Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

APENDISITIS AKUT
Disusun oleh :

BOSCCO FRENGKY SIMARMATA

16010017

Dokter Pembimbing :

dr. BENNY MARGANDA APUL PARDEDE, Sp.B

dr. BENNY SINAGA, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

BAGIAN ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARUTUNG

2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,
anugerah dan kasih setia-Nya yang memberkati penyusun sehingga paper
APPENDECITIS ACUTE dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Paper ini dibuat untuk memenuhi persyaratan melaksanakan kepaniteraan klinik


senior di SMF. Ilmu Bedah RSUD Tarutung. Dalam penyusunannya diusahakan
bahan rujukan selain diambil dari buku ilmu bedah juga diambil dari Internet guna
mendapatkan informasi yang lebih luas. Namun penyusun juga menyadari sepenuhnya
paper ini masuh memerlukan pembenahan mengingat kapasitas penyusun yang masih
harus terus belajar dan membenah diri untuk lebih baik lagi, karena itu penyusun
dengan senang hati menerima segala bentuk kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan paper ini di masa yang akan datang.

Penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada pembimbing dr. Beni


Pardede, Sp.B dan dr. Beni Sinaga, Sp.B atas bimbingan dan arahannya selama
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior serta dalam penyusunan paper ini.

Akhirnya semoga paper ini dapat menambah kasanah ilmu pengetahuan kita
dalam bidang bedah sehingga dapat digunakan nantinya di masyarakat, Semoga
Tuhan Yang Maha Esa memberkati segala usaha kita.

Tarutung, November 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................... 2
2.1. Anatomi Appendiks ......................................................... 2
2.2. Appendisitis Akut ............................................................ 5
2.2.1. Definisi.................................................................... 5
2.2.2. Epidemiologi........................................................... 5
2.2.3. Etiologi dan Patofisiologi ....................................... 5
2.2.4. Bakteriologi ............................................................ 7
2.2.5. Patologi ................................................................... 8
2.2.6. Gambaran Klinis ..................................................... 9
2.2.7. Pemeriksaan ............................................................ 12
2.2.8. Laboratorium .......................................................... 13
2.2.9. Radiologi................................................................. 13
2.2.10. Diagnosis ................................................................ 16
2.2.11. Diagnosis Banding .................................................. 19
2.2.12. Komplikasi .............................................................. 21
2.2.13. Penatalaksanaan ...................................................... 23
BAB III LAPORAN KASUS ......................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 30

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis adalah penyebab utama akut abdomen yang tercatat lebih


dari 40.000 pasien dirawat di rumah sakit di inggris setiap tahunnya.
Appendiksitis sebagian besar terjadi usia 10 dan 20 tahun, tapi tidak menutup
kemungkinan usia lain. Laki-laki memiliki angka predisposisi lebih besar
daripada wanita yaitu 1,4 : tahun. 4

Apendiksitis adalah kegawat daruratan dalam bidang bedah yang


umum. Pada appendicitis akut tidak mungkin diagnose ditegakan dengan gold
standart (histopatologi) sebelum operasi, kita dapat menggunakan tes
sederhana seperti Alvarado skor dimana ada ataupun tidak adanya gejala pada
penderita pada variable akan menentukan kondisi pasien. Diagnose yang tepat
dan kecepatan intervensi dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
tahun. 4

Apendicitis adalah peradangan yang terjadi pada appendix


vermicularis dan merupakan penyebab penyakit abdomen akut yang paling
sering pada anak-anak maupun dewasa. Terdapat sekitar 250.000 kasus
appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama
terjadi pada anak usia 6-10 tahun. 4

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari


appendiks yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan
laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka
kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan shock tahun.
4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Appendiks


Appendiks vermiformis adalah organ seperti tabung dengan lumen sempit,
vermian (berbentuk seperti cacing) yang timbul dari dinding caecum bagian
posteromedial, 2 cm dibawah ileum bagian akhir. Bisa menempati salah satu dari
berbagai posisi berikut :8

1. Retrocaecal
2. Retrocolic (dibelakang caecum atau bagian bawah ascending colon),
3. Pelvic atau descending (jika tergantung pada tepi pelvis, dekat dengan
tuba uterina dan ovarium kanan pada wanita). Itu merupakan posisi paling
umum yang sering terdapat pada praktek kilinik. Posisi lainnya jarang
ditemukan terutama jika ada appendiks mesenter panjang yang dapat
meyebabkan mobilitas appendiks yang lebih tinggi.

4. Subcaecal (dibawah caecum),


5. Promontorik
6. Preilial (anterior terhadap ileum terminal)
7. Postileal (dibelakang ileum terminal).

Gambar 2.1 Berbagai Posisi Appendiks 8

2
Tiga taenia coli pada colon ascendens dan caecum bersatu pada basis
appendiks, dan bergabung menuju otot longitudinalnya. Taenia caecal anterior
biasanya terpisah dan bisa ditelusuri munuju appendiks, yang dapat dipakai
sebagai panduan untuk mencari lokasi appendiks pada praktek kilinis. Ukuran
appendiks bervariasi panjangnya, dari 2 cm sampai 20cm; sering ditemukan relatif
lebih panjang pada anak-anak dan mungkin mengalami atrofi dan memendek
seiring bertambahnya usia.8

Lumen appendiks sempit dan membuka ke caecum melalui orifisium yang


terletak dibawah dan sedikit posterior terhadap orifisium ileocaecal. Orifisium
tersebut kadang dijaga oleh lipatan mukosa semilunaris yang membentuk katup.
Lumen mungkin akan paten pada awal kehidupan anak-anak dan sering hilang
pada dekade akhir kehidupan.8

Vaskularisasi appendiks.

Arteri utama appendiks, cabang dari divisi bawah arteri ileocolic, berjalan
dibelakang ileum terminal dan memasuki mesoappendiks dengan jarak yang dekat
dari basis appendiks dan beranastomosis dengan cabang dari arteri caecal

posterior.8

Gambar 2.2 Vaskularisasi appendiks.7

3
Vena Appendiks
Darah dari arteri Appendiks dialirkan melewati satu atau lebih vena-vena
appendikular menuju ke vena ileokolik atau saekum posterior. Kemudian dari
vena-vena ini menuju ke vena mesenterika superior.8

Limfatik.
Pembuluh limfe appendiks sangat banyak: terdapat banyak jaringan limfoid di dinding
nya. Dari keseluruhan bagian appendiks terdapat 8-15 pembuluh limfe yang melewati
mesoappendiks dan biasanya disertai beberapa nodus limfatik. Mereka bersatu
membentuk kurang lebih 3-4 pembuluh limfe yang lebih besar yang juga akan menuju
ke pembuluh limfe di kolon asendens. Semuanya akan berakhir di nodus inferior dan
superior dari rangkaian pembuluh limfe ileokolik.8

Persarafan Appendiks
Persarafan parasimpatis appendiks berasal dari cabang n.vagus yang
mengikuti a.mesenterikasuperior dan a.apendikularis. Persarafan simpatis nya
berasal dari n.torakalis X.6

Fisiologi Appendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir ini secara normal
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara tampaknya berperan dalam patogenesis appendisitis.6

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated


Limphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk appendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan appendiks tiadk mempengaruhi sistem imun
tubuh, karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali, jika dibandingkan dengan
jumlah nya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.6

4
2.2 Appendisitis akut

2.2.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan bakterial appendiks vermiformis.
Appendisitis akut adalah appendisitis dengan onset akut yang memerlukan
intervensi bedah dan biasanya ditandai dengan nyeri di abdomen kuadaran kanan
bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih, spasme otot yang ada diatasnya,
dan hiperestesia kulit.3

2.2.2 Epidemiologi
Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari.6

Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30
tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens pada lelaki lebih
tinggi.6

2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
akan mempermudah timbulnya appendisitis akut.6

Obstruksi lumen appendiks merupakan faktor etiologis utama dalam


appendisitis akut, berikut merupakan berbagai penyebab dari obsruksi :1,4

5
1. Fecaliths atau Appendicolith, merupakan penyebab utama obstruksi,
ditemukan pada 40% kasus appendisitis akut sederhana, 65% kasus
appendisitis ganggrenosa tanpa ruptur, dan mendekati 90% kasus appendisitis
ganggrenosa dengan ruptur.

2. Hipertrofi Jaringan Limfoid


3. Barium tersisa dari pemeriksaan x-ray terdahulu (pemeriksaan Colon in loop)

4. Tumor
5. Biji buah-buahan
6. Parasit intestinal

Obstruksi lumen appendiks disertai dengan sekresi yang terus-menerus dari


mukosa appendiks menyebabkan distensi. Distensi dari appendiks menstimulasi
nerve endings karena peregangan serat saraf aferen visceral, menyebabkan nyeri
tumpul yang diffus pada mid-abdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik juga
distimulasi oleh distensi yang timbul mendadak, sehingga kram dapat menyertai
nyeri visceral awal pada appendisitis.1

Distensi yang terus berlanjut karena sekresi dari mukosa yang terusmenerus
dan dari multiplikasi bakteri di appendiks. Distensi ini menyebabkan refleks mual
dan muntah, dan nyeri visceral akan semakin parah. Seiring dengan penekanan
pada organ yang meningkat, tekanan pada vena juga meningkat. Kapiler dan vena
menjadi tertutup, tetapi aliran arteriol akan terus berlanjut, menyebabkan pelebaran
dan kongestif vascular. Proses inflamasi segera melibatkan serosa pada appendiks
dan peritoneum parietal regional, memproduksi perpindahan nyeri yang khas
menuju kuadran kanan bawah.1, 2

Gangguan terhadap aliran limfatik dan vena akan menyebabkan iskemia


pada mukosa. Mukosa appendiks rawan dengan gangguan suplai darah, dan bila
integritasnya terganggu, akan memudahkan terjadinya invasi bakteri. Selama
distensi semakin progresif maka akan semakin menekan aliran balik vena dan
kemudian aliran arteriol sehingga menyebabkan infark pada area dengan suplai
darah yang buruk. Seiring peningkatan distensi, invasi bakterial, terganggunya
aliran darah, dan progresi infark, kombinasi ini akan menyebabkan proses

6
inflamasi yang lebih terlokalisir dan menyebabkan gangren serta perforasi,
biasanya pada salah satu area infark pada batas antimesenterik. Perforasi biasanya
terjadi setelah setidaknya 48 jam sejak onset timbulnya gejala.1,4

Appendisitis akut merupakan infeksi bakteri seperti Escherecia coli,


Streptoccocus viridans, dan Bacteroides.6 Diduga, lumen yang intergritasnya
terganggu karena peningkatan tekanan lumen atau iskemia intramural dapat
menjadi sumber lokasi invasi organisme.5 Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit
E.histolytica.6

2.2.4 Bakteriologi

Flora normal di appendiks mirip dengan yang ada di kolon, dengan terdapat
berbagai macam bakteri aerob dan anaerob fakultatif. Beberapa macam mikroba
dari appendiks yang mengalami perforasi sudah diketahui. Escherichia coli.,
Streptococcus viridans, Bacteriodes spp., dan Pesudomonas spp., merupakan
mikroba yang paling sering terisolasi (tabel 2.1)4

Tabel 2.1 Bakteri yang sering ditemukan pada apendisitis perforata 4

Pada pasien yang mengalami appendisitis akut non perforasi, kultur daripada
cairan peritoneal biasanya negatif dan tidak memberikan peran klinis yang nyata.
Akan tetapi pada pasien appendisitis perforasi, kultur cairan peritoneal biasanya
akan positif, dan menunjukkan bakteri-bakteri pada kolon dengan sensitifitas
terhadap antibiotik yang dapat di prediksi. Karena pemilihan pemberian antibiotik
sangat jarang dipegaruhi oleh hasil kultur ini, maka kultur ini jarang dilakukan.4
7
2.2.5 Patologi

Patologi appendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan


seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya
pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat appendiks atau
periapendikular infiltrat. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.6

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi


membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami
eksaserbasi akut atau disebut sebagai acute in chronic appendicitis.6

Proses Perubahan Patologis Manifestasi Klinis


Permulaan inflmasi, sering Nyeri abdomen tengah yang akut dan
karena
diffus atau tidak terlokalisir
obstruksi oleh fekalit
Inflamasi akut Mukosa Nyeri abdomen akut yang berlanjut
kemudian disertai dengan mual dan
muntah (karena stimulasi autonomic)

Perluasan inflamasi melewati dinding Gejala dan tanda mulai terlokalisir


appendiks karena keterlibatan peritoneum parietal

(inervasi somatic)
Inflamasi mencapai serosa (peritonitis Gejala Klasik : Nyeri tekan, nyeri lepas,
visceral) dan tahanan pada fosa iliaka kanan
Demam, facial flush, dan takikardia

Penyebaran peritonitis ke struktur Nyeri meluas ke seluruh abdomen


sekitar (tergantung dari posisi dengan peningkatan rigiditas dan gejala
appendiks) sistemik yang lebih jelas (peningkatan

8
Ganggren pada dinding appendiks demam, apatis dan dehidrasi)
Perforasi
Usaha oleh omentum dan struktur Pembentukan massa apenndiks atau
terdekat dari appendiks untuk menutupi yg salah dikenal dengan infiltrat
perforasi appendiks

Bila tidak berhasil akan menyebabkan


peritonitis yang menyebar

Tabel 2.2 Hubungan antara perubahan patologis dan manifestasi klinis 6

2.2.6 Gambaran Klinis

Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, baik disertai maupun tidak disertai dengan rangsang peritoneum lokal.
Gejala klasik appendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan menurun. Dalam beberapa
jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini, nyeri dirasa
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga rnerupakan nyeri somatik setempat.
Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita
merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum,
biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (Dunphy sign).6,4

Bila appendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan


bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena
appendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau
nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang
dari dorsal.6

Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan


gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat
dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang sehingga dapat
memberikan keluahan diare atau tenesmus. Jika appendiks tadi menempel ke
kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing ataupun disuria akibat
rangsangan appendiks terhadap dinding kandung kemih.6,9
9
Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak
sering hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak
bisa melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan muntah
sehingga menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi,
appendisitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90%
appendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.6 Pada anak yang lebih besar
bisa terdapat riwayat baru saja terserang penyakit bakterial maupun viral, yang
dapat meyebabkan pembesaran folikel appendiks dan obstruksi.9

Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak


ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia
lanjut, gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.6 Gejala pada orang tua biasanya berupa
malaise, nyeri yang tidak khas, konstipasi, atau bahkan perubahan status mental.9

Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah
tetapi lebih di regio lumbal kanan.6

Pada penelitian nya Treaves menganggap saekum adalah pusat dari jam
dan appendiks merupakan jarum dari jam. Oleh karena itu, posisi appendiks dapat
dideskripsi kan sebagai:2

Posisi jam 11 atau para colic/ para caecal. Appendiks mengarah ke atas dan
terletak menempel di sebelah kanan sekum. Pada posisi ini, appendiks juga
terletak di depan daripada ginjal kanan. Pada appendiks yang panjang, dapat
mengiritasi ureter, mengakibatkan leukosit terdeteksi pada urinalisis/
menyerupai gejala daripada pielonefritis.

Jam 12 atau retrocaecal. Appendiks berada di belakang sekum atau kolon


asendens dan bisa intra peritoneal atau retro peritoneal.

Jam 2 atau posisi splenik. Appendiks mengarah ke limpa atau ke kuadran kiri
atas, dan dapat terletak di depan ileum terminal (preileal) atau di belaknag
ileum terminal (post ileal).

10
Jam 3 atau posisi promonterik. Appendiks mengarah secara transversal menuju
ke promontorium sakrum.

Jam 4 atau pelvik. Appendiks mengarah ke arah kavum pelvis.


Jam 6 atau mid inguinal. Appendiks mengarah ke titik tengah dari ligamen
inguinal. Nama lain dari posisi ini adalah posisi sub saekum.

Gambar 2.3 Berbagai macam posisi appendix sesuai dengan manifestasi


klinisnya7

11
Tabel 2.3 Frekuensi timbulnya gejala appendisitis2
2.2.7 Pemeriksaan
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler.6

Pada palpasi, didapatkan nyeri tekan yang terbatas pada regio iliaka kanan,
bisa disertai nyeri lepas (Rebound Phenomena). Defans muskuler menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah yang
terutama terletak pada titik McBurney merupakan kunci diagnosis. Appendiks
normal sifatnya mobile, sehingga lokasi inflamasi bisa saja terdapat di berbagai
tempat pada area lingkaran 360 dari sekitar basis dari sekum. Pada penekanan
perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda
Rovsing. Pada appendisitis retrosekal atau retroileal, diperlukan palpasi dalam
untuk menentukan adanya rasa nyeri.6,4

Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya
ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh appendisitis
perforata.6

Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai
dengan jari telunjuk, misalnya pada appendisitis pelvika.6

Pada appendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan, maka kunci


diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji
psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak appendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan peritoneum
12
lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di otot
psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan
untuk melihat bilamana appendiks yang meradang bersentuhan dengan otot
obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
appendisitis pelvika.6
Jika appendiks perforasi, nyeri perut akan sangat terasa intens dan
menyeluruh, peningkatan spasme daripada otot-otot abdomen (defans muskuler),
detak jantung akan meningkat dengan elevasi dari temperatur lebih dari 39C.
Pasien tampak sangat sakit dan membutuhkan resusitasi cairan dan antibiotik
sebelum dilakukan operasi.4

2.2.8 Laboratorium
Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis
appendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus
dengan komplikasi.3 Leukosit yang tinggi (>20.000/mL) dapat menandakan
terdapatnya komplikasi appendisitis, bisa berupa ganggren ataupun perforasi.
Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan pyelonefritis atau nefrolitiasis. Pada
penderita wanita sebaiknya juga diperiksa Beta-HCG untuk menyingkirkan
kemungkinan kehamilan.9

Dari penelitian yang dilakukan oleh Memisoglu et al. 2010 pada pasien
post appendectomy yang dilakukan studi retrospektif, didapatkan bahwa jumlah
appendisitis akut dengan leukosit tinggi ditemukan sebanyak 83%, dan pada pasien
dengan leukosit tinggi yang appendiks nya ternyata normal, sebanyak 61%.
Memisoglu et. al berkesimpulan bahwa untuk mendiagnosa appendisitis tidak
cukup dari hasil laboratorium dan radiologi.5

2.2.9 Radiologi
Foto polos abdomen jarang berguna untuk mendiagnosa appendisitis akut. Foto
polos abdomen berperan penting dalam menyingkirkan keadaan patologi lainnya.1
Kegagalan dari barium enema untuk memenuhi lumen appendiks berhubungan

13
dengan appendisitis, tetapi temuan ini kurang sensitif dan spesifik karena 20%
appendiks normal tidak terisi dengan barium enema.4

Pada pasien dengan nyeri abdomen, ultrasonography memiliki sensitifitas sekitar


85% dan spesifitas lebih dari 90% dalam mendiagnosa appendisitis akut.4 Hal ini
dipertegas oleh penelitian yang dilakukan Memisoglu et al yang menyatakan
bahwa hanya 34% pasien dengan appendisitis akut yang memiliki hasil USG yang
negatif.5 Temuan sonografi yang konsisten dengan appendisitis akut antara lain
ukuran appendiks 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, dinding yang
tebal, struktur lumen yang tidak tertekan dapat dilihat pada cross section yang
dikenal sebagai target lesion, atau tampaknya appendicolith.4

CT scan sering dipakai untuk mengevaluasi pasien dewasa dengan dugaan


appendisitis akut. CT scan memiliki sensitivitas sekitar 90% dan spesifitas
80%90% dalam mendiagnosa appendisitis akut pada pasien dengan nyeri abdomen
akut.4 Dari penelitian yang Willms dkk tahun 2011 disimpulkan bahwa selain
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab, pemeriksaan radiologi
(terutama CT Scan) dibutuhkan untuk pasien dengan suspected appendicitis.

Tabel 2.4 Modalitas pencitraan dalam diagnosis appendicitis akut. 2

14
Gambar 2.4 4
A. CT Scan abdomen/pelvis pada pasien dengan appendisitis akut menunjukkan
adanya appendikolit (garis panah putih)

B. CT Scan menunjukkan adanya appendiks yang terdistensi (panah putih)


dengan penebalan daripada dinding serta cairan periapendikular. (segitiga
putih) gambaran ini disebut sebagai target sign.

C= saekum

Gambar 2.5 Hasil USG menunjukkan:4


- Normal Appendiks: potongan coronal (kiri atas), potongan longitudinal
(kanan atas)

15
- Appendisitis: terdapat distensi dan penebalan dinding (kanan bawah):
Target Sign

- Pada appendisitis juga terjadi peningkatan aliran darah (kiri bawah),


sehingga disebut juga Ring of Fire appearance

2.2.10 Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
appendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan
diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan lelaki. Hal ini
dapat disadari mengingat pada perempuan, terutama yang masih muda, sering
timbul gangguan yang menyerupai appendisitis akut. Keluhan itu berasal dari
genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit
ginekologik lain.6

Appendisitis perlu dipikirkan sebagai diagnosa banding pada setiap pasien


dengan nyeri abdomen akut. Diagnosis awal merupakan tujuan klinis paling penting
pada pasien dengan dugaan appendisitis dan pada kebanyakan kasus bisa ditegakkan
melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik. Gejala awal biasanya dimulai dengan nyeri
periumbilikal (karena aktivasi neuron aferen viseral) dan kemudian dilanjutkan oleh
anorexia dan nausea.4

Nyeri kemudian terlokalisir pada kuadran kanan bawah karena proses


inflamasi yang progresif dan melibatkan peritoneum parietal diatas appendiks.
Muntah bisa didapatkan. Demam menyertai, diikuti oleh perkembangan
leukositosis. Gejala klinis bisa bervariasi. Contohnya, tidak semua pasien menjadi
anoreksia.4 Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis appendisitis akut, bila
diagnosis meragukan, sebaiknya penderita diobservasi di rumah sakit dengan
frekuensi setiap 1-2 jam.6

Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dapat meningkatkan


akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan.6

Untuk meminimalkan kesalahan diagnosa appendisitis, terdapat suatu


sistem scoring yang dinamakan Alvarado Score. Pasien dengan skor 9 atau 10
hampir pasti menderita appendisitis, pasien dengan skor 7 atau 8 memiliki

16
kemungkinan besar menderita appendisitis, skor 5 atau 6 memiliki gejala yang
mirip dengan appendisitis, tetapi bukan didiagnosa appendisitis.1

Tabel 2.5 : Alvarado Score 1

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tamanna et. al. (2012) didapatkan
bahwa Alvarado score mempunyai nilai sensitivitas 59,57 %, dan spesifisitas
85,13%. Sedangkan positive predictive value nya sebesar 71,79% dan negative
predictive value sebesar 76,82%. Akurasi rata-rata dari Alvarado score berkisar
75,2%. Oleh karena itu, meskipun Alvarado score didasarkan kebanyakan dari
evaluasi klinis, sistem skor ini mudah, simpel dan murah untuk mendukung tegak
nya diagnosa appendisitis akut.9

17
Tabel 2.6: Kriteria Ohmann Score3

Tabel 2.7: Kriteria Ohmann Score3

Tabel 2.8 : Kriteria lintula score 11

18
Tabel 2.9 : Kriteria RIPASA score 11

Tabel 2.10 : Guideline RIPASA score 11

2.2.11 Diagnosis banding


Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding.6 1) Gastroenteritis.

Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri perut
sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya
hiperperistalsis. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan
appendisitis akut.

2) Demam Dengue
Dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada penyakit ini, didapatkan
hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan peningkatan
hematokrit. 3) Limfadenitis mesenterika.
19
Limfadenitis Inesenterika yang biasa didahului oleh enteritis atau gastroenteritis,
ditandai dengan nyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta perasaan mual dan
nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut sebelah kanan.

4) Kelainan Ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada
perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama
pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam
waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.

5) Infeksi Panggul.
Salpingitis akut kanan sering di kacaukan dengan appendisitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.
Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok
vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat
dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding.

6) Kehamilan Di Luar Kandungan.


Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak merientu.
Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan
timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri dan penonjolan rongga
Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah.

7) Kista Ovarium Terpuntir.


Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok rektal.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis

8) Endometriosis Externa
Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak
ada jalan ke luar.

9) Urolitiasis Pielum/Ureter Kanan


Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos
perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis
20
sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah
kanan, dan piuria.

10) Penyakit Saluran Cerna Lainnya.


Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti
divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut,
pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam
tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel appendiks.

2.2.12 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan
sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk
usus halus.6

1) Massa Periapendikular
Massa appendiks terjadi bila appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis
purulenta generalisata. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal
ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan
teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.6

Riwayat klasik appendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang
nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa
atau abses periapendikuler.6

2) Appendisitis Perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi appendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun
dilaporkan sekitar 60%.6

Faktor yang memengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua


adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi
21
appendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada
anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan
kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepaL dan omentum anak
belum berkembang.6

Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai


dengan demam tinggi, nyeri makin hebat, nyeri tekan dan defans muskular,
peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik.
Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di
suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa
intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses.
Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah.6

3) Appendisitis Kronik Eksaserbasi Akut


Diagnosis appendisitis kronik eksaserbasi akut baru dapat dipikirkan jika
ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukannya apendektomi, dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan appendisitis akut pertama kali sembuh spontan.
Namun, appendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis
dan jaringan parut. Risiko terjadinya serangan berulang adalah sekitar 50%.
Insidens appendisitis kronik eksaserbasi akut adalah 10% dari spesimen
apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada appendisitis kronik eksaserbasi
akut, biasanya dilakukan apendektomi karena penderita datang dalam serangan
akut.6

4) Appendisitis Kronik
Diagnosis appendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat
berikut terpenuhi : riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dari dua mingau,
terbukti terjadi radang kronik appendiks baik secara makroskopik maupun
mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi.6

Kriteria mikroskopik appendisitis kronik meliputi adanya fibrosis


menyeluruh pada dinding appendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen
appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel
inflamasi kronik. Insidens appendisitis kronik adalah sekitar 1-5%.6

22
2.2.13 Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada appendisitis tanpa komplikasi,
biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendisitis gangrenosa
atau appendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik
dapat mengakibatkan abses atau perforasi.6

Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila


apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih
dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi
atau tidak.6

Appendisektomi atau Appendektomi ialah suatu tindakan pembedahan


membuang appendiks. Adapun indikasi appendiktomi :10 1) Appendisitis akut.

2) Appendisitis subakut.
3) Appendisitis infiltrat (appendikular mass) yang sudah dalam stadium tenang
(afroid).

4) Appendisitis perforata 5) Appendisitis kronis

Persiapan pembedahan :10


1) Inform consent
2) Penderita harus dipuasakan sedikitnya 4 sampai 6 jam sebelum operasi.

3) Pemberian antibiotika (spektrum luas). Bilamana ada peritonitis umum perlu


memperbaiki keadaan umum dengan memberi infus serta pemasangan kateter.

4) Pemberian premedikasi anestesi.


5) Mempersiapkan lapangan pembedahan dengan membersihkan (mencuci) dan
bilamana perlu dicukur.

23
Teknik Pembedahan :10
Penderita ditidurkan dengan posisi terlentang dan ahli Bedah berdiri di sisi kanan
penderita.
1) Desinfeksi
Lapangan pembedahan didesinfeksi dengan bahan Iodin Povidon 10% atau
Alkohol 70%.

2) Kemudian lapangan pembedahan dipersempit dengan pemasangan kain


(duk) steril.
3) Membuka Dinding perut o Irisan kulit dengan arah oblique melalui titik Mc
Burney tegak lurus garis antara S.I.A.S. dan umbilikus disebut juga irisan
Gridiron. Irisan lain ialah irisan tranversal atau irisan paramedian. Irisan
diperdalam dengan memotong lemak dan akhirnya sampai tampak aponeurosis
muskulus Obliqus Abdominis Externus (M.O.E.).

o M.O.E. dibuka dengan skalpel searah seratnya, diperlebar ke lateral dan ke


medial dengan bantuan pinset anatomi. Wound haak tumpul dipasang di
bawah M.O.E., tampak Muskulus Obliqus Abdominis Internus

(M.O.I.).
o M.O.I. dan otot di bawahnya (musculus transversus abdominis) dibuka
secara tumpul dengan gunting atau klem arteri yang bengkok, searah
seratnya, tampak lemak peritoneum yang berwarna kuning.

o Preperitoneal fat disingkirkan dan peritoneum yang berwarna putih


mengkilap dipegang dengan 2 pinset Chirurgis dan dibuka dengan gunting,
perhatikan apa yang keluar pus, udara atau cairan lain (darah, faeces dan
sebagainya); perlu diperiksa kultur dan test kepekaan kuman. Dari cairan
yang keluar itu. Pembukaan peritoneum diperlebar dengan gunting atau
scalpel dengan melindungi usus atau organ lain di bawah peritoneum
dengan 2 jari atau sonde kocher. Arah irisan peritoneum sesuai dengan arah
irisan kulit . Wond haak diletakkan di bawah peritoneum.

4) Melakukan appendektomi
Sekum dicari dan dikeluarkan (luxir). Untuk itu kita harus mengetahui tanda-
tanda sekum yaitu :
a) Warnanya lebih putih.
24
b) Mempunyai taenia coli.
c) Adanya haustrae.
d) Adanya apendices epiploicae
Appendiks yang basisnya terletak pada pertemuan tiga tinea mempunyai
bermacam - macam posisi antara lain antececal, retrocecal, anteileal, retroileal dan
pelvinal.

o Setelah sekum diketemukan, kita pegang dengan pinset usus (darm pinset)
dan kita tarik keluar. Kemudian dengan kasa steril dan basah sekum
dikeluarkan dengan menarik ke arah mediokaudal. Setelah keluar sekum
ditarik ke kraniolateral, biasanya appendiks akan ikut keluar dan tampak
dengan jelas.

o Dengan memakai kasa yang basah sekum dipegang oleh asisten dengan ibu
jari berada di atas.

o Mesenterium pada ujung appendiks dipegang dengan klem Kocher


kemudian meso appendiks dipotong dan diligasi sampai pada basis
appendiks dengan mempergunakan benang sutera 3/0. Pangkal appendiks
di crush dengan appendiks klem Kocher dan pada bekas crush tersebut
diikat dengan chromic catgut No. 1 atau 1/0. Dibuat jahitan tabakzaaknaad
(kantong tembakau) atau jahitan pursestring pada serosa sekitar pangkal
appendiks dengan menggunakan benang sutera halus 3/0.

o Dibagian distal dari ikatan pada pangkal appendiks diklem dengan Kocher
dan di antara klem Kocher dan ikatan tersebut appendiks dipotong dengan
pisau yang telah diolesi iodium.

o Sisa appendiks (appendiks stump) ditanam di dalam dinding sekum dengan


pertolongan pinset anatomis didorong ke dalam dan jahitan tabakzaak
dieratkan. Kemudian dibuat jahitan penguat di atasnya (overhechting),
memakai benang sutera halus. Setelah kita perhatikan ada tidaknya
perdarahan sekum dimasukkan kembali ke dalam rongga perut.

25
Gambar 2.6 Appendiktomi4

5) Penutupan Luka Operasi (Dinding Perut).


o Peritoneum ditutup dengan jahitan delujur Feston dari bahan catgut Plain
Nomor 1 atau 1/0.
o Muskulus obligus abdominis internus dan muskulus
transversus abdominis ditutup dengan catgut chromic nomor 1 secara simpul.

26
o Muskulus obliges abdominis externus dan aponeurosisnya ditutup dengan
jahitan catgut chromic secara simpul.

o Lemak ditutup dengan jahitan simpul catgut plain 3/0, dan kulit dijahit dengan
benang sutera 2/0 atau 3/0 secara simpul.

6) Appendisektomi secara Retrograde o Mencari pangkal appendiks


yakni pada pertemuan ketiga tenia coli.

o Dengan mempergunakan kromme klem (klem bengkok) atau zonde,


pangkal appendiks dipisahkan dari sekum dengan cara, blunt dissection.
Kemudian kita ikat pangkal appendiks dengan catgut chromic setelah
dilakukan crush.

o Appendiks di bagian distal dari ikatan dikocher dan dipotong dengan pisau
yang telah kita olesi Iodium. Pangkal appendiks ditanam di dalam dinding
sekum dalam jahitan kantong tembakau.

o Kemudian appendiks dibebaskan ke arah ujung (distal) dengan hati-hati


terutama pada waktu. memotong meso appendiks.

Penyulit Appendisektomi :10 1)


Durante operasi :

a) Perdarahan intra peritoneal yaitu dari arteria appendicularis atau dari


omentum.

b) Perdarahan pada dinding perut (dari otot-otot).


c) Adanya robekan dari sekum atau usus lain.
2) Pasca Bedah dini :
a) Perdarahan.
b) Infeksi dinding perut.
c) Hematoom dinding perut.
d) Peralitik ileus.
e) Peritonitis.
f) Fistel usus.

27
g) Abses di dalam rongga peritoneum.
3) Penyulit pasca bedah lanjut :
a) Streng ileus oleh karena adanya band.
b) Hernia sikatrikalis.

Perawatan Paska Bedah :10 o Pada hari operasi penderita diberi infus menurut
kebutuhan sehari (maintenance) kurang lebih 2 sampai 3 liter cairan Ringer
lactat dan Dextrosa.

o Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan menggerakkan kaki


(flexi dan extensi), miring ke kiri dan ke kanan bergantian dan duduk.
Penderita boleh jalan pada hari pertama pasca bedah.

o Pemberian makanan peroral dimulai dengan memberi minum sedikit-


sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas usus yaitu adanya flatus,
dan bising usus. Bilamana dengan pemberian minum bebas penderita tidak
kembung maka pemberian makanan peroral dimulai. Lazimnya pada hari
pertama atau hari kedua pasca bedah penderita boleh diberi makan.

Tatalaksana PAI

Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan


pendindingan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi
antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob, sambil
dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periappendikuler hilang, dan
leukosit normal penderita boleh pulang dan appendektomi elektif dapat dikerjakan
2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika konservatif
tidak membaik/ berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.6

Tatalaksana Appendicitis Perforata

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman


Gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik
perlu dilakukan sebelum pembedahan.
28
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang
adekuat secara mudah serta pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini, mulai
banyak dilaporkan pengelolaan appendicitis perforasi secara laparoskopi
apendektomi.

Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah . hasilnya
dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparotomi terbuka, tetapi
keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik.6

29
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTIFIKASI

Nama : Yesi Simatupang

Umur : 16 tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Agama : Kristen

Alamat : Pangaribuan

Pekerjaan : Siswa

Tanggal Masuk : 11 November 2016

No.Rekam Medis : 09-61-38

ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri peut kanan bawah

Telaah : Sejak 1 minggu yang lalu pasien mengeluh nyeri perut kanan
bawah. Mual dan Muntah (-). BAB biasa. Nafsu makan biasa.
Kemudian pasien datang dibawa keluarganya ke poli bedah
RSUD Tarutung.

RPT :-

RPA :-

RPK :-

RPO :-

Pemeriksaan fisik : Sens : Compos mentis

TD : 110/70 mmHg

HR : 82 x/i

30
RR : 22x/i

T : 36,5oC

A. Kepala
- Konjungtiva palpebra inferior: anemis (-/-)
- Skera : ikterik (-)
- Refleks cahaya : (+/+)
- Pupil : isokor
B. Hidung : dalam batas normal
C. Telinga : dalam batas normal
D. Mulut: dalam batas normal
E. Leher :
- Pembesaran KGB: (-)
- Trakea: medial
F. Thoraks
- Inspeksi : simetris fusiformis
- Palpasi : Tidak dilakukan
- Perkusi : Tidak dilakukan
- Auskultasi : dalam batas normal
G. Paru :
a. Suara pernapasan : vesikuler
b. Suara nafas tambahan : ronchi (-)
H. Jantung :
a. Desah (-)
b. HR : 82x/i
I. Abdomen :
- Inspeksi : kembung (-)
- Palpasi : soepel, nyeri tekan perut kanan bawah
- Perkusi : timfani
- Auskultasi : Peristaltik dalam batas normal
J. Ekstremitas atas : dalam batas normal
K. Ekstremitas bawah : dalam batas normal
L. Genetalia : Perempuan
31
Diagnosa Banding:

1. Apendisitis akut
2. KET

Diagnosa Sementara :

Apendisitis akut

Penatalaksanaan:

- IVFD asering 20 gtt/i


- Ceftriaxon 1 gr/8 jam
- Inj. Ranitidine 1 Amp/12 jam

Hasil Laboratorium Pemeriksaan Darah

Hemaglobin 12,0 gr/dl

Leukosit 5.600 /mm3

Trombosit 329.000/ mm3

Eritrosit 6.020.000/ mm3

Hematokrit 44,9%

MCV 74,6 fl

MCH 19,9 pg/sel

MCHC 26,7 g/dl

Plano test negatif

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi CF, et al. 2010. The Appendix, dalam : Schwartzs Manual of Surgery.
Ninth Edition. New York : McGrawHill. Hlm. 2043-2071.

2. Harrison S, Harrison B. 2012. Diagnostic Challenges in Acute Appendicitis,


Appendicitis. Retrieved November 1, 2013, from: A Collection of Essays from
Around the World, Dr. Anthony Lander (Ed.).

http://www.intechopen.com/books/appendicitis-a-collection-of-essays-
fromaround-theworld/ diagnostic-challenges-in-acute-appendicitis

3. Henry, Michael M, et al. 2005. The Epidemiology Of Appendicitis And


Appendectomy In The United States

http://aje.oxfordjournals.org/content/132/5/910

4. Hortic, matiza. 2005. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis in


Women. Coll. Antropol. 29 (2005) 1: 133138

5. Koesoemawati H, dkk. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 143.

6. Maa J, Kirkwood KS. 2012. The Appendix, dalam : Sabiston Textbook of Surgery.
19th edition. New York : Elsevier. Hlm. 1279-1293.

7. Memisoglu et al. 2010. The value of preoperative diagnostic tests in acute


appendicitis, retrospective analysis of 196 patients. ,
http://www.wjes.org/content/5/1/5

8. Sjamsuhidajat R, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 755-762.

9. Snell, Richard S. 2008. The Abdomen: Part 2 Abdominal Cavity, dalam :


Clinical Anatomy by Regions. Eight edition. New York : Lippincott Williams

& Wilkins Inc. Hlm. 232

33
10. Standring S, et al. 2005. Abdomen: Regional Anatomy, dalam : Grays Anatomy :
The Anatomical Basis of Clinical Practice. Thirty-Ninth Edition.

New York : Elsevier. Hlm. 280-283.

11. Tamanna et al. 2012. Alvarado Score In Diagnosis Of Acute Appendicitis.


Retrieved December 1, 2013, from: International Journal of Basic and Applied
Medical Sciences. http://www.cibtech.org/jms.htm

12. Thompson, Graham. 2012. Clinical Scoring Systems in the Management of


Suspected Appendicitis in Children, Appendicitis - A Collection of Essays from
Around the World, Dr. Anthony Lander (Ed.), ISBN: 978-953-307-8144

13. Wibowo S, dkk. 2008. Appendisektomi/appenditomi, dalam: Pedoman Teknik


Operasi OPTEK. Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Hlm. 75-88.

34

Anda mungkin juga menyukai