Anda di halaman 1dari 27

KEHAMILAN DENGAN SLE

N U R R O S I DA A I S I A NA (P27824418006)
Y E N N I ZA N U BAT U L A R I FA H (P27824418007)
A U L I A S AV I T R I (P27824418008)
A N A STA S YA S U RYA NI NG I L L A H (P27824418009)
A N G G R I D A R A T R I A NA NTA (P27824418010)
DEFINISI
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun multisistem
yang dimana tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibodi
terhadap antigen nuklear (ANA) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai
organ.

Penyakit ini ditandai dengan adanya periode remisi dan serangan akut dengan
gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat.
SLE
Penyakit Autoimun Multisistem
Women > Men - 9:1 ratio
African Americans > Whites
Biasanya menyerang saat usia antara 15 hingga
45 tahun
ETIOLOGI
1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi
yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang
dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE
pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum.
2. Faktor Imunologi
a) Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan
informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi
sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.

c) Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang
terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks
imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Beberapa studi menemukan
korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga
menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor
resiko terjadinya SLE.

4. Faktor Lingkungan
a)Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius
tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang
efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara
sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan
penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam
keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem
autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d) Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug
Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya
kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
PATOLOGI
Kriteria Terhadap Diagnosis Lupus
Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria yang dapat menjamin
akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada tahun 1997 telah di revisi.

Butterfly rash
Discoid Rash
Fotosensitifitas
Oral Ulcers
Arthritis
Serositis
Perubahan system saraf
Perubahan Ginjal
Perubahan darah
Immunologic: anti-DNA, anti-Sm, false pos STS
Anti-nuclear antibody
KULIT
 Ruam yang paling umum adalah fotosensitif, peningkatan ruam
malar eritematosa. 55-85% berkembang di beberapa titik penyakit
Discoid Lupus Erythematosus (DLE): lesi hiperpimen bersisik,
bersisik 15-30% dengan tepi eritematosa, pusat atrofi
Bisul mulut / vagina / hidung
Butterfly Rash
Discoid Rash
Oral Ulcers
Arthritis
Serositis - Paru
Pleuritis dengan atau tanpa efusi
- jika case ringan, seperti: OAINS
- jika kasusnya parah, seperti steroid
Manifestasi yang mengancam jiwa: peradangan interstitial
yang dapat menyebabkan fibrosis dan perdarahan intra-
alveolar.
Juga dapat terjadi pneumotoraks
Saraf
Neuropati kranial atau perifer terjadi pada 10-15%,
mungkin disebabkan oleh vaskulitis pada arteri kecil yang
memasok saraf.
Disfungsi SSP: kesulitan memori dan penalaran
Sakit kepala: jika menyiksa, sering menunjukkan suar akut
Kejang jenis apa pun
Ginjal
Nefritis: biasanya asimptomatik, jadi selalu diperiksa jika pasien
telah mengetahui atau diduga menderita SLE
Terjadi pada awal perjalanan penyakit-jika tidak hadir dlm 1 tahun,
mungkin tidak akan terjadi.
Klasifikasi histologis berdasarkan biopsi ginjal berguna untuk
merencanakan terapi
Immunoglobulins
IgG anti-dsDNA: sangat spesifik, dapat berkorelasi dengan aktivitas
penyakit
Anti-Sm: spesifik, tetapi hanya ada pada 25% kasus, tidak
berkorelasi dengan aktivitas
APLA: tidak spesifik. Digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang
berisiko tinggi mengalami pembekuan darah, trombositopenia, dan
kehilangan janin
ANA
ANA: positif dalam 95% kasus. Dalam pengaturan PCP, 2% untuk
SLE. Dalam rheum: 30%
Rendah Positif (1: 160 atau lebih rendah): SLE kemungkinan <2%
(<26% untuk rheumatologist)
Tinggi Positif (1: 320 atau lebih tinggi): SLE kemungkinan: 2-17%
(32-81% untuk ahli reumatologi)
TERAPI
1. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan
tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE,
antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan
mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung,
memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat
badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
2. Program Rehabilitasi
Programnya antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan
modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.
3. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid Anti-
Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi
klinis yang dialami.
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang ringan, seperti
menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin,
ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu
pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung
Penyakit Lupus Pada Ibu Hamil
Wanita yang mengidap penyakit lupus dapat hamil dengan aman asalkan memeriksakan
kesehatan secara rutin untuk menjaga kesehatan ibu dan janin.
Penelitian yang dilakukan oleh American coulage rheumatology menemukan adanya komplikasi
kehamilan pada ibu hamil yang menderita lupus akan tetapi kebanyakan wanita yg menderita
lupus akan stabil dan aman selama kehamilan.
Meskipun demikian kemungkinan menghadapi masalah selama kehamilan pada ibu hamil yg
menderita lupus sangat besar.
Masalah kehamilan pada wanita yg menderita lupus mengalami suar yg berkembang pada
trimester 1 atau 2. Walaupun demikian suar ringan dapat diobati. Selain itu masalah yg
membahayakan dari perkembangan penyakit lupus pada ibu hamil adalah preeklamsia sehingga
memerlukan perawatan segera.
Lanjutan…
Pada ibu hamil yg mengalami preeklampsia dari perkembangan lupus 10% kambuh pada minggu
ke 20, 8% kambuh pada minggu ke 32. Sedangkan 3% mengalami kambuh pada minggu ke 20.
Selain itu para peneliti menemukan 20% wanita mengalami masalah kehamilan karena memiliki
faktor resiko sehingga level lupus menjadi tinggi dan juga aktif. Pada antibodi yang tinggi dapat
menyebabkan peluang lebih besar untuk mengalami penggumpalan darah kemudian
meningkatkan penyakit lupus di minggu ke 20 – 32 minggu kehamilan.
Meskipun demikian ibu hamil yang menderita lupus jangan berkecil hati dikarenakan pasien
memiliki peluang mempunyai anak dan yang menggemberikan lagi bahwa lupus bukan
merupakan penyakit turunan yang dapat diwariskan pada anak. Hal ini berdasarkan fakta yang
ditemukan hanya 7% kasus anak yg menderita lupus dr ibu hamil menderita penyakit lupus
Penyakit Lupus Terhadap Janin
Pada saat hamil pemeriksaan yang dilakukan dokter adalah memeriksa DJJ dan juga
memperhatikan pertumbuhan janin sesuai dengan usia kehamilan. Ibu hamil yg menderita lupus
akan mengalami kehamilan yang aman apabila mendapatkan penanganan hingga terhindar dari
keguguran premature atau janin lahir mati. Bahkan dapat memperkecil bayi lahir mengalami
lupus neonatal ruam yang umumnya akan hilang pada usia bayi 3-6 bulan.
PENATALAKSANAAN SLE PADA KEHAMILAN
Penderita SLE yang ingin hamil harus menjalani konseling pra kehamilan untuk mengetahui masalah
yang akan timbul seperti risiko preeklampsi, gangguan pertumbuhan janin dan kematian janin.
Penderita yang hendak hamil harus berada dalam fase remisi dan tidak sedang menggunakan obat-
obatan sitotoksik dan OAINS (Obat anti-inflamasi nonsteroid) sebelum terjadi konsepsi dan harus
dinilai apakah penderita menderita anemia, trombositopenia, penyakit ginjal dan antibodi
antifosfolipid.
Penderita SLE yang hamil harus melakukan pemeriksaan ke ahli kebidanan setiap 2 minggu pada
trimester I dan II serta setiap minggu pada trimester III. Penderita harus dianamnesis mengenai gejala
atau tanda aktivitas SLE pada setiap kunjungan.
Kriteria untuk terapi SLE pada pasien hamil tidak berbeda dengan pasien tidak hamil. Pilihan
penggunaan OAINS, antimalaria dan obat imunosupresif dibatasi oleh beratnya cedera untuk fetus
namun masih dapat mengendalikan penyakit ibu. Anemia (hemoglobin< 8g/dl), demam (> 38,50 C)
dan hipoalbuminemia (albumin< 3g/dl) membutuhkan terapi yang lebih agresif pada pasien hamil
karena mengancam pertumbuhan fetus.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai