Anda di halaman 1dari 30

Referat

PNEUMOTORAKS

Oleh:

FADLY MULIA

NIM. 2108437868

Pembimbing:

dr. Brilliant, SpB-TKV

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya,

saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Pneumotoraks”. Referat ini

disusun sebagai sarana untuk memahami kasus Pneumotoraks, meningkatkan

kemampuan menulis ilmiah dibidang kedokteran khususnya di Bagian Ilmu

Bedah serta untuk memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan

Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Rumah Sakit

Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau.

Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada dr. Brilliant,

SpB-TKV selaku pembimbing serta pihak yang telah membantu penulis dalam

mengumpulkan bahan sumber tulisan ini.

Saya menyadari bahwa penyusunan referat ini masih banyak terdapat

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Atas segala kekurangan dan

ketidaksempurnaan referat ini, saya mengharapkan masukan, kritikan, dan saran

yang bersifat membangun ke arah perbaikan dan penyempurnaan. Akhir kata,

semoga referat Pneumotoraks ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

      Pekanbaru, 18 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR...................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................1

1.2 Batasan Masalah................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................3

1.4 Metode Penulisan..............................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................4

2.1 Definisi Pneumotoraks.....................................................................4

2.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura..........................................................4

2.3 Epidemiologi Pneumotoraks............................................................7

2.4 Etiologi Pneumotoraks.....................................................................7

2.5 Klasifikasi Pneumotoraks................................................................8

2.6 Patofisiologi Pneumotoraks...........................................................10

2.7 Diagnosis Pneumotoraks................................................................12

2.8 Diagnosis Banding Pneumotoraks.................................................18

2.9 Tatalaksana Pneumotoraks.............................................................19

2.10 Komplikasi Pneumotoraks............................................................23

2.11 Prognosis Pneumotoraks...............................................................23

BAB III PENUTUP....................................................................................24

3.1 Kesimpulan...................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................25

iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Rongga pleura...................................................................... 4

Gambar 2.2 PA chest x-rays pneumothorax


..................................................................................................................................
9

Gambar 2.3 Lateral x-rays pneumothorax


.................................................................................................................................
12

Gambar 2.4 Supine and lateral decubitus x-rays pneumothorax


.................................................................................................................................
12

Gambar 2.5 Ultrasound scanning pneumothorax................................................... 4

Gambar 2.6 CT scanning pneumothorax................................................................ 4

Gambar 2.7 Metode menghitung persentase luas pneumotoraks............................ 4

Gambar 2.8 Metode rhea pada penghitungan pneumotoraks.................................. 4

Gambar 2.9 Metode light pada penghitungan pneumotoraks................................. 4

Gambar 2.10 Pemasangan WSD............................................................................. 4

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paru berada dalam rongga toraks, dilindungi oleh tulang sternum, costae

dan cartilago costalis. Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fissura yaitu tiga

lobus di paru kanan yang dibagi oleh fissura oblique dan fisura horizontalis,

serta dua lobus di paru kiri yang dibagi oleh fissura oblique. Tiap paru memiliki

apeks yang mencapai ujung sternal kosta pertama dan basis paru yang terletak di

diafragma. Paru dilapisi oleh lapisan pembungkus yang disebut dengan pleura.

Pleura memiliki dua lapisan yaitu lapisan pleura visceral dan lapisan pleura

parietal. Lapisan pleura visceral berlekatan langsung dengan seluruh permukaan

paru, sedangkan di antara lapisan pleura visceral dan parietal terdapat suatu celah

sempit yang disebut rongga pleura. Rongga pleura dalam keadaan normal berisi

sedikit cairan. Cairan ini berfungsi untuk melapisi permukaan pleura sehingga

memungkinkan dua lapisan tersebut bertemu dengan sedikit gesekan.1

Kondisi normal paru memiliki tekanan lebih besar dibanding tekanan di

dalam rongga pleura. Tekanan rongga pleura negatif jika dibandingkan dengan

tekanan atmosfer selama seluruh siklus respirasi yaitu sekitar -5 cmH 2O.

Tekanan pleura selalu lebih rendah dari tekanan alveolar dan tekanan atmosfer

sehingga memungkinkan paru mengalami elastic recoil. Hubungan abnormal

dapat terjadi antara alveolus dan rongga pleura atau antara udara ruang dan

rongga pleura. Hubungan abnormal seperti akibat trauma akan menyebabkan

perpindahan udara dari rongga alveolus ke rongga pleura. Kejadian ini

menyebabkan peningkatan tekanan dalam rongga pleura yang menyebabkan

1
2

gangguan recoil paru dan gangguan ekspansi lobus paru.2

Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat udara di dalam

rongga pleura. Pneumotoraks merupakan keadaan yang sangat urgent sehingga

harus ditatalaksana segera setelah didiagnosis. Jika udara di dalam rongga pleura

meningkat terus-menerus dan dengan bentuk one-way valve, kondisi ini akan

menjadi tension pneumothorax. Data epidemiologi pneumotoraks bervariasi

tergantung tipe pneumotoraks. Pneumothoraks traumatik merupakan trauma

toraks yang sering terjadi. Pneumotoraks spontan sering terjadi pada 2 kelompok

usia, usia muda (15-34 tahun) untuk pneumothoraks spontan primer, dan usia tua

(>55 tahun) untuk pneumothoraks spontan sekunder. Kasus pneumotoraks

spontan primer (PSP) di Amerika Serikat adalah 7,4/100.000 per tahun untuk

laki- laki dan 1,2/100.000 per tahun untuk perempuan sedangkan insiden

pneumotoraks spontan sekunder (PSS) dilaporkan 6,3/100.000 untuk laki-laki

dan 2/100.000 untuk perempuan. Di Indonesia yang paling terbanyak adalah

kasus pneumotoraks spontan sekunder. Mortalitas akibat penyakit ini masih

tinggi terutama akibat gagal napas.3,4

Diagnosis pneumotoraks ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis

dan pemeriksaan foto toraks. Pasien mengeluhkan nyeri dada, sesak dan sulit

bernapas. Pemeriksaan fisis didapatkan sianosis dan hipotensi. Pemeriksaan fisis

toraks menunjukkan perkusi yang hipersonor, bunyi napas dan vocal fremitus

yang menurun pada sisi yang terdapat pneumotoraks. Trakea terdorong ke sisi

kontralateral dan apabila pneumotoraks terdapat di paru kanan maka dapat

mendorong hepar menjadi lebih ke bawah. Garis pleura pada foto polos toraks

menunjukkan pneumotoraks.5
3

1.2 Batasan Masalah

Referat ini akan membahas mengenai definisi, anatomi dan fisiologi,

epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,

tatalaksana, komplikasi dan prognosis kasus pneumotoraks.

1.3 Tujuan Penulisan

1. Memahami dan menambah wawasan mengenai pneumotoraks.

2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran

khususnya di bagian Ilmu Bedah Thorak Kardiovaskuler.

3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian

Ilmu Bedah Fakultas kedokteran Universitas Riau dan Rumah Sakit

Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan

mengacu pada beberapa literatur.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara

pada rongga potensial diantara pleura yaitu pleura visceral dan pleura

parietal. Adanya akumulasi udara dapat menimbulkan tekanan pada paru-

paru dan menjadi kolaps. Terdapat 2 tipe pneumotoraks yaitu traumatik

dan non-traumatik. Pneumotoraks non-traumatik terbagi atas

pneumotoraks spontan primer yang muncul tanpa diketahui sebab apapun

dan pneumotoraks spontan sekunder dengan ditemukan adanya riwayat

penyakit paru sebelumnya. Pneumotoraks traumatik terjadi karena

adanya trauma langsung atau tidak langsung terhadap dada, termasuk di

dalamnya adalah pneumotoraks iatrogenik. Pneumotoraks dapat

diklasifikasikan menjadi simple, tension dan open.3,6

2.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura

Pleura dan paru terletak di kedua sisi mediastinum dalam cavitas

thoracis. Pleura merupakan lapisan pembungkus paru (pulmo). Pleura

memiliki dua bagian, yaitu:1

a. Lamina parietalis, yang berbatasan dengan dinding thoraks, melingkupi

permukaan thoraks yang menghadap diaphragma dan aspek lateral

mediastinum serta membentang ke radix colli mengalasi permukaan bawah

membrana suprapleuralis pada aperture thoracisinferior.

b. Lamina visceralis, yang menutupi seluruh permukaan luar paru dan

4
5

memanjang sampai kedalaman fissura interlobaris.

Lapisan pleura parietal dan visceral dipisahkan oleh celah sempit

yaitu rongga pleural. Rongga pleural dalam kondisi normal berisi sedikit

cairan pleura kira-kira 10-20 ml. Cairan pleura melapisi permukaan pleura

agar mengurangi gesekan kedua lapisan tersebut.1

Pleura parietal divaskularisasi oleh Aa. intercostalis, a.mammaria,

a.musculophrenica dan vena-venanya bermuara pada sistem vena dinding

toraks. Sedangkan pleura visceralisnya mendapatkan vaskularisasi dari Aa.

bronchiales. Adapun inervasi pleura, pleura parietalis bersifat sensitif

terhadap nyeri, suhu, sentuhan serta tekanan da dipersarafi sebagai

berikut:1

a. Pars costalis diperarafi secara segmental oleh nervi intercostales.

b. Pars mediastinalis dipersarafi oleh nervus phrenicus.

c. Pars diaphragmatica dipersarafi pada atap kubahnya oleh nervus

phrenicus dan pada perifernya oleh nervus intercostalesinferior.

Pleura visceralis yang menutupi paru sensitif terhadap regangan tetapi

tidak sensitif terhadap nyeri dan sentuhan. Pleura tersebut menerima

persarafan otonom dari pleksus pulmonalis.1


6

Gambar 2.1 Anatomi Rongga pleura

Pleura menghubungkan antara paru dengan dinding dada. Hubungan

ini berperan dalam mekanisme pernapasan. Cairan pleura yang terdapat

pada cavitas pleuralis, berfungsi sebagai lubrikan yang dapat megurangi

gesekan antara kedua lapisan pleura selama respirasi. Tekanan yang

dihasilkan dari cairan pleura berfungsi untuk mempertahankan tekanan

negatif antara paru dan cavitas Pada kondisi normal, tekanan dalam rongga

paru lebih besar dibanding tekanan di dalam rongga pleura. Tekanan

rongga pleura negatif jika dibandingkan dengan tekanan atmosfer selama

seluruh siklus respirasi. Tekanan pleura selalu lebih rendah dari tekanan

alveolar dan tekanan atmosfer sehingga memungkinkan paru mengalami

elastik recoil.7

Komunikasi abnormal dapat terjadi antara alveolus dan rongga

pleura, atau antara udara ruang dan rongga pleura. Saat terjadinya

komunikasi abnormal, misalnya akibat trauma, akan terjadi perpindahan

udara dari rongga alveolus ke rongga pleura. Hal ini menyebabkan

peningkatan tekanan dalam rongga pleura yang menyebabkan gangguan

recoil paru dan gangguan ekspansi lobus paru.7

2.3 Epidemiologi

Pneumotoraks spontan primer (PSP) kebanyakan terjadi pada usia

20-30 tahun. Insiden PSP di Amerika Serikat adalah 7/100.000 pada laki-

laki dan 1/100.000 pada perempuan setiap tahunnya. Sedangkan,

pneumotorkas spontan sekunder (PSS) lebih sering terjadi pada pasien

berusia tua yaitu berkisar usia 60- 65 tahun. Insiden PSS 6,3/100.000
7

pada laki-laki dan 2/100.000 pada perempuan, dengan perbandingan laki-

laki dan perempuan adalah 3:1. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

menjadi salah satu penyebab terjadinya pneumotoraks dengan insiden

26/100.000 orang. Risiko PSS pada perokok berat 102 kali lebih tinggi

dari pada orang yang tidak merokok. Di Indonesia yang paling terbanyak

adalah kasus pneumotoraks spontan sekunder. Mortalitas akibat penyakit

ini masih tinggi terutama akibat gagal napas.3,6

2.4 Etiologi

Etiologi pneumotoraks adalah pneumotoraks traumatik dan

pneumotoraks non traumatik. Pneumotoraks non-traumatik terbagi atas

pneumotoraks spontan primer yang muncul tanpa diketahui sebab apapun

dan pneumotoraks spontan sekunder dengan ditemukan adanya riwayat

penyakit paru sebelumnya. Faktor risiko pada pneumotoraks spontan

primer antara lain merokok, postur tubuh kurus dan tinggi, hamil,

Sindrom Marfan dan riwayat pneumotoraks pada keluarga. Adapun

penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kejadian pneumotoraks

spontan sekunder, diantaranya: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),

asma, HIV dengan pneumonia pneumokistik, necrotizing pneumonia,

tuberkulosis, sarcoidisis, kistik fibrosis, severe ARDS. Sedangkan pada

pneumotoraks traumatik, penyebab terjadinya karena adanya trauma

langsung atau tidak langsung terhadap dada, seperti terkena luka tembak,

luka tusuk, benturan, patah tulang rusuk atau akibat prosedur medis

seperti biopsi dan resusitasi jantung paru, termasuk di dalamnya adalah

pneumotoraks iatrogenic.3,6
8

2.5 Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya pneumotoraks dibedakan menjadi 2 jenis,

yaitu:8,9

1. Pneumotoraks non-traumatik/spontan, yaitu setiap pneumotoraks yang

terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan

kedalam dua jenis yaitu:

a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi

secara tiba- tiba tanpa diketahui sebabnya

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotorkas yang terjadi

dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki

sebelumnya, contoh adanya fibrosis kistik, penyakit paru obstruksi

kronik (PPOK), kanker paru, asma dan infeksi paru.

2. Pneumotoraks traumatik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat

adanya suatu trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan

robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks jenis ini

diklasifikasikan menjadi 2 jenis:

a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang

terjadi karena jejas kecelakaan

b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang

terjadi akibat komplikasi dan tindakan medis.

Berdasarkan jenis fistulanya, pneumotoraks dapat diklasifikasikan

menjadi 3 jenis, yaitu:10

1. Pneumotoraks tertutup (simple pneumothorax). Pada tipe ini, pleura

dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada),
9

sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.

2. Pneumotoraks terbuka (open pneumothorax), yaitu terdapat hubungan

antara rongga pleura dengan bagian dari dunia luar. Dalam keadaan

ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar.

3. Pneumotoraks ventil (tension pneumothorax), adalah pneumotoraks

dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin

bertambah besar karena ada fistel di pleura visceral yang bersifat

ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus

serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui

fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura

tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin

lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang

terkumpul dalam rongga pleura dapat menekan paru sehingga sering

menimbulkan gagal napas.

2.6 Patofsiologi

Pada kondisi normal, tekanan dalam rongga paru lebih besar

dibanding tekanan di dalam rongga pleura. Tekanan rongga pleura

negatif jika dibandingkan dengan tekanan atmosfer selama seluruh

siklus respirasi. Tekanan pleura selalu lebih rendah dari tekanan alveolar

dan tekanan atmosfer sehingga memungkinkan paru mengalami elastik

recoil.3

Gangguan recoil paru terjadi pada pneumotoraks melalui


10

mekanisme peningkatan tekanan pleura akibat terbentuknya komunikasi

abnormal antara alveolus dan rongga pleura. Saat terjadinya komunikasi

abnormal, misalnya akibat trauma, akan terjadi perpindahan udara dari

rongga alveolus ke rongga pleura. Hal ini menyebabkan peningkatan

tekanan dalam rongga pleura yang menyebabkan gangguan recoil paru

dan gangguan ekspansi lobus paru.11

Peningkatan tekanan pleura akan terus terjadi secara perlahan

hingga tekanan pleura menjadi nol atau komunikasi abnormal terputus.

Hal ini akan menyebabkan efek-efek sebagai berikut:11

a. Penurunan kapasitas vital dan PaO2

Pneumotoraks mengakibatkan penurunan kapasitas vital dan

penurunan PaO2. Penurunan kapasitas vital mengakibatkan insufisiensi

respirasi dengan hipoventilasi alveolar dan asidosis respiratorik. PaO2

berkurang akibat terjadi penurunan ventilasi tetapi perfusi O2 terus

berlanjut.

b. Gangguan hemodinamik

Terkait sistem kardiovaskular, studi menunjukkan tension

pneumotoraks dapat mengganggu hemodinamik yakni menurunkan

curah jantung serta tekanan rerata arterial. Peningkatan tekanan pleura

dapat menggeser mediastinum, paru kontralateral tertekan serta

penurunan aliran balik vena sehingga curah jantung pun berkurang.

Penyebab pasti pneumotoraks spontan primer masih belum

diketahui. Mayoritas pasien pneumotoraks spontan primer, termasuk


11

anak-anak, memiliki bleb atau bula (biasanya di puncak paru), tetapi

masih belum jelas seberapa sering lesi ini dapat menyebabkan kebocoran

udara. Hanya sejumlah kecil bleb yang ruptur saat dilakukan torakoskopi

atau pembedahan. Sedangkan pada kasus lain disebabkan oleh pleural

porosity yang merupakan area sel mesotelial yang hancur di pleura

visceral kemudian digantikan oleh lapisan elastofibrosis inflamasi,

dengan peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara ke dalam

rongga pleura. Perkembangan bleb, bula dan area pleural porosity

mungkin berhubungan dengan berbagai macam faktor seperti infeksi

saluran pernapasan bawah, keturunan, abnormalitas anatomi cabang

bronkus, indeks massa tubuh yang rendah, diet dan connective tissue

yang abnormal.12

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul

adalah:4

1. Sesak nafas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali

sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita

bernapas tersengal, pendek-pendek dengan mulut terbuka.


12

2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan

tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih

nyeri pada gerak pernapasan.

3. Batuk-batuk yang didapatkan pada 25-35% pasien.

4. Denyut jantung meningkat (berdebar-debar).

5. Kulit bisa tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.

6. Tidak menunjukkan (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,

biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

Berat-ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe

pneumotoraks tersebut:4

1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat.

2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan

lebih berat.

3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung pada keadaan paru yang

lain serta tersumbat atau tidaknya jalan nafas.

4. Nadi cepat dan pengisian cukup bila sesak masih ringan, tetapi bila

penderita mengalami sesak nafas berat, nadi menjadi cepat dan kecil

akibat pengisian yang kurang.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pneumotoraks, dapat ditemukan

interpretasi sebagai berikut:4

1. Inspeksi

a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit


13

(hiperekspansi dinding dada).

b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal.

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.

2. Palpasi

a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar.

b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat.

c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit.

3. Perkusi

a. Hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar pada sisi

pneumotoraks

b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat,

apabila tekanan intrapleural tinggi.

4. Auskultasi

a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang.

b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan fisik pneumotoraks, dapat ditemukan interpretasi

sebagai berikut:13

1. Pemeriksaan laboratorium

Dapat dilakukan untuk mengukur tingkat oksigen dalam darah arteri.


14

2. Pemeriksaan radiologis

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan radiologis yang dapat

digunakan untuk membantu penegakan diagnosis pneumotoraks:

a. Standard erect PA chest x-rays adalah manajemen klinis

pneumotoraks primer dan sekunder yang paling sering digunakan,

meskipun memiliki keterbatasan seperti kesulitan mengukur ukuran

pneumotoraks secara akurat. Gambaran radiologis yang tampak pada

foto rontgen kasus pneumothoraks, antara lain bagian pneumothoraks

akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis-garis

yang merupakan tepi paru (pleural line). Pada kasus pneumothoraks

ventil, tampak paru yang kolaps, jantung trakea mungkin terdorong

ke sisi yang sehat

Gambar 2.2 PA chest x-rays pneumothorax14

b. Lateral x-rays, dapat memberikan tambahan ketika pneumotraks yang

dicurigai tidak tampak pada foto yang diambil secara PA.


15

Gambar 2.3 Lateral x-rays pneumothorax15

c. Supine and lateral decubitus x-rays, teknik pencitraan ini sebagian

telah digunakan untuk pasien trauma yang tidak dapat dimobilisasi

dengan aman. Pemeriksaan ini sudah digantikan dengan USG dan CT

scan.

Gambar 2.4 Supine and lateral decubitus x-rays pneumothorax15

d. Ultrasound scanning, gambaran spesifik pada pemindaian ultrasound

adalah diagnostik pneumotoraks. Teknik ini terutama untuk

manajemen pasien trauma terlentang.


16

Gambar 2.5 Ultrasound scanning pneumothorax15

e. Digital imaging, dibanding foto toraks konvensional, digital imaging

memiliki keuntungan seperti pembesaran, pengukuran dan manipulasi

kontras, kemudahan transmisi, penyimpanan dan reproduksi.

f. CT scanning, dapat dianggap sebagai gold standard dalam

mendeteksi pneumotoraks kecil serta dapat dengan mudah

menentukan estimasi ukuran.

Gambar 2.6 CT scanning pneumothorax15

Pengukuran luas pneumotoraks dapat dilakukan dengan

menggunakan rumus Kircher-Swartel, yaitu dilakukan penghitungan

rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dibagi

dengan luas hemitoraks. Ukuran pneumotoraks (%) = (A x B – C x D)/A

x B] x 100.
17

Gambar 2.7 Metode menghitung persentase luas pneumotoraks16

Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan luas permukaan

pneumotoraks dengan menggunakan metode rhea, yaitu menggunakan 3

pengukuran, dengan cara mengukur paru yang kolaps pada beberapa

tempat antara lain di apeks, tengah dan bawah yang kemudian

disesuaikan dengan tabel. Ukuran pneumotoraks = (A+B+C)/3.17

Contoh:

(A+B+C)/3 = (4+2+1)/3

= 2,3 cm

= 25%
18

Gambar 2.8 Metode rhea pada penghitungan pneumotoraks17

Metode Light juga dapat digunakan untuk menghitung luas

pneumotoraks, yaitu dengan mengukur rasio antara volume paru yang

tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masing-masing volume paru

dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus. Ukuran pneumotoraks =

A3/B3.8

Gambar 2.9 Metode light pada penghitungan pneumotoraks.8

2.8 Diagnosa banding

Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli

paru dan pneumonia. Pada pasien muda, pria dan perokok jika setelah difoto

diketahui ada pneumotoraks, umumnya diagnosis kita menjurus ke

pneumotoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan sekunder kadang-

kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang terlokalisasi dari suatu

bleb atau bulla subpleural.21

2.9 Penatalaksanaan

Dalam penatalaksanaan pneumotoraks, harus diperhatikan


19

beberapa poin penting berikut:18

1. Pasien dengan penyakit paru yang sudah ada sebelumnya harus

segera dibedakan jenis pnuemotoraksnya (PSP atau PSS) sehingga

dapat dilakukan tatalaksana yang tepat

2. Sesak nafas mengindikasikan perlunya intervensi aktif disertai

dengan tatalaksana supportif (pemberian oksigen)

3. Luas pneumotoraks menjadi indikator relatif untuk intervensi aktif

Berdasarkan jenisnya, British Medical Journal membuat sebuah

guideline terapi pada pasien dengan masalah pneumotoraks spontan

primer dan pneumotoraks spontan sekunder. Tatalaksana pneumotoraks

spontan primer:18

1. Pasien dengan PSP atau PSS dengan sesak nafas berat harus segera

dilakukan intervensi aktif berapapun luas pneumotoraks

2. Chest drains diperlukan untuk pasien dengan tension atau

pneumotoraks bilateral

3. PSP minimal dengan sesak nafas ringan dapat dilakukan observasi

4. Pasien asimtomatis dengan PSP yang luas dapat dilakukan observasi

5. Pasien dengan PSP minimal tanpa disertai sesak nafas dapat

dipertimbangkan untuk rawat jalan lebih awal. Harus diberikan

edukasi jika sewaktu-waktu terjadi perburukan.

Penatalaksanaan pneumotoraks sekunder:18

1. Seluruh pasien dengan PSS harus dirawat di RS selama minimal 24

jam dan diberikan bantuan oksigen


20

2. Pasien secara umum akan dilakukan insersi chest drain

3. Pasien dengan pneumotoraks persisten harus dikonsultasikan ke

spesialis bedah toraks

Adapun tindakan intervensi maupun non-intervensi pneumotoraks

meliputi:19

1. Observasi dan pemberian O2

Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah

menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut

akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila

diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari

dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari

2. Tindakan dekompresi

a. Membuat hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan luar,

dengan cara menusukkan jarum melalui dinding dada hingga ke

rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di

rongga pleura akan berubah menjadi negatif. Hal ini disebabkan

karena udara keluar melalui jarum tersebut. Cara lainnya adalah

melakukan penusukan ke rongga pleura memakai transfusion set.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil

i. Penggunaan pipa water sealed drainage (WSD)

Pipa khusus (kateter thoraks) steril, dimasukkan ke rongga

pleura dengan perantara troakar atau dengan bantuan klem

penjepit (pen). Memasukkan kateter thoraks juga dapat


21

dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi

kulit dari sela iga ke 4 pada garis mid aksilaris atau aksilaris

posterior. Selanjutnya, ujung akhir pipa drainase dari dada

pasien dihubungkan ke dalam satu botol yang berisi air setinggi

2 cm, sehingga memungkinkan udara dan cairan mengalir dari

rongga pleura tetapi tidak mengijinkan udara maupun cairan

kembali ke dalam rongga dada. Secara fungsional, drainase

tergantung pada gaya gravitasi dan mekanisme pernafasan, oleh

karena itu botol harus diletakkan lebih rendah.

ii. Pengisapan kontinu (continous suction)

Pengisapan dilakukan secara kontinu apabila tekanan

intrapleura tetap positif. Pengisapan ini dilakukan dengan cara

memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cmH2O. Tujuannya

adalah agar paru cepat mengembang dan segera terjadi

perlekatan antara pleura visceral dan pleura parietalis.

iii. Pencabutan drain

Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan negatif

kembali, drain dapat dicabut. Sebelum dicabut, drain ditutup

dengan cara dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila paru

tetap mengembang penuh, maka drain dapat dicabut.

3. Tindakan bedah

Pembedahan dinding thoraks dengan cara operasi, maka dapat dicari


22

defek yang menyebabkan pneumotoraks, lalu defek tersebut dijahit.

Pada pembedahan, jika dijumpai adanya penebalan pleura yang

menyebabkan paru tidak mengembang, maka dapat dilakukan

pengelupasan atau dekortikasi.

Pembedahan paru juga dilakukan apabila ada bagian paru yang

mengalami robekan atau bila ada fistel dari paru yang rusak dengan

melakukan reseksi. Pleurodesis juga dapat dilakukan dengan masing-

masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura

dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

4. Penatalaksanaan tambahan

Apabila terjadi proses lain di paru, pengobatan tambahan ditunjukan

berdasarkan etiologinya, yaitu

a. Pengobatan terhadap tuberkulosis paru, perlu diberi OAT.

b. Untuk pencegahan obstipasi dan memperlancar defekasi, penderita

perlu diberi obat laksatif ringan dengan tujuan agar saat defekasi

penderita tidak perlu mengejan terlalu keras.

c. Istirahat total, klien dilarang melakukan kerja keras (mengangkat

barang) batuk, bersin terlalu keras dan mengejan.


23

Gambar 2.10 Pemasangan WSD

2.10 Komplikasi

Pneumotoraks jenis tension dapat mengakibatkan kegagalan

respirasi akut,  pio-pneumotoraks, hidropneumotoraks/ hemo-

pneumotoraks, henti jantung dan paru, syok dan kematian (sangat

jarang terjadi); pneumomediastinum dan emfisema subkutan dapat

terjadi akibat komplikasi pneumotoraks spontan, yang kemungkinan

diakibatkan oleh pecahnya esofagus atau bronkus.21

2.11 Prognosis

Hampir sebagian pasien dengan pneumotoraks spontan akan

mengalami kekambuhan setelah sembuh dari observasi maupun setelah

pemasangan tube torakostomi. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-

pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien

umumnya tidak akan mengalami komplikasi jika penatalaksanaannya

baik. Prognosis pasien pneumotoraks spontan tergantung pada penyakit

yang mendasarinya.21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pneumotoraks merupakan keadaan dimana terdapat udara di dalam

kavum  pleura.

2. Penyakit pneumotoraks terjadi dikarenakan oleh berbagai faktor

seperti  penyakit pernapasan lain yang menyertai.

3. Diagnosis pneumotoraks dapat ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat.

4. Tata laksana pneumotoraks meliputi medikamentosa, bedah,

rehabilitasi dan dekompresi.

5. Prognosis pneumotoraks pada umumnya baik jika ditangani dengan

tata laksana yang baik. Komplikasi pneumotoraks di antaranya

adalah gagal napas dan kematian.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Tomashefski JF, Farver CF. Anatomy and Histology of the Lung. Dail and
Hammar’s Pulmonary Pathology. In: Volume I: Nonneoplastic Lung
Disease. 3rd ed. New York: Springer; 2008. 20–48.

2. Mentzer SJ, Tsuda A, Loring SH. Pleural Mechanics and the


Pathophysiology of Air Leaks. J Thorac Cardiovasc Surg.
2018;155(5):2182–9.

3. Papagiannis A, Lazaridis G, Zarogoulidis K, Papaiwannou A, Karavergou


A, Lampaki S, et al. Pneumothorax: An up to date “introduction”. Ann
Transl Med. 2015;3(4):3–8.

4. Zarogoulidis P, Kioumis I, Pitsiou G, Porpodis K, Lampaki S,


Papaiwannou, et al. Pneumothorax: from definition to diagnosis and
treatment. J Thorac Dis. 2014;6(4):372-6.

5. Amanda AP, Wijayanti O. Pneumotoraks pada Tuberkulosis Milier:


Sebuah Laporan Kasus. Indones J Chest Crit Emerg Med.
2015;2(4):191–4.

6. McKnight CL, Burns B. Pneumothorax. StatPearls Publishing [Internet].


2021 (diakses 2021). Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441885

7. Charalampidis C, Youroukou A, Lazaridis G, Baka S, Mpoukovinas I,


Karavasilis V, et al. Physiology of the pleural space. J Thorac Dis.
2015;7(1):33-7.

8. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks. In: Setiati S, Alwi I, editors. Ilmu


penyakit dalam jilid 2 edisi 6. Jakarta: InternaPublishing; 2014. p. 1642-
51.

9. Bowman JG. Pneumothorax, tension and traumatic. Emedicine. 2010.

10. Hood A, Mukty A. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga


University Press; 2009. p. 162-79.

11. Choi W II. Pneumothorax. Tuberc Respir Dis (Seoul). 2014;76(3):99–104.

12. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of Spontaneous


Pneumothorax: British Thoracic Society Pleural Disease Guideline
2010. Thorax. 2010;65(2):18–31.

25
26

13. Masengi WD., Loho E, Tubagus V. Profil hasil pemeriksaan foto toraks
pada pasien pneumotoraks. J e-Clinic. 2016;4(2).

14. Tersedia di: https://www.researchgate.net/figure/Chest-X-ray-showing-


large-right-pneumothorax-with-collapsed-lung-left-Recurrence
of_fig1_325715261

15. http://www.konkerpdpi2019.com/download/materi_ws/
workshop_1/day_2/5_
pneumotoraks_ventil_dr_Irvan_Medison.pdf

16. Kircher LT, Swartzel RL. Spontaneous Pneumothorax and its


Treatment. J Am Med Assoc. 1954;155(1):24–9.

17. Hallifax RJ, Kulendrarajah B, Sundaralingam A, Banka A, George V,


Ellayeh MA. Assessment of pneumothorax treatment response on chest
radiograph: a comparison of methods of size measurement. Thorax
BMJ. 2021;76(198).

18. Bobbio A, Dechartres A, Bouam S, Damotte D, Rabbat A, Régnard JF,


et al. Epidemiology of spontaneous pneumothorax: Gender-related
differences. Thorax. 2015;70(7):653–8.

19. Huang Y, Huang H, Li Q, Browning RF, Parrish S, Turner JF, et al.


Approach of the treatment for pneumothorax. J Thorac Dis.
2014;6(4):416- 20.

20. Schil PEV, Subotic D, Vandenbroeck C, Hendriks JM, Hertoghs M,


Lauwers P. Spontaneous pneumothorax. In: Light RW, Lee YCG.
Textbook of pleural diseases 3rd edition. Australia: CRC Press; 2016. p.
484-98.

21. Hisyam, Barmawi, Eko B. Pneumotoraks spontan dalam buku ajar ilmu


penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009. Hal: 2341-2.

Anda mungkin juga menyukai