Anda di halaman 1dari 28

L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF

PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA


M A G I S T E R F A R M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

KASUS 3
SMF ILMU BEDAH SARAF

KP + TUMOR FOSA POSTERIOR +


HIDROCEPHALUS + ISK

1
L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F A R M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Batasan Tumor Otak


Tumor otak merupakan kelompok penyakit dari neoplasma yang
muncul dari sel yang berbeda didalam sistem saraf pusat atau dari tumor
sistemik yang bermetastase di sistem saraf puast. Tumor otak dapat
menimbulkan gejala dan tanda – tanda yang disebabkan oleh invasi local pada
otak, kompres dari otak, dan peningkatan tekanan intracranial (ICP).
Manifestasi klinik dari tumor otak ditentukan berdasarkan fungsi dari bagian
otak yang terlibat (Wong & Wu, 2015).
Pada anak – anak tumor otak meliputi tumor nonmalignant dan
tumor malignant. Tumor otak tersebut dapat menimbulkan gejala dan tanda –
tanda akibat invasi local, kompresi struktut otak, peningkatan tekanan
intracranial tidak hanya disebabkan oleh masa tumor tetapi juga disebabkan
adanyan obstruksi aliran cairan cerebrospinal (CSF) yang menyebabkan
hidrocefalus. Perubahan gejala pada bayi dan anak – anak sangat jelas berbeda
karena pada anak – anak tidak mampu mengemumukakan rasa nyeri seperti
nyeri kepala, sedangkan pada bayi peningkatan ICP ditemukan akhir setelh
bagian fontanella terpengaruhi dan fusi dari suture. Lokasi tumor mempunyai
efek yang besar terhadap gejala yang timbul meliputi gejala yang terlokalisasi
dan gejala yang tidak spesifik (mual , muntah, papiledema (Lau & Teo, 2015).
Hidrocepafalus merupakan gangguan/kelainan dimana terjadi
akumulasi CSF yang berlebihan pada ventrikel cerebral atau ruang
subarachnoid yang mengalami dilatasi. Pada anak – anak, hidrocepalus
hamper selalu berkaitan dengan peningkatan tekanan intracranial. Pada
kebanyakan kasus akumulasi yang berlebihan dari CSF dalam ventrikel
cerebral karena gangguan sirkulasi CSF (diketahui sebagai obstructive atau
non – communicating hydrocephalus).

2
L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F A R M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

1.2. Etiologi Tumor Otak


Penyebab tumor otak antara lain adalah (McLean, 2009):
- Hereditary syndromes, seperti tuberous sclerosis, sindroma von Hippel-
Lindau, dan neurofibromatosis tipe 1 dan 2. Semua sindroma ini terkait
dengan resiko yang besar terhadap terjadinya tumor otak. Sedangkan
faktor predisposisi genetic hanya memiliki porsi sekitar 5% dari penyebab
tumor otak.
- Radiasi terapetik, terapi dengan menggunakan radiasi ion (termasuk sinar
X) juga merupakan faktor resiko yang kuat terhadap terjadinya tumor otak.
- Paparan terhadap infeksi, virus dan allergen, beberapa tipe virus
menunjukkan dapat menyebabkan terjadinya tumor otak melalui
percobaan pada hewan. Telah ada temuan yang meningkatkan
kemungkinan bahwa alergi-alergi tertentu dan infeksi umum yang terjadi
(termasuk chicken pox dan shingles) dapat mempunyai peran dalam
mencegah tumor otak. Bagaimana juga studi lebih lanjut diperlukan.
- Trauma kepala dan kejang, trauma kepala yang serius, telah lama
diperkirakan menjadi penyebab dari tumor otak. Kenyataannya, penelitian
menunjukkan korelasi yang positif antara trauma kepala dan meningioma,
dan korelasi yang negative terhadap glioma. Riwayat kejang telah
konsisten terkait dengan tumor otak, akan tetapi karena tumor otak
diketahui dapat menyebabkan kejang, maka belum jelas jika kejang atau
obat-obat antikejang dapat meningkatkan resiko tumor.
Bahan kimia pada tempat kerja / rumah, beberapa pekerja terpapar
bahan-bahan yang bersifat karsinogenik atau toksik pada tempat kerjanya.
Pekerja yang bekerja tempat produksi karet sintetik dan PVC, serta pekerja
yang terkait dan petro-chemical, petroleum, dan industry minyak mempunyai
resiko yang besar dalam terbentuknya tumor otak.

1.3. Patofisiologi Tumor Otak


Pembelahan sel (mitosis) normalnya merupakan suatu dapatan,
melalui rilis local dari faktor pertumbuhan (GFs) untuk memenuhi kebutuhan

3
L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F A R M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

spesifik dari sel. Faktor pertumbuhan menstimulasi reseptor pada membrane


sel, yang mana akan menstimulasi aktivitas dan tirokin kinase (1). Melalui
mediasi dari protein adaptor (GRB2), GDP/GTP exchange factor SOS
mengikat pada residu fosfotirosin tertentu dan kemudian mengaktivasi protein
G kacil Ras. Kemudian melalui serin/treonin kinase Raf (2), menstimulasi
kaskade dari kinase yang selanjutnya terjadi aktivasi faktor transkripsi yang
penting untuk pembelahan sel, termasuk di antaranya Fos, Jun, Myc, Rel, E2F
dan DP1. Hormon tiroid mengikat pada reseptor inti (ErbA) (3), kompleks
reseptor-hormon ini juga menyebabkan ekspresi gen dan pembelahan sel
(Rohkamm, 2004).
Mekanisme yang menyebabkan proliferasi dilawan oleh growth-
inhibiting factors yang secara normal menghentikan pembelahan sel yang
berlebihan. Efek ini sangat efektif sebagai contoh, ketika sel mengandung
DNA yang rusak dan pembelahan sel akan mengarah pada terbentuknya sel
anak yang tidak sempurna. Salah satu contoh dari growth-inhibiting factors
adalah retinoblastoma protein (Rb) yang mengikat pada faktor transkripsi E2F
dan DP1 yang kemudian menginaktivasi keduanya (4). Untuk perannya, Rb
dijaga untuk tidak teraktivasi oleh kompleks yang terdiri dari siklin E dan
kinase CDK2 (=E-CDK2), begitu juga kompleks siklin D dan kinase CDK4
(=D-CDK4). Disini E-CDK2 dan D-CDK4 menyebabkan pembelahan sel,
namun efeknya dihambat oleh protein p21 yang diekspresikan di bawah
pengaruh faktor transkripsi p53. Hal ini menyebabkan terhambatnya
pembelahan sel (4) (Hartwig, 2006).
Onkogen dapat muncul melalui mutasi gen yang terkait proliferasi.
Onkoprotein, produk dari onkogen, bersifat aktif meskipun tanpa ada stimulasi
fisiologis, dan hal ini men-trigger mitosis independent of physiological growth
factors. Bagaimana pun, mutasi juga dapat menghasilkan defective
proliferation-inhibiting proteins. Sehingga loss dari Rb atau p53
menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkontrol (5) (Ganong, 2006).
Lebih jauh lagi, defek dari p53 menghambat apoptosis. Mutasi
dapat dipicu oleh bahan kimia yang bersifat karsinogenik atau radiasi, yang

4
L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F A R M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

mana gangguan pada system perbaikan DNA dapat membantu terjadinya


mutasi. Sel-sel sangat sensitive terhadap mutasi pada saat proses mitosis.
Mutasi juga dapat diturunkan, dan virus dapat membawa onkogen kepada sel
host (6) atau dapat menyebabkan degenerasi yang malignan melalui inaktivasi
(Rb, p53) atau aktivasi (BcI2) atau protein spesifik dari host. Mutasi tunggal
tidak cukup untuk terbentuknya tumor, harus terjadi beberapa mutasi sebelum
sel bertransformasi menjadi sel tumor. Tumor promoter mendukung replikasi
dari sel yang bermutasi dan selanjutnya perkembangan dari tumor, tanpa
dirinya menyebabkan tumor (C3) (Silbernagl, 2000).

1.4. Manifestasi Klinik


Tumor otak dapat mengakibatkan gejala – gejala secara general dan
fokal yang meliputi :
1. Nyeri kepala
Nyeri kepala merupakan manifestasi yang umum dari tumor otak dan
merupakan gejala yang sangat buruk hamper dari setengah penderita.
Nyeri kepala pada tumor ini biasanya tumpul dan konstan.
2. Kejang
Kejang merupakan manifestasi yang umum untuk tumor dengan jenis
glioma dan metastase pada cerebral. Pasien yang tidak timbul kejang pada
saat diagnosis dapat timbul kejang selanjutnya.
3. Kelemahan
Kelemahan otot merupakan keluhan yang sering timbul pada tumor otak.
4. Aphasia
Aphasia merupakan kelainan fungsi bahasa, bukan cara pelafalannya,
seperti pada disartria. Gejala ini spesifik bila terjadi lesi pada bagian
hemisphere.
5. Mual muntah, iritablity, lethargy.
6. Penurunan berat badan.
7. Abnormalitas pergerakan mata
8. Hemiplegi.

5
L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F A R M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

9. Perkembangan yang terhambat.


10. Perubahan kesadaran.
11. Abnormalitas koordinasi (Wong & Wu, 2015 ; Lao & Teo, 2015).

6
L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F A R M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

BAB II
PROFIL PENDERITA

2.1 Riwayat Penyakit


Nama An. Z
No. DMK 1239.XXXX
Alamat SURABAYA
Usia / BB / TB 12 tahun
Riwayat penyakit -
keluarga
Riwayat -
Pengobatan
Tgl MRS / KRS 14/02/2015
Diagnosa KP+Tumor Fossa Posterior+hydrocephalus+ISK
Alasan MRS Pasien datang dengan rujukan dari RSUD Blambangan dengan
keluhan nyeri kepala dan muntah. Muntah sejak 2 bulan yang
lalu disertai nyeri kepala dan panas badan sejak 15 hari yang
lalu, muntah berisi apa yang dimakan, panas pasien awalnya
sumer-sumer lama –lama meninggi sudah dibawa
kepuskesmas dan tes darah dan hasilnya tifoid fever selain itu
pasien juga sering mengeluhkan nyeri kepala (hampir 2 tahun)
tapi tidak diketahui sebabnya.

Catatan Perkembangan Pasien

Tanggal Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi


Oprasi Subepital craniotomy+ eksisi tumor
Oprasi : Operasi bersih/ elektif
27/02
AB Profilaksis : Ceftriaxone 1 g
Instruksi post op :

7
L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F A R M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

- Inf D51/2 NS 1500CC/24 jam


- Inj. Dexametason 3x2.5 mg
- Inj. Manitol 4x80cc
- Inj. Ranitidine 2x25mg
- Inj. Antrain/ PCT 3x400 mg
Oprasi VP shunt HP (D)
Oprasi : -
AB Profilaxis : ceftriaxone 1 g
Instruksi pos op :
14/02 - inf. D5 ½ NS 1500CC/24 jam
- Inj. Ceftriaxone 2x500 mg
- Inj. Manitol 3x250mg
- Inj. Ranitidine 2x25 mg

8
L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I ST E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

1. Data Klinik
Data Klinik 14/02 15/02 16/02 17/02 18/02 19/02 20/02 21/02 22/02 23/02 24/02 25/02 26/02
Tekanan Darah 112/65 S S S S S S S S S S S S
Nadi (x/ menit) 70 86 100 100 84 84 84 86 90 90 90 86
RR (x/ menit) 32 S S S S 16-18 S S S S
Suhu badan (oC) 36.5 36.5 36.2 36.8 36.8 36.8 37 37 36.6 36.2 36.4 36.4
KU C C C C C C lemah C Lemah C C C lemah
GCS 456 456 456 456 456 456 356 356 456 456 456 456
Mual/Muntah + + + + - - +
Nyeri 3

Data Klinik 27/02 28/02 01/03 02/03 03/03 04/03 05/03 06/03 07/03 08/03 09/03 10/03 11/03 12/03
Tekanan Darah S S S S S S S S S S
Nadi (x/ menit) 90 90 80 80 80 100 100 100 100 S S S S S
RR (x/ menit) S S S S S S S S S S
Suhu badan (oC) 36.2 36.8 37.2 36.8 36.6 36.6 36.4 36.4 36.4 37 37.1 36.8 36.8
KU lemah lemah lemah C C lemah C C lemah C C C
GCS 456 456 456 456 4x6 4x6 4x6 4x6
Mual - - - - - - - - - - - - - -
Nyeri
Kejang + + + + + +

9
L AP O R AN ST U D I K ASU S SM F B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I ST E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

Data Klinik 13/03 14/03 15/03 16/03 17/03 18/03 20/03 21/03 22/03 23/03 24/03 25/03 26/03 27/03
Tekanan Darah S S S S S S S S S S S
Nadi (x/ menit) S S S S S S S S S S S
RR (x/ menit) S S S S S S S S S S S
Suhu badan (oC) 36.2 36.8 37.2 36.8 36.6 36.6 36.4 36.4 36.4 37
KU C lemah lemah lemah lemah C C C C C C
GCS 4x6 4x6 4x6 4x6 4x6 4x6 4x6 4x6 4x6 4x6 4x6
BAK
Mual
Nyeri

10
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I ST E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

2. Data Laboratorium

Tanggal
Data Lab Nilai Rujukan
14/02 21/02 24/02 25/02 26/02 27/02 28/02 01/03 04/03 08/03 12/03
Hb 13,3-16,6 g/dl 14.1 6.3 12.7 12.3 10.4 12 13
HCT 35-50% 40.7 15.8 34.7 31 33.9 38
WBC 3,37-10x103µl 14.25 13.8 6.71 7.31 13.6
RBC 3,6-5,46x106µl 5.05 2.19 4.42 8.86 4.21
PLT 150-450x103µl 324 232 248 246 845
APTT 23-33 detik 43.0 30.4 31.1
PPT 9-12 detik 13.0 12.7 19.1
MCV 81,1-96 mm3 80.4 72.1 78.5 78 87.8 90.3
MCH 27-31,2 pg 27.9 28.8 28.7 28 31.0 30.8
MCHC 31,8-35,4 g/dl 34.8 39.9 36.6 36 35.3 34.1
Neut% 51-67 84.2 11.17 4.73 69 9.60 5.47 10.6
Lym% 20,5-51,1 7.6 13.0 18.9 17 0.66 1.53 1.98
Mono% 1,7-9,3 5.4 5.9 7.9 7 0.16 0.275 0.881
Eos 0,6-5,4 0.4 0.01 0.14 2 0.01 0.004 0.020
Baso 0,3-1,4 0.6 0.1 0.6 0 0.07 0.032 0.075
SGOT 15-37 U/l 14 21
SGPT 12-78 U/l 20 59
Na 136-144 mmol/l 135 104 129 135 143 141 139 129 136
K 3,8-5 mmol/l 4.5 2.3 1.9 2.6 2.9 3.3 2.1 3.3 3.7
Cl 97-103 mmol/l 99 67 85 92 106 105 95 88 94
Ca 7,6-11 mg/dl 9.3
CRP kimia 0,00-10,00 mg/dl 0.22 1.8 0.1
BUN 10-20 mg/dl 11 6 10 16

11
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I ST E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

SCr 0,5-1,2 mg/dl 0.56 0.4 0.41 0.2


Albumin 3,4-5 g/dl 4.29 2.6 3.2 2.7 3.5
GD 40-121 mg/dl 98 151 100
pH 7,35-7,45 7.57 7.4
pCO2 35-45 mmHg 28 42.2
pO2 80-107 mmHg 187 138.7
HCO3 21-25 mmol/l 25.7 28.7
BE -3,5-2 mmol/l 3.7 4.2

12
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I ST E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

BAB III
PROFIL PENGOBATAN

Regimen Tanggal
No. Nama Obat
Dosis 14/02 15/02 16/02 17/02 18/02 19/02 20/02 21/02 22/02 23/02 24/02 25/02 26/02 27/02 28/02
1. Ceftriaxone 2x750mg √
2. Paracetamol 3x500mg √
3. Ketorolac 3x10mg √
4. Ranitidine 2x25mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
6. Metamizol 3x500mg √ √ √ √ √ √ √
7. Ondansetron 3x4mg √ √
9. PRC √ √
10. Biodiar 2x1 √
11. KCL √ √
1300
12. D51/2 NS CC/24 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
jam
Transfusi
13. 150CC √
FFP

18
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I ST E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

Regimen Tanggal
No. Nama Obat
Dosis 01/03 02/03 03/03 04/03 05/03 06/03 07/03 08/03 09/03 10/03 11/03 12/03 13/03 14/03 15/03
1. Ceftriaxone 2x750mg √ √
2. Paracetamol 3x500mg √ √
3. Ketorolac 3x10mg √ √ √ √
4. Ranitidine 2x25mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
6. Metamizol 3x500mg √ √ √
7. Ondansetron 3x4mg
9. PRC
10. Biodiar 2x1
11. KCL
1300
12. D51/2 NS CC/24 √ √ √
jam
Transfusi
13. 150CC
FFP
14 Manitol inj 3x50cc √ √
15 Penitoin inj 3x50mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Dexametason
16 3x2.5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
inj
17 Mertigo 3x1/2tab √
18 Lioresal 3x1/2tab √ √ √ √ √ √ √ √
Kapsul
19 2x1 √ √ √ √
garam

19
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I ST E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

Regimen Tanggal
No. Nama Obat
Dosis 16/03 17/03 18/03 19/03 20/03 21/03 22/03 23/03 24/03 25/03 26/03
1. Ceftriaxone 2x750mg
2. Paracetamol 3x500mg
3. Ketorolac 3x10mg
4. Ranitidine 2x25mg √ √ √ √ √ √ √
6. Metamizol 3x500mg
7. Ondansetron 3x4mg
9. PRC
10. Biodiar 2x1
11. KCL
1300
12. D51/2 NS CC/24
jam
Transfusi
13. 150CC
FFP
14 Manitol inj 3x50cc
15 Penitoin inj 3x50mg √ √ √ √ √
Dexametason
16 3x2.5 √ √ √ √ √ √ √ √
inj
17 Mertigo 3x1/2tab
18 Lioresal 3x1/2tab √ √ √ √ √ √ √
Kapsul
19 2x1
garam

20
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

BAB IV
MONITORING DAN INFORMASI

IV.1 Monitoring
Parameter Tujuan Monitoring
Tanda SIRS, keadaan
Untuk memonitoring apakah perlu diberikan terapi
klinis pasien, kultur,
antibiotika sistemik setelah terdapat perbaikan klinis
WBC, derajat luka
dari tindakan rawat luka bakar.
bakar.
Untuk memonitoring agar kadar albumin tetap di atas
Albumin 2.5 g/dL dengan tranfusi albumin dan asupan ekstra
putih telur.
Untuk mengevaluasi efektifitas terapi anti mual
muntah (ranitidin) sebagai profilaksis stress ulcer
dan mencegah efek samping dari penggunaan terapi
Mual muntah
analgesik (ketorolac) serta mengevaluasi perbaikan
kondisi klinis pasien untuk mendapatkan asupan
kalori dan cairan.
Untuk mengevaluasi efektifitas terapi analgesik post
Keluhan nyeri operasi (ketorolac, metamizol, paracetamol, dan
sistenol) melalui pengukuran VAS.

IV.2 Informasi
Obat Informasi
Injeksi Stabilitas penyimpanan pada suhu 25-30oC pada tempat
Metamizole kering dan terlindung dari cahaya.Injeksi Metamizole Na
dapat langsung digunakan, dengan kecepatan penyuntikan I
mL/menit (Trissel, 2009).
Ketorolac Ketorolac diberikan secara intravena dengan tidak kurang
dari 15 detik untuk mencegah vasodilatasi pembuluh darah
secara cepat. Durasi efek analgesik 4-6 jam, mula kerjanya
30 menit, dan kadar puncak untuk menimbulkan efek

21
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

analgesik dicapat pada 2 jam (Lacy, 2009; Trissel,2009).


Ranitidin Ranitidin sebaiknya tidak diberikan dalam jangka waktu
lama. Ranitidin sebaiknya dihentikan saat tanda/resiko stress
ulcer hilang. Ranitidin diberikan secara intramuskular
dengan tidak dilarutkan dan secara intravena perlahan (lebih
dari 5 menit) setelah dilarutkan.
Injeksi Rekonstitusi dilakukan dengan pelarut yang kompatibel
Ceftriaxon (sterilewater for injection, NS 0,9 %, dekstrosa 5%) sebesar
± 10 ml untuk mendapatkan konsentrasi 100 mg/ml
(Trissels, 2009)

22
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

BAB V
PEMBAHASAN

Pasien An.Z dengan diagnose KP + tumor fossa posterior + Hidrocephalus masuk


rumah sakit pada tanggal 14 Februari 2015. Pasien dengan tumor otak memiliki prognosis
yang cukup baik dengan focus terapi pada pengambilan/pengangkatan tumor dan
mengontrol metastasis dari tumor tersebut. Untuk pasien dengan prognosis yang buruk maka
terapi difokuskan pada pengontrolan gejala yang muncul dan menjaga fungsi neurologi
sebaik mungkin. Terai utama pada tumor otak meliputi kortikosteroid, anti kejang, terapi
mual dan muntah, terapi analgesik, terapi antibiotika, dan terapi penunjang lainnya.
Pasien menjalani operasi dua kali dengan mendapatkan antibiotika profilaksis
ceftriaxon. Untuk tindakan VP shunt pada pasien direkomendasikan pemberian antibiotika
profilaksis dengan pemberian single dose atau dapat diperpanjang dengan durasi 24 – 48 jam
setelah operasi. Untuk tindankan VP shunt dengan kategori operasi bersih maka
direkomendasikan cefazolin (Grade A). Akan tetapi pada pasien digunakan ceftriaxon
dengan mempertimbangkan peta kuman dan sensitivitas dari agen terapi tersebut (Bratzler et
al., 2013). . Berdasarkan penelitian yang membandingkan ceftriaxon dengan ceftazidim
sebagai antibiotik profilaksis pada neurosurgery, menyebutkan bahwa kedua antibiotik
tersebut memiliki efektivitas yang sebanding sebagai profilaksis terapi pada neurosurgery,
namun penggunaan ceftriaxon lebih ekonomis dibandingkan dengan ceftazidim (Malomo,
A.O. et al., 2007). Pada pasien yang mengalami metastase abses dapat diberikan ceftriaxon
(Louvois, J. et al., 2000).
Dosis ceftriaxon pada anak dengan meningitis uncomplicated diberikan dengan
loading dose 100 mg/kg (maksimum 4000mg), diikuti dengan 100 mg/kg/hari dalam dosis
terbagi tiap 12-24 jam (maksimum 4000mg per hari) selama 7-14 hari. Pada meningitis anak
gonococcal complicated, dosis ceftriaxon yang diberikan untuk anak ≤ 45kg, 50mg/kg/hari
tiap 12 jam (maksimum 2000mg/hari) selama 10-14 hari dan pada anak > 45kg, 1000-
2000mg tiap 12 jam selama 10-14 hari. Untuk terapi antibiotik profilaksis, ceftriaxon
diberikan secara intravena 1 g, satu jam sebelum operasi, sedangkan pada anak ≥ 1 tahun
diberikan secara intravena 50-75mg/kg, satu jam sebelum operasi. Pada pasien dengan

23
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

gangguan ginjal dan hati tidak diperlukan penyesuaian dosis. Ceftriaxon memiliki volume
distribusi 6-14 L dan terdistribusi luas dalam tubuh termasuk empedu, paru, tulang, kandung
kemih, dan CSF (konsentrasi tinggi tercapai ketika meninges dalam kondisi inflamasi).
Ikatan protein ceftriaxon cukup kuat 85-95% dengan waktu paruh eliminasi pada fungsi
ginjal dan hati yang normal 5-9 jam, dan 12-16 jam pada gangguan ginjal. Ekskresi
ceftriaxon melalui urin (33-67% dalam bentuk tetap) dan feses (sebagai bentuk inaktif).
Terapi selanjutnya yang didapatkan An. Z adalah analgesik yang meliputi ketorolac,
paracetamol, dan metamizol. Terapi analgesik yang didapatkan pasien pada umumnya
digunakan untuk managemen terapi analgesik postoperative. Pemberian ketorolac pada
pasien setelah operasi memang diperlukan dimana ketorolac merupakan golongan NSAID
yang dapat digunakan untuk terapi nyeri akut sedang sampai berat dan memerlukan analgesik
pada level opioid (Lacy, 2013; Lexicomp). Penggunaan ketorolac merupakan kombinasi
antara pemberian intravena dan diteruskan dengan penggunaan oral selama 5 hari (Brunton,
2012; Lacy, 2013). Pada pasien diberikan ketorolac selama 2 dan 4 hari dimana pemberian
tersebut sudah sesuai, akan tetapi perlu diingat bahwa efek ketorolac pada saluran
pencernaan sangat besar antara lain dapat menyebabkan peptic ulcer, perdarahan
gastrointestinal yang dapat sangat fatal. Efek tersebut dapat terjadi kapanpun tanpa adanya
gejala (Lacy, 2013; Lexicomp). Untuk itu bila sekiranya terdapat terapi lainnya dan nyeri
pasien sudah tidak berat lagi dapat digantikan dengan terapi lain misalnya dengan
parasetamol atau metamizol. Analgesik berikutnya adalah parasetamol dimana mempunyai
fungsi selain sebagai analgesik juga sebagai antipiretik. Penggunaan parasetamol intravena
mempunyai onset yang cepat (5 – 10 menit) dan terprediksi dengan baik dengan puncak
plasma dicapai dalam waktu 15 menit. Parasetamol dapat digunakan untuk terapi nyeri akut
sedang dan berfungsi sebagai terapi tambahan pada penggunaan opioid (Tietze, 2015; Kodali
& Oberoi, 2015). Berikutnya adalah metamizol yang merupakan golongan pyrazolone
NSAID yang mempunyai aktivitas antipiretik dan analgesik. Mekanisme analgesik
metamizol yaitu melalui hambatan pada COX, hambatan pada aktivasi dari L –
arginin/NO/cGMO/K+ channel pathway pada perifer dan sumsum tulang belakang (Nikolova
et al., 2012). Metamizol cukup efektif untuk mengatasi nyeri pada pasien meskipun terdapat
kemungkinan efek samping agranulositosis yang bisa terjadi namun insiden kejadian tersebut

24
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

kecil dan terjadi pada penggunaan selama 2 bulan. Metamizol juga mempunyai efektivitas
yang lebih dibandingkan dengan parasetamol untuk nyeri yang berat (Nikolova et al., 2012).
Terapi berikutnya adalah terapi postoperative nausea and vomiting (PONV) yang
didapatkan An. Z yaitu ranitidine dan ondansetron. PONV merupakan komplikasi yang
umum dan segera terjadi setelah periode operasi. Resiko terjadinya PONV meningkat dengan
adanya penggunaan anatesi yang bersifat volatile (isofluran, sevofluran, desfluran) dan
opioid. Ondansetron merupakan golongan 5HT3 antagonis yang dapat digunakan sebagai
profilaksis PONV ataupun rescue (terapi pada pasien dimana pasien tidak mendapatkan
profilaksis ataupun pasien mendapatkan profilaksis tetapi masih timbul mual dan muntah
pada pasien). 5HT3 antagonis bekerja dengan menghambat serotonin perifer pada pusat
vagal afferent dan pada pusat chemoreceptor trigger zone (CTZ). An. Z mendapatkan
ondansetron sebagai terapi PONV dan terapi akibat tumor atau hydrocephalus pasien dimana
terapi tersebut sudah sesuai dengan kondisi pasien. Ondansetron mempunyai kelebihan bila
dibandingkan dengan obat lainnya dalam satu golongan antara lain terdapat bentuk oral,
harganya lebih murah dibandingkan lainnya, mempunyai nilai relative risk (RR) yang lebih
kecil dibandingkan lainnya sebagai profilaksis dan rescue terapi. Dosis ondansetron yang
digunakan sebagai profilaksis yaitu 4 mg IV dan lebih efektif jika diberikan pada akhir dari
prosedur operasi dibandingkan dengan diberikan pada saat induksi (pre – induction).
Sedangkan dosis yang digunakan untuk rescue lebih kecil dibandingkan dengan dosis
profilaksis yaitu sebesar 1 mg. Bila terapi dengan menggunakan golongan 5HT3 gagal maka
sebaiknya menggunakan terapi dari golongan kelas lainnya. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa terapi PONV pada An. Z sudah sesuai (Glick, 2015).

25
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

Terapi profilaksis stress ulcer dan SMRD pada pasien An. Z yaitu ranitidine,
dimana ranitidine merupakan golongan histamine – 2 reseptor antagonis. Terapi profilaksis
diberikan untuk seluruh pasien dengan kondisi critical ill yang mempunyai resiko tinggi
terjadi perdarahan saluran pencernaan (grade 1B). Resiko tinggi dimiliki pasien dengan
karakteristik antara lain terdapat koagulopati dimana jumlah platelet kurang dari 50000 per
m3, menggunakan ventilator lebih dari 48 jam, riwayat teradinya ulserasi/perdarahan saluran
pencernaan, trauma pada otak dan spinal, luka bakar, serta menunjukkan dua tau lebih
criteria minor seperti sepsis, berada di intensive care unit (ICU) selama lebih dari 1 minggu,
perdarahan saluran percernaan yang tidak diketahui selama lebih dari 1 minggu, dan
penggunaan glukokortikoid lebih dari 250 mg hidrokortison atau equivalen. Akan tetapi
pemberian profilaksis tidak hanya berdasarkan kriteria tersebut bisa berdasarkan kondisi
pasien secara individu berdasarkan pertimbangan – pertimbangan nutrisi enteral yang
diterima pasien, waktu pasien tidak meneima nutrisi enteral, tingkat keparahan penyakit, dan
kondisi komorbid yang menyertai pasien tersebut (Weinhouse, 2015).
Ranitidine bekerja dengan mengantagonisasi reseptor H2 pada sel parietal
sehingga menghilangan sekresi asam lambung. Terapi ini diterima pasien sangat lama dari

26
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

tanggal 16 – 26 Februari 2015 dan 3 – 24 Maret 2015. Terapi tersebut hendaknya dievaluasi
kembali mengingat bahwa pasien menerima diet oral sesudah operasi dan hanya beberapa
hari saja pasien tidak makan sehingga pemberian terapi tersebut tidak diperlukan dengan
durasi yang lama. Pemilihan terapi pada pasien tersebut kurang sesuai dimana pasien
mampu menerima terapi secara oral sehingga penggunaan proton pump inhibitor dengan
mekanisme menghambat sekresi asam lambung melalui ikatan pompa H+K+ ATP ase yang
berada pada permukaan luminal dari sel parietal lebih disukai dibandingkan terapi lainnya
(grade 2B). Bila tidak bisa menggunakan proton pump inhibitor maka bisa diberikan H2
bloker oral sebagai alternatif. Untuk pasien yang tidak dapat menerima terapi secara oral H2
bloker atau PPI intravena dapat digunakan (grade 2B). Dari segi harga penggunaan PPI oral
lebih cost effective dibandingkan dengan penggunaan H2 bloker intravena (Weinhouse,
2015).
Terapi berikutnya adalah manitol, manitol merupakan diuretik osmotik yang
menurunkan volume otak dengan menarik air keluar dari jaringan menuju sirkulasi, dimana
akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga menyebabkan dehidrasi dari parenkim otak.
Efeknya muncul beberapa menit setelah pemberian, puncak tercapai sekitar 1 jam dan
bertahan selama 4-24 jam. Beberapa melaporkan kejadian “rebound” peningkatan tekanan
intrakranial, yang terjadi setelah penggunaan berulang, sehingga memasuki otak melalui
sawar darah otak yang rusak dan membalikkan gradien osmotik. Parameter yang digunakan
untuk terapi dengan mannitol antara lain, serum natrium, osmolalitas, dan fungsi ginjal.
Pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial maupun edema serebral,
mannitol diberikan secara intravena 0,25-1 g/kg/dosis, dapat diulang tiap 6-8 jam untuk
menjaga osmolalitas serum <300-320 mOsm/kg. Pemberian mannitol kontraindikasi pada
pasien dengan gangguan ginjal berat, dan pada pasien pasien dengan gangguan hepar tidak
diperlukan adjustment dosis. Pada edema serebral, diberikan selama 30-60 menit. Apabila
terdapat bentukan kristal sebelum mannitol diberikan kepada pasien, sebaiknya dilarutkan
kembali dengan air hangat.
Pada pasien dengan edema serebral, mannitol dapat terakumulasi pada otak
(menyebabkan rebound increases terhadap tekanan intrakranial) apabila berada dalam
sirkulasi dalam jangka waktu lama dengan pemberian continous infusion, pemberian secara

27
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

intermitten lebih disukai. Apabila terjadi hipertensi, monitoring tekanan perfusi serebral
untuk memastikan pemberian yang adekuat. Mannitol juga dapat menyebabkan ekstravasasi
pada konsentrasi >5%, sehingga perlu dipastikan posisi kateter dan jarum yang tepat sebelum
dan selama IV infusion. Penggunaan berlebihan dapat menyebabkan diuresis berat dengan
hilangnya cairan dan elektrolit. Monitoring adanya gangguan elektrolit dan dapat dilakukan
penyesuaian dosis. Pada pasien dengan tumor otak ditemui adanya peningkatan tekanan
intrakranial, yang ditandai dengan sakit kepala, mual-muntah dan papiledema. Untuk
mengatasi peningkatan tekanan intrakranial pada pasien dengan tumor otak dapat diberikan
terapi osmotik dan diuresis. Bukti dari beberapa penelitian (RCT) yang menjelaskan peran
mannitol sebagai osmotherapy pada pasien dengan brain tumor edema masih kurang (Kaal,
E.C.A. et al., 2004). Penelitian lain menunjukkan penggunaan mannitol dibandingkan dengan
salin hipertonis 3% pada pasien untuk brain relaxation pada pasien dengan elective
supratentorial brain tumor surgery, menunjukkan bahwa penggunaan hypertonic solution
memberikan efek brain relaxation yang lebih baik dibandingkan dengan mannitol (Ching-
Tang, W. et al., 2010). Dari review penelitian Cochrane yang membandingkan mannitol
dengan salin hipertonik untuk intraoperative brain relaxation pada pasien yang menjalani
operasi tumor otak, didapatkan hasil salin hipertonik secara signifikan menurunkan resiko
meningkatnya tegangan pada otak selama craniotomy (Prabhakar, H. et al., 2014).
Terapi berikutnya yang diterima An. Z adalah dexametason. Dexametason merupakan
glukokortikoid yang mempunyai fungsi sebagai terapi edema dan penurunan tekanan
intracranial akibat tumor (grade 1B). Pada kebanyakan pasien dengan tumor otak dan
peritumoral edema dapat secara adekuat diterapi dengan glucocorticoid. Penurunan tekanan
intrakranial dan perbaikan gejala neurologik biasanya terjadi dalam beberapa jam. Penurunan
permeabilitas kapiler (misal, perbaikan fungsi sawar darah otak) dapat diidentifikasi dalam 6
jam, dan perubahan difusi dengan MRI mengindikasikan penurunan edema dalam 48 – 72
jam. Namun, penurunan adekuat pada tekanan intra kranial yang meningkat dari peritumoral
edema memerlukan beberapa hari dengan terapi glucocorticoid tunggal, dan tambahan terapi
diperlukan pada pasien seperti ini.
Glucocorticoid sistemik diindikasikan pada pasien dengan gejala edema
peritumoral. Deksametasone merupakan agen standar, dikarenakan aktivitas

28
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

mineralokortikoid yang relatif rendah yang dapat menurunkan retensi cairan secara potensial.
Selain itu, deksametasone dikaitkan dengan resiko infeksi yang lebih rendah dan perbaikan
kognitif dibandingkan dengan glucocorticoid lainnya. Deksametason merupakan golongan
kortikosteroid yang paling dipakai untuk tumor otak. Deksametason kira-kira enam kali lebih
poten dibanding prednison (20 mg dexametasone setara dengan 130 mg prednison) dan
mencapai efek penuh dalam 24 sampai dengan 72 jam.
Mekanisme aksi dari glucocorticoid untuk mengontrol vasogenic edema belum
diketahui secara jelas. Deksametasone akhir – akhir ini menunjukkan kenaikan Ang-1, suatu
faktor stabilisasi sawar darah otak, yang menurunkan VEGF, suatu faktor permeabilisasi
yang kuat, pada astrosit dan perisit. Glucocorticoid juga menaikkan clearance peritumoral
edema melalui fasilitasi transpor cairan kedalam sistem ventrikular, yang mana terbersihkan
oleh aliran balik cairan serebrospinal.
Deksametason merupakan golongan kortikosteroid yang paling dipakai untuk
tumor otak. Deksametason kira-kira enam kali lebih poten dibanding prednison (20 mg
dexametasone setara dengan 130 mg prednison) dan mencapai efek penuh dalam 24 sampai
dengan 72 jam. Anak dengan tumor CNS dan kenaikan tekanan intrakranial,
direkomendasikan terapi dengan kortikosteroid untuk menurunkan peritumoral edema (grade
2C). Dosis deksametason yang direkomendasikan pada anak dengan kenaikan tekanan
intrakranial karena lesi ialah 0.25 – 0.5 mg / kg BB tiap 6 jam, dengan dosis maksimum 16
mg per hari. Pada anak dengan peningkatan tekanan intrakranial dan obstruktif hidrocephalus,
tindakan preoperative shunting dapat menurunkan tekanan intrakranial.
Ketika pasien sudah mulai menunjukkan gejala perbaikan, dosis glukokortikoid
harus diturunkan jika memungkinkan. Karena deksametason, kortikosteroid yang paling
umum digunakan untuk edema otak, memiliki aksi kerja yang panjang, dosis obat sebaiknya
diturunkan setiap empat hari. Untuk pasien dengan kondisi klinik yang bagus, penurunan
dosis sampai dengan 50% setiap empat hari. Rekomendasi pemberian deksametasone
berdasarkan pedoman klinik systematic review dan evidence based untuk pemakaian steroid
pada metastase otak. Guideline tersebut merekomendasikan dosis deksametasone 16 mg per
hari atau lebih untuk pasien dengan gejala yang berat karena peningkatan tekanan
intrakranial dan edema karena metastase otak. Untuk pasien dengan gejala yang lebih ringan,

29
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

rekomendasi dosis awal dimulai 4 sampai 8 mg deksametason, steroid tidak


direkomendasikan untuk pasien asimptomatik. Dosis deksametasone sebaiknya diturunkan
perlahan selama 2 minggu atau lebih lama pada pasien simptomatik. Deksamentason dan
fenitoin sering digunakan secara bersamaan sebagai standar terapi pada pasien yang baru
terdeteksi tumor otak primer maupun sekunder, dan fenitoin terkadang diberikan sebagai
profilaksis, khususnya perioperative. Deksamteasone berinteraksi secara signifikan dengan
obat antikejang fenitoin, dengan risk rating D. Interaksi yang terjadi antara deksametasone
dengan fenitoin dapat menyebabkan penurunan konsentrasi serum deksametason,
dexametason menurunkan konsentrasi serum fenitoin, dexametasone meningkatkan
konsentrasi serum fenitoin. Meskipun belum secara jelas diinvestigasi, mekanisme
bagaimana fenitoin menurunkan kadar deksametason ialah fenitoin menginduksi CYP3A4,
suatu enzim yang berperan terhadap metabolisme dexametasone. Hal yang sama pula,
deksametason menginduksi CYP3A4, yang menurunkan kadar fenitoin. Mekanisme
bagaimana deksamtason menaikkan kadar fenitoin belum diketahui dengan jelas. Pemberian
deksametason dengan fenitoin sebaiknya dihindari dengan melakukan modifikasi terapi.

30
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

BAB VI
KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan
Dari profil terapi yang diterima pasien dapat disimpulkan bahwa terapi antibiotika
yang digunakan pada An. Z sudah sesuai untuk kondisi pasien. Terapi untuk tumor cerebri
dengan menggunakan dexamethasoon juga sudah tepat. Terapi analgesic yang yang
didapatkan oleh pasien untuk pemilihannya sudah sesuai namun untuk lama pemakaian
ketorolac hendaknya dievaluasi kembali menginggat efek samping dari ketorolac yang
sangat besar (bleeding) sehingga dapat dipilih agen terapi lain seperti parasetamol iv ataupun
penggunaan metamizol iv. Terapi stress ulcer dan SMRD hendaknya digunakan dalam
waktu yang singkat mengingat pasien dapat menerima nutrisi enteral serta pemilihan
terapinya hendaknya dievaluasi kembali. Penggunaan manitol untuk pasien hendaknya
dievaluasi kembali menginggat manitol bukan merupakan terapi untuk tumor cerebri
meskipun pasien mengalami hydrocephalus, dimana kondisi tersebut dapat diatasi dengan
tindakan VP shunt dan penggunaan salin hipertonik lebih direkomendsikan daripada
pengggunaan manitol.

6.2 Saran
Penggunaan terapi ketorolac hendaknya dievaluasi kembali bila diperlukan
digunakan sesingkat mungkin dan dapat dipakai terapi lain yang mempunyai efikasi yang
sama seperti paracetamol dan metamizol. Untuk terapi stress ulcer dan SMRD hendaknya
digunakan dalam waktu yang singkat (± 5 hari) untuk menghindari efek samping dan
pemilihan agen terapi hendaknya dipilih omeprazol kapsul karena pasien dapat menerima
terapi enteral. Penggunaan manitol hendaknya diganti dengan salin hipertonik yang lebih
efektif untuk terapi peningkatan intrakranial.

31
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

BAB VII
DAFTAR PUSTAKA

Alberta Health Service. 2013.The Use of Dexamethasone in Patients With High Grade
Gliomas. Clinical Practical Guidelines-011.
Canal, G.M. et al. 2009. Meropenem monotherapy is as effective as and safer than imipenem
to treat brain abscess. International Journal of Antimicrobial Agents
Dashti, S.R. et al. 2008. Operative intracranial infection following craniotomy. Neurosurg
Focus 24(6):E10
David G Blick. 2015. Overview of complications occurring in the post-anesthesia care.
Wolters Kluwe in UpToDate.
Drappatz, Jan; Wen, Patrick Y.; Avila, Edward K.; Posner, Jerome B.; Pedley, Timothy A.; and
Eichler, April F. 2015. Seizures in Patients with Primary and Metastatic Brain
Tumors. UpToDate. p. 1-19.
Evert C. A. Kaal, Charles.J. 2004. The Management Of Brain Edema in Brain Tumors.
Lipincott Williams & Wilkins.
Ganong, W.F., McPhee, S.J. 2006. Pathophysiology of Disease An Introduction to Clinical
Medicine, 4th ed., Chapter 7, New york : McGrawHill Companies Inc.
Gerald L Weinhouse, MD. 2015. Stress ulcer prophylaxis in the intensive care.Wolters Kluwe
in UpToDate.
Glick, D. (2015). overview of Complications Occuring in The Post - Anesthesia Care Unit.
UpToDate/Wolters Kluwer , 1 - 25.
Hartwig, Mary, S., Lorraine, M., Wilson, 2006. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In :
Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P., dan Mahanani, D. A., Patofisiologi : Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, ed. 6, Vol. 1, Jakarta : EGC, Hal. 1006-1014
Jan Drappatz, Patrick Y Wen. 2015. Management of Vasogenic edema in patients with
primary and metastatic brain tumors. Wolters Kluwe in UpToDate.
Kaal, E.C.A. et al. 2004. The management of brain edema in brain tumors. Curr Opin Oncol
16:593-600.
Kamel, H. et al. 2011. Hypertonic saline versus mannitol for the treatment of elevated
intracranial pressure: A meta-analysis of randomized clinical trials. Crit Care Med
39(3): 554-559

32
L AP O R AN ST U D I K ASU S B E D AH SAR AF
PRAKTEK KERJA LAPANGAN SMF BEDAH PLASTIK RSUD DR. SOETOMOSURABAYA
M A G I S T E R F AR M A SI K L I N I K F AK U L T A S F AR M A SI U N I V E R SI T AS A I R L A N G G A

Kodali, B., and Oberoi, J. 2015. Management of Postoperative Pain. Uptodate/Wolters Kluwer
hal 1-35
Lau, Ching; Teo, Wan-Yee; Poplack, David G. and Armsby, Carrie. 2015. Overview of The
Management of Central Nervous System Tumors in Children. UpToDate. p.1-10.
Lay, C.S.E. 2015. Brain Tumor Headache. Uptodate/Wolters Kluwer hal 1-7
Lexicomp, 2014. Lexi Drugs. Lexi-comp Inc
Louvois, J. et al. 2000. The rational use of antibiotics in the treatment of brain abscess.
British Journal of Neurosurgery 14(6): 525-530
Malomo, A.O. et al. 2007. Prospective Comparative Trial of Ceftriaxone versus Ceftazidime
as Prophylactic Perioperative Antimicrobials in Neurosurgery. East and Central
African Journal of Surgery 12(1): 88-92
McClelland, S. et al. 2007. Postoperative Central Nervous System Infection: Incidence and
Associated Factors in 2111 Neurosurgical Procedures. Clinical Infectious Disease hal
45-55
Odio, C.M., et al. 1999. Meropenem versus Cefotaxim in Bacterial Meningitis in Children.
Pediatr Infect Dis J 18: 581-590
Prabhakar, H. et al. 2014. Mannitol versus hypertonic saline for intraoperative brain
relaxation in patients undergoing surgery for brain tumour. Cochrane review.
Rohkamm, R., 2004, Color Atlas of Neurology, USA: Thieme Publisher, Inc.
Schimmer B. 2015. Comparison of representative glucocorticoid preparations .Wolters
Kluwe in UpToDate.
Schmutzhard, E., et al. 1995. A randomized comparison of meropenem with cefotaxim or
ceftriaxone for the treatment of bacterial meningitis in adults. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy 36: 85-97
Silbernagl, S., Lang, F., 2000, Color Atlas of Pathophysiology, USA: Thieme Publisher, Inc.
Tietze, K. 2015. Pain Control in The Critically Ill Patient. Uptodate/Wolters Kluwer hal 1-35
Tong, J, Gan. G 2014. Consensus Guideline for The Management of Postoperative Nausea
and Vomiting. Society of Ambulatory Anasthesiology.
Tzortzopoulou, A., McNicol, E., Cepeda, M., Francia, M., Farhat, T., and Schumann, R. 2011.
Single Dose Intravenous Propacetamol or Intravenous Paracetamol for
Postoperative Pain. The Cochrane Collaboration hal 1-3.
Wong, E., & Wu, J. (2015). Clinical Presentation and Diagnosis of Brain Tumor.
UpToDate/Wolters Kluwer , 1 - 14.

33

Anda mungkin juga menyukai