Anda di halaman 1dari 19

REFERAT APENDISITIS

Oleh :
PUTRI NURUL IHSAN
21360083

PRECEPTOR:
dr. TOFIK RAHMANTO, Sp.B., FINACH

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD JENDERAL AHMAD YANI KOTA METRO
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga Referat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul
“APENDISITIS”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, dan dalam
penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari semua pihak.
Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat bermanfaat bagi
pembacanya.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. TOFIK
RAHMANTO, Sp.B., FINACH yang telah membimbing dan mengarahkan saya dalam
menyelesaikan referat ini. Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah
bekerja sama membantu menyusun referat ini.
Semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya
di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin.

Metro, September 2021

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

BAB I
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1

BAB II
2.1. Definisi Apendisitis...................................................................................................3
2.2. Etiologi Apendisitis...................................................................................................3
2.3. Klasifikasi Apensitis..................................................................................................4
2.4. Faktor Resiko Apendisitis.........................................................................................5
2.5. Patofisiologi...............................................................................................................5
2.6. Manifestasi Klinis Apendisitis..................................................................................6
2.7. Diagnosis ..................................................................................................................7
2.8. Penatalaksanaan Apendisitis...................................................................................12
2.9. Kompikasi Apendisitis............................................................................................12
2.10. Prognosis Apenditis...............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis adalah suatu inflamasi akut pada apendiks vermiformis yang sering
dikaitkan dengan obstruksi dan dapat terjadi komplikasi akibat infeksi bakteri (Sifri &
Madoff, 2015). Apendisitis disebabkan adanya obstruksi daripada lumen. Apendiks
rentan mengalami fenomena ini karena diameter lumennya yang kecil dan berkaitan
dengan panjangnya. Obstruksi pada lumen proksimal dari apendiks memicu
peningkatan tekanan di bagian distal yang disebabkan oleh sekresi mukus secara terus
menerus dan produksi gas oleh bakteri yang ada dilumen. Dengan adanya distensi yang
progresif pada apendiks, terjadi gangguan pada drainase vena, sehingga menyebabkan
iskemi pada mukosa. Adanya obstruksi yang terus menerus, dan terjadinya iskemia
menyeluruh, yang akhirnya menyebabkan perforasi pada apendiks. Lama waktu dari
obstruksi menjadi perforasi bervariasi dan berkisar antara beberapa jam hingga
beberapa hari. (Richmond, 2017).
Menurut Kementrian kesehatan RI pada tahun 2009 kejadian Apendisitis di
Indonesia sebesar 596.132 orang dengan persentase 3,3% dan terjadi peningkatan pada
tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan persentase 3,5%. Angka mordibitas
apendisitis Indonesia mencapai 95 per 1000 penduduk dimana angka ini merupakan
angka tertinggi apendisitis diantara ASEAN. (Lubis, 2018). Insiden Apendisitis di
Indonesia menempati urutan tertinggi dari beberapa kasus kegawatan abdomen lainnya
(Depkes, 2008). Pada Rumah Sakit Tembakau Deli PTP Nusantara II Medan tercatat
174 penderita apendisitis yang dirawat inap pada tahun 2005- 2009. Pada Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan tahun 2014 tercatat 101 kasus
apendisitis akut (Sinuhaji, 2016). Apendisitis merupakan penyakit yang menjadi
perhatian oleh karena angka kejadian apendisitis tinggi di setiap negara. Risiko
perkembangan apendisitis bisa seumur hidup sehingga memerlukan tindakan

1
pembedahan (Fransisca et al., 2019). Tindakan yang sering kali dilakukan untuk
penanganan apendisitis adalah apendektomi (Zulfa et al., 2019).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Apendisitis


Apendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi pada
apendiks vermiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada lumen
apendiks (Fransisca et al., 2019). Perkembangan proses inflamasi dapat menyebabkan
abses, ileus, peritonitis, atau kematian jika tidak diobati. Apendisitis komplikasi
mengacu pada adanya gangren atau perforasi apendiks (D’Souza dan Nugent, 2016).

2.2 Etiologi Apendisitis


Penyebab apendisitis masih belum pasti meskipun berbagai teori sudah ada.
Teori-teori terbanyak berpusat pada obstruksi luminal pada apendiks sebagai patologi
primer. Penyebab obstruksi luminal yang paling umum adalah hiperplasia limfoid
akibat penyakit radang usus atau infeksi (lebih sering terjadi pada masa anak-anak
dan pada dewasa muda), stasis tinja dan fekalit (lebih umum pada pasien usia lanjut),
parasit (terutama di negara-negara timur), atau lebih jarang seperti benda asing dan
neoplasma. Ketika lumen apendiks terhambat, bakteri akan menumpuk di usus buntu
dan menyebabkan peradangan akut dengan perforasi dan pembentukan abses (Jones
et al., 2019). Apendiks mengandung massa besar jaringan limfoid di mukosa dan
submukosa, dan karena itu apendiks cenderung mengalami hiperplasia limfoid yang
mengakibatkan obstruksi lumen (Gadiparhi dan Waseem, 2019). Hiperplasia jaringan
limfoid dianggap sebagai mekanisme yang paling umum. Hiperplasia jaringan
limfoid mungkin hadir dengan apendisitis akut, dengan timbulnya gejala secara
bertahap (D’Souza dan Nugent, 2016). Hiperplasia limfoid dikaitkan dengan berbagai
gangguan inflamasi dan infeksi termasuk crohn disease, gastroenteritis, amoebiasis,
infeksi saluran pernapasan, campak, dan mononukleosis (Craig, 2018). Apendisitis
dapat terjadi karena infeksi bakteri. Hubungan dengan berbagai bakteri dan virus
menular hanya ditemukan dalam kasus yang kecil pada pasien apendisitis. Flora
apendiks yang meradang berbeda dari flora apendiks normal. Sekitar 60% dari

3
apendiks yang meradang memiliki bakteri anaerob dengan 25% pada apendiks
normal. Spesimen jaringan dari dinding apendiks yang meradang hampir semuanya
menumbuhkan Escherichia coli dan Bacteroides species pada hasil kultur.
Fusobacterium nucleatum yang tidak ada pada flora sekum normal, telah
diidentifikasi pada 62% dari apendiks yang meradang. Parasit penyebab lain yang
diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E.
histolytica, Viridans streptococci, dan Pseudomonas aeruginosa (Brunicardi et al.,
2015).

2.3 Klasifikasi Apendisitis


Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2004). :
1. Apendisitis Akut Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah
nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik McBurney.
Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat.
2. Apendisitis Kronik Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika
ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial
atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan
adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis
kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik
dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan
ikat.

4
2.4 Faktor Risiko Apendisitis
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori
Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor
pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara lain usia, jenis
kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat
infeksi bakteri, virus, parasit, cacing, benda asing dan sanitasi lingkungan yang
kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat
dari pelayanan keshatan yang diberikan oleh layanan kesehatan baik dari fasilitas
maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti
asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang
menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi
(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2004).

2.5 Patofisiologi Apendisitis


Apendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-
36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukan abses
setelah 2-3 hari. Apendisitis disebabkan oleh obstruksi apendiks dari berbagai
penyebab. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh hiperplasia limfoid, infeksi, fekalit,
dan tumor jinak atau ganas. Apendiks terus mengeluarkan cairan mukosa,
menyebabkan distensi apendiks, Iskemia organ, pertumbuhan berlebih bakteri, dan
perforasi akhirnya menjadi distensi. Proses progresif di mana gejala pasien
memburuk selama perjalanan penyakit sampai perforasi dengan peritonitis terjadi
(Gadiparhi dan Waseem, 2019). Obstruksi pada apendiks mengakibatkan peningkatan
tekanan intraluminal dan distensi akibat sekresi lendir yang sedang berlangsung serta
produksi gas oleh bakteri yang berada dalam bakteri. Seiring dengan peningkatan
tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfoid, terjadi edema yang lebih hebat.
Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangren. Iskemia dinding apendiks mengakibatkan
hilangnya integritas epitel dan memungkinkan invasi bakteri pada dinding apendiks.
Dalam beberapa jam kondisi ini dapat memburuk karena trombosis arteri dan vena

5
appendicular yang menyebabkan perforasi dan gangren apendiks. Ketika proses ini
berlanjut maka abses periappendicular dan peritonitis dapat terjadi (Craig, 2018).
Aliran darah dari distal ke obstruksi memungkinkan pertumbuhan berlebih dari
bakteri dalam apendiks, menghasilkan pelepasan koloni bakteri yang lebih besar ke
rongga peritoneum dalam kasus apendisitis perforasi. (Duque dan Mohney, 2019).
Pertumbuhan bakteri yang berlebihan kemudian terjadi pada apendiks yang
terhambat, dengan organisme aerob mendominasi pada apendiks normal dan
campuran aerob dan anaerob setelah apendisitis. Organisme umum termasuk
Escherichia coli, Peptostreptococcus, Bacteroides, dan Pseudomonas. Setelah
peradangan dan nekrosis signifikan terjadi, apendiks berisiko perforasi menyebabkan
abses lokal dan bisa menjadi peritonitis (Jones et al., 2019). Distensi apendiks
menyebabkan perangsaran serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di
daerah periumbilical. Nyeri awal bersifat dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th
10. Adanya distensi semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam
beberapa jam setelah nyeri. Terjadi invasi bakteri ke dinding apendiks diikuti demam,
takikardi, dan leukositosis akibat konsekuensi pelepasan mediator inflamasi dari
jaringan yang iskemik. (Warsinggih, 2010). Tekanan pada organ meningkat
mengakibatkan tekanan vena terlampaui. Kapiler dan venula tersumbat tetapi aliran
arteri tetap berlanjut, mengakibatkan pembengkakan dan kongesti vascular. Proses
inflamasi segera melibatkan bagian apendiks yang menghasilkan perubahan
karakteristik rasa sakit dalam kuadran kanan bawah. Nyeri biasa tidak melokalisasi ke
kuadran kanan bawah sampai ujung apendiks menjadi meradang dan mengiritasi
peritoneum parietal atau terjadi perforasi menyebabkan peritonitis lokal. (Duque dan
Mohney, 2019).

2.6 Manifestasi Klinis Apendisitis


Manifestasi Klinis Nyeri perut adalah gejala utama dari apendisitis. Perlu diingat
bahwa nyeri perut bisa terjadi akibat penyakit – penyakit dari hampir semua organ
tubuh. Tidak ada yang sederhana maupun begitu sulit untuk mendiagnosis apendistis.
Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri

6
viseral di daerah epigastrium sekitar umbilikus. Nyeri perut ini sering disertai mual
serta satu atau lebih episode muntah dengan rasa sakit, dan setelah beberapa jam,
nyeri akan beralih ke perut kanan bawah pada titik McBurney (Migraine, et al. 2017).
Umumnya nafsu makan akan menurun. Rasa sakit menjadi terus menerus dan lebih
tajam serta lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat,
akibatnya pasien menemukan gerakan tidak nyaman dan ingin berbaring diam, dan
sering dengan kaki tertekuk. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Hal ini sangat
berbahaya karena dapat mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat rangsangan
peritoneum, biasanya penderita mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk
(Cobben, et al. 2020).

2.7 Diagnosis Apendisitis


Pemeriksa dapat mendiagnosis sebagian besar kasus apendisitis dengan
memeriksa riwayat medis seseorang dan melakukan pemeriksaan fisik. Jika seseorang
tidak memiliki gejala yang biasa, pemeriksa dapat menggunakan tes laboratorium dan
pencitraan untuk mengonfirmasi apendisitis. Tes-tes ini juga dapat membantu
mendiagnosis apendisitis pada orang yang tidak bisa jelaskan gejalanya, misalnya
seperti anak-anak atau orang yang secara mengalami gangguan mental (Brodsky,
2013). Secara individual, riwayat pasien, pemeriksaan, dan laboratorium temuan
memiliki nilai predikatif yang buruk, tetapi dalam kombinasi nilai diagnostiknya jauh
lebih besar (Baird et al., 2017). Apendisitis dapat menjadi tantangan bahkan ditangan
yang paling berpengalaman, dan sebagian besar adalah para klinis. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang akurat penting untuk mencegah operasi yang tidak perlu dan
menghindari komplikasi (Petroianu, 2012)
A. Anamnesis
Bagi sebagian besar pasien yang datang ke departemen emergensi dengan
apendisitis akut, sakit perut akan menjadi keluhan utama pasien. Pasien yang
hadir dalam beberapa jam pertama onset sering menggambarkan nyeri yang
didefinisikan dengan hebat dan konstan di wilayah periumbilikal atau

7
epigastrium. Mual, muntah, dan anoreksia terjadi dalam berbagai derajat,
meskipun biasanya hadir dalam lebih dari 50% kasus dalam semua penelitian.
Dengan penyakit yang berkembang seperti yang diuraikan sebelumnya, rasa sakit
menjadi jelas dan terlokalisasi di kuadran kanan bawah di dekat titik McBurney.
Kegagalan untuk mengenali presentasi apendisitis akut lainnya akan
menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan peningkatan morbiditas pasien.
Pasien dengan apendiks retrocaecal atau yang datang pada bulan-bulan terakhir
kehamilan mungkin memiliki rasa sakit terbatas di sebelah kanan sudut panggul
atau costovertebral. Pasien pria dengan retrocaecal apendiks mungkin
mengeluhkan nyeri testis kanan. Panggul atau retroileal lokasi apendiks yang
meradang akan merujuk ke panggul, rektum, adneksa, atau jarang di kuadran kiri
bawah. Subcaecal dan panggul mengakibatkan nyeri suprapubik dan frekuensi
berkemih dapat mendominasi (Petroianu, 2012). Pemeriksa akan bertanya secara
spesifik pertanyaan tentang gejala dan riwayat kesehatan pasien. Jawaban untuk
pertanyaan ini akan membantu mengesampingkan kondisi lain. Menurut Brodsky
(2013), Beberapa bertanyaan yang dapat diajukan pada pasien yaitu:
1. Kapan ketika sakit perut dimulai
2. Dimana lokasi yang tepat dan tingkat keparahan rasa sakit
3. Kapan ketika gejala lain muncul
4. Kondisi medis lainnya seperti sebelumnya pernah sakit dan pernah melakukan
prosedur bedah
5. Apakah orang tersebut menggunakan obat-obatan, alkohol, atau obat-obatan
terlarang
B. Pemeriksaan Fisik
Penjelasan dari pasien tentang nyeri pada bagian perut yang dialaminya adalah
kunci untuk mendiagnosa apendisitis. Pemeriksa akan menilai rasa sakit dengan
menyentuh atau memberikan tekanan pada area spesifik perut (Brodsky, 2013).
Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri tekan, nyeri saat
perkusi, kekakuan, dan menahan rasa nyeri. Nyeri saat palpasi pada RLQ pada
titik McBurney adalah tanda paling penting pada pasien ini. Pasien sering

8
ditemukan dekubitus lateral kanan dengan posisi sedikit fleksi pinggul sebagai
posisi kenyamanan maksimal pasien. Pemeriksaan perut menunjukkan nyeri dan
kekauan otot di fossa iliaka kanan (Craig, 2018). Pemeriksaan lain yang dapat
ditemukan pada pasien seperti wajah memerah dengan lidah kering dan terdapat
faetor oris. Terdapat perbedaan antara suhu aksila dan dubur lebih tinggi dari 1°C
menunjukkan peradangan panggul yang mungkin disebabkan oleh apendisitis atau
radang panggul lainnya. Gambaran klasik nyeri sentral yang berimingrasi ke fossa
iliaka kanan terkait dengan mual, muntah, dan anoreksia terjadi pada kurang dari
setengah presentasi pasien. Gerakan seperti batuk dan berkendara dapat
memperburuk rasa sakit yang dialami pasien. Pasien juga dapat menunjukkan
perasaan yang umumnya tidak sehat, lemah, dingin, dan lembap, atau gambaran
gejala apa saja yang sesuai seperti sepsis (Baird, 2017). Berikut ini merupakan
beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menunjang diagnosis
apendisitis:
1. Blumberg’s sign
Nyeri lepas kontralateral yaitu tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di
RLQ. Tanda ini merupakan penanda bahwa apendiks meradang. - Rovsing’s
sign Positif bila terdapat nyeri di RLQ saat dilakukan penekanan di LLQ.
Tanda ini menunjukkan iritasi peritoneum pada RLQ yang dipalpasi di lokasi
yang jauh. Sering positif tapi tidak spesifik.
2. Psoas sign
Dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal
kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot
psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari abses.
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah apendiks yang terinflamasi yang
terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan
manuver ini.
3. Obturator sign Dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan
endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini
menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.

9
4. Dunphy’s sign Nyeri tajam pada RLQ yang ditimbulkan setelah batuk. Dapat
membantu dalam membuat diagnosis klinis peritonisitis lokal (Craig, 2018).
C. Sistem Skoring
Diagnosis klinis apendisitis adalah suatu perkiraan subjektif dari beberapa
kemungkinan apendisitis berdasarkan beberapa variabel yang secara individual
memiliki akurasi yang lemah. Jika digunakan bersama-sama maka akanmemiliki
nilai prediksi yang tinggi. Proses ini dapat dibuat lebih objektif oleh penggunaan
sistem penilaian klinis atau sistem skoring, yang didasarkan pada variabel dengan
nilai yang terbukti dan diberi bobot yang tepat. Alvarado score adalah sistem
penilaian yang paling luas. Skoring ini sangat berguna untuk mengesampingkan
apendisitis dan pemilihan pasien untuk pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.
Appendicitis inflammatory response score menyerupai alvarado score tetapi
menggunakan variabel lebih banyak termasuk nilai CRP. Penelitian telah
menunjukkan kinerjanya lebih baik daripada alvarado score dalam memprediksi
apendisitis secara akurat. Namun, sistem penilaian ini belum mendapatkan
penerimaan luas dalam membuat diagnosis apendistis (Kasper et al., 2015).
Dalam sistem ini sejumlah variable klinis diperoleh dari pasien dan masing-
masing diberi nilai numerik. Jumlah dari nilai-nilai tersebut akan diinterpretasikan
(Craig, 2018). Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksa harus menafsirkan evaluasi
dari hasil laboratorium dalam kaitannya dengan riwayat klinis pasien dan temuan
pemeriksaan fisik. Hasil lab dapat membantu untuk mendukung hasil diagnosa
klinis, tetapi tidak dapat menggantikan pemeriksaan fisik sebagai pemeriksaan
yang lebih baik pada apendisitis (Gadiparhi dan Waseem, 2019). Hasil
laboratorium dapat membantu mengonfirmasi diagnosis apendisitis atau
menemukan penyebab lain dari nyeri di perut (Brodsky, 2013).
Berikut ini merupakan beberapa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk
menunjang diagnosis apendisitis:
1. Urinalisis
Urinalisis adalah menguji sampel urin. Sampel urin dikumpulkan dalam wadah
khusus dan dapat diuji di laboratorium untuk dianalisis. Urinalisis digunakan

10
untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih atau batu ginjal
(Brodsky, 2013). Urinalisis abnormal terjadi antara 19-40% pasien dengan
apendisitis. Abnormalitas dari urinalisis pada apendisitis termasuk piuria,
bakteriuria, dan hematuria. Piuria berat adalah temuan yang lebih umum yang
terjadi pada infeksi saluran kemih. Proteinuria dan hematuria menggambarkan
kelainan pada getitourinaria atau gangguan hemocoagulase (Petroianu, 2012;
Craig, 2018).
2. Tes Darah
Tes darah menggambarkan darah seseorang dan sampel akan dikirim ke
laboratorium untuk dianalisis. Tes darah bisa menunjukkan tanda-tanda infeksi
seperti jumlah sel darah putih yang meningkat (Brodsky, 2013). Tidak ada tes
darah spesifik untuk apendisitis. Pemeriksaan yang biasa ditemukan seperti
peningkatan jumlah sel darah putih, C-reactive protein meningkat, jumlah
granulosit, atau proporsi dari sel PMN membantu dalam mendiagnosa
apendisitis. Kombinasi CRP tinggi, sel darah putih yang meningkat, atau
neutrofilia lebih dari 75% meningkatkan sensitivitas diagnosis apendisitis
sebesar 97-100%. Jika parameter ini normal, maka kemungkinan kecil pasien
mengalami apendisitis (Craig, 2018). Jumlah leukosit pada penderita apendisitis
berkisar antara 12.000-18.000/mm3 . Peningkatan jumlah neutrophil (shift to
the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis apendisitis.
Jumlah leukosit normal jarang ditemukan pada pasien dengan apendisitis
(Warsinggih, 2010). C-reactive protein adalah reaktan fase akut yang disintesis
oleh hati sebagai respons terhadap infeksi atau peradangan dan meningkat
dengan cepat dalam 12 jam pertama. CRP telah dilaporkan bermanfaat dalam
mendiagnosis apendisitis. Kadar CRP lebih besar dari 1 mg/dl umumnya
dilaporkan pada pasien dengan apendisitis, tetapi kadar CRP yang sangat tinggi
pada pasien apendisitis menunjukkan perubahan menjadi gangren, terutama jika
dikaitkan dengan leukositosis dan neutrofilia (Craig, 2018).

11
2.8 Penatalaksanaan Apendisitis
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satusatunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi,
biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforata. Penundaan tidak bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perporasi. Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau
dengan laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi Mc.Burney paling banyak
dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya
dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi
dapat dilakukan bila dalam observasi masih dapat keraguan. Bila tersedia laparoskop,
tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan
akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidajat dkk, 2010).

2.9 Komplikasi Apendisitis


Apendisitis yang tidak diobati dapat berkembang menjadi komplikasi parah
dengan morbiditas tinggi. Perforasi adalah komplikasi apendisitis akut yang paling
serius dan dapat menyebabkan abses, peritonitis, bowel obstruction, dan sepsis.
Perforasi apendiks akan bermanifestasi sebagai salah satu dari perforasi terbuka atau
perforasi terkendali. Perforasi terbuka menyebabkan penyebaran nanah dan feses ke
dalam rongga peritoneum mengakibatkan pasien tampak sangat sakit serta
peningkatan risiko sepsis. Perforasi terkendali dapat menyebabkan abses peritoneum
atau phlegmon yang terbentuk di sekitar apendiks dan membutuhkan perawatan
antibiotik yang lama dan memungkinkan drainase (Snyder et al., 2018). Komplikasi
yang dapat terjadi pasca operasi pada laparoskopi apendektomi maupun open
apendektomi meliputi:
1. Infeksi luka, perdarahan, dan kerusakan pada struktur yang berdekatan (Duque dan
Mohney, 2019).
2. Hematoma dan apendisitis berulang dapat terjadi jika masih terdapat sisa apendiks
yang tersisa setelah operasi apendektomi (Jones et al., 2019).

12
3. Ketidaknyamanan pada perut bekas insisi, diare, hernia insisional, laparoskopi
adhesiolisis, dan kematian dapat terjadi pada operasi apendisitis (Ruffolo et al.,
2013).

2.10 Prognosis Apendisitis


Jika didiagnosis dan diobati sejak dini dalam 24 hingga 48 jam, pemulihan dan
prognosisnya biasanya sangat baik. Kasus-kasus yang disertai dengan abses lanjut,
sepsis, dan peritonitis mungkin memiliki perjalanan yang lebih lama dan rumit,
mungkin memerlukan pembedahan tambahan atau intervensi lain (Jones et al., 2019).
Tingkat kematian keseluruhan berkisar 0,2-0,8% disebabkan oleh komplikasi dari
penyakit dibanding dengan tindakan bedah. Tingkat kematian pada anak-anak
berkisar antara 0,1-1%. Pada pasien yang lebih tua dari 70 tahun, angka kematian
meningkat di atas 20%, terutama disebabkan oleh keterlambatan diagnostik dan
terapeutik (Craig, 2018).

13
DAFTAR PUSTAKA

Baird, D. L. H., Simillis, C., Kontovounisios, C., Rasheed, S. and Tekkis, P. P. 2017, Acute
appendicitis, Bmj, 357, , p.j1703.
Brunicardi, F., Andersen, D., Billiar, T., Dunn, D., Hunter, J., Matthews, J. and Pollock, R.
2015, Schwartz's Principles of Surgery, 10th ed, McGraw-Hill Education, USA.
Cobben LP, de Van Otterloo AM, Puylaert JB. 2020. Spontaneously resolving appendicitis:
frequency and natural history in 60 patients. Radiology. 215(2):349-52.
Craig, S. 2018, Appendicitis, [Online], accessed 5 Mei 2020, Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/773895-overview
D’Souza, N. & Nugent, K. 2016,. Appendicitis, Clinical Evidence Handbook, vol. 93, no.2,
pp. 148-149.
Depkes RI., 2008. Kasus Appendicitis. Diakses dari :
http://www.artikelkedokteran.com/arsip/kasus-apendisitis-di-indonesia-pada-tahun-
2008.html
Fransisca, C., Gotra, I. M. and Mahastuti, N. M. 2019, 'Karakteristik Pasien dengan
Gambaran Histopatologi Apendisitis di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2015-2017',
Jurnal Medika Udayana, vol. 8, no. 7.
Jones, M. W., Lopez, R. A. and Deppen, J. G. 2019, Appendicitis, StatPearls Publishing,
[book on- line], accessed 3 Mei 2020; Available from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/
Lubis. A., 2019. Angka Kejadian Appendicitis. Diakses dari
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/136/jtptunimus-gdl-trimuflikh6753-1-babi.pdf
Migraine S, Atri M, Bret PM, Lough JO, Hinchey JE. 2017. Spontaneously resolving acute
appendicitis: clinical and sonographic documentation. Radiology. 205(1):55-8.
Petroianu, A. 2012, 'Diagnosis of Acute Appendicitis', International Journal of Surgery, vol.
10 no. 3, pp. 115-119.
Ruffolo, C., Fiorot, A., Pagura, G., Antoniutti, M., Massani, M., Caratozzolo, E., Bonariol,
L., di Pinto, F. C. and Bassi, N. 2013, 'Acute Appendicitis: What is The Gold
Standard of Treatment?', World Journal of Gastroenterology: WJG, vol. 19, no. 47, p.
8799
Sinuhaji, Rico. 2016. Hubungan Rasio Neutrofil : Limfosit dengan Diagnosa Apendisitis
Akut di RSUPH.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W. D. 2004, Buku ajar ilmu bedah, 2nd ed, EGC, Jakarta.
Putra, C. B. N., & Suryana, S. N. 2020. Gambaran prediktor perforasi pada penderita
apendisitis di Rumah Sakit Umum Ari Canti Gianyar, Bali, Indonesia tahun
2018. Intisari Sains Medis, 11, 122-128.
Warsinggih, D. 2010, Bahan Ajar Apendisitis Akut, Nusantara Medical Science, [Online],
accessed 29 April 2020, Available at:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wpcontent/uploads/2016/10/Appendisitis
-akut.pdf
Zulfa, I. M., Ernawati, I., and Handayani, W. 2019, 'Studi Komparatif Efektivitas
Seftriakson dibanding Kombinasi Seftriakson-Metronidazole dan Sefuroksim-
Metronidazole pada Pasien Apendisitis yang Menjalani Apendiktomi', Jurnal Farmasi
Udayana, vol. 8, no. 2, pp. 104–109.

Anda mungkin juga menyukai