Oleh:
Pembimbing:
2023
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini tepat
pada waktunya. Laporan kasus yang berjudul “Pneumonia pada anak” ini disusun
dalam rangka mengikuti Program Dokter Internsip Indonesia Batch IV Tahun
2023.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan bagi
penulis. Terutama kepada dr. Raditya Rachman Landapa selaku pembimbing
internship.
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan
manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada
pembaca dalam menjalankan praktik sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………....................... 3
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. 4
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………......... 5
2.2 Definisi………………………………………………………………... 8
2.3 Epidemiologi………………………………………………………….. 8
2.4 Etiologi………………………………………………………………... 9
2.5 Klasifikasi……………………………………………………………... 9
2.6 Patofisiologi…………………………………………………………… 12
2.7 Diagnosis……………………………………………………………… 13
2.7.1 Anamnesis………………………………………………………... 15
2.8 Tatalaksana……………………………………………………………. 22
2.9 Komplikasi…………………………………………………………….. 23
2.10 Prognosis…………………………………………………………….. 25
3.2 Anamnesis…………………………………………………………….. 26
3.5 Diagnosis……………..……………………………………………….. 33
3.7 Terapi………………………………………………………………….. 34
3.8 Prognosis……………………………………………………………… 35
BAB IV PEMBAHASAN……………………………………………………. 36
BAB V PENUTUP............................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 39
4
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis merupakan salah satu penyebab paling umum dari nyeri perut
akut, dengan risiko seumur hidup sebesar 8,6% pada laki-laki dan 6,7% pada
perempuan. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling
umum dijumpai pada anak-anak dan remaja. Apendisitis diduga disebabkan
oleh obstruksi luminal dari berbagai etiologi, yang menyebabkan peningkatan
produksi lendir dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan, yang mengakibatkan
ketegangan dinding dan akhirnya menimbulkan nekrosis dan potensi perforasi.2
Tingkat perforasi bervariasi dari 16% sampai 40%, dengan frekuensi yang
lebih tinggi terjadi pada kelompok usia yang lebih muda (40-57%) dan pada
pasien yang lebih tua dari 50 tahun (55-70%). Perforasi apendiks dikaitkan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas dibandingkan dengan apendisitis
akut non-perforasi. Risiko kematian apendisitis akut non-gangren kurang dari
0,1%, tetapi risiko meningkat menjadi 0,6% pada apendisitis akut dengan
gangren. Apendisitis perforasi memiliki angka kematian yang lebih tinggi sekitar
5%. Oleh karena itu, apendisitis merupakan proses inflamasi yang berbahaya
jika tidak mendapatkan penanganan segera.3
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Apendiks diperdarahi oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral dan vena appendicularis, sedangkan persarafannya berasal dari
cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari plexus
mesentericus superior. Aliran limfenya ke satu atau dua nodi dalam
mesoapendiks dan di alirkan ke nodi mesenterici superiores.4
7
yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.4
2.2 Definisi
konsolidasi
8
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan
kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut
pneumonitis.
2.3 Epidemiologi
Apendisitis jarang pada masa bayi. Apendisitis dapat ditemukan pada laki-
laki dan perempuan dengan risiko menderita apendisitis selama hidupnya
mencapai 7-8%. Insidensi tertinggi pada rentan usia 20-30 tahun. 6 Perforasi
apendiks pada apendisitis akut berkisar antara 20-30 % dan meningkat 32-72%
pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak-anak usia kurang dari satu
tahun kasus apendisitis jarang ditemukan. Insidensi apendisitis 1 kasus dari 1.000
populasi setiap tahun. Sekitar 6% penduduk Amerika Serikat mengalami
apendisitis dan 700.000 orang dirawat di rumah sakit setiap tahun dengan
apendisitis.7 Angka kejadian apendisitis di Indonesia 95/1000 penduduk dengan
jumlah kasus sekitar 10 juta setiap tahunnya dan merupakan kejadian tertinggi di
ASEAN.
2.4 Etiologi
2.5 Klasifikasi
9
Klasifikasi apendisitis dubagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik.9
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas, didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya
nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik
Mc.Burney. Nyeri terasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat.
10
Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
d. Apendisitis Infiltrat
e. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi jika massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal
dan pelvikal.
f. Apendisitis Perforasi
2. Apendisitis kronik
11
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik yaitu fibrosis menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa serta adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-
5%. Apendisitis kronik terkadang dapat menjadi akut lagi dan disebut
apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya
pembentukan jaringan ikat.
2.6 Patofisiologi
13
apendiks dan penyebaran infeksi. Nyeri pada apendiks yang berlokasi di
retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang.
Apendiks yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesika urinaria akibat
penyebaran infeksi apendiks dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau
nyeri seperti terjadi retensi urin. Perforasi apendiksakan menyebabkan
terjadinya abses lokal atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada
kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien
berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi apendiks mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.5oc, leukositosis >14.000, dan gejala peritonitis
pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi,
dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak
omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi
akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja,
lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui
dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik. Diare
sering dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang
pendek, akibat iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat
mengindikasikan adanya abscess pelvis.10,11
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis12
Keluhan
Gejala Klinis
16
Gambar 4. Pemeriksaan Psoas sign
Pasif: pasien miring ke kiri, paha kanan di hiperekstensikan
pemeriksa akan terasa nyeri perut kanan bawah.
17
adanya perforasi apendiks, abses lokal, iritasi M. Obturatorius oleh
apendisitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
d. Perkusi
Nyeri ketok (+)
e. Colok dubur
Nyeri tekan pada jam 9-12
18
1) Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai
leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun bukan penanda utama.
2) Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik untuk karakteristik
apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya
lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis
menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%.
3) Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi
perforasi dan peritonitis.
4) Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
5) Pertimbangkan adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur, dan
lakukan pengukuran kadar HCG.12
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis apendisitis akut, tetapi dapat
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien
apendisitis akut, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus,
hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat
pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto
thorax kadang disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses
pneumoni lobus kanan bawah.
Teknik radiografi tambahan meliputi CT scan, barium enema, dan radioisotop
leukosit. Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada
USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT
scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses apendiks untuk
melakukan percutaneousdrainage secara tepat.10,11
c. Ultrasonografi
USG cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Apendiks
diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
nonperistaltik yang berasal dari caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
apendiks diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan
19
positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-posterior apendiks 6 mm atau
lebih. Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis.
Gambaran USG dari apendiks normal, yang dengan tekanan ringan
merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang,
akan menyingkirkan diagnosis apendisitis. Penilaian dikatakan negatif bila
apendiks tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal.
Sewaktu diagnosis apendisitis akut tersingkir dengan USG, pengamatan
singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk
mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ
panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun
endovagina agar dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin
menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis apendisitis akut dengan USG
telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya sebesar
85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil, walaupun
penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada
pemakai. Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya
periappendicitis dari peradangan sekitarnya, dilatasi tuba fallopi, benda asing
(inspissated stool) yang dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas
apendiks mungkin tidak tertekan karena proses inflamasi apendiks yang akut
melainkan karena terlalu banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila
apendisitis terbatas hanya pada ujung apendiks, letak retrocaecal, apendiks
dinilai membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila apendiks
mengalami perforasi oleh karena tekanan.10,11
20
Gambar 8. Ultrasonografi appendicitis. (a) Catarrhal appendicitis (b)
Phlegmonous appendicitis (c) Gangrenous appendicitis9
21
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, namun bila skor >6
maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.13
2.8 Tatalaksana
1. Non-farmakologis
a. Bed rest total posisi fowler (anti Trendelenburg).
b. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun
melalui mulut.
c. Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
d. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk
mengurangi bahaya muntah pada waktu induksi anestesi.
e. Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam
sebelum dilakukan pembedahan.
f. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar
mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah.
2. Tata Laksana Farmakologi
a. Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik.
b. Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang
dilakukan pembedahan sekitar 20%.
c. Antibiotik spektrum luas
3. Tindakan pembedahan
Apendiktomi merupakan standar dalam penatalaksanaan apendisitis akut.
Apabila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi;
antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus
22
akut, digunakan single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri
anaerob.13
2.9 Komplikasi
Perforasi apendiks
Apendiks yang meradang dan kemudian aliran arteri terganggu akan
timbul infark dinding dan gangrene, dan apabila rapuh serta pecah bisa
menjadi apendisitis perforasi.
Keluhan yang muncul, seperti muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi
nervus vagus, anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam
sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat
permulaan, disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan
vesika urinaria, obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa
penderita mengalami diare, timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal
yang merangsang daerah rektum.
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 0C
- 38,5 0C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi, dan
variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik
yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang
mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di
daerah tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau
punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan
apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi
pada arteri spermatika dan ureter.
Peritonitis umum
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum. Peritonitis dapat disebabkan
oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya
perforasi apendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis.
23
Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena
trauma abdomen.
Tanda Peritonitis umum (perforasi) : nyeri seluruh abdomen, pekak hati
hilang, dan bising usus hilang. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan
terus-menerus tersebar di seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin kuat
saat penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Bila
telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Mual dan
muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat
iritasiperitoneum. Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam
abdomen, yang dapat mendorong diafragma.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak letargik dan kesakitan, dapat
ditemukan demam, distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nyeri lepas
abdomen (defans muscular), hipertimpani pada perkusi abdomen, pekak hati
dapat menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma, bising usus
menurun atau menghilang, rigiditas abdomen atau sering disebut perut
papan, dan pada colok dubur akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus
muskulus sfingter ani menurun dan ampula rekti berisi udara.
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan
gejala-gejala sebagai berikut: gejala progresif dengan durasi lebih dari 36
jam, demam tinggi lebih dari 38,5oC, lekositosis (AL lebih dari 14.000),
dehidrasi dan asidosis, distensi, menghilangnya bising usus, nyeri tekan
kuadran kanan bawah, Rebound tenderness sign, Rovsing sign, nyeri tekan
seluruh lapangan abdominal. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3
maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.
Sepsis
Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam nyawa (life-threatening)
yang disebabkan oleh disregulasi respons tubuh terhadap adanya infeksi.
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scoring dan quick SOFA
(qSOFA) sebagai alat diagnostik sepsis. Disfungsi organ dapat diidentifikasi
24
sebagai perubahan akut pada skor total SOFA (Sequential (Sepsis-related)
Organ Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi.
Massa Periapendikuler
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada
massa periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata.
2.10 Prognosis
Jika didiagnosis dan diobati lebih awal dalam 24 hingga 48 jam, pemulihan
dan prognosis sangat baik. Kasus dengan abses lanjut, sepsis, dan peritonitis
mungkin memiliki perjalanan yang lebih lama dan rumit, memerlukan
pembedahan tambahan atau intervensi lain.12
25
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Asy Syifa dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah sejak tadi malam dan memberat sejak pagi sebelum MRS.
Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati yang hilang timbul sejak 2 hari yang lalu,
kemudian nyeri berpindah ke perut kanan bawah dan menetap. Nyeri
dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan tidak menjalar. Pasien merasakan nyeri
26
memberat saat melakukan aktivitas dan saat batuk serta nyeri membaik saat
minum obat dan beristirahat berbaring dengan menekuk kakinya. Pasien
sudah sempat berobat dan minum obat antinyeri dan antibiotik, namun nyeri
muncul kembali. Pasien juga mengeluh mual, muntah 1x kemarin, dan nafsu
makan menurun sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga mengalami demam sejak 2
hari yang lalu dan masih demam saat ini. Pasien belum bisa BAB sejak
keluhan nyeri perut muncul, BAK dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan yang serupa
sebelumnya. Riwayat penyakit hipertensi (-) dan diabetes mellitus (-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengaku tidak terdapat keluhan serupa di keluarga. Riwayat
penyakit hipertensi (-) dan diabetes mellitus (-).
Riwayat Pengobatan :
Pasien sudah mengkonsumsi obat ibuprofen dan ciprofloksasin yang
dibeli sendiri di apotek.
Riwayat Alergi
Tidak terdapat riwayat alergi baik alergi obat ataupun makanan.
Riwayat Pribadi dan Sosial :
Pasien tidak memiliki kebiasaan sering mengkonsumsi makanan pedas
atau memakan cabai. Pasien tidak merokok dan tidak meminum alkohol.
Saat ini pasien sedang menstruasi hari ke-4. Jumlah perdarahan normal
selama menstruasi. Menstruasi pasien teratur setiap bulan.
27
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 104 x/menit
- Frekuensi Nafas : 20 x/menit
- Suhu : 38 oC
- SpO2 : 97% room air
Status Lokalis :
1. Kepala :
- Ekspresi wajah : normal
- Bentuk dan ukuran : normal
- Rambut : berwarna hitam, distribusi merata
- Edema : (-)
- Massa : (-)
- Perdarahan : (-)
2. Mata :
- Simetris
- Alis normal
- Konjungtiva : anemis (-/-), hiperemia (-/-)
- Sclera : ikterus (-/-), hiperemia (-/-),
- Pupil : refleks pupil (+/+), isokor Ø3mm/3mm,
bentuk dalam batas normal
- Kornea : normal
- Lensa : keruh (-/-)
- Pergerakan bola mata : normal ke segala arah
3. Telinga :
- Bentuk : normal, simetris
- Nyeri tekan tragus : (-/-)
- Pendengaran : kesan normal
4. Hidung :
- Simetris
- Deviasi septum : (-/-)
- Perdarahan : (-/-)
28
- Sekret : (-/-)
5. Mulut :
- Simetris
- Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-)
- Gusi : hiperemis (-), perdarahan (-)
- Lidah: glotitis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), lidah kotor (-)
6. Leher :
- Simetris
- Kaku kuduk (-)
- Pembesaran KGB (-)
- Trakea : ditengah
- Peningkatan JVP (-)
- Otot sternocleidomastoideus aktif (-), hipertrofi (-)
- Pembesaran nodul thyroid (-)
7. Thorax
Inspeksi :
1) Bentuk dan ukuran dada normal
2) Pergerakan dinding dada: simetris
3) Permukaan dinding dada: scar (-), massa (-)
4) Penggunaan otot bantu napas: SCM aktif (-), hipertrofi SCM (-),
otot bantu napas abdomen aktif (-).
5) Tulang iga dan sela iga: simetris, pelebaran sela iga kanan dan kiri
(-)
6) Fossa supraklavikula dan infraklavikula: simetris; Fossa jugularis:
trakea ditengah
7) Tipe pernapasan torakoabdominal dengan frekuensi napas 20
kali/menit.
Palpasi:
1) Posisi mediastinum: normal, trakea ditengah
29
2) Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-).
3) Pergerakan dinding dada: simetris
4) Ictus cordis teraba di ICS V midclavicula sinistra, thrill (-)
5) Vocal fremitus
Depan :
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
Belakang :
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
Perkusi:
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
2) Batas jantung
- Batas atas : ICS II linea parastenal sinistra
- Batas kanan : Linea parasternal dextra
- Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
3) Batas paru-jantung :
- Dextra : ICS II parasternalis line dekstra
- Sinistra : ICS V linea midclavicula sinistra
4) Batas paru-hepar :
- Inspirasi : ICS VI
- Ekspirasi : ICS IV
Auskultasi:
30
1) Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
2) Pulmo :
- Suara napas:
31
8. Abdomen : vesikuler vesikuler
Inspeksi: vesikuler vesikuler
- Kulit :s vesikuler vesikuler ikatriks (-), striae (-), vena yang
berdilatasi (-), ruam (-), luka
bekas operasi (-), hematom (-)
- Umbilikus : inflamasi (-), hernia (-)
- Kontur Abdomen : distensi (-), darm contour (-), darm steifung (-),
massa (-)
- Peristalsis (-), pulsasi aorta (-)
Auskultasi:
- Bising usus (+) normal, metallic sound (-).
Perkusi :
- Nyeri ketok saat perkusi (+) terutama regio illiaca dextra
Timpani Timpani Timpani
Timpani Timpani Timpani
Redup Timpani Timpani
Palpasi :
- Nyeri tekan regio illiaca dextra (+); defans muscular (+) lokal pada
regio illiaca dextra, nyeri lepas (+) pada regio illiaca dextra
9. Ekstremitas :
Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
Akral dingin : -/- Akral dingin : -/-
Deformitas : -/- Deformitas : -/-
Edema : -/- Edema : -/-
Sianosis : -/- Sianosis : -/-
CRT : < 2 detik CRT : < 2 detik
32
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
Urin Lengkap
Parameter Hasil
33
Makroskopis
Warna Kuning
Berat Jenis 1.015
Ph 6.5
Darah +1
Leukosit +1
Urobilinogen +1
Keton +4
Nitrit -
Protein +2
Bilirubin -
Glukosa +1
Mikroskopis
Leukosit 5-7/lpb
Eritrosit 2-3/lpb
Epitel 0-2/lpb
Plano Test
Plano test Negatif
Alvarado score
Migrating pain :1
Anorexia :1
Nausea and vomiting :1
Tenderness in RLQ :2
Rebound pain :1
Elevated temperature :1
Leukocytosis :2
Shift of WBC to the left :1
Total skor : 10 (appendicitis highly likely)
Apendisitis Akut
Diagnosis sekunder: Infeksi Saluran Kemih
34
3.6 RESUME
Pasien perempuan usia 22 tahun datang ke IGD RSUD Asy Syifa dengan
keluhan nyeri perut kanan bawah sejak kemarin malam dan memberat sejak pagi
sebelum MRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati yang hilang timbul sejak 2
hari yang lalu, kemudian nyeri berpindah ke perut kanan bawah dan menetap.
Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan tidak menjalar. Pasien merasakan nyeri
memberat saat melakukan aktivitas dan saat batuk serta nyeri membaik saat
minum obat dan beristirahat berbaring dengan menekuk kakinya. Pasien sudah
sempat berobat dan minum obat antinyeri dan antibiotik, namun nyeri muncul
kembali. Pasien juga mengeluh mual, muntah 1x kemarin, nafsu makan menurun,
dan demam sejak 2 hari yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak
kesakitan, dengan tanda-tanda vital didapatkan takikardia dan febris (38 C).
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan pada kanan bawah (+)
defans muscular lokal pada perut kanan bawah, dan perkusi redup pada kanan
bawah, McBurney sign (+) dan Psoas sign (+). Dari pemeriksaan penunjang
didapatkan hasil leukositosis dan peningkatan granulosit (shift of WBC to the
left).
3.8 TERAPI
IVFD RL 20 tpm
Inf. Paracetamol 1 gr IV
Inj. Ceftriaxone 1 gr IV
Konsul dokter spesialis bedah :
Pro Appendectomy (20/01/2023)
Puasa
Konsul Anestesi
MONITORING
Tanda-tanda vital
35
EDUKASI
Edukasi terkait penyakit yang dialami oleh pasien
Edukasi gizi dan pola makan
Edukasi tindakan yang akan dilakukan
3.10 PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
36
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien seorang wanita usia 22 tahun dengan keluhan nyeri pada perut kanan
bawah sejak 1 hari yang lalu dan dirasakan semakin memberat. Pasien mengaku
awalnya nyeri dirasakan di ulu hati sejak 2 hari yang lalu hilang timbul dan
berpindah ke perut kanan bawah dan menetap. Nyeri bagian ulu hati tersebut
merupakan nyeri viseral yang sifatnya difus, terletak pada mid-line, sekitar
umbilikal, tidak dapat ditunjukkan, bersifat tumpul dan tidak jelas, serta tidak
menetap. Nyeri visceral pada appendisitis ini bermula di sekitar umbilikus sesuai
dengan persarafan dari N.Thorakalis X. Nyeri tersebut disebabkan oleh karena
adanya obstruksi lumen appendiks yang akan menyebabkan peningkatan sekresi
normal mukus dari mukosa appendiks yang distensi. Makin lama mukus semakin
banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut
akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah edema.
Pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Setelah keluhan nyeri ulu hati, keluhan nyeri dirasakan berpindah ke
perut kanan bawah yang hilang timbul, nyeri tersebut merupakan nyeri visceral
yang berubah menjadi nyeri somatis. Nyeri ini disebabkan oleh sekresi mukus
37
yang terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Kemudian hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding sehingga peradangan yang timbul akan meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri perut daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Pasien juga mengeluh demam, mual, muntah, dan nafsu makan menurun
sejak 2 hari yang lalu. Keluhan mual dan muntah pasien disebabkan oleh
inflamasi dan tekanan yang berlebihan pada appendiks yang distensi sehingga
pusat muntah akan diaktifkan dari saluran pencernaan melalui aferen nervus
vagus. Pasien juga mengalami demam, demam tersebut merupakan salah satu
tanda bahwa ada kecurigaan telah terjadi infeksi.
Dari pemeriksaan di dapatkan nyeri tekan daerah McBurney terjadi karena
translokasi bakteri yang menyebabkan nyeri somatis. Nyeri lepas (rebound
tenderness) menunjukan inflamasi peritoneum. Psoas sign menunjukkan
peradangan dari appendiks yang letaknya dekat dengan otot psoas. Dari hasil
pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis dan peningkatan granulosit (shift
of WBC to the left) yang didapatkan dari pemeriksaan darah lengkap menunjukkan
respon tubuh terhadap infeksi.
38
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan seorang perempuan usia 22 tahun dengan apendisitis
perforasi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis dimana
ditemukan keluhan nyeri pada kanan bawah awalnya mengalami perpindahan
nyeri yang khas, mual muntah, penurunan nafsu makan, dan riwayat demam,
pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri tekan perut kanan bawah (+), defans
muscular lokal pada perut kanan bawah, perkusi redup pada perut kanan bawah,
pemeriksaan khusus McBurney sign (+) dan Psoas sign (+). Pada hasil
pemeriksaan laboratorium yaitu leukositosis dan peningkatan granulosit (shift of
WBC to the left).
39
5.2 Saran
Dengan adanya laporan kasus ini, diharapkan kepada para dokter, dan
tenaga medis lainnya untuk lebih mengetahui serta memahami tentang apendisitis
perforasi, serta tanda gejala juga penatalaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chrsi T., dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.IV. Vol.1. Media Aesculapius.
Jakarta. 2014.
2. Snyder MJ, Guthrie M and Cagle S. Acute Appendicitis: Efficient Diagnosis
and Management. American Academy of Family Physicians. 2018. Vol. 98,
No. 1. Pages 25-33.
3. Saverio SD, et al. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis: 2020
Update of the WSES Jerusalem Guidelines. World Journal of Emergency
Surgery. 2020. Vol. 15, No. 27. Pages 1-42.
4. Moore KL, Dalley AF and Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy. Sixth
Edition. 2010. Pages 247-252.
5. Sherwood L. Human Physiology from Cells to Systems. Seventh Edition.
2010. Pages 417-419.
6. Sabiston, D.C. Apependix. Textbook of Surgery. 6th ed. Philedelphia: WB.
Saunders. 2001.
7. Peterson, CM, Gregg, YL. Disease and Disorders. New York: Marshall
Cavendish Corporation.
8. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta, Indonesia:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.
40
9. Buppert, C. (2012). How to Avoid Missing Appendicitis. Journal for Nurse
Practitioners,8(3), 237-238.
10. Heller, Jacob L. 2008. Appendectomy - series: Normal anatomy. Retrieved
April 22, 2022, from Medline Plus:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/presentations/100001_1.htm
11. Bedah Digestif. 2008. Apendicitis akut. Retrieved May22, 2010, from Ilmu
Bedah UGM: http://bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendicitis-akut.html
12. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia; 2014.
13. Ohle R, O’Reilly F, O’Brien K, Fahey T and Dimitrov BD. The Alvarado
Score for Predicting Acute Appendicitis: A Systematic Review. BMC
Medicine. 2011. Vol. 9 No. 139. Pages 1-13.
14. Salminen, P., Paajanen, H., Rautio, T., Nordström, P., Aarnio, M., Rantanen,
T., . . . Grönroos, J. (2015). Antibiotic Therapy vs Appendectomy for
Treatment of Uncomplicated Acute Appendicitis: The APPAC Randomized
Clinical Trial. JAMA,313(23), 2340-2348.
41