Anda di halaman 1dari 32

POLIMER DAN PRODRUG

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sistem Baru Penghantaran Obat

Disusun oleh:
NIMAS TIKA INAS TARINA 260110140102
FREDERICK ALEXANDER 260110140103
INDRASWARI PITALOKA 260110140104

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS FARMASI
JATINANGOR
2017
POLIMER

1. Definisi
Polimer merupakan makromolekul yang terbentuk dari banyak unit
yang berulang. Jika unit yang berulang memiliki jenis yang sama disebut
homopolimer, jika unit yang berulang memiliki jenis yang berbeda,
disebut kopolimer (Labarre, 2011).

2. Sejarah Polimer
Polimer berasal dari bahasa Yunani, poli yang berarti banyak dan
meros yang berarti bagian. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1833 oleh ahli kimia, Jons Jakob Berzelius (Jensen, 2006).
Keberadaan polimer berawal dari karet natural yang dianggap
sebagai sejarah awal dari perkembangan polimer, dimana karet ini
digunakan sejak tahun 1600 sebelum masehi untuk membuat bola pada
Manat Indian (sekarang bernama Meksiko). Karet natural selanjutnya
dikembangkan menjadi bahan membuat sepatu bot dan baju. Namun
ketika temperatur panas, karet memiliki karakteristik yang basah, lengket,
namun menjadi kaku dan padat ketika suhu dingin. Pada tahun 1839
Goodyear menemukan cara untuk memperbaiki resistensi karet terhadap
perubahan suhu, yaitu dengan memprosesnya dengan sulfur, atau disebut
vulkanisasi (Labarre, 2011).
Selulosa kemudian mulai dimodifikasi. Pada tahun 1833,
Braconnot melakukan nitrasi terhadap selulosa yang kemudian
dikembangkan dalam skala besar di banyak negara. Beberapa polimer
sintesis seperti polivinil klorida ditemukan pada akhir abad 19. Pada awal
1900, Baekeland mengembangkan Bakelite yang merupakan materi
bersifat kaku dan ringan yang didapat dari mereaksikan fenol dan
formaldehid. Penemuan ini dianggap sebagai materi jenis koloid. Namun
kemudian, penemuan ini dianggap sebagai makromolekul yang
dikemukakan oleh Staudinger tahun 1917. Kemudian hubungan antara
viskositas polimer dengan berat molekulnya dikemukakan oleh Mark yang
dikenal sebagai teori Mark-Houwink-Sakurada (Labarre, 2011).
Makromolekul dan polimer pada kenyataannya merupakan dua hal
yang berbeda, karena banyak polimer yang bukan merupakan
makromolekul (contohnya cincin S3O9 sebagai trimer dari SO3), dan
banyak pula makromolekul yang secara komposisi tidak dapat
digolongkan sebagai polimer, Hal ini menyebabkan predikat
makromolekul pada polimer sudah sedikit digunakan, dan sekarang
digunakan penyebutan sebagai polimer untuk material organik maupun
molekul dan makromolekul yang terikat membentuk suatu rantai secara
kovalen (Jansen, 2008).
Polimer natural yang dimodifikasi seperti rayon dan selulosa asetat
kemudian diperkenalkan pada tahun 1920. Polimer pun semakin
berkembang, ditemukan polimer rayon oleh Wallace Carother. Pada
perang dunia 2, polimer banyak digunakan untuk mensubstitusi material
yang rusak, sehingga terjadi produksi besar-besaran nilon (sebagai
pengganti karet), karet sintetis, silikon, cat sintetis dan banyak plastik.
Semenjak perang dunia dua ini, banyak polimer disintesis dan terus
dikembangkan, diantaranya yaitu epoksi, poliester, polipropilen,
polikarbonat, poliamida dan lain-lain (Griskey, 2012).

3. Klasifikasi Polimer
Menurut Griskey (2012) polimer terbagi kedalam beberapa bagian,
diantaranya:
a. Berdasarkan struktur polimer
Polimer berdasarkan struktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
struktur linear (rantai lurus), bercabang, dan bentuk crosslinked.
Bentuk rantai lurus, artinya polimer semakin memanjang dalam satu
garis lurus ketika monomer bergabung. Bentuk rantai lurus dapat
menjadi polimer termoplastik, atau dapat melunak saat diberi
temperatur panas(Griskey, 2012).
Bentuk rantai bercabang yaitu polimer memiliki rantai samping yang
juga turut memanjang. Percabangan dapat disebabkan polimer tidak
murni, misalnya terdapat molekul yang digunakan dalam proses
polimerisasi yang memiliki gugus fungsi yang reaktif sehingga ikut
terpolimerisasi sebagai gugus samping(Griskey, 2012).

Pada polimer Cross-linked, dua atau lebih rantai digabungkan oleh


rantai samping. Jika jumlah agen crosslinker yang digunakan hanya
sedikit, maka bentuk polimer berupa dua dimensi, namun jika jumlah
crosslinker yang digunakan banyak, akan terbentuk struktur kuat tiga
dimensi. Plastik termoset merupakan contoh polimer tiga dimensi
(Griskey, 2012).

b. Berdasarkan Proses pembentukan


Berdasarkan proses pembentukannya, polimer dibagi menjadi dua
yaitu yang terbentuk secara kondensasi dan terbentuk secara adisi.
Polimer yang terbentuk secara adisi, pembentukan polimer dari
monomer tanpa kehilangan stau atompun. Polimerisasi kondensai yaitu
penggabungan mnomer membentuk polimer dengan produk berupa
molekul kecil. Polimerisasi adisi memiliki beberapa tahap proses, yang
pertama yaitu proses inisiasi, propagasi dan terminasi. Contoh
polimerisasi adisi yaitu pada polietilen (Griskey, 2012).

Contoh lain polimerisasi adisi yaitu poliuretan

c. Berdasarkan Unit yang berulang


1. Homopolimer
Homopolimer merupakan polimer yang didapat dari
pengulangan satu jenis monomer. Struktur kimia polimer ini biasa
dituliskan dengan pengulangan unit tersebut tertutup tanda kurung,
contohnya seperti [~A-A-A-A-A-A-A] ~ contoh dari polimer yang
tergolong sebagai homopolimer terdapat pada tabel di bawah ini
(Young, 2011).
2. Kopolimer
Secara umum, definisi kopolimer merupakan polimer yang
terbentuk dari lebih dari satu jenis monomer yang berulang.
Kopolimer biasanya memiliki sifat intermediate yang merupakan
campuran sifat dari masing-masing sifat monomer penyusunnya.
Berdasarkan jenis unit yang berulang, kopolimer dikategorikan
menjadi beberapa jenis, yaitu (Young, 2011):
i. Kopolimer statistikal
Kopolimer ini berulang unitnya mengikuti suatu aturan,
contohnya yaitu Aturan Markovian.
ii. Kopolimer Acak
Kopolimer acak memiliki unit- unit yang berulang secara
acak.

iii. Kopolimer Alternating


Kopolimer ini hanya memiliki dua tipe unit yang berbeda
dan dua unit ini saling bergantian berulang sepanjang rantai
polimer.

iv. Kopolimerisasi Blok


Kopolimer linear yang unitnya berulang dalam sekuens
yang panjang atau membentuk blok dengan monomer berjenis
sama. Contoh kopolimer blok seperti dibawah ini. Sekuens
pertama disebut dengan AB-diblok dan AB-triblok kopolimer.

v. Kopolimerisasi Graft
Polimer ini bercabang, dan setiap cabang memiliki struktur
kimia yang berbeda dengan struktur utamanya. Secara
sederhana dapat diartikan sebagai polimer yang memiliki
homopolimer rantai utama dengan cang rantai berupa
homopolimer yang berbeda.

(Young, 2011)

4. Proses Pembentukan Polimer


Proses pembentukan polimer dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan
jenis metode yang digunakan, diantaranya:
a. Step Polymerization
Untuk Polimerisasi per tahap (Step Polymerization), merupakan
cabang dari kimia organik yang berkaitan dengan reaksi pembentukan
rantai dan merupakan jenis proses polimerisasi pertama yang
digunakan sejak tahun 1920 dan 1930. Step Polymerization ini
termasuk reaksi yang memproduksi ikatan yang memiliki heteroatom
sehingga polimer secara normal digolongkan ke kelas-kelas tergantung
dari tipe ikatan yang terbentuk pada saat polimerisasi. Berikut ini
merupakan proses Step Polymerization linear:
1. Polikondensasi
Pada proses polikondensasi, molekul kecil hilang saat
proses polimerisasi. Contoh dari polikondensasi yaitu sintesis
poliester, poliamid dan polieter. Pembentukan poliester dari reaksi
asam karboksilat dan gugus fungsi asam halida dengan gugus
alkohol seperti gambar dibawah ini(Young, 2011)
.
R1 dan R2 merepresentasikan gugus divalen (biasanya
hidrokarbon). Reaksi diantara asam karboksilat dan gugus alkohol
berlangsung lama dan reaksi pada suhu yang tinggi yaitu (80-
3000C) dengan katalis asam. Poliester dapat dibuat dari satu
monomer yang memiliki dua jenis gugus fungsional, asam
karboksilat -hidroksi (namun bukan monomer asam halida asam
karboksilat -hidroksi karena tidak dapat disintesis disebabkan
tingginya reaktivitas karboksilat dengan gugus halida dibandingkan
gugus hidroksil (Young, 2011).

Dengan setiap reaksi kondensasi, rantai polimer


berkembang, namun menyisakan asam karboksilat -hidroksi, dan
akan bereaksi selanjutnya. Contoh yang disebutkan merupakan
contoh tahap polimerisasi ARB. Penggunaan monomer jenis ini
memiliki keuntungan yaitu memiliki kemurnian yang tinggi, dan
ekivalensi stoikiometrik dari dua gugus fungsional dapat dijamin.
Hanya sedikit sekali monomer dalam persamaan polimerisasi RA2
+ RB2 berkurang secara signfikan seiring dengan meningkatnya
derajat polimerisasi. Karena rantai polimer menjadi terminasi
dengan gugus fungsional yang didapat dari monomer yang berada
pada sisa (kedua ujung gugus merupakan jenis B jika RB2 berada
pada sisa. Selama gugus fungsional bersiffat tidak reaktif satu sama
lain, perkembangan rantai tidak memungkinkan terjadi (Young,
2011).
2. Sintesis polimer berkualitas tinggi dengan teknik polikondensasi
Polimer dengan gugus aromatik (1,4-fenilen) dalam rantai
utama memiliki karakteristik mekanik dan resistensi lebih baik
terhadap degradasi cahaya dan panas, efek akan meningkat dengan
efek stiffening dan stabilitas tinggi gugus aromatik. Polimer seperti
ini tidak mudah dibuat dengan polimerisasi per tahap dan kegunaan
dalam industri dan aplikasi kualitas tinggi (Young, 2011).
3. Poliadisi
Polimerisasi per tahap, dimana monomer bereaksi bersama
tanpa eliminasi molekul lain disebut poliadisi. Beberapa polimer
yang penting didapat dari reaksi poliadisi yaitu poliuretan dan resin
epoksi. Sintesis poliuretan linear dan poliurea dengan reaksi
poliadisi (Young, 2011).
b. Polimerisasi Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan spesi yang independent namun
memiliki elektron tidak berpasangan dan secara normal memiliki
waktu paruh pendek dan sangat reaktif (Young, 2011). Oleh karena itu
radikal bebas yang reaktif ini dapat menginisiasi terjadinya proses,
salah satunya yaitu proses polimerisasi.
Polimerisasi radikal bebas merupakan proses polimerisasi yang
diinisiasi oleh radikal bebas. Proses ini paling banyak diaplikasikan
pada industri-industri polimer karena kemudahan dalam proses, dan
pengkondisian proses serta perolehan hasilnya. Efisiensi perolehan
hasil polimer yaitu 80-100% dari bahan monomer. Polimerisasi radikal
bebas memiliki kelemahan yaitu menghasilkan polimer dengan berat
molekul secara instan. Dalam polimerisasi radikal bebas, terdapat tiga
tahap utama yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi (Hendrana, 2006).
Pada tahap inisiasi radikal bebas dihasilkan dari inisator untuk
dapat kemudian bereaksi dengan monomer. Tahapan ini akan terus
berlanjut meskipun tahapan propagasi sedang berjalan. Akhir dari
proses inisasi sangat tergantung pada konstanta disosiasi inisiator pada
suhu polimerisasi. Pada tahapan ini konsentrasi konstanta propagasi
dan konstanta terminasi konstan. Pada tahap propagasi, terjadi
pertumbuhan molekul raksasa polimer. Pada fasa steady state
perubahan berat molekul tidak terjadi, namun yang terjadi konsentrasi
polimer yang lebih besar karena konversi monomer menjadi polimer.
Pada saat jumlah polimer yang dihasilkan semakin banyak,
konsentrasi sistem menjadi meningkat. Hal ini menyebabkan
terjadinya kondisi sistem menjadi kondisi kental sehingga
menyebabkan terjadinya kondisi gel. Pada PRB tanpa pelarut, kondisi
ini menyebabkan konversi monomer berlangsung sangat cepat.
Perubahan radikal yang sangat cepat ini disebabkan oleh menurunnya
konstanta terminasi, sedangkan konstanta propagasi tetap (Hendrana,
2006).
5. Proses Degradasi Polimer
Degradasi polimer pada dasarnya berkaitan dengan terjadinya
perubahan sifat karena ikatan rantai utama makromolekul. Pada polimer
linear,reaksi tersebut mengurangimasa molekul atau panjang rantainya.
Sesuai dengan penyebabnya, kerusakan atau degradasi polimer ada
beberapa macam. Kerusakan termal (panas), fotodegradasi (cahaya),
radiasi (energi tinggi), Kimia, biologi (biodegradasi) dan mekanis. Dalam
artian peningkatan berat ukuran molekul ikat silang dapat dianggap lawan
degradasi (Meyer, 1971).

6. Contoh dan Penjelasan Singkat Polimer Farmasetika


Menurut Chandel Priya (2013), pada dasarnya polimer dapat
digolongkan menjadi 5:
Berdasarkan Golongan Contoh
Natural Chitosan, Alginat, Gelatin,
Albumin, Kolagen, Dextran,
Siklodekstrin, PEG
Semi-sintetis HPC, MC, HPMC, HEC, NaCMC
Sumber
Sintetis Polietilen, Asam poliaktik,
Polipropilen, Asam poliglikonat,
Polihidroksi butirat, Polianhidrat,
Poliakrilamid
Adisi Polietilen, Polipropilen, Polivinil
Tipe
klorida
Polimerasi
Kondensasi Poliester, Poliuretan
Rantai Polimerasi Polietilen, Polistiren, Poliakrilat
Biodegradable Asam poliaktik, Asam
Ramah poliglikonat, Polikaprolakton,
lingkungan Polianhidrat
Non- Polidimetil siloksan, Polieter
Biodegradedable uretan, Etil Selulosa
Hidrofobik Etil Selulosa, Polidimetil Siloksan
Hidrofilik MC, HPMC, HPC, HEC,
NaCMC, Sodium alginat,
Interaksi Xanthan gum, Karagenan,
dengan Air Keratonia, Chitosan, Guar gum,
Pektin, Polietilen oksida
Hidrogel Cross-linked Polivinil alkohol,
Polietilen oksida, Poliakrilamid
(Chandel Priya
et al., 2013)
a. Chitosan
Sampai saat ini, chitosan masih digunakan dalam bidang makanan,
obat, manajemen limbah, bioteknologi, dan industri farmasi. Salah satu
keuntungan chitosan adalah sifatnya yang biodegradable, biocompatible,
dan relatif lebih aman dibandingkan polimer lain. Chitosan digunakan
sebagai mukoadesif, enhancer pada sediaan oral, dan dapat digunakan
dalam penghantaran protein dan gen (Kadaji dan Betageri, 2011).
b. Alginat
Alginat merupakan polimer alami yang aman, non-immunogenic,
dan murah dengan nilai mukoadesif yang tinggi. Alginat juga dapat
digunakan sebagai thickener dan emulsion stabilizer. Dalam bentuk
microspheres (1-30 mikron), alginat dapat digunakan sebagai sistem
penghantaran obat untuk antigen pada permukaan membran mukosa.
Dalam sediaan oral, alginat digunakan untuk site-specific cationic
theurapetic agents (Mishra et al., 2008).
c. Gelatin
Gelatin merupakan polimer alami yang biasanya digunakan sebagai
coating agent, film-forming agent, gelling agent, suspending agent, tablet
binder, dan peningkat viskositas. Dalam sediaan impant, gelatin
digunakan sebagai matriks yang bersifat biodegradable. Selain itu,
gelatin juga digunakan dalam obat-obatan dalam bentuk
mikroenkapsulasi, dimana zat aktif obat terdapat didalam kapsul
berukuran mikro, dalam hal ini terlihat seperti powder (Podczeck, 2009).
d. Siklodekstrin
Siklodekstrin merupakan polimer alami dan ditemukan dalam
bentuk , , dan -siklodekstrin. Berfungsi sebagai solubilizing agent
dan stabilizing agent. Siklodekstrin berbentuk kristal, non-higroskopis,
dengan struktur siklik oligosakarida yang berasal dari pati. Penggunaan
siklodekstrin dapat menghasilkan pembentukan inklusi kompleks
beberapa senyawa obat yang mengakibatkan perbaikan sifat kelarutan
dan bioavaibilitas untuk meningkatkan kestabilan fisika dan kimia
(Cook et al., 2009).
e. Albumin
Albumin merupakan polimer alami, secara kimia didapatkan dalam
bentuk serum. Memiliki berat molekul 66.500. dengan masing-masing
rantai polipeptida memiliki 585 ikatan asam amino. Albumin digunakan
sebagai stabilizing agent dan therapeutic agent. Albumin biasanya
digunakan sebagai eksipien dalam sedian parenteral (Guest, 2009).
f. Kolagen
Kolagen merupakan polimer alami dan merupakan salah satu
komponen utama jaringan tubuh manusia. Kolagen telah digunakan
secara luas untuk sistem pelepasan obat terkontrol dan tissue
engineering applications karena sifatnya yang kompak, biodegradable
dan mudah membentuk gelation baik secara fisika maupun kimia
melalui reaksi cross-linking (Lee, 2005).
g. Dekstran
Dekstran merupakan polimer alami yang diproduksi oleh
Leuconostoc mesenteroides secara fermentasi dalam media sukrosa.
Hasil cross-linking dekstran dengan Methacrylate (MA) dan Hidroxy
Ethyl Methacrylate (HEMA) digunakan sebagai implant berbasis
hidrogel (Mishra et al., 2008).
h. Polietilen Glikol
Polietilen glikol merupakan polimer alami. Secara kimia, PEG
berstruktur H(OCH2CH2)n. PEG bersifat stabil, hidrofilik, non-iritan,
dan higroskopis. Semakin kecil nilai berat molekul PEG, semakin cocok
digunakan sebagai plasticizers pada aqueous film coating. Biasanya
PEG dicampurkan dengan polimer hidrofobik untuk menentukan waktu
pelepasan obat dan kelarutan obat dalam pelarut organik (Porter dan
Bruno, 1990).
i. Poliester
Berdasarkan tipe polimerasi, poliester digolongkan kedalam
polimer kondensasi. Poliester bersifat biodegradable dan digunakan
sebagai perlengkapan pada proses transplantasi sel (Gunatilaka dan
Adhikari, 2003).
j. Poliakrilat
Poliakrilat dikenal juga dengan asam poliakrilik dan poliakrilat
elastomer. Bersifat biodegradable dan larut dalam air, karenanya sering
digunakan dalam industriindustri sebagai super adsorbent. Polimer ini
berbentuk cair pada pH 5 dan berbentuk gel pada pH 7. Dalam bidang
farmasi, poliakrilat digunakan pada sediaan oral dan mukosal untuk
controlled release, tablet, suspensi oral, dan bioadhesives. Sedangkan
pada sediaan topikal berfungsi sebagai thickening, suspending, dan
emulsion stabilizing agent (Crowley et al., 2002).
k. Polipropilen
Polipropilen merupakan polimer sintetis dan bersifat sebagai bahan
tambahan. Polipropilen digunakan sebagai material untuk kemasan
tablet, khususnya pada sediaan unit-dose di rumah sakit dengan
aluminium foil. Polipropilen digunakan untuk menyesuaikan dengan
bentuk dan ukuran kemasan tablet (Hanna, 1990).
l. Hidroksi Etil Selulosa
HEP merupakan polimer semisintetis dan bersifat hidrofilik. HEP
digunakan sebagai thickening agent pada sediaan mata dan topikal.
Selain itu, HEP juga digunakan sebagai binder dan film-coating agent
untuk tablet (Hapgood, 2009).
m. Polianhidrat
Polianhidrat tergolong kedalam polimer sintetik yang bersifat
biodegradable. Poliandhidrat digunakan dalam sistem polimerik dimana
degradasi hanya terjadi pada permukaan untuk memaksimalkan
pelepasan obat (Murthy, 2007).
n. Karagenan
Karagenan merupakan polimer hidrofilik yang biasanya digunakan
sebagai emulsifying agent, gel base, stabilizing agent, suspending agent,
sustained-release agent, dan peningkat viskositas. Karagenan ditemukan
dalam bentuk kappa, lambda, dan iota (Singh, 2009).
o. Etil Selulosa
Etil selulosa memiliki formula C12H23O6(C12H22O5)n. Etil seluosa
digunakan sebagai coating agent, flavouring agent, tablet binder, tablet
filler, dan peningkat viskositas. Kelebihan etil selulosa adalah sifatnya
yang non-toksik, stabil, kompak, inert, dan hidrofob (Enayatifard et al.,
2009).
p. Natrium Alginat
Berdasarkan sifatnya, natrium alginat digolongkan sebagai polimer
hidrofilik. Natrium alginat digunakan pada preparasi formulasi sediaan
sustained-release oral karena sifatnya yang mampu menghambat
pelarutan zat aktif dari tablet, kapsul, dan suspensi. Belakangan ini
natrium alginat digunakan untuk mikroenkapsulasi, karena memiliki
perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan teknik mikroenkapsulasi
konvensional menggunakan pelarut organik (Cable, 2009).
q. Pektin
Berdasarkan sifatnya pektin digolongkan sebagai polimer hidrofilik.
Pektin merupakan campuran polisakarida. Pektin dengan tingkat
kemurnian yang tinggi banyak digunakan sebagai binding agent pada
tablet, sistem bioerodible monolitik, dan sistem sustained-release dalam
bentuk kalsium pektinat (Kadaji dan Betageri, 2011).
r. Ceratonia
Berdasarkan sifatnya ceratonia digolongkan sebagai polimer hidrofilik.
Secara umum, ceratonia mengandung bahan yang dapat menstitusi peran
tragakan atau gum lainnya. Sebagai peningkat viskositas, ceratonia
bekerja lima kali lebih baik dibandingkan pati dan dua kali lebih baik
dibandingkan tragakan. Selain itu, ceratonia digunakan sebagai tablet
binder dalam sistem obat controlled-release (Weller, 2009).
7. Aplikasi Polimer pada Formulasi Obat Konvensional
Selama lebih dari 50 tahun, teknik formulasi seperti kompresi, spray
dan dip coating, enkapsulasi telah digunakan pada industri farmasi untuk
menggabungkan zat bioaktif dengan polimer. Beberapa polimer
mengandung selulosa dan turunannya, PEG, dan Polyvinil pirolidon
(Liechty et al., 2010).
Berdasarkan sistem penghantarannya, penggunaan polimer pada
formulasi obat konvensional digolongkan menjadi:
a. Diffusion-Controlled Systems
Kebanyakan polimer golongan ini bersifat sederhana dan
monolitik. Pada sistem ini, obat terlarut atau terdispersi didalam
matriks nonswellable atau fully swollen yang tidak dapat terdegradasi
ketika masih berada dalam jangka waktu therapeutic life. Pada sistem
yang terlarut (C0<Cs), C0 merupakan initial loading concentration dan
Cs merupakan konsentrasi jenuh. Pada keadaan ini, berlaku hukum
Fick kedua.
b. Solvent-Activated Systems
Pada sistem konvensional swellable, obat dimasukkan kedalam
polimer hidrofilik dehidrat atau hidrogel dengan mengemasnya secara
langsung. Ketika plasticizing aqueous solvent tidak digunakan, sistem
ini berjalan dengan baik dibawah temperatur glass transition dan
memiliki daya difusi yang rendah. Namun, ketika sistem ini
dihadapkan pada lingkungan berair, hidrogel langsung menyerap air
dan langsung membengkak (swelling). Ketika ikatan antar polimer
gagal membentuk cross-linking, maka proses pelarutan akan berakibat
pada erosi.
c. Biodegradable Systems
Polimer yang bersifat biodegradable dan bioerodible sangat
diperhitungkan dalam sistem penghantaran obat. Meskipun sering
digunakan secara bergantian, degradasi dan erosi dapat berjalan
berbeda dalam ikatan kovalen yang terjadi akibat adanya reaksi kimia.
Erosi berlangsung karena tidak terjadinya ikatan cross-linking dalam
rantai fragmen struktur kimia. Sedangkan untuk terjadinya proses
disolusi, polimer harus mampu menyerap aqueous solvent dan
berinteraksi baik secara muatan maupun ikatan hidrogen.
(Liechty et al., 2010)

8. Aplikasi Polimer pada Controlled Delivery Drug


Untuk controlled delivery drug, jenis polimer yang digunakan
memiliki spesifikasi khusus dibandingkan dengan polimer pada umumnya,
diantaranya: polimer umumnya berukuran mikro dan nano serta bersifat
biodegradable, bersifat responsif, dan berbentuk hidrogel untuk efek lokal.
Pengaruh masing-masing spesifikasi diantaranya:
a. Ukuran mikro dan nano yang biodegradable dibutuhkan untuk
meningkatkan bioavaibilitas dan bioaktivitas obat. Polimer berbahan
dasar poliester yang dibentuk melalui teknik emulsifikasi atau
nanopresipitasi dapat didesain untuk memiliki rentang waktu
degradasi. Namun, tetap saja degradasi dan profil kinetik obat tetap
bergantung pada sifat fisikokimia polimer (berat molekul,
hidrofobisitas, dan polydispersity). Contoh polimer yang cocok adalah:
Polilaktid, Poly(lactide-co-glycolide) (PLGA), Chitosan, dan garam
Natrium Alginat.
b. Polimer yang responsif berguna pada lingkungan yang cepat berubah,
baik dalam struktur, sifat hidrofobisitas, panas, pH, dan ikatan ion.
Sistem penghantaran obat (misel, mikrogel, hidrogel) yang terdiri dari
polimer responsif, tetap dapat mengeluarkan obat dalam keadaan
lingkungan dengan kadar air tinggi maupun rendah. Contoh polimer
yang cocok adalah: Poly(N-isopropylacrylamide) (PNIPAM).
c. Hidrogel polimer mendukung penghantaran obat yang site-specific
maupun lokal. Hidrogel polimer dapat didesain melalui proses
crosslinking beberapa polimer lain. Selain untuk obat, polimer yang
cocok juga mampu digunakan sebagai penghantar protein maupun gen.
Contoh polimer yang cocok adalah: Heterobifunctional PEGs,
Homobifunctional PEGs, dan Multi-arm PEGs.
(Aldrich, 2017)
PRODRUG

1. Definisi Prodrug dan Fungsi Prodrug


Prodrug merupakan derivat molekul obat yang mengalami
biotransformasi enzimatis atau kimia menjadi senyawa aktif di dalam
tubuh dimana selanjutnya akan memberikan efek farmakologi sesuai
dengan manfaatnya masing-masing. Pelepasan bentuk aktif obat
dikendalikan dan dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah absorbsi
ataupun pada tempat aksi obat yang spesifik tergantung dari tujuan
rancangan suatu obat (Stella et al., 2007; Rautio et al., 2008).
Promoiety merupakan suatu gugus fungsional yang digunakan
untuk memodifikasi struktur yang aktif secara farmakologi. Promoiety
yang ideal untuk digunakan adalah zat yang aman dan dapat segera
dieksresikan dari dalam tubuh, umumnya melalui ginjal. Promoiety yang
akan direaksikan diseleksi berdasarkan sifat yang ingin diperbaiki dari
senyawa induknya. Ilustrasi mengenai gugus-gugus promoiety yang dapat
dibuat menjadi senyawa prodrug dengan senyawa obat yang memiliki
gugus fungsi tertentu dapat dilihat pada gambar berikut :
(Rautio et al., 2008)
Senyawa induk yang bersifat lipofilik mempunyai kemampuan
menembus membran biologis besar, namun memiliki sifat kelarutan yang
rendah di dalam air. Begitu pula sebaliknya, senyawa induk yang bersifat
hidrofilik memiliki kelarutan di dalam air yang besar, namun
kemampuannya untuk menembus membran biologis kecil. Hal ini
disebabkan pada membrann biologis tubuh, terdapat senyawa lipofilik
sehingga senyawa induk hidrofilik sulit untuk dapat menembus membran
biologis tersebut (Rautio et al., 2008).
Pendekatan prodrug telah berhasil digunakan untuk mengatasi
permasalahan kelarutan bahan obat yang rendah di dalam air atau
permasalahan bioavailabilitas yang tidak menentu atau berubah-ubah
seiring waktu. Dengan memodifikasi senyawa induk oleh suatu gugus
polar, maka kelarutan senyawa obat yang rendah dalam air akan dapat
ditingkatkan sehingga bioavailabilitas obat pun akan menjadi lebih baik
(Stegemann et al., 2007; Stella et al., 2007; Rautio et al., 2008).
Pendekatan prodrug umumnya didasarkan pada biotransformasi
kimia maupun biokimia untuk dapat menjadi bentuk aktifnya sebelum
mencapai reseptor target ataupun tempat aksi. Prinsip ini khususnya sangat
berguna bagi sediaan intravena karena prodrug yang larut di dalam air
direkonstitusi terlebih dahulu sebelum digunakan sehingga dapat dengan
cepat merubah sifat senyawa induknya dari yang tidak aktif menjadi
bentuk aktifnya. Namun, bagi sediaan oral, perubahan bentuk obat di
dalam saluran cerna biasanya terjadi sebelum fase absorbsi. Kemudian,
selanjutnya zat yang terkandung di dalam obat yang tidak larut akan
mengendap bersama dengan larutan di dalam saluran cerna.
Akan tetapi, obat dengan bentuk prodrug masih memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan obat dengan bentuk sediaan yang
langsung aktif saat memasuki tubuh. Keuntungan tersebut di antaranya
adalah meningkatkan kelarutan obat saat awal masuk ke dalam tubuh
karena bahan dari lapisan luar prodrug merupakan zat yang dapat dengan
mudah larut oleh cairan tubuh. Maka dari itu, bila kelarutan dapat lebih
cepat tercapai, transpor awal obat pun akan menjadi lebih cepat.
Keuntungan lainnya adalah dosis obat yang harus dikonsumsi tidak terlalu
besar karena senyawa prodrug yang telah menjadi bentuk aktifnya di
dalam tubuh akan larut bersama dengan cairan tubuh membentuk suatu
larutan yang akan bertahan dalam beberapa saat di dalam tubuh akibat
adanya surfaktan di dalam saluran cerna sehingga dapat menahan senyawa
tersebut tetap dalam bentuk larutan. Kelebihan lain dari sistem obat
prodrug adalah bila senyawa obat yang telah aktif di dalam tubuh
membentuk suatu larutan dengan adanya endapan, bentuk endapan
tersebut pun sangat halus sehingga dapat dengan mudah melarut kembali
dengan cairan tubuh sehingga dapat dimetabolisme kembali dan
menghasilkan efek farmakologi yang diinginkan (Yalkowsky, 1981).
Sekitar 5-7% obat yang disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administration), dapat diklasifikasikan sebagai prodrug dan pada saat ini
impelementasi pendekatan prodrug pada tahap awal penemuann obat
sedang berkembang pesat. Prinsip konsep prodrug disesuaikan dengan
tujuan dan manfaat yang ingin dicapai oleh senyawa induknya. Prodrug
yang diinginkan untuk melepas senyawa induk dengan segera, dirancang
untuk memiliki ikatann lemah antara senyawa induk dengan promoiety,
begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, proses biokonversi obat dari
bentuk prodrug menjadi senyawa induk yang aktif dapat diperoleh sesaat
segera setelah obat dikonsumsi.
Proses biokonversi di dalam tubuh dimediasi oleh adanya enzim-
enzim yang terdapat di dalam darah, hati, sistem pencernaan, dan jaringan
lainnya yang berhubungan langsung dengan proses absorbsi, distribusi,
metabolisme, maupun ekskresi obat (Stella et al., 2007).
Prinsip prodrug yang diterapkan disesuaikan kembali dengan sifat-
sifat fisikokimia, farmasetika, biofarmasetika, dan atau farmakokinetika
obat atau senyawa induk yang akan diperbaiki. Dua prinsip prodrug yang
ditujukan untuk dapat meningkatkan kelarutan senyawa yang sukar larut
dalam air adalah menurunkan titik lebur senyawa induk dengan metode
derivatisasi atau menambahkan promoiety bersifat polar yang dapat
terionkan pada senyawa induk. Prodrug yang larut air pada umunya akibat
prodrug tersebut memiliki gugus fosfat, suksinat, maupun asam amino
dari gugus hidroksil (Roche, 1987).

2. Contoh Prodrug dan fungsinya


Telah banyak jenis asam amino yang diteliti secara luas dalam
penggunaannya sebagai promoiety dengan guna untuk memperbaiki sifat
kelarutan senyawa di dalam air dari berbagai macam obat yang
mengandung amina dan alkohol.
Fenitoin merupakan salah satu senyawa asam lemah yang sukar
larut di dalam air dan memiliki pKa sebesar 8,3, serta memiliki gugus
imida di dalam struktur molekulnya. Dengan menggantikan satu proton
NH tipe imida dengan suatu gugus fosfonooksimetil membentuk prodrug
yang dikenal sebagai fosfenitoin. Fosfenitoin merupakan salah satu bentuk
prodrug yang mampu meningkatkan kelarutan fenitoin dari 20-25 g/mL
menjadi 140 mg/mL. Selain itu, fosfenitoin juga dapat memberikan
bioavailabilitas dan profil keamanan obat yang lebih baik dibandingkan
dengan bentuk garamnya, yaitu Natrium Fenitoin (Stegemann et al.,
2007).

(Stegemann et al., 2007).


Valacyclovir merupakan bentuk prodrug asam amino dari senyawa
acyclovir. Valacyclovir dapat menunjukkan peningkatan kelarutan dari 1,3
mg/mL menjadi 174 mg/mL pada suhu 25oC. Selain itu,
bioavailabilitasnya pada penggunaan secara oral meningkat dari 12-20 %
menjadi 54% (Santos et al., 2009; Steingrimsdottir et al., 2000).

(Santos et al., 2009).


Midodrine merupakan prodrug dengan gugus promoeity yang
berasal dari asam amino glisin. Bioavailabilitas midodrine setelah
penggunaan per oral meningkat daro 50% (desglymidodrine) menjadi 93%
(midodrine) (Rautio et al., 2008). Di samping itu, prodrug ester
camphothecin dengan serangkaian gugus -asam amino, seperti glisin,
alanin, aminobutirat, dan norvalin telah disintesis, dikarakterisasi, dan
dievaluasi oleh Desmukh et al., (2010).

(Rautio et al., 2008)


Hecker, et al., (2003) telah meneliti peningkatan kelarutan
cephalosporin yang dibuat menjadi prodrug ester dengan gugus promoiety
dari berbagai macam asam amino. Penelitian ini menunjukkan bahwa
pembentukan prodrug asam amino dengan zat alanin mampu
meningkatkan kelarutan cephalosporin hingga dua kali liaptnya, yaitu dari
4,5 mg/mL menjadi mencapai 9 mg/mL. Hal ini sebanding dengan serin,
namun prodrug dapat melepaskan senyawa induk cephalosporin secara in
vitro lebih besar, yaitu 83% dibandingkan dengan serin yang hanya 3%.
Dalam sistem prodrug ini, lisin mampu meningkatkan kelarutan
cephalosporin lebih dari 5 kali dan mampu melepaskan senyawa induk
secara in vitro sebesar 23%. Sedangkan, peningkatan kelarutan
cephalosporin dengan asam amino glisin hanya sebesar 1,3 kali
dibandingkan dengan bentuk standarnya.
Akan tetapi, prodrug yang menunjukkan kecepatan yang cukup
untuk berubah menjadi senyawa induk secara in vivo hanyalah glisin,
alanin, dan lisin. Maka dari itu, 3 asam amino ini merupakan jenis asam
amino yang paling sering digunakan untuk menjadi promoietyi dalam
sistem pembuatan prodrug.
Selain memberikan kelarutan yang baik dalam air, penggunaan
asam-asam amino sebagai promoiety dapat segera diubah oleh enzim
esterase dan atau peptidase yang terdapat di dalam tubuh. Promoiety yang
berasal dari asam amino juga banyak digunakan karena sifatnya yang
dapat dilepaskan secara alami sebagai kebutuhan non toksik saat terjadi
perubahan bentuknya di dalam tubh (Hemenway et al., 2010).
Suatu prodrug dengan kelarutan tinggi dapat memberikan kekuatan
pendorong atau disebut dengan gradien konsentrasi bila dibandingkan
dengan senyawa obat induk saat diabsorbsi. Senyawa induk dengan
koefisien partisi yang tinggi dapat memberikan keuntungan ketika terjadi
rekonversi prodrug oleh enzim di brush border pada membran mukosa
dalam saluran cerna. Pada kondisi tersebut, prodrug akan dilepas menjadi
senyawa induk yang permeabel. Rekonversi prodrug yang cepat di dalam
saluran cerna akan membantu memperbaiki keterbatasan absorbsi
(Fleisher et al., 1996).
(Fleisher et al., 1996).

Prodrug yang larut di dalam cairan saluran cerna akan memberikan


konsentrasi besar sebagai kekuatan pendorong dalam proses absorbsi.
Pemutusan promoiety oleh suatu enzim di brush border yang terikat
membran melepaskan senyawa induk lipofilik di sekitar membran mukosa
(Fleisher et al., 1996).
Contoh lain dari sistem prodrug adalah hidrokortison atau cortisol
sebagai prodrug dari kortison. Selain itu, prednisolon merupakan prodrug
dari bentuk prednison, enalapril merupakan bentuk prodrug dari
enalaprilat, azathioprin merupakan bentuk prodrug dari merkaptopurine,
zidovudin trifosfat merupakan bentuk prodrug dari zidovudin (Rautioa, et
al., 2008).
Gambar berikut merupakan beberapa struktur pembentukan
prodrug tersebut :
(Rautio et al., 2008)
DAFTAR PUSTAKA

Aldrich, S. 2017. Polymeric Drug Delivery Techniques. Available online at


https://www.sigmaaldrich.com/content/dam/sigma-aldrich/docs/Sigma-
Aldrich/Brochure/1/polymers-for-drug-delivery.pdf [diakses 4 Oktober
2017].
Cable, C. G. 2009. Sodium Alginate. In: Handbook of Pharmaceutical Excipients
6th Ed. London: Pharmaceutical Press.
Cook, W., Quinn M. E., Rowe, R. C. 2009. Cyclodextrin. In: Handbook of
Pharmaceutical Excipients 6th Ed. London: Pharmaceutical Press.
Chandel Priya, Rajkumari, Kapoor Ankita. 2013. Polymer: A Boon to Controlled
Drug Delivery System. International Research Journal of Pharmacy. 4
(4): 28-34.
Crowley, M. M, Zhang F., Koleng J. J., dan McGinity J. W. 2002. Stability of
Polyethylene Oxide in Matrix Tablet Prepared By Hot-Melt Extrusion.
Biomaterials. 23: 4241-48.
Deshmukh M, Shaop, Kutscher HL, Gao D, Sinko PJ, 2010. A Series of -amino
acid Ester Prodrugs of Camphothecin : In Vitro Hydrolysis and A 549
Human Long Carcinoma Cell Cytotoxicity, J. Med Chem, 53(3); 1038-
1047.
Enayatifard, R., Saeedi M., Akbari J., dan Tabatabaee Y. H. 2009. Effect of
Hydroxypropyl Methyl Cellulose and Ethyl Cellulose Content on Release
Profile and Kinetics of Diltiazem Gel from Matricses. Tropical Journal
of Pharmaceutical Research. 5:425-2.
Fleisher D, Bong R, Steward BH, 1996. Improved Oral Drug Delivery : Solubility
Limitations Overcome by The Use of Prodrugs. Adv. Drug. Dev. Rev.,
19: 115-130.
Griskey, Richard G. 2012. Polymer Process Engineering. US: Springer Science
and Business Media.
Guest, R. T. 2009. Albumin. In: Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Ed.
London: Pharmaceutical Press.
Gunatilaka, P. A. dan Adhikari R. 2003. Biodegradable Synthetic Polymers for
Tissue Engineering. Eur Cells and Meterial. 5:1-16.
Hanna, S. A. 1990. Stability Kinetics. In: Pharmaceutical Dosage Form: Tablets
2nd Ed. New York: Marcel Dekker.
Hapgood, K. P. 2009. Hydroxyethylcellulose. In: Handbook of Pharmaceutical
Excipients 6th Ed. London: Pharmaceutical Press.
Hecker, J. H., Calkins T, Price ME, Huie K, Chen S, Glinka TW, and Dudley
MN, 2003. Prodrugs of Cephalosporin RWJ-333441 (MC-04,546) with
Improved Aqueous Solubility, J Antimicrob Agents Chemother, 6: 2043-
2046.
Hemenway, J. N., Jarho P, Henri JT, Nair Sk, Vandervelde D, Georg GI, and
Stella VJ, 2010. Preparation and Physichochemical Characterization of
Novel Water-Soluble Prodrug of Carbamazepine, J Pharm Sci, 4: 1810-
1825.
Hendrana, Sunit. 2006. Perkembangan Teknologi Polimerisasi Radikal Bebas
Terkontrol dalam Aplikasi pada pembuatan Biodegradable Polimer.
Prosiding Simposium Nasional Polimer VI.
Jansen, W. B. 2008. The Origin of The Polymer Concept. J. Chem. Educ,85:624-
625.

Jensen, W. B. 2006. Thse Origin of the Term Allotrope. J. Chem. Educ, 83: 838
839
Kadaji, V. G. dan Betageri G. V. 2011. Water Soluble Polymers for
Pharmaceutical Applications. Polymers. 3: 1973.
Labarre, Denis; Gilles Ponchel dan Christine Vauthier. 2011. Biomedical and
Pharmaceutical Polymers. London: Pharmaceutical Press.
Lee, K. Y. 2005. Design Parameters of Polymers for Tissue Engineering
Application. Macromolecular Research. 13: 277-84.
Liechty, W. B., David R. K., Brandon V. S., dan Nicholas A. P. 2010. Polymers
for Drug Delivery Systems. Annu Rev Chem Biomol Eng. 1: 149-173.
Meyer Bill and Fred W. 1971. Textbook of Polymer Science, 2nd edition. Sidney:
Wiley Interscience.
Mishra, N., Goyal A. K., Khatri K., Vaidya B., Paliwal R., Rai S. 2008.
Biodegradable Polymer Based Particulate Carriers for the Delivery of
Proteins and Peptides. Anti-inflammatory and Anti-allergy Agents in
Medicinal Chemistry. 7:240-251.
Murthy, R. S. R. 2007. Biodegradable Polymer. In: Controlled and Novel Drug
Delivery 1st Ed. New Delhi: CBS Publisher and Distributers.
Podczeck, F. 2009. Gelatin. In: Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Ed.
London: Pharmaceutical Press.
Porter, S. C. dan Bruno C. H. 1990. Coating of Pharmaceutical Solid Dosage
Form. In: Pharmaceutical Dosage Form: Tablets 2nd Ed. New York:
Marcel Dekker.
Rautio J, Laine K, Gynther M, and Souvolainen J, 2008. Prodrug Approaches for
CNS Delivery, AAPS Journal, 1: 92-102.
Rautio J, Kumpulainen H, Heimbach T, Oliyai R, Oh D, Jarvinen T, and
Savolainen J, 2008. Prodrugs : Design and Clinical Applications, Nature,
7: 255-270.
Roche EB, 1987. Bioreversible Carriers in Drug Design, Theory and Application,
Pergamon Press, New York.
Santos CR, Capela R, Pereira CSGP, Valente E, Gouveia L, Pannecouque C,
Clerq ED, Moreira R, and Gomes P, 2009. Structure-activity
Relationships for Dipeptide Prodrugs of Acyclovir : Implications for
Prodrug Design, Eur. J. Med. Chem, 44: 2239-2346.
Singh, K. K. 2009. Carrageenen. In: Handbook of Pharmaceutical Excipient 6th
Ed. London: Pharmaceutical Press.
Stegemann S, Leveiller F, Franchi D, de Jong H, Linden H, 2007. When Poor
Solubility becomes an Issue : From Early Stage to Proof of Concept, Eur.
J. Pharm Sci, 31: 249-261.
Steingrimsdottir H, Gruber A, Palm C, Grimfors G, Kalin M, and Eksborg S,
2000. Bioavailability of Acyclovir after Oral Administration of Acyclovir
and Its Prodrug Valaciclovir to patients with Leukopenia after
Chemotheraphy, J. Antimicrob Agents Chemother, 44 (1): 207-209.
Stella VJ and Nti-Addae KW, 2007. Prodrug Strategies to Overcome Poor Water
Solubility, Adv. Drug Dev. Rev., 59:677-694.
Weller, P. J. 2009. Ceratonia. In: Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Ed.
London: Pharmaceutical Press.
Yawkolsky SH, 1981. Techniques of Solubilization of Drug, Marcel Dekker Inc,
New York, 183-211.
Young, Robert J. dan Peter A. Lovell. 2011. Introduction to Polymers Third
Edition. US: CRC Press.

Anda mungkin juga menyukai