Anda di halaman 1dari 34

DRUG DEVELOPMENT & CLINICAL TRIALS

Diajukan untuk memenuhi tugas kuliah

Farmasi Industri

Oleh:

SOPIAH GUNAWAN 260112170512

ABDUL KAHAR UMAR 260112170530

HATIMAH INAYATI HAPIDIN 260112170532

ADIL PRAWIRA BUDIMAN 2600110170542

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2


A. DRUG DEVELOPMENT................................................................................ 3
B. PRA KLINIS.................................................................................................... 6
C. UJI KLINIS.................................................................................................... 12
D. DEFINIS UJI KLINIS ................................................................................... 16
E. ETIKA UJI KLINIK ...................................................................................... 18
F. GOOD CLINICAL PRACTICE .................................................................... 22
G. CARA UJI KLINIK YANG BAIK (CUKB) ................................................. 22
H. POSTMARKETING SERVEILLANCE ....................................................... 24
I. PHARMACOVIGULANCE ......................................................................... 27

2
A. DRUG DEVELOPMENT

Obat adalah benda atau zat yang dapat digunakan untuk merawat penyakit,
membebaskan gejala, atau mengubah proses kimia dalam tubuh.

Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan
badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau
memperindah badan atau bagian badan manusia termasuk obat tradisional
(Lipinski,2001).

Penggolongan obat berdasarkan asal muasalnya ada tiga yaitu obat yang
berasal dari Alam (tumbuhan, hewan, dan mineral), Semi sintetis, dan Sintetis.
Sedangkan berdasarkan cara pemakaiannya, obat dibagi menjadi dua golongan
yaitu obat untuk pemakaian dalam (diminum lewat mulut) dan obat untuk
pemakaian luar (obat dioleskan, ditaburkan atau disuntikan). Selain itu, berdasarkan
bentuk sediaannya, obat dibagi ke dalam tiga bentuk yaitu Padat (serbuk, tablet,
kapsul, pil), Semi Padat (salep, krim, pasta, lotion), dan Cair (solutio, potio,
suspensi, emulsi). Sedangkan berdasarkan Undang-Undang, ada yang disebut Obat
Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Keras, dan Narkotika.Salah satu ciri khusus
industri farmasi dibandingkan dengan industri yang lain adalah besarnya biaya yang
dikeluarkan keperluan research, terutama terkait dengan upaya untuk menemukan
obat baru, baik NCE (New Chemical Entities) maupun NBE (New Biological
Entities). Dari data yang dilansir oleh IFPMA (International Federation of
Pharmaceutical Manufacturers & Associations) tahun 2012, menyebutkan bahwa
industri farmasi dan bioteknologi menduduki peringkat pertama dalam hal
membelanjakan uangnya untuk keperluan R&D (research and development) di
antara seluruh sektor industry (Michelini et al, 2010).

Dilahirkan oleh ilmu kimia tetapi perkembangannya banyak dipengaruhi


oleh ilmu farmakologi, penelitian obat memiliki kontribusi yang sangat besar

3
terhadap perkembangan pengobatan dalam satu abad terakhir. Penelitian obat
seperti yang kita kenal saat ini dimulai ketika ilmu kimia mencapai tahap
kematangan dalam prinsip dan metode yang diaplikasikan untuk mengatasi masalah
diluar ilmu itu sendiri, dan ketika farmakologi berkembang suatu disiplin ilmu
sendiri.

Penelitian obat meliputi beberapa disiplin ilmu yang berbeda untuk


mencapai satu tujuan yaitu pengembangan suatu metode terapi yang baru.
Penelitian obat secara fungsional dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap penemuan
dan pengembangan obat.

Industri farmasi merupakan salah satu industri farmasi yang


mengalokasikan dana yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan. Dari
data IMS Health World Review tahun 2004, industri farmasi membelanjakan tidak
kurang dari US$ 100 Miliar per tahun untuk penelitian dan pengembangan. Dana
terbesar terutama digunakan untuk uji klinik yaitu sekatar 40%.

Pengembangan dan penemuan obat baru diperlukan untuk menjawab


tantangan pelayanan kesehatan, baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif. Obat modern dikembangkan melalui proses yang panjang
serta memakan biaya yang tinggi, dan setiap tahun puluhan bahkan ratusan obat
baru masuk ke pasar obat dunia. Dan ini akan terus berlanjut.Secara umum, efikasi
atau kemanjuran dan keamanan (safety ) adalah 2 parameter utama untuk penilaian
obat. Ketika metode penelitian dan bioetika belum terlalu berkembang, penelitian
penemuan dan pengembangan obat dilakukan secara trial and error. Saat ini uji
klinik menjadi conditio sine qua non bagi pengembangan obat, meskipun ada juga
perkecualian yang terpaksa dilaksanakan (Yang et al,2009).

Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari berbagai
sumber yaitu dari tanaman (glikosida jantung untuk mengobati lemah jantung),
jaringan hewan (heparin untuk mencegah pembekuan darah), kultur mikroba
(penisilin G sebagai antibiotic pertama), urin manusia (choriogonadotropin) dan
dengan teknik bioteknologi dihasilkan human insulin untuk menangani penyakit
diabetes. Dengan mempelajari hubungan struktur obat dan aktivitasnya maka

4
pencarian zat baru lebih terarah dan memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal
dan farmakologi molekular.

Proses penemuan obat baru merupakan langkah yang sangat panjang dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan pengembangan
suatu obat dibagi menjadi beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Sintesis dan screening molekul

2. Studi pada hewan percobaan

3. Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers)

4. Studi pada manusia yang sakit (pasien)

5. Studi pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar

6. Studi lanjutan (post marketing surveillance)

Sintesis dan screening molekul, merupakan tahap awal dari rangkaian


penemuan suatu obat. Pada tahap ini berbagai molekul atau senyawa yang
berpotensi sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan direkayasa untuk
mendapatkan senyawa atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena penelitian
obat biasanya ditargetkan untuk suatu daerah tertapetik yang khas, potensi relatif
pada produk saingan dan bentuk sediaan untuk manusia bias diketahui. Serupa
dengan hal tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul
tersebut sebagai hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut (Zanders,2002).

Setelah disintesis, suatu senyawa melalui proses screening, yang melibatkan


pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang berbeda (biasanya
3 jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan adanya efek senyawa
kimia yang menguntungkan. Meskipun ada faktor lucky (kebetulan) dalam upaya
ini, umumnya pendekatannya cukup terkontrol berdasarkan struktur senyawa yang
telah diketahui. Pada tahap ini sering kali dilakukan pengujian yang melibatkan
teratogenitas, mutagenesis dan karsinogenitas, di samping pemeriksaan LD50,
toksisitas akut dan kronik. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon
obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil

5
farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji
praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi
atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh.
Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata. Hewan-hewan
ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan menggunakan
hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis
pengobatan atau tidak.

Setelah diperoleh bahan calon obat, maka selanjutnya calon obat tersebut
akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang
tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh Badan pemberi izin. Biaya yang
diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia sampai diperoleh obat
baru lebih kurang US$ 500 juta per obat. Uji yang harus ditempuh oleh calon obat
adalah uji praklinik dan uji klinik (Morgan et al, 2011).

Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga


menyembuhkan penyakit serta jika mungkin mencegah timbulnya penyakit. Dalam
prinsip dasar ini tercakup pula ketentuan bahwa manfaat klinik obat yang diberikan
harus melebihi risiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan pemakaiannya.
Untuk dapat menilai secara objektif manfaat dan keamanan suatu obat diperlukan
pengetahuan mengenai metodologi uji klinik dan praklinik, yaitu suatu perangkat
metodologi ilmiah untuk menilai manfaat klinik suatu obat atau perlakuan terapetik
tertentu dengan memperhatikan faktor- faktor yang dapat memberikan pengaruh
yang tidak dikehendaki baik individual maupun populasi.

B. PRA KLINIS

Produk farmasi harus menjalani serangkaian studi toksikologi praklinis


untuk memberikan informasi mengenai keamanan calon obat baru sebelum
memulai uji klinis pada manusia, dan sebelum persetujuan obat di pasar (Denny
and Stewarty, 2013).

6
Pengembangan praklinis terdiri dari kegiatan yang diperlukan yang harus
diselesaikan untuk menyelidiki entitas kimia baru (NCE) pada manusia (Boersen et
al, 2013). Pengembangan praklinis dimulai sebelum uji klinis dan tujuan utamanya
adalah untuk menentukan keamanan dan efektivitas intervensi. Penelitian dapat
mencakup farmakodinamik, farmakokinetik, absorpsi, distribusi, metabolisme dan
studi ekskresi, dan pengujian toksisitas (Mahan, 2014). Untuk memprediksi dosis
klinis yang akurat dan mengurangi efek samping toksikologi (Boersen et al, 2013).
Selama studi praklinis, pengujian in vitro dan in vivo dilakukan. Toksisitas meliputi
penelitian organ mana yang ditargetkan dan efek karsinogenik jangka panjang atau
efek pada reproduksi mamalia. Dua spesies hewan biasanya digunakan dalam studi
pengembangan obat (Mahan, 2014).

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari potensi bahan untuk


menghasilkan satu atau lebih efek merusak pada organisme. Banyak bahan telah
meningkatkan kualitas hidup manusia dengan meningkatkan kesehatan dan
kebersihan. Namun, beberapa zat mampu menghasilkan efek buruk pada manusia
dan hewan yang terpapar. Kerentanan individu dan spesies, rute paparan, dosis, dan
durasi paparan dapat mempengaruhi keberadaan atau tingkat keparahan efek (Sass,
2002). Studi toksikologi biasanya dilakukan setelah karakterisasi fisikokimia dasar
dan profil farmakokinetik diselesaikan (Boersen et al, 2013)

Prinsip 3R, yaitu, untuk reduce, refine and replace, telah diterima secara
luas sebagai kerangka etis untuk melakukan percobaan pada hewan untuk tujuan
penelitian. Menanggapi hal ini, banyak metode in vitro dan in silico telah diadopsi
untuk mengurangi penggunaan hewan untuk percobaan dalam beberapa dekade
terakhir (Chavan et al, 2015).

Untuk pemilihan binatang percobaan, biasanya tikus dan anjing dapat


dipilih sebagai spesies pilihan selama fase awal program pengembangan obat, tetapi
kelinci biasanya ditambahkan untuk menilai parameter teratologi. Selain itu, tikus
biasanya digunakan dalam tahap akhir pengembangan program karena dua spesies
hewan pengerat biasanya digunakan untuk evaluasi potensi karsinogenik. Ini

7
penting untuk diingat ketika kita membahas pemilihan model binatang (Denny and
Stewarty, 2013).

Uji toksisitas akut dilakukan untuk menentukan efek dari paparan tunggal
terhadap suatu zat. Efek akut biasanya terjadi sangat cepat setelah paparan,
meskipun tergantung pada bahan penyebab dan mekanisme aksinya. Uji toksisitas
subkronis dan kronis dilakukan untuk menentukan adanya efek yang jelas setelah
durasi paparan yang diperpanjang. Penting bahwa bahan beracun, apakah mereka
menyebabkan efek akut atau efek jangka panjang, dapat diidentifikasi sehingga
prosedur dan praktik dapat dikembangkan dan diimplementasikan untuk mencegah
cedera dan penyakit (Sass, 2002).

Studi-studi toksikologi dikategorikan berdasarkan durasi paparan, sebagai


berikut:

- Akut (dosis tunggal)


- Sub-akut (14-28 hari)
- Subkronis (90 hari)
- Kronis (180 hari, rodent; 270 hari, tanpa non-rodent) (Denny
and Stewarty, 2013)

1. Studi toksisitas Akut/Pencarian range dosis


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan MTD / MFD
dalam karakterisasi toksisitas awal. Data diperoleh dari studi ini adalah
dasar untuk pemilihan dosis dalam studi farmakologi keselamatan (yaitu,
kardiovaskular, sistem saraf pusat dan penilaian paru). Studi akut tahap awal
ini digunakan untuk memilih senyawa kandidat untuk pengembangan
potensial lebih lanjut (Denny and Stewarty, 2013).
2. Stud Akut/Skrining Dosis Berulang
Studi skrining akut dapat memiliki beberapa format, namun tujuan
utamanya sama yaitu menentukan apakah kandidat obat dapat ditoleransi
pada kelipatan dosis yang memberikan efek secara klinis. Manfaat
tambahan dari studi skrining adalah bahwa ilmuwan dapat membandingkan

8
beberapa kandidat obat dalam penelitian yang sama. Ketika ini dilakukan,
indikator tolerabilitas seperti perubahan berat badan dan / atau konsumsi
makanan, serta pengamatan tanda-tanda klinis yang tidak normal, dapat
memberikan beberapa perspektif tentang spesies mana yang mungkin
menjadi kandidat utama yang lebih baik (Denny and Stewarty, 2013).
3. Studi Toksisitas Sub-Akut (2-4 minggu)
Durasi studi toksisitas dosis berulang biasanya terkait durasi,
indikasi terapetik dan usulan periode dosis pada uji klinik tahap I. Untuk
beberapa indikasi klinik, studi selama 2 minggu mungkin cukup untuk
mendukung uji klinis. Namun, untuk untuk sebagian besar produk,
diperlukan penelitian selama 4 minggu untuk menyediakan informai
keamanan yang memadai untuk uji dimana lebih dari dosis tunggal
direncanakan. Studi toksisitas berulang 4 minggu biasanya dilakukan
sebagai studi “mengikuti” setelah studi-studi akut (single dose) dan studi-
studi 1-sampai-2 minggu (pencarian range dosis) dilakukan. Dengan
demikian, studi 4 minggu dilakukan untuk memperkuat data toksisitas untuk
produk farmasi. Studi-studi ini harus lebih lanjut mengembangkan profil
toksisitas, dengan menjelaskan MTD dan dengan membentuk NOAEL.
Studi dosis berulang mengevaluasi parameter tambahan dalam profil
toksikokinetik karena jumlah dosis (yaitu, periode dosis) diperpanjang.
Studi 2 minggu dan 4 minggu umumnya mengidentifikasi toksisitas yang
dibuktikan oleh perubahan dalam pengamatan klinis, berat badan dan
konsumsi makanan, tetapi juga mengevaluasi patologi klinis, hematologi
dan parameter histopatologi (termasuk potensi toksisitas untuk organ target)
dan ini merupakan studi pertama dimana periode pemulihan harus
dipertimbangkan untuk mengevaluasi reversibilitas efek merugikan.
Rute administrasi harus sama dengan rute yang dituju untuk
manusia, dan rejimen dosis akan tergantung pada sifat farmakodinamika
dari produk yang sedang dikembangkan. Secara umum, penelitian hewan
rodent selama 4 minggu menggunakan informasi desain studi standar yang
diberikan pada bagian sebelumnya, dan jumlah hewan untuk evaluasi

9
toksisitas utama biasanya 10 hewan per jenis kelamin, per kelompok,
dengan termasuk hewan tambahan untuk evaluasi toksikokinetik (Denny
and Stewarty, 2013).
4. Studi Toksisitas Sub-Kronis (13 Minggu)
Untuk penelitian hewan rodent, 20 hingga 25 hewan per jenis
kelamin, per kelompok, biasanya digunakan untuk studi toksikologi 13
minggu. Sebagian besar penelitian juga memasukkan hewan tambahan
untuk evaluasi toksikokinetik. Pengambilan sampel toksikokinetik
(minimal) dilakukan pada saat inisiasi, titik tengah dan akhir periode
pemberian dosis. Selama tahap akhir penelitian praklinis, mungkin
diperlukan untuk melakukan evaluasi karsinogenisitas pada spesies kedua
hewan rodent. Karena rat atau mouse adalah spesies utama yang digunakan
untuk mendukung karakterisasi toksikologi, data perlu dikumpulkan pada
spesies kedua hewan rodent dalam persiapan untuk evaluasi
karsinogenisitas. Ini memerlukan studi 13 minggu tambahan (sekarang
disebut DRF) khusus untuk pemilihan dosis yang akan digunakan dalam
evaluasi karsinogenisitas. Data yang dikumpulkan sama dengan yang ada
dalam studi toksisitas umum dosis berulang, tetapi tujuannya bukan untuk
sepenuhnya mengkarakterisasi toksisitas, tetapi untuk menemukan dosis
tinggi yang relevan secara klinis dan tidak menghasilkan lebih dari 10%
perubahan berat badan (Dibandingkan dengan kontrol masing-masing)
selama periode paparan 13 minggu. Untuk non-tikus, anjing dan primata
non-manusia adalah dua spesies yang paling umum digunakan dalam studi
toksikologi umum 13 minggu (Denny and Stewarty, 2013).
Desain penelitian dari studi tanpa hewan rodent, berbeda dari
penelitian hewan rodent terutama dalam jumlah hewan yang diberikan per
kelompok dan sampel toksikokinetik (Denny and Stewarty, 2013).
5. Studi Toksisitas Kronik ( 6 sampai 12 bulan)
Dalam penelitian rodent dan non-rodent, jumlah hewan yang
digunakan umumnya sama dengan jumlah yang digunakan dalam studi 13

10
minggu, dan parameter toksikologi yang sama dievaluasi. Tujuan
melakukan studi dosis berulang ini dapat diringkas sebagai berikut:
• Penelitian enam bulan dapat diterima untuk indikasi paparan
manusia dalam kondisi kronis dengan paparan jangka pendek atau
intermiten
• Penelitian enam bulan juga dapat diterima untuk obat-obatan yang
ditujukan untuk mengobati penyakit yang mengancam jiwa (mis., Kanker
atau HIV).
• Penelitian dua belas bulan lebih tepat untuk obat-obatan yang
digunakan secara kronis di mana data uji klinis pada manusia terbatas pada
paparan jangka pendek.
• Penelitian dua belas bulan mungkin juga lebih berlaku untuk
entitas molekuler baru yang beraksi pada target molekuler baru di mana
terdapat data manusia yang terbatas, terutama untuk paparan jangka panjang
(Denny and Stewarty, 2013).

Jika studi praklinis menunjukkan bahwa terapi aman dan efektif, uji klinis,
yang didefinisikan sebagai "studi yang dikontrol secara ilmiah tentang keamanan
dan efektivitas agen terapeutik menggunakan subyek manusia yang menyetujui",
dimulai. Empat kemungkinan hasil adalah: 1) pengobatan baru memiliki efek
menguntungkan yang besar dan lebih unggul dari pengobatan standar; 2)
pengobatan baru setara dengan pengobatan standar; 3) pengobatan baru tidak jelas
lebih unggul atau lebih rendah dari pengobatan standar; atau 4) pengobatan baru
lebih rendah daripada pengobatan standar (Mahan, 2014).

Randomized controlled trials (RCT) merupakan standar dan sering


digunakan untuk mengevaluasi efikasi atau efektivitas berbagai jenis intervensi
medis dan dapat memberikan informasi tentang efek samping. Klasifikasi RCT's
termasuk desain studi (paralel-group, crossover, cluster, atau faktorial), outcome
of interest (efikasi versus efektivitas), dan evaluasi hipotesis (superioritas,
noninferiority, atau kesetaraan). Orang-orang yang sedang dipelajari secara acak

11
dialokasikan ke salah satu pengobatan yang berbeda yang sedang dipelajari. Proses
pengacakan yang ideal memaksimalkan kekuatan statistik, meminimalkan bias
seleksi, dan meminimalkan bias alokasi (Mahan, 2014).

C. UJI KLINIS

Memahami dasar tahap-tahap uji klinis akan membantu para peneliti


merencanakan dan menerapkan protokol studi klinis dan dengan demikian,
meningkatkan jumlah terapi yang datang ke pasar untuk pasien (Mahan, 2014).

Tahap uji klinik merupakan langkah dalam penelitian untuk menentukan


apakah suatu intervansi akan bermanfaat atau merugikan, termasuk studi-studi
klinik tahap-tahap 0, I, II, III, IV dan V (Mahan, 2014).

Selama tahap 0, farmakodinamik dan farmakokinetik ditentukan. Studi


keamanan dievaluasi pada tahap I, efikasi atau kemanjuran pada tahap II, dan
konfirmasi akan keamanan dan efikasi selama tahap III. Studi sentry dilakukan pada
tahap IV dan penelitian efektivitas komparatif dan penelitian berbasis masyarakat
di tahap V (Mahan, 2014).

Uji Klinis Tahap 0

Dilakukan pada awal studi tahap klinis dan melibatkan paparan manusia
yang terbatas dan tidak sedang terapi atau diagnosa. Dosis subterapeutik dan pasien
dipantau oleh peneliti klinis dan melibatkan sekitar 10 pasien penelitian. Durasi
partisipasi pasien biasanya kurang dari 1 minggu. Farmakodinamik dan
farmakokinetik dipelajari. Uji coba ini dilakukan sebelum studi eskaliasi dosis,

12
keamanan, dan toleransi dosis, tidak menggantikan uji klinis Tahap I dan tidak
menunjukkan apakah terapi memiliki dampak positif pada patologi yang
ditargetkan. Studi-studi ini membantu dalam menghilangkan terapi kandidat
sebelum mereka mencapai studi Tahap I (Mahan, 2014).

Percobaan ini dikembangkan untuk mempersingkat jalur kritis untuk


pengembangan obat, untuk mengeksplorasi profil farmakokinetik dan
farmakodinamik pada manusia, untuk membantu mempercepat identifikasi obat
yang menjanjikan, dan untuk mengurangi waktu dan biaya pengembangan (Mahan,
2014).

Uji Klinis Tahap I

Dosis-toksisitas dan kurva efektivitas dosis ditentukan selama tahap ini dan
termasuk pengujian single ascending dose (Tahap IA), pengujian multiple
ascending dose (Tahap IB), dan studi efek makanan. Metode eskalasi dosis dapat
didasarkan pada aturan atau berdasarkan model. Desain tradisional 3 + 3
berlangsung dengan kohort 3 pasien. Dosis awal didasarkan pada ekstrapolasi dari
data toksikologi hewan. Jika tidak ada pasien yang mengalami toksisitas yang
membatasi dosis, 3 pasien lagi akan diobati dengan dosis berikutnya yang lebih
tinggi. Jika 1 pasien mengalami toksisitas yang membatasi dosis, dosis yang sama
diulang pada 3 pasien lagi. Eskalasi dosis terus sampai paling sedikit 2 pasien dari
kohort 3 hingga 6 mengalami toksisitas yang membatasi dosis. Dosis yang
direkomendasikan untuk uji coba tahap II didefinisikan sebagai tingkat dosis tepat
di bawah tingkat dosis toksik (Mahan, 2014).

Uji Klinis Tahap II

Sementara studi klinis tahap I berfokus pada penentuan MTD, studi tahap II
mengevaluasi efikasi potensial dan mengkarakterisasi manfaat pengobatan untuk
penyakit dengan cara yang meyakinkan (Mahan, 2014).

Studi ini dilakukan pada kelompok yang lebih besar (100 hingga 300
subjek) dan dirancang untuk menilai seberapa baik obat bekerja dan melanjutkan
penilaian keamanan. Dosis terapeutik yang ditentukan selama tahap I diberikan dan

13
pasien dipantau oleh peneliti klinis. Fase II dapat dibagi menjadi Fase IIA yang
merupakan untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan pada populasi tertentu
dengan penyakit atau kondisi yang akan diobati, didiagnosis atau dicegah (objektif
mungkin pada respons dosis, jenis pasien, frekuensi pemberian dosis, atau
pengidentifikasi keamanan dan kemanjuran lainnya) dan Tahap IIB yang
merupakan uji coba paling ketat yang dirancang untuk menunjukkan efikasi. Proses
pengembangan biasanya gagal selama tahap II ini ketika obat ditemukan tidak
berfungsi sesuai rencana atau memiliki efek toksik (Mahan, 2014).

Desain Tahap II tergantung pada kualitas dan kecukupan studi Tahap I.


Aspek yang rentan dari kedua fase adalah tipe pasien yang terdaftar. Pasien dalam
uji coba Tahap II umumnya memiliki kriteria eksklusi lebih dari pada uji coba
Tahap III (Mahan, 2014).

Uji Klinis Tahap III

Pengujian tahap III merupakan evaluasi skala penuh dari pengobatam dan
dirancang untuk membandingkan efikasi dari pengobatan baru dengan pengobatan
standar. Kelompok besar (100 sampai 3000 subjek) direkrut. Percobaan klinis fase
III dapat dibagi menjadi fase IIIA yang merupakan uji coba yang dilakukan setelah
efikasi terapi didemonstrasikan tetapi sebelum pengajuan regulasi dari New Drug
Application (NDA) atau berkas lain dan Tahap IIIB yang dilakukan setelah
pengajuan NDA atau dokumen lain tetapi sebelum persetujuan dan perilisan
(Mahan, 2014).

Jika hasil dari terapi baru secara statistik meningkan, terapi baru biasanya
disetujui untuk digunakan secara klinis (Mahan, 2014).

Uji Klinis Tahap IV

Studi Tahap IV ini termasuk "semua penelitian (selain dari pengawasan


rutin) yang dilakukan setelah persetujuan obat dan terkait dengan indikasi yang
disetujui". Ini merupakan studi pengawasan pasca pemasaran. Fokus dari pengujian
adalah pada bagaimana obat bekerja di dunia nyata. Siapa saja yang mencari

14
perawatan dari dokter dapat diobati dengan terapi. Dokter pribadi mereka
memantau hasil perawatan. Efikasi dan deteksi efek merugikan jangka panjang atau
langka pada populasi pasien yang jauh lebih besar dan periode waktu yang lebih
lama dievaluasi, biaya perawatan kesehatan dan outcomes ditentukan, dan
farmakogenetik dipelajari. Indikasi klinis baru untuk obat dapat ditetapkan dan
sejumlah besar pasien dan dokter yang terlibat. Percobaan tahap IV dapat
menyebabkan obat dikeluarkan dari pasar atau dibatasi untuk indikasi tertentu
(Mahan, 2014).

Awalnya, uji coba ini dijalankan seperti studi tahap III dan dilakukan untuk
tujuan pemasaran. Studi dilakukan di institusi dengan peneliti yang akrab dengan
uji klinis dan memiliki kriteria inklusi dan eksklusi mirip dengan studi tahap III.
Hasilnya tidak mencerminkan apa yang akan terjadi dalam kondisi normal. Sebagai
hasilnya, penelitian inovatif dirancang untuk melibatkan dokter biasa dalam
komunitas riset. Tujuannya telah diperluas, termasuk evaluasi efek farmakologis
tertentu, menetapkan reaksi merugikan, menentukan efek pemberian terapi jangka
panjang, menetapkan indikasi klinis baru untuk terapi, evaluasi terapi pada populasi
berisiko tinggi, dan lain-lain. Masalah utama yang menjadi perhatian adalah
campuran penelitian medis dan praktik klinis (Mahan, 2014).

Uji Klinis Tahap V

Uji klinis fase V mengacu pada penelitian efektivitas komparatif dan


penelitian berbasis komunitas. Penelitian dilakukan pada data yang dikumpulkan.
Semua penggunaan yang dilaporkan dievaluasi. Pasien tidak dimonitor. Fokus
utamanya adalah untuk menentukan integrasi terapi baru ke dalam praktik klinis
yang tersebar luas (Mahan, 2014).

Hasil akhir dari uji klinis adalah perbaikan obat klinis. Memahami langkah-
langkah untuk membawa terapi baru ke populasi. Dengan meningkatkan strategi
dan studi perkembangan, manfaat yang dihasilkan harus menghasilkan hasil akhir
yang lebih baik dan morbiditas yang lebih sedikit (Mahan, 2014).

15
D. DEFINIS UJI KLINIS

Uji klinis adalah studi penelitian biomedis atau perilaku prospektif


subyek manusia yang dirancang untuk menjawab pertanyaan spesifik tentang
intervensi biomedis atau perilaku (vaksin, obat-obatan, perawatan, perangkat,
atau cara baru menggunakan obat, perawatan, atau perangkat yang dikenal).
Uji klinis digunakan untuk menentukan apakah intervensi biomedis atau
perilaku baru aman, manjur, dan efektif.

Uji klinis meliputi penelitian subyek perilaku manusia yang melibatkan


intervensi untuk mengubah perilaku (meningkatkan penggunaan intervensi,
kesediaan untuk membayar intervensi, dll) Penelitian subyek manusia untuk
mengembangkan atau mengevaluasi tes laboratorium klinis (misalnya
pencitraan atau tes diagnostik molekuler) mungkin dianggap sebagai uji klinis
jika tes akan digunakan untuk pengambilan keputusan medis untuk subjek atau
tes itu sendiri memaksakan lebih dari risiko minimal untuk subjek

Akses luas ke informasi tentang uji klinis dan temuan mereka sangat
penting untuk memajukan pengetahuan tentang obat, meningkatkan kesehatan
masyarakat, dan memenuhi kewajiban etis kepada relawan manusia (Chalmers,
I., 1990). Metode tradisional penyebaran informasi (misalnya, presentasi dan
publikasi) tetap dapat meninggalkan distorsi dan kesenjangan dalam basis
pengetahuan karena hasil dari banyak uji coba klinik tidak dipublikasikan
(Turner, EH., 2008).

Kemajuan dalam penelitian klinis sangat tergantung pada hasil


Investigasi Klinis (CIV), yang merupakan proses kompleks yang mencakup
langkah-langkah yang berbeda, dari spesifikasi dan perencanaan hingga
pelaksanaan dan analisis hasil akhir. Ada peningkatan jumlah aplikasi yang
mendukung manajemen data CIV, manajemen proyek dan kontrol kualitas
data, sehingga mengurangi waktu dan biaya dan yang paling penting
meningkatkan kualitas penelitian. Permintaan untuk transparansi dalam
penelitian klinis telah lebih lanjut mendorong penerapan prinsip-prinsip

16
panduan yang sangat mendorong pendaftaran studi klinis yang sedang
berlangsung dalam pendaftar uji coba nasional dan / atau internasional yang
baru dikembangkan.

Pengembang obat-obatan, biologi, dan peralatan medis harus


memastikan keamanan produk, menunjukkan manfaat medis pada manusia,
dan memproduksi produk secara massal. Pengembangan praklinis dimulai
sebelum uji klinis dan tujuan utamanya adalah untuk menentukan keamanan
dan efektivitas intervensi. Penelitian dapat mencakup farmakodinamik,
farmakokinetik, absorpsi, distribusi, metabolisme dan studi ekskresi, dan
pengujian toksisitas. Selama studi praklinis, pengujian in vitro dan in vivo
dilakukan. Toksisitas meliputi penelitian organ mana yang ditargetkan dan efek
karsinogenik jangka panjang atau efek pada reproduksi mamalia. Dua spesies
hewan biasanya digunakan dalam studi pengembangan obat (Vicki L. M.,
2014).

Menurut Vicki L. M. (2014) uji klinis biomedis dari obat percobaan,


pengobatan, perangkat atau intervensi perilaku dapat dilakukan melalui empat
fase:

a. Fase I

Uji klinis menguji intervensi biomedis baru pada sekelompok kecil


orang (misalnya, 20-80) untuk pertama kalinya mengevaluasi keamanan
(misalnya, untuk menentukan kisaran dosis yang aman, dan untuk
mengidentifikasi efek samping).

b. Fase II

Uji klinis mempelajari intervensi biomedis atau perilaku dalam


kelompok orang yang lebih besar (beberapa ratus) untuk menentukan
kemanjuran dan untuk mengevaluasi lebih lanjut keamanannya.

c. Fase III

17
Studi menyelidiki kemanjuran intervensi biomedis atau perilaku
dalam kelompok besar subyek manusia (dari beberapa ratus hingga
beberapa ribu) dengan membandingkan intervensi dengan intervensi
standar atau eksperimental lainnya serta untuk memantau efek samping,
dan untuk mengumpulkan informasi yang akan memungkinkan intervensi
untuk digunakan dengan aman.

d. Fase IV

Studi dilakukan setelah intervensi dipasarkan. Studi-studi ini


dirancang untuk memantau keefektifan intervensi yang disetujui dalam
populasi umum dan untuk mengumpulkan informasi tentang setiap efek
buruk yang terkait dengan penggunaan secara luas

E. ETIKA UJI KLINIK

Etika praktik penelitian kontemporer, terutama yang berkaitan dengan


desain dan melakukan uji klinis, telah diteliti cukup baik dalam beberapa tahun
terakhir. Masalah yang terkait dengan informed consent, penggunaan kontrol
plasebo dan ketegangan antara persyaratan untuk bukti ilmiah di satu sisi dan
untuk otonomi pasien di sisi lain semuanya menghasilkan perdebatan panas.
Meskipun tidak ada solusi yang jelas, jelas bahwa ada kebutuhan untuk
meningkatkan partisipasi pasien dalam setiap upaya untuk mencapai konsensus
pada perilaku etis penelitian medis (Md. Fakruddin, 2012).
Menurut Md. Fakriddin (2012), ada empat prinsip etika biomedis:
1. Otonomi (menghormati orang - gagasan martabat manusia).
2. Beneficence (bermanfaat bagi partisipan penelitian).
3. Nonmaleficence (tidak ada kerugian bagi peserta penelitian).
4. Keadilan (terutama keadilan distributif pemerataan risiko dan manfaat
antara masyarakat)
Menurut Md. Fakruddin (2012), berikut ini harus berlaku untuk semua program
penelitian yang melibatkan manusia:
1. The participant as a person

18
Respect for the autonomy of the participant, whether patient or volunteer,
demands that the participant must be treated as a unique human person
within the context of his or her community system. Freedom of choice
must be safeguarded.

2. Human rights

Respect for the basic rights of the individual as a human being as well as
the rights of groups and communities.

3. The ethic of justice, fairness and objectivity

Research should always respect the dignity of people involved and should
never expose them to intentions and motives not directly attached to the
research project, its methodology and objectives

4. Competence

Researchers must be professionally and personally qualified. In all


circumstances they must be accountable and act in a responsible manner.
Professional standards should be upheld in accordance with academic
training.
5. Integrity
Integrity should be promoted by being honest and fair. Researchers must
be honest about their own limitations, competence, belief systems, values
and needs.
6. Sensitivity
Sensitivity in research implies balancing scientific interest (the research)
with general values and norms affecting the human dignity of the people
involved.
7. Confidentiality

Confidentiality must be respected under all circumstances. Documentation


should be safeguarded and viewed as strictly private in terms of the limits
set by the research project.

19
8. Demarcation of roles

There should be mutual understanding of the roles and interests of


investigators and participants in research.

9. Communication

Clear and understandable verbal communication is required, with factual


data. Emotional and cultural values should be considered.

10. Possible dangers to be taken into consideration

a. The danger of objectification and fragmentation

Special care must be taken not to treat a participant as a mere object.


Research objectives are subordinate to the following principle: to treat
human beings with respect.

b. The danger of direct or indirect coercion

Direct or indirect coercion of people in the name of research must be


avoided under all circumstances.Coercion may include the
exploitation of vulnerable people; taking undue advantage of a
participant, volunteer or any other person; or the misuse of the
authority and influence of the research

Banyak yang percaya bahwa informed consent membuat penelitian


klinis menjadi etis. Namun, informed consent tidak diperlukan dan tidak
cukup untuk penelitian klinis etis. Melihat pada filosofi dasar yang mendasari
kode utama, deklarasi, dan dokumen lain yang relevan dengan penelitian
dengan subyek manusia, 7 persyaratan dapat diusulkan yang secara sistematis
menjelaskan kerangka koheren untuk mengevaluasi etika studi penelitian
klinis:
1. Peningkatan nilai kesehatan atau pengetahuan harus berasal dari
penelitian;
2. Validitas ilmiah, penelitian harus secara metodologis teliti;

20
3. Sasaran ilmiah pemilihan subjek yang adil, bukan kerentanan atau hak
istimewa, dan potensi untuk dan distribusi risiko dan manfaat, harus
menentukan komunitas yang dipilih sebagai lokasi penelitian dan kriteria
inklusi untuk masing-masing subyek;
4. Rasio risiko-manfaat yang menguntungkan dalam konteks praktik klinis
standar dan protokol penelitian, risiko harus diminimalkan, manfaat
potensial ditingkatkan, dan manfaat potensial bagi individu dan
pengetahuan yang diperoleh untuk masyarakat harus lebih besar daripada
risikonya;
5. Peninjauan independen - individu yang tidak terafiliasi harus meninjau
penelitian dan menyetujui, mengubah, atau menghentikannya;
6. Informed consent individu harus diberitahu tentang penelitian dan
memberikan persetujuan sukarela mereka; dan
7. Menghormati subjek yang terdaftar — subjek harus dilindungi
privasinya, kesempatan untuk mengundurkan diri, dan memantau
kesejahteraan mereka.
Memenuhi semua persyaratan yang diperlukan sudah cukup untuk
membuat penelitian klinis secara etis. Persyaratan ini bersifat universal,
meskipun harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan, ekonomi, budaya, dan
teknologi di mana penelitian klinis dilakukan (Md. Fakruddin, 2012).

Komite Etik Penelitian


Peran Komite Etika Penelitian, sejarah asal mereka dan rincian
komposisi dan organisasi mereka, telah disediakan oleh Royal College of
Physicians of London. Komite Etika Penelitian sangat penting dalam
pengaturan yang tepat dari penelitian yang melibatkan manusia dan hewan,
karena peneliti tidak boleh menjadi satu-satunya hakim apakah penelitian
mereka sesuai dengan etika pada umumnya (Md. Fakruddin, 2012).
Semua penelitian yang melibatkan manusia, apakah pasien atau
sukarelawan sehat, harus dirujuk ke Komite Etik Penelitian. Kadang-kadang
persetujuan dapat diberikan sebelum perlakuan diberikan dalam penelitian,
atau serangkaian studi tentang tipe tertentu yang dilakukan sebagai fitur

21
reguler dari penelitian atau program pelatihan. Bahkan dalam situasi seperti
ini, Komite akan ingin diberitahu tentang masing-masing individu setidaknya
berdasarkan judul (Md. Fakruddin, 2012).

F. GOOD CLINICAL PRACTICE

Pentingnya melindungi peserta dalam penelitian klinis diakui setelah


Perang Dunia II, dan dokumen pertama untuk mengatasi perilaku etis penelitian
biomedis adalah 1947 Kode Nuremberg. World Medical Association
mengembangkan Deklarasi Helsinki menggunakan prinsip-prinsip dari Kode
Nuremberg dan Deklarasi Jenewa, sebuah pernyataan tentang kewajiban etis
dokter, untuk menentukan prinsip-prinsip yang mengatur etika penelitian medis
yang melibatkan peserta uji coba manusia. Prinsip-prinsip Deklarasi Helsinki
adalah dasar dari pedoman GCP. GCP sekarang dianggap sebagai "standar etika
dan kualitas internasional untuk desain, perilaku, kinerja, pemantauan,
pengauditan, pencatatan, analisis, dan pelaporan uji klinis yang melibatkan
partisipasi subyek manusia." (Pract, J. O., 2008).

Tujuan dari penelitian klinis adalah untuk mengidentifikasi standar terapi


baru dalam populasi yang terdefinisi dengan baik dan terbatas untuk
menguntungkan populasi yang lebih besar. Pada akhirnya, uji klinis adalah satu-
satunya mekanisme untuk membuktikan bahwa terapi baru aman dan efektif.
Mengikuti pedoman GCP adalah cara untuk memastikan bahwa data yang
dihasilkan oleh uji klinis akurat, dapat diverifikasi, dan dapat direproduksi, yang
semuanya diperlukan untuk memajukan pengetahuan ilmiah (Pract, J. O., 2008).

G. CARA UJI KLINIK YANG BAIK (CUKB)

Implementasi Uji klinik di Indonesia: Quality assurance dalam uji


klinik harus diterapkan dalam pelaksanaan uji klinik di Indonesiaoleh
seluruh pelaku uji klinik. Dengan demikian uji klinik harus terencana dan
sistematis. Haltersebut dimaksudkan untuk menjamin bahwa pelaksanaan
uji klinik sesuai dengan prinsip-prinsip CUKB, memenuhi ketentuan

22
regulasi serta menghasilkan data yang kredibel dan valid,dan tentunya
perlindungan terhadap subjek manusia yang turut serta berpartisipasi dalam
ujiklinik menjadi tujuan yang utama.
Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practice
(GCP) adalah suatu standar kualitas etik dan ilmiah internasional untuk
mendesain, melaksanakan, mencatat dan melaporkan uji klinik yang
melibatkan partisipasi subjek manusia. Mematuhi standar ini akan memberi
kepastian kepada publik bahwa hak, keamanan dan kesejahteraan subjek uji
klinik dilindungi, sesuai dengan prinsip yang berasal dari Deklarasi Helsinki
dan bahwa data uji klinik tersebut dapat dipercaya.
Tujuan pedoman ICH GCP ini adalah untuk menyatukan standar
bagi Uni Eropa (EU), Jepang dan Amerika Serikat untuk mempermudah
penerimaan bersama data klinik oleh otoritas regulatori di negara-negara
tersebut.
Pedoman ini disusun dengan mempertimbangkan pedoman CUKB
yang saat ini berlaku di Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat, maupun di
Australia, Kanada, negara-negara Nordik dan World Health Organization
(WHO). Pedoman ini harus diikuti jika menghasilkan data uji klinik yang
ditujukan untuk diserahkan kepada otoritas regulatori. Prinsip yang
ditetapkan dalam pedoman ini dapat juga digunakan untuk penelitian klinik
lain yang mungkin mempunyai dampak terhadap keamanan dan
kesejahteraan subjek manusia.

Adverse Drug reaction (ADR/Efek Samping Obat)

Pada pengalaman klinik sebelum persetujuan izin edar suatu obat


baru atau penggunaan baru obat tersebut, khususnya ketika dosis terapi
masih belum pasti, semua respons yang merugikan dan tidak diinginkan
terhadap suatu obat dengan dosis berapapun harus dianggap sebagai efek
samping obat (ESO). Respons terhadap suatu obat berarti bahwa hubungan
sebab-akibat antara suatu obat dengan suatu kejadian yang tidak diinginkan
sedikitnya merupakan suatu kemungkinan, yaitu hubungannya tidak dapat

23
disingkirkan. Untuk obat yang telah dipasarkan, ESQ adalah respons
terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan dan terjadi pada
dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis
atau terapi penyakit atau untuk memodifikasi fungsi fisiologis.

Adverse Event (AE) / Kejadian Tidak Diinginkan (KTD)

Kejadian medik apapun yang tidak diinginkan, yang terjadi pada


seorang pasien atau subjek uji klinik yang mendapat suatu produk
farmasetik tanpa perlu adanya hubungan sebab-akibat dengan pengobatan
ini. Kejadia tidak diinginkan dapat berupa tanda, gejala, atau penyakit yang
tidak diinginkan dan tidak menguntungkan yang secara temporal
dihubungkan dengan penggunaan suatu obat yang diteliti, terlepas dari ada
atau tidaknya hubungan dengan obat yang diteliti tersebut.

H. POSTMARKETING SERVEILLANCE

Postmarketing surveillance (PMS) adalah pengumpulan dan analisis


informasi tentang obat setelah dipasarkan. Sistem PMS idealnya harus
mampu mendeteksi kejadian langka, menentukan insidennya, dan
memvalidasi kausalitas. Karena sistem yang ideal belum dirancang,
kombinasi metode digunakan. Keuntungan dan batasan dari berbagai
metode pelaporan reaksi obat yang merugikan (ADE) dijelaskan, masalah
dan kekhawatiran yang terkait dengan pelaporan ADE dibahas. Pengawasan
pascapemasaran akan terus mendapatkan manfaat dari pelaporan ADEs
secara spontan oleh dokter (yaitu, laporan literatur, laporan kepada produsen
dan badan pengatur nasional) untuk mendeteksi kejadian langka dan akan
dilengkapi dengan penggunaan selektif metode PMS formal dalam keadaan
yang sesuai. Meningkatnya kesadaran klinisi tentang kejadian serius yang
berpotensi terkait dengan obat-obatan bersama dengan pelaporan yang
komprehensif dan lengkap dari peristiwa ini akan mulai mengatasi masalah
tidak dilaporkan, penilaian kausalitas, dan kesalahan klasifikasi kejadian.

24
Meskipun uji klinis yang disyaratkan oleh Food and Drug
Administration (FDA) sebelum persetujuan obat baru dirancang untuk
memberikan tingkat kepastian yang wajar bahwa produk aman dan efektif,
ada keterbatasan yang melekat pada penelitian ini. Evaluasi populasi pasien
yang relatif kecil (yaitu, 500 hingga 3.000 pasien) di sebagian besar uji coba
pemasaran sebelumnya. vides sensitivitas cukup hanya untuk mendeteksi
efek samping dengan frekuensi 1 dalam 5001; reaksi yang kurang umum,
oleh karena itu, dideteksi hanya dengan penggunaan yang luas.
Keterbatasan kedua adalah ketidakmampuan umum untuk mendeteksi efek
samping yang terjadi dengan onset yang tertunda (misalnya, kanker) atau
akibat toksisitas kumulatif (mis., Toksik okular .. ivy). Terakhir, penelitian
pemasaran awal umumnya hanya mencakup pasien dengan kondisi tertentu,
dan banyak kriteria pengecualian berlaku. Akibatnya, obat yang disetujui
untuk infeksi saluran kemih tidak rumit mungkin dapat digunakan pada
pasien dengan infeksi saluran kemih yang rumit serta anak, pasien geriatrik,
diabetes, atau renium dikompromikan untuk siapa obat tersebut, meskipun
tidak secara khusus dipelajari pada populasi ini, mungkin masih aman dan
efektif. Sebaliknya, itu mungkin secara unik lebih berbahaya di salah satu
dari populasi ini, dan ini biasanya ditemukan hanya setelah pemasaran.
Postmarketing surveillance (PMS) adalah pengumpulan dan analisis
informasi tentang obat setelah dipasarkan; ia menggunakan
pharmacoepidemiology untuk menerapkan metode epidemiologi untuk
mempelajari paparan obat dalam suatu populasi. 'Dengan informasi ini,
rasio manfaat-ke-risiko dapat ditentukan dengan baik, dan kemanjuran dan
keamanan terapi tertentu dapat dipaparkan dengan mereka aspek terapi lain
yang tersedia.
Untuk memperoleh manfaat dari pelaporan spontan ADEs oleh
dokter (yaitu, laporan literatur, laporan kepada produsen dan badan pengatur
nasional) untuk mendeteksi kejadian langka dan akan dilengkapi dengan
penggunaan selektif metode PMS formal dalam keadaan yang sesuai.
Meningkatnya kesadaran klinisi tentang kejadian serius yang berpotensi

25
terkait dengan obat-obatan bersama dengan pelaporan yang komprehensif
dan lengkap dari peristiwa ini akan mulai mengatasi masalah tidak
dilaporkan, penilaian kausalitas, dan kesalahan klasifikasi kejadian.
Setiap program PMS harus terlebih dahulu dirancang untuk
mendeteksi reaksi obat yang merugikan (ADEs). Idealnya, ia harus mampu
mengenali ADE secara dini untuk memaksimalkan keselamatan publik,
memiliki sejumlah kecil alarm palsu, dan mampu mendeteksi reaksi yang
jarang terjadi.6 Setelah diidentifikasi, ADE yang diduga harus
dikuantifikasi dan frekuensi relatif ditentukan; Namun, dalam praktiknya,
mungkin tidak mungkin untuk mengukur setiap ADE, dan kebutuhan umum
untuk menjadi selektif telah dibangkitkan. Program harus memiliki
kemampuan menghasilkan hipotesis untuk kausalitas dan menguji asosiasi
ini. Tidak ada metode tunggal PMS yang ditemukan yang menyelesaikan
semua aspek ini, dan sampai saat ini, diperlukan kombinasi metode untuk
mencapai pengawasan ADE maksimal. Artikel ini akan fokus pada metode
yang paling umum digunakan dalam PMS dan masalah yang terkait dengan
pelaporan ADE.

Metode pelaporan
Sistem Pelaporan Spontan Laporan spontan ADEs termasuk yang
dibuat oleh dokter untuk database nasional sukarela dan produsen obat dan
yang ditemukan dalam literatur medis. Sistem pelaporan spontan yang
dicatat dalam artikel ini mengacu pada sistem pelaporan sukarela FDA.
Sebaliknya dengan metode yang lebih formal, pelaporan ADE secara
spontan melibatkan pemantauan semua obat di seluruh populasi, idealnya
untuk semua kejadian dengan frekuensi apa pun; biasanya, ini melibatkan
ADEs serius yang mudah dikenali. Keuntungan dari sistem ini adalah bahwa
pengumpulan data pada ADE adalah murah (relatif terhadap metode yang
lebih formal), dan saat ini, itu adalah metode yang paling sensitif untuk
mendeteksi ADEs yang jarang. Rossi et al menggambarkan bahwa tiga studi
PMS formal rata-rata 13.000 pasien tidak menemukan ADE baru yang

26
sebelumnya tidak dilaporkan ke Sistem Pelaporan Spontan (SRS) ~;
Namun, studi yang dirancang lebih besar dan lebih baik mungkin telah
menghasilkan hasil yang berbeda dalam tiga studi pascapemasaran ini. Pada
saat ini, pelaporan spontan ADEs tetap menjadi bagian penting dari PMS
dan bertindak untuk menandakan kebutuhan untuk penyelidikan lebih
lanjut; metode formal masih diperlukan untuk secara akurat mengukur
kejadian ADE dan untuk menguji dan memverifikasi hubungan antara obat
dan ADE. Tidak jelas apakah sistem pelaporan spontan atau laporan spontan
yang ditemukan dalam literatur medis lebih bernilai di PMS. Sistem
pelaporan spontan diharapkan memiliki daftar ADEs yang lebih lengkap
dan memiliki waktu jeda yang lebih baik antara ADE yang sebenarnya dan
waktu yang ditinjau oleh produsen dan regulator FDA. Sebaliknya, laporan
spontan dalam literatur medis diharapkan akan lebih lengkap. Dalam
serangkaian laporan kontroversial, Venning mengkritik secara tajam sistem
pelaporan sukarela nasional karena ketidakmampuan mereka untuk
mendeteksi ADE paling penting di seluruh dunia yang ditunjukkan oleh
Venning bahwa pengakuan ADE yang paling penting muncul dari kasus
anekdotal, laporan dalam literatur medis. Pandangan ini tidak dimiliki oleh
semua farmakoepidemiologis. Lebih lanjut disarankan agar FDA diberitahu
ketika sebuah artikel terkait ADE diajukan untuk publikasi; dengan cara ini,
kualitas informasi akan lebih baik daripada di sebagian besar laporan yang
diterima oleh FDA, dan waktu jeda yang cukup lama antara ADE yang
sebenarnya dan laporan yang dipublikasikan akan dilewati.

I. PHARMACOVIGULANCE

Farmakovigilans (Pharmacovigilance) dalam definisi World Health


Organization (WHO) dinyatakan sebagai ilmu dan aktivitas yang
berhubungan dengan pendeteksian, penilaian, pemahaman dan pencegahan
kejadian tidak diinginkan (adverse effects) atau kejadian lainnya yang
terkait dengan penggunaan obat.

27
Evolusi Pharmacovigulance (PV)
a. Sebelum tahun 1960, peraturan kehati-hatian dan perawatan kesehatan
adalah liberal dan bukannya keamanan obat, kemanjuran obat adalah
yang pertama prioritas. Pada tahun 1961, phocomelia karena tragedi
thalidomide terpaksa membangun sistem yang menjamin keamanan
obat.
b. Pada tahun 1968, Kesehatan Dunia Organisasi (WHO) mendirikan
pemantauan obat internasional program karena masalah keamanan obat
yang terglobalisasi dan disistematisasi.
c. Kelompok farmakolog dan ahli toksikologi Perancis menciptakan istilah
Pharmacovigilance pada pertengahan tahun 70-an. Tujuan utamanya
adalah untuk mencari tahu bahaya terkait dengan terapi obat.
d. Sejak abad ke 19 beberapa obat-obatan telah dikembangkan sebagai
aman dan efektif dari banyak penyelidikan narkoba. Sudah diketahui
bahwa hampir semua obat memiliki manfaat dan beberapa efek buruk.
ADR adalah masalah yang sangat meluas. Karenanya, untuk
meminimalkan ADR, Pharmacovigilance datang dengan gambar yang
tepat dan efektif pemantauan ADR yang dapat melindungi kesehatan
masyarakat.

Kronologis Perkembangan Pharmacovigilance

Tahun Keterangan
1747 James Ling melaporkan uji klinis yang menunjukkan efektivitas jus lemon
dalam pencegahan penyakit kudis.
1937 Bencana sulfanilamida, di mana sulfonamida dilarutkan di
diethyleneglycol menyebabkan kematian lebih dari 100 orang karena
gagal ginjal.
1938 Toksisitas praklinis dan penelitian klinis pra-pemasaran dibuat wajib oleh
FDA.
1950 Anemia aplastik disebabkan karena penggunaan kloramfenikol.

28
1960 FDA memulai program pemantauan obat berbasis rumah sakit.
1961 Bencana Thalidomide.
1963 Majelis kesehatan dunia ke-16 mengakui pentingnya cepat aksi di ADR.
1968 Pendirian Program Pengawasan Narkoba Internasional oleh WHO.
1970-an Clioquinol ditemukan terkait dengan Sub-akut-myelooptic sakit saraf.
1980-an Banyak obat dengan efek samping yang serius tercatat.
1990-an
1996 India memulai uji klinis standar global.
1997 India bergabung dengan Program Pemantauan ADR.
1998 Aktivitas Pharmacovigilance dimulai di India.
2002 Pusat Pharmacovigilance Nasional ke-67 didirikan di India.
2005 India mulai melakukan uji klinis terstruktur.
2009- Rencana Pharmacovigilance India dimulai dan diimplementasikan
2010

Cakupan Pharmacovigilance

Pharmacovigilance adalah konsep booming yang berhubungan


dengan kimia, botani, dan obat-obatan biologis termasuk peralatan medis.
Informasi tentang produk tersangka dikumpulkan dari penyedia layanan
kesehatan dan pasien untuk mendeteksi dan mencegah kelainan yang terkait
dengannya. Oleh karena itu Pharmacovigilance berkaitan dengan efek buruk
obat, poli-farmasi, reaksi paradoks, dan efek samping yang parah. Ini juga
mencakup kegagalan vaksinasi, penggunaan irasional, dan kurangnya
kemanjuran, interaksi obat, keracunan, overdosis, penyalahgunaan,
kesalahan pengobatan dan penyalahgunaan obat.

Pentingnya Pharmacovigilance

Obat baru yang diluncurkan tanpa studi keamanan jangka panjang


mungkin tidak mengklaim sebagai terapi yang aman dan efektif dan
mungkin menunjukkan efek berbahaya atau mengancam nyawa. Beberapa

29
dekade yang lalu di India, yang evaluasi keamanan obat didasarkan pada
penggunaan kronis obat itu. Namun praktik ini tidak akurat dan gagal
mengklaim keamanan lengkap. Mempertimbangkan fakta ini, banyak
organisasi India atau pendanaan penelitian badan mulai berinvestasi dalam
riset dan peluncuran obat perorangan produk baru. Setelah produk
dikembangkan, informasi baru cenderung dihasilkan yang mungkin positif
atau negatif dan dapat berdampak pada profil risiko-manfaat dari produk
itu. Studi atau penilaian lengkap tentang informasi yang baru dihasilkan
dengan bantuan sistem Pharmacovigilance sangat penting untuk menjaga
kesehatan masyarakat. Efek merugikan obat dapat menyebabkan morbiditas
atau mortalitas dan studi yang penting untuk meminimalkan risiko dan
memaksimalkan manfaat. Karena penarikan obat profil tinggi baru-baru ini,
perusahaan farmasi dan pihak yang berwenang secara ketat berfokus pada
keamanan obat di pasar yaitu Pharmacovigilance.

India mendapat peringkat 4 dalam produksi farmasi global. Saat ini


lebih dari 6.000 produsen resmi dan 60.000 merek obat tersedia di pasar
India. Pasien mengkonsumsi lebih dari dua obat resep atau non-resep yang
berbeda di waktu yang dapat berinteraksi satu sama lain dan menghasilkan
ketidaknyamanan. Oleh karena itu, untuk menghindari situasi ini dan
melindungi pasien dari potensi bahaya yang disebabkan oleh obat baru atau
yang sudah ada perlu ditingkatkan Sistem Pharmacovigilance. Personil
Pharmacovigilance mengawasi ADR, menganalisis mereka secara akurat
mengkomunikasikan hasil dengan para pemangku kepentingan untuk
memastikan penggunaan obat yang rasional. Hingga saat ini
Pharmacovigilance tidak ditetapkan sebagai akademis kurikulum khusus
dan sekarang dari biologi klinis, farmasi dan farmakologi tidak dapat
mencakup keterampilan Pharmacovigilance yang dibutuhkan. Mengingat
skenario banyak perusahaan di India berinvestasi dalam penelitian untuk
pengembangan molekul potensial. Karena populasi yang sangat besar dan
ketersediaan peserta, India berkembang sebagai titik fokus untuk penelitian
klinis. Sebelumnya, obat baru dikembangkan di yang lain negara dan

30
mengambil lebih banyak waktu untuk memasarkan di India. Perlindungan
Pharmacovigilance kesehatan penduduk dengan mengenali faktor risiko dan
keseriusan ADR bersama dengan pencegahan bahaya lebih lanjut yang tidak
terduga.

31
Daftar Pustaka

Badan POM, (2016), “Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik di Indonesia Edisi
III” ISBN : 978-602-74036-0-4

Boersen, Nathan., Lee, Thomas., and Hui, Ho-Wah. 2013. Development of


Preclinical Formulations for Toxicology Studies. A Comprehensive Guide to
Toxicology in Preclinical Drug Development. by Elsevier Inc.
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-387815-1.00002-2

Chalmers I. Underreporting research is scientific misconduct. JAMA


1990;263:1405-8.

Chavan, Swapnil., Friedman, Ran., and Nicholls, Ian A. 2015. Acute Toxicity-
Supported Chronic Toxicity Prediction: A k-Nearest Neighbor Coupled Read-
Across Strategy. International Journal of Molecular Sciences 16, 11659-11677

Daniel J. Michel et al., (1989), “Postmarketing Surveillance of Drugs: An


Overview” Journal of Pharmacy Practice, Vol. 11, No. 4

Denny, Kevin H., and Stewarty, Christopher W. 2013. Acute, Sub-Acute, Sub-
Chronic and Chronic General Toxicity Testing for Preclinical Drug
Development. A Comprehensive Guide to Toxicology in Preclinical Drug
Development. by Elsevier Inc. http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-387815-
1.00002-2

Dyah Ariani Perwitasari, Mustika Muthaharah, Nur Mahdi, I Nyoman Kertia


(2016), “Pharmacovigilance of herbal medicine in two public health centers of
Yogyakarta” Indonesian Journal of Medicine and Health, 7(5):176-180

Fakruddin, Chowdhury, A., Hossain, N., and Shahnewaj, K., Ethics In Clinical
Research, Bangladesh Journal of Bioethics 2012; 3(3):16-20.

Frederic S. Resnic, M.D., and Sharon-Lise T. Normand, Ph.D. (2012),


“Postmarketing Surveillance of Medical Devices-Filling in the Gaps” N Engl J
Med 2012; 366:875-877

Haque Arshadul, Sajjan Daniel, MD Tricia Maxwell, Mariette Boerstoel


(2017), “Postmarketing Surveillance Studies An Industry Perspective on

32
Changing Global Requirements and Implications” The International Peer, Vol.
39, Issue 4 : 675-685

Lipinski CA, Lombardo F, Dominy BW, Feeney PJ. Experimental and


computational approaches to estimate solubility and permeability in drug
discovery and development settings. Adv Drug Deliv Rev. 2001;46:3–26.

Mahan, Vicki L. 2014. Clinical Trial Phases. International Journal of Clinical


Medicine, 2014, 5, 1374-1383

Michelini E, Cevenini L, Mezzanotte L, Coppa A, Roda A. Cell Based Assays:


fuelling drug discovery. Anal Biochem. 2010;397:1–10.

Morgan S. et al. The cost of drug development: a systematic review. Health


Policy. 2011;100(1):4–1.

Nofiarny Dwi (2016), “Pengenalan Farmakovigilans” Medicinus, Vol. 29, No.


1

Pract, J. O., Good Clinical Practice Research Guidelines Reviewed, Emphasis


Given to Responsibilities of Investigators: Second Article in a Series. 2008 Sep;
4(5): 233–235. doi: 10.1200/JOP.0854601

Prashant N Amale, Deshpande SA, Nakhate YD and Arsod NA (2018),


“Pharmacovigilance Process in India: An overview” J Pharmacovigil 6: 259

Sass, Neil. 2000. Humane Endpoints and Acute Toxicity Testing. WAR Journal
Volume 41, Number 2

Turner EH, Matthews AM, Linardatos E, Tell RA, Rosenthal R. Selective


publication of antidepressant trials and its influence on apparent efficacy. N
Engl J Med 2008;358:252-60

Vicki, L. M., Clinical Trial Phases, International Journal of Clinical Medicine,


2014, 1374-1383, DOI: 10.4236/ijcm.2014.521175.

Yang Y, Adelstein SJ, Kassis AI. Target discovery from data mining
approaches. Drug Discov Today. 2009;14:147–154

33
Zanders ED, Bailey DS, Dean PM. Probes for chemical genomics by design.
Drug Discov Today. 2002;7:711–718.

34

Anda mungkin juga menyukai