Anda di halaman 1dari 38

FARMAKOTERAPI PENYAKIT ISKEMIA-ANGINA

Diajukan untuk memenuhi tugas farmakoterapi terapan semester ganjil

Kelas: B/Kelompok 4
Disusun Oleh:
Abd. Kakhar Umar 260112170530
Ahmad Fauzi 260112170570
Giovani Wijonarko 260112170562
Indriani Saraswati 260112170568
Munir Ali 260112170558
Siti Sahirah Ulfah 260112170586
Teresya Puteri 260112170534
Yulien Ratu Kania 260112170566
Zidni Hadyarrahman 260112170508

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil‘alamin, dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha

Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-

Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Farmakoterapi Terapan dengan judul

Iskemia- Angina.

Makalah ini telah kami susun dengan optimal dan mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi

dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu

dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar

kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Farmakoterapi Terapan dengan

judul Iskemia-Angina ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

ii
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3

2.1 Anatomi ...................................................................................... 3

2.2 Definisi........................................................................................ 4

2.3 Patofisiologi ................................................................................ 4

2.4 Manifestasi Klinik....................................................................... 5

2.5 Diagnosis .................................................................................... 8

2.6 Hasil Terapi yang Diharapkan ................................................... 15

2.7 Penanganan ................................................................................. 16

2.7.1 Terapi Non Farmakologi ................................................... 16

2.7.2 Terapi Farmakologi ........................................................... 18

2.8 Evaluasi Hasil Terapi ................................................................. 23

BAB III ISI....................................................................................................... 25

3.1 Subjek ......................................................................................... 25

3.2 Objek........................................................................................... 25

3.3 Assestment .................................................................................. 26

iii
iiii
3.4 Pembahasan Terapi ..................................................................... 29

3.5 Plan ........................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 31


BAB I
LATAR BELAKANG

Penyakit Jantung Iskemia (PJI), dikenal juga Penyakit arteri koroner (PAK),

didefinisikan sebagai kekurangan oksigen dan penurunan atau tidak adanya aliran

darah ke miokardium yang disebabkan oleh penyempitan atau terhalangnya arteri

koroner. Arteri ini memasok darah yang kaya oksigen ke otot jantung . Ketika plak

menumpuk di arteri, kondisi ini disebut aterosklerosis. Penumpukan plak terjadi

selama bertahun-tahun. Seiring waktu, plak dapat mengeras atau pecah (membuka).

plak mengeras mempersempit arteri koroner dan mengurangi aliran darah yang kaya

oksigen ke jantung. Jika plak pecah, gumpalan darah dapat terbentuk di

permukaannya. Bekuan darah besar sebagian atau seluruhnya dapat memblokir aliran

darah melalui arteri koroner. Seiring waktu, plak yang pecah juga mengeras dan

mempersempit arteri koroner. Iskemia miokard juga dapat terjadi karena kebutuhan

oksigen miokard meningkat secara tidak normal seperti pada hipertrofi ventrikel atau

stenosis aorta. Jika kejadian iskemik bersifat sementara maka berhubungan dengan

angina pektoris, jika berkepanjangan maka dapat menyebabkan nekrosis miokard dan

pembentukan parut dengan atau tanpa gambaran klinis infark miokard. (NIH, 2015).

PJI dapat terjadi pada Gejala Koroner Akut (GKA), yang melibatkan angina

pektoris tidak stabil dan Infark Miokardial Akut (IMA) berhubungan dengan

perubahan ECG baik peningkatan pada bagian ST (STEMI) atau peningkatan bagian

non-ST (NSTEMI). Angina pektoris ialah suatu sindroma klinis di mana didapatkan

1
sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya iskemik

miokard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi >70% penyempitan arteri

koronaria. Angina pektoris dapat muncul sebagai angina pektoris stabil (APS, stable

angina), dan keadaan ini bisa berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan

Sindroma Koroner Akut (SKA) atau yang dikenal sebagai serangan jantung

mendadak (heart attack) dan bisa menyebabkan kematian (Majid, 2007). PJI dapat

muncul juga sebagai Miokardial Infark (MI) didiagnosis hanya oleh penanda

biokimia, angina eksersional stabil kronis, iskemia tanpa gejala, atau iskemia

disebabkan vasospasmus arteri koroner (angina Prinzmetal atau varian) (Yulinah dkk,

2008).

Di Indonesia pada tahun 1972, tercatat dalam Survey Kesehatan Rumah

Tangga (SKRT) penyakit jantung koroner atau jantung iskemi merupakan penyebab

kematian pada urutan ke sebelas dan menjadi urutan ketiga pada tahun 1986, sedang

pada tahun 1992 dan 1995 naik menjadi urutan pertama penyebab kematian di

Indonesia, berdasarkan SKRT tahun 2001 dari 100 kematian, 20 diantaranya

disebabkan penyakit kardiovaskuler (25,6%). Penyakit ini merupakan penyebab

kematian tertinggi dan jumlah kejadiannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Data

statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992 persentase penderita PJKdi Indonesia

adalah 16,5%, dan pada tahun 2000 melonjak menjadi 26,4% (Sitorus, 2008).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Sistem peredaran darah manusia terdiri dari darah, cairan penghubung

jaringan, terkandung sepenuhnya dalam sistem pembuluh darah melingkar (atau

jaringan pembuluh darah) yang terhubung ke pemompa, yaitu jantung. Jantung

memompa oksigen dan darah yang mengandung nutrisi melalui pembuluh darah,

mensuplai ke semua jaringan pada tubuh untuk mempertahankan kehidupan.

Sistem aliran darah dari jantung dibagi menjadi dua, yaitu peredaran darah

pulmonal dan sistemik. Sistem peredaran darah pulmonal menerima darah dari

seluruh tubuh yang kemudian dipompa ke paru-paru untuk menukar kandungan

karbondioksida dalam darah dengan oksiken yang diambil dari paru-paru.

Sedangkan sistem peredaran darah sistemik menerima darah yang sudah

mengandung oksigen dari paru-paru kemudian dipompa ke seluruh tubuh

(Whittemore, 2004).

Baik sistem peredaran darah pulmonal maupun sistemik darah dipompa

melalui rangkaian pembuluh darah. Darah dipompa keluar dari jantung melalui

pembuluh besar arteri yang kemudian bercabang ke arteri yang lebih kecil,

kemudian ke arteriol, kemudian ke pembuluh kapiler yang lebih kecil. Pembuluh

kapiler merupakan tempat pertukaran darah dengan sel disekitarnya. Setelah

meninggalkan kapier, darah dikumpulkan di venula kemudian ukuran pembuluh

3
vena membesar, sebelum kembali ke jantung. Pembuluh arteri merupakan

pembuluh pengantar darah dari jantung, sedangkan pembuluh vena merupakan

pembuluh pengantar menuju jantung (Whittemore, 2004).

Sistem peredaran darah manusia didesain untuk secara cepat dan efisien

mengantarkan dara ke seluruh bagian tubuh. Darah mengandung oksigen dan

nutrisi yang dibutuhkan oleh respirasi sel dan jaringan tubuh. Darah juga

mengantarkan limbah seluler ke tempat eliminasinya (Whittemore, 2004).

2.2. Definisi

Penyakit jantung iskemik didefinisikan sebagai kekurangan oksigen dan

penurunan atau tidak adanya darah yang mengalir ke miokardium akibat dari

penyempitan arteri koroner atau penyumbatan (DiPiro et al., 2015). Bisa dalam

bentuk sindrom koroner akut (ACS), meliputi angina tidak stabil, elevasi segmen

non-ST atau elevasi segmen ST, infark miokardia, angina eksersional stabil,

iskemia tanpa gejala, atau iskemia akibat vasospasme arteri koroner.

2.3. Patofisiologi

Iskemia miokard pada penyakit jantung koroner berkembang ketika aliran

darah koroner menjadi tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan oksigen

miokard. Hal ini menyebabkan sel miokard beralih dari metabolisme aerobik ke

anaerobik, dengan penurunan fungsi metabolisme, mekanik, dan listrik progresif.

Angina pektoris adalah manifestasi klinis yang paling umum dari iskemia

miokard.
4
Hal ini disebabkan oleh stimulasi kimia dan mekanis ujung saraf sensorik aferen

pada pembuluh koroner dan miokardium. Serabut saraf ini meluas dari saraf

tulang belakang toraks pertama ke keempat ke belakang, naik melalui sumsum

tulang belakang ke talamus, dan dari sana ke korteks serebral (Alaeddini, 2016).

Oksigen dikirim ke jantung oleh pembuluh permukaan yang lebih besar

(pembuluh epikardial) dan arteri intramyokard dan arteriol, yang bercabang

menjadi kapiler. Dalam jantung yang sehat, ada sedikit hambatan terhadap aliran

darah di pembuluh epikardial. Saat plak aterosklerotik hadir, aliran darah

terhambat, namun proses autoregulasi bisa mengimbangi. Autoregulasi adalah

pelebaran pembuluh miokard dalam menanggapi penurunan pengiriman oksigen.

Melalui autoregulasi, aliran darah ke jantung berubah dengan cepat akibat

tingginya permintaan. Mediator yang paling penting yang terlibat dalam perfusi

miokard adalah adenosine (vasodilator kuat), nukleotida lain, oksida nitrat,

prostaglandin, karbon dioksida, dan ion hidrogen. Hambatan terhadap aliran

darah koroner dapat diperbaiki, seperti aterosklerosis, atau dinamik, seperti

dengan kejang koroner (Albrecht, 2013).

Studi menunjukkan bahwa adenosin mungkin merupakan mediator kimia

utama nyeri angina. Selama iskemia, ATP terdegradasi pada adenosin, yang

setelah difusi ke ruang ekstraselular, menyebabkan pelebaran arteriol dan nyeri

angina. Adenosin menginduksi angina terutama dengan merangsang reseptor A1

pada ujung saraf aferen jantung (Alaeddini, 2016).

5
Lapisan endothelial sel tunggal memisahkan otot polos pembuluh darah

dari darah. Bila utuh, endotel vaskular ini memungkinkan vasodilatasi dan

mencegah pembentukan plak trombus dan sklerotik. Endotelium arteri koroner

mensintesis fibronektin, interleukin-1, aktivator plasminogen jaringan, faktor

pertumbuhan tertentu, prostasiklin, faktor pengaktifan platelet, endothelin-1, dan

nitric oxide (NO). NO disintesis dari L-arginine oleh nitric oxide synthase

menyebabkan relaksasi otot polos arteri. Hilangnya lapisan endotel menyebabkan

NO kurang dan dapat terjadi karena adanya serangan mekanis atau kimiawi atau

dari lipoprotein densitas rendah teroksidasi (LDL). Fungsi endothelial dapat

diperbaiki dengan angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs), statin, dan

olahraga.

Detak jantung, keadaan inotropika miokard, dan ketegangan dinding

miokard adalah penentu utama aktivitas metabolik miokard dan kebutuhan

oksigen miokard. Peningkatan denyut jantung dan keadaan kontraktil miokard

menghasilkan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Peningkatan afterload

(yaitu, tekanan aorta) dan preload (yaitu volume akhir diastolik ventrikel)

menghasilkan peningkatan tekanan dinding miokard yang proporsional dan, oleh

karena itu, meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Pasokan oksigen ke sistem

organ ditentukan oleh aliran darah dan ekstraksi oksigen. Karena saturasi oksigen

vena koroner istirahat sudah pada tingkat yang relatif rendah (sekitar 30%),

miokardium memiliki kemampuan terbatas untuk meningkatkan ekstraksi

oksigen selama episode peningkatan permintaan. Dengan demikian,

6
peningkatan

7
permintaan oksigen miokard (misalnya, selama latihan) harus dipenuhi oleh

peningkatan aliran darah koroner secara proporsional (Alaeddini, 2016).

2.4. Manifestasi Klinik

Beberapa jenis iskemik tidak menunjukkan gejala angina (iskemik diam).

Pasien kadang merasakan jenis nyeri atau gejala lain setelah beberapa gerakan

spesifik. Peningkatan frekuensi gejala, kerasnya, atau durasi, dan gejala

menunjukkan bentuk yang tidak stabil menunukkan pasien segera membutuhkan

evaluasi medis. Gejala mungkin termasuk rasa tertekan atau terbakar di dada atau

sekitarnya, terkadang ke rahang kiri, bahu, dan lengan. Dada sesak dan nafas

pendek juga bisa terjadi. Sensasi ini biasanya terjadi 30 detik hingga 30 menit.

Faktor yang menyebabkan termasuk latihan, lingkungan yang dingin, berjalan

setelah makan, emosi, takut, marah, dan senggama. Pertolongan dapa diberikan

berupa istirahat dan dengan penggunaan nitrogliserin selama 45 detik hingga 5

menit (DiPiro, 2015).

Pasien dengan varian (Prinzmetal) angina sekunder hingga kejang (spasme)

jantung kemungkinan mengalami nyeri saat beristirahat dan pada waktu pagi dini

hari. Nyeri tidak hanya terjadi akibat aktivitas atau tekanan emosi atau

kehilangan waktu beristirahat; pola elektrokardiogram (EKG) menunjukkan

luka dengan peningkatan segmen ST dibanding dengan penekanan. Angina yang

tidak stabil dibagi menjadi kategori rendah, menengah, atau resiko tinggi untuk

kematian jangka pendek atau infark miokard nonfatal. Ciri – ciri yang

menunjukkan angina
8
tidak stabil dengan resiko tinggi termasuk: (1) tempo akselerasi gejala iskemik

selama 48 jam; (2) nyeri pada akhir istirahat selama lebih dari 20 menit; (3) usia

lebih dari 75 tahun; (4) segmen ST berubah; dan (5) ditemukan pembengkakan

pulmonary, mitral regurgitation, hipotensi, bradikardia, atau takikardia. Peristiwa

iskemik terkadang tidak terasa nyeri, atau “diam”, mungkin karena melewati

ambang batas dan toleransi rasa nyeri pada pasien yang sudah sering merasakan

nyeri (DiPiro, 2015).

2.5. Diagnosis

Ketika angina sudah dicurigai terjadi, beberapa prosedur diagnosis dapat

membantu dalam memastikan myocardial ischemia sebagai penyebabnya.

Membuat diagnosis angina pektoris yang disebabkan oleh penyakit arteri koroner

tidak selalu mudah. Dalam beberapa kasus, penilaian klinis saja mungkin cukup,

namun pada kasus lainnya diperlukan adanya ada tes diagnostik tambahan

lainnya. Berikut prosedur diagnosis yang dapat dilakukan:

A. Pemeriksaan Elektrokardiogram

Setiap denyut jantung dipicu oleh impuls listrik yang dihasilkan dari

sel khusus di jantung. Sebuah elektrokardiogram mencatat sinyal listrik ini

saat sinyal tersebut melakukan perjalanan melalui jantung. Pola di antara

detak jantung ini dapat dicari untuk melihat apakah aliran darah melalui

jantung pasien telah diperlambat atau terganggu atau jika pasien mengalami

serangan

9
jantung. Terdiri dari komponen gelombang yang mengindikasikan satu detak

jantung. Gelombang tersebut diberi istilah P, Q, S, T dan U. Pada keadaan

normal menunjukkan:

a. Gel. P mengindikasikan kontraksi atrium dan memompa darah ke

ventrikel

b. Kompleks QRS: Dimulai dari defleksi ke bawah, Q; Defleksi ke atas,

puncak R dan gelombang menurun pada gelombang S. Kompleks ini

menunjukkan depolarisasi ventrikular dan kontraksi

c. Interval PR mengindikasikan sinyal listrik nodus sinus ke ventrikel.

d. Gelombang T menunjukkan repolarisasi ventrikel ().

Dan berikut nilai gelombang dan intervalnya;

a. RR interval: 0.6-1.2 detik

b. P wave: 80 milidetik

c. PR interval: 120-200 milidetik

d. PR segment: 50-120 milidetik

e. QRS complex: 80-100 milidetik

f. J-point: N/A

g. ST segment: 80-120 milidetik

h. T wave: 160 milidetik

i. ST interval: 320 milidetik

j. QT interval: 420 milidetik atau kurang (Christensen, 2014).

10
B. Stress Testing

Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam

masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, atau EKG tetap nondiagnostik.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan olahraga atau tes stress

farmakologis. Stress testing yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Olahraga Standar

Pada pemeriksaan ini, pasien akan diberikan perintah untuk

berolahraga di atas treadmill untuk meningkatkan beban kerja yang

semakin tinggi dan diamati perkembangan ketidaknyamanan atau sesak

dada, atau dispnea yang berlebihan. Detak jantung dan EKG terus

dimonitor, tekanan darah dicek pada interval reguler. Pemeriksaan terus

dilakukan sampai angina terjadi, tanda-tanda iskemia miokard muncul

pada EKG, target detak jantung tercapai, atau ketika pasien sudah terlalu

lelah untuk melanjutkan olahraga. Pemeriksaan dianggap abnormal jika

ketidaknyamanan dada khas pasien direproduksi atau jika kelainan EKG

konsisten dengan perkembangan iskemia (lebih dari 1 mm horizontal

atau terjadi penurunan ST-segmen)

b. Nuclear Imaging

Tes stres nuklir membantu mengukur aliran darah ke otot jantung

saat istirahat dan selama stres. Hal ini mirip dengan tes stres rutin,

namun
11
selama tes tekanan nuklir, zat radioaktif disuntikkan ke aliran darah. Zat

ini bercampur dengan darah dan mengalir ke jantung. Pemindai khusus

yang mendeteksi bahan radioaktif di jantung akan memberikan gambar

otot jantung. Aliran darah yang tidak memadai ke bagian manapun dari

jantung akan muncul pada gambar karena tidak banyak zat radioaktif

yang sampai ke sana.

c. Pemeriksaan Ekokardiografi

Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk

menghasilkan gambar jantung. Gambar ini dapat digunakan untuk

mengidentifikasi masalah terkait angina, termasuk apakah ada area otot

jantung yang telah rusak akibat aliran darah yang buruk. Ekokardiogram

kadang diberikan selama tes stres, dan ini bisa menunjukkan jika ada

area di jantung yang tidak mendapatkan cukup darah.

d. Stress Testing Farmakologi

Untuk pasien yang tidak dapat berolahraga, dapat dilakukan stress

testing farmakologis denan vasodilator coroner seperti adenosine,

regadenoson, atau dipiridamol (Lilly, 2016).

C. Angiografi Koroner

Angiografi koroner adalah pemeriksaan medis yang dilakukan untuk

mengamati pembuluh darah jantung dengan menggunakan teknologi

12
pencitraan sinar-X. Prosedur ini dilakukan terutama untuk mengamati

bagaimana darah mengalir melalui arteri jantung dan menentukan apakah

terdapat penyumbatan atau penyempitan arteri. Prosedur ini merupakan salah

satu jenis kateterisasi jantung yang paling umum dilakukan, yang membantu

dalam mendiagnosis dan menangani kondisi yang berhubungan dengan

jantung dan pembuluh darah.

Angiografi koroner dilakukan menyuntikkan zat pewarna kontras ke

dalam pembuluh darah jantung. Zat kontras ini dapat dilihat menggunakan

sinar-X. Prosedur ini membantu memastikan adanya penyumbatan dan

lokasinya. Kemudian, mesin sinar-X digunakan untuk memindai daerah

target, lalu mengirimkan gambar ke monitor yang terpasang pada alat.

Dengan angiografi koroner, dokter dapat mengamati pembuluh darah dan

memeriksa tanda-tanda kelainan. Jika diperlukan, prosedur seperti

angioplasti dan operasi bypass dapat dilakukan berdasarkan hasil tes

pemeriksaan (Lilly, 2016).

D. Noninvasive Imaging of Coronary Arteries

Alternatif diagnostik untuk angiografi koroner telah dikembangkan

untuk visualisasi arteri koroner noninvasif. CT angiografi koroner (ccTA)

yang dilakukan dengan kontras intravena) dapat memvisualisasikan stenosis

lebih dari 50% dari lumen koroner dengan perkiraan sensitivitas 90% dan

spesifisitas 65% sampai 90% CCTA dikaji alternatifnya. untuk stress testing

13
untuk membantu menyingkirkan CAD yang signifikan pada pasien berisiko

rendah sampai menengah yang hadir dengan nyeri dada yang tidak

terdefinisi. Kualitas dibatasi oleh gerakan jantung, yang dapat dikurangi

dengan memperlambat denyut jantung dengan pemberian beta-blocker untuk

mendeteksi koronoma CT tanpa kontras administrasi dapat digunakan

sebagai skrining t nary artery calcification (CAC) seperti yang dijelaskan

pada Bab 3. CAC berkorelasi dengan tingkat aterosklerosis dan dengan

demikian memperkirakan beban plak, namun tidak menghitung stenosis

koroner individu. Tidak adanya CAC adalah temuan yang berguna secara

klinis karena sangat memprediksi tidak adanya CAD (Lilly, 2016).

Berdasarkan Panduan Praktik Klinis & Clinical Pathway Penyakit

Jantung dan Pembuluh Darah Edisi Pertama, berikut merupakan diagnosis

angina pectoris

1. Anamnesis a. Nyeri dada.


b. Rasa tidak nyaman di dada atau substernal
saat aktifitas.
c. Dapat menjalar ke lengan kiri, punggung,
rahang, dan ulu hati.
d. Terdapat salah satu atau lebih faktor risiko:
kencing manis, kolesterol, darah tinggi, dan
keturunan.
2. Pemeriksaan Fisik Umumnya dalam batas normal, kecuali ada
komplikasi dan atau komorbiditi.

14
3. Kriteria Diagnosis Memenuhi kriteria anamnesis.
4. Diagnosis Kerja Angina Pektoris Stabil (APS), angina prinzmetal.
5. Diagnosis Banding GERD, pleuritic pain, nyeri tulang, nyeri otot.
6.Pemeriksaan Berikut merupakan pemeriksaan penunjang
Penunjang angina pektoris berdasarkan klasifikasi derajat
angina sesuai Canadian Cardiovascular Society
(CCS).
CCS Kelas 1: Keluhan angina terjadi saat
aktifitas berat yang lama
CCS Kelas 2: Keluhan angina terjadi saat
aktifitas yang lebih berat dari aktifitas sehari-hari
CCS Kelas 3: Keluhan angina terjadi saat
aktifitas sehari-hari
CCS Kelas 4: Keluhan angina terjadi saat
istirahat

1. Angina Pektoris CCS 1-2:


Dilakukan pemeriksaan ischemic stress test
meliputi Treadmill test, atau Echocardiografi
Stress test, atau Stress test perfusion scanning
atau MRI. MSCT (Multislice CT scan) dilakukan
sebagai alternatif pemeriksaan penunjang lain.

2. Angina Pektoris CCS 3-4 (simptomatik) atau


riwayat infark miokard lama: Memerlukan
pemeriksaan angiografi koroner perkutan.
Pemeriksaan Angiografi koroner dapat dikerjakan
pada pasien usia > 40 tahun yang akan menjalani
prosedur bedah jantung.
(PERKI, 2016)

14
2.6. Hasil Terapi yang Diharapkan

Dengan menggunakan penanganan yang dilakukan prinsip pengobatan atau

hasil terapi yang diinginkan adalah untuk sebagai berikut

a. Mencegah dan mengobati kekambuhan dari angina

Penggunaan obat dengan mekanisme kerja anti-angina short-acting

dapat digunakan untuk mencegah dan pengobati kekambuhan dari angina.

Untuk mendapatkan hasil terapi ini, disarankan kepada pasien mengenai

informasi obat yaitu bagaimana cara penggunaan obat tersebut, gunakan obat

tersebut sebelum merencanakan olahraga atau melakukan aktivitas yang

berat, selain itu dapat pula diberikan informasi mengenai efek samping obat,

kemudian apabila terjadi kekambuhan pasien disarankan untuk duduk atau

berpegangan ketika kepala terasa ringan.

b. Penggunaan obat untuk pencegahan sekunder terhadap penyakit

kardiovaskular lain.

Untuk mencapai hasil terapi ini adalah dengan menggunakan obat

seperti aspirin 75 mg setiap hari untuk mencegah adanya penyakit

kardiovaskular sekunder. Menjaga tekanan darah dan kolesterol bagi pasien

dengan resiko hipertensi dan hiperglikemik serta pasien dengan diabetes

(NICE, 2011).

Berdasarkan DiPiro et al (2011) hasil terapi yang diharapkan dibagi

menjadi dua, yaitu hasil terapi jangka pendek yaitu untuk mengurangi dan

15
mencegah gejala angina yang dapat mempengaruhi kulitas hidup pasien.

Hasil terapi jangka panjang yang diharapkan adalah untuk mencegah

berkembangnya penyakit menjadi penyakit kardiovaskular lain yaitu

penyakit jantung koroner, aritmia, gagal jantung sehingga dapat

memperpanjang hidup dari pasien.

2.7. Penanganan

Penanganan untuk penyakit angina pectoris dapat dilakukan dengan

menggunakan terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi.

2.7.1. Terapi Non-Farmakologi

a. Revaskularisasi

Revaskularisasi dapat dilakukan dengan menggunakan PCTA atau

CABG.

b. Coronary Artery Bypass Grafting

Teknik terbaru pintas arteri koroner telah dilakukan sekitar 25

tahun,idikasinya yaitu pada pasien dengan komplikasi kegagalan

PTCA angina yag tidak stabil,angina yang tidak dapat dikontrol

dengan terapi medis,adanya lesi arteri koroner utama dan

penyumbatan > 60%. Apabila sumbatan pada arteri kurang dari 70%

maka aliran daah melalui arteri kurang dari 70% maka aliran darah

melalui arteri tesebut masih cukup banyak,sehingga mencegah aliran

16
darah yang adekuat pada pintasan. Akibatnya akan terjadi bekuan
pada

CABG sehingga hasil oprasi menjadi sia-sia.

c. Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA)

PTCA adalah usaha untuk memperbaiki aliran darah arteri coroner

dengan memecah plak atau atheroma yang telah tertimbun dan

mangganggu aliran darah ke jantung. Kateter dengan ujung berbentuk

balon dengan dimasukkan ke arteri coroner yang mengalamu

gangguan dan diletakan diantara daerah ateroklerosis. Balon

kemudian dikembangkan dan dipisahkan dengan cepat untuk

memecah plak. Pasein yang menggunakan PTCA adalah pasein yang

mempunyai lesi yang menyumbat paling tdak 70% lumen internal

arteri coroner besar, sehingga banyak daerah jantung yang berisiko

mengalami iskemia.

d. Pasien yang sudah mengalami penanganan operasi baik

revaskularisasi, CABG, PTCA, pasien harus beristirahat selama 12

jam setelah penanganan

e. Selain itu pasien dianjurkan untuk melakukan perbaikan pola hidup

yang sehat. Pasien harus diet lemak <30% kalori total, dan diet

kandungan kolesterol <300 mg/hari dan diet rendah natrium. Pasien

pula dianjurkan untuk makan makanan yang mengandung banyak

serat, kalsium dan magnesium. Serta pasien dianjurkan untuk

membatasi aktivits untuk mencegah kekambuhan gejala. (Dipiro et


17
al,

2011)

18
2.7.2. Terapi Farmakologi

Nasional Guideline yang direkomendasikan untuk pasien dapat

diberikan sebagai berikut, (kecuali pasien yang bersangkutan memiliki

kontraindikasi terhadap obat yang diberikan)

1. Aspirin (Class I, Level A);

2. β-bloker dengan kencenderungan MI (Class I, Level A)

3. ACE inhibitor untuk pasien dengan CAD dan diabetes atau disfungsi

sistolik LF (Class I, Level A)

4. LDL-lowering therapy with CAD dan LDL >130 mg/dL (ClassI,

Level A) (target LDL <100 mg/dL; <70 mg/dL untuk pasien CHD

dan pasien dengan multi-resiko)

5. SL nitrogliserin or antiangina kerja cepat (Class I, Level B)

6. Antagonis kalsium atau nitrat kerja lama untuk mengurangi gejala

ketika terjadi kontraidikasi terhadap β-blocker (Class I, Level B)

7. Antagonis kalsium atau nitrat kerja lama dikombinasikan dengan β-

blockers ketika pengobatan awal dengan β-blocker tidak

menghasilkan hasil yang diingkan (Class I, Level C)

8. Antagonis kalsium atau nitrat kerja lama direkomendasikan untuk

mengantikan β -blocker apabila pengobatan awal menggunakan β-

blocker memberikan efek samping yang tidak diinginkan (Class I,

Level A).

19
Berikut adalah guideline terapi berdasarkan DiPiro et al, (2011)

Gambar 1. Guideline Penanganan Angina Pectoris

20
Mekanisme kerja dari obat-obat tersebut adalah sebagai berikut

a. Nitrat Organik

Nitrat organik adalah ester alkohol polivalen dengan asam nitrat

sedangkan nitrit organik adalah adalah ester asam nitrit. Secara in vivo, nitrat

organik adalah pro drug yang menjadi aktif setelah dimetabolisme dan

mengeluarkan nitrogen monoksida (NO). Nitrat organik adakan menurunkan

kebutuhan dan meningkatkan suplai oksigen dengan cara mempengaruhi

tonus trombosit. Nitrat organik menimbulkan vasodilatasi pada semua sistem

vaskular. Menghilangnya gejala angina pectoris pada pemberian nitrat

organik diduga karena menurunnya kerja jantung dan perbaikan sirkulasi

koroner. Berikut adalah jenis-jenis sediaan nitrat organik

Tabel 1. Jenis Sediaan Nitrat Organik Berdasarkan Lama Kerja

Sediaan Dosis `Interval Lama kerja


Nitrat Kerja Singkat
- Aminitrit inhalasi 0,18-0,3 mL Inhalasi 3-5 menit
- Preparat Sublingual
Nitrogliserin 0.15-0.6 mg Sesuai kebutuhan 10-30
Isosorbid dinitrat 2.5-5 mg Sesuai kebutuhan menit
Eritritil tetranitral 5-10 mg Sesuai kebutuhan 10-60
menit
Nitrat Kerja Lama
- Preparat Oral
Isosorbid dinitrat Biasa: 10- 4-6 jam 4-6 jam
60 mg
Isosorbid mononitrat LL: 20-80 12-24 jam 6-10 jam
mg
Nitrogliserin lepas Biasa: 20 12 jam 6-8 jam
lambat mg

21
Eritriol tetranitrat LL: 30-240 24 jam
Pentaeritriol mg
tetranitrat
6.5 -13 mg 6-8 jam
10 mg

10-20 mg 4-6 jam


- Preparat salep 4-8 jam 4-6 jam
nitrogliserin 2%
- Preparat transdermal 10-25 mg 24 jam` 8-10 jam
nitrogliserin
- Preparat bukal 1-2 mg 4 jam 3-6 jam
nitrogliserin (lepas
lambat)
- Intravena nitrogliserin 5-10
mcg/min
Lalu
ditingkatkan
(Departemen Farmakolgi dan Terapeutik FK UI, 2009)

b. Penghambat Adrenoreseptor Beta (Beta Bloker)

Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap

reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen

miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan

gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan

disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup

memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien

UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia,

dan selama tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral

hendaknya diberikan
22
dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk

semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra

(Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat

pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan

kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III (Kelas I -B) (PERKI, 2015)

Tabel 2. Contoh Jenis Obat Beta Bloker

c. Penghambat Kanal Ca2+

Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan

sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil

dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang

menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri.

23
Tabel 3. Contoh Obat serta Dosis Obat Penghambat Kanal Ca2+

(PERKI, 2015)

d. Antiplatelet

Antiplatelet untuk mengurangi agregasi platelet dan trombosis di arteri

sehingga juga dapat mengurangi sumbatan di pembuluh darah

e. Renolazin

Renolazin adalah pengobatan baru untuk mengatasi angina kronis.

Dengan mekanisme obat tidak seperti obat-obat lain yang akan menurunkan

suplai dan kebutuhan oksigen. Renolazin dapat menurunkan kasium yang

berlebihan pada sel miosit iskemik melalui inhibisi dari arus akhir sodium.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan renolazin dapat menurunkan

kemambuhan dari iskemia dan memiliki potensi efek antiaritmia. (DiPiro et

al., 2011)

2.8. Evaluasi Hasil Terapi

Setelah dilakukan penanganan, pasien dievaluasi untuk dilihat

perkembangan dari masalah kesehatan dari pasien. Berikut adalah evaluasi yang

dilakukan dan rekomendasi klinis yang dianjurkan untuk pasien.

24
Evaluasi Rekomendasi Klinis
Tekanan darah Tekanan darah direkomendasikan untuk diukur setiap
kunjungan
Tekanan darah dari pasien diharapkan memiliki
tekanan pada sisto l≤130 mmHg ( Class
I Recommendation, Level A Evidence) sedangkan
tekanan pada diastol ≤85 mmHg untuk pasien dengan
CAD yang memiliki kondisi masalah kesehatan lain
(seperti diabetes, gagal jantung, atau gagal ginjal.
Sedangkan untuk pasien CAD yang tidak disertai
masalah kesehatan lain, diharapkan tekanan darahnya
adalah ≤140/90 mmHg.
Profil Lipid Nilai lipid yang disarankan untuk ukur adalah total
kolesterol, HDL-C, LDL-C dan trigliserida. Nilai lipid
dianjurkan untuk terkontrol
Pemeriksaan Gejala Pemeriksaan gejala yang dirasakan oleh pasien dan
dan Aktivitas monitoring tingkat aktivitas di rekomendasikan untuk
dilakukan secara rutin.
Penghentian Merokok Memastikan status “perokok” pasien.
Dianjurkan untuk pemberhentian konsumsi rokok.
Serta dianjurkan untuk dilakukan intervensi apabila
dibutuhkan.
Efek Samping dan Memantau efek samping obat yang dapat mengganggu
Kontra Indikasi kulitas hidup pasien. Dan memantau adanya
kontraindikasi baik pada obat untuk mengobati angina
pectoris maupun obat-obat bagi penyakit penyerta
yang lainnya.
(Dipiro et al, 2011)

24
BAB III STUDI
KASUS
PENYAKIT JANTUNG KORONER ANGINA PEKTORIS

3.1 Subjek

Umur : 47 tahun

Keluhan : Gejala klinis kegugupan dan palpitasi yang terkait

dengan kelebihan sudoresis, tremor, frekuensi haid

tidak teratur dan insomnia selama kurang lebih satu

tahun. Sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit

enam kali karena nyeri dada retrostenal durasi 3 menit.

Riwayat keluarga : Memiliki riwayat penyakit tiroid.

Gaya hidup : Merokok (1-2 batang per hari).

3.2 Objek

Pemeriksaan Hasil
Denyut Jantung 98 bpm
Tekanan darah 120/70 mmHg
FSH 2,34 mIU/mL
LH 3,64 mIU/mL
T4L 2,57 ng/dl (0,8-1,9 ng/dl)
TSH 0,099 uU/mL (0,40-4,00 uU/mL)
TC 178 mg/dL
LDL 113 mg/dL
HDL 49 mg/dL
TG 82 g/dL

25
Data hasil EKG : menunjukkan inversi gelombang T dari V1 sampai V4, dan

elevasi segmen ST dari V2 sampai V3 yang menunjukkan sindrom koroner akut.

3.3 Assestment

Pasien awalnya didiagnosis mengalami sindrom koroner akut dengan

munculnya gejala angina, sehingga diberikan terapi:

Nama obat Dosis Penggunaan Indikasi


Isosorbide 10 mg 2 Kali Sehari Anti-Angina Pektoris
Dinitrate (ISDN)
Aspirin 200 mg Sehari Anti-inflamasi non-
steroid
Atenolol 50 mg Sehari Beta-blocker
Captropil 12.5 mg Sehari Anti-Hipertensi

Apabila dilihat dari dosis yang diberikan dari masing-masing obat sudah

sesuai dengan indikasi untuk meringankan gejala angina yang disebabkan oleh

kasus-kasus pada umumnya seperti aterosklerosis. Namun, setelah dilihat dari

hasil uji fisik tekanan darah, denyut jantung dan hasil lab profil lipid

menunjukkan hasil yang baik. Maka dari itu, pengobatan di atas dianggap kurang

tepat dalam mengatasi penyebab dari munculnya gejala angina pada pasien.

26
Pada saat pengecekan menggunakan EKG, menunjukkan adanya inversi

gelombang T dari V1-V4. dan elevasi segmen ST dari V2-V3. Gelombang T

menggambarkan terjadinya proses depolarisasi pada ventrikel jantung, yang

artinya terjadi proses kontraksi. Secara normal gelombang T membentuk pola

seperti parabola terbuka ke bawah, jika terjadi inversi gelombang T berarti

menandakan adanya kelainan seperti iskemia ataupun sindrom koroner akut. dan

terjadinya elevasi segmen ST V2-V4 yang menunjukkan adanya sindrom

koroner akut. Pasien diberikan terapi antiagregant, heparin, intravena

nitrogliserin, dan beta-bloker. Setelah itu pasien menunjukkan respon yang baik.

Namun, pada saat pemeriksaan EKG kembali menunjukkan terjadinya

hipokinesia septal mid-apikal yang artinya terjadi penurunan aktivitas pada

jantung pasien.

Gambar 1. Data Hasil EKG pasien, menunjukkan inversi gelombang T dari V1


sampai V4, dan elevasi segmen ST dari V2 sampai V3 yang menunjukkan sindrom
koroner akut.

27
Gambar 2. Gelombang T normal

Gambar 3. Elevasi segmen ST normal

Selanjutnya, hasil uji lab tiroid menunjukkan bahwa pasien mengalami

hipertiroid, hal ini dapat dilihat dari hasil TSH sebesar 0,099 uU/mL yang

seharusnya dalam kondisi normal berada pada rentang 0,40-4,00 uU/mL dan

nilai T4L sebesar 2,57 ng/dl yang seharusnya dalam kondisi normal berada pada

rentang 0,8-1,9 ng/dl. Hal ini diyakini dipengaruhi oleh riwayat penyakit tiroid

yang ada pada keluarga pasien yang berkaitan dengan munculnya gejala angina

pada pasien. Terapi yang diberikan pada pasien berupa I131 18,8 mCi dan

pengobatan tambahan dengan propylthiouracil (dosis awal 400 mg/hari) selama

lima bulan berikutnya, setelah itu pasien menjadi euthyroid lagi dan gejala

angina tidak muncul lagi.

28
3.4 Pembahasan Terapi

1. Propiltiourasil

Propiltiourasil adalah obat yang digunakan untuk mengobati tiroid yang

overaktif (hipertiroidisme). Cara kerjanya dengan menghentikan kelenjar

tiroid memproduksi terlalu banyak hormon tiroid. Propiltiourasil (PTU)

bekerja menghambat kerja enzim tiroperoksidase sehingga sintesis T4 dan

T3 terhambat. PTU juga menghambat kerja enzim 5′-deiodinase

(tetraiodotironin 5′ deiodinase) yang mengkonversi T4 menjadi T3. Karena

T3 lebih kuat daya hormon tiroidnya dibandingkan T4, maka hal ini juga

akan mengurangi aktivitas hormon-hormon tiroid secara keseluruhan.

2. I131

I-131 ini sendiri adalah suatu isotop yang terbuat dari iodin yang selalu

memancarkan sinar radiasi. Jika I-131 ini dimasukkan kedalam tubuh dalam

dosis yang kecil, maka I-131 ini akan masuk ke dalam pembuluh darah

traktus gastrointestinalis. I-131 dan akan melewati kelenjar tiroid yang

kemudian akan menghancurkan sel-sel glandula tersebut. Hal ini akan

memperlambat aktifitas dari kelenjar tiroid dan dalam beberapa kasus dapat

merubah kondisi tiroid yang semula overactive menjadi underactive.

Dari kasus ini dapat dilihat bahwa pentingnya mengetahui penyebab

dari timbulnya gejala angina tersebut. Penggunaan obat yang tidak tepat

29
dapat mengakibatkan hal yang fatal pada pasien seperti toksik atau sampai

kematian.

3.5 Plan

Terapi Farmakologi

a. Melakukan kontrol kadar tiroid untuk menentukan dosis pemeliharaan.

b. Jika hipertiroid muncul kembali setelah sebelumnya menjalani penanganan

dengan thionamide maka dapat dilakukan operasi pengangkatan kelenjar

tiroid.

Terapi Non-farmakologi

a. Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori 2600-3000

kalori per hari baik dari makanan maupun dari suplemen.

b. Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan ) per

hari untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan

telur.

c. Olahraga secara teratur ( Namun lebih baik dilakukan setelah kadar hormon

tiroidnya normal/ eutiroid). Jika sedang tinggi, baiknya berolahraga dengan

intensitas ringan saja, seperti berjalan kaki 30 menit sehari secara konstan.

d. Menghindari rokok, alkohol dan kafein (misal: kopi) yang dapat

meningkatkan kadar metabolisme.

30
DAFTAR PUSTAKA

Alaeddini, Jamshid. 2016. Angina Pectoris. USA: American College of Cardiology.

Dapat diakses secara online di http://emedicine.medscape.com/article/150215 -

overview#a6 [diakses pada 05 September 2017]

Albrecht, Suzanne. 2013. The Pathophysiology and Treatment of Stable Angina

Pectoris. US Pharm. 2013;38(2):43-60. Dapat diakses secara online di

https://www.uspharmacist.com/article/the-pathophysiology-and-treatment-of-

stable-angina-pectoris [diakses pada 22 Februari 2018]

Christensen, Buck. 2014. Normal Electrocardiography (ECG) Intervals. Available

online at http://emedicine.medscape.com/article/2172196-overview [diakses

pada 22 Februari 2018]

Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta:

FK UI.

Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L.,et al.2011. The Eighth Edition Of The
Benchmark

Evidence-Based Pharmacotherapy. USA: McGraw-Hill Companies Inc. DiPiro,

Cecily V., Barbara G. Wells, Joseph T DiPiro, and Terry L. Schwinghammer.

2015. Pharmacotherapy Handbook 9th Ed. United States: McGraw-Hill

Education.

Lilly, Leonard S. 2016. Patophysiology of Heart Disease Sixth Edition. US: Harvard

Medical School.

Majid, A. 2007. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan

Terkini. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


31
National Institutes of Health. 2015. What is coronary heart diseases?

http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/cad [ diakses pada September

2017]

NICE. 2011. Stable Angina: Management. Available online on

https://www.nice.org.uk/guidance/cg126/resources/stable-angina-management-pdf-

35109453262021 [Diakses 20 Februari 2018 17:50]

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. Pedoman

Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra Communication.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2016. Panduan

Praktik Klinis & Clinical Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
Edisi

Pertama. ISBN 978-602-7885-43-1.

Sitorus, R.H. 2008. 3 Jenis Penyakit Pembunuh Utama Manusia. Bandung : Penerbit Yrama

Widya

Yulinah, dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI Penerbitan

Whittemore, S. 2004. Your Body How It Works: The Circulatory System. Chelsea

House: United States of America: 16-20

32

Anda mungkin juga menyukai