Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

APENDISITIS AKUT

Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun Oleh :
dr. Huuriyah ‘Aathifah Faatin

Pendamping :
dr. Yelli Defita

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


UPT PUSKESMAS TANJUNG BALAI KARIMUN
2022-2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu, Alhamdulillah. Segala puji


dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan
karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul
“Apendisitis Akut”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk
mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia di UPT Puskesmas Tanjung Balai
Karimun.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pendamping
yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan agar
laporan kasus ini lebih baik dan bermanfaat. Tentunya penulis menyadari bahwa
laporan kasus ini banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pendamping dan para pembaca agar
kedepannya penulis dapat memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan
tersebut.
Besar harapan penulis agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi sejawat untuk
meningkatkan keilmuannya.

Tanjung Balai Karimun,


Januari 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
1.1 Latar Belakang................................................................................................
BAB II TINJUAN PUSTAKA....................................................................................
2.1. Anatomi...........................................................................................................
2.2. Definisi dan Klasifikasi...................................................................................
2.3. Epidemiologi...................................................................................................
2.4. Etiologi............................................................................................................
2.5. Faktor Resiko/Pencetus...................................................................................
2.6. Patofisiologi....................................................................................................
2.7. Manifestasi Klinis.........................................................................................
2.8. Cara Penegakan Diagnosis............................................................................
2.8.1. Anamnesis.............................................................................................
2.8.2. Pemeriksaan Fisik..................................................................................
2.8.3. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................
2.8.4. Alvarado Score......................................................................................
2.9. Diagnosis Banding........................................................................................
2.10. Penatalaksanaan............................................................................................
2.10.1. Farmakologi...........................................................................................
2.10.2. Non Farmakologi...................................................................................
2.11. Pencegahan................................................................................................
2.12. Komplikasi................................................................................................
2.13. Prognosis...................................................................................................
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................
BAB IV STATUS PASIEN.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Apendisitis akut adalah suatu peradangan akut apendiks vermiformis
atau yang biasa dikenal di masyarakat dengan peradangan usus buntu dan
merupakan salah satu masalah kegawatdaruratan bedah yang umum
didapatkan di masyarakat. Apendisitis akut muncul secara mendadak dan
membutuhkan tindakan pembedahan segera untuk mencegah terjadinya
perforasi. Apendisitis disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks
vermiformis oleh hiperplasia folikel limfoid, benda asing, fekalit, atau
neoplasma.
Di dunia insiden apendisitis akut cukup tinggi yaitu rata-rata sebanyak
321 juta kasus tiap tahun. Sebanyak 10 juta penduduk Indonesia mengalami
apendisitis dan morbiditas mencapai 95 per 1000 penduduk per tahunnya,
dimana angka ini merupakan angka tertinggi apendisitis di antara negara di
ASEAN (Association of South East Asia Nation).
Kejadian apendisitis di Indonesia cukup tinggi. Menurut data
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2008 jumlah
penderita apendisitis di Indonesia mencapai 591.819 orang. Kemudian tahun
2009, sebanyak 596.132 orang dengan presentase 3,36% dilaporkan
menderita apendisitis, dan meningkat menjadi 621.435 dengan presentase
3,53% di tahun 2010 (Mirantika, N., dkk., 2021).

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Apendiks vemiformis atau yang sering disebut sebagai apendiks saja,


pada manusia merupakan struktur tubular yang rudimenter dan tanpa fungsi
yang jelas. Apendiks berkembang dari posteromedial sekum dengan panjang
bervariasi dengan rata-rata antara 6-10 cm dan diameter sekitar 0,5-0,8 cm.
Posisi apendiks dalam rongga abdomen bervariasi, tersering berada
posterior dari sekum atau kolon asendens. Hampir seluruh permukaan
apendiks dikelilingi oleh peritoneum, dan mesoapendiks (mesenter dari
apendiks) yang merupakan lipatan peritoneum berjalan kontinyu
disepanjang apendiks dan berakhir di ujung apendiks.
Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di
ujung dari apendiks dimana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apenikular,
derivate cabang inferior dari arteri iliocoli yang merupakan cabang trunkus
mesentrik superior. Selain arteri apendikular yang memperdarahi hamper
seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari artesi asesorius. Untuk aliran
balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocolic berjalan ke vena
mesenteric superior dan kemudian masuk ke sirkulas portal. Drainase
limfatik berjalan ke nodus limfe regional seperti nodus limfatik ileocolic.
Persafaran apendiks merupakan cabang dari nervus vagus dan pleksus
mesentrik superior (saraf simpatis) (Eylin, 2009).

5
2.2. Definisi dan Klasifikasi

Apendisitis akut adalah suatu kondisi inflamasi pada apendiks yang


menyebabkan timbulnya nyeri abdomen terutama pada bagian kanan bawah.
Apendisitis akut merupakan keadaan gawat darurat yang biasanya
membutuhkan penanganan operatif (Alnaz, ARM., dkk., 2020).
Klasifikasi apendisitis menurut waktu kerjadiannya terbagi menjadi 3
yaitu :
a. Apendisitis akut, radang mendadak di umbai cacing yang memberikan
tanda, disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum lokal.
b. Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang di perut bagian
kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini
terjadi bila serangan apendisitis akut pertama sembuh spontan.
c. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan
bawah lebih dari dua minggu (sumbatan di lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa), dan keluhan hilang setelah
apendiktomi (Triani, NM., 2021).
Berdasarkan tingkat keparahannya, apendisitis dibagi menjadi :
a. Apendisitis non-komplikata (simple appendicitis)
Inflamasi akut yang terbatas hanya pada mukosa disebut apendisitis
kataralis, namun penggunaan istilah ini dan yang lainnya sangat
bervariasi di literatur dan pemeriksaan klinisnya masih menjadi
perdebatan hingga kini. Yang harus diperhatikan adalah penggunaan

6
istilah apendisitis sederhana adalah apabila neutrofil hanya terdapat di
propria muskularis.
b. Apendisitis komplikata
Apendisitis komplikata biasanya merujuk kepada apendisitis
perforasi yang biasanya berhubungan dengan abses atau phlegmon.
Rerata insidensi tahunan apendisitis perforasi sekitar 2 per 10.000 orang
dan bervariasi tergantung waktu, lokasi geografis, dan usia, sehingga
biasanya didapatkan angka 25%, yang biasanya digunakan sebagai alat
indikator kualitas layanan. Anak usia kurang dari 5 tahun dan lansia usia
65 tahun mempunyai rerata yang lebih tinggi untuk mengalami perforasi,
yaitu sekitar 45% dan 51%.
c. Apendisitis phlegmonosa
Mempunyai karakter seperti infiltrat neutrofil pada propria
muskularis, biasanya melingkar. Mukosanya juga mengalami
peradangan akut dan terdapat ulserasi. Biasanya pada klinis pasien
tampak nyeri pada fosa iliaka kanan yang disebabkan kelainan apendisitis
ini. Perubahan lainnya adalah adanya edema, serositis fibrinopurulen,
mikroabses pada dinding, dan trombus vaskular. Peradangan mungkin
berhubungan dengan ekstravasasi dari mucin ke dalam dinding, kadang
berhubungan dengan reaksi jenis giant cell yang diakibatkan oleh benda
asing. Harus dapat dibedakan antara reaksi ini dengan neoplasma
musinous.
d. Apendisitis gangrenosa
Terjadinya nekrosis dari dinding apendiks, terdapatnya gangren di
seluruh dinding apendiks tanpa perforasi.
e. Apendisitis perforasi
Terjadinya perforasi dan keluarnya konten tinja melalui cavum
abdomen karena terjadinya gangguan dari seluruh dinding apendiks
(Munthe, LKH., 2022).

7
2.3. Epidemiologi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.
Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 3:2. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur,
hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi
tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi
pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-
30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi (Warsinggih, 2016).
Apendisitis akut merupakan penyakit gastroenterohepatologi dengan
jumlah pasien rawat inap terbanyak keempat di Indonesia pada tahun 2010
dengan 621.435 pasien. Statistik menunjukkan bahwa kasus apendisitis akut
terus meningkat setiap tahunnya. Sejumlah 3.53% penduduk Indonesia
mengalami apendisitis. Puncak prevalensi kasus apendisitis akut dijumpai
pada kelompok usia 17-25 tahun. Namun, tingkat komplikasi dijumpai
meningkat seiring dengan peningkatan usia pasien dengan komplikasi
banyak dijumpai pada pasien yang berumur 41-50 tahun (Alnaz, ARM.,
dkk., 2020).
2.4. Etiologi
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix
sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi
infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab
obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada
sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi
appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid, carcinoid atau tumor
lainnya, benda asing (biji-bijian), kadang parasit. Penyebab lain yang diduga
menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E.
histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien
appendicitis yaitu : bakteri aerob fakultatif, bakteri anaerob (Escherichia
coli, Viridans streptococci, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus,

8
Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus micros, Bilophila sp.,
Lactobacillus sp.) (Warsinggih, 2016).
2.5. Faktor Resiko/Pencetus
a. Faktor ras dan diet
Faktor ras berpengaruh terhadap system pola makan sehari-hari.
Orang dengan kulit putih yang sebelumnya memilki kebiasaan
mengkonsumsi makanan rendah serat lebih berisiko untuk terkena
apendisitis. Namun dengan seiring berjalannya waktu orang tersebut
telah mengubah pola makannya dengan mengkonsumsi makanan tinggi
serat.
b. Kerentanan familial
Kerentanan familial berhubungan dengan pemilik jenis apendiks
retrosekal yang panjang dimana pada kasus ini suplai darahnya menurun
pada bagian distal yang mungkin memicu timbulnya apendisitis (Munthe,
LKH., 2022).

9
2.6. Patofisiologi

Patofisiologi apendisitis yang paling dipahami saat ini adalah terjadinya


obstruksi pada lumen apendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan
peningkatan kolonisasi bakteri yang memicu terjadinya respon inflamasi.
Reaksi yang terjadi meningkatkan infiltrasi neutrofil yang menyebabkan
terjadinya edema pada jaringan dan peningkatan tekanan intraluminal. Hal
tersebut menimbulkan trombosis dan dapat menyebabkan nekrosis iskemik
yang mengarah pada terjadinya komplikasi dari apendisitis, yaitu perforasi
(Alnaz, ARM., dkk., 2020).
2.7. Manifestasi Klinis

10
Secara klasik, apendisitis memberikan manifestasi klinis seperti :
a. Nyeri, pertama pada periumbilical kemudian menyebar ke kuadran kanan
bawah. Nyeri bersifat visceral, berasal dari kontraksi appendiceal atau
distensi dari lumen. Biasanya disertai dengan adanya rasa ingin defekasi
atau flatus. Nyeri biasanya ringan, sering kali disertai kejang, dan jarang
menjadi permasalahan secara alami, biasanya berkisar selama 4-6 jam.
Selama inflamasi menyebar di permukan parietal peritonel, nyeri menjadi
somatic, berlokasi di kuadran kanan bawah. Gejala ini ditemukan pada
80% kasus. Biasanya pasien berbaring, melakukan fleksi pada pinggang,
kemudian mengangkat lututnya untuk mengurangi pergerakan dan
menghindari nyeri yang semakin parah.
b. Anoreksia sering terjadi. Mual dan muntah terjadi pada 50-60% kasus,
tetapi muntah biasanya self-limited.
c. Demam ringan, dimana temperature tubuh berkisar antara 37,2-38C (99-
100F), tetapi suhu >38,3C (101F) menandakan adanya curiga
perforasi.
d. Nafsu makan menurun, konstipasi (Eylin, 2009).
2.8. Cara Penegakan Diagnosis
Cara penegakan diagnosis diare meliputi :
2.8.1. Anamnesis
Keluhan utama pasien penderita apendisitis yaitu adanya rasa
nyeri pada abdomen. Pasien akan memberitahu mengenai rasa nyeri
kolik pada periumbilikal yang semakin meningkat selama 24 jam
pertama, dan rasa nyeri yang semakin tajam sehingga akan
berpindah ke fossa iliaka kanan. Kehilangan selera untuk makan,
konstipasi serta mual sering kali menjadi pertanda terjadinya
apendisitis.
2.8.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien yaitu pada inspeksi didapati
penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang
nyeri, kembung bila terjadi perforasi, dan adanya penonjolan perut

11
bagian kanan bawah terlihat pada apendikular abses. Dengan palpasi,
perut biasanya rata atau agak bengkak. Dengan lembut dan hati-hati
palpasi dinding perut ditekan dan mulai dilakukan pemeriksaan pada
bagian yang nyeri.
Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah adalah :
a. Nyeri tekan (+) Mcburney. Pada palpasi ditemukan titik nyeri
tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini
merupakan tanda kunci diagnosis.

b. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound


tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat pada
abdomen kanan bawah, saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan
setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di
titik Mcburney.

c. Defence muscular adalah nyeri tekan pada seluruh bagian


abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietal.
d. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah,

12
hal ini disebabkan adanya nyeri lepas yang disebarkan karena
iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

e. Psoas sign (+) disebabkan adanya rangsangan muskulus psoas


oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

f. Obturator sign (+) adalah rasa sakit yang terjadi ketika pinggul
dan lutut tertekuk dan kemudian berbalik masuk dan keluar secara
pasif (Munthe, LKH., 2022).

2.8.3. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium

13
Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar
10.000-18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu,
maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
b. Pemeriksaan radiologi
- Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (jarang
membantu)
- Ultrasonografi (USG)

Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang


pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendik, sedangkan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan fekalith dan perluasan dari apendik yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG
90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85%
dan 92%.
- Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-
97%.
- Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG
abdomen dan apendikogram (Triani, NM., 2021).

2.8.4. Alvarado Score

14
Apendisitis juga dapat di diagnosis menggunakan skor Alvarado
seperti pada tabel berikut :

Interpretasi :
Skor 7-10 = Apendisitis Akut
Skor 5-6 = Curiga Apendisitis Akut
Skor 1-4 = Bukan Apendisitis Akut
2.9. Diagnosis Banding
Pada suatu keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan
sebagai diagnosis banding apendisitis yaitu :
a. Gastroenteritis akut
Penyakit ini umumnya diakibatkan adanya penularan virus yang
disertai dengan gejala muntah, diare, keram dan juga relaksasi pada
gelombang hiperperistaltik. Penyakit ini juga disebabkan oleh bakteri
salmonella.
b. Kolesistitis
Peradangan pada kandung empedu yang sering disebabkan oleh batu
yang menghalangi saluran menghubungkan kandung empedu dan usus
kecil.
c. Acute Mesenteric Adenitis

15
Kurang lebih 5% pasien yang melakukan apendektomi pada
apendisitis akut diketahui memiliki mesenteric adenitis, dimana kasus ini
sering terjadi pada kalangan anak-anak.
d. Infeksi saluran kemih
Penyakit ini ditandai dengan munculnya gejala pada sistem
berkemih, elastis nya abdomen, sering dijumpai nyeri pada costovertebral
angle bukan pada fossa iliaka kanan dan sering ditemukan bakteriuria
pada pemeriksaan lab (Munthe, LKH., 2022).

2.10. Penatalaksanaan
Apendisitis yang ringan dapat diatasi dengan pemberian terapi
konservatif dengan menggunakan antibiotik. Sedangkan apendisitis yang
disertai adanya komplikasi, terutama perforasi, membutuhkan tindakan
apendektomi segera (Alnaz, ARM., dkk., 2020).
2.10.1. Farmakologi
Antibiotik biasanya diberikan segera setelah diagnosis tegak.
Apendektomi harus dilengkapi dengan pemberian antibiotic IV. Pilih

16
antibiotic yang baik untuk bakteri gram negative anaerob dan
enterobakter, yang banyak digunakan adalah sefalosporin generasi
ketiga. Pemberian antibiotic terutama pada apendisitis perforasi dan
diteruskan hingga suhu tubuh dan hitung jenisnya sudah kembali
normal. Pemberian antibiotic ini dapat menurunkan angka kematian
(Eylin, 2009). Dapat diberikan terapi simptomatik terhadap pasien
seperti analgetic, antipiretik, antiemetic tergantung kondisi pasien
(Fatmawati, T., 2007).
2.10.2. Non Farmakologi

Operasi atau pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu


apendiktomi. Apendiktomi harus segera dilakukan untuk
menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah
anestesi umum dengan pembedahan abdomen bawah atau dengan
laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode terbaru yang sangat
efektif.
Apendiktomi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode
pembedahan, yaitu secara teknik terbuka (pembedahan konvensional
laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi yang merupakan teknik
pembedahan minimal invasive dengan metode terbaru yang sangat
efektif (Triani, NM., 2021).
2.11. Pencegahan
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan factor risiko
terhadap kejadian apendisitis. Upaya yang dilakukan antara lain :

17
- Diet tinggi serat
Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi serat mempunyai
efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat dalam
makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa dan pektin
yang membantu mempercepat sisa-sisa makanan untuk disekresikan
keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan
penekanan pada dinding kolon.
- Defekasi teratur
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi
feces yang lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi
menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsiolan
apendisitis dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.
Pengerasan feses memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk
ke saluran apendisitis dan menjadi kuman atau bakteri berkembang
biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan pada apendisitis.
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnose dini dan pengobatan yang
tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi (Prariani, N., 2015).
2.12. Komplikasi
Tidak semua apendisitis mengalami perforasi. Namun, perforasi
merupakan komplikasi yang paling dikhawatirkan karena dapat
menyebabkan terjadinya peritonitis dan berakhir pada sepsis (Alnaz, ARM.,
dkk., 2020). Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks,
sekum, dan letak usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan
peningkatan suhu 39,5C tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan
leukositosis meningkat akibat perforasi dan pembentukan abses. Peritonitis
yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas tinggi 39-40C
menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang jarang (Triani, NM., 2021).
Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu pieloflebitis dan abses
apendiks. Pieloflebitis adalah tromboplebitis septik vena portal ditandai
dengan demam yang tinggi, panas dingin menggigil dan icterus. Abses

18
apendiks dimana teraba suatu massa lunak di kuadran kanan bawah atau di
daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmen tetapi dapat
berkembang menjadi rongga yang mengandung nanah (Prariani, N., 2015).
2.13. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8%
dan disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada
anak, angka ini berkisar 0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70 tahun
angka ini meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis
dan terapi (Sindunata, NA., 2015).

BAB III

KESIMPULAN

Apendisitis akut adalah suatu kondisi inflamasi pada apendiks yang


menyebabkan timbulnya nyeri abdomen terutama pada bagian kanan bawah.
Berdasarkan waktu kejadiannya apendisitis dibagi menjadi apedisitis akut,

19
apendisitis rekurens, dan apendisitis kronis. Apendisitis disebabkan karena adanya
obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik
nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Penegakan diagnosis apendisitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien mengeluhkan nyeri perut
kanan bawah atau nyeri adanya nyeri alih, bisa disertai adanya mual muntah atau
demam. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan Mcburney (+), Rebound
tenderness (+), Rovsing sign (+), Psoas sign (+), Obturator sign (+). Pada
pemeriksaan penunjang dapat ditemukan leukositosi dan dapat dilakukan
pemeriksaan radiologi berupa foto polos abdomen, USG atau CT-scan abdomen.
Apendisitis juga dapat didiagnosis menggunakan skor Alvarado dengan
interpretasi 1-4 bukan apendisitis akut, 5-6 curiga apendisitis akut dan 7-10
apendisitis akut.
Antibiotik biasanya diberikan segera setelah diagnosis tegak. Dapat diberikan
juga terapi simptomatik seperti analgetic, antipiretik, antiemetic tergantung
dengan kondisi pasien. Operasi atau pembedahan untuk mengangkat apendiks
yaitu apendiktomi. Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko
perforasi. Laparoskopi merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
Tidak semua apendisitis mengalami perforasi. Namun, perforasi merupakan
komplikasi yang paling dikhawatirkan karena dapat menyebabkan terjadinya
peritonitis dan berakhir pada sepsis. Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat
kecil dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan.

BAB IV

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. P
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 27 November 2003/19 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswi

20
Alamat : Sei Lakam
Status Pernikahan : Belum Kawin
Tanggal Berobat : 26 Desember 2022
Jam Berobat : 10.15 WIB
B. Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Telaah : Pasien datang ke poli Puskesmas Tanjung Balai
dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang
dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri
dirasakan seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul dan
memberat bila perut tertekan atau saat os bergerak.
Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah
ke perut kanan bawah. Os juga mengeluhkan mual,
namun tidak muntah. Demam sejak pagi ini, BAK
dan BAB dalam batas normal.
C. Riwayat Penyakit
Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak ada
Riwayat Pengobatan : Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
Riwayat Alergi : Tidak ada
D. Vital Sign
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis (E4V5M6)
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Heart Rate : 86 x/menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Temperature : 38 ºC
E. Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Reflek
Pupil Isokor (+/+), Mata Cekung (-/-)

21
Hidung : Deviasi Septum Nasi (-/-), Sekret (-/-)
Mulut : Mukosa Bibir Kering (-), Sianosis (-), Lidah Kotor (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Dalam batas normal
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : SP Vesikuler (+/+), ST Ronkhi (-/-), ST Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Batas kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas kiri bawah : SIC IV linea medclavicularis sin.
Auskultasi : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Dalam batas normal
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Mcburney’s Sign (+), Blumberg’s Sign (+), Rovsing’s Sign
(+), Obturator Sign (+), Psoas Sign (+), Soepel, Turgor
<2”
Perkusi : Timpani

Ekstremitas
Superior : Oedem (-/-), akral hangat (+/+), CRT <2”
Inferior : Oedem (-/-), akral hangat (+/+), CRT <2”
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
F. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (Darah Rutin)
HB : 12,2 mg/dL

22
Leukosit : 13.200 mg/dL
Hematokrit : 37 mg/dL
Trombosit : 233.000 mg/dL
G. Alvarado Score
Rovsing’s Sign (+) :1
Mual (+) :1
Mcburney’s Sign (+) : 2
Blumberg’s Sign (+) : 1
Demam (+) :1
Leukositosis (+) :2
Total :8
H. Diagnosis
Apendisitis Akut
I. Diagnosis Banding
- Salpingitis
- Kehamilan Ektopik Terganggu
- Ureterolithiasis
J. Penatalaksanaan
Rujuk ke Spesialis Bedah RSUD Muhammad Sani untuk pemeriksaan dan
penanganan lebih lanjut

DAFTAR PUSTAKA

Alnaz, ARM., dkk., 2020. Matriks Metalloproteinase (MMP) Sebagai Biomarker


Terjadinya Perforasi pada Apendisitis Akut. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara : Medan.
Eylin, 2009. Apendisitis Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta.

23
Fatmawati, T., 2007. Studi Penggunaan Obat pada Penderita Apendisitis Akut di
Bagian Bedah RSU dr. Saiful Anwar Malang . Universitas Airlangga :
Surabaya.
Mirantika, N., dkk., 2021. Hubungan Antara Usia, Lama Keluhan Nyeri
Abdomen, Nilai Leukosit dan Rasio Neutrofil Limfosit dengan Kejadian
Apendisitis Akut Perforasi di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman : Samarinda.
Munthe, LKH., 2022. Apendisitis Akut. Universitas Hindu Negara : Denpasar.
Prariani, N., 2015. Gambaran Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang
Penyakit Apendisitis di Puskesmas 23 Ilir Palembang Tahun 2013. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah : Palembang.
Sindunata, NA., 2015. Apendisitis Akut. Universitas Pelita Harapan : Tanggerang.
Triani, NM., 2021. Apendisitis Akut. Politeknik Kesehatan : Denpasar.
Triyani, IDA., 2020. Apendisitis Akut. Universitas Muhammadiyah : Ponorogo.
Warsinggih, 2016. Appendisitis Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin
: Makassar.

24

Anda mungkin juga menyukai