Anda di halaman 1dari 19

Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah

Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014

KASUS 1
SMF ILMU BEDAH

Ca MAXILLA DEXTRA

1
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Batasan
Kanker mulut menempati urutan keenam penyakit kanker yang ada
di dunia, dengan prevalensi tinggi di Asia Selatan (Shah et al., 2009).
Banyak kista dan tumor odontogenik yang berkembang pada maxilla
(rahang atas), biasanya pada bagian posterior, dan dapat meluas ke sinus
maxillaris atau nasal cavity dengan karakteristik jinak, tidak sakit,
pertumbuhan yang lambat. Umumnya terjadi pada rentang usia yang lebar
tanpa kecenderungan seks, tetapi terutama dapat dijumpai pada pasien usia
35-45 tahun. 86% ameloblastoma merupakan padatan konvensional, tipe
multisistik, 13% unisistik, dan 1% perifer, berkembang dalam jaringan
gingival (Pilch, 2001).

Gambar I.1 Gambaran lateral maxilla dan reseksi maxillectomi total

Pengobatan terbaik untuk ameloblastoma padat konvensional


dengan reseksi dengan margin 1 cm. Tingkat kekambuhan untuk jenis eksisi
hampir nihil, tetapi tidak selalu dapat dicapai pada maxilla (Pilch, 2001).
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi dalam pilihan terapi yaitu faktor
tumor, faktor pasien, dan faktor psikis. Letak utama, lokasi, ukuran, jarak
terhadap tulang, dan dalamnya infiltrasi tumor merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi pendekatan pembedahan pada pasien (Shah et al.,
2009).

2
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Maxillectomi merupakan operasi untuk menghilangkan tulang
rahang bagian atas (maxilla). Terdapat dua jenis operasi maxillectomi, yaitu
maxillectomi parsial (hanya sebagian dari maxilla yang dihilangkan) dan
maxillectomi total (seluruh maxilla dihilangkan). Tipe operasi tergantung
pada ukuran kanker dan jika telah menyebar. Selama operasi, tim bedah
akan mengambil langkah untuk memulihkan penampilan, ucapan, dan
kemampuan menelan sebaik mungkin dengan menggantikan daerah yang
dihilangkan dengan otot dan kulit penutup atau dengan kombinasi plat
logam dan tulang, otot, dan kulit penutup yang diambil dari bagian lain
tubuh, seperti pinggul dan kaki (HCI, 2013).

1.2 Etiologi
Proliferasi kista dan tumor odontogenik berkembang dengan
stimulus yang tidak diketahui dari epitelium pembentuk gigi di dalam
rahang (Pilch, 2001). Konsumsi tembakau dan alkohol merupakan faktor
etiologi yang sering meyebabkan terjadinya kanker jenis ini. Akan tetapi,
HPV mulai diindentifikasi sebagai penyebab timbulnya kanker mulut (Shah
et al., 2009).

1.3 Patofisiologi
Ameloblastoma karsinoma biasanya proliferasi padat sel tumor
dengan pola arsitektur ameloblastosus yang terdiri dari sel-sel dengan
sitologi ganas yang membesar, hiperkromatik, inti vesikular bantalan
nukleus yang menonjol, akan meningkat dan bermitosis secara abnormal,
dan menunjukkan nekrosis dan kalsifikasi (Pilch, 2001).

1.4 Manifestasi Klinik / Gejala Klinik


Gejala klinik meliputi pembengkakan wajah dan rahang, sakit
kepala, hidung tersumbat, dan sakit telinga. Ameloblastoma maxillaris
cenderung lebih padat seluler dibandingkan dengan tumor mandibular, dan
ketika diinterprestasikan dalam konteks tumor infiltratif membentuk mutiara
keratin yang membingungkan dengan karsinoma (Pilch, 2001).

3
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB II
PROFIL PENDERITA

II.1 Riwayat Penyakit


Nama : Nn. D.
No. RM : 1238.**.**
Ruangan Asal : Bedah Aster.
Umur : 41 tahun.
BB/TB : 32 kg / 138 cm.
Alamat : Jl. Manukan Rukun 2/18.
Status : BPJS.
Tanggal MRS : 26-02-2015.
Diagnosa : Ca maxilla dextra.
Riwayat perjalanan penyakit :
- Tahun 1991, pasien mengalami menstruasi (1x) pada usia 18 tahun.
- Tahun 1992, pasien didiagnosa amenorea primer. Pasien diberikan terapi
Primolut dan tidak kontrol lagi.
- Nopember 2013, pasien menggunakan gigi palsu dengan menjalani
operasi kecil cabut gigi.
- 5 bulan yang lalu, pasien mengeluh ada benjolan keras (3x3) di pipi
sebelah kanan (di atas gusi rongga mulut).

II.2 Data Klinik dan Data Lab


Pemeriksaan sebelum MRS :
a. Pemeriksaan FNAB (20-11-2014).
Kesimpulan :
- Nodul R. Maxilla D., FNAB.
- Suatu benign tumor.
b. Pemeriksaan radiologi (11-12-2014).
Kesimpulan :

4
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
- Mass dengan kalsifikasi, batas tegas di maxilla dan sinus maxillaris
kanan.
- Kesan adanya erosi pada dinding sinus maxillaris dan maxilla kanan.
- Hemangioma DD/Fibrodisplasia.
c. Pemeriksaan thorax (12-01-2015).
Kesimpulan :
- COR : besar dan bentuk normal.
- PULMO : tak tampak infiltrat.
- COR dan PULMO tidak tampak kelainan.

5
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014

TANGGAL
No. Data Klinik
26/2 27/2 28/2 1/3 2/3 3/3 4/3 5/3 6/3 7/3 8/3 9/3 10/3 11/3 12/3
1. Keadaan umum C C C C C L L L C C C C C C C
2. Nadi (x/menit) 84 80 80 80 80 96 80 88 88 88 92 92 92 94 94
3. RR (x/menit) 20 20 20 20 20 20 28 20
4. Suhu (◦C) 37 37 36.9 36.8 36 36.6 36.7 36.8 36.8 36.9 37 37.2 37.5 37.2
5. TD (mmHg) 110/70 95/98 90/65
6. RH/WH - - - - - - - - - - - - - - -
7. Demam - - - - - - - - - - - - - - -
8. Sesak - - - - - - + + - - - - - - -
9. Nyeri - - - +(2-3) - +(6-7) +(3-4) +(2-3) + + + - - - -
10. Edema - - - - - - + - - - - - - - -
11. Perdarahan - - - - - - + - - - - - - - -
12. Anemia - - - - - - - - - - - - - - -
Abdomen flat flat flat flat flat flat flat flat flat flat flat flat flat flat
13. flat
(I/A/P/P) +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+ +/-/+
14. Luka operasi - - - - - + + + + + ± ± ± ± ±
15. Mual - - - - - - + - - - - - - - -
Data Klinik

6
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Data Laboratorium
No. Data Laboratorium Nilai Rujukan Tanggal 28-02-2015
1. WBC 3.70-10.1 (103/µL) 7.47
2. NEU 39.3-73.7% 48.0
3. LYM 18.0-48.3% 40.1
4. MONO 4.40-12.70% 8.57
5. EOS 0.6-7.30% 2.37
6. BASO 0.0-1.70% 0.919
7. RBC 3.60-4.69 (106/µL) 4.76
8. HGB 10.8-14.2 g/dL 13.1
9. HCT 37.7-53.7% 38.4
10. MCV 81.1-96.0 mm3 80.6
11. MCH 27-31.2 pg 27.6
12. MCHC 31.8-35.4 g/dL 34.2
13. RDW 11.5-14.5 12.1
14. PLT 155-366 (103/m3) 214
15. MPV 6.90-10.6 6.00
16. BUN 7-18 (mg/dL) 12
17. SCr 0.6-1.3 (mg/dL) 0.8
18. SGOT 15-37 (U/L) 26
19. SGPT 12-78 (U/L) 32
20. Albumin 3.4-5 (g/dL) 3.5
21. PTT 9-12 (detik) 10.8
22. APTT 23-33 (detik) 28.4

7
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB III
PROFIL PENGOBATAN

Regimen Tanggal
No. Nama Obat
Dosis 26/2 27/2 28/2 1/3 2/3 3/3 4/4 5/3 6/3 7/3 8/3 9/3 10/3 11/3 12/3
1. Ranitidin iv 2x50 mg √ √ √ √ //
2. Tramadol iv 3x100 mg √ √ √ //
3. Kalnex iv 3x500 mg √ √ √ //
4. Cefazolin iv 3x1 gram √ √ //
5. Ketorolac iv 3x30 mg √ √ //
6. Cefixime po 2x100 mg √ √ √ √ √ //
7. Paracetamol po 3x500 mg √ √ √ √ √ //
8. Tab Fe 1x1tab √ √ √ √ √ √
9. Gentamycin oint. sue (4x) √ √ √ √ √ √
10. RL : D5 1:1 √ √ //
11. RD5 2x500 ml √ √ √ //
12. PZ 3x500 ml √ √ //
13. RL 500 cc √ //
14. O2 6 lpm √ √ //
15. Oral hygiene Sue (6x) √ √ √ √ √ √ √

8
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014

9
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB IV
MONITORING DAN INFORMASI

IV.1 Monitoring
Parameter Tujuan Monitoring
Tanda SIRS, keadaan
Untuk memonitoring apakah perlu diberikan terapi
klinis pasien, kultur,
antibiotika setelah operasi (cefazolin).
WBC, luka operasi.
Untuk mengevaluasi efektifitas terapi anti mual
muntah (ranitidin) sebagai profilaksis stress ulcer
Mual muntah
dan mencegah efek samping dari penggunaan terapi
analgesik (tramadol dan ketorolac).
Untuk mengevaluasi efektifitas terapi analgesik post
Keluhan nyeri pada
operasi (ketorolac dan tramadol) melalui pengukuran
luka operasi
VAS.

IV.2 Informasi
Obat Informasi
Cefazolin Cefazolin intravena diberikan 30 menit sebelum operasi,
dapat diulang 500mg-1gram selama operasi yang lebih
panjang (>3 jam atau terjadi perdarahan > 1.5 L). Cefazolin
dilanjutkan 500mg-1gram setiap 6-9 jam selama 24 jam
setelah operasi.
Tramadol Pemberian injeksi tramadol dilakukan melalui intramuskular
atau intravena langsung secara pelan selama lebih dari 2-3
menit atau dengan infus drip dalam 100 ml PZ. Pemberian
tramadol yang terlalu cepat beresiko menimbulkan rasa mual
muntah, nyeri kepala, keringat berlebihan, dan depresi nafas.
Ketorolac Ketorolac diberikan secara intravena dengan tidak kurang
dari 15 detik untuk mencegah vasodilatasi pembuluh darah
secara cepat. Durasi efek analgesik 4-6 jam, mula kerjanya
30 menit, dan kadar puncak untuk menimbulkan efek
analgesik dicapat pada 2 jam (Lacy, 2009; Trissel,2009).
Ranitidin Ranitidin sebaiknya tidak diberikan dalam jangka waktu

10
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
lama. Ranitidin sebaiknya dihentikan saat tanda/resiko stress
ulcer hilang. Ranitidin diberikan secara intramuskular
dengan tidak dilarutkan dan secara intravena perlahan (lebih
dari 5 menit) setelah dilarutkan.

BAB V
PEMBAHASAN

11
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Pada kasus ini, pasien bernama Ny. D dengan usia 41 tahun dengan
berat badan 32 kg dan tinggi 138 cm merupakan pasien BPJS dengan diagnosa Ca
maxilla dextra yang mengalami tindakan maxillectomy total. Pembedahan atau
reseksi melibatkan daerah dasar dan tengah dinding dari orbital dan ethmoid sinus
(Fagan, 2009). Maxillectomy total sangat berpotensi mengakibatkan komplikasi
akibat kerusakan daerah mata, kelenjar lakrimal, saraf optik, arteri ethmoidal,
intrakranial dan adanya kemungkinan perdarahan yang banyak (Fagan, 2009).
Pasien Ny. D mendapatkan terapi antibiotik, terapi analgesik, terapi
mual dan muntah serta terapi suportif. Terapi antibiotika meliputi terapi
antibiotika profilaksis dan terapi antibiotika post operasi. Terapi antibiotika
profilaksis pada Ny.D yaitu cefazolin. Cefazolin merupakan golongan
cefalosporin generasi pertama yang bekerja dengan mengikat satu atau lebih
penicillin binding protein yang mengakibatkan hambatan pembentukan dinding
sel bakteri serta merupakan antibiotika time dependent (konsentrasi hambatan
tergantung dari pemberian/interval). Cefazolin digunakan sebagai antibiotika
profilaksis preoperatif 30 menit sebelum tindakan/operasi. Antibiotika profilaksis
yang digunakan selama 24 jam dapat menurunkan resiko kolonisasi atau super
infeksi dan penggunaan antibiotik preioperatif dapat menurunkan insiden luka
operasi secara signifikan (Skiteralic et al., 2007). Rata-rata insiden infeksi pada
luka operasi berkisar 14-40% (Skiteralic et al., 2007). Pasien Ny. D diberikan
cefazolin sebagai antibiotika profilaksis sebelum dilakukan operasi maxillectomy
total yang tergolong operasi bersih terkontaminasi. Pemberian antibiotika ini
sudah sesuai berdasarkan pedoman penggunaan antibiotika RSUD dr. Soetomo
untuk profilaksis bedah kepala dan leher direkomendasi cefazolin dengan dosis 1-
2 gram intravena.
Di dalam ASHP menyebutkan bahwa flora normal pada mulut
didominasi oleh mikroorganisme yang meliputi streptococcus (aerob dan
anaerob), S. Epidermidis, Peptococcus, Peptostreptococcus, dan banyak kuman
anaerob gram negatif (spesies Bacteroides tetapi bukan B. Fragilis dan
Veillonella). Bakteri aerob gram negatif merupakan bakteri koloni daripada
patogen pada kebanyakan pasien (ASHP, 2013). Dalam ASHP dijelaskan bahwa
untuk operasi bersih terkontaminasi kepala leher digunakan cefazolin 2 gram

12
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
intravena pada saat induksi anastesi dan setiap 8 jam selama 24 jam (ASHP, 2013)
atau 1 gram sebelum tindakan operasi dapat diulang dengan 500 mg sampai 1
gram bila operasi diperpanjang, diikuti dengan 500 mg sampai 1 gram setiap 6-9
jam sesudah operasi (Lacy et al., 2009). Pasien mendapatkan cefazolin pada saat
akan dilakukan tindakan (3/03/2015) sebanyak 2 gram diteruskan sampai tanggal
4/03/2015 pagi. Jadi penggunaan cefazolin pada pasien tersebut sudah tepat
dimana pasien mendapatkan 2 gram sebelum operasi (jam 09.15-11.15) kemudian
diterukan hingga 4/03/2015 (post operasi selama 24 jam).
Pasien juga mendapatkan antibiotika cefixime setelah operasi dari
tanggal 7–11/03/2015. Pemberian cefixime pada pasien post operasi maxillectomy
total tidak ditemukan adanya indikasi dimana pada pasien tidak didapatkan tanda-
tanda SIRS maupun kultur yang dilakukan. Cefixime merupakan golongan
cefalosporin generasi ketiga yang aktif terhadap bakteri gram negatif. Meskipun
telah disebutkan di atas bahwa bakteri gram negatif banyak terdapat pada daerah
mulut tetapi pada salah satu jurnal RCT yang kami temukan mengenai operasi
yang dilakukan di daerah mulut dan leher didapatkan hasil bahwa rata-rata infeksi
akibat operasi maxillectomy kecil/tidak ditemukan (Skiteralic et al., 2007). Rata-
rata infeksi yang tinggi ditemukan pada tindakan laryngectomy (28%) dan
pharyngetomy (33%). Sehingga untuk pemberian cefixime kami rekomendasikan
untuk tidak diberikan mengingat tanda-tanda SIRS, data laboratorium, dan tanda-
tanda klinik pasien tidak mendukung untuk diberikan antibiotika.
Setelah operasi, pasien mendapatkan salep gentamicin pada tanggal 5-
10/03/2015. Terapi tersebut diberikan karena terdapat luka pada bekas operasi,
dimana antibiotika topikal diberikan pada kasus adanya bekas luka sesudah
operasi untuk mencegah terjadinya infeksi. Penggunaan antibiotika lokal
sebaiknya digunakan untuk luka operasi yang baru dengan periode waktu yang
singkat dan tidak untuk digunakan pada luka operasi yang luas dan terbuka
(Scwartz & Mutairi, 2010). Gentamisin merupakan antibiotika golongan
aminoglikosida yang diproduksi oleh strain Micromonospora purpurea dengan
mekanisme menghambat sintesis protein dan translasi mRNA. Spesies yang
sensitif terhadap antibiotika ini meliputi golongan enterobacteria (Aerobacter,
Escherichia, Klebsiella, Salmonella, Shigella, Proteus kecuali P. vulgaris dan

13
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Psuedomonas) dan gram positif bakteri meliputi Staphylococci. Gentamisin pada
prinsipnya digunakan untuk infeksi yang yang disebabkan oleh Ps. aeruginosa
dan Staphylococci (Scwartz & Mutairi, 2010). Dosis dan penggunaan dari salep
gentamisin pada pasien Ny. D sudah sesuai yaitu digunakan sehari 4 kali selama 5
hari pada bekas luka operasi yang masih baru.
Terapi selanjutnya yang diberikan kepada Ny. D adalah terapi
analgesik. Pasien dengan tindakan/operasi kanker pada kepala dan leher
kemungkinan besar mengalami nyeri akut (Kuo & Williams, 2011). Nyeri akut
post operasi harus diterapi secukupnya dan tepat untuk mencegah terjadinya nyeri
kronik post operasi (Kuo & Williams, 2011). Terapi analgesik diberikan
berdasarkan tanda klinik melalui nilai VAS (Visual Analogue Scale). Pada tanggal
1/03/2015 nilai VAS pasien (2-3) namun pasien tidak mendapatkan terapi apapun.
Hal ini kemungkinan berdasarkan pertimbangan bahwa nyeri yang dialami pasien
hanya terjadi pada waktu tertentu dan keesokan harinya pasien sudah tidak
mengeluhkan nyeri lagi. Pada tanggal 3/03/2015 pasien menjalani operasi dan
setelah operasi, pasien mengeluhkan nyeri yang sangat (VAS = 6-7), pasien
diberikan terapi tramadol yang bekerja secara sentral dengan berikatan pada
reseptor opioid (µ) menyebabkan hambatan pada jalur nyeri ascending. Tramadol
mempunyai efikasi yang bagus untuk pasien dengan nyeri akut maupun kronik
(moderate-severe) (Lacy et al., 2009; Brunton, 2012). Dosis dan interval
pemberian dari tramadol tersebut sudah sesuai menurut WHO pain ladder, dimana
untuk nyeri yang moderate-severe dapat diberikan golongan opioid. Ny. D
mendapatkan terapi tramadol dari tanggal 3-5/03/2015, dimana pada tanggal
4/03/2015 nyeri pasien mengalami perbaikan (VAS = 3-4). Pada tanggal 5-
6/03/2015 Ny. D mendapatkan terapi analgesik tambahan yaitu ketorolac.
Ketorolak merupakan golongan NSAID yang sangat selektif terhadap COX-1 dan
merupakan analgesik yang sangat poten.
Pada tanggal 7/03/2013 Ny. D hanya mendapatkan parasetamol
sebagai analgesik karena pada pasien sudah mulai mengalami penurunan skala
nyeri. Dari pola terapi analgesik yang didapatkan Ny. D tersebut kami
merekomendasikan untuk tidak memberikan ketorolak pada tanggal 5-6/03/2015
disebabkan nilai dari VAS pasien hanya (2-3). Dari data nilai VAS tersebut

14
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
sebaiknya dari tanggal 3-5/03/2015 pasien diberikan kombinasi tramadol dan
parasetamol yang mempunyai efikasi yang baik untuk mengatasi nyeri yang
moderate-severe (Brunton, 2012; Lacy et al., 2009; Kuo & Wlliams, 2011) dan
dihentikan setelah tanda-tanda nyeri pada pasien hilang. Parasetamol merupakan
obat yang sudah banyak digunakan karena efikasi dan keamanannya untuk banyak
pasien dengan nyeri ringan sampai sedang (Kuo & Wlliams, 2011). Dari data
Cochrane didapatkan bahwa parasetamol efektif sebagai analgesik pada pasien
dengan nyeri akut post operasi.
Terapi selanjutnya adalah postoperative nausea and vomiting
(PONV). Pasien mengalami mual pada tanggal 4/3/2015, hal ini kemungkinan
disebabkan pasien mendapatkan terapi tramadol yang dapat menyebabkan
mual/muntah dengan mekanisme menyebabkan upset pada lambung yang pada
akhirnya menyebabkan penurunan motilitas lambung dan peningkatan sekresi
lambung (Brunton, 2012), sehingga pasien diberikan ranitidin yang merupakan
AH2 bloker yang menyebabkan hambatan sekresi asam lambung (Lacy et al.,
2009). Ranitidin diberikan dari tanggal 3-6/03/2015. Pemberian ranitidin tersebut
sebaiknya hanya diberikan pada tanggal 4/03/2015 atau bila pasien menunjukkan
tanda-tanda klinik (mual) selain itu pasien juga sudah melakukan diet per sonde
sejak tanggal 4/03/2015 sehingga peningkatan sekresi asam lambung
kemungkinan sudah teratasi.
Terapi lainnya yang diperoleh Ny. D adalah kalnex yang bekerja
dengan cara menghambat fibrinolisis dengan menggeser plasminogen dari fibrin
(Lacy et al., 2009). Terapi ini diberikan karena pasien mengalami perdarahan pada
tanggal 4/03/2015. Dosis dan frekuensi penggunaan kalnex sudah sesuai namum
lama penggunaan kalnex kurang tepat/terlalu lama, sehingga kami
merekomendasikan untuk menggunakan kalnex bila terdapat perdarahan pada
pasien (tanggal 4-6/03/2015). Pasien juga mendapatkan terapi tablet Fe dari
tanggal 7-16/03/2015) yang ditujukan untuk penggantian/penyimpanan besi dalam
haemoglobin, mioglobin, dan enzim, dengan cara mengangkut O 2 melalui
haemoglobin (Lacy et al., 2009). Dosis pemberian tablet Fe sudah sesuai namun
indikasi pemberian terapi tersebut kurang jelas dimana tidak ada tanda-tanda

15
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
klinik pasien mengalami anemia serta data laboratorium Hb pasien, sehingga kami
merekomendasikan untuk tidak diberikan.
Terapi berikutnya adalah terapi cairan dan diet. Terapi tersebut
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kalori sehari hari. Pada pasien Ny. D
membutuhkan nutrisi enteral post operasi dimana pasien tidak bisa mencukupi
kebutuhan kalori per oral. Formula yang umum digunakan untuk memperkirakan
kebutuhan energi adalah 25 kcal/kg BB dan meningkat sejumlah 30 kcal/kg BB
pada kondisi stres yang tinggi dan BMI < 18 (Braga et al., 2009). Terapi suportif
pada pasien Ny. D dilakukan sebelum dan sesudah operasi dengan harapan
mencegah terjadinya kelaparan dan menjaga otot, imunitas, dan fungsi kognitif
serta mempercepat proses penyembuhan. Pasien Ny. D mendapatkan terapi berupa
cairan elektrolit maupun cairan sebagai sumber energi serta diet tinggi karbohidrat
tinggi protein. Berdasarkan perkiraan perhitungan energi yang diperlukan setiap
harinya untuk Ny. D adalah sebesar 960 Kcal/hari. Dari tanggal 26/02/2015
sampai 11/03/2015 hampir kebutuhan akan kalori terpenuhi dengan baik kecuali
pada tanggal 6/03/2015 dimana pasien hanya mendapatkan PZ dan susu 5x200 cc
per sonde dengan total kalori sebesar 600 Kcal. Pada hari tersebut terjadi defisit
kalori sebesar 360 Kcal untuk memenuhi kebutuhan kalori minimal. Mengingat
pentingnya pemenuhan energi untuk mempertahankan kondisi pasien maka kami
rekomendasikan pada tanggal 6/03/2015 tetap diberikan infus D5:RL (1:1) guna
mencukupi kebutuhan energi Ny. D yang belum mampu melakukan diet per oral.

16
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat kami disimpulkan bahwa
terdapat beberapa terapi yang sebaiknya tidak perlu untuk diberikan kepada
Ny. D meliputi pemberian terapi cefixime selama 5 hari sesudah operasi,
pemilihan analgesik, lama pemberian kalnex pada tanggal 4 maret 2015,
pemberian tablet Fe sejak tanggal 7 Maret 2015, dan pemberian terapi
suportif (cairan, kalori, dan protein).

VI.2 Saran
Dari profil terapi yang diterima Ny. D dapat kami sarankan bahwa
cefixime tidak perlu diberikan pada pasien mengingat tidak terdapat tanda
klinik, data laboratorium, dan hasil kultur yang mendukung; pemberian
ketorolac dapat diganti dengan pemberian parasetamol dan sejak awal bisa
diberikan terapi kombinasi tramadol dan parasetamol; pemberian kalnex
disesuaikan dengan tanda perdarahan pada pasien sehingga hanya perlu
diberikan bila pasien mengalami perdarahan saja; pemberian suplemen Fe
sebaiknya disesuaikan dengan tanda klinik dan laboratorium (Hb), dan
penambahan pemberian cairan pada tanggal 6 Maret 2015 untuk memenuhi
kebutuhan minimal kalori pasien.

17
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA

ASHP Therapeutic Guidelines on Antimicrobial Prophylaxis in Surgery - Head


and Neck Surgery. 2012. p. 479-480.

AHFS Drug Information Essential. 2011.

Braga et al. 2009. ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition : Surgery. European


Society for Clinical Nutrition and Metabolism. p. 378-386.

Brunton, L.L. 2010. Godman & Gilman,s The Pharmacological Basic of


Therapeutics. Mc Graw-Hill.

Fagan, Johan. 2009. Open Access Atlas of Otolaryngology, Head and Neck
Operative Surgery.

Forrest, J. B. 2002. Ketorolac, Diklofenac, and Ketoprofen are Equally Safe for
Pain Relief After Major Surgery. British Journal of Anathesia. Vol. 88 (2). p.
227-233.

Huntsman Cancer Institute University of Utah. 2013. Maxillectomy Patient


Education.

Kuo, P. Y. and Williams, J. E. 2011. Pain Control in Head and Neck Cancer.
UK : Intochopen.

Lacy et al. 2009. Drug Information Handbook.

Pedoman Penggunaan Antibiotik Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo edisi IV.
2009.

Pilch, Ben Z. 2001. Head and Neck Surgical Pathology. Philadelphia : Lippincott
Williams & Walkins. Pp. 143-144.

Schwartz, R. A. 2010. Topical Antibiotics in Dermatology. USA : The Gulf


Journal of Dermatology and Venorology.

18
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Shah, Jatin P. and Gil, Ziv. 2009. Current Concepts in Management of Oral
Cancer-Surgery. Oral Oncol. Vol. 45(0). p. 394-401.

Skitarelic, N. et al. 2007. Antibiotic Prophylaxis in Clean Contaminated Head and


Neck Oncological Surgery. Journal of Cranio Maxillofacial Surgery. Vol.
35. p. 15-20.

Toms et al. 2012. Single Dose Oral Paracetamol (Acetaminophen) for


Postoperative Pain in Adult. The Cochrane Collaboration.

Zeitoun, Abeer; Zeineddine, Maya; and Dimassi, Hani. 2011. Stress Ulcer
Prophylaxis Guidelines. World Journal of Gastrointestinal Pharmacology
and Therapeutics. Vol. 2(4). p. 27-35.

19

Anda mungkin juga menyukai