle dan pemasangan Mini-WSD

Waktu Hasil follow-up


Hari ke-2 Sesak nafas (+).
jam 07.00 RR = 32 x/mnt, HR = 120 x/mnt. Dilakukan foto toraks ke-2. Pemeriksaan BTA. Mulai terapi OAT.
Hasil dokter radiologi: pneumotoraks relatif sama dengan foto pertama.
jam 21.30 Dilakukan pemasangan WSD-chest tube di ICS V linea axillaris anterior dextra oleh Dokter Paru.
Bubble (+). Emfisema Subkutis (+), sesak berkurang. BTA sewaktu (-).
Hari ke-3 Sesak berkurang, nyeri di tempat post-pemasangan WSD. Komposmentis.
TD: 120/80 mmHg. Hasil VCT  Reaktif.
Hari ke-4 Sesak berkurang. Batuk (+). Wheezing (+)/(+), Rhonki kasar (+)/(+).
Hari ke-5 Pindah ruang isolasi. Mulai terapi antivirus (ARV). Evaluasi WSD: -
Emfisema subkutis (+) di axilla, punggung, dada kanan, leher.
- Undulasi (+) ± 5 cm.
Hari ke-6 Krepitasi/emfisema subkutis berkurang  tinggal di leher & axilla kanan.
Hari ke-7 TD: 110/80 mmHg. Evaluasi WSD:
- Emfisema subkutis di axilla (+) sedikit, punggung (-), dada kanan (-), leher (-). -
Undulasi (+).
Hari ke-8 Masih sesak. Lepas kateter urin (DC). Emfisema subkutis di Axilla Dextra. Auskultasi
Toraks: kiri Vesikuler, kanan Vesikuler sangat lemah.
Hari ke-9 Tak ada keluhan. Hasil VCT istri & anak non-reaktif. Dilakukan foto toraks ulang. Hasil: Tampak selang
WSD, tampak infiltrat pulmo kanan, paru kanan mulai mengembang.
Hari ke-10 Mual muntah sedikit. Emfisema subkutis axilla kanan berkurang.
Hari ke-11 Masih batuk dan nyeri dada kanan di lokasi WSD.
Hari ke-12 Dipasang WSD Continuous 14,5 mmHg. Emfisema subkutis (-). Suara paru kanan (-).
Hari ke-13 Suara paru kanan mulai muncul (vesikuler). Fisioterapi (breathing exercise) dimulai.
Hari ke-14 Suara paru kanan terdengar vesicular (+) jelas. Fisioterapi ditambah (IR punggung + dada, breathing
exercise, postural drainage).
Hari ke-15 Pasien mengatakan tak ada keluhan. Pemeriksaan fisik semua dalam batas normal.
Hari ke-16 Mengeluhu batuk (+) sedikit, sesak nafas mulai tidak terasa.
Hari ke-17 Merasa tidak sesak nafas. Foto toraks ulang. Hasil: Paru kanan mengembang relatif sempurna, selang
WSD terdesak ke dinding dada kanan.
Hari ke-18 WSD diklem. Pasien stabil.
Hari ke-19 Pasien tetap stabil.
Hari ke-20 WSD dan infus dilepas.
Hari ke-21 Pasien pulang.

PEMBAHASAN

Diagnosis

Diagnosis kasus ini dikonfirmasi setelah melihat foto toraks di bangsal, karena sudah dilakukan foto ketika dikirim dari
IGD. Diagnosis tension pneumothorax seharusnya tegak dan ditangani di IGD ketika pasien datang. Hal ini tidak sesuai
dengan Sutton & Jonas(4) dan American College of Surgeons(5) dimana diagnosis

tension pneumothorax ditegakkan secara klinis, tanpa melakukan pemeriksaan radiologi sehingga akan
menunda penanganan. Bila ada ultrasonografi, dapat didiagnosis dengan pemeriksaan FAST yang
diperluas (extended FAST/eFAST).(5)

Datangnya pasien dalam keadaan tension pneumothorax yang merupakan komplikasi pneumotoraks
spontan sekunder akibat TB merupakan keterlambatan. Bagaimanapun juga menurut Zarogoulidis et al.,
(2)
beberapa pasien membutuhkan waktu beberapa hari sebelum mencari pertolongan medis. Telah
diamati bahwa pneumotoraks spontan primer jarang menyebabkan tension pneumothorax.

Penanganan

Pasien dilakukan penanganan needle thoracocentesis sebagai upaya drainase dan dilanjutkan dengan
mini-WSD sebagai upaya re-ekspansi paru. Ini sesuai dengan Nason et al.(8) yang menyatakan bahwa
manajemen pneumotoraks spontan sekunder serupa dengan pneumotoraks spontan primer yaitu
membutuhkan drainase dan re-ekspansi paru.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemasangan needle yaitu lokasi penempatan, ketebalan
dinding dada, panjang needle, karakteristik pasien, body mass index (BMI), umur, jenis kelamin, dan
posisi lengan pasien.(9–13) Penempatan needle di ICS V linea mid aksila pada kasus ini juga sesuai dengan
American College of Surgeons(5) yang menyatakan bahwa ada bukti terbaru yang mendukung
penempatan kateter needle ukuran besar di interkostal kelima (ICS V).

Chang et al.(11) menjelaskan bahwa ketebalan dinding dada ICS keempat di linea aksila anterior lebih tipis
dibandingkan ICS kedua linea midklavikula. Rentang ketebalan dinding dada di ICS kedua linea
midklavikula adalah antara 4,33 – 4,67 cm, sedangkan di ICS keempat linea aksila anterior antara 3,76 –
3,99 cm. Sejalan dengan itu, Akoglu et al.(12) juga menjelaskan bahwa rata-rata ketebalan dinding dada
ICS kedua linea midklavikula pada laki-laki 3,8 cm, sedangkan pada perempuan 5,2 cm. Sedangkan rata-
rata ketebalan dinding dada ICS kelima linea mid aksila pada laki-laki 3,3 cm, sedangkan pada
perempuan 3,8 cm.

Sehingga juga dibutuhkan panjang needle setidaknya 5 cm di linea mid aksila ICS ke-4 atau ke-5 agar
kemungkinan besar bisa menembus hingga kavum pleura. Hal ini didukung pernyataan Ball et al.(14)
bahwa penggunaan kateter dengan panjang minimal 4,5 cm dengan lokasi di daerah aksila
meningkatkan angka keberhasilan pada pasien obesitas.

Pengamatan lanjutan (Monitoring & Follow-up)

Follow-up kasus ini kurang lengkap karena hanya melihat undulasi dan bubble di hari pertama walaupun
foto toraks dilakukan berulang. Ini karena terbatasnya jumlah sumber daya dan catatan medis tidak
lengkap. Hal ini tidak sesuai dengan Hisyam & Budiono (15) yang menjelaskan bahwa follow-up yang
lengkap meliputi penilaian undulasi, bubble, warna dan jumlah cairan dalam 24 jam, serta foto rontgen
dada ulang.

Foto toraks kedua menunjukkan hasil tension pneumothorax yang relatif sama dengan foto pertama.
Seharusnya needle yang disambungkan Mini-WSD tidak langsung dilepas walaupun bubble dan undulasi
menghilang, sampai terpasang chest tube-WSD definitif. Ini tidak sesuai dengan Hisyam & Budiono (15) dan
Zarogoulidis et al.(2) yang menyatakan bahwa jarum atau kanul tetap dibiarkan di tempat sampai chest
tube bisa dimasukkan. Kateter yang tercabut, kusut, tersumbat, atau bila akumulasi udara masuk
berlebihan melebihi kemampuan evakuasi kateter bisa menyebabkan terjadinya tension pneumothorax
lagi.(6)

Permasalahannya adalah untuk memfiksasi needle dengan plester saja tidak kuat (mudah lepas sehingga
tidak masuk cavum pleura) sehingga seharusnya dipegang terus hingga terpasang chest tube-WSD yang
baru bisa dipasang beberapa jam kemudian. Bertambahnya komplikasi pneumotoraks seperti emfisema
subkutis dan gambaran radiologis pneumotoraks yang relatif sama beberapa jam setelah Mini-WSD
dicabut, yang seharusnya ada perbaikan gambaran radiologis, bisa dikarenakan kembali meningkatnya
tension pneumothorax walaupun sudah dilakukan dekompresi. Hal ini sesuai dengan Gordon et al.(16)
yang menyatakan bahwa pneumotoraks iatrogenik sering menjadi komplikasi dari torakosintesis dan
sering membutuhkan pemasangan chest tube.

Pemeriksaan ulang terus menerus dibutuhkan setelah tindakan dekompresi. (5) Walaupun sudah dirawat
bersama beberapa dokter, lamanya perawatan pasien mencapai 3 minggu yang menunjukkan
penanganan pneumotoraks kadang tidak mudah dilakukan. Ini sesuai dengan Zarogoulidis et al.(2) yang
menyatakan bahwa penanganan pneumotoraks tergantung beberapa faktor dan dapat bervariasi,
termasuk faktor dokter yang menangani pasien.

Kegagalan/Keberhasilan dibandingkan Pengalaman/Fakta Kepustakaan

Dengan tindakan needle thoracocentesis di ICS 5, dokter jaga berhasil mengurangi keluhan sesak
sementara. Ini sesuai dengan American College of Surgeons (5) bahwa needle dekompresi mengubah
tension pneumothorax menjadi simple pneumothorax, dan sesuai dengan Wernick et al.(6) bahwa
alternatif yang lebih baik sebagai pertimbangan adalah penempatan needle thoracocentesis di linea mid-
aksila kelima.

Penanganan mini-WSD yang disambungkan dengan needle tidak bertahan lama dalam mengatasi
masalah sesak pasien seperti pada kasus ini, bahkan beberapa kasus pengalaman penulis gagal karena
tidak bisa menembus cavum pleura. Ini seperti pernyataan American College of Surgeons (5) bahwa
bagaimanapun juga, tindakan needle dekompresi tidak selalu berhasil. Sehingga guideline National
Institute for Health and Care Excellence (17) merekomendasikan penanganan tension pneumothorax
menggunakan open thoracostomy (dekompresi dengan jari) daripada needle decompression bila
penolong memiliki keahlian tersebut. Pemasangan tube thoracostomy tetap diperintahkan setelah
tindakan needle atau dekompresi dengan jari.(5)

KESIMPULAN

Pada penanganan tension pneumothorax, needle thoracocentesis di sela iga kelima linea mid-aksila dan
pemasangan mini-WSD lebih mudah dilakukan dan bisa dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas kurang
dan sumber daya terbatas, bahkan di bawah standar. Needle thoracocentesis di sela iga kelima lebih
mudah dilakukan dikarenakan dinding dada yang lebih tipis daripada di sela iga kedua linea mid
klavikula. Mini-WSD juga bisa dilakukan, terutama bila tidak ada chest tube, WSD definitif, ahli paru
maupun ahli bedah. Needle thoracocentesis dan mini-WSD dapat memperbaiki keadaan pasien tension
pneumothorax. Penanganan open thoracostomy dianggap lebih baik dan direkomendasikan bila penolong
memiliki keahlian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ashby M, Haug G, Mulcahy P, Ogden KJ, Jensen O WJ. Conservative Versus Interventional
Management for Primary Spontaneous Pneumothorax in Adults. Cochrane Database Syst Rev.
2014;12(12):CD010565. doi:10.1002/14651858.CD010565.pub2
2. Zarogoulidis P, Kioumis I, Pitsiou G, et al. Review Article: Pneumothorax: From Definition to
Diagnosis and Treatment. J Thor Dis. 2014;6(4). doi: 10.3978/j.issn.2072-1439.2014.09.24
3. Hefny AF, Kunhivalappil FT, Paul M, Almansoori TM, Zoubeidi T A-ZF. Anatomical locations of air for
rapid diagnosis of pneumothorax in blunt trauma patients. World J Emerg Surg. 2019;14:44.
doi:https://dx.doi.org/10.1186%2Fs13017-019-0263-0
4. Sutton D, Jonas M. The Management of Major Injuries. In: Apley & Solomon’s System of
Orthopaedics and Trauma 10th Ed. CRC Press; 2018:651-710.
5. ACS “American College of Surgeons.” Thoracic Trauma. In: Advanced Trauma Life Support Student
Course Manual 10th Ed. ; :65-66.
6. Wernick B, Hon H, Mubang R, et al. Complications of Needle Thoracostomy: A Comprehensive
Clinical Review. Int J Crit Illn Inj Sci. 2015;5(3):160-169. doi:10.4103/2229-5151.164939 7. KKI
“Konsil Kedokteran Indonesia.” Standar Kompetensi Dokter Indonesia.; 2012.
8. Nason K, Maddaus M, Luketich J. Chapter 19: Chest Wall, Lung, Mediastinum, and Pleura. In:
Schwartz’s Principles of Surgery 10th Ed. ; 2015:605-694.
9. Zengerink I, Brink P, Laupland K, Raber E, Zygun D, Kortbeek J. Needle Thoracostomy in The
Treatment of A Tension Pneumothorax in Trauma Patients: What Size Needle. J Trauma.
2008;64:111-114. doi:10.1097/01.ta.0000239241.59283.03
10. Sanchez L, Straszewski S, Saghir A, et al. Anterior Versus Lateral Needle Decompression of Tension
Pneumothorax: Comparison by Computed Tomography Chest Wall Measurement. Acad Emerg
Med. 2011;18:1022-1026. doi:DOI: 10.1111/j.1553-2712.2011.01159.x.
11. Chang SJ, Ross SW, Kiefer DJ, Anderson WE, Rogers AT, Sing RF CD. Evaluation of 8.0-cm needle at
the fourth anterior axillary line for needle chest decompression of tension pneumothorax. J
Trauma Acute Care Surg. 2014;76:1029-1034. doi:10.1097/TA.0000000000000158
12. Akoglu H, Akoglu EU, Evman S, Akoglu T, Altinok AD, Guneysel O, Onur OE ES. Determination of the
appropriate catheter length and place for needle thoracostomy by using computed tomography
scans of pneumothorax patients. Injury. 2013;44:1177-1182. doi:10.1016/j.injury.2012.10.005
13. Powers W, Clancy T, Adams A, West T, Kotwall C, Hope W. Proper catheter selection for needle
thoracostomy: A height and weight-based criteria; Injury. Injury. 2014;455:107-111. doi:DOI:
10.1016/j.injury.2013.08.026.
14. Ball CG, Wyrzykowski AD, Kirkpatrick AW, Dente CJ, Nicholas JM, Salomone JP, Rozycki GS, Kortbeek
JB FD. Thoracic Needle Decompression for Tension Pneumothorax: Clinical Correlation with
Catheter Length. Can J Surg. 2010;53(3):184-188.
15. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV Jilid II. ; :1646-
1649.
16. Gordon CE, Feller-Kopman D, Balk EM et al. Pneumothorax Following Thoracentesis: A Systematic
Review and Meta-analysis. Arch Intern Med. 2010;170(4):332-339.
doi:10.1001/archinternmed.2009.548
17. NICE “National Institute for Health and Care Excellence.” Major Trauma: Assessment and Initial
Management. NICE Guidel. 2016:1-23.
JURNAL 2
53
JURNAL
RESPIRASI

JR
Vol. 1 No. 2
Mei 2015

Seorang Perempuan Perokok Tembakau dan Mariyuana


dengan Pneumotoraks Spontan Primer Akibat Blep
Multipel yang Pecah

Yenny Kumatuti, Isnin Anang Marhana

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo

ABSTRACT
Background. Primary spontaneous pneumothorax (PSP) can be caused by a ruptured blep emfisematus subpleural.
People who smoke tobacco and marijuana simultaneously arise PSP will be more risky than just smoking tobacco.
Pneumothorax in cannabis smokers may occur due to coughing at the time was holding their breath, when they were
smoking marijuana. Case. We report the case of 33-year-old woman with recurrent shortness of breath as a result of
primary spontaneous pneumothorax in the right hemithorax. The patient’s tobacco and marijuana smokers. Patients
had undergone previous pleurodesis. Chest X-ray picture of the lines conveniently indicates lung collapse and air-fluid
level in the right hemithorax. Thoracoscopic showed a large bronchopleural fistula. During thoracotomy found one
bronkopeural fistula, three large blep, and more than 15 small blep. Then do the suturing of fistula and blep. Patients
recover in a short time and in good condition during treatment. Conclusion. Tobacco and marijuana smoking is a risk
factor that is synergistic to the occurrence of primary spontaneous pneumothorax. These patients consume both are
irregular but have resulted in multiple blep that can rupture and cause a pneumothorax.

Key words: Marijuana, Tobacco, Pneumotraks

PENDAHULUAN Insiden pneumotoraks spontan primer di


Amerika Serikat adalah 7,4/100.000 per tahun
pada laki- laki dan 1,2/100.000 per tahun pada
Pneumotoraks adalah suatu kondisi di perempuan, sedangkan kasus pneumotoraks
mana terdapat udara di dalam rongga pleura. spontan sekunder adalah 6,3/100.000 per tahun
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan pada laki-laki dan 2,0/100.000 per tahun pada
berdasarkan proses terjadinya, lokasi, dan perempuan. Di RSUD Dr. Soetomo didapatkan 55%
derajat kolaps paru. Penumotoraks lebih kasus pneumotoraks yang terjadi akibat penyakit
sering terjadi pada penderita dewasa muda. dasarnya seperti tuberkulosis paru aktif,
Laki- laki lebih sering daripada perempuan. tuberkulosis paru yang disertai fibrosis atau
Penumotoraks 1sering dijumpai pada musim
penyakit batuk.
emfisema lokal, bronkitis kronik, dan
PPOK. Kematian 1,2akibat pneumotoraks
lebih kurang 12%.
Blep pleura adalah terdapatnya
sejumlah kecil udara di subpleura pada
lapisan pleura viseral. Lesi tersebut akan
memberikan gejala bila telah terjadi
komplikasi pneumotoraks spontan.
Blep terjadi akibat ruptur kecil pada
alveoli yang robek sampai ke interstisial
dan akan membentuk kumpulan udara
dalam jumlah sedikit di daerah
subpleura. Lesi yang menimbulkan
pneumotoraks spontan terutama
berlokasi di daerah apeks lobus superior
paru atau apeks segmen superior.
Sebagian besar pasien dengan blep tidak
memiliki penyakit tertentu yang
mendasari timbulnya blep.3
Berikut ini akan dilaporkan sebuah
kasus yaitu seorang perempuan perokok
tembakau dan mariyuana dengan
pneumotoraks spontan primer akibat blep
multipel yang pecah
54 Jurnal Respirasi (JR), Vol. 1. No. 2 Mei 2015: 53−59

KASUS
kurang dari setengah pak perbulan. Sekitar 3 tahun
yang lalu penderita juga merokok (digunakan secara
Seorang perempuan, Ny I, berusia 33 tahun, bersama) dengan mariyuana, tetapi tidak rutin dan
berdomisili di jalan Lebak Jaya Utara dan bekerja berlangsung selama enam bulan. Riwayat memakai
pada Hotel sebagai Supervisor Resepsionis. Masuk shabu-shabu selama 2 tahun, tetapi tidak pernah
rumah sakit (MRS) dengan keluhan sesak napas. memakai narkotika jenis lain. Penderita juga
Penderita merasakan sesak napas sejak delapan hari alkoholik. Riwayat seks bebas disangkal.
yang lalu. Sesak napas mendadak dan sesak terasa
semakin berat. Sesak napas tidak berkurang dengan Berdasarkan Pemeriksaan fisik; Penderita datang
dengan keadaan umum cukup, kesadaran kompos
istirahat atau perubahan posisi. Batuk jarang dan
mentis dengan GCS 456, tensi 110/80 mmHg, nadi
tidak ada dahak. Keringat malam dan penurunan
88x/menit, frekuensi napas 28 x/menit, dan suhu
berat badan tidak didapatkan. Nyeri dada didapatkan.
aksiler 36,4 C. Kepala dan leher tidak didapatkan
Buang air besar dan buang air kecil tidak terdapat
tanda-tanda anemis, ikterus, sianosis, serta tidak ada
kelainan. Penderita dirujuk dari rumah sakit swasta
pembesaran kelenjar getah bening maupun
setelah dirawat selama delapan hari. Penderita telah
peningkatan vena jugularis. Pada regio toraks,
dilakukan pemasangan drainase torakal yang
inspeksi tampak pergerakan dada asimetris dengan
disambungkan ke WSD. Setelah beberapa kali
hemitoraks kanan tertinggal. Pada palpasi didapatkan
dilakukan foto evaluasi dan paru tetap
fremitus raba hemitoraks kanan menurun. Pada
mengembang, satu hari sebelum masuk rumah sakit
perkusi didapatkan hipersonor pada hemitoraks kanan.
(SMRS) dilakukan pleurodesis dengan povidon
Pada auskultasi tidak didapatkan suara vesikuler pada
iodine, setelah dilakukan pleurodesis, keesokan
hemitoraks kanan. Tidak didapatkan suara wheezing
harinya dilakukan foto toraks evaluasi dan paru
dan ronki pada kedua hemitorak. Didapatkan egofoni
terlihat kolaps kembali, dan penderita dirujuk ke
pada hemitoraks kanan bawah. Pada pemeriksaan
RSUD Dr. Soetomo dalam kondisi masih terpasang
jantung, suara jantung (S1 dan S2) tunggal, tidak
drainase torakal.
didapatkan murmur maupun gallop.
Berdasarkan riwayat, penderita merokok (rokok Berdasarkan pemeriksaan abdomen, hepar dan lien
tembakau) sejak 15 tahun yang lalu sekitar 2-3 pak tidak teraba, tidak didapatkan massa intra
perhari dan mulai berkurang sejak 1 tahun sebelum abdomen maupun nyeri tekan. Bising usus dalam
MRS menjadi batas normal.

Gambar 1. Foto toraks.

SEQUENCE OF EVENT

Merokok Udara bocor ke subpleura blep

Inflamasi
Protease kronik
akan Ruptur alveoli yang Robekan blep
parenkim
mendegradasparu Bronkiolus dan alveolus
berisiko
i elastin kehilangan elastisitas pneumotoraks
Influks sel Hilang kemampuan
inflamasi ke paru menahan tekanan alveoli
Sesak napas
Kumatuti dan Marhana: Seorang Perempuan Perokok Tembakau dan Mariyuana 55

Pemeriksaan anggota gerak tidak ada edema, jari dekstra post pleurodesis. Dilakukan rawat bersama
tabuh, serta tidak didapatkan pembesaran kelenjar dan tindakan latihan pernapasan berupa deep
getah bening di ketiak maupun lipatan paha. breathing dan pursed-lip breating, breathing control
Berdasarkan pemeriksaan darah;Hb15,1 gr/dl, dan relaksasi; AROM excersise, dan latihan
Leukosit 12.500 / ul, Granulosit 77,1%, mobilisasi duduk-berdiri. Pemeriksaan faal paru di
Trombosit245.000 /ul, HCT 46,7 %, dapatkan hasil: FVC 1160 mL (42% predicted),
Glukosa102mg/dl, SGOT23 u/l, SGPT20 u/l, FEV1 1160 mL (48% predicted), FEV1/ FVC 100%.
Albumin 3,48mg/dl, BUN5mg/ dl, kreatinin serum Kesimpulan: restriksi berat tanpa obstruksi.
0,67 mg/dl, Natrium 137,4mmol, Kalium4,04 Dilakukan pemeriksaan analisa cairan pleura
mmol, klorida 102,1 mmolBGA;pH7,37; PCO238
3
dengan hasil: jumlah sel pleura 4100 sel/uL,
mmHg; PO2115 mmHg; HCO 22,0 mmol/l; BE
-
mononuklear 75%, polinuklear, 25%, glukosa cairan
-3,3; SO2 98 % pleura 94 mg/dL, protein cairan pleura 4,10 g/dL,
Berdasarkan pemeriksaan foto toraks (Gambar LDH cairan pleura 912 U/L.
1); didapatkan trakea teresan terdorong ke kiri Dua hari MRS di RSUD Dr Soetomo
Jantung: batas jantung kanan tertutup perselubungan, dilakukan tindakan torakoskopi pada kavum pleura
kesan terdorong ke kiri, Pulmo; lapang paru kanan dengan hasil: pleura viseralis dan parietalis tidak
tampak garis kolaps, air fluid level, dan bayangan tampak penebalan. Di rongga pleura tidak tampak
chest tube. Lapangan paru kiri tak tampak infiltrat fibrotic band. Tampak fistula bronkopleural pada
atau nodul, Sudut frenikokostalis kanan tertutup pleura viseralis kanan. Kemudian dilakukan
perselubungan, kiri anterior posterior tajam, pemasangan chest tube no. 28
Retrosternal space normal, retrocardial space tertutup Pada pemeriksaan torakoskopi hanya terlihat
perselubungan. Penderita didiagnosa sementara satu fistula dengan ukuran yang cukup besar. Pasien
yaitu; sesak napas dan pneumotoraks spontan primer kemudian direncanakan untuk dilakukan konsultasi
dekstra. Perkembangan penderita dibagi menjadi 3 dengan divisi bedah torak dan kardiovaksuler untuk
tahap yaitu; penutupan fistula tersebut.
1. Tahap penegakan diagnosis pneumotoraks spontan Tiga hari MRS dilakukan pemeriksaan
primer; evaluasi laboratorium darah rutin dan kimia klinik.
Pasien MRS di rumah sakit swasta dengan Hb 14.3 g/dL, Leukosit 10.100 /uL, granulosit 8
keluhan sesak napas tiba-tiba kemudian di foto
4.9%, trombosit 26.000
rontgen toraks dan dinyatakan pneumotoraks
paru kanan, dilakukan pemasangan drainase / uL, CRP 1,0 mg/dL, prokalsitonin < 0,05 ng/ml,
analisa gas darah tanpa oksigen dengan pH 7.46,
torakal yang kemudian disambungkan dengan pCO2 32 mmHg, pO2 106 mmHg, HCO3 22,8
-

WSD. Pasien dilakukan evaluasi foto toraks


mmol/l, BE -1,0 mml/l, SaO2 98%. Konsultasi ke
sebanyak 4 kali dan didapatkan paru mengembang
dengan baik, kemudian dilakukan pleurodesis divisi bedah toraks dan kardiovaskuler dengan
dengan povidon iodine dan dilakukan foto toraks jawaban: Kami dapatkan pasien dengan fluido
evaluasi dan didapatkan paru kembali kolaps dan pneumotoraks dekstra rekuren post pleurodesis dan
timbul gambaran air fuid level pada gambaran post torakoskopi dengan fistula bronkopleura paru
dekstra. Pasien kami rencanakan torakotomi
foto toraks yang diduga merupakan cairan
dekortikasi dan repair fistula. Jadwal kami acarakan.
pleurodesis yang digunakan satu hari sebelumnya.
Satu minggu MRS di rumah sakit swasta Satu minggu MRS dilakukan pemeriksaan
klinik pasien denagn keadaan umum cukup,
kemudian pasien dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo
kesadaran kompos mentis, dan pasien tidak sesak.
untuk penegakan diagnosis penyebab rekurensi
Foto toraks evaluasi pre pembedahan terlihat paru
pneumotoraks.
terlihat sudah mulai mengembang bila dibandingkan
Pasien tiba di IRD RSUD Dr. Soetomo dalam dengan foto toraks sebelumnya. Pada lapangan paru
kondisi cukup baik dan masih terpasang drainase kanan bawah masih terlihat gambaran paru sebelah
torakal. Pasien sesak napas dengan pernapasan 28 kanan bawah masih tertutup oleh perselubungan
kali/menit. Tidak dilakukan foto ulang pada pasien homogen dengan gambaran efusi pleura, keesokan
karena foto dari rumah sakit yang merujuk dilakukan harinya keadaan umum pasien cukup baik,
pada hari yang sama. Pada foto rontgen terlihat kesadaran kompos mentis dengan GCS 456. Pasien
adanya gambaran garis kolaps paru dan air fluid tidak merasa sesak dan tidak memakai bantuan
level pada paru kanan dengan posisi trakea, jantung oksigen tambahan. Analisa gas darah evaluasi tanpa
dan mediastinum agak terdorong ke sebelah kiri. oksigen: pH 7.44, pCO2 38 mmHg, pO2 102 mmHg,
Pasien direcanakan untuk dilakukan torkoskopi di HCO3
-
25.8 mmol/l, BE 1.6 mml/l, SaO2 98%,
ruang tindakan paru pada jam kerja. Terapi yang AaDO2 87.
diberikan pada pasien adalah pemberian oksigen 3
liter/menit, fisioterapi dada, dan pemasangan 2. Tahap operasi;
continuos suction. Operasi dilakukan pada hari sembilan MRS yaitu
operasi torakotomi dengan teknik torakotomi kanan
Satu hari MRS pasien di konsultasikan ke kardiologi
untuk penilaian Cardiac Risk Index (CRI) dengan klasik oleh divisi bedah toraks dan kardiovaskuler.
jawaban: saat ini di bidang kardiologi kami dapatkan Pasien dibaringkan dengan posisi left lateral
pasien dengan Cardiac Risk Index class I (risk of Major
Adverse Cardiac Event 0,3%). Pasien juga decubitus. Sisi kiri berada di bawah, tangan kanan
dikonsultasikan ke rehabilitasi medik dengan jawaban: ekstensi. Pembiusan dilakukan dengan anestesi
kami temukan pasien dengan abnormalitas pernapasan umum. Lapangan operasi didisinfeksi dengan savlon,
karena pneumotoraks rekuren
povidon iodine 10%, dan alkohol 70%, kemudian
lapangan oprasi dibatasi dengan doek kain
steril
56 Jurnal Respirasi (JR), Vol. 1. No. 2 Mei 2015: 53-59

Gambar 2. Torakoskopi

pada bagian tepi dan doek transparan pada lokasi insisi. Terapi pasca pembedahan: IVFD PZ 1500 cc/24 jam,
Dilakukan insisi, dinding dada dibuka lapis demi lapis
Cefazolin 3  1 gr, Ketorolac 3  30 mg, Ranitidine 2  1
melalui celah interkostal V. Tampak paru mengembang
amp, Posisi slight head up, Sambung WSD + continuous
sebagian. Dilakukan eksplorasi lebih luas. Didapatkan
suction -20 cmH 2 O, Nebulisasi salbutamol/6 jam.
fibrin-fibrin di permukaan paru dan terdapat beberapa
Dilakukan monitoring: Cek darah rutin dan analisa gas
tempat perlengketan ke dinding dada di bagian lobus
darah, foto toraks evaluasi, produksi drain, buble
superior dan lebih banyak pada lobus inferior.
ekspirasi. Hasil pemeriksaan hapusan cairan pleura: tidak
Didapaktan blep multiple sebanyak tiga buah dengan
ditemukan kuman batang tahan asam, tidak ditemukan
diameter ± 2 cm di lobus inferior dan blep-blep kecil dan
kuman gram negatif atau gram positif. Laboratoriun
sebagian bocor. Terdapat cairan pleura. (Lihat Gambar 3)
darah pasca operasi: Hb 9.7 gr/dL, leukosit 9.800/mm3,
Parenkim paru lain tampak baik. Dilakukan
trombosit 283.000/mm3, glukosa 132 mg/dl, SGOT 16
dekortikasi, fibrin-fibrin dibebaskan. Dilakukan repair
IU/L, SGPT 15 IU/L, albumin
fistula pada blep dan salah satunya di segmentektomi.
3.4 g/dL, BUN 5.2 mg/dl, kreatinin 0.6 mg/dl.Foto toraks
Dilakukan tes buble, kemudian dilakukan repair sampai
pasca operasi: paru tampak mengembang dengan
tidak ditemukan buble lagi. Rawat perdarahan dan
gambaran garis kolaps sangat minimal di bagian apeks
dilakukan pemasangan drain ukuran 28 Fr. Rongga
paru kanan dan gambaran cairan di lapangan paru kanan
dada ditutup dengan benang absorbable. Soft tissue
bawah.
ditutup lapis demi lapis. Tidak ditemukan komplikasi
selama operasi dan pasca operasi. 3. Tahap pasca operasi; Setelah operasi pembedahan,
pasien dirawat di ruang palem II. Pasien tidak merasa
sesak dan tidak memakai oksigen tambahan serta
dilakukan pemasangan suction -20 cmH2O. Pasien

Gambar 3. Blep multiple yang ditemukan selama operasi


Kumatuti dan Marhana: Seorang Perempuan Perokok Tembakau dan Mariyuana 57

menjalani terapi pernapasan dan mobilisasi sering mendadak dan makin lama makin berat. Nyeri
bertahap dari rehabilitasi medik. Pasien dilakukan dada dapat dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat,
klem pada chest tube dan dipertahankan selama tertekan, dan terasa lebih nyeri pada gerakan
48 jam. Dua minggu MRS dilakukan foto toraks pernapasan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
(Gambar 4) evaluasi pasca klem chest tube. Tidak anamesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
ditemukan lagi gambaran kolaps paru efusi penunjang. Meskipun dengan pemeriksaan foto toraks
minimal. standar dapat terlihat adanya pneumotoraks, untuk
melihat adanya blep subpleura, bulla, dan atau
Pada hari keenam belas MRS dilakukan pelepasan perubahan lokal dari paru emfisematus hanya
chest tube. Setelah keadaan cukup optimal dan tidak
dapat terlihat jelas pada pemeriksaan computed
didapatkan komplikasi, keesokan harinya pasien
tomography (CT scan), inspeksi langsung pada
dipulangkan dengan terapi cefixime 2  200 mg,
pembedahan, pemeriksaan patologi dari spesimen, dan
codein 3  10 mg dan dianjurkan oleh rehabilitasi
otopsi. Seringkali penyebab kebocoran ditemukan
medik untuk melakukan latihan napas dan latihan
pada saat tindakan pembedahan. Gambaran patologik
gerak di rumah.
paru perokok dapat terlihat adanya proses inflamasi,
perubahan vaskular, granulomatos, dan degeneratif.
1,3

PEMBAHASAN Pneumotoraks spontan primer (PSP) terjadi


akibat ruptur blep emfisematus subpleura, yang
biasanya berlokasi di daerah apeks paru lobus
Pneumotoraks adalah suatu kondisi di mana1 superor atau inferior Blep dapat ditemukan pada
terdapat udara di dalam rongga pleura.
75% pasien pneumotoraks spontan primer yang
Pneumotoraks dapat terjadi bila terdapat hubungan
menjalani torakoskopi. Patogenesis blep subpleura dan
antara alveolus atau ruang udara intrapulmonar
pencetus terjadinya ruptur alveoli masih belum
lainnya dengan rongga pleura. Udara akan mengalir
diketahui secara pasti. Blep dapat timbul akibat
2
masuk ke rongga pleura sampai tidak ada lagi
abnormalitas kongenital, inflamasi bronkeoli, dan
perbedaan tekanan antara intrapulmonal dengan
perubahan ventilasi kolateral. Terdapat hubungan
rongga pleura, atau bila penghubung ruang
yang kuat antara merokok dengan terjadinya (PSP).
intrapulmonal dan rongga pleura tertutup.
2
Pada penelitian yang dilakukan pada pasien PSP
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat dibagi
yang perokok dan mantan perokok, didapatkan
menjadi pneumotoraks artifisial, pneumotoraks
angka kejadian PSP berhubungan dengan tingkat
traumatik, dan pneumotoraks spontan. Pneumotoraks
keparahan merokok. Pada laki-laki, risiko relatif
2,4
spontan adalah pneumotoraks yang terjadi secara
terhadap pneumotoraks adalah tujuh kali lebih tinggi
spontan tanpa didahului oleh kecelakaan atau
pada perokok ringan (1–2 batang rokok per hari), 21
trauma. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer
kali lebih tinggi pada perokok sedang (13–22 batang
dan sekunder berdasarkan ada tidaknya penyakit
rokok per hari), dan 102 kali lebh tinggi pada
penyebab yang mendasari.
1,2,3
perokok berat (> 22 batang rokok per hari), bila
Insiden pneumotoraks diperkirakan sebanyak 8– dibandingkan dengan bukan perokok. Kelainan
12 kasus per 100.000 orang per tahun. Penumotoraks
saluran napas kecil yang diinduksi oleh rokok dapat
lebih sering terjadi pada penderita dewasa muda.
menyebabkan timbulnya blep subpleura.
2

Laki-laki lebih sering daripada perempuan. Insiden


1

pneumotoraks spontan primer di Amerika Serikat Konsep lama menyebutkan bahwa pada PSP
terjadi akibat kebocoran udara tunggal (one single
adalah 7.4/100.000 per tahun pada laki-laki dan
aisway) yang berasal dari satu blep yang pecah. Data
1.2/100.000 per tahun pada perempuan.
2

terbaru menunjukkan hal yang berbeda dari konsep


Keluhan utama pneumotoraks spontan adalah tersebut. Sebuah studi baru yang dilakukan pada
sesak napas, bernapas terasa berat, nyeri dada, dan
pasien PSP dengan menggunakan fluoresen inhalasi,
batuk. Sesak
ditemukan aliran udara ke pleura berasal dari lebih
dari satu kebocoran, sehingga menimbulkan “pleural
porosity”, di mana kebocoran udara berasal dari
lubang multiple pada pleura viseralis.
2

Di Inggris, mariyuana merupakan obat terlarang


yang paling banyak digunakan penduduk usia 16–59
tahun dari tahun 2010 sampai 2011. Angka tersebut
menunjukkan 1,1 juta penduduk Inggris menggunakan
mariyuana pada tahun tersebut. Merokok mariyuana
lebih banyak ditemukan usia kurang dari 35 tahun.
Kesadaran publik tentang efek bahaya dari mariyuana
terhadap paru masih sangat rendah. Pada perokok
5

berat, mereka sering menggabungkan merokok


dengan tembakau dan mariyuana. Hal ini sering
menyulitkan untuk membedakan pengaruh buruk
merokok akibat mariyuana dengan akibat tembakau.
6

Terdapat perbedaan bahan aktif yang terdapat


Gambar 4. Foto Toraks pada mariyuana dan tembakau. Hanya mariyuana
yang
58 Jurnal Respirasi (JR), Vol. 1. No. 2 Mei 2015: 53−59

mengandung tetrahydrocanabinol (THC) dan primer dengan kebocoran udara minimal


hanya tembakau yang mengandung nikotin. Pada
sisi lain, mariyuana dan tembakau juga mengandung
substansi yang sama dalam jumlah besar, seperti
karbon monoksida, tar, dan karsinogen. Jumlah
perokok mariyuana lebih sedikit dibandingkan dengan
perokok tembakau. Saat merokok mariyuana, orang
akan mengambil napas penuh ke dalam mulutnya
sekitar dua pertiga lebih banyak dibandingkan dengan
saat merokok tembakau. Volume inhalasi juga lebih
besar saat merokok mariyuana. Mekanisme batuk
pada saat sedang inspirasi diduga menjadi sebab
timbulnya robekan alveokus dan menimbulkan blep.
Bila terjadi robekan pada blep oleh sebab apapun,
akan terjadi pneumotoraks.
5,7,8

Merokok merupakan faktor risiko terjadinya


pneumotoraks. Dari penelitian didapatkan bahwa
risiko terjadinya pneumotoraks akibat merokok
mariyuana dan tembakau sekaligus adalah lebih
berisiko dibandingkan dengan hanya merokok
tembakau saja. Merokok dengan keduanya akan
memberikan efek sinergis yang dalam menimbulkan
pneumotoraks.
5,7,8

Pada paru pasien dengan PSP, hampir 81%


ditemukan emphysematous-like effect (ELC). ELC
yang ditemukan berupa blep atau bulla. Dari CT
scan didapatkan ELC sering ditemukan bilateral
dengan lokasi predominan di segmen apikal dari
lobus superior dan inferior. ELC bilateral ditemukan
sebanyak 79% sampai 93% pada pasien yang
menjalani operasi sternotomi. Mekanisme pasti
terbentuknya ELC masih dalam spekulasi. Mekanisme
yang sangat mungkin adalah akibat terjadinya
degradasi jaringan elastik paru.
9

Kerusakan paru terjadi secara lambat dan


progresif. Neutrofil, makrofag, dan sel inflamasi
lainnya akan masuk ke paru oleh pengaruh asap
rokok. Sel inflamasi dan sel epithelial akan
menghasilkan protease yang akan mendegradasi
komponen jaringan penunjang parenkim paru,
termasuk elastin yang merupakan jaringan penunjang
utama di paru. Hal tersebut akan mengakibatkan
bronkiol dan alveoli kehilangan elastisitasnya.
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa terdapat
perbedaan tekanan alveolar di bagian apeks paru
dibandingkan dengan daerah basal paru. Pada daerah
tersebut, alveoli yang telah kehilangan elastisitasnya
tidak mampu lagi menahan tekanan tinggi. Tekanan
yang tinggi tersebut akan dialirkan ke bronkiolus.
Karena bronkiolus juga telah kehilangan elastisitasnya
dan tidak cukup elastik lagi untuk menahan
tekanan tersebut, alveoli akan ruptur. Pada daerah
alveoli yang ruptur tersebut, udara akan masuk ke
subpleura dan mengakibatkan terjadinya kumpulan
udara di subpleura (blep). Pecahnya blep akan
menimbulka aliran udara masuk ke rongga pleura
dan timbul pneumotoraks.
10

Pneumotoraks kurang dari 15% tidak


membutuhkan intervensi. Pada observasi dilakukan
pada pneumotorak yang lebih dari 15% dengan sesak
napas ringan. Pada kondisi udara minimal daam
rongga toraks, udara akan cepar direabsorbsi.
Kecepatan reabsorbsi diperkirakan sebesar 1,22%
paru per hari. Oleh karena itu, pasen penumotoraks
dapat melakukan rawat jalan. Pasien dengan
pneumotoraks 20%, absorbsi seluruh udara dalam
rongga pleura secara spontan membutuhkan waktu 16
hari. Apabila pasien dirawat inap, pasen harus
diberikan oksigen untuk dapat meningkatkan absorbsi
udara dalam rongga pleura.
2,3

Pilihan terapi utama pasien PSP dengan kolaps


lebih dari 15 % adalah aspirasi sederhana. Prosedur ini
berhasil pada hampir 60% pasien PSP. Bila tindakan
ini berhasil, maka pasien tidak peru dirawat inap
dan terhindar dari nyeri akibat pemasangan selang
torakostomi. Angka rekurensi sama antara aspirasi
sederhana dan pemakaian selang torakostomi. Aspirasi
2

sederhana membutuhkan latihan minimal, jarang


membutuhkan rawat inap, dan dapat memprediksi
jumlah sisa udara yang masih ada di paru dan ukuran
kebocoran. Tindakan ini dilakukan dengan jarum
yang relatif kecil (16 gauge) dengan yang
dimasukkan kedalam celah interkostal dua anterior
pada garis midklavikula. Three-way stopcock dan
syringe 60 cc disambungkan dengan kateter tadi.
Udara dalam rongga pleura diaspirasi sampai habis.
Bila udara masih terus dapat dengan mudah
diaspirasi, hal tersebut menandakan bahwa terjadi
kebocoran udara dalam jumlah besar. Paru seharusnya
mengembang kembali setelah dilakukan aspirasi.
Apabila beberapa menit kemudian udara kembali
dapat diaspirasi dalam jumlah kecil, hal tersebut
menandakan bahwa terjadi kebocoran udara yang kecil.
Bila setelah batuk, udara tetap tidak dapat diaspirasi
lagi, hal tersebut menandakan pneumotoraks tertutup,
dan setelah dikonfirmasikan secara radiologis bahwa
paru tetap mengembang, pasien dapat dipulangkan. Bila
tindakan aspirasi tidak berhasil, dapat dipertimbangkan
untuk melakukan torakoskopi atau pemasangan selang
torakostomi.
2,3

Tindakan ini direkomendasikan bila tindakan


aspirasi sederhana tidak berhasil dan tidak ada
torakoskopi di tempat pelayanan tersebut. pemakaian
selang dengan ukuran kecil (8-16 French) lebih efektif
dibandingkan dengan selang ukuran besar. Karena
risiko terjadinya edema paru setelah reekspansi cepat
paru, disarankan untuk menggunakan water-sealed
drainagea (WSD) dan hindari melakukan suction dalam
24 jam pertama pemasangan selang tersebut.(muray)
Bila paru telah mengalami reekspansi dan
kebocoran udara tidak terjadi lagi dalam 24 jam,
selang torakostomi dalat dilepaskan. Kebocoran udara
dapat terlihat dengan adanya gelembung udara ke
dalam WSD, bila tidak ditemukan gelembung udara
pada pernapasan cukup, pasien diminta untuk batu.
Bila gelembung udara tetap tidak ada, merupakan
indikasi tidak adanya kebocoran udara. Bila paru tetap
tidak mengalami reekspansi atau masih terjadi
kebocoran udara ke dalam rongga pleura setelah 72
jam torakostomi, pertimbangkan untuk melakukan
torakoskopi atau torakotomi.
2

Pada pasien ini telah dilakukan pemasangan selang


torakostomi dari rumah sakit yang merujuk atas
indikasi ditemukannya pneumotoraks totalis.
Kumatuti dan Marhana: Seorang Perempuan Perokok Tembakau dan Mariyuana 59
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Karena banyak pasien PSP mengalami rekurensi, instilasi pleurodesis ke dalam rongga pleura
dapat mengurangi angka rekurensi. Pemberian agen pleurodesis akan menurunkan angka rekurensi dari
40% menjadi 25%. Agen pleurodesis yang paling banyak digunakan adalah talk dan doksisiklin. Dapat
juga digunakan tetrasiklin. Bleomisin tidak direkomendasikan untuk digunakan.
2

Video-assisted thoracoscopy surgery (VATS) merupakan prosedur yang dipilih apabila tindakan aspirasi
sederhana mengalami kegagalan atau pasien mengalami pneumotoraks rekuren. Selama VATS, dapat
dilakukan penghilangan blep penyebab pneumotoraks dan dilakukan pleurodesis. Pada blep dapat dilakukan
endo-stapling. Bila bleb stapling tanpa dilakukan pleurodesis, angka rekurensi akan meningkat dan tindakan
ini tidak dianjurkan. VATS merupakan manajemen efektif untuk PSP. Angka rekureni sekitar 5,4%.
Komplikasi VATS yang paling sering adalah terdapatnya kebocoran udara yang persisten (kurang dari
5%).
2,3

Bila tidak memiliiki fasilitas VATS, open thoracotomy merupakan pilihan alternatif yang dapat diambil.
Sebaiknya dilakukan transaksilaris torakotomi untuk meminimialisasi trauma. Angka rekurensi PSP setelah
open thoracotomy lebih rendah dari VATS, yaitu 1,1% tetapi membutuhkan masa rawatan yang lebih
lama dan morbiditas postoperative yang lebih tinggi.
2

Pada pasien harus dilakukan manajemen postoperatif. Chest tube harus disambungkan dengan
suction untuk dapat menimbulkan simpisis pleura. Chest tube dapat dilepas pada hari kedua apabila
tidak terdapat kebocoran udara. Pasien dianjurkan untuk membatasi aktifitas yang dapat meningkatkan
tekanan intratorakal selama empat minggu.
11

KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang perempuan, 33 tahun, rujukan dari rumah sakit swasta dengan pneumotoraks
dekstra totalis dan telah dilakukan pemasangan selang torakal dan

41 Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dilakukan pleurodesis, tetapi paru kemudian kolaps kembali berdasarkan evaluasi foto toraks. Di
RSUD Dr. Soetomo dilakuakan tindakan torakoskopi dan ditemukan fistula dengan ukuran besar.
Pasien kemudian dikonsultasikan ke bagian bedah toraks dan kardiovaskuler untuk penutupan
fistula. Selama operasi torakotomi didapatkan blep multiple sebanyak tiga buah dengan diameter ±
2 cm di lobus inferior dan blep-blep kecil dan sebagian bocor. Dilakukan dekortikasi, fibrin-fibrin
dibebaskan. Dilakukan repair fistula pada blep dan salah satunya di segmentektomi. Keadaan pasien
setelah operasi membaik dengan gambaran foto toraks tidak terdapat garis kolaps paru. Pasien
dipulangkan dalam keadaan baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Wibisono, MJ, Winariani, Slamet H. Buku ajar ilmu penyakit paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR – RSUD Dr.
Soetomo. Surabaya. 2010. Hlm: 180-197
2. Mason, RJ, Courtney B, Thomas RM, et al. Murray & Nadel’s textbook of respiratory medicine 5th ed volume II. Saunders Elsevier.
Phiadelphia. 2010. Hlm: 1764-1770
3. Light RW, Gary L. Textbook of pleural disease. Hodder Arnold and Hachette UK company. London. 2008. Hlm: 516-526
4. Tan C, Hatam, Tom T. Bullous disease of the lung and cannabis smoking: insufficient evidence for causative link. Journal of the
royal society of medicine. London. 2006. Hlm: 77-80
5. British Lung Foundation. The impact of cannabis on your lung. 2012
6. Tashkin DP, Calvarese BM, Simmons MS. Respiratory status of 74 habitual marituana smoker. Chest. 1980. Hlm: 699-706
7. Goodyear K, Laws D and Turner J. 2004. Bilateral spontaneous pneumothorax in a cannabis smoker. In: J R Soc Med. , Sep, 97(9),
435-436 p
8. Feldman AL, Sullivan JT, Passero MA at al. 1993. Pneumothorax in polysubstance abusing marijuana and tobacco smokers: three
cases. In: J Subst Abuse, 5, 183–186 p
9. Klingman RR, Vito AA, Tom RD. Cystic and bullous lung disease. Annual thoracic surgery. Los Angeles. 1991. Hlm: 576.
10. Shields TW, Joseph LC, Reed CE. General Thoracic Surgery. William and Wilkins company. USA. 2012. Hlm: 738-741.
11. Greenberg GA, Singhal S, Kaiser LR. Bullous lung disease: evaluation, selection, techniques, and outcome. Chest surgery Clin
North Am. 2003. Hlm: 631.

42 Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

JURNAL 3
LAPORAN KASUS

Keberhasilan Setelah Henti Jantung selama Torakotomi Emergensi disebabkan Luka


Penetrasi Trauma Torak pada Kondisi Dengan Keterbatasan Fasilitas

Survive After Cardiac Arrest During


Emergency Thoracotomy Due To
Penetrating Thoracic Trauma In
Resource Limited Settings
Mumya Camary*, Akhyar H Nasution*, Hasanul Arifin*
*Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

Korespondensi/ correspondence: dicamary_007@yahoo.com

ABSTRACT

Background: An emergency thoracotomy (sometimes referred to as a resuscitative


thoracotomy) is a thoracotomy typically done in order to resuscitate a person who has been
severely injured after sustaining a severe trauma involving the thoracic cavity. Cardiac arrest
can occur durante procedure of emergency thoracotomy which need internal massage and
defibrillation, A quick management with The combination of clinical foreknowledge, ability to
spot changing clinical signs, and even-tempered surgical courage to perform simple but
lifesaving procedures can bring about a profound difference in outcome for the chest injured
patient even in resource limited settings.

Case: Male, 31 years old, predicted body weight 70 kg admitted to Haji Adam Malik Hospital
with main complained stab wound on the left chest. Supine chest x-ray shown massive left-

43 Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia
sided hemothorax. Chest wound was opened on the left antero lateral by surgeon and seen
left lung collapse with estimated blood lost 2500 ml are taken from the left hemithorax,
surgeon make a decision to do sternotomy and then found Left internal mammary artery
was torn and was ligated, found the right ventricle lacerated but no bleeding from the
wound. Cardiac arrest occurs and the surgeon starts internal cardiac massage, continuing
fluid resuscitation, 15 minutes after rescucitating cardiac arrest ECG shown VF , Internal
defibrillation at 20 joules, ECG shown sinus tachycardia 145/min, after control bleeding, the
operation procedure are done after chest drain insertion bilateral. The patient was shifted to
surgical ICU for observation. Patient was stable and there were no complications in
postoperative periode. Patient was discharged on 8th postoperative day.

Summary: The decision to perform emergency thoracotomy involves careful evaluation of


the scientific, ethical, social and economic issues. A quick management with The combination
of clinical foreknowledge, ability to spot changing clinical

44 Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


signs, and even-tempered surgical courage to perform simple but lifesaving
procedures can bring about a profound difference in outcome for the chest injured
patient even in resource limited settings. Time saving is live saving.

Keywords: emergrncy thoracotomi, cardiac arrest.

ABSTRAK

Latar Belakang: Sebuah torakotomi darurat (kadang-kadang disebut sebagai


torakotomi resusitasi) adalah torakotomi yang dilakukan untuk meresusitasi
seseorang yang telah terluka parah setelah mengalami trauma berat pada rongga
dada. Henti jantung dapat terjadi selama prosedur torakotomi yang memerlukan
pijat jantung internal dan defibrilasi. Manajemen yang cepat dengan Kombinasi
ramalan klinis, kemampuan untuk melihat perubahan tanda-tanda klinis, dan
keberanian untuk melakukan prosedur bedah sederhana namun menyelamatkan
nyawa dapat membawa perbedaan hasil bagi pasien luka dada bahkan di tempat
dengan sumber daya terbatas.

Kasus: Laki-laki, 31 tahun, berat badan perkiraan 70 kg dirawat di Rumah Sakit Haji
Adam Malik dengan keluhan luka tusuk di dada kiri. Pemrisaan ronsen dada
menunjukkan hemothorax luas di sisi kiri. Dokter bedah membuka dada yang terkena
luka tusuk dan terlihat kolaps paru dengan darah diperkirakan 2.500 ml dari
hemitoraks kiri, ahli bedah memutuskan untuk melakukan sternotomy dan kemudian
menemukan robekan pada arteri mamaria interna kiri dan diligasi, ditemukan robek
ventrikel kanan tetapi tidak ada pendarahan dari luka. Serangan jantung terjadi dan
ahli bedah mulai pijat jantung internal dan resusitasi cairan, 15 menit setelahnya EKG
menunjukkan VF, defibrilasi internal pada 20 joule, EKG menunjukkan sinus takikardia
145/min, setelah mengontrol perdarahan, prosedur operasi selesai dan dilakukan
pemasangan selang dada. Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi. Pasien stabil
dan tidak ada komplikasi pada pasca operasi . Pasien dipulangkan pada harike 8
pasca operasi.

Ringkasan: Keputusan untuk melakukan torakotomi darurat melibatkan evaluasi


yang cermat di bidang ilmiah, isu-isu etika, sosial dan ekonomi. Manajemen yang
cepat dengan Kombinasi ramalan klinis, kemampuan untuk melihat perubahan
tanda-tanda klinis, dan keberanian untuk melakukan prosedur bedah sederhana
namun menyelamatkan nyawa dapat membawa perbedaan hasil bagi pasien luka
dada bahkan di tempat dengan sumber daya terbatasTabungan Waktu adalah
tabungan hidup.

Kata kunci: torakotomi darurat, henti jantung


PENDAHULUAN mengikuti standar Advanced Trauma Life

Support (ATLS) yang bertujuan untuk


Trauma torak sebagai penyebab satu dari
mengidentifikasi urutan cedera yang paling
setiap empat kematian akibat trauma di
mengancam kehidupan diantara ancaman
Amerika Utara. Distribusi cedera tidak
1,2

terhadap kehidupan.
berhubungan dengan anatomi pada segmen

paru yang cedera namun secara langsung

terkait dengan cedera pada dinding dada.

Trauma toraks relatif umum terjadi pada 17%

pasien dengan multiple trauma (Injury Severity

Score> 15). Perdarahan ke alveoli dan

kerusakan parenkim maksimal terjadi dalam

24 jam pertama setelah cedera, hipoksemia

dan hiperkapnia puncaknya terjadi 72 jam

setelah cedera.

Meskipun trauma toraks relatif umum terjadi,

kejadian cedera dada terisolasi yang

memerlukan tindakan torakotomi jumlahnya

kecil. Sekitar 18 % dari pasien membutuhkan

pemasangan WSD dan sekitar 2,5% yang

memerlukan tindakan torakotomi. Mortalitas

secara keseluruhan adalah sekitar 9% dengan

Glasgow Coma Scale skor yang rendah, usia

yang tua, adanya luka tembus dada dan patah

tulang panjang, fraktur lebih dari lima tulang

rusuk, dan trauma pada hati dan cedera limpa

menjadi prediktor independen terjadinya

kematian.
3

Manajemen segera trauma toraks harus


KASUS Luka dada dibuka di antero lateral kiri oleh

dokter bedah dan paru kiri terlihat kolaps


Laki-laki, 31 tahun, diperkirakan berat badan
dengan perkiraan darah yang hilang 2.500 ml
70 kg datang ke Rumah Sakit Haji Adam
yang diambil dari
Malik dengan keluhan utama luka tusuk di

dada kiri. Pada pemeriksaan didapatkan

pasien dalam keadaan sadar penuh.

Kecepatan napas 30/min, tidak ada keluhan

dari hemoptisis, hematemesis. Akral

dingin dan pucat. Denyut nadi 130/min,

teratur, dan tekanan darah 90/50 mm Hg

dengan respon sementara terhadap resusitasi

cairan. Tidak ada riwayat penyakit penting

lainnya. Laboratorium dengan Hb 7,8 dan

hasil lainnya adalah dalam batas normal,

EKG sinus takikardi, x-ray dada

menunjukkan hemothorax sisi kiri yang

masif.

Pasien dibawa ke ruang operasi. CVC

dipasang pada subclavia kiri dan dua jalur

I.V. line dengan bore besar pada kedua

tangan, monitor SpO2 dan monitor EKG

diterapkan. Didapatkan SpO2 100% dengan

udara bebas. Preload dengan kristaloid 1000

ml, 100% O2 diberikan melalui facemask.

Tekanan darah 80/60 mm Hg. Pasien

diberikan Injeksi Sulfat Atropin 0,5 mg

Kemudian pasien diinduksi dengan injeksi

Ketamine 100 mg dan Rocuronium 50 mg.

Jalan nafas di jaga dengan dilakukan

pemasangan endotrakeal tube dan. SBP

adalah 90 mm Hg.
Gambar 1.Tamponade Jantung

hemithorax kiri, ahli bedah membuat bedah mulai melakukan pijat jantung internal,

keputusan untuk melakukan sternotomy dan resusitasi cairan koloid dengan

kemudian menemukan arteri mamaria

interna kiri robek dan diputuskan untuk

diligasi, ditemukan juga ventrikel kanan

terdapat robek tetapi tidak terjadi pendarahan

dari luka, SBP mulai jatuh ke 50mm Hg pada

arteri brakialis, Inj. Norepinefrin dimulai

pada tingkat 0,5 mikro gm/ menit dan

dobutamin dimulai pada tingkat 5-6 mikro

gm/menit. Pasien diberikan ventilasi dengan

100% O2. Ahli bedah membuka

perikardium melalui sayatan torakotomi kiri

dan menemukan darah 150 ml. Segera

setelah itu, henti jantung terjadi dan ahli


1000 ml, administrasi intracardiac dari

epinefrin diberikan dengan dorongan yang

cepat dan langsung disuntikkan ke dalam

ruang dari ventrikel kiri setiap 3 menit,

administrasi darah PRC 700 ml, natrium

bikarbonat 75 meq/L dan Kalsium glukonase

20 ml, 15 menit setelah resusitas,pada EKG

tampak VF, diputuskan untuk memberikan

defibrilasi internal 20 joule, gambaran EKG

menunjukkan sinus takikardia 145/min,

setelah mengontrol perdarahan, prosedur

operasi selesai setelah dilakukan pemasangan

thorax drain bilateral dan pada akhir operasi

denyut nadi 120/ minute reguler dan BP

100/70mm Hg tanpa dukungan inotropik.

Pasien dibawa ke ICU pasca bedah untuk


Jurnal Anestesiologi Indonesia

sisi yang diduga cedera, deviasi trakea ke sisi


observasi. Pasien stabil dan tidak ada
terluka, vena leher yang terisi penuh (tidak
komplikasi pada periode pasca operasi. Pasien
dapat dilihat jika pasien
dipulangkan 8 hari pasca operasi.

PEMBAHASAN

Ada 12 cedera toraks mematikan atau

berpotensi mematikan yaitu obstruksi jalan

napas, trauma pada aorta, tension

pneumotoraks, ruptur tracheobronchial, open

pneumotoraks, kontusio miokard, haemothorak

masif, ruptur diafragma, flail chest, ruptur

esofagus, tamponade jantung, dan kontusio

paru.

Obstruksi jalan napas

Kerusakan pada laring atau trakea akibat dari

trauma tumpul atau penetrasi dapat begitu

parah hingga menyebabkan pasien meninggal

di tempat kejadian. Dimana jalan napas

terganggu maka tindakan untuk definitife

airway diperlukan sebelum dilakukan tindakan

anestesi umum. Intubasi dengan serat optik

lebih sering dipraktekkan dibandingkan dengan

laringoskopi langsung dengan anestesi lokal

(awake intubation).
4

Tension Pneumothorax

Diagnosis tension pneumothorax lebih kepada

klinis daripada radiologis. Secara klinis,

tension pneumothorax ditandai dengan bunyi

nafas yang menghilang, perkusi yang

hiper- resonans, tidak ada gerakan dada pada

85 Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Setiap luka penetrans pada dinding dada yang


hipovolemik), dispnea berat, takikardi dan
besarnya lebih dari 2/3 trakea memungkinkan
hipotensi
udara untuk lebih mudah lewat melalui luka
Dekompresi thorax segera diperlukan dengan daripada saluran napas normal. Hal ini
cara menggunakan kanula yang memiliki menyebabkan
bore besar. Tindakan ini m e n d e
meningkatnya shunt sebanyak 1,5 liter
k o m p r e s i d a d a d a n
intrapulmonal, yang berasal dari
memungkinkan mediastinum untuk kembali
penurunan aliran pembuluh darah
ke posisi normal. Pemasangan Thorax
balik vena dan interkostal, arteri paru
drainage diperlukan dimana tension
progresif hipoksemia atau vena, avulsi
pneumotorax terjadi selama anestesi, dimana
dan hiperkapnia. pembuluh
ventilasi mekanis akan menjadi sulit
Intubasi dan ventilasi mediastinal atau
dikarenakan meningkatnya tekanan intra-
tekanan positif dapat cedera jantung
toraks. Dalam mode pressure control pada
menyelesaikan penetrasi. Haemotoraks
ventilasi akan ada penurunan progresif dalam
masalah ini secara massif dapat
volume tidal dan gambaran jejak obstruksi
cepat. Pertolongan menyerupai
pada end tidal CO2. Mode Volume kontrol
pertama yang dapat pneumotoraks ventil
akan ada peningkatan pesat dalam tekanan
diberikan berupa tetapi pada perkusi
puncak jalan nafas dan ventilator mungkin
pemberian oksigen, didapati beda bukan
gagal untuk melakukan siklus ventilasi.
penutupan luka dan hipersonor. Torakotomi
Dekompresi dengan jarum kurang efektif
insersi chest drain. dan anestesi pada satu
dalam mengurangi tekanan yang timbul
Torakotomi umumnya paru dibutuhkan
selama ventilasi tekanan positif karena tidal
tidak diperlukan yang kemudian dapat
volume setiap pemberian napas jauh lebih
kecuali terdapat luka dipasang pipa lumen
besar daripada volume yang mampu
yang sangat besar . ganda pada kondisi
6

didekompresi melalui lubang jarum


yang telah
dekompresi. Pada pasien elektif dengan Haemotoraks Masif
terkontrol. Pemasangan
simple pneumotorax, maka pemasangan
Setiap haemotoraks abocath ukuran besar
thorax drainage harus dilakukan sebelum
yang terjadi pada sangat diperlukan
tindakan anestesi.
5

orang dewasa sebelum d i l a ku ka n


Pneumotoraks Terbuka mungkin mengalami i nsersi chest drai n;

kehilangan darah Torakotomi dilakukan

86 Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

bila drainase lebih Tamponade kondisi lain tetapi wajib dilakukan


Jantung
dari 250 ml per jam tanda Kussmaul’s, untuk mendiagnosa

atau status fisiologis Hal ini paling peningkatan TVJ kekambuhan

dari pasien terus sering terjadi pada pada saat inspirasi tamponade pasca

memburuk meskipun selama bernapas operasi.


8
luka tembus.
dilakukan Volume ruang spontan dapat
Anestesi untuk
penggantian cairan. pericardial sekitar digunakan untuk Torakotomi
Resusitatif
Luka tembus medial jantung sangat kecil mendiagnosa.

dari garis putting dan kantong Ekokardiografi Cedera tembus pada


pada bagian anterior pericardial berserat memberikan jantung dapat
atau medial dari dan relative tidak diagnosa definitif. menyebabkan henti
scapula pada bagian dapat teregang. Aspirasi 15-20 ml jantung secara tiba-
posterior sangat Ketika darah darah dari tiba. Pada kasus
berbahaya karena terakumulasi di perikardium dapat tertentu, torakotomi
insiden cedera ke sekitar jantung, menyebabkan di IGD akan
jantung, pembuluh aliran balik vena peningkatan memungkinkan
darah besar, atau menurun akibat langsung curah kontrol perdarahan
hilus lebih besar. jantung. Operasi
7
kompresi atrial dan dari jantung dan
curah jantung perikardotomi resusitasi cairan dan
menurun. Diagnosis biasanya jantung yang efektif
sangat sulit m enggunakan dapat terjadi. Intubasi
ditegakkan dan dua anestesi dengan trakea dilakukan
dari trias Beck’s – endotrakeal lumen dengan pipa lumen
peningkatan TVJ tunggal. Pemantauan tunggal dan ventilasi
dan muffled heart tekanan vena sentral dengan
sound, sulit
oksigen 100%. intubasi dan
didapatkan dan
Pasien yang torakotomi. Pasien
tanda ketiga,
henti j a n t u n g yang sadar tetapi
hipotensi tidak
k a r e n a t r a u hipotensi memerlukan
spesifik. Pulsus
m a t i d a k penanganan yang
paradoksus dapat
memerlukan induksi berbeda. Induksi
ditemukan pada
anestesi sebelum anestesi dapat

87 Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

menyebabkan pada setiap kasus pemberian cairan


benar-benar
penurunan tekanan henti jantung secara harus dihentikan
terkontrol. Setelah
darah yang drastis traumatic harus sampai perdarahan
perdarahan terkontrol
jadi harus berhati- dianggap karena
pasien akan
hati dalam pneumotoraks ventil.
memerlukan koreksi
pemilihan agen Kelebihan torakotomi
hipovolemia secara
induksi. Ketamin bilateral adalah untuk
cepat untuk
dan atau opoid mengidentifikasi
mengembalikan
( fentanil atau dimana adanya
preload dan perfusi
alfentanil) haemorragik masif
pada organ non vital.
lebih d i a n j u r dan pada sisi dada
Pasien akan merasa
k a n . A n e s t yang mana terdapat
dingin dan terjadi
e s i d a p a t luka yang menjadi
gangguan koagulasi
dipertahankan secara luka mayor. Ini
yang lebih parah.
intravena melalui akan menentukan
Darah dan komponen
infus atau bolus. tempat insisi yang
terapi harus
Obat pelumpuh otot pertama p a d a t o
dihangatkan dan
harus dipertahankan r a k o t o m i . P
segara diberikan
sepanjang tindakan e n a n g a n a n
setelah perdarahan
operasi hemorragik toraks
terkontrol. Defibrilasi
berlangsung. masif adalah kontrol
internal mungkin
Penanganan perdarahan, bukan
diperlukan dan
pneumotoraks ventil terapi cairan intra
dukungan inotropik
harus dilakukan vena. Terapi cairan
juga diperlukan
secepat mungkin sebelum control
setelah perdarahan
dengan torakotomi perdarahan dapat
terkontrol.
9

bilateral. memperparah hasil

Pneumotoraks ventil pada trauma toraks Pada kasus ini

bilateral mungkin penetrative, jika tidak dilakukan torakotomi

terjadi dan tanda ada respon terhadap segera bersamaaan

klasiknya mungkin terapi cairan dengan dilakukannya

tidak tampak. Jadi, sebanyak 500 ml, kontrol perdarahan

88 Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dari jantung dan jika tidak ada

resusitasi cairan respon terhadap

yang efektif. terapi cairan

Intubasi trakea sebanyak 500 ml,

dilakukan dengan pemberian cairan

pipa lumen tunggal harus dihentikan

dan ventilasi sampai perdarahan

dengan oksigen benar-benar

100%. Pasien terkontrol. Darah

diinduksi dengan dan komponen

ketamin. Anestesi terapi harus

dipertahankan dihangatkan dan

secara intravena segara diberikan

melalui infus atau setelah perdarahan

bolus. Obat terkontrol. Pijat

pelumpuh otot jantung dalam

rocuronium bersamaan

dipertahankan dengan

sepanjang tindakan administrasi

operasi intrakardial

berlangsung. epinefrin yang

Penanganan langsung

hemorragik toraks

masif adalah

kontrol perdarahan,

bukan terapi cairan

intra vena. Terapi

cairan sebelum

control perdarahan

dapat memperparah

hasil pada trauma

toraks penetrative,

89 Volume VI, Nomor 1, Tahun 2014


disuntikkan ke dalam ruang dari ventrikel kiri dapat dicapai dengan mengangkat keluar jantung untuk

memungkinkan visualisasi lebih mudah dari ventrikel kiri. Defibrilasi internal dimulai dengan 20 joule dan

dapat ditingkatkan menjadi 40-50 joule.

RINGKASAN

Keputusan untuk melakukan torakotomi darurat melibatkan penilaian yang cermat terhadap pengetahuan,

etika, sosial dan ekonomi. Sebuah manajemen yang cepat dengan Kom bi nasi kemampuan untuk

memprediksi keadaan yang bisa terjadi, kemampuan untuk melihat perubahan tanda-tanda klinis, dan

keberanian bedah untuk melakukan prosedur sederhana tapi menyelamatkan nyawa dapat membawa

perbedaan besar dalam hasil keluaran untuk pasien bahkan dalam rangkaian sumber daya yang terbatas.

Time saving is live saving.


DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons Committee on Trauma. Thoracic Trauma. In: Ad- vanced Trauma Life
Support for Doctors. 6th ed. USA: American College of Sur- geons; 1997.p.147-63
2. Cohn SM. Pulmonary Contusion: Review of the clinical entity. J Trauma. 1997 ;42 (5):973-9.
3. Kulshreshi P, Munshi I, Wait R. J. Profile of chest trauma in a level 1 trauma centre. J Trauma. 2004 ;
57(3):576-81.
4. Woodall N. Fibre-optic intubation includ- ing local anaesthesia for awake intubation. Anaesthesia and
Intensive Care Medicine 2005; 6 (8) : 273-6
5. Lim E, Goldstraw P. Insertion of a chest tube to drain pneumothorax. Anaesth Inten- sive Care Med.
2008;9(12):520-2
6. Brasel KJ, Stafford RE, Weigelt JA, Ten- quist JE, Borgstrom DC. Treatment of oc- cult pneumothoraces
from blunt trauma. J Trauma. 1999 Jun;46(6):987-90; discussion 990-1
7. Parry GW, Morgan WE, Salama FD. Man- agement of haemothorax. Ann R Coll Surg Engl 1996;78:325-326
8. Spodick DH. Acute cardiac tamponade N Engl J Med. 2003;349(7):684-90
9. Rhee PM, Acosta J, Bridgeman A. Survival after emergency department thoracotomy: review of published
data from the past 25 years. J Am Coll Surg 2000;190:288-298

Anda mungkin juga menyukai