Anda di halaman 1dari 26

Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.

Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

KANKER SERVIX

I.Pendahuluan
Kanker servix adalah keganasan kedua yang paling sering terjadi pada
wanita diseluruh dunia dan masih merupakan penyebab utama kematian akibat
kanker pada wanita di negara – negara berkembang. Di Amerika Serikat kanker
servik merupakan neoplasma ganas nomor 4 yang sering terjadi pada wanita,
setelah kanker mammae kolorektal dan endometrium. Insidensi dari kanker servik
yang invasif telah menurun secara terus menerus di Amerika Serikat selama
beberapa dekade terakhir namun terus meningkat di negara – negara berkembang.
Perubahan tren epidemiologis ini di Amerika Serikat erat kaitannya dengan
skrining besar – besaran dengan Papanicolaou tests (Pap smears).
Kanker serviks merupakan kanker yang primer berasal dari serviks
(kanalis servikalis dan atau porsio). Perjalanan penyakit karsinoma serviks
merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep
dimulai dari karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi
hingga menjadi kanker invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih
kanker serviks dihubungkan dengan jenis human papilomma virus (HPV).

1.1 Batasan
Kanker serviks adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada serviks. Kanker
serviks merupakan kanker yang primer berasal dari serviks (kanalis servikalis dan
atau porsio). Serviks adalah bagian ujung depan rahim yang menjulur ke vagina
(bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina). Kanker serviks
biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari kanker serviks berasal
dari sel skuaomosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel
kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju kedalam rahim.
(Eaton L, 2003)

1
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

1.2 Etiologi

Transmisi penyakit kelamin yang disebakan oleh human papilloma virus


(HPV) mempunyai peran yang penting dalam menyebabkan kanker servix. Lebih
dari 66 jenis HPV telah diisolasi types of HPVs have been isolated, dari HPV
yang diisolasi tersebut banyak diantaranya yang berkaitan dengan penyakit
kelamin. HPV yang diduga berkaitan dengan terjadinya kanker servix antara lain
HPV tipe 16, 18, 31, 33, 52, dan 58. Tetapi 70% kasus yang ada disebabkan oleh
HPV 16 dan 18. Jenis HPV tersebut juga sering dihubungkan dengan terjadinya
cervical intraepithelial neoplasia (CIN).

Ptotein yang dihasilkan HPV-16, yaitu protein tipe E7, mengikat dan
menginaktivasi tumor-suppressor gene Rb, dan protein tipe E6 yang dimiliki
HPV-18 mempunyai urutan homologi SV40 yaitu antigen T dan menginaktivasi
tumor-suppressor gene p53. Dengan adanya pengiktan tersebut menyebabkan
efek karsinogenesis oleh virus tersebut.
Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model
karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep dimulai dari karsinogenesis
yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker invasif.
Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih kanker serviks dihubungkan
dengan jenis human papilomma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan
kanker dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan
dengan prognosis yang buruk. HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks.
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker serviks
antara lain adalah : (Thomas E, 2004)
 Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda.
Faktor ini merupakan faktor risiko utama. Semakin muda seorang perempuan
melakukan hubungan seks semakin besar risikonya untuk terkena kanker
serviks. Berdasarkan penelitian para ahli perempuan yang melakukan
hubungan seks pada usia kurang dari 17 tahun mempunyai resiko 3 kali lebih
besar daripada yang menikah pada usia lebih dari 20 tahun.
 Berganti-ganti pasangan seksual
 Perilaku seksual berupa berganti-ganti pasangan seks akan meningkatkan
penularan penyakit kelamin. Penyakit yang ditularkan seperti infeksi human

2
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

papilloma virus (HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker


serviks penis dan vulva . Resiko terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat
pada wanita yang mempunyai partner seksual 6 orang atau lebih. Di samping
itu virus herpes simpleks tipe-2 dapat menjadi faktor pendamping. HPV
penyebeb utama kanker service karena lebih dari 90% kanker service jenis
squamosa mengandung DNA virus HPV dan 50%nya berhubungan dengan
HPV 16.
 Merokok, Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker
serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian
menunjukkan lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan
zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan
daya tahan serviks di samping merupakan ko-karsinogen infeksi virus.
 Defisiensi zat gizi
 Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat
dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang serta
mungkin juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang
makanannya rendah beta karoten dan retinol (vitamin A).
 Trauma kronis pada serviks seperti persalinan infeksi dan iritasi menahun.
 Pemakaian DES (dietilstilbestrol) pada wanita hamil untuk mencegah
keguguran.
 Gangguan sistem kekebalan.
 Pemakaian pil KB.
 Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia menahun.
 Insidendi meningkat dengan tingginya paritas apalagi bila jarak persalinan
terlalu dekat.
 Golongan sosial ekonomi rendah lebih beresiko dikaitkan dengan hygiene
seksual yang jelek atau karena tidak mampu melakukan pemeriksaan pap
smear secara rutin.
 Jarang dijumpai pada masyarakat yang di sunat (sirkumsisi).

3
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

1.3 Patofisiologi
Human papillomavirus memiliki peran utama terhadap perkembangan
kanker servix. Tidak seperti serotip yang berresiko rendah, serotip omkogenik
HPV dapat berintegrasi kedalam genom manusia. Hasilnya, dengan infeksi,
replikasi awal protein E1 dan E2 HPV serotip onkogenik menyebabkan virus
dapat berreplikasi di dalam sel servix. Protein tersebut diekspresikan dalam level
yang tinggi pada awal infeksi. Mereka dapat menyebabkan perubahan sitologi
yang terdeteksi sebagai low-grade squamous intraepithelial (LSIL) pada Pap
smears.
Tahap selanjutnya dapat terjadi amplifikasi dari replikasi virus dan
transformasi sel normal menjadi sel tumor. Secara spesifik produk gen virus
onkoprotein E6 dan E7 terlibat dalam proses transformasi ini. Protein E7
mengikat protein pensupresi tumor retinoblastoma (Rb), sedangkan E6 mengikat
protein pensupresi tumor p53. Ikatan pada kedua protein tersebut mengakibatkan
degradasi terhadap protein pensupresi tumor. Efek degradasi pada p53 telah
banyak dipelajari dan dihubungkan dengan proliferasi dan immortalisasi dari sel
servix.

Gambar 1. Diagram onkoprotein E6 dan E7 serta tumor supressor protein p53,


p21, dan retinoblastoma (Rb).

4
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

CIAP1 = cellular inhibitor of apoptosis protein 1; CIN = cervical intraepithelial


neoplasia; COX-2 = cyclooxygenase-2; DFS = disease-free survival; EGFR =
epidermal growth factor receptor; HLA = human leukocyte antigen; PTEN =
phosphatase and tensin homologue deleted on chromosome 10; TSG = tumor
suppressor gene.

1.4 Staging
FIGO telah membagi kanker servix menjadi 4 stadium, keempat stadium tersebut
dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Stadium Keterangan
0 Preinvasive carcinoma (carcinoma in situ (CIN))
I Carcinoma confined to the cervix (extension to the corpus should
be disregarded)
Ia Invasive cancer identified only microscopically. All gross lesions
even with superficial invasion are stage Ib cancers. Measured
stromal depth should not be more than 5 mm and no wider than 7
mm*
Ia1 Measured invasion no greater than 3 mm in depth and no wider
than 7 mm

5
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

Ia2 Measured depth of invasion >3 mm but no >5 mm and no wider


than 7 mm
Ib IbClinical lesions confined to cervix or preclincal lesions greater
than Ia
Ib1 Clinical lesions <4 cm in diameter
Ib2 Clinical lesions >4 cm in diameter
II Carcinoma extending beyond the cervix but not on to the pelvic
wall. The carcinoma involves the vagina but not as far as the lower
third
IIa No obvious parametrial involvement
IIb Obvious parametrial involvement
III The carcinoma has extended on to the pelvic wall. On rectal
examination there is no cancer-free space between the tumor and
the pelvic wall. The tumor involves the lower third of vagina. All
cases with hydronephrosis or nonfunctioning kidney should be
included unless they are known to be due to another cause
IIIa No extension to pelvic wall but involvement of lower third of
vagina
IIIb Extension to the pelvic wall or hydronephrosis or nonfunctioning
kidney
IV The carcinoma has extended beyond the true pelvis or has
clinically involved the mucosa of the bladder or rectum
IVa Spread of the growth to adjacent organs
IVb Spread to distant organs

(Fauci et al., 2008)

6
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

1.5 Penatalaksanaan Terapi

7
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

8
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

(NCCN, 2010)

9
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

BAB II
PROFIL PASIEN

2.1 Data Demografi Pasien

 Nama : Ny.S
 Alamat : Surabaya
 Umur /BB/TB : 47 th 7 bulan / 50 kg/ 134 cm
 Diagnosa : Ca CX IIIB pro ER + Post Paxus Carbo 2x + Fistula
Rectovaginal + Obs.melena + Pansitopenia
 Alasan MRS : Pasien mual-muntah, kiriman dari poli dengan
diagnosa poli Ca CX IIIB Pro ER

2.2 Data Klinik & Laboratorium

DATA KLINIK TANGGAL


24/5 25/5 26/5 27/5 28/5 29/5 30/5 31/5 1/6
TD 140/ 120/ 140/ 160/ 120/ 170/ 160/ 170/ 150/
90 80 90 100 80 100 90 100 90
Suhu 37,2 36,8 36,5 36 36 36,5 36,4 36,5 36
Nadi 92 88 80 88 80 80 80 88 84
Muntah +
Mual +
Anuria +

10
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

DATA TANGGAL
KLINIK
2/6 3/6 4/6 5/6 6/6 7/6 8/6 9/6 10/6 11/6 12/6

TD 160/90 130/90 160/85 190/90 140/90 130/90 120/80 160/80 100/80 200/100 160/100
Suhu 36,7 36,8 36,8 36 36 36 37 36,3 36,8 36 36,3
Nadi 88 88 88 88 84 84 80 88 84 80 92
Muntah + + + + + + + + + + +
Mual + + + + + + + + + + +
DATA TANGGAL
KLINIK 13/6 14/6 15/6 16/6 17/6 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6
HD HD
TD 160/90 150/90 120/80 150/100 140/70 150/90 180/100 210/130 180/100 130/80 160/90
Suhu 36,5 36,6 36,4 36,1 36,5 36,7 36,3 36,5 36,5 37 36,5
Nadi 96 80 100 100 88 86 84 96 100 96 84
Anuria + +
DATA KLINIK TANGGAL
24/6 25/6 26/6 27/6 28/6 29/6 30/6
TD 140/90 130/80 110/80 130/70 110/80 160/100 180/100
Suhu 36 36,5 37 36 36 37,2 36,5
Nadi 72 84 100 80 88 92 88
Bicara ngelantur + + +

11
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

Data Laboratorium

TANGGAL
DATA 27/5 30/5 31/5 6/6 8/6 8/6 11/6 13/6 14/6 17/6 20/6 22/6 24/6 27/6
LABORATORIUM (10:22) (17:05) Post HD
WBC (4000-12000) 21000 13000 11000 10050 11700 8500 12000
Hb (12-16 g/dL) 7,44 9,9 4,8 10 8,74 9,8 6,08
RBC (4-6x106/Ul) 2,96 3,83 2,1 3,44 3,24 3,38 2,24
MCV 75,4 78,1
MCH 25,1 25,3
MCHC 33,4 32,4
PLT (150-450x103/Ul) 457000 342000 365000 225000 228000 194000 376000
SCR (<1,25 g/dl) 17,5 22,9 36,1 15,5 16,3 22,3 14,7 10,5 18,5 9,7 7,1 14,1
BUN (10,0 – 20,0 g/dl) 65 83 115 60 63 92 52 30 47 27 69 41
Albumin (3,8-5,0 g/dL) 5,1
LED (0-15mm/jam) 50 45 66 113
Na (136-144 mmol/l) 120 118 114 138 136 130 137 125 138 132
K (3,8-5 mmol/l) 6,1 5,5 4,5 4,4 4,5 6,3 5 3,6 4,2 3,7 4,1
Cl (97-103 mmol/l) 86 78 73 94 87 97 99 89
Ca2+ (8,5 – 10,1 mmol/l) 7,7 9,1
Fosfat (2,5 – 4,9 mmol/l) 13,5
PPT (11-14 detik) 16,1 14.0
C:17,1 C:16,3
APTT (25-40 detik) 24,5 25,3
C: 30,6 C :35,6

12
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

BGA Nilai Rujukan Tanggal

27/5 21/6 22/6 24/6


pH 7,35-7,45 7, 425 7,479 7,50 7,47

pO2 80 - 107 69,1 70 85 73

pCO2 35 - 45 29,4 34 36 42

HCO3 21 - 25 19,5 25,5 28,1 30,6

BE (- 3,5) – (+2,0) -5,1 1,8 4,9 6,9

Sat O2 % 94,3

13
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

2.4 Kultur
DATA KULTUR

Tanggal Bahan Kultur Biakan Kuman Sensitif Resisten

Diminta: Kultur darah A. Kultur aerob : Biakan A : Biakan A :


23-5-2011 Staphylococcus Amikacin Ampicillin, Penicillin G
Dijawab: coagulase negatif Clindamycin Oxacillin, Cefoperazone-
3-6-2011 B. Anaerob : Tidak Levofloxacin Sulbactam, Cotrimoxazole,
ada pertumbuhan Minocycline Tetracyclin, Cloramphenicol,
kuman Erythromycin
C. Jamur : Tidak ada
pertumbuhan jamur
Diminta : Darah Kultur aerob Amikacin Ampicillin, Penicillin G,
27 -5-2011 Clindamycin Oxacillin, Cefoperazone
Dijawab : Levofloxacin Sulbactam, Cotrimoxazole,
-
Tetracycline, Kloramfenikol,
Erytromycin

14
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

Tanggal Bahan Biakan Kuman Sensitif Resisten


Kultur
Diminta: Air kemih Kultur Aerob : E.coli Amikacin, Tobramycin, Gentamycin, Astreonam, Amoxiclav, Ampicillin,
3-6-2011 ∑koloni : ≥105cfu/ml Piperacillin-Tazobactam, Ceftazidime, Ampicillin-Sulbactam, Ticarcilin,
Dijawab : Cefotaxime, Ceftriaxone, Ticarcilin-Clavulanat, Cephalotin,
6-6-2011 Cefoperazone-Sulbactam, Cefuroxime, Cotrimoxazole,
Ciprofloxacin, Levofloxacin, Nalidixic Minocycline, Nitrofurantoin
acid, Imipenem, Meropenem
Diminta: Air kemih ¤ Jamur : tidak - -
3 -6-2011 ada pertumbhan
Dijawab : jamur
10-6-2011

2.5 Pemeriksaan Penunjang Lainnya


a. USG (23-5-2011)
Hidronefrosis sedang bilateral- massa di cervix. Adnexa kanan/kiri sulit dievaluasi. Hepar /GB/pancreas dalam batas normal
b. BOF (23-5-2011)
Tidak tampak metastase di tulang, tidak tampak baturadiooapque di sepanjang tractus urinarius. Spondylosus Lumbalis.
c. Foto Thorax (23-5-2011)
Tidak tampak proses metastase

15
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

d. PA
Invasive Keratinizing Squamus Cell Carcinoma

2.5 Konsultasi
a) Konsul dari IPD : obs.Melena terkait trombositopenia (pansitoenia) dengan ESO gr. IV + AKI yang disebabkan oleh uropati obstruktif
dan atau oleh karena ESO kemoterapi
Saran : Transfusi TC 1 kolf
Injeksi Omeprazole 2 x 40 mg
Transfusi PRC (setelah TC) 1 kolf /hari
b) Konsul dari Paliatif
Terapi : Paracetamol 6 x 500 mg
Meloxicam supp 2 per rectal
Bila diakukan HD :
Terap : Codein 6 x 10 mg
Paracetamil 6 x 500 mg
Amitriptilim 25 mg 0-0-1/2
Konsulkan pasien ke palitif setiap 3 hari
c) Konsul Mata
ODS retinopathy dan ODS penurunan refeleks makula

16
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

2.6 Profil Terapi

TANGGAL
JENIS OBAT REGIMEN 23/5 24/5 25/5 26/5 27/5 28/5 29/5 30/5 31/5 1/6 2/6 3/6 4/6
RL : D5 = 2:1 14 tpm/24 jam √
PZ 500 cc/24 jam √ √
TC 10 kolf √

PRC 1 kolf √

Omeprazole inj 2 x 40 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √

Ranitidine iv 2 x 50 mg √
Ondansetron 3 x 4mg √ √ √ √ √ √ √ √ √

*Koreksi hiperkalemi

Kalitake 3x1 sachet √ √ √ √ √ √ √ √ √

Captopril 3 x 12,5 mg √ √ √ √

Amlodipin 5 mg 1-0-0 √ √ √ √

CaCO3 1250 mg ~ 500 2x1 √ √ √ √


mg Calsium
As.Folat 3x1 √ √ √ √
As.Mefenamat 3 x 500mg √ √

17
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

TANGGAL
JENIS OBAT REGIMEN 5/6 6/6 7/6 8/6 9/6 10/6 11/6 12/6 13/6 14/6 15/6 16/6 17/6
HD HD HD
PRC 1 kolf √ √

Whole Blood 1 kolf √

Omeprazole inj 2 x 40 mg √ √ √

Ranitidine iv 2 x 50 mg
Ondansetron 3 x 4mg √ √ √ √ prn √prn √prn √ 8mg

Kalitake 3x1 sachet √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

*Koreksi hiperkalemi √

Captopril 3 x 12,5 mg

Amlodipin 5 mg 1-0-0 √ √ √ √ √ √10 mg √ 10 √ 10 √ 10 √10 √ √


mg mg mg mg
CaCO3 1250 mg ~ 500 2x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg Calsium
As.Folat 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
As.Mefenamat 3 x 500mg

Allopurinol 100 mg 0–0–1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

As.Traneksamat inj. 2x1 √ √


100 mg

18
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

TANGGAL
JENIS OBAT REGIMEN 18/6 19/6 20/6 21/6 22/6 23/6 24/6 25/6 26/6 27/6 28/6 29/6 30/6
HD HD DJ stent HD
gagal
Ceftriaxone 2 x 1 gr √ √ √ √ √ √
Metronidazole 500 mg √
Whole Blood 1 kolf √

Ondansetron 2 x 8 mg √ √ √ √ √
Amlodipin 5 mg 1-0-0 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Furosemide 3 x 20 mg √ √ √

CaCO3 1250 mg ~ 500 2x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √


mg Calsium
As.Folat 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Tramadol 3 x 50 mg √ √ √ √

Asam Traneksamat 2x1 √ √ √ √ √ √


inj. 100 mg

Riwayat Kemoterapi :

I. Kemo I : 1-11-2010  Paxus 241,5 mg, Carboplatin 363,3 mg


II. Kemo II : 3-2-2011  Paxus 243,075 mg, Carboplatin 374,5 mg
III. Kemo III : Carboplatin  283,4 mg

19
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

*Koreksi Hipokalemi (31 Mei 2011 & 6 Juni 2011) :

Ca gluconas 1 amp. + Insulin 2 ui dalam D 40%

1 jam

Insulin 2 ui dalam D 40%

1 jam

Insulin 2 ui dalam D 40%

1 jam

Cak K+

20
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien Ny.S berusia 47 tahun 7 bulan (50 kg/134 cm) MRS pada tanggal 24
Mei 2011 dengan kondisi mual mutah dan merupakan pasien rujukan dari poli
dengan diagnosa poli CaCx IIIB pro Kemoterapi Cisplatin I (ganti Carboplatin) +
pro Eksternal Radiasi + Fistula rectovaginal. Pada stadium IIIB maka kanker sudah
menyebar ke dinding pelvis dan atau hidronefrosis atau non fungsi ginjal, pada kasus
ini terjadi fistula rektovaginal. Sebelumnya pasien telah menjalani kemoterapi
sebanyak tiga kali di RS.Dr.Soetomo. Kemoterapi pertama (1 November 2010)
dengan Paxus 241,5 mg dan Carboplatin 363,3 mg, kemoterapi kedua (3 Feruari
2011) dengan Paxus 243,075 mg, kemoterapi ketiga (28 April 2011) dengan
Carboplatin 283,4 mg. Menurut Guideline terapi yang dikeluarkan oleh NCCN tahun
2010, untuk kanker serviks stadium III, maka penatalaksanaannya adalah dengan
Pelvic Radiotherapy + Concurrent Cisplatin containing Chemotherapy +
Brachytherapy.
Dari berbagai data laboratorium menunjukkan bahwa penggunaan
kemoterapi dan radioterapi secara simultan untuk solid tumor pada stadium lanjut
dapat mengatasi resistensi terhadap radioterapi serta mikrometastase. Pada Februari
1999, NCI mengeluarkan sebuah publikasi yang menyatakan bahwa dari data lima
penelitian fase III secara randomisasi menunjukkan bahwa overall survival lebih
bagus pada pasien yang mendapatkan kemoterapi konkuren dengan radioterapi.
Cisplatin merupakan obat sitotoksik yang paling sering digunakan untuk pasien
dengan kanker serviks tipe squamous cell carcinoma stadium lanjut maupun yang
rekuren. Cisplatin dianggap dapat meningkatkan kematian sel kanker melalui DNA
cross-links, sesitisasi hipoksia sel, serta hambatan perbaikan sel yang rusak
(Kleinberg, 2000).
Pemberian kemoterapi dan radiasi sebaiknya sekitar empat jam, berkaitan
dengan kemoterapi sensitizer yaitu membuat sel-sel kanker mengumpul pada satu
titik kemudian dengan menggunakan radiasi secara selektif akan menghancurkan sel-
sel kanker tersebut pada satu titik.

21
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

Kondisi kanker pada pasien ini, sudah memasuki stadium IIIB yang
menyebar ke dinding pelvis dan menyebabkan fistula rektovaginal sehingga perlu
dilakukan operasi fistula rektovaginal. Pada saat MRS pasien mengalami mual
muntah setelah kemoterapi yang ketiga. Mual muntah ini kemungkinan merupakan
efek samping pemberian Carboplatin yang bersifat delayed. Carboplatin mempunyai
derajat mual muntah moderately high (Level 4) dengan frekuensi emesis 60-90%
sedangkan Paclitaxel termasuk dalam level rendah (Level 20 dengan frekuensi
emesis 10-30%.
Ny.S pada saat MRS tanggal 24 Mei 2011 mengeluhkan mual muntah,
tetapi tidak mendapatkan terapi mual muntah, pasien hanya mendapatkan terapi
cairan RL:D5 untuk resusitasi. Suhu serta nadi pasien normal namun tekanan darah
pasien tinggi yaitu 140/90 dan terapi hipertensi baru diberikan pada tanggal 28 Mei
2011 yaitu diberikan captopril 3 x 12,5 mg sampai pada tanggal 31 Mei 2011.
Karena respon penurunan tekanan darah masih belum mencpai target tekanan darah
yang diinginkan maka terapi diganti dengan amlodipin 5mg 1 dd1.
Pasien tersebut telah mengalami penurunan fungsi ginjal dengan serum
kreatinin pada tanggal 27 Mei 2011 17,5 (klirens kreatinin 3, 12 ml/menit). Pasien
sudah masuk kedalam CKD stage V sehingga untuk panatalaksanaan hipertensi,
target tekanan darahnya yaitu ≤130/80 mmHg. Terapi lini pertama yang diberikan
sudah sesuai yaitu golongan ACE inhibitor atau ARB (angiotensin receptor blocker),
bila respon tida adekuat maka untuk pasien dengan klirens kreatinin <30 ml /menit
selanjutnya seharusnya ditambahkan dengan Loop diuretik. Bila dengan penambahan
loop diuretik masih tetap tidak mencapai target tekanan darah yang diinginkan maka
terapi perlu ditambahkan Ca Channel Blocker (Wells et al, 2009). Dalam kasus ini,
pemberian amlodipin tanpa dikombinasi dengan diuretik maupun ACE inhibitor
membuat terapi antihipertensi belum adekuat dan penurunan tekanan darah masih
belum mencapai target (terakhir penggunaan amlodipin tunggal tanggal 19 Juni 2011
tekanan darah pasien masih tinggi yaitu 180/100).
Kemudian pada tanggal 20 Juni 2011 terapi antihipertensi dikombinasi
dengan Valsartan 80 mg 1 dd1. Kombinasi diberikan sampai pasien KRS tanggal 1
Juli 2011. Dari kombinasi amlodipin dengan valsartan inipun tekanan darah masih
tetap tinggi, terakhir kali tekanan darah pada tanggal 30 Juni 2011 adalah 180/110.
Pasien sempat diberikan furosemide 20 mg 2 dd1 selama tiga hari tanggal 25 Juni

22
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

sampai 27 Juni 2011. Pada waktu dilakukan kombinasi 3 obat antihipertensi


(amlodipin, valsartan, furosemide) tekanan darah pasien dapat mencapai 130/80 (26
Juni), 140/70 (27 Juni), 130/80 (28 Juni). Dari hasil penurunan tekanan darah
tersebut maka dapat dilihat bahwa seharusnya terapi dikombinasi antara ketiga
senyawa yaitu CCB, ARB/ACE inhibitor serta loop diuretik. Pemberian ACE
inhibitor dibandingkan dengan ARB keduanya tidak ada yang lebih superior (Wells
et al, 2009). Alasan pemberian valsartan bukan captopril adalah karena ESO batuk
kering pada captopril.
Sebagai terapi mual muntah diberikan ondansetron 3 x 4 mg mulai tanggal 27
Mei 2011 sampai dengan 11 Juni 2011. Seharusnya terapi mual muntah diberikan
sejak awal MRS tanggal 24 Mei 2011 karena pada saat MRS pasien mengalami mual
muntah. Dosis ondansetron yang diberikan pada pasien ini kurang adekuat karena
pasien masih mengalami mual muntah. Seharunya dosisnya ditingkatkan mejadi 2 x
8 mg. Mual muntah yang dialami pasien kemungkinan disebabkan oleh kemoterapi
yang mempunyai efek delayed emesis (emesis yang tertunda). Selain itu dapat juga
disebabkan oleh sel kanker yang telah bermetastase sampai ke saluran cerna atau
dapat juga disebabkan akibat penyakit gagal ginjal kronis yang dialami oleh pasien
menyebabkan toksik uremia sehingga timbul mual muntah.
Sebagai terapi stress ulcer diberikan Ranitidine iv hanya satu hari tanggal 25
Mei 2011 dengan dosis 2 x 50 mg. Sebagai terapi stress ulcer dosis ranitidine
seharusnya adalah 3 x 50 mg (Mc.Evoy, 2008). Kemudian terapi diganti dengan
golongan proton pump inhibitor yaitu omeprazole dengan dosis 2 x 20 mg i.v.
Menurut sebuah penelitian meta analisis, efektivitas ranitidine dibandingkan dengan
omeprazole untuk terapi gastric ulcer menunjukkan efektivitas yang lebih baik pada
omeprazole (Pongprasobchai et al, 2009).
Akibat penyakit ginjal kronis yang dialami, pasien mengalami komplikasi
hiperkalemi dimana kadar kalium dalam darah pada tanggal 27 Mei 2011 adalah 6,1
dikoreksi dengan Kalitake 3 x 1 sachet. Pemberian kalitake tersebut tidak efektif
untuk koreksi hiperkalemi karena pada tanggal 31 Mei 2011 hiperkalemi belum
teratasi, hal ini ditunjukkan dengan data laboratorium Kalium yang masih tinggi
yaitu 6,6. Terapi Kalitake diberikan mulai tanggal 27 Mei 2011 sampai tanggal 16
Juni 2011. Tanggal 31 Mei 2011 dilakukan koreksi dengan Ca gluconas 1 ampul +
Insulin 2 ui dalam D 40% insulin kemudian 1 jam setelah koreksi hiperkalemi

23
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

dengan insulin seharusnya dilakukan pemeriksaan kadar serum kalium, akan tetapi
pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium serum kalium. Pada saat
dilakukan pemeriksaan serum kalium pada tanggal 5 Juni 2011 ternyata serum
kalium masih tinggi yitu 6,9 sehingga kembali dilakukan koreksi hiperkalemi dengan
ca gluconas + insulin dan dextrose 40%. Setelah koreksi tersebut tanggal 6 Juni 2011
kadar serum kalium tidak mengalami penurunan tetapi justru meningkat menjadi 8,7.
Peningkatan yang terjadi ini kemungkinan disebabkan oleh semakin memburuknya
fungsi ginjal pasien dimana klirens kreatinin pasien yang semakin turun menjadi
1,512 pada tanggal 6 Juni 2011. Semakin menurunnya fungsi ginjal, maka semakin
menurun pula eliminasi dari kalium sehingga kondisi hiperkalemi semakin berat.
Untuk mengatasi kondisi ini solusi yang terbaik adalah dengan cara hemodialisis.
CaCO3 diberikan sebagai terapi untuk mengatasi hiperfosfatemia akibat
komplikasi dari penyakit ginjal kronis. Hiperfosfatemia terjadi akibat kerusakan sel
nefron menyebabkan penurunan fungsinya dalam mengeliminasi fofat sehingga
terjadi retensi fosfat (Wells et al, 2009). Kondisi lain yang sering menjadi komplikasi
pada pasien penyakit gagal ginjal kronis adalah uremia, akan tetapi pada pasien tidak
dilakukan pemeriksaan serum asam urat serta ureum. Pada tanggal 28 Juni 2011
pasien mengalami delirium yang kemungkinan besar disebabkan karena toksik
uremia sehingga menyebabkan ensefalopati uremia. Untuk mengatasi hiperurisemia
pasien diberikan terapi allopurinol 1 x 100 mg. Akan tetapi tidak dimonitor dengan
pemeriksaan laboratorium serum asam urat. Seharusnya pemeriksaan serum asam
urat dilakukan untuk memantau keberhasilan terapi allopurinol.
Tanggal 24 Juni dilakukan pemsangan DJ stent untuk memperlancar aliran
kencing karena pasien anuria. Tetapi pemasangan DJ stent ini gagal. Tanggal 24 Juni
pasien mengalami perdarahan sehingga diberikan terapi asam traneksamat mulai
tanggal 24 Juni sampai perdarahan berhenti tanggal 29 Juni 2011. Pasien sempat
mengalami anuria pada tanggal 27 Mei 2011, 20 Juni, 21 Juni 2011. Kemudian
tanggal 25 Juni 2011 diberikan diuretik untuk memperlancar ekskresi urin. Setelah
diberikan diuretik ekskresi urin masih sangat sedikit.
Berdasarkan hasil kultur darah tanggal yang keluar pada tanggal 3 Juni 2011
didapatkan biakan bakteri Staphylococcus koagulase negatif tetapi pasien tidak
mendapatkan terapi antibiotik. Hal ini disebabkan karena dari kondisi klinis pasien
tidak menunjukkan adanya infeksi, sedangkan WBC pada tanggal tersebut tidak

24
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

dilakukan pemeriksaan. Seharusnya dilakukan pemeriksaan WBC untuk melihat ada


tidaknya infeksi meskipun WBC bukan merupakan parameter yang spesifik untuk
infeksi karena bisa meningkat pada kondisi inflamasi dan malignansi. Kemudian
tanggal 27 Mei 2011 kembali dilakukan kultur darah dan keluar biakan
Staphylococcus koagulase negatif tetapi pasien tidak mendapatkan antibiotik. Karena
sudah dilakukan dua kali kultur darah dan hasilnya sama yaitu tumbuh biakan
Staphylococcus koagulase negatif sebaiknya pasien diberikan terapi antibiotik karena
pasien ini immunocompromise sehingga rentan terhadap infeksi.
Pasien mendapatkan terapi antibiotik Ceftriaxone 2x 1gram mulai tanggal 24
Juni sampai dengan tanggal 29 Juni 2011 karena dilakukan pemasngan DJ stent
sehingga ceftriaxone ini diberikan sebagai profilaksis infeksi. Pemilihan ceftriaxone
sudah tepat karena ceftriaxone bersifat broad spectrum tetapi lebih sensitif terhadap
bakteri gram negatif. Karena di saluran saluran genitouri banyak terdapat bakteri
gram negatif, maka pemilihan ceftriaxone sudah tepat. Selain itu ceftriaxone
memiliki kelebihan yaitu tidak perlu adjusment dosis pada pasien gagal ginjal.
Tanggal 24 Juni pasien mendapatkan metronidazole selama 1 hari. Pemberian
metronidazole tidak tepat karena metronidazole aktif melawan bakterianaerob, selain
itu klirens kreatinin pasien <10 ml/menit maka dosis yang diberikan seharusnya 50%
dosis normal.

25
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2010/2011

DAFTAR PUSTAKA

Boyiadziz, M. M., Lebowitz, P.F., Frame, J.N, Fojo, T., 2007. Hematology Oncology
Therapy. New York :Mc.Graw Hill Medical
Fauci et al, 2008.Cancer Cell Biology and Angiogenesis. In : Principles of Internal
Medicine. New York : Lippincots William & Wilkins.
Kleinberg, M.J., Straughn, J.M., Alvarez, R.D., 2000. Concurrent Chemotherapy and
Radiation for Advanced Cervical Cancer in CME Journal of Gynecologic
Oncology 92–98
Lacy, CF, Armstrong, LL, Goldman, MP, Lance, LL 2009, Drug Information
Handbook, 18th ed, USA: American Pharmacist Association
Mc.Evoy, GK, Miller, J, Snow, E.K., Welsh, O.H., Litvak, K, eds., 2008. American
Hospital Formulary System (AHFS) Drug Information 2008. Bethesda
American Society of Health System Pharmacist.
NCCN, 2010. NCCN Practice Guideline in Oncology Cervical Cancer.National
Comprehensive Cancer Network, Inc.
Norwitz, Errol R.; Arulkumaran, S.; Symonds, I. M.; Fowlie, A. Title: Oxford
American Handbook of Obstetrics and Gynecology, 1st Edition
Pongprasobchai et al, 2009. PPI for the Prevention of Stress Related Mucosal
Disease in Critically Ill Patients: A Meta Analysis, Journal of medical
Association Thailand. Vol. 92, No. 5: 632-7
Roila et al, 2010. Guideline update for MASCC and ESMO in the prevention of
chemotherapy- and radiotherapy-induced nausea and vomiting: results of
the Perugia consensus conference in Annals of Oncology 21 (Supplement
5): v232–v243
Schorge, J.O, Schaffer, J.I, Halvorson, L.M., Hoffman, B.L., Bradshaw, K.D.,
Cunningham, F.G, 2008. William Gynecology. Mc.Graw Hill Company,
Inc.
Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V.,
2009.Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. New York : Mc.Graw
Hill Medical

26

Anda mungkin juga menyukai