Anda di halaman 1dari 32

PENGARUH PEMBERIAN DOMPERIDONE (Anti-emetik)

TERHADAP PENDERITA DISPEPSIA FUNGSIONAL

TUGAS FARMAKOLOGI

Oleh :

Adesithanaya Miyardi
NPM: 13.700.079

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
SURABAYA

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

dan rahmat-Nya, saya dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Tugas

Farmakologi III yang berjudul Pengaruh Pemberian Domperidone (Anti-emetik)

Terhadap Penderita Dispepsia Fungsional.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Surabaya, Desember 2016

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman
Judul ............................................................................................................... i
Kata Pengantar ............................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 5
1. Definisi .................................................................................... 5
2. Epidemiologi ........................................................................... 6
3. Patofisiologi............................................................................. 6
4. Diagnosis ................................................................................ 7
5. Klasifikasi ............................................................................... 8
6. Pemeriksaan Penunjang .......................................................... 12
7. Penatalaksanaan ...................................................................... 13
B. Domperidon ................................................................................... 14
1. Uraian Bahan ........................................................................... 14
2. Farmakologi............................................................................. 15
3. Efek Samping .......................................................................... 16
4. Dosis ........................................................................................ 16
5. Sediaan .................................................................................... 17

BAB III PEMBAHASAN


A. Laporan Kasus ............................................................................... 18
B. Diskusi Kasus ................................................................................ 21

BAB IV KESIMPULAN ............................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 27


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Menurut kamus kedokteran, dispepsia adalah berkurangnya daya atau

fungsi pencernaan, biasanya ditunjukkan dengan perasaan tidak nyaman pada

epigastrum setelah makan. Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom

yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat

kenyang dan sendawa, dyspepsia sering ditemukan pada orang dewasa

(Tjokronegoro, 2001).

Dispepsia merupakan masalah yang sering ditemukan dan keluhannya

sangat beragam. Dispepsia merupakan salah satu gangguan pencernaan yang

paling banyak diderita yang menunjukkan rasa nyeri pada bagian atas perut

(Almatsier, 2004).

Prevalensi dispepsia di seluruh dunia cenderung mengalami peningkatan

yang cukup signifikan. Populasi orang dewasa di negara barat yang dipengaruhi

oleh dispepsia berkisar antara 14-38%. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia

2007, dispepsia rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien

34.029 atau sudah menempati peringkat ke-10 untuk kategori penyakit terbanyak

pasien 1,59%. Sedangkan insiden kasus dispepsia kategori non-ulcer (dispepsia


fungsional) di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2011 sebanyak 231 orang

(Abdullah, 2012).

Dalam penelitian tertutup yang dilakukan di RSCM disebutkan dari 100

pasien dengan keluhan dispepsia, 80 % mengalami keluhan dispepsia fungsional

(Abdullah, 2012).

Dapat disimpulkan bahwa dispepsia merupakan gangguan pencernaan

yang ditandai dengan banyak gejala dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah,

rasa penuh, atau cepat kenyang dan sendawa. Gangguan yang sering muncul pada

penderita penyakit dispepsia salah satunya adalah mual dan muntah.

Penggunaan obat-obatan antiemetika dimaksudkan untuk menekan

rangsang mual dan muntah itu sendiri. Akibat yang timbul setelah muntah

bergantung pada berapa seringnya terjadi muntah dan berapa lama keadaan

tersebut berlangsung. Pada muntah yang terjadi hanya sesekali saja pengaruhnya

praktis tidak ada. Akan tetapi pada muntah yang terus menerus dan hebat, dapat

menyebabkan gangguan metabolisme air dan elektrolit disertai alkalosis

hipokloremik, oliguria, eksikosis, naiknya suhu dan kemungkinan juga terjadi

koma (Mutschler, 1999).

Domperidon merupakan antiemetik pilihan pertama di banyak negara.

Domperidon menjadi obat antiemetik dengan mekanisme kerja menghambat aksi

dopamin dengan menginhibisi dopamin pada reseptornya. Obat ini memiliki

afinitas yang cukup kuat pada reseptor dopamin D2 dan D3 yang ditemukan
dalam CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) yang berada pada bagian luar sawar

darah otak yang meregulasi nausea dan vomit (Champion, et al., 1986).

Domperidon tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga tidak

menimbulkan gangguan ekstrapiramidal sehingga lebih aman digunakan bila

dibandingkan metoklopramid. Walaupun domperidon dinyatakan lebih aman

namun pemberiannya tetap perlu mendapat perhatian khusus (Champion, et al.,

1986).

B. Rumusan Masalah

Bagaimana penggunaan Domperidon (anti-emetik) terhadap penderita Dispepsia

Fungsional?

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Domperidon terhadap

Dispepsia Fungsional

2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui Farmakologi Domperidon


D. Manfaat

Diharapkan dengan hasil ini dapat diteliti lebih lanjut dengan data yang lebih

lengkap dan lebih baik


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Dispepsia

A. Definisi

Dispepsia merupakan istilah yang menunjukkan rasa nyeri atau tidak

menyenangkan pada bagian atas perut. Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani

yang berarti “pencernaan yang jelek”. Menurut Konsensus Roma tahun 2000,

dispepsia didefinisikan sebagai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat

pada perut bagian atas. Definisi dispepsia sampai saat ini disepakati oleh para

pakar dibidang gastroenterologi adalah kumpulan keluhan/gejala klinis

(sindrom) rasa tidak nyaman atau nyeri yang dirasakan di daerah abdomen bagian

atas yang disertai dengan keluhan lain yaitu perasaan panas di dada dan perut,

regurgitas, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia,

mual, muntah dan banyak mengeluarkan gas asam dari mulut. Sindroma

dispepsia ini biasanya diderita selama beberapa minggu /bulan yang sifatnya

hilang timbul atau terus-menerus (Almatsier, 2004).


B. Epidemiologi

Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui.

Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja

mengalami nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga

dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan

tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter. Rerksppaphol

mengemukakan pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang mengeluhkan

sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya dalam waktu satu bulan,

dijumpai 62% merupakan dispepsia fungsional dan 35% peradangan mukosa

(Rerksppaphol, 2007).

C. Patofisiologi

Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan

dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi

asam lambung, infeksi helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan

hipersensivitas viseral. Patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum

sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap

faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini

(Djojodiningrat, 2009):

1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan

pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume


lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang

lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.

2. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas

dan depresi.

Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi

perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50%

kasus), tetapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal

merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan

lambung saja tidak dapat mutlak menjadi penyebab tungal adanya gannguan

motilitas (Djojodiningrat, 2009).

Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan

mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan

kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian

stimulus berupa stres. Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada

kasus dispepsia funsional dibanding kasus kontrol (Djojodiningrat, 2009).

D. Diagnosa

Semua pasien dengan dispepsia yang persisten memerlukan pengambilan

riwayat pasien menyeluruh (anamnesis) dan pemeriksaan fisik untuk

menentukan penyebabnya. Bagi banyak pasien, diet, gaya hidup, atau

pengubahan dalam hal pengobatan dapat meringankan gejala mereka. Karena

penyebab yang mendasari keluhan dispepsia berkisar dari kelebihan gas sampai
ulkus peptikum atau pun keganasan, “gejala alarm” harus dicari dan diselidiki

ketika muncul. Anemia, penurunan berat badan, tanda-tanda perdarahan

gastrointestinal, cepat kenyang, atau disfagia harus dievaluasi. Keluhan awal,

terutama pada pasien yang lebih tua dari usia 45 tahun, atau dengan keluhan

kronis yang jelas memburuk harus dievaluasi.

Tes paling akurat untuk dispepsia adalah upper endoscopy yang

memvisualisasi mukosa untuk ulkus, radang yang lain, esofagitis erosif, atau

keganasan dan pada saat yang sama juga memungkinkan dilakukan biopsi untuk

diagnosis histologis dan/ dokumentasi dari infeksi Helicobacter pylori.

Radiografi dengan pewarnaan kontras (barium) kurang sensitif dan spesifik

dibandingkan dengan upper endoscopy tetapi dapat digunakan sebagai alternatif.

Ultrasonografi pada kuadran kanan atas dapat dilakukan jika ada kecurigaan

penyakit di daerah pankreas atau empedu sebagaimana dibuktikan oleh riwayat

pasien atau melalui enzim hati yang abnormal (Leppert dan Peipert, 2004).

E. Klasifikasi

Penyebab timbulnya gejala dispepsia sangat banyak sehingga

diklasifikasikan berdasarkan ada tidaknya penyebab dispepsia yaitu (Almatsier,

2004):

1. Dispepsia Organik

Dispepsia organik adalah Dispepsia yang telah diketahui adanya

kelainan organik sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang


ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih

dari 40 tahun. Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi:

a. Dispepsia Tukak

Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri ulu hati.

Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya

dengan makanan. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan

radiologi dapat menentukan adanya tukak di lambung atau

duodenum.

b. Refluks Gastroesofageal

Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas

di dada dan regurgitasi asam terutama setelah makan.

c. Ulkus Peptik

d. Dispepsia pada Sindrom Malabsorbsi

Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri

perut, nausea, sering flatus, kembung, keluhan utama lainnya

ialah timbulnya diare yang berlendir.

e. Dispepsia karena Obat-obatan

Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak

enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual dan muntah,

misalnya obat golongan NSAIDs, teofilin, digitalis, antibiotik oral

(terutama ampisilin, eritromisin dan lain-lain).


f. Gangguan Metabolisme

Diabetes Mellitus dengan neuropati sering timbul komplikasi

pengosongan lambung yang lambat sehingga timbul keluhan

nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang.

2. Dispepsia Fungsional

Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang

telah berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan

atau gangguan struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan

klinik, laboratorium, radiology dan endoskopi. Dalam konsensus

Roma II, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai dispepsia yang

berlangsung sebagai berikut: sedikitnya terjadi dalam 12 minggu,

tidak harus berurutan dalam rentang waktu 12 minggu terakhir, terus

menerus atau kambuh (perasaan sakit atau ketidaknyamanan) yang

berpusat di perut bagian atas dan tidak ditemukan atau bukan kelainan

organik (pada pemeriksaan endoskopi) yang mungkin menerangkan

gejala-gejalanya. Gambaran klinis dari dispepsia fungsional adalah

riwayat kronik, gejala yang berubah-ubah, riwayat gangguan

psikiatrik, nyeri yang tidak responsive dengan obat-obatan dan dapat

juga ditunjukkan letaknya oleh pasien, dimana secara klinis pasien

tampak sehat. Beberapa hal yang dianggap menyebabkan dispepsia

fungsional antara lain (Almatsier, 2004):


a. Sekresi asam lambung

Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai

tingkat sekresi asam lambung baik sekresi basal maupun dengan

stimulasi pentagastrin dapat dijumpai kadarnya meninggi, normal

atau hiposekresi.

b. Dismotilitas Gastrointestinal

Yaitu perlambatan dari masa pengosongan lambung dan

gangguan motilitas lain. Pada berbagai studi dilaporkan dispepsia

fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan

hipomotilitas antrum hingga 50% kasus.

c. Diet dan faktor lingkungan

Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus

dispepsia fungsional. Dengan melihat, mencium bau atau

membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam

lambung yang banyak mengandung HCL dan pepsin. Hal ini

terjadi karena faktor nervus vagus, dimana ada hubungannya

dengan faal saluran cerna pada proses pencernaan. Nervus vagus

tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung tetapi efek

dari antral gastrin dan rangsangan lain sel parietal.

d. Psikologik

Stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan

mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya


penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual

setelah stimulus stres sentral.

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan

organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian (Boediarso,

2010):

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah

yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika

ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi.

2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang

mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau

mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.

3. Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari

lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di

bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi

Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas,

selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.

4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi

H. pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
G. Penatalaksanaan

1. Non Farmakologis

Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang

mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu,

makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas

gejala. Ada juga yang merekomendasikan untuk menghindari makan

yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan

makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif

pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi

perilaku (Saps, 2009).

2. Farmakologis

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu (Talley, 2005):

a. Antasida

Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir

sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium

bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat.

Pemberian antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena

hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium

trisiklat merupakan adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar

akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.


b. Golongan Prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan

metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati

dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks

dan memperbaiki asam lambung.

II. Domperidon

A. Uraian Bahan

Rumus bangun :

Rumus molekul : C22H24ClN5O2

Berat molekul : 425,9

Nama kimia : 5-kloro-1-[1-[3-(2-okso-2,3-dihidro-1H-benzimidazol-

1il) propil] piperidin-4-il]-1,3-dihidro-2H-benzimidazol-

2-on

Pemerian : Serbuk putih atau hampir putih

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam

dimetilformamida, sedikit larut etanol (96%) dan

methanol

Titik Lebur : 242,5 ºC (British Pharmacopeia, 2009).


pKa : 7,9 (Moffat, et al., 2004)

B. Farmakologi Domperidon

Domperidon merupakan antiemetik pilihan pertama di banyak negara.

Domperidon menjadi obat antiemetik dengan mekanisme kerja menghambat aksi

dopamin dengan menginhibisi dopamin pada reseptornya. Obat ini memiliki

afinitas yang cukup kuat pada reseptor dopamin D2 dan D3 yang ditemukan

dalam CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) yang berada pada bagian luar sawar

darah otak yang meregulasi nausea dan vomit. Domperidon tidak dapat

menembus sawar darah otak sehingga tidak menimbulkan gangguan

ekstrapiramidal sehingga lebih aman digunakan bila dibandingkan

metoklopramid.

Domperidon juga efektif dalam mengatasi gastroparesis, gastroesophageal

pediatrik (muntah bayi). Saat digunakan secara peroral, domperidon mengalami

metabolisme lintas pertama di lambung dan hepatik sehingga menghasilkan

bioavailabilitas yang rendah (sekitar 15%) yang artinya pada konsentrasi tersebut

tidak akan meminimalisir laju muntah pada pasien (Champion, et al., 1986).

Walaupun domperidon dinyatakan lebih aman namun pemberiannya tetap

perlu mendapat perhatian khusus terutama karena ternyata domperidon memiliki

efek samping dapat merangsang kadar prolaktin plasma yang dalam jangka

panjang dapat menyebabkan galaktore dan ginekomastia. Di samping itu,


domperidon dilaporkan dapat menyebabkan reaksi alergi kulit seperti rush dan

urtikaria. Domperidon dikontraindikasikan dengan penderita yang hipersensitif

dengan domperidon, penderita prolaktinoma dan pada pasien yang mendapat

pendarahan, obstruksi mekanik perforasi gastrointestinal saat terdapat serangan

motilitas lambung (Champion, et al., 1986).

C. Efek Samping

Efek samping yang dapat terjadi meliputi sedasi, reaksi ekstrapiramidal,

distonik Parkinson, diskinesia tardif, peningkatan kadar prolactin serum, mulut

kering, sakit kepala, diare, ruam kulit, rasa haus, cemas, dan urtikaria (ISO,

2010).

D. Dosis

Dispepsia fungsional: dewasa dan usia lanjut: 3 kali sehari 20-30 mg dan

10-20 mg sekali sebelum tidur malam tergantung respon klinik, pengobatan

jangan melebihi 12 minggu. Dewasa dan usia lanjut: 20-30 mg dengan interval

waktu 4-8 jam; anak-anak: 0,2-0,4 mg/kgBB sehari dengan interval waktu 4-8

jam; obat diminum 15-30 menit sebelum makan dan sebelum tidur malam (ISO,

2010).
E. Sediaan

Dalam perdagangan domperidon tersedia dalam bentuk tablet setara 10 mg,

kaplet setara 10 mg, sirup setara 5 mg/5 ml, suspensi setara 5 mg/5 ml, dan drop

setara 5 mg/ml (ISO, 2010).


BAB III

PEMBAHASAN

I. Laporan Kasus

A. Identitas Penderita

Nama : Nn. E

Umur : 17 th

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjan : Pelajar

Alamat : Pramuka Sari II, Jakarta Pusat

Tgl. Pemeriksaan : 30 April 2015

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama : Nyeri ulu hati sejak 1 hari yang

lalu

2. Keluhan Penyerta : Mual, muntah, lemas

3. Riwayat Penyakit Sekarang : Nyeri ulu hati sejak 1 hari yang

lalu, nyeri ulu hati seperti terbakar, nyeri kadang menetap dan kadang

berulang, setelah makan perut terasa kembung dan penuh, merasa


cepat kenyang, mual muntah setelah makan, lemas, dan nafsu makan

menurun dan makan tidak teratur.

4. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat keluhan yang sama

hilang timbul selama ± 3 bulan, Hipertensi (-), DM (-), Asma (-)

5. Riwayat Penyakit Keluarga : Ibu memiliki riwayat keluhan

yang sama

6. Riwayat Psikososial : Makan tidak teratur, Rokok (-),

Alkohol (-), Riwayat kebiasaan makan makanan pedas, kopi (+) 3x

sehari.

7. Riwayat Alergi :-

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : compos mentis

2. Tanda Vital

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 80x/ menit

Respirasi : 20x/ menit

Suhu : 36,7 °C

3. Kepala : A/I/C/D - , reflek cahaya (+), pupil isokhor,

bentuk kepala normal

4. Jantung

Inspeksi : ictus cordis terlihat di ICS V


Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V midclavicula

sinistra

Perkusi : batas atas di ICS III linea parasternalis dextra,

batas kanan di ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri di ICS V

linea parasternalis sinistra

Auskultasi : regular, gallop (-), murmur (-)

5. Pulmo

Inspeksi : normochest, retraksi sela iga (-)

Palpasi : nyeri tekan (-)

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : vesicular, ronki (-/-)

6. Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : nyeri tekan epigastrium

Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen

Auskultasi : bising usus (+) normal

7. Ekstremitas

Atas : akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-/-)

Bawah : akrat hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-/-)


D. Diagnosa

Dispepsia Fungsional

E. Tujuan Pengobatan

1. Meredakan mual dan muntah

2. Meredakan gangguan pencernaan

3. Meredakan refluks asam lambung

II. DISKUSI

Berdasarkan laporan kasus tersebut pasien Nn. E dapat di resepkan

sebagai berikut:
dr. Adesithanaya Miyardi
S.I.P : 13.700.079
Jl. Simolangit XII No. 54
Surabaya

Surabaya, ………….2016

R/ Tabl. Domperidon 10mg No. X

S 3 dd tab I ½h.a.c

R/ Inj. Ondansetron 4mg No. I

S i.m.m

R/ Inj. Metoklopramid No. I

S i.m.m

Pro : Nn. E
Umur : 17 th
Alamat : Pramuka Sari II, Jakarta

A. Dosis dan Frekuensi pada penderita dispepsia

1. Domperidon tablet (Prokinetik) : 3 x 10mg

2. Ondasetron injeksi (Antagonis serotonin) : 4mg / 12jam

8mg / 12jam

3. Metoklopramid injeksi (Prokinetik) : 10mg dalam NaCl


100ml / 24jam

10mg / 12jam

10mg / 8jam

B. Pembahasan Obat

Antiemetika yang paling banyak digunakan pada penderita dispepsia

adalah golongan antagonis serotonin yaitu ondansetron injeksi. Ondansetron

termasuk kelompok obat antagonis serotonin 5-HT3, yang bekerja dengan

menghambat secara selektif serotonin 5hydroxytriptamine (5HT3) berikatan

pada reseptornya yang ada di CTZ (chemoreseceptor trigger zone) pada saluran

cerna. Serotonin merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat toksin dalam

saluran cerna, serotonin berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf

vagus menyampaikan rangsangan ke CTZ dan pusat muntah kemudian terjadi

mual dan muntah. Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh R.M Farid dan M.

Ondansetron relatif lebih aman karena tidak menimbulkan reaksi

ekstrapiramidal dan mempercepat pengosongan lambung.Keluhan yang umum

ditemukan ialah konstipasi. Gejala lain dapat berupa sakit kepala, flushing,

mengantuk, gangguan saluran cerna, nyeri dada, susah bernapas, dsb (Wijayanti,

2014).

Domperidon merupakan golongan prokinetik, obat ini digunakan pada

muntah akibat dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional adalah keluhan dalam


beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau gangguan struktur pada

lambung. Pemberian domperidon pada pasien dewasa dengan dosis 3 kali sehari

10 mg. Selain domperidon, metoklopramide juga digunakan pada pengobatan

mual dan muntah pada dispepsia (Wijayanti, 2014).

Metoklopramid bekerja secara selektif pada sistem cholinergik tractus

gastrointestinal (efek gastropokinetik). Metoklopramid merangsang motilitas

saluran cerna bagian atas tanpa merangsang sekresi asam lambung, empedu atau

pankreas. Metoklopramid meningkatkan tonus dan amplitudo kontraksi lambung

terutama bagian antral, merelaksasi sfingter pilorus dan bulbus duodenum, dan

meningkatkan peristaltik duodenum dan yeyunum sehingga terjadi percepatan

pengosongan lambung dan transit intestinal (Wijayanti, 2014).

C. Lama Pemberian Obat Antiemetika


Berdasarkan hasil penelusuran data data rekam medis pasien terdiagnosa

dispepsi diperoleh data bahwa antiemetika paling lama tiga hari. Pemberian

antiemetika pada penderita dispepsia diberikan pada hari pertama karena keluhan

pasien yang mengalami mual dan muntah pada saat datang. Namun, apabila hari

kedua pasien tidak mengeluhkan mual dan muntah maka pemberian antiemetika

dapat dihentikan. Penggunaan antiemetika pada penderita dispepsia tidak

berhubungan dengan lamanya waktu penggunaan obat anti emetika namun

berhubungan dengan hilangnya rangsang mual pada pasien (Wijayanti, 2014)


D. Cara Pemberian Obat
a. Jenis antiemetika yang digunakan pada penderita dyspepsia adalah

ondansetron (antagonis serotonin) dan golongan prokinetik (domperidon).

b. Dosis penggunaan ondansetron 2 kali sehari 4mg, 2 kali sehari 8mg

sedangkan dosis domperidon 3 kali sehari 1 tablet, dosis metoklopramid

10mg/12 jam,10 mg/8 jam dan 10mg dalam NaCl 100 cc satu kali sehari.

c. Lama pemberian antiemetika pada penderita dispepsia berkisar antara 1 – 3

hari.

d. Cara pemberian antiemetika pada penderita dispepsia adalah melalui injeksi

dengan obat ondansetron serta metoklopramid dan melalui oral dengan

domperidon.
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Penatalaksanaan farmakologis pada dispepsia fungsional menggunakan

obat golongan prokinetik. Obat yang termasuk golongan prokinetik yaitu

domperidon. Obat ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional

dengan menghilangkan rasa mual muntah, mencegah refluks dan memperbaiki

asam lambung. Pemberian domperidon pada pasien dewasa dengan dosis 3 kali

sehari 10 mg.

Domperidon menjadi obat antiemetik dengan mekanisme kerja

menghambat aksi dopamin dengan menginhibisi dopamin pada reseptornya.

Domperidon tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga tidak

menimbulkan gangguan ekstrapiramidal sehingga lebih aman digunakan bila

dibandingkan metoklopramid. Walaupun domperidon dinyatakan lebih aman

namun pemberiannya tetap perlu mendapat perhatian khusus terutama karena

ternyata domperidon memiliki efek samping dapat merangsang kadar prolaktin

plasma yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan galaktore dan

ginekomastia.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M. dan Gunawan J., 2012, Dispepsia, Jurnal IDI, Vol. 39 No. 9.

Almatsier S, 2004, Penuntun Diet. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 25

Anonim, 2007, Perbandingan Efektifitas Antara Metoclopramide dan

Ondansetron Sebagai Premedikasi Anestesi dalam Mencegah Insiden Post

Operative Nausea and Vomiting. Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran

U.N.S. Surakarta, hal: 6-7.

Boediarso A. Sakit Perut pada Anak. Dalam: Juffrie M, Soenarto SS, Oswari H,

dkk, Penyunting. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Edisi ke-1.

Jakarta: IDAI, 2010. h: 149-65.

British Pharmacopoeia. (2009). British Pharmacopoeia, Volume I & II. London:

Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA). Page

4788.

Champion, MC., & Hartnett, M., 1986. Domperidone, a new dopamine

antagonist., 135, pp.457-461.

Djojoningrat, D., 2009. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal & Dispepsia

Fungsional. In: Sudoyo, A.W., Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.

Jakarta: InternaPublishing, 441-446 & 529-533.


Drug V, Stanciu C.Functional dyspepsia:recent advances (progresses) in

pathophysiology and treatment.2007;2:311-314.

Farid R.M., Ramli M, 2005, Perbandingan Efektifitas Ondansetron dan

Metoklopramid dalam Menekan Mual Muntah Pascaoperasi pada

Pembedahan Perut Bawah Kasus Ginekologi, The Indonesian Journal of

Anesthesiology and Critical Care, 22 : 244.

ISO, 2010, ISO Indonesia Informasi Spesialite Obat, Volume 48, PT. ISFI

Penerbitan, Jakarta

Leppert, P.C. & Peipert, J.F., 2004. Primary Care for Woman. 2nd ed. USA:

Lippincott Williams & Wilkins, 420-421.

Moffat, A.C., Osselton, M.D. dan B.Widdop. (2004). Clarke’s Analysis of Drugs

and Poisons, 3rd Edition. London: Pharmaceutical Press. Page 911.

Mutschler, Ernst., 1999. Dinamika Obat, Edisi V, Jilid III, Penerbit ITB,

Bandung hal: 35-50

Rerksuppaphol L. Functional dyspepsia in children. Journal of

Medicine.2007;14:78-90.

Rok Son Choung, Talley NJ.Novel mechanism in functional dyspepsia.World J

Gastroenterol.2006;7:673-677.
Saps M, Youssef N dkk. Multicenter, randomized, placebo – controlled trial of

amitriptyline in children with functional gastrointestinal disorders.

Gastroenterology. 2009; 137: 1261 – 1269.

Talley NJ, Vakil N. Guidelines for the management of dyspepsia. Am J

Gastroenterol. 2005;100:2324-37.

Tjokronegoro, Arjatmo, 2001, Buku ajar: Ilmu penyakit dalam (jilid II). FKUI:

Jakarta, hal: 45

Wijayanti A, Nuraeni. 2012. Pola Peresepan Antiemetika Pada Penderita

Dispepsia Pasien Dewasa Dan Lansia Rawat Inap Di PKU Muhammadiyah

Yogyakarta Periode Januari-Juni Tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai