Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

Meningioma

PAPER

Oleh :
Endang Syuhada
21360100

Pembimbing :
dr. Aji Yudho Prabowo, Sp. BS

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM AHMAD YANI KOTA METRO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan
Paper ini dengan judul “Meningioma”. Penyelesaian Paper ini banyak bantuan dari
berbagai pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terimakasih yang sangat tulus kepada dr. Aji Yudho Prabowo, Sp. BS selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan
kesempatan untuk menyelesaikan paper ini. Penulis menyadari bahwa Paper ini
tentu tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga dan
pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan masukan dan saran yang
membangun. Semoga paper ini dapat memberikan manfaat.

Metro, September 2021

Endang Syuhada

ii
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL ................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR. ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan ....................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi ............................................................................................. 3
2.2 Faktor Resiko .................................................................................... 5
2.3 Etiologi Maningioma ......................................................................... 10
2.4 Klasifikasi .......................................................................................... 11
2.5 Manifestasi Klinis .............................................................................. 16
2.6 Diagnosis ........................................................................................... 18
2.7 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 20
2.8 Penatalaksanaan ................................................................................. 24
2.9 Prognosis ........................................................................................... 26
2.10 Diagnosis Banding ............................................................................. 27

BAB III KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Tumor otak merupakan penyebab kematian kedua setelah stroke dalam

kelompok penyakit neurologis. Diperkirakan sekitar 11.000 orang meninggal akibat

tumor otak primer setiap tahunnya di Amerika Serikat. (Mahyuddin H, 2006)

Meningioma adalah tumor otak primer yang paling sering didiagnosa yaitu

sebesar 33,8% dari seluruh tumor otak primer. Di Amerika Serikat, insiden

meningioma yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan patologi diperkirakan sebesar

97,5 per 100.000 jiwa. Namun jumlah ini diperkirakan lebih rendah dari yang

sebenarnya karena adanya sebagian meningioma yang tidak dioperasi. Sedangkan

di Inggris, insiden meningioma diperkirakan sebesar 5,3 per 100.000 jiwa dan tetap

stabil selama 12 tahun ini (Wiemels, 2010; Cea-Soriano, 2012).

Tanda trias yang khas untuk tumor intra kranial meliputi nyeri kepala,

muntah proyektil dan papil edema yang bermanifestasi pada keluhan pandangan

kabur yang dirasakan penderita. Hal itu terutama disebabkan karena adanya

obstruksi saluran cairan serebrospinal oleh desakan massa tumor. Trias tersebut

terutama muncul paling sering pada anak-anak (Bemat, 1987).

Pemeriksaan CT Scan dan MRI kepala merupakan pemeriksaan penunjang

yang sangat membantu dan handal dalam menegakkan diagnosa tumor otak.

Diagnosa pasti tumor otak, seperti halnya tumor dari organ atau jaringan lain adalah

dengan biopsi (Tse, 2002).

Meskipun umumnya meningioma bersifat jinak dan tidak memiliki banyak

variasi penyimpangan secara genetik, namun lokasi tumor dapat mengakibatkan

1
kondisi serius dan mematikan (Wiemels,2010). Lokasi meningioma dapat

menyebabkan gejala klinik yang bervariasi dan sangat menentukan prognosis serta

pilihan terapi, terutama reseksi bedah. Mayoritas meningioma ditemukan di daerah

supratentorial, umumnya di sepanjang sinus vena dural, antara lain daerah

convexity, parasagital, dan di daerah sayap sphenoid (Saraf,2010).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Meningioma

Meninges merupakan selaput atau membrane yang terdiri dari connective

tissue yang melapisi dan melindungi otak, terdiri dari tiga bagian, yaitu :

duramater, arachnoid, dan piamater.

1. Duramater

Duramater atau pachymeninx dibentuk dari jaringan ikat fibrous.

Secara konvensional duramater ini terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan

endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal merupakan lapisan

periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan

meningeal merupakan lapisan duramater yang, sering disebut dengan cranial

duramater. Terdiri dari jaringan fibrous yang padat dan kuat yang

membungkus otak dan melanjutkan diri menjadi duramater spinalis setelah

melewati foramen magnum yang berakhir sampai segmen kedua dari os

sacrum.

Pada pemisahan dua lapisan duramater ini, diantaranya terdapat sinus

duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima

darah dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju vena jugularis

interna. Dinding dari sinus- sinus ini dibatasi oleh endothelium. Pada lapisan

duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah yang berasal

dari arteri carotis interna, a.maxillaris, a. pharyngeus ascendens, a, occipitalis

dan a. vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting adalah a.meningea media

(cabang dari a.maxillaris) karena arteri ini umumnya sering pecah pada
keadaan trauma capitis.

Pada duramater terdapat banyak ujung- ujung saraf sensorik, dan peka

terhadap regangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung-saraf ini dapat

menimbulkan sakit kepala yang hebat (Lumongga F, 2008).

2. Arachnoid

Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeable halus, yang

menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater. Membran ini

dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu spatium subdurale, dan

dari piamater oleh cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid.

Cavum subarachnoid (subarachnoid space) merupakan suatu rongga/ ruangan

yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan piamater pada bagian dalam.

Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh mesothelial cell yang pipih. Pada

daerah tertentu arachnoid menonjol kedalam sinus venosus membentuk villi

arachnoidales. Agregasi villi arachnoid disebut sebagai granulations

arachnoidales. Villi arachnoidales ini berfungsi sebagai tempat perembesan

cerebrospinal fluid kedalam aliran darah. Arachnoid berhubungan dengan

piamater melalui untaian jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan dalam

cavum subarachnoid.Struktur yang berjalan dari dan keotak menuju cranium

atau foraminanya harus melalui cavum subarachnoid (Lumongga F, 2008).

3. Piamater

Lapisan piamater berhubungan erat dengan otak dan sum-sum tulang

belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus . Piamater ini merupakan lapisan

dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung yang

halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf.

4
Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir

sebagai end feet dalam piamater untuk membentuk selaput pia-glia.Selaput ini

berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-bahan yang merugikan kedalam

susunan saraf pusat. Piamater membentuk tela choroidea, atap ventriculus

tertius dan quartus, dan menyatu dengan ependyma membentuk plexus

choroideus dalam ventriculus lateralis, tertius dan quartus (Lumongga F,

2008).

Gambar 1. Potongan melintang tengkorak dan meninges (Louis,D., et al, 2007)

2.2 Faktor Resiko

2.2.1 Radiasi Ionisasi

Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti

menyebabkan tumor otak. Telah banyak penelitian yang mendukung hubungan

antara paparan radiasi dan meningioma. Salah satunya adalah penelitian yang

menunjukkan peningkatan resiko yang signifikan pada korban selamat bom atom

untuk menderita meningioma. Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat

paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan

DNA yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA.

5
Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan

resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi

radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea kapitis memperlihatkan adanya

peningkatan resiko terjadinya meningioma terutama dosis radiasi melebihi 30 Gy.

Selain itu, paparan radiasi untuk kepentingan diagnosis juga meningkatkan resiko

terjadinya meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012) yang

membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya meningioma

setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia 15 hingga 40

tahun (Calvocoressi & Claus, 2010; Claus, 2012).

Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan akibat

paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis, periode latensi yang pendek,

lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi, dan kecenderungan meningioma jenis

atipikal dan anaplastik (Calvocoressi & Claus, 2010).

2.2.2 Radiasi Telepon Genggam

Hubungan antara penggunaan telepon genggam dengan kejadian

meningioma sampai saat ini belum dapat dipastikan. Secara teori, telepon

genggam menghasilkan radiasi energi radiofrequency (RF) yang berpotensi

menimbulkan panas dan menyebabkan kerusakan jaringan, namun dari beberapa

penelitian tidak dijumpai adanya hubungan antara radiasi telepon genggam

dengan meningioma. Penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Lahkola et al

(2005) menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan insiden

meningioma, begitupun dengan penelitian metaanalisis lain yang lebih besar yaitu

penelitian INTERPHONE yang dilakukan pada 13 negara juga memberikan

laporan bahwa tidak dijumpai hubungan antara penggunaan telepon genggam dan

6
insiden meningioma (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Calvocoressi &

Claus, 2010).

2.2.3 Cedera Kepala

Sejak masa Harvey Cushing, cedera kepala merupakan salah satu resiko

terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian belum memberikan

kesimpulan yang konsisten. Salah satunya adalah penelitian kohort pada penderita

cedera kepala dan fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan

terjadinya meningioma secara signifikan. Penelitian oleh Phillips et al (2002) juga

menemukan hasil bahwa adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko

terjadinya meningioma, terutama riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun.

Resiko meningioma berdasarkan banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan

dari tingkat keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips, 2002).

2.2.4 Genetik

Beberapa penelitian telah dikhususkan untuk mencari tahu hubungan

antara resiko meningioma dan riwayat keluarga. Umumnya meningioma

merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang timbul pada pasien yang tidak

memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma

genetik turunan yang memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan

jarang. Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis

type 2 (NF2), dimana pada penderita terjadi kelainan gen autosomal dominan

yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom 22q12 (insiden

di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). NF2 merupakan gen supresor tumor pada

22Q12, ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma sporadik Selain itu, pada

meningioma sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan

7
18q atau tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q (Evans, 2005;

Smith, 2011).

Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik

dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikan DNA, regulasi

siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus

pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang terlibat dalam metabolisme

dan detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen. Namun belum dijumpai

hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen

GST atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53

juga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer, 2005;

Choy, 2011).

2.2.5 Hormon

Insiden meningioma yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan

laki-laki memicu timbulnya dugaan bahwa ada pengaruh ekspresi hormon seks.

Hormon seks diduga berperan dalam patogenesis meningioma, dengan

ditemukannya beberapa bukti seperti peningkatan pertumbuhan tumor selama

kehamilan dan perubahan ukuran selama menstruasi. Data observasional juga

menunjukkan bahwa menopause dan oophorectomy merupakan faktor proteksi

terhadap perkembangan meningioma, sedangkan adipositas berhubungan positif

dengan penyakit ini (Wahab dan Al-Azzawi, 2003). Berbagai studi menunjukkan

bahwa sebagian besar meningioma mengekspresikan reseptor hormon pada

membran sel, dengan berbagai variasi (Marosi, et. al., 2008). Jaringan meningeal

(sel arachnoid) normal sebenarnya juga mengekspresikan reseptor progesteron

dengan frekuensi yang lebih jarang dibandingkan jaringan meningioma (Leaes,

8
et.al., 2010). Studi oleh Taghipour, et.al. (2007) menunjukkan reseptor

progesteron yang positif ditemukan secara signifikan pada meningioma benigna

dan berasosiasi dengan prognosis yang lebih baik.

Pada beberapa kasus, seperti usia tua, masalah medis, letak tumor yang

sulit diakses, reseksi inkomplit, dan rekurensi, tindakan bedah saja mungkin tidak

cukup. Pada kondisi tersebut, jika pemeriksaan reseptor progesteron ditemukan

positif, sebagai tambahan terapi radioterapi, manipulasi hormonal dapat

dipertimbangkan (Taghipour, et.al., 2007). Grunberg, et.al. (2006) telah meneliti

penggunaan mifepristone, suatu antiprogesteron, pada pasien meningioma yang

tidak dapat direseksi. Regresi tumor yang bermakna secara klinis dilaporkan pada

pasien pria dan wanita premenopause. Pasien dengan indeks reseptor progesteron

tertinggi akan mendapatkan manfaat paling baik dari suatu terapi anti-

progesteron, jika terapi hormonal bekerja langsung pada reseptor progesteron

(Wolfsberger, et.al., 2004). Dari penelitiannya, Wolfsberger, et.al., (2004)

disimpulkan bahwa indeks reseptor progesteron tertinggi didapatkan pada pasien

usia di bawah 50 tahun, dengan kategori meningioma WHO grade I, jenis

meningothelial dengan indeks proliferasi sel yang rendah.

Beberapa penelitian juga menghubungkan meningioma dengan kanker

payudara. Keduanya memiliki faktor resiko yang sama, seperti jenis kelamin,

umur, induksi hormon dan variabel lain. Selain itu adanya faktor resiko seperti

hormon eksogen dan endogen, predisposisi genetik dan variasi perbaikan DNA

diduga menjadi dasar hubungan antara kanker payudara dan meningioma. Namun

hubungan langsung kedua tumor belum dapat dipastikan.

9
2.3 Etiologi

Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama

terjadinya meningioma. Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea

kapitis maupun dosis tinggi seperti pada penanganan tumor otak lain (misalnya

meduloblastoma) meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Radioterapi dosis

tinggi berhubungan dengan terjadinya meningioma dalam waktu yang relative

singkat, antara 5-10 tahun. Sementara radiasi dosis rendah membutuhkan waktu

beberapa decade sampai timbulnya meningioma. Tumor yang timbul akibat

radiasi cenderung bersifat multiple dan secara histology ganas, serta memiliki

kecenderungan yang lebih tinggi untuk timbul kembali. Trauma kepala diduga

dapat menyebabkan tumor meningens, namun sampai saat ini belum ada

penelitian lebih lanjut yang dapat membuktikan hal tersebut. Foto dental standar

bukan merupakan factor resiko (Rowland, Lewis P, ed. 2005). Namun beberapa

penelitian epidemiologi menyebutkan terjadi peningkatan insidens meningioma

pada pasien dengan riwayat foto dental (Black, Peter, et al. 2007).

Rangsangan endogen dan eksogen via hormonal memainkan peran yang

cukup penting juga dalam timbulnya tumor meningens. Estrogen dan

progesterone diduga merupakan salah satu penyebab timbulnya meningioma

karena angka prevalensi yang lebih tinggi pada wanita. Reseptor estrogen

ditemukan pada meningioma, yakni ikatan pada reseptor tipe 2 walaupun tingkat

afinitasnya terhadap estrogen tidak sekuat reseptor yang ditemukan pada kanker

payudara. Sebagai perbandingan, reseptor progesterone diekspresikan pada 80%

wanita penderita meningioma dan 40% pada pria. Lokasi ikatan dengan

progesterone lebih jarang pada meningioma yang agresif. Cara kerja reseptor-

10
reseptor ini masih belum diketahui, namun inhibitor estrogen dan progesterone

telah dicoba sebagai terapi walaupun belum ada bukti keberhasilan (Rowland,

Lewis P, ed. 2005).

Infeksi virus seperti SV-40, termasuk dalam pathogenesis meningioma,

namun data yang terkumpul hingga saat ini masih belum meyakinkan.

Meningioma diduga timbul melalui proses bertahap yang melibatkan aktivasi

onkogen dan hilangnya gen supresor tumor. Penelitian genetic molecular telah

menunjukan beberapa penyimpangan, yang paling sering adalah hilangnya 22q

pada 80% penderita meningioma sporadic. Hal ini mengakibatkan hilangnya NF-

2 gen supresor tumor yang berlokasi di 22q11 dan berkurangnya produk protein

merlin yang bertanggung jawab terhadap interaksi sel (Rowland, Lewis P, ed. 2005).

Sel yang memiliki defek pada merlin tidak dapat mengenali sel sekitarnya dan

terus menerus tumbuh. Beberapa kelainan telah dideteksi pada kromosom lain,

dan diduga beberapa onkogen dan gen supresor tumor terlibat dalam pembentukan

meningioma (Black, Peter, et al. 2007).

Beberapa factor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor, PDGF,

insulin-like growth factors, transforming growth factor I2 dan somatostatin

diekspresikan secara berlebih dan dapat merangsang pertumbuhan meningioma.

Meningioma merupakan tumor yang kaya akan pembuluh darah dan mengandung

VEGF (vascular endothelial growth factor) dalam konsentrasi yang tinggi

(Rowland, Lewis P, ed. 2005).

2.4 Klasifikasi

Meskipun pada kebanyakan kasus bersifat jinak, meningioma secara

mengejutkan memiliki karakteristik klinis yang sangat luas. Membedakannya

11
secara histologis berhubungan erat dengan resiko kejadian berulang yang tinggi.

Pada kasus yang jarang, meningioma dapat bersifat ganas (Riemenschneider,

Markus J, et al. 2006).

Klasifikasi dari WHO bertujuan untuk memprediksi perbedaan

karakteristik klinis dari meningioma dengan grading secara histologis berdasarkan

statisik korelasi klinikopatologis yang signifikan. Berdasarkan tingkat

keganasannya meningioma dibagi menjadi 3, yaitu jinak (WHO grade 1), atipikal

(WHO grade 2), dan anaplastik (WHO grade 3) (Riemenschneider, Markus J, et

al. 2006).

Tabel 1. Tipe meningioma berdasarkan pengelompokan WHO

12
Tabel 2. Kriteria grading secara histologi menurut WHO

Sekitar 80% dari seluruh meningioma merupakan tumor yang tumbuh

lambat. Variasi histologi yang paling sering terdiagnosa pada regimen patologis

adalah meningioma meningotelial, fibroblastik, dan transisional. Meningioma

meningotelial secara histologis tersusun oleh sel tumor uniform yang membentuk

lobulus dikelilingi oleh septa kolagen tipis. Di dalam lobulus, sel tumor epiteloid

memiliki dinding sel yang menyerupai sinsitium. Pada inti sel terdapat ruangan

kosong seperti tidak terisi karyoplasma dan protrusi eosinofil sitoplasma, yang

disebut juga pseudoinklusi. Meningioma fibroblastik terutama disusun oleh sel

berbentuk jarum yang menyerupai fibroblas dan membentuk fasikula saling

berpotongan yang tertanam dalam matriks yang kaya kolagen dan retikulin.

Meningioma transisional memiliki ciri-ciri gabungan dari kedua meningioma

sebelumnya dan biasanya muncul dengan gambaran seperti ulir, dimana sel tumor

saling membungkus satu sama lain membentuk lapisan konsentrik. Yang terakhir

memiliki kecenderungan untuk berhialinisasi dan berkalsifikasi membentuk

13
kalsifikasi konsentrik yang disebut badan psammoma (artinya seperti pasir

berdasarkan bentuk mereka yang seperti pasir dan kotor). Tumor yang memiliki

banyak gambaran badan psammoma disebut juga meningioma psammomatosa.

(Riemenschneider, Markus J, et al. 2006)

a. Grade I

Meningioma jinak yang tergolong dalam grade 1 WHO dapat menginvasi

duramater, sinus dura, tulang tengkorak, dan kompartmen ekstrakranial

seperti bola mata, jaringan lunak, dan kulit. Meskipun invasi ini membuat

mereka semakin sulit direseksi, mereka tidak termasuk meningioma atipikal

maupun malignan. Sebaliknya, invasi otak dihubungkan dengan angka

kekambuhan dan kematian yang hampir sama dengan meningioma atipikal

secara umum, meskipun tumor nampak jinak. Meskipun lebih banyak terjadi

pada meningioma tipe baru, invasi otak belum dihubungkan dengan

perubahan genetik tertentu, namun telah dilaporkan terjadi pada tumor tanpa

ketidakseimbangan kromosom yang jelas. (Riemenschneider, Markus J, et al.

2006)

b. Grade II

Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh

lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan mempunyai angka kekambuhan

yang lebih tinggi juga, Dengan demikian, meningioma tipe ini digolongkan

dalam grade 2 WHO berdasarkan definisinya. Meningioma clear-cell disusun

oleh lembaran sel poligonal dengan sitoplasma jernih kaya glikogen, positif

untuk asam periodat Schiff, dan perivaskular yang padat serta kolagenisasi

interstisial. Meningioma kordoid memiliki daerah yang secara histologi mirip

14
dengan kordoma, dengan untaian sel-sel tumor epiteloid kecil yang

mengandung sitoplasma eosinofilik atau bervakuola yang tertanam dalam

matrix basofilik kaya musin. Meningioma clear-cell sering timbul pada

medula spinalis dan fossa posterior, sementara meningioma kordoid lebih

sering pada daerah supratentorial. Meskipun fitur genetik yang berkaitan

dengan meningioma clear-cell masih belum diketahui, suatu translokasi yang

tidak seimbang pada der(1)t(1;3)(p12-13;q11) diduga sebagai penanda

sitogenetik spesifik untuk tipe kordoid. Namun, penemuan ini masih harus

dibuktikan karena target gen dari translokasi tersebut masih belum diketahui.

(Riemenschneider, Markus J, et al. 2006)

c. Grade III

Meningioma anaplastik (grade 3 WHO) terhitung sebanyak 1-3% kasus dari

keseluruhan kasus meningioma. Tumor ini memiliki karakteristik klinik

serupa dengan neoplasma ganas lainnya, yang dapat menginfiltrasi jaringan

sekitarnya secara luas dan membentuk deposit metastasis. Meningioma

anaplastik dikaitkan dengan angka kekambuhan sekitar 50-80% setelah

tindakan reseksi secara bedah dan nilai median harapan hidup kurang dari 2

tahun. Secara histologis, meningioma anaplastik memiliki gambaran

keganasan dengan index mitosis sebesar 20 atau lebih mitosis per 10 lapang

pandang mikroskopis. Beberapa meningioma anaplastik sulit dikenali sebagai

neoplasma meningotelial karena mereka dapat menyerupai sarkoma,

karsinoma atau bahkan melanoma. Meningioma anaplastik biasanya memiliki

daerah nekrosis yang amat luas. Meskipun demikian, embolisasi terapeutik

(iatrogenik) harus dikecualikan sebagai penjelasan alternatif sebelum

15
dilakukan penilaian. (Riemenschneider, Markus J, et al. 2006)

Beberapa tipe meningioma secara konsisten dikaitkan dengan perilaku ganas

dan karena itu sesuai dengan grade 3 WHO. Meningioma papiler, yang

biasanya menyerang anak-anak, menunjukan invasi ke otak dan jaringan lokal

pada 75% pasien, kekambuhan sekitar 55%, dan metastasi pada 20% pasien.

Meningioma papiler secara histologi dikenal dari pertumbuhan diskohesif,

yang menghasilkan bentuk perivaskuler pseudopapiler dan struktur yang

menyerupai pseudorosette yang mirip dengan gambaran ependimoma.

Meningioma agresif lainnya adalah meningioma rabdoid, yang mengandung

sel rabdoid dengan banyak sitoplasma eosinofilik, nukleus yang terletak

eksentris, dan inklusi paranuklear yang secara ultrastruktur sesuai dengan

bundel ulir dari filamen intermediat. Gambaran rabdoid dan papiler keduanya

dapat terlihat sebagai perubahan yang berprogresi, karena keduanya biasanya

timbul pertama kali pada saat kambuh dan meningkat seiring perjalanan

waktu. (Riemenschneider, Markus J, et al. 2006)

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala umum yang terjadi disebabkan karena gangguan fungsi serebral

akibat edema otak dan tekanan intrakranial yang meningkat. Gejala spesifik

terjadi akibat destruksi dan kompresi jaringan saraf, bisa berupa nyeri kepala,

muntah, kejang, penurunan kesadaran, gangguan mental, gangguan visual dan

sebagainya. Edema papil dan defisit neurologis lain biasanya ditemukan pada

stadium yang lebih lanjut.

R AAF dkk, mendapatkan gejala klinis lain yang paling sering adalah

berturut-turut sebagai berikut : kejang-kejang (48%), gangguan visus (29%),

16
gangguan mental (13%) dan gangguan fokal (10%)

Timbulnya gejala-gejala ini tergantung pada letak tumor dan tingginya

tekanan intrakranial. Gejala-gejala bermacam-macam sesuai dengan fungsi

jaringan otak yang ditekan atau dirusak, dapat perlahan-lahan atau cepat. Menurut

Leaven, gangguan fungsi otak ini penting untuk diagnosa dini. (Fauziyah, B.,

Widjaja, D, 1979)

Tabel 3. Gejala spesifik berdasarkan lokasi tumor


Lokasi Tumor Gejala
Meningioma falx dan parasagital nyeri tungkai
Meningioma Convexitas kejang, sakit kepala, defisit neurologis
fokal, perubahan status mental
Meningioma Sphenoid kurangnya sensibilitas wajah, gangguan
lapangan pandang, kebutaan, dan
penglihatan ganda
Meningioma Olfaktorius kurangnya kepekaan penciuman, masalah
visus.
Meningioma fossa posterior nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan
spasme otot-otot wajah, berkurangnya
pendengaran, gangguan menelan,
gangguan gaya berjalan,
Meningioma suprasellar pembengkakan diskus optikus, masalah
visus
Spinal meningiom nyeri punggung, nyeri dada dan lengan
Meningioma Intraorbital penurunan visus, penonjolan bola mata

Meningioma Intraventrikular perubahan mental, sakit kepala, pusing

17
Gambar 5. Gejala umum dari meningioma

2.6 Diagnosis

Meningioma mudah divisualisasikan dengan CT kontras, MRI dengan

gadolinium, angiografi serta histopatologi. Hal ini dihubungkan dengan fakta

bahwa meningioma ekstra-aksial dan vaskuler. CSF protein biasanya meningkat

jika pungsi lumbal dilakukan. Tidak terdapat tes laboratorium khusus untuk

meningioma.

18
Meskipun mayoritas meningioma bersifat jinak, mereka dapat memiliki

presentasi ganas. Klasifikasi meningioma didasarkan pada sistem klasifikasi

WHO :

• Jinak (kelas I) - (90%) - meningothelial, berserat, transisi, psammomatous,

angioblastic (paling agresif)

• Atipikal (Grade II) - (7%) - chordoid, sel jernih, atipikal (termasuk invasi otak)

• Anaplastik / ganas (III Grade) - (2%) - papiler, rhabdoid, anaplastik

Dalam review retrospektif terbaru dari kasus meningioma atipikal dan

anaplastik, kelangsungan hidup secara keseluruhan rata-rata untuk meningioma

atipikal ditemukan menjadi 11,9 tahun dan 3,3 tahun untuk meningioma

anaplastik. Kelangsungan hidup bebas untuk meningioma atipikal adalah 11,5

tahun dan 2,7 tahun untuk meningioma anaplastik.

Meningioma Anaplastik maligna adalah tumor ganas terutama dengan

perilaku agresif. Bahkan jika oleh aturan umum neoplasma sistem saraf (tumor

otak) tidak dapat bermetastasis ke dalam tubuh (karena adanya sawar darah otak)

Meningioma Anaplastik bisa meskipun mereka berada di dalam rongga otak,

mereka berada di bloodside dari BBB, karena meningioma cenderung untuk

"menghubungkan" diri untuk bloodvessels untuk "feed". Sel kanker dapat

melarikan diri ke dalam aliran darah. Inilah sebabnya mengapa meningioma

ketika mereka bermetastasis sering berubah di sekitar paru-paru. Perlu dicatat

bahwa meningioma Anaplastik dan hemangiopericytoma sulit untuk

membedakan (bahkan dengan cara patologis), karena mereka terlihat serupa,

terutama jika kejadian pertama adalah tumor meningeal, dan keduanya tumor

terjadi di tempat yang sama (jenis yang sama dari jaringan). (Louis,D., et al, 2007)

19
2.7 Pemeriksaan Penunjang

Dalam mendiagnosis suatu tumor otak, selain klinis, peranan radiologi

sangat besar. Dahulu angiografi, kemudian CT Scandan terakhir MRI; terutama

untuk tumor-tumor di daerah fossa posterior, karena CT Scansukar mendiagnosis

tumor otak akibat banyaknya artefak, sekalipun dengan kontras. Dengan MRI

suatu tumor dapat dengan jelas tervisualisasi melalui di potongan 3 dimensi,

sehingga memudahkan ahli bedah saraf untuk dapat menentukan teknik operasi

atau menentukan tumor tersebut tidak dapat dioperasi mengingat

risiko/komplikasi yang akan timbul.

1. Foto polos
Hiperostosis adalah salah satu gambaran mayor dari meningioma pada foto

polos. Di indikasikan untuk tumor pada mening. Tampak erosi tulang dan

dekstruksi sinus sphenoidales, kalsifikasi dan lesi litik pada tulang tengkorak.

Pembesaran pembuluh darah mening menggambarkan dilatasi arteri meningea

yang mensuplai darah ke tumor. Kalsifikasi terdapat pada 20-25% kasus dapat

bersifat fokal maupun difus. (L E. Claveria, D. Sutton, and B. M. Tress, British

Journal of Radiology, 50, 15-22).

2. CT scan
Meningioma mempunyai gambaran yang agak khas tetapi tidak cukup spesifik

apabila diagnosis tanpa dilengkapi pemeriksaan angiografi dan eksplorasi

bedah. Angiografi penting untuk menentukan suplai pembuluh darah ke

meningiomanya dan untuk menilai efek di sekitar struktur arteri dan venanya.

20
Gambar 6. Meningioma otak. CT-scan nonkontras menunjukkan meningioma fossa media.

Massa kalsifikasi melekat pada anterior tulang petrous kanan. Terlihat kalsifikasi berbentuk

cincin dan punctata. Tidak terlihat adanya edema.

• CT tanpa kontras

Kebanyakan meningioma memperlihatkan lesi hiperdens yang

homogen atau berbintik-bintik, bentuknya reguler dan berbatas tegas.

Bagian yang hiperdens dapat memperlihatkan gambaran psammomatous

calcifications. Kadang-kadang meningioma memperlihatkan komponen

hipodens yang prominen apabila disertai dengan komponen kistik,

nekrosis, degenerasi lipomatous atau rongga-rongga.Sepertiga dari

meningioma memperlihatkan gambaran isodens yang biasanya dapat

dilihat berbeda dari jaringan parenkim di sekitarnya dan, hampir semua

lesi-lesi isodens ini menyebabkan efek masa yang bermakna.

• CT dengan kontras :

Semua meningioma memperlihatkan enhancement kontras yang

nyata kecuali lesi-lesi dengan perkapuran. Pola enhancement biasanya

homogen tajam (intense) dan berbatas tegas. Duramater yang berlanjut ke

21
lesinya biasanya tebal, tanda yang relatif spesifik karena bisa tampak juga

pada glioma dan metastasis.

Di sekitar lesi yang menunjukkan enhancement, bisa disertai gambaran

hypodense semilunar collar atau berbentuk cincin. Meningioma sering

menunjukkan enhancement heterogen yang kompleks

Gambar 7. CT scan tanpa kontras (kiri) dan dengan kontras (kanan)

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Melalui MRI, suatu jaringan menunjukkan sifat-sifat karakteristik tertentu

pada gambar Tl dan T2 maupun protondensity. Intensitas jaringan tersebut

biasanya berbeda pada gambar Tl dan T2, kecuali lemak, darah segar,

kalsifikasi, maupun peredaran darah yang cepat. Dengan melihat gambar Tl

maupun T2 dapat ditentukan karakteristik suatu tumor apakah tumor tersebut

padat, kistik, ada perdarahan, kalsifikasi, nekrosis maupun lemak dan lain-

lain. Intensitas jaringan tersebut mulai dari hipo, iso dan hiper intensitas

terlihat jelas pada T1 dan T2.

22
Gambar 8. MRI T1WI(kiri), T2WI(tengah) dan dengan kontras (kanan)

4. Angiografi

Kelainan pembuluh darah yang paling khas pada meningioma adalah adanya

pembuluh darah yang memberi darah pada neoplasma oleh cabang-cabang

arteri sistim karotis eksterna. Bila mendapatkan arteri karotis ekstema yang

memberi darah ke tumor yang letaknya intrakranial maka ini mungkin sekali

neningioma.

Umumnya meningioma merupakan tumor vascular. Arteri dan kapiler

memperlihatkan gambaran vascular yang homogen dan prominen yang

disebut dengan mother and law phenomenon.

A B C

23
Gambar 6. Cerebralangiogram dari meningiomasulkus olfaktorius penciuman menunjukkan
perpindahan dar iarteri serebral anterior (a,b) dan karakteristik tumor memerah, biasanya
karena pasokan arteri karotid eksternal (c).

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningioma tergantung dari lokasi dan ukuran tumor itu

sendiri. Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan

pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi operasi removal massa tumor ini

antara lain lokasi tumor, ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh

terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat operasi sebelumnya dan atau

radioterapi.

Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya berubah berdasarkan faktor

risiko, pola, dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya mengangkat

seluruh tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang untuk

menurunkan kejadian rekurensi (Schiff, D., O’Neill, B.P., 2005). Tumor rekurens

dan harapan hidup setelah pembedahan tergantung pada tingkat reseksi dan grade

histologi dari tumor. Kekomplitan pengangkatan tumor adalah secara frekuen

digolongkan menurut Simpson scale, yang berkorelasi dengan tingkat recurans

setelah 10 tahun (Schiff, D., O’Neill, B.P., 2005).

Tabel 4. Simpson Grading Scale

Simpson Completeness of Resection 10-year


Grade Recurrence

Grade I complete removal including resection of underlying bone 9%


and associated dura
Grade II complete removal + coagulation of dural attachment 19%

Grade III complete removal w/o resection of dura or coagulation 29%

Grade IV subtotal resection 40%

24
• Radiasi
Beberapa tumor dapat dianggap dioperasi karena lokasi mereka di dekat

area otak yang mengontrol fungsi-fungsi vital seperti pernapasan atau intelek.

Beberapa meningioma ganas tumbuh kembali setelah operasi pengangkatan.

Dalam kasus ini, radiasi dapat digunakan untuk merusak DNA dalam sel membuat

mereka tidak mampu untuk membagi dan bereproduksi. Tujuan dari pengobatan

radiasi adalah untuk memaksimalkan dosis untuk sel tumor yang abnormal dan

meminimalkan paparan sel-sel sehat yang normal. Manfaat radiasi tidak langsung

tetapi terjadi dari waktu ke waktu. Secara bertahap, tumor akan berhenti tumbuh,

menyusut, dan dalam beberapa kasus, benar-benar hilang. Ada dua cara untuk

memberikan radiasi: beberapa dosis rendah (radioterapi) atau dosis tinggi tunggal

(radiosurgery).

• Terapi Medis

Interferon saat ini sedang diteliti sebagai inhibitor angiogenesis. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menghentikan pertumbuhan pembuluh darah yang

mensuplai tumor. Interferon dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami

kekambuhan dan meningioma maligna. Hidroxyurea dan obat-obat kemoterapi

lain diyakini dapat memulai proses kematian sel atau apoptosis pada sebagian

meningioma. Namun pada uji coba klinis, obat ini dianggap gagal karena

meningioma bersifat kemoresisten. Inhibitor dari receptor progesteron seperti

RU-486 juga sedang dievaluasi sebagai pengobatan untuk meningioma. Namun

percobaan klinik terbaru, RU-486 tidak menunjukan perbaikan apapun. Begitu

juga dengan terapi antiestrogen yang tidak menunjukan perbaikan nyata ssecara

klinis pada percobaan. Beberapa agen molekular seperti penghambat receptor

25
faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth Factor Receptor / EGFR),

inhibitor receptor faktor pertumbuhan derivat platelet (Platelet Derived Growth

Factor Receptor / PDGFR), dan penghambat tirosin kinase masih diuji coba secara

klinis. Kebanyakan uji coba ini terbuka untuk pasien dengan meningioma yang

tidak dapat dioperasi atau yang mengalami kekambuhan (Louis,D., et al, 2007).

Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengontrol edema sekitar tumor namun

tidak dapat digunakan dalam jangka panjang karena efek sampingnya yang

merugikan (Mardjono M, Sidharta P.,2003).

Tergantung pada lokasi dari tumor, gejala yang ditimbulkan, dan

keinginan pasien, beberapa meningioma dapat ditunggu dan dipantau secara hati-

hati dan teliti (Louis,D., et al, 2007).

2.9 Prognosis
Pada umumnya prognosa meningioma adalah baik, karena pengangkatan

tumor yang sempurna akan memberikan penyembuhan yang permanen. Pada

orang dewasa kelangsungan hidupnya relatif lebih tinggi dibandingkan pada anak-

anak, dilaporkan kelangsungan hidup rate lima tahun adalah 75%. Pada anak-anak

lebih agresif, perubahan menjadi keganasan lebih besar dan tumor dapat menjadi

sangat besar. Pada penyelidikan pengarang-pengarang barat lebih dari 10%

meningioma akan mengalami keganasan dan kekambuhannya tinggi.

Angka kematian (mortalitas) meningioma sebelum operasi jarang

dilaporkan, dengan kemajuan teknik dan pengalaman operasi para ahli bedah

maka angka kematian post operasi makin kecil. Diperkirakan angka kematian post

operasi selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan (1957–1966) adalah

8,5%. Sebab-sebab kematian menurut laporan-laporan yang terdahulu yaitu

26
perdarahan dan edema otak (Schiff, D., O’Neill, B.P., 2005, Louis,D., et al, 2007).

2.10 Diagnosis Banding


1. Abses otak
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang

terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam

variasi bakteri, fungus, dan protozoa. Gejala klinis abses otak terdiri dari sakit

kepala, muntah- muntah, kejang-kejang,pusing, vertigo, ataxia.

Dari gambaran CT Scan didapati pada hari pertama terlihat daerah yang

hipodens dengan sebagian gambaran seperti cincin, pada hari ketiga gambaran

cincin lebih jelas sesuai dengan diameter serebritisnya, didapati mengelilingi

pusat nekrosis.

Brain abscess. Axial T2-weighted MRI in a patient with a right frontal abscess. Note
the mass effect and surrounding edema. The wall of the abscess is relatively thin
(black arrows).

2. Epidural Hematoma

Merupakan perdarahan yang terletak di permukaan dalam kalvari di

luar dari durameter. Dengan gejala klinis yang dijumpai yaitu sakit

kepala,muntah-muntah, kejang-kejang, penderita akan merasa kebingungan

dan berbicara kacau.

27
Gambaran radiologisnya pada CT Scan tampak area hiperdens yang

tidak selalu homogen, bentuknya bikonveks sampai planoconveks, melekat

pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontra lateral.

3. Meningitis

Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada selaput meningen yang

disebabkan oleh virus, bakteri, dan jamur. Gelaja klinis dari meningitis adalah

sakit kepala, demam, kaku kuduk, mual, muntah, dan tampak seperti

kebingungan. Untuk menegakkan diagnosis dari meningitis ditegakkan

berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang

didapatkan dengan punksi lumbal.

Gambar :Watershed and lacunar infarcts in a patient with bacterial meningitis. This

axial computed tomography scan shows a left frontoparietal watershed infarct, a right

basal ganglia lacunar infarct, and a bilateral subdural effusion

28
BAB III

KESIMPULAN

Meningioma adalah tumor pada meningens, yang merupakan selaput pelindung

yang melindungi otak dan medulla spinalis. Hingga saat ini diyakini radioterapi

merupakan factor resiko utama terjadinya meningioma. Selain itu rangsangan endogen

dan eksogen via hormonal memainkan peran yang cukup penting juga dalam timbulnya

tumor meningens. Estrogen dan progesterone diduga merupakan salah satu penyebab

timbulnya meningioma karena angka prevalensi yang lebih tinggi pada wanita.

Meningioma diduga timbul melalui proses bertahap yang melibatkan aktivasi onkogen

dan hilangnya gen supresor tumor. Beberapa factor pertumbuhan, termasuk epidermal

growth factor, PDGF, insulin-like growth factors, transforming growth factor I2 dan

somatostatin diekspresikan secara berlebih dan dapat merangsang pertumbuhan

meningioma.

Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan dapat

menimbulkan manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian otak yang

terganggu dan berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Gejala umum yang

sering muncul meliputi kejang, nyeri kepala hebat, perubahan kepribadian dan gangguan

ingatan, mual dan muntah, serta penglihatan kabur.

Diagnosis dari meningioma dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien

dan gambaran radiologis. Meskipun demikian, diagnosis pasti serta grading dari

meningioma hanya dapat dipastikan melalui biopsi dan pemeriksaan histologi.

Penanganan pasien dengan meningioma tergantung pada beberapa faktor,

meliputi tanda dan gejala yang dikeluhkan pasien, umur pasien, serta lokasi dan ukuran

dari tumor. Sampai saat ini penatalaksanaan utama adalah dengan pembedahan. Namun

29
dapat digunakan radioterapi sebagai terapi primer jika tumor tidak dapat dicapai melalui

pembedahan atau ada kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Mahyuddin, H., Setiawan, A.B., 2006. Karakteristik Tumor Infratentorial dan

Tatalaksana Operasi di Departmen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran UI/RSUPN

Cipto Mangunkusmo Tahun 2001-2005, Universitas Indonesia.

Wiemels J, Wrensch M, Claus E. 2010. Epidemiology and etiology of meningioma. J

Neurooncol 99: 301-314.

Bemat JL, Vincent FM. 1987. Back and Neck pain in : Neurology. Medical Economics

Company Inc, United States of America.

Tse VC, Lin A. 2002. Metastatic Disease to The Brain. eMedicine Journal 3(1).

Saraf S et al. 2011. Update on Meningiomas. The Oncologist. 16: 1604-13.

Lumongga F. Meninges dan cerebrospinal fluid, USU Repository, 2008.

Barnholtz-Sloan, J.S., Kruchko, C., 2007. Meningiomas: causes and risk factors.

Neurosurg Focus 23 (4): E2.

Calvocoressi, L., Claus, E.B., 2010. Epidemiology and Natural History of Meningioma.

In: Pamir, M.N., Black, P.M., Fahlbusch, R., eds. Meningiomas: A

comprehensive text. New York: Saunders Elsevier, 61-77

Choy, W., Kim, W., Nagasawa, D., Stramotas, S., Yew, A., Gopen, Q., et al, 2011. The

molecular genetics and tumor pathogenesis of meningiomas and the future

directions of meningioma treatments. Neurosurg Focus, 30 (5): E6

Claus, E.B., Calvocoressi, L., Bondy, M.L., Schildkraut, J.M., Wiemels, J.L., Wrensch,

M., 2012. Dental x-rays and risk of meningioma. Cancer 118 (18): 4530-7.

Evans, D.G.R., Watson, C., King, A., Wallace, A.J., Baser, M.E., 2005. Multiple

meningiomas: differential involvement of the NF2 gene in children and adults. J

Med Genet 42: 45-8.


Lai, R., Crevier, L., Thabane, L., 2005. Genetic polymorphisms of Glutathione

STransferases and the risk of adult brain tumors: A meta-analysis. Cancer

epidemiol biomarkers prev 14 (7): 1784-90.

Malmer, B., Feychting, M., Lonn, S., Ahlbom, A., Henriksson, R., 2005. p53 genotypes

and risk of glioma and meningioma. Cancer epidemiol biomarkers prev 14 (9):

2220-3.

Marosi C, Hassier M, Roessler K., 2008. Meningioma. Crit Rev Oncology Hematology.

67(2):153-71

Wahab M, Al-Azzawi F. 2003. Meningioma and hormonal influences. Climacteric.

6(4):285-292.

Smith, M.J., Higgs, J.E., Bowers, N.L., Halliday, D., Paterson, J., Gillespie, J., et al,

2011. Cranial meningiomas in 411 NF2 patients with proven gene mutations:

Clear positional effect of mutations, but absence of female severity effect on age

at onset. Journal of Medical Genetics 48: 1-22.

Taghipour, M., Rakei, S.M., Monabati, A., Nahavandi-Nejad, M., 2007. The role of

estrogen and progesterone receptors in grading of the malignancy of menigioma.

IRCMJ 9 (1): 17-21.

Taghipour, M., Rakei, S.M., Monabati, A., Nahavandi-Nejad, M., 2007. The role of

estrogen and progesterone receptors in grading of the malignancy of menigioma.

IRCMJ 9 (1): 17-21.

Riemenschneider, Markus J, et al. 2006. Histological Classification and Molecular

Genetics of Meningiomas. The Lancet Neurology. December vol 5 p. 1045-1054.

Mardjono M, Sidharta P. Dalam: Neurologi klinis dasar. : Fakultas Kedokteran

Universtas Indonesia; 2003. Hal 393-4.


Schiff, D., O’Neill, B.P., Primary Meningeal Neoplasma In: Principles of Neuro-

Oncology, McGraw-Hill, New York, 2005; 369.

Louis,D., et al, Meningeal tumours in: WHO Classification of Tumor of The Central

Nervous System, International Agency for Research on Cancer, 4th ed, Lyon,

2007; 164,167-169.

Fauziyah, B., Widjaja, D. Meningioma Intrakranial, Cermin Dunia Kedokteran No. 16,

1979 hal. 37,42.

L E. Claveria, D. Sutton, and B. M. Tress. The radiological diagnosis of meningiomas,

the impact of EMI scanning, British Journal of Radiology, 50, 15-22

Hakim, A.2005. Abses Otak.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15591/1/mkn-des2005-

%20%289%29.pdf

Malueka, R. Radiologik Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press.2008. 144-

145

Anda mungkin juga menyukai