A. Definisi
Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu
penyakit auto imun yang kronik dan menyerang berbagai
system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat
bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk
didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah
orang yang terserang oleh penyakit ini sulit untuk diperoleh.
(Price A. Sylvia, 2006)
Lupus Eritematos Sistemik (LES) adalah penyakit
autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan
manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat.
Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES,
karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan.
(Mansjoer Arif, 2001).
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar,
2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Sistemik lupus erythematosus adalah suatu penyakit
kulit menahun yang ditandai dengan peradangan dan
pembetukan jaringan parut yang terjadi pada wajah, telinga,
kulit kepala dan kandung pada bagian tubuh lainnya.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
Systemic Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit
autoimun yang menyerang berbagai system tubuh dengan
manifestasi klinis yang bervarisi.
B. Etiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor
genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari
sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan
menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan
dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit
inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun
lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana
antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini
menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit
menahun.
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum
sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan
keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus:
Infeksi
Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)
Sinar ultraviolet
Stres yang berlebihan
Obat-obatan tertentu
Hormon.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa
diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria
maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.
Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih
sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa
sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan
bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya
penyakit ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih
tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih
belum diketahui.
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
daripada pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering
dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi
resiko ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi
kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui
peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel
T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan
diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat
(Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
a) Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
b) Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin,
penisilamin, dan kuinidin
c) Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis
antibiotic dan griseofurvin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi
kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat
senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen
yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan dan siklus
tersebut berulang kembali. (Smeltzer and Suzane, 2001)
D. Manifestasi Klinis
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita LES
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini
agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan
kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas
penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum
yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau
menyingkirkan suatu diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit,
terutama untuk menandai terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang
pada suatu organ; (3) untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu
pengobatan.
1. Pemeriksaan Autoantibodi
F. Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan, Pasien SLE dibagi menjadi:
1. Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan,
kelelahan, dan sakit kepala
Penatalaksanaan untuk SLE derajat Ringan;
a) Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan.
b) Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti
peradangan non-steroid
c) Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
d) Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
e) Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.
f) Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai
kebutuhan
g) Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya
pada saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang
ataupun kacamata
2. Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis,
pneumonitis lupus, dan perdarahan paru.
Penatalaksanaan untuk SLE derajat berat;
a) Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya
(anemia hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit
ginjal, penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
b) Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan
dosis sesuai kelainan organ sasaran yang terkena.
c) Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang
berat bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan
d) Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat
pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang
baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada
kortikosteroid dosis tinggi.
3. Penatalaksanaan Umum :
a) Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi,
demam infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau
stres emosional. Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah
cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu
mengubah gaya hidup
b) Hindari Merokok
c) Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
d) Hindari stres dan trauma fisik
e) Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
f) Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00
sampai 15.00
g) Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung
hormon estrogen
4. Pengobatan Pada Keadaan Khusus
a) Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan
sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu
belum ada perbaikan
b) Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon
dalam 4 minggu,
ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg
BB/hari selama 5 hari berturut-turut
c) Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif
dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari
d) Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
e) Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat
dikombinasikan dengan siklofosfamid
f) Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi
pleura/drainase
g) Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
h) Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil
dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan.
Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-
turut
G. PATHWAY
H. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik
difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami
seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau
leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku,
jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tanga.
d. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari.
e. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu
yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat
mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
h. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
3. Perencanaan
Diagnosa I : Penurunan Curah Jantung
a. Tujuan dan kriteria hasil berdasarkan (NOC)
Cardiac Pump effetiveness
Circullation status
Vital sign status
Dengan Kriteria Hasil :
- Tanda Vital dalam rentang normal (Tekanan
darah, Nadi, respirasi)
- Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada
kelelahan
- Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada
asites
- Tidak ada penurunan kesadaran
b. Intervensi keperawatan
Cardiac Care
- Evaluasi adanya nyeri dada ( intensitas,lokasi,
durasi)
- Catat adanya disritmia jantung
- Catat adanya tanda dan gejala penurunan
cardiac putput
- Monitor status kardiovaskuler
- Monitor status pernafasan yang menandakan
gagal jantung
- Monitor abdomen sebagai indicator penurunan
perfusi
- Monitor balance cairan
- Monitor adanya perubahan tekanan darah
- Monitor respon pasien terhadap efek
pengobatan antiaritmia
- Atur periode latihan dan istirahat untuk
menghindari kelelahan
- Monitor toleransi aktivitas pasien
- Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan
ortopneu
- Anjurkan untuk menurunkan stress
Vital Sign Monitoring
- Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
- Catat adanya fluktuasi tekanan darah
- Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
berdiri
- Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
- Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
- Monitor kualitas dari nadi
- Monitor adanya pulsus paradoksus
- Monitor adanya pulsus alterans
- Monitor jumlah dan irama jantung
- Monitor bunyi jantung
- Monitor frekuensi dan irama pernapasan
- Monitor suara paru
- Monitor pola pernapasan abnormal
- Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
- Monitor sianosis perifer
- Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi
yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
- Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
REFERENSI
Mengetahui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik
( ) ( )