PEMBIMBING
dr. Giri Aji, SpPD
Disusun oleh :
Bintang Karlien
(109103000006)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas segala nikmat dari Allah SWT, baik berupa nikmat
sehat, ilmu, kesempatan dan waktu dan nikmat iman yang telah Allah berikan kepada kami
sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul Sindroma Lupus Erimatosus. Sholawat
berserta salam tak lupa senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhmamad SAW yang selalu
senantiasa di nantikan syafaatnya di yaumul qiyamah, Amiin
Terimakasih kami ucapkan kepada dr.Giri Aji, SpPD yang telah menyediakan diri, waktu
dan kesempatannya menjadi pembimbing kami dalam menyelesaikan referat ini.
Referat yang berjudul SLE ini kami sadari masih terlalu jauh dari kesempurnaan dan
masih banyak kekurangan, karena memang tidak ada esuatu yang sempurna di dunia ini. Oleh
karena itu kami sebagai penulis memohon maaf jika terdapat beberapa kesalahan dalam
referat ini, namun kami telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyelesaikan referat ini. Kritik
dan saran yang membangun selalu kami tunggu.
Demikian, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya dan
bagi kami, penulis yang sedang menempuh kegiatan kepaniteraan klinik Penyakit Dalam
RSUP Fatmawati Jakata juga tentunya.
Jakarta,
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II FIBROMIALGIA
Definisi
Etiologi
Epidemiologi
Patogenesis dan
Patofisiologi
Klasifikasi
Diagnosis
Tatalaksana
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu penyakit autoimun yaitu lupus eritematosus sistemik (SLE, Systemic
Lupus Erythematosus). Penyakit ini merupakan penyakit reumatik autoimun yang
multisistem dengan manifestasi dan sifat yang bervariasi. Kambuhan dari penyakit ini
cukup sering dan sulit untuk memperkirakan saat awal manifestasi.1,2,3
Prevalensi SLE diperkirakan 1 kasus per 2.500 orang. Ditemukan lebih dari 100.000
orang penderita SLE setiap tahun di dunia. Di United States, terdapat 1,8-7,6 kasus per
100.000 orang setiap tahunnya. Umumnya terjadi pada perempuan usia subur dengan
perbandingan 9:1.1,2,4
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien rawat inap di rumah sakit.
Data 1988-1990, terdapat 37,7 per 10.000 perawatan dan dalam dua dekade terakhir
cenderung meningkat.1
Dari tahun 1979-1998, angka kematian lupus meningkat yaitu 879 mencapai 1.406.
Kematian pada perempuan 5 kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Angka kematian
pada ras kulit hitam 3 kali lebih besar dibandingkan kulit putih. Angka kematian SLE
relatif tinggi yaitu sebesar 14,5 % dari seluruh penyakit reumatik.4,5
Gejala yang ditimbulkan SLE sangat bervariasi, dapat terjadi serangan akut, periode
aktif, terkendali atau remisi. Oleh karena itu, prognosis SLE sangat bergantung organ
mana yang terlibat. Tingkat kelangsungan hidup 10 tahun terakhir rata-rata 90% dan 15
tahun terakhir sebesar 80%. Tingkat kelangsungan hidup di Asia-Afrika selama 10 tahun
terakhir yaitu lebih rendah sekitar 60-70%.5
Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan SLE dapat dikelola dengan
diagnosis dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit SLE, dan kemajuan dalam
perawatan medis secara umum.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
penyakit autoimun kronis dengan etiologi yang belum jelas serta manifestasi klinis yang
luas, perjalanan penyakit dan prognosis yang beragam. Secara klinis, SLE merupakan
suatu penyakit kambuhan.1,2,3 Penyakit ini ditandai oleh adanya antibodi terhadap
komponen inti sel, yang secara klasik termasuk antinuclear antibody (ANA).6
SLE umumnya menyerang wanita muda dengan angka kematian yang cukup tinggi.
Faktor genetik, sistem imun, dan hormonal, serta lingkungan diduga terlibat dalam
patofisiologi SLE.2
B. Epidemiologi
SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia selama 30 tahun terakhir.
Prevalensi di berbagai negara sangat berbeda-beda antara 2,9/100.000-400/100.000.
Namun prevalensi tertinggi dilaporkan di Brazil.7,8
Angka kejadian SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk setiap
tahunnya.7,8 Di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta tahun 2002 didapatkan
1,4% kas us SLE. Pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien
SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi.1,2
SLE lebih sering dialami oleh ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan Filipina.
Penyakit SLE ditemukan pada semua usia, tetapi 65% pada usia reproduktif yaitu 16-55
tahun. Sebanyak 20% ditemukan pada usia < 16 tahun dan 15% pada usia di atas 55
tahun.1,2
Seperti sebagian besar penyakit autoimun, SLE cenderung terjadi pada perempuan.
Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 9:1, menyerang 1 di antara 700 orang
perempuan usia reproduktif (15-40 tahun). Pada lupus eritematosus akibat obat
perbandinganya lebih rendah yaitu 3:2.1,2,4
Angka morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi yaitu sebesar 14,5
% dari seluruh penyakit reumatik.5
C. Etiologi
Penyebab SLE masih belum diketahui secara pasti. SLE bersifat multifaktorial. Hal
ini disebabkan pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon
imun. Faktor resiko genetik meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.5
Diduga karena adanya gen respon imun spesifik pada kompleks histokompatibiltas
mayor kelas II yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3, serta komplemen yang berperan pada
awal reaksi imun (C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen lain yang ikut berperan
yaitu gen yang mengkode reseptor sel T, immunoglobulin, dan sitokin.2,5,6
Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun sehingga
dapat terjadi deposisi jaringan. Defisiensi C1q dapat menyebabkan sel fagosit gagal
membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear dapat merangsang system
imun.5
Sinar UV, tembakau, obat-obatan, virus seperti rubella dan sitomegalovirus
merupakan faktor lingkungan yang diduga sebagai pemicu pada penderita SLE. Sinar
UV menyebabkan apoptosis keratinosit, merusak DNA, dan mengganggu kerja sel
imunoregulator sehingga proses inflamasi terganggu.7,8
Faktor hormonal berupa estrogen merupakan sebab tingginya angka kejadian pada
wanita. Hormon estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga produksi autoantibodi
berlebihan.7,8
D. Patofisiologi
Patogenesis SLE dimulai karena adanya satu atau beberapa faktor pencetus pada
individu yang memiliki predisposisi genetik yang menghasilkan abnormalitas terhadap
sel T CD4+. Faktor pencetus yang diduga adalah hormon seks, sinar UV, dan infeksi.
Hal ini menyebabkan sel T kehilangan toleransi terhadap self antigen dan muncul sel T
autoreaktif yang menginduksi serta ekspansi sel B.2,5
Sel B yang diinduksi memproduksi autoantibodi yang ditujukan terhadap antigen
yang terutama terletak di nukleoplasma meliputi DNA, protein histon, dan non histon.
6
Ciri khas autoantigen ini adalah tidak tissue specific atau komponen integral semua
jenis sel.2,5
E. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda SLE sangat beragam dan seringkali tidak dikenali pada saat awal.
Manifestasi klinis yang paling sering berdasarkan hasil penelitian pada 1000 pasien SLE
di Eropa selama 10 tahun yaitu arthritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati
27,9%, fotosensitifitas 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4%, dan demam 16,6%.3,5,7
Muskuloskeletal
Kulit
Paru
Jantung
Ginjal
Manifestasi
Kelelahan, penurunan berat badan, nafsu
makan turun, demam biasanya tidak
menggigil, dan lain-lain.
Nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (atralgia)
Ruam kulit, gambaran kupu-kupu pada
wajah
Sesak nafas, batuk kering, hemoptisis
Nyeri substernal, aritmia, takikardi
Pemeriksaan ditemukan
Suhu tubuh naik, BB turun
Gastrointestinal
Neuropsikiatrik
Hemik-limfatik
(>5/LPB)
Hepatomegali
Kelainan EEG, ditemukan kompleks
imun pada CSF, kadar C4 rendah,
peningkatan IgG, IgA, dan atau IgM,
peningkatan jumlah sel, peningkatan
kadar protein, penurunan kadar
glukosa.
Splenomegali, KGB membesar, tidak
nyeri, lunak, ukuran bervariasi 3-4
cm
F. Diagnosis
Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE sangatlah penting terkait
dinamisnya perjalanan penyakit SLE. Seringkali bermanifestasi penyakit lain pada
tahap awal seperti rheumatoid arthritis, glomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan lainlain.3
Kriteria diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada ACR (American College of
Rheumatology) 1997 revisi. Diagnosis ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11
kriteria SLE. Sedangkan bila ditemukan 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
masih sangat mungkin ditegakkan SLE tergantung pada pengamatan klinis. Bila
ditemukan hasil tes ANA negatif maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya
ditemukan hasil tes ANA positif dan manifestasi klinis tidak ada maka belum tentu
SLE, observasi jangka panjang diperlukan pada kasus seperti ini.1,3,6,7,8,9
Definisi
Eritema menetap, rata atau menonjol, cenderung tidak melibatkan lipat
nasolabial
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE
lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari
anamnesis atau dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulit atau nasofaring, umunya tidaj nyeri dan dilihat oleh dokter ysng
pmerikssa
Artritif non erosif melibtkan 2-3 sendi perifer, ditandai nyeri tekan, bengkak
atau efusia
a.
b.
Perikarditis
Gangguan renal
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perkardium.
a.
Proteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau 3+ bila dilakukan
pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran
Gangguan neurologi
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit)
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit)
Gangguan hematologik
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
b. Leucopenia < 4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
c. Limfopenia < 1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologikb
a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
abnormal
atau
b. Anti-Sm : terdapat antibodi terhadap antigen nuclear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan
atas:
1. Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM
2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakn metode standar atau
3. Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurangkurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
antibodi treponema
Antibodi
antinuclear Titer abnormal dari ANA berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau
positif (ANA)
pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang
diinduksi obat
Keterangan : a) Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria
tersebut yang terjadi bersamaan atau dengan tenggang waktu. b) Modifikasi kriteria ini dilakukan pada
tahun 1997
10
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring:3
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, APTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax
7. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan yang diperlukan untuk awal diagnosis dan tidak diperlukan untuk
monitoring adalah serologi ANA. Antinuclear antibody (ANA) merupakan sekelompok
autoantibody spesifik terhadap asam nukleat dan nucleoprotein.1,3
Pada penderita SLE tes ANA positif sebesar 95-100%. Tes ANA merupakan tes
yang spesifik namun tidak spesifik karena hasil tes ANA dapat juga positif pada
beberapa penyakit lainnya seperti infeksi kronis, penyakit autoimun yang lain,
keganasan atau pada orang normal. Tes ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan
terhadap SLE.1,3
Beberapa tes lain yang menunjang diagnosis SLE setelah tes ANA positif adalah
pemeriksaan profil ANA/ENA yaitu tes anti-dsDNA, Sm, nRNP,Ro(SSA), La (SSB),
Scl-70 dan anti-Jo. Antibodi anti-dsDNA dengan titer yang tinggi sangat spesifik untuk
SLE (spesifitasnya hampir 100%) dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Sedangkan
anti-Sm didapatkan pada 15%-30% pasien SLE.3
H. Diagnosis Banding3
1. Undifferentiated connective tissue disease
2. Sindroma Sjorgen
3. Sindroma antibody antifosfolipid
4. Fibromialgia
5. Purpura trombositopenik idiopatik
6. Lupus imbas obat
7. Arthritis rheumatoid dini
8. Vaskulitis
I. Derajat SLE
Gambaran tingkat keparahan SLE diperlukan untuk pemberian obat, dosis, dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Penyakit SLE dapat
dikategorikan ringan, sedang, dan berat atau mengancam nyawa.3
12
Manifestasi klinis
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil
Contoh : SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit
Sedang
1.
2.
3.
Berat atau
mengancam
nyawa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
J. Penatalaksanaan
Tujuan khusus pengobatan SLE yaitu3 :
a. Mendapat masa remisi yang panjang
b. Menurunkan aktivitas penyakit
c. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar kualitas hidup dapat
optimal
Oleh karena itu, pilar pengobatan pada SLE seharusnya dilakukan secara bersamaan
dan berkesinambungan agar tujuan terapi tercapai. Pilar pengobatan SLE yaitu sebagai
berikut3 :
13
I.
II.
Program rehabilitasi
Penurunan massa otot hingga 30% terjadi apabila pasien SLE dibiarkan
immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Modalitas fisik yang diperlukan seperti
pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekuan atau spasme otot. Tujuan, indikasi, dan tekhnis
pelaksanaan program rehabilitasi yaitu : istirahat, terapi fisik, terapi dengan
modalitas, ortotik, dan lain-lain.3
III.
Pengobatan medikamentosa3
a. OAINS
b. Antimalaria
c. Steroid
d. Imunosupresan/sitotoksik
e. Terapi lain
respon,
dapat
dipertimbangkan
obat
antimalaria
misalnya
14
respon, berikan kortikosteroid dosis rendah tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi.
Metotreksat dosis rendah 7,5-15 mg/minggu juga dapat dipertimbangkan.1
Lupus kutaneus
Untuk kulit wajah dianjurkan penggunaan preparat steroid lokal
berkekuatan rendah, misal hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan dapat
digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misal betametason valerat dan
triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik misalnya didaerah palmar dan
plantar pedis digunakan glukokortikoid dosis tinggi, misal betametason
dipropionat namun harus dibatasi selama 2 minggu kemudian diganti dengan
berkekuatan rendah.1
Obat
antimalaria mempunyai
efek
sunblocking,
antiinlamasi,
dan
Serositis
Nyeri dada atau nyeri abomen ini dapat diberikan salisilat, OAINS, antimalaria,
atau glukortikoid dosis rendah (15 mg/hari).1
b. Terapi Agresif
Bila manifestasi yang timbul serius dan mengancam nyawa misalnya
vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis, miokarditis,
glomerulonefritis, anemia hemolitik berat, mielopati, neuropati perifer, dan
krisis lupus.1
Pemberian glukokortikoid oral berupa prednison 0,5 mg/kgbb/hari sedangkan
manifestasi yang mayor dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgbb/hari. Sebagai
pengganti glukokortikoid oral dapat diberikan bolus metilprednisolon IV 1
gram/hari atau 15 mg/kgbb selama 3-5 hari. Kemudian dilanjutkan prednisone
oral 1-1,5 mg/kbb/hari atau 40-60 mg/hari.1
Respon terapi dapat dilihat segera atau dalam waktu yang cukup lama yaitu
6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu maka harus
15
memulai penurunan dosis secara bertahap, yaitu 5-10% setiap minggu bila tidak
timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednisone mencapai 30 mg/hari
selanjutnya 2,5 mg/minggu kemudian 1 mg/minggu.1
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gram/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9%
selama 60 menit diikuti cairan 2-3 liter/24 jam. Diberikan sebulan sekali selama
6 bulan kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun. Imunosupresan lain yang dapat
diberikan adalah azatioprin yang merupakan analog purin, dengan dosis 1-3
mg/kgbb/hari oral diberikan 6-12 bulan.1
Selain itu, dapat digunakan Siklosporin A dosis rendah 3-6 mg/kgbb/hari.
Mofetil mikofenolat 2000 mg/hari. Imunoglobulin 300-400 mg/kgbb/hari yang
bermanfaat untuk mencegah trombositopenia.1
K. Komplikasi
a. Anemia
Rendahnya hemoglobin disebabkan oleh karena autoantibodi yang menyerang sel
darah merah sebagai bagian dari proses autoimun. Selain itu, penyebab yang lain
yaitu karena ketidakseimbangan produksi eritropoietin oleh ginjal. Dimana ginjal
menjadi organ target dari penyakit SLE. Penyebab lain yaitu perdarahan
gastrointestinal karena efek samping terapi atau peningkatan destruksi eritrosit dari
limpa.1,8
b. Thrombosis
Sering berhubungan karena adanya antibodi antifosfolipid. Trombosis arteri
biasanya
mempunyai
prognosis
buruk.
Komplikasi
perdarahan
ini
yang
L. Prognosis
Perjalanan penyakit SLE sangat beragam. Walaupun tanpa pengobatan, beberapa
pasien mengalami perjalanan penyakit yang cukup baik. Jarang, perjalanan penyakit
yang cepat hingga menyebabkan kematian. Paling sering penyakit ini remisi dan relaps
dalam jangka waktu beberapa tahun hingga berapa puluh tahun.1,3
Dengan pengobatan yang digunakan saat ini, angka kelangsungan hidup untuk 5
tahun sebesar 90% dan untuk 10 tahun sebesar 80%. Umumnya kematian disebabkan
oleh gagal ginjal, infeksi, dan gangguan pada sistem saraf yang luas.1,3
Ad vitam
: bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : malam
17
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
features.
2012
December
4.
Hal
476-505.
Diunggah
dari:
http://www.eular.org/edu_textbook.cfm
6.
Price A, Wilson L. Penyakit yang disebabkan oleh autoimun dan kompleks imun.
Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta: EGC, Jakarta; 2005. Hal 198-203.
7.
Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol. 2003;
56: 481-490.
8.
9.
Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Walters D. Diagnosis of systemic lupus erythematosus.
2013 December 1;68 (11): 2179-86. Diunggah dari : www.aafp.org
19