Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang
kronis yang disebabkan oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana
sistem pertahanan tubuh yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri.

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun


multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah,
penyakit ini terutama menyerang kulit, ginjal, membrane serosa, sendi, dan
jantung. Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE)
prevalensinya dalam populasi tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang,
penyakit ini cenderung terjadi pada perempuan (kira – kira 9:1).
Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak
kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan
perbandingan wanita dan laki-laki 5:1). Di Indonesia, data unutk kasus SLE
masih belum ada yang mencakup semua wilayah Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Definisi SLE ?
2. Epidemiologi SLE ?
3. Etiologi SLE ?
4. Anatomi system immunitas ?
5. Patogenesis SLE ?
6. Bagaimana Patofisiologi SLE ?
7. Klasifikasi SLE ?
8. Manifestasi klinis SLE ?
9. Bagaimana pathway SLE?
10. Pemeriksaan penunjang SLE ?
11. Penatalaksanaan Medis SLE ?
12. Penatalaksanaan Keperawatan SLE ?
13. Dampak SLE untuk anak dan keluarga

1.3 Tujuan

1
1. Mengetahui apa Definisi SLE
2. Mengetahui Epidemiologi SLE
3. Mengetahui Etiologi SLE
4. Mengetahui Anatomi system immunitas SLE
5. Mengetahui Patogenesis SLE
6. Mengetahui bagaimana Patofisiologi SLE
7. Mengetahui Klasifikasi SLE
8. Mengetahui Manifestasi klinis SLE
9. Mengetahui Pathway SLE
10. Mengetahui Pemeriksaan penunjang SLE
11. Mengetahui Penatalaksanaan Medis SLE
12. Mengetahui Penatalaksanaan Keperawatan SLE
13. Mengetahui dampak SLE untuk anak dan keluarga

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan.
Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan
oleh gigitan anjing hutan.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang
disebabkan oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem
pertahanan tubuh yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri.Antara
jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah seperti kulit, jantung,
paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun
yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh.( Silvia& Lorraine,
2006 ).
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah,
penuakit ini terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan
jantung.(Robins, 2007)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya


dalam populasi tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini
cenderung terjadi pada perempuan (kira – kira 9:1), yang menyerang satu

3
diantara 700 perempuan usia subur. systemic lupus erythematosus (SLE)
lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan
Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak
kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan
perbandingan wanita dan laki-laki 5:1).
Di Indonesia, data untuk kasus SLE masih belum ada yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002, berdasarkan data pasien yang
datang ke poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto
Mangunkosumo Jakarta, terdapat 1,4% kasus dari total seluruh kunjungan
pasien. Sedangkan unutuk RS Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5%
(291pasien) dari total pasien yang berkunjung ke poliklinik reumatologi pada
tahun 2010.

2.3 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum
diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya
penyakit SLE:

2.3.1 Faktor Genetik


Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk auto antibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik
untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada
anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah
58%.Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok
gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility

4
Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada
struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko
tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

2.3.2 Faktor Imunologi


Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B.
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan
sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun.
Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga
menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak
normal.
c. Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

5
2.3.3 Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor risiko terjadinya SLE.

2.3.4 Faktor Lingkungan


Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh
atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah

2.4 ANATOMI SITEM IMMUNITAS

6
2.5 PATOGENESIS
Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi
satu atau lebih jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi.

7
Beberapa, seperti anti - sel merah dan antibodi antiplatelet, jelas patogen,
sedangkan yang lain mungkin hanya penanda kerusakan toleransi. Etiologi
tetap misteri, tetapi seperti dalam banyak penyakit kronis, tampaknya
mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen lingkungan dalam
kecenderungan tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

2.5.1 Faktor Endogen


Banyak autoantibodi (terutama ANAs) diarahkan terhadap antigen
intraseluler biasanya 'tak terlihat' untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini
menunjukkan autoimunitas yang berkembang, setidaknya dalam beberapa
kasus, sebagai konsekuensi dari kematian sel yang tidak normal atau
disregulasi termasuk kematian sel terprogram (apoptosis).Dalam
mendukung Konsep ini telah menjadi pengakuan bahwa model hewan
lupus di MLR / lpr mencit karena mutasi genetik FAS. Aktivasi FAS
menyebabkan apoptosis, kelainan FAS mencegah apoptosis yang normal
menyebabkan proliferasi limfositik tidak terkendali dan produksi
autoantibodi. Sebuah homolog manusia model hewan adalah sindrom
limfoproliferatif autoimun (ALPS), karena mutasi dari FAS, anak-anak
mengembangkan limfadenopati besar dan splenomegali dengan produksi
autoantibody(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

2.5.2 Faktor Eksogen


Bahkan sedikit yang diketahui tentang pemicu yang bertanggung
jawab untuk sebagian besar bentuk lupus. Obat seperti antikonvulsan dan
antibiotik (khususnya minocycline) dapat menyebabkan lupus. Sinar
matahari dapat memicu kedua manifestasi kulit dan sistemik lupus (dan
neonatal lupus).Menelan jumlah yang sangat besar kecambahalfalfa juga
dapat menyebabkan lupus, pemicu aktif muncul menjadi L-canvanine.
Peran, jika ada, dari virus dan bakteri dalam memicu lupus tetap jelas
meskipun perlu penelitian yang cukup besar. Tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa infeksi tertentu adalah penting dalam menyebabkan
lupus. Menariknya, ada peningkatan penyakit rematik pada orang dengan

8
infeksi HIV, dan penyakit autoimun termasuk lupus tampaknya menjadi
lebih umum ketika ada restorasi kompetensi kekebalan dengan
penggunaan obat anti retro virus yang sangat aktif (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2007).

2.6 PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga
timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan
siklus tersebut berulang kembali.

2.7 KLASIFIKASI
Ada tiga jenis type lupus :

2.7.1 Cutaneous Lupus


Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya
terbatas pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada
muka, leher, atau kulit kepala.Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat
pada daerah kulit yang terkena sinar ultraviolet (seperti sinar matahari,
sinar fluorescent).Meski terdapat beberapa macam tipe ruam pada lupus,
tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul, bersisik dan merah,
tetapi tidak gatal.

9
2.7.2 Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapat menyebabkan inflamasi pada beberapa macam
organ. Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada
gangguan kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru,
ginjal, darah ataupun organ dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena.
SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak
muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif
(flare).

2.7.3 Drug-induced lupus


Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf.
Obat yang umumnya dapat menyebabkan drug induced lupus adalah jenis
hidralazin (untuk penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid
(untuk penanganan detak jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak
semua orang yang memakan obat ini akan terkena drug-induced lupus.
Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu yang bakal
membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali yang
kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala lupus
ini biasanya akan hilang dengan sendirinya

2.8 MANIFESTASI KLINIS

10
Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja tidak
terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi
eksaserbasi dan remisi.

2.8.1 Gejala klasik


Demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan artritis,
pleurisi.
2.8.2 Sistem Muskuloskeletal
Artralgia dan artritis (sinovitis) adalah cirti yang paling sering
muncul. Pembekakan sendi nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal
yang lazim, disertai dengan kekakuan pada pagi hari.
2.8.3 Sistem integumen
Terlihat beberapa jenis SLE yang berbeda (mis., lupus eritematosus
kutaneus sub akut [SCLE], lupus etitematosus diskoid [DLE]). Ruam
kupu-kupu pada batang hidung dan pipi muncul pada lebih dari separuh
pasien dan mungkin merupakan prekusor untuk gangguan yang sistemik.
Lesi memburuk selama periode eksaserbasi (ledakan) dan dapat
distimulasi oleh sinar matahari atau sinar ultraviolet buatan. ulkus oral
dapat mengenai mukosa bukal dan palatum.
2.8.4 Sistem Pernapasan
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah
pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan
shrinking lungsyndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau
berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat
deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik
disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons
yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering
apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan
memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga
tindakan lasmafaresis atau pemberian sitostatika.
2.8.5 Sistem Kardiovaskuler

11
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya
keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto
dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs,
seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan
50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup
yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis
bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner
5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur
35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
2.8.6 Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian
besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan
kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30
tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
2.8.7 Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada
penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakan
keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya
kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia
dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada
mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum.
Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak
dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT
ataupun fosfatase alkali dan LDH.
2.8.8 Manifestasi Hemopoetik

12
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan
anemia hemolitik autoimun.
2.8.9 Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai
manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan
pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti
sepsis, uremia, dan hipertensiberat. Manifestasi neuropsikiatri LES sangat
bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan
psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat
merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES.
Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai
psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis
cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi
(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak
kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.
2.8.10 Gejala klinis Lainnya
Gejala klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

13
i. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Kecurigaan terhadap adanya SLE jika terdapat dua atau lebih tanda
gejala diatas

2.9 PATHWAY

14
15
2.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.10.1 Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2.10.2 Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin
2.10.3 Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
2.10.4 PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
2.10.5 Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
2.10.6 Foto polos thorax
a. Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring
b. Setiap 3-6 bulan bila stabil
c. Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
SLE adalah tes ANA generik.Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada
pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA
dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun

16
(misalnya Mixedconnective tissue disease (MCTD), artritis reumatoid,
tiroiditis autoimun),keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA
negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan
penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah,
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang
terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA
dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran
klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah
tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm,
nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal
sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesifik
untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir
100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis
SLE dibandingkan dengan titer yang rendah.Jika titernya sangat rendah
mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.

2.11 PENATALAKSANAAN MEDIS


2.11.1 Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum)
(metilprednisolon1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr,
jika membaik dilakukan tapering off).
2.11.2 AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
2.11.3 Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
2.11.4 Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan
setiap 3 minggu.
2.11.5 Therapy/tindakan penanganan
Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan
secara berkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:
a. Edukasi dan konseling
Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang
benar dan dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien
memerlukan informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi atau
mencegah kekambuhan misalnya dengan cara melindungi kulit dari
sinar matahari dengan menggunakan tabir surya atau pakaian yang

17
melindungi kulit, serta melakukan latihan secara teratur. Pasien juga
memerlukan informasi tentang pengaturan diet agar tidak mengalami
kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Informasi yang
bisa diperlukan kepada pasien adalah:
1) Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
2) Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyakit
SLE
3) Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama
yang terkait dengan pengobatan steroid seperti osteoporosis,
kebutuhan istirahat, pemakaian alat bantu, pengaturan diet, serta
cara mengatasi infeksi
4) Masalah psikologis yaitu cara pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres, emosional, trauma psikis, masalah
terkait dengan hubungan dengan keluarga, serta cara mengatasi
nyeri.
5) Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan
yang lainnya. Kebutuhan pemberian vitamin dan mineral.
6) Kelompok pendukung bagi penderita SLE
7) Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis
akibat adanya anggota keluarga yang menderita SLE
b. Program rehabilitasi
Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk
mempertahankan kestabilan sendi karena jika pasien SLE diberikan
dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu dapat
mengakibatkan penurunan massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi,
dan teknis pelaksanaan program rehabilirasi melibatkan beberapa hal,
yaitu:
1) Istirahat
2) Terapi fisik
3) Terapi dengan modalitas
4) Ortotik, dan yang lainnya.

c. Pengobatan medikamentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasien SLE adalah:
1) OAINS
2) Kortikosteroid
3) Klorokuin

18
4) Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)
5) Azatioprin
6) Siklofosfamid
7) Metotreksat
8) Siklosporin A
9) Mikofenolat mofetil
Jenis obat yang paling umum digunakan adalah
kortikosteroid yang dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Namun, penggunaan kortikosteroid menimbulkan efek samping. Cara
mengurangi efek samping dari penggunaan kortikosteroid adalah
dengan mengurangi dosis obatnya segera setelah penyakit terkontrol.
Penurunan dosis harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
aktivitas penyakit muncul kembali dan terjadinya defisiensi kortikol
yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
kronis. Penurunan dosis yang dilakuakn secara bertahap akan
memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Penggunaan sparing
agen kortikosteroid dapat diberikan untuk memudahkan menurunkan
dosis kaortokosteroid dan mengobtrol penyakit dasarnya. Obat yang
sering digunakan sebagai sparing agen kortokosteroid adalah
azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid, danmetotrexate.

2.12 PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN


2.12.1 Manajemen Keperawatan
Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan
peradangan, mengatasi gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan rasa
sakit dan peradangan pada SLE ringan umumnya dicapai dengan
nonsteroidal obat anti inflamasi (NSAID). Obat antimalaria juga
digunakan dalam SLE ringan untuk mengontrol gejala radang sendi, ruam
kulit, sariawan, demam, dan kelelahan. Perawat perlu memberitahu orang
tua yang kadang-kadang memakan waktu lama sebelum terapi efek obat
antimalaria yang jelas
Perawatan SLE membutuhkan penambahan kortikosteroid.
Kortikosteroid diberikan kepada anak ketika anak tidak merespons NSAID
atau obat antimalaria. Kortikosteroid sangat efektif dalam mengurangi
peradangan dan gejala, meskipun mereka juga memiliki efek samping

19
yang serius dari imunosupresi. Selama periode eksaserbasi, kortikosteroid
dapat dimulai dalam dosis tinggi. Setelah gejala di bawah kontrol,
dosisnya adalah meruncing ke terendah tingkat terapeutik. Hal ini penting
untuk memberitahu orang tua bahwa steroid harus perlahan meruncing
ketika saatnya untuk menghentikan obat.
Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE
parah termasuk agen imunosupresif. Obat-obat ini digunakan ketika
penyakitnya sudah mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda
parah dan gejala yang hadir. Agen Imunosupresif juga dapat ditentukan
jika ada kebutuhan untuk menghindari kortikosteroid.Keputusan untuk
menggunakan immunosuppressives membutuhkan pertimbangan serius
karena efek samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan
imunosupresi umum. Contoh agen imunosupresif digunakan dalam
pengobatan SLE termasuk azathioprine (Imuran), siklofosfamid (Cytoxan),
dan methotrexate (Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan
serius seperti depresi sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus
memperkuat informasi tentang aksi obat sebagai serta efek samping
dengan orangtua sebelum pemberian obat ini Selain obat-obatan , asuhan
keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif dan memberikan
dukungan psikososial. Sekarang penting bahwa mempertahankan gizi anak
yang baik , istirahat dan berolahraga , menghindari matahari , dan
mendorong ekspresi perasaan tentang kondisi tersebut. Meskipun tidak ada
yang spesifik, Diet untuk SLE adalah diet rendah garam.
Istirahat dan latihan termasuk periode di mana anak aktif selama
remisi dan beristirahat selama eksaserbasi . Penghindaran dari paparan
sinar matahari ditekankan karena fotosensitif ruam yang terjadi dengan
SLE . Penggunaan tabir surya kegiatan di luar ruangan yang penting , dan
perencanaan di bawah naungan atau tinggal di dalam rumah mungkin
diperlukan . Karena kondisi ini mungkin terjadi kesulitan bagi anak dan
keluarga untuk mengatasi dan mengerti, mendorong ekspresi perasaan atau
bergabung dengan kelompok pendukung didorong .orangtua harus
memberitahu guru, pelatih , dan orang lain tentang anak mereka kondisi

20
sehingga mereka dapat membantu memantau anak dan memperoleh
pengobatan yang diperlukan jika diperlukan . Merupakan perawat
tanggung jawab untuk membantu anak dan keluarga mengidentifikasi
kemungkinan pemicu , seperti sinar matahari dan stres emosional, dan
membantu keluarga untuk menemukan cara untuk menghindarinya. (Ward,
Susan L and Hisley, Shelton M. 2009)
2.12.2 Paparan sinar Matahari
Paparan sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan eksaserbasi ruam
lupus dan juga gejala-gejala sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan.
Ada laporan bahwa pasien yang secara teratur menggunakan tabir surya
(SPF 15 atau lebih) telah secara signifikan lebih rendah keterlibatan ginjal,
trombositopenia dan rawat inap, dan membutuhkan treatment
siklofosfamid yang menurun.Semua anak dengan SLE harus disarankan
untuk memakai tabir surya setiap hari untuk semua kulit yang terbuka
(termasuk telinga), tidak hanya pada hari-hari cerah karena awan tidak
menghilangkan paparan sinar UV (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

2.12.3 Diit dan Latihan


Tidak ada persyaratan khusus diet tetapi karena kortikosteroid-
diinduksi berat badan, makanan tinggi kalori dan garam harus dihindari.
Latihan harus didorong. Cukup banyak anak berpartisipasi di sekolah
penuh waktu, kecuali selama periode penyakit aktif berat. Kegagalan
untuk menghadiri sekolah harus diwaspadai tim kesehatan untuk
kemungkinan masalah psikososial. Komunikasi dengan guru sekolah
diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga, dengan keterlibatan tim klinis
jika diminta (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
2.12.4 Fatique dan Tidur
Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum. Hal ini
biasanya akan membaik sebagaimana perbaikan penyakit. Beberapa orang
tua merasa sulit selama ini untuk memungkinkan anak-anak mereka untuk
berpartisipasi dalam kegiatan. Terapi sokupasi dan fisik dapat sangat
membantu dalam membantu untuk mengembangkan kegiatan yang lebih

21
baik dan perilaku tidur. Beberapa pola tidur anak-anak bisa berubah pada
awal SLE. Hal ini biasanya berhubungan dengan kortikosteroid. Beberapa
anak menjadi hiperaktif dan murung, dan mengalami kesulitan tidur. Hal
ini dapat ditingkatkan dengan mengambil dosis kortikosteroid sore hari
lebih awal. Beberapa anak pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang air
kecil beberapa kali di malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk
tidur. Keterkaitan dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit
masalah (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

2.13 DAMPAK SLE UNTUK ANAK DAN KELUARGA


Ketika diagnosis ditegakkan, kemampuan sumber daya keluarga dan
dukungan sangat diperlukan. Pendidikan sering merupakan langkah pertama
dalam membantu keluarga merasa bahwa mereka memiliki kontrol. Hal ini
penting untuk diingat untuk tidak terlalu membebani keluarga pada beberapa
kunjungan pertama setelah diagnosis. Perawat dapat memainkan peran kunci
dalam membantu mereka dengan belajar tentang penyakit dengan sering
telepon tindak lanjut dan kunjungan. Informasi tertulis dan review dari
penyakit dan efek samping pengobatan yang sering diperlukan (Malleson,
Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Remaja sering memberikan tantangan yang unik karena mereka dapat
menggunakan penyangkalan sebagai mekanisme koping. Hal ini tidak selalu
mekanisme buruk, tetapi bisa membuat frustasi bagi anggota keluarga.
Sebagian besar anak mampu bersekolah penuh waktu. Banyak yang memilih
untuk tidak memberitahu teman-teman atau guru tentang penyakit mereka.
Seringkali remaja akan melanjutkan semua kegiatan mereka sebelumnya
karena mereka tidak ingin berbeda dari yang lain (Malleson, Pete; Tekano,
Jenny. 2007).
Seringkali kronisitas SLE tidak sepenuhnya dipahami oleh keluarga
atau anak hingga memasuki tahun kedua atau ketiga setelah diagnosis. Saat
ini, meskipun penyakit ini mungkin terkontrol baik dengan obat dan hanya
sedikit obat yang diperlukan, dukungan dan pendidikan yang lebih lanjut

22
diperlukan. Ketidakpastian SLE, di mana seorang anak dapat berjalan dengan
baik selama beberapa tahun dan kemudian memiliki flare dari penyakit
mereka, sangat menegangkan. Hal ini kembali memperkuat kronisitas SLE
dan keluarga mungkin memiliki waktu yang lebih sulit menghadapi flare
penyakit daripada di diagnosis asli. Sebuah hubungan saling percaya dengan
tim perawatan medis sangat penting dengan komunikasi terbuka dan jujur
dengan baik anak dan orang tua (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007). Anak-
anak dengan SLE dan keluarga mereka memerlukan tim kesehatan
profesional untuk membantu mereka melalui sampai dewasa. Sebagai anak-
anak bertambah tua adalah penting bahwa tim kesehatan mendorong keluarga
untuk memberikan peningkatan kontrol manajemen penyakit pada anak. Ini
transisi dari manajemen penyakit dari orang tua kepada anak dapat dibantu
dengan memiliki transisi yang klinik remaja spesifik dijalankan bersama oleh
anak dewasa dan dokter. Ketidakpastian lupus dengan flare dan remisi berarti
bahwa pemantauan ketat akan selalu dibutuhkan, tetapi banyak anak
beradaptasi dengan tantangan ini dan tidak membiarkan Penyakit mereka
mengganggu berlebihan dengan kehidupan mereka. Hal ini dapat sangat
diperlukan penghargaan untuk membantu tumbuh menjadi orang-orang
dewasa yang sehat sukses (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

23
BAB III
TINJAUAN KASUS

An M, Perempuan, Usia 13 Tahun dirawat di Ruang Anak RSUD Raden


Mattaher Jambi sejak 5 hari yang lalu dengan keluhan demam sejak 3 minggu
yang lalu, demam dirasakan hilang timbul, klien mengeluh lemas, sendi terasa
nyeri, rambut rontok sejak 3 minggu yang lalu. Pada saat dilakukan pengkajian
tampak butterfly rash pada wajah dan pada daerah T-face. Ekstremitas teraba
hangat dengan suhu 38 0c, klien masih merasakan nyeri sendi-sendi seluruh
tubuhnya dengan skala nyeri 7, nyeri sendi yang dirasakan terasa lebih nyeri pagi
hari saat bangun tidur. Pada seluruh tubuh juga tampak rash.

Hasil pemeriksaan lab: Hb: 9,9 g/dl, hematokrit 30 g/dl, leukosit 3,7 rb/ul,
trombosit 166.000/ul dan LED 44 mm. Dari hasil pemeriksaan SGOT 95 g/dl,
SGPT 42, albumin 3,20 g/dl, globulin 2,90 g/dl, ureum darah 11 mg/dl, kreatinin
darah 0,2 mg/dl. Hasil Urinalisa menunjukkan epitel positif (+), protein urin
kuantitatif 229 mg/24 jam dan hasil pemeriksaan double stranded DNA
menunjukkan hasil positif.

Saat ini pasien mendapatkan terapi infus kaen I B 20 tts/mnt, Ibuprofen 3x 400
mg, omeprazole 1x40 mg, meftin syrup 2x5 ml, Lactulax syrup 3x5 ml, sunblock
SPF 30.

3.1 STEP I (IDENTIFIKASI ISTILAH SULIT)


1. Batterflay rash
2. Pemeriksaan double stranded DNA
3. Protein urin kuantitatif
4. SGOT
5. Lactulax syrup
6. Meftin
7. Infus kaen I B
8. Daerat T face
9. Globulin
10. Ibuprofen
11. Sunblock SPF

24
Jawaban

1. Merupakan suatu penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi kronis.


Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat system kekebalan tubuh salah
menyerang jaringan sehat .penyakit ini merupakan penyakit multi system
dan sel mengalami kerusakan yang di mediasi oleh autoantibodi pengikat
jaringan dan kompleks imun
2. Mengetahui hubungan antara antibodi anti ds-DNA dengan mortalitas
pasien merupakan penyakit autoimun yang bersifat sistemik.( SLE ) pasien
yang berusia kurang dari 18 tahun .
3. Protein urine adalah suatu kondisi dimana terlalu banyak protein dalam
urine dari adanya kerusakan ginjal. Ekskresi protein urine normal hingga
150 mg/hari. Oleh Karen itu, jika jumlah protein dalam urine menjadi
abnormal, maka dianggap sebagai tanda awal penyakit ginjal atau penyakit
sistemik yang signifikan. Jika kadar gula darah tinggi selama beberapa
tahun kerusakan ginjal, maka kemungkinan akan terlalu banyak albumin
akan hilang dari darah. Proteinuria merupakan tanda bahwa ginjal telah
menjadi rusak (Bandiyah, 2009).
4. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau juga dinamakan
AST (Aspartat Amino transferase) merupakan enzim yang dijumpai dalam
otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada
otot rangka, ginjal dan pankreas. Konsentrasi rendah dijumpai dalam
darah, kecuali jika terjadi cedera seluler, kemudian dalam jumlah banyak
dilepaskan kedalam sirkulasi dalam darah .
5. LACTULAX SIRUP mengandung lactulosa yang merupakan gula yang
tidak terserap dan memiliki aroma rasa cokelat. Lactulax Sirup bekerja
dengan cara menarik cairan kedalam tubuh agar feses menjadi lebih lunak,
mengubah keasaman feses, serta membantu mencegah pertumbuhan
bakteri dalam usus.
6. Meptin merupakan obat yang digunakan untuk meringankan gejala-gejala
asma dengan cepat pada saat serangan asma berlangsung dan mampu
mengobati Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Meptin mengandung
zat aktif Procaterol HCl yaitu obat golongan bronkodilator (agonisselektif

25
beta-2 adrenergik) yang bekerja dengan cara melemaskan otot-otot di
sekitar saluran pernafasan yang menyempit sehingga oksigen dapat
mengalis lebih lancar menuju paru-paru.
7. Ka-En 1B Infusion di indikasikan untuk perawatan Cairan dan nutrisi
pengganti, Kadar natrium yang rendah, Kadar kalium rendah, Kadar
magnesium yang rendah, Tingkat kalsium yang rendah, Darah dan
kehilangan cairan dan kondisi lainnya.
8. Pengenalan wajah adalah teknologi komputer untuk menentukan lokasi
wajah, ukuran wajah, deteksi fitur wajah dan pengabaian citra latar,
selanjutnya dilakukan identifikasi citra wajah.
9. Immunoglobulin berperan dalam mekanisme pertahanan, dan terbagi atas
lima kelas yaitu: IgA merupakan immunoglobulin yang banyak ditemukan
pada sekret dalam sistem pernafasan, pencernaan, dan saluran kemih. IgD
memiliki jumlah yang sedikit, tetapi fungsinya tidak diketahui IgE
merupakan immunoglobulin yang berperan pada infeksi cacing, tetapi
konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan alergi. IgG merupakan
immunoglobulin yang paling banyak jumlahnya dan berperan dalam
menyerang patogen seperti bakteri. IgM banyak ditemukan sebagai hasil
infeksi, lalu jumlahnya akan berkurang.
10. Sebagai obat non-steroid anti-inflamasi (NSAID) yang mengurangi sakit,
demam dan inflamasi. Digunakan sebagai inhibitor
siklooksigenaseselektif (IC50=14,9uM). Dapat menghambat PGH
synthase-1 dan PGH synthesa-2 dengan potensi yang dapat
diperbandingkan.
11. Sunblock mengandung mineral seperti zinc oxide atau titanium dioxide
yang membangun lapisan di atas permukaan kulit, berfungsi sebagai
dinding penghalang kulit dari sinar matahari. Tekstur lotion sunblock
lebih kental, berwarna putih susu, dan dapat terlihat jelas oleh mata.
Sunblock adalah rekomendasi perlindungan terbaik jika Anda memiliki
aktivitas berjam-jam di bawah sengatan matahari, seperti berenang atau
bermain di pantai.

3.2 STEP II (IDENTIFIKASI MASALAH)

26
1. Alasan diberikan sunblock spf 30 pada pasien.?

2. Mengapa pasien lebih terasa nyeri pada pagi hari.?

3. Apakah penderita lupus bole konsumsi vitamin kulit.?

4. Apa masalah keperawatan pada kasus .?

5. Pendidikan kesehatan pada kasus.?

6. Apa yang menyebabkan pasien merasakan demam hilang timbul.?

7. Interprestasi hasil lab.?

8. Apa yang menyebabkan pasien rambut rontok.?

9. Pemeriksaan penunjang selain kasus.?

10. Makanan yang tidak di konsumsi untuk memperparah kondisi pasien.?

3.3 STEP III (ANALISA MASALAH)


1. merupakan singkatan dari Sun Protection Factor. SPF dalam sebuah
produk pelindung matahari akan memberitahu Anda sebaika paproduk
tersebut dalam melindungi kulit Anda dari sengatan matahari. Angka SPF
adalah penentu seberapa lama Anda dapat berada di bawah sinar matahari
tanpa terbakar selama memakai produk tersebut. Jadi, jika biasanya Anda
membutuhkan waktu sekitar 15 menit sampai kulit Anda mulai terbakar
matahari tanpa dilindungi apapun, dan Anda menggunakan SPF 10, produk
tersebut akan memperpanjang waktu Anda hingga 10 kali lipat lebih lama
sebelum terbakar, atau 15×10 menit = 150 menit alias 2,5 jam. Jika kulit
Anda biasanya terbakar matahari dalam 10 menit jika tidak pakai krim
pelindung, dan Anda menggunakan SPF 30, maka krim ini akan
melindungi Anda dari paparan matahari selama 300 menit. Dan seterusnya.

2. Lo

3. Lo

4. Diagnosa keperawatan

27
a. nyeri akut
b. hipertermi
c. kerusakan integritas kulit
d. defisit pengetahuan
e. intoleransi aktifitas
f. hambatan mobilitas fisik
g. resiko infeksi
h. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

5. a. memberikan pengertian tentang penyakit lupus


b. memberi tahu tentang penyakit lupus
c. memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien lupus

6. LO

7. Interpretasi hasil lab


 HB : 9,9 g/dl (menurun)
 HT : 30 g/dl (menurun)
 Leukosit : 3,7 rb/ul (menurun)
 Trombosit : 166.000/ul (menurun)
 LED : 44 mm
 SGOT : 95 g/dl (meningkat)
 SGPT : 42, (meningkat)
 Albumin : 3,20 g/dl
 Globulin :2,90 g/dl (normal)
 ureum darah : 11 mg (normal)

8. a. tanda gejala awal dari lupus


b. adanya peradangan
c. adanya nyeri
d. adanya demam

9. Pemeriksaan penunjang
a. Perhitungan sel darah lengkap
b. analisa urin
c. pemeriksaan ANA
d. Pemeriksaan imunologi
e. tes komplemen C3 dan C4

10. a. Makanan yang mengandung lemak jenuh

b. makanan yang mengandung natrium terlalu banyak

28
c. makanan dengan campuran bawang

3.4 STEP IV (MIND MAPPING)

Definisi LUPUS Terapi :


Penyakit Infus
lupus ibuprofen
omeprazol
Tanda dan gejala : meftin syrup
Rambut rontok, lactulax
Etiologi : nyeri disaat bangun sunblock
tidur, butterfly rash,
Nyeri sendi, demam
patifisologi hilang timbul,
lemas.
Dx kasus :

1. Nyeri akut
klasifikasi 2. Hipertermi
1. Pemeriksaan Lab 3. Kerusakan
darah lengkap integritas kulit
:SGOT, SGPT, 4.defisit
pencegahan albumin, Pengetahuan
globulin, ureum 5. intoleransi
darah, kreatinin. aktivitas
2. Urinalisa 6. hambatan
Askep Pemeriksaan mobiitas fisik
penunjang 7. Resiko infeksi
Ds DNA

29
3.5 STEP V (LEARNING OBJECTIV)
Lo step 2 no : 2,3 dan 6

2. Mengapa pasien lebih terasa nyeri pada pagi hari?

3. Apakah penderita lupus boleh konsumsi vitamin kulit?

6. Apa yang menyebabkan pasien merasakan demam hilang timbul?

Jawaban :

2. Nyeri dan pembengkakan di sendi serta kekakuan dipagi hari merupakan


tanda klasik penyakit lupus. Rasa nyeri paling sering muncul
dipergelangan tangan, buku jari, dan jari – jari. Nyeri ini juga kerap
disamakan dengan rheumatoid arthitis (RA). Bedanya, pada lupus biasanya
memengaruhi sendi di satu sisi. Selain itu pembengkakan dan rasa nyeri ini
cenderung datang dan pergi, tidak bertambah parah dari hari ke hari seperti
rematik. Rasa nyeri juga dapat berpindah dengan cepat dari sendi satu ke
sendi yang lain. Tetapi SLE umumnya tidak menyebabkan kerusakan atau
cacat permanen pada persendian.

3. Tidak boleh, karena lupus dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk
ginjal, sehingga konsumsi obat atau vitamin jika tanpa resep dari dokter
sebaiknya dihindari karena akan meningkatkan beban kerja untuk ginjal.
Lupus merupakan penyakit autoimun yaitu sistem pertahanan tubuh yang
seharusnya melindungi dari berbagai macam penyakit, menyerang dirinya
sendiri, sehingga bisa menyebabkan keluhan dari banyak organ seperti
ginjal, sendi, rambut, mukosa mulut, jantung dan organ lainnya.

6. Penyebab demam pasien lupus hilang timbul yaitu karena orang yang
terkena penyakit lupus sering kali mengalami demam hilang timbul lebih
dari 38 C. Hal ini terjadi sebagai respon tubuh terhadap peradangan dan
infeksi oleh karena itu, suhu tubuh akan meningkat melebihi normal.

30
3.6 ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS SLE
1. Pengkajian
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik di
fokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah di alami. Seperti
keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam / panas, anoreksia
efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura, lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
d. Sistem musculoskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
e. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam yang berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung dan pipi.
f. Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritomatous dan parpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosit.
h. Sistem renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem syaraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea atau manifestasi SPP lainnya.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
b. Keletihan b/d peningkatan aktifitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
c. Ganggun integritas kulit b/d perubahan fungsi, ballier kulit,
penumpukan, kompleks imun.

31
d. Kerusakan mobilitas fisik b/d penurunan rentang gerak, kelemahan otot,
rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
e. Gangguan citra tubuh b/d perubahan dan ketergantungan fisik serta
fisiologis yang di akibatkan penyakit kronik.

3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan: perbaikan dalam tingkat kenyamanan.
Intervensi:

1) Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan


(kompres panas/dingin, masase, perubahan posisi, istirahat, kasur
busa, bantal penyangga, bidai, teknik relaksasi, aktivitas yang
mengalihkan perhatian)

2) Berikan preparat anti inflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.

3) Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien


terhadap penatalaksanaan nyeri.

4) Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri


serta sifat kronik penyakitnya.

5) Jelaskan patofisiologi nyeri dan membantu pasien untuk menyadari


bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang
belum terbukti manfaatnya.

6) Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa


pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti
manfaatnya.

7) Lakukan penilaian terhadap perubahan subyek pada rasa nyeri.

b. Keletihan b/d peningkatan aktifitas penyakit, rasa nyeri, depresi


Tujuan: mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup
sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi:

32
1) Berikan penjelasan tentang keletihan.

a) Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan.

b) Menjelaskan tindakan untuk memberi kenyamanan sementara


melaksanakannya.

c) Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres


sistemik, artikuler dan emosional.

d) Menjelaskan cara menggunakan teknik-teknik untuk menghemat


tenaga.

e) Kelainan faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan


kelelahan.

2) Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas / istirahat yang tepat.

3) Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.

4) Rujuk dan dorong program kondisioning.

5) Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan
suplemen.

c. Gangguan integritas kulit b/d perubahan fungsi, ballier kulit,


penumpukan, kompleks imun.
Tujuan: pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi:

1) Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan makserasi.

2) Hilangkan kelembaban dari kulit.

3) Jaga dengan cermat terhadap risiko terjadinya cedera akibat


penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.

33
4) Nasihati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir
surya.

5) Kolaborasi pemberian NSAID dan kostikosteroid.

d. Kerusakan mobilitas fisik b/d penurunan rentang gerak, kelemahan otot,


rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan: mendapat dan mempertahankan mobilitas fungsional yang
optimal.
Intervensi:
1) Dorong verbalisasi yang berkenan dengan keterbatasan dalam
mobilitas.

2) Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi ukupasi / fisioterapi.

a) Menekankan kisaran gerak pada sendi yang sakit.

b) Meningkatkan pemakaian alat bantu.

c) Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.

d) Menggunakan postur / pengaturan posisi yang tepat.

e) Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.

f) Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika


diperlukan.

g) Memberi waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas.

h) Memberikan kesempatan istirahat setelah melakukan aktivitas.

i) Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi.

e. Gangguan citra tubuh b/d perubahan dan ketergantungan fisik serta


fisiologis yang di akibatkan penyakit kronik.
Tujuan: mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan perubahan fisik
serta psikologi yang ditimbulkan penyakit.

34
Intervensi:
1) Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendali gejala
penyakit dan penanganannya.

2) Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut.

a) Membantu menilai situasi sekarang dan mengenali masalahnya.

b) Membantu mengenali mekanismenya koping pada masa lalu.

c) Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

4. Implementasi
Sesuai dengan intervensi.

5. Evaluasi
Sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil.

3.7 ASUHAN KEPERAWATAN KASUS


A. Pengkajian
Tanggal masuk :
Tanggal pengkajian :
Jam pengkajian :
Diagnosa masuk :
Jam masuk RS :
Nomor rekam medis :
Nama pengkaji :

1. Identitas Pasien
Nama : An.M
Umur : 13 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat tanggal lahir :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
Suku/bangsa :
Sumber biaya :

2. Identitas penanggung jawab


Nama :
Alama :

35
Pekerjaan :
Hub. dengan pasien :

3. Keluhan utama: Pasien mengeluh nyeri sendi, demam dan keletihan

4. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
Pasien tampak butterfly rash pada wajah dan pada daerah T-
0
face, ekstremitas teraba hangat dengan suhu 38 C. Klien masih
merasa nyeri sendi seluruh tubuhnya dengan skala 7,nyeri sendi yang
dirasakan terasa lebih nyeri pagi hari saat bangun tidur. Pada seluruh
tubuh tampak rash.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pasien dirawat sejak 5 hari yang lalu, demam dirasakan hilang
timbul, klien mengeluh lemas, sendi terasa nyeri, rambut rontok
sejak 3 minggu yang lalu.
c. Riwayat penyakit keluarga
Tidak terkaji

5. Observasi dan pemeriksaan fisik


a. Keadaan umum : lemah
b. Kesadaran :
c. TTV :
Tekanan darah :
Nadi :
Respirasi rate :
Suhu : 38 0 C
d. System kardiovaskuler :
e. System pernapasan :
f. System muskuloskletal : Merasakan nyeri sendi di seluruh tubuhnya
dengan skala 7, sendi terasa nyeri di pagi hari.
g. System persarapan :
h. System pencernaan :
i. Sistem penglihatan :
j. System pendengaran :
k. System integument : Tampak butterfly rash pada wajah daerah
T-face
l. System endokrin :
m. Pengkajian Psikososial
n. Personal Hygiene dan kebiasaan
o. Pengkajian spiritual

36
6. Pemeriksaan penunjang
a. Albumin : 3,20 g/dl
b. Hemoglobin : 9,9 gr/dl
c. Leukosit : 3,7 rb /ul
d. Hematokrit : 30 g/dl
e. LED : 44 mm
f. Trombosit : 166.000/ul
g. SGOT : 95 g/dl
h. SGPT : 42 g/dl
i. Globulin : 2.90 g/dl
j. Ureum darah : 11 mg/dl
k. Kreatinin darah : 0,2 mg/dl
l. Epitel positif (+)
m. Protein urine kuantitatif 229 mg/24 jam
n. Double stranded DNA menunjukkan hasil positif.

7. Terapi :
a. Infus kaen 1B 20 tpm
b. Ibuprofen 3 x 400 mg
c. Omeprazole 1 x 40 mg
d. Meftin syrup 2x 5 ml
e. Lactulax syrup 3x 5 ml
f. Sunblock SPF 30.

B. Analisa Data

Tgl/Jam Data kasus Problem Etiologi

18 DS : Pasien mengeluh Nyeri akut Kerusakan


Oktober demam, sendi terasa nyeri, jaringan
rambut rontok sejak 3 minggu
2019
lalu

DO :

1. Ekstremitas teraba
hangat 38 0 C
2. Nyeri sendi dengan
skala nyeri 7
3. Seluruh tubuh tampak
rash

37
18 Ds : Pasien mengeluh lemas Gangguan Sensitifitas
Oktober integritas kulit terhadap
Do :
cahaya
2019
1. Terdapat butterfly rash matahari
2. T-face pada wajah
3. Ekstremitas teraba proses dari
hangat 38 0 C penyakit lupus
4. Hb 9,9 g/dl
5. Ht 30 g/dl
6. Leukosit 3,7 rb/ul
7. Trombosit 166.000/ul
8. LED 44 mm

18 DS : pasien mengeluh demam Hipertermi Proses


Oktober penyakit lupus
DO :
2019
1. Badan teraba hangat
2. Suhu 38 0 C
3. Hb 9,9 g/dl
4. Ht 30 g/dl
5. Leukosit 3,7 rb/ul
6. Trombosit 166.000/ul
7. LED 44 mm
8. SGOT 95 g/dl
9. SGPT 42 g/dl
18 DS : Risiko Penyakit lupus
Oktober gangguan
DO :
pertumbuhan
2019
1. Hb 9,9 g/dl
2. Ht 30 g/dl
3. Leukosit 3,7 rb/ul
4. Trombosit 166.000/ul
5. LED 44 mm
6. SGOT 95 g/dl
7. SGPT 42 g/dl
8. Butterfly rash

18 DS : Defisit Kurang
Oktober pengetahuan terpaparnya
DO :
informasi
2019
1. pasien mengeluh

38
demam 3 minggu yang
lalu
2. Mengalami rontok
rambut 3 minggu yang
lalu

C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d kerusakan integritas tulang
2. Gangguan integritas kulit b.d sensitifitas terhadap cahaya matahari
proses dari penyakit lupus
3. Hipertermi b.d proses penyakit lupus
4. Risiko gangguan pertumbuhan b.d penyakit lupus
5. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi

D. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
1. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Laksanakan sejumlah
b.d tindakan keperawatan tindakan yang memberikan
kerusakan 3 x 24 jam diharapkan kenyamanan (kompres
integritas masalah nyeri akut hangat/dingin,perubahan
tulang teratasi posisi,istirahat,kasur
busa,teknik relaksasi)
2. Memberikan analgesik
sesuai yang dianjurkan
3. Sesuaikan jadwal
pengobatan untuk memenuhi
kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri
4. Dorong pasien untuk
mengutarakan perasaannya
tentang rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.
5. Memberikan terapi

39
relaksasi
6. Lakukan penilaian
terhadap perubahan subjek
pada rasa nyeri.
2. Gangguan Setelah dilakukan 1. Memberikan dukungan
integritas tindakan keperawatan perawatan diri
2. Melakukan pemberian obat
kulit b.d selama 3 x 24 jam
3. Memberikan edukasi
sensitifitas diharapkan masalah
perawatan diri
terhadap gangguan integritas 4. Memberikan obat kulit
5. Kolaborasi pemberian
cahaya kulit teratasi
NSAID dan kortikosteroid
matahari
6. Edukasi perawatan kulit
proses dari 7. Memonitor warna dan suhu
penyakit kulit
8. Memonitor ruam
lupus
9. Memonitor terjadinya infeksi

3. Hipertermi Setelah dilakukan 1. Monitor TTV


2. Memberikan edukasi
b.d proses tindakan keperawatan
pengukuran suhu tubuh
penyakit selama 3 x 24 jam
3. Memberikan program
lupus diharapkan masalah
pengobatan
hipertermi teratasi 4. Memberika kompres dingin
5. Melakukan pemberian obat
4. Risiko Setelah dilakukan 1. Manajemen nutrisi
2. Pemantauan nutrisi
gangguan tindakan keperawatan
3. Manajemen lingkungan
pertumbuha selama 3 x 24 jam
rkenyamanan lingkungan
n b.d diharapkan masalah 4. Melakukan edukasi berat
penyakit risiko gangguan badan efektif
5. Memberikan edukasi mencari
lupus pertumbuhan teratasi
kesehatan
5.1. Defisit Setelah dilakukan 1. Berikan penilaian tentang
pengetahuan tindakan keperawatan tingkat pengetahuan keluarga
b.d kurang selama 3 x 24 jam tentang proses penyakit yang
terpapar diharapkan masalah

40
informasi deficit pengetahuan spesifik
2. Jelaskan gambaran tanda dan
teratasi
gejala yang biasa muncul
pada penyakit dengan cara
yang tepat
3. Sediakan informasi pada
pasien tentang
4. Identifikasi kemungkinan
penyebab
5. Hindari harapan yang kosong

BAB IV

41
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun
yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia& Lorraine,
2006 ). Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
beberapafaktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
genetik, imun, hormonal dan lingkungan. Penyakit lupus atau systemic lupus
erythematosus (SLE) prevalensinya dalam populasi tertentu kira – kira satu
kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi pada perempuan (kira –
kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia subur. systemic
lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti
ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita
muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa
reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1).

4.2 Saran
Perawat atau tenaga medis lain yang memberikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan SLE yang diderita pasien setiap petugas medis di
harapkan saling berkolaborasi. Setiap Rumah sakit diharapkan memiliki dan
memberikan fasilitas yang memadai untuk menangani klien dengan keluhan
tersebut. Semoga makalah ini dapat menjadi rujukan bagi kita untuk bisa
memberikan layanan kesehatan khususnya pada pasien Lupus yang lebih
optimal lagi.

42
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth.2016.Keperawatan MedikalBedah.Jakarta : EGC

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions


Classifivation(NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook

forNursePractitioner. USA : Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses:


Definitions &Classification 2012-2014. UK: Wiley‐Blacwell, A John
Wiley & Sons Ltd

Kasjmir,Yoga dkk.(2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi


Indonesia UntukDiagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
PerhimpunanReumatologi Indonesia

Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2. Published


ByElsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.

Moorhead,S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing


OutcomesClassification (NOC) Fourth edition.St. Louis: Mosby
Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s
Essentials ofPediatric Nursing).ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009).Maternal-child nursing care:


optimizingoutcomes for mothers, children, and Families. United States of
America : F.A. DavisCompany

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern


strategies for management – a moving target. Best Practice & Research
ClinicalRheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007

43

Anda mungkin juga menyukai