PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1
1. Mengetahui apa Definisi SLE
2. Mengetahui Epidemiologi SLE
3. Mengetahui Etiologi SLE
4. Mengetahui Anatomi system immunitas SLE
5. Mengetahui Patogenesis SLE
6. Mengetahui bagaimana Patofisiologi SLE
7. Mengetahui Klasifikasi SLE
8. Mengetahui Manifestasi klinis SLE
9. Mengetahui Pathway SLE
10. Mengetahui Pemeriksaan penunjang SLE
11. Mengetahui Penatalaksanaan Medis SLE
12. Mengetahui Penatalaksanaan Keperawatan SLE
13. Mengetahui dampak SLE untuk anak dan keluarga
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan.
Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan
oleh gigitan anjing hutan.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang
disebabkan oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem
pertahanan tubuh yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri.Antara
jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah seperti kulit, jantung,
paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun
yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh.( Silvia& Lorraine,
2006 ).
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah,
penuakit ini terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan
jantung.(Robins, 2007)
2.2 EPIDEMIOLOGI
3
diantara 700 perempuan usia subur. systemic lupus erythematosus (SLE)
lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan
Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak
kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan
perbandingan wanita dan laki-laki 5:1).
Di Indonesia, data untuk kasus SLE masih belum ada yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002, berdasarkan data pasien yang
datang ke poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto
Mangunkosumo Jakarta, terdapat 1,4% kasus dari total seluruh kunjungan
pasien. Sedangkan unutuk RS Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5%
(291pasien) dari total pasien yang berkunjung ke poliklinik reumatologi pada
tahun 2010.
2.3 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum
diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya
penyakit SLE:
4
Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada
struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko
tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
5
2.3.3 Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor risiko terjadinya SLE.
6
2.5 PATOGENESIS
Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi
satu atau lebih jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi.
7
Beberapa, seperti anti - sel merah dan antibodi antiplatelet, jelas patogen,
sedangkan yang lain mungkin hanya penanda kerusakan toleransi. Etiologi
tetap misteri, tetapi seperti dalam banyak penyakit kronis, tampaknya
mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen lingkungan dalam
kecenderungan tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
8
infeksi HIV, dan penyakit autoimun termasuk lupus tampaknya menjadi
lebih umum ketika ada restorasi kompetensi kekebalan dengan
penggunaan obat anti retro virus yang sangat aktif (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2007).
2.6 PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga
timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan
siklus tersebut berulang kembali.
2.7 KLASIFIKASI
Ada tiga jenis type lupus :
9
2.7.2 Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapat menyebabkan inflamasi pada beberapa macam
organ. Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada
gangguan kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru,
ginjal, darah ataupun organ dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena.
SLE pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak
muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif
(flare).
10
Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja tidak
terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi
eksaserbasi dan remisi.
11
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya
keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto
dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs,
seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan
50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup
yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis
bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner
5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur
35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
2.8.6 Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian
besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan
kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30
tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
2.8.7 Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada
penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakan
keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya
kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia
dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak dijumpai pada
mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum.
Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak
dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT
ataupun fosfatase alkali dan LDH.
2.8.8 Manifestasi Hemopoetik
12
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan
anemia hemolitik autoimun.
2.8.9 Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai
manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan
pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti
sepsis, uremia, dan hipertensiberat. Manifestasi neuropsikiatri LES sangat
bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan
psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat
merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES.
Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai
psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis
cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi
(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak
kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.
2.8.10 Gejala klinis Lainnya
Gejala klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
d. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
13
i. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan terhadap adanya SLE jika terdapat dua atau lebih tanda
gejala diatas
2.9 PATHWAY
14
15
2.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.10.1 Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2.10.2 Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin
2.10.3 Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
2.10.4 PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
2.10.5 Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
2.10.6 Foto polos thorax
a. Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring
b. Setiap 3-6 bulan bila stabil
c. Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
SLE adalah tes ANA generik.Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada
pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA
dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun
16
(misalnya Mixedconnective tissue disease (MCTD), artritis reumatoid,
tiroiditis autoimun),keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA
negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan
penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah,
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang
terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA
dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran
klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah
tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm,
nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal
sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesifik
untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir
100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis
SLE dibandingkan dengan titer yang rendah.Jika titernya sangat rendah
mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.
17
melindungi kulit, serta melakukan latihan secara teratur. Pasien juga
memerlukan informasi tentang pengaturan diet agar tidak mengalami
kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Informasi yang
bisa diperlukan kepada pasien adalah:
1) Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
2) Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyakit
SLE
3) Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama
yang terkait dengan pengobatan steroid seperti osteoporosis,
kebutuhan istirahat, pemakaian alat bantu, pengaturan diet, serta
cara mengatasi infeksi
4) Masalah psikologis yaitu cara pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres, emosional, trauma psikis, masalah
terkait dengan hubungan dengan keluarga, serta cara mengatasi
nyeri.
5) Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan
yang lainnya. Kebutuhan pemberian vitamin dan mineral.
6) Kelompok pendukung bagi penderita SLE
7) Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis
akibat adanya anggota keluarga yang menderita SLE
b. Program rehabilitasi
Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk
mempertahankan kestabilan sendi karena jika pasien SLE diberikan
dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu dapat
mengakibatkan penurunan massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi,
dan teknis pelaksanaan program rehabilirasi melibatkan beberapa hal,
yaitu:
1) Istirahat
2) Terapi fisik
3) Terapi dengan modalitas
4) Ortotik, dan yang lainnya.
c. Pengobatan medikamentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasien SLE adalah:
1) OAINS
2) Kortikosteroid
3) Klorokuin
18
4) Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)
5) Azatioprin
6) Siklofosfamid
7) Metotreksat
8) Siklosporin A
9) Mikofenolat mofetil
Jenis obat yang paling umum digunakan adalah
kortikosteroid yang dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Namun, penggunaan kortikosteroid menimbulkan efek samping. Cara
mengurangi efek samping dari penggunaan kortikosteroid adalah
dengan mengurangi dosis obatnya segera setelah penyakit terkontrol.
Penurunan dosis harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
aktivitas penyakit muncul kembali dan terjadinya defisiensi kortikol
yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
kronis. Penurunan dosis yang dilakuakn secara bertahap akan
memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Penggunaan sparing
agen kortikosteroid dapat diberikan untuk memudahkan menurunkan
dosis kaortokosteroid dan mengobtrol penyakit dasarnya. Obat yang
sering digunakan sebagai sparing agen kortokosteroid adalah
azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid, danmetotrexate.
19
yang serius dari imunosupresi. Selama periode eksaserbasi, kortikosteroid
dapat dimulai dalam dosis tinggi. Setelah gejala di bawah kontrol,
dosisnya adalah meruncing ke terendah tingkat terapeutik. Hal ini penting
untuk memberitahu orang tua bahwa steroid harus perlahan meruncing
ketika saatnya untuk menghentikan obat.
Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE
parah termasuk agen imunosupresif. Obat-obat ini digunakan ketika
penyakitnya sudah mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda
parah dan gejala yang hadir. Agen Imunosupresif juga dapat ditentukan
jika ada kebutuhan untuk menghindari kortikosteroid.Keputusan untuk
menggunakan immunosuppressives membutuhkan pertimbangan serius
karena efek samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan
imunosupresi umum. Contoh agen imunosupresif digunakan dalam
pengobatan SLE termasuk azathioprine (Imuran), siklofosfamid (Cytoxan),
dan methotrexate (Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan
serius seperti depresi sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus
memperkuat informasi tentang aksi obat sebagai serta efek samping
dengan orangtua sebelum pemberian obat ini Selain obat-obatan , asuhan
keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif dan memberikan
dukungan psikososial. Sekarang penting bahwa mempertahankan gizi anak
yang baik , istirahat dan berolahraga , menghindari matahari , dan
mendorong ekspresi perasaan tentang kondisi tersebut. Meskipun tidak ada
yang spesifik, Diet untuk SLE adalah diet rendah garam.
Istirahat dan latihan termasuk periode di mana anak aktif selama
remisi dan beristirahat selama eksaserbasi . Penghindaran dari paparan
sinar matahari ditekankan karena fotosensitif ruam yang terjadi dengan
SLE . Penggunaan tabir surya kegiatan di luar ruangan yang penting , dan
perencanaan di bawah naungan atau tinggal di dalam rumah mungkin
diperlukan . Karena kondisi ini mungkin terjadi kesulitan bagi anak dan
keluarga untuk mengatasi dan mengerti, mendorong ekspresi perasaan atau
bergabung dengan kelompok pendukung didorong .orangtua harus
memberitahu guru, pelatih , dan orang lain tentang anak mereka kondisi
20
sehingga mereka dapat membantu memantau anak dan memperoleh
pengobatan yang diperlukan jika diperlukan . Merupakan perawat
tanggung jawab untuk membantu anak dan keluarga mengidentifikasi
kemungkinan pemicu , seperti sinar matahari dan stres emosional, dan
membantu keluarga untuk menemukan cara untuk menghindarinya. (Ward,
Susan L and Hisley, Shelton M. 2009)
2.12.2 Paparan sinar Matahari
Paparan sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan eksaserbasi ruam
lupus dan juga gejala-gejala sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan.
Ada laporan bahwa pasien yang secara teratur menggunakan tabir surya
(SPF 15 atau lebih) telah secara signifikan lebih rendah keterlibatan ginjal,
trombositopenia dan rawat inap, dan membutuhkan treatment
siklofosfamid yang menurun.Semua anak dengan SLE harus disarankan
untuk memakai tabir surya setiap hari untuk semua kulit yang terbuka
(termasuk telinga), tidak hanya pada hari-hari cerah karena awan tidak
menghilangkan paparan sinar UV (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
21
baik dan perilaku tidur. Beberapa pola tidur anak-anak bisa berubah pada
awal SLE. Hal ini biasanya berhubungan dengan kortikosteroid. Beberapa
anak menjadi hiperaktif dan murung, dan mengalami kesulitan tidur. Hal
ini dapat ditingkatkan dengan mengambil dosis kortikosteroid sore hari
lebih awal. Beberapa anak pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang air
kecil beberapa kali di malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk
tidur. Keterkaitan dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit
masalah (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
22
diperlukan. Ketidakpastian SLE, di mana seorang anak dapat berjalan dengan
baik selama beberapa tahun dan kemudian memiliki flare dari penyakit
mereka, sangat menegangkan. Hal ini kembali memperkuat kronisitas SLE
dan keluarga mungkin memiliki waktu yang lebih sulit menghadapi flare
penyakit daripada di diagnosis asli. Sebuah hubungan saling percaya dengan
tim perawatan medis sangat penting dengan komunikasi terbuka dan jujur
dengan baik anak dan orang tua (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007). Anak-
anak dengan SLE dan keluarga mereka memerlukan tim kesehatan
profesional untuk membantu mereka melalui sampai dewasa. Sebagai anak-
anak bertambah tua adalah penting bahwa tim kesehatan mendorong keluarga
untuk memberikan peningkatan kontrol manajemen penyakit pada anak. Ini
transisi dari manajemen penyakit dari orang tua kepada anak dapat dibantu
dengan memiliki transisi yang klinik remaja spesifik dijalankan bersama oleh
anak dewasa dan dokter. Ketidakpastian lupus dengan flare dan remisi berarti
bahwa pemantauan ketat akan selalu dibutuhkan, tetapi banyak anak
beradaptasi dengan tantangan ini dan tidak membiarkan Penyakit mereka
mengganggu berlebihan dengan kehidupan mereka. Hal ini dapat sangat
diperlukan penghargaan untuk membantu tumbuh menjadi orang-orang
dewasa yang sehat sukses (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
23
BAB III
TINJAUAN KASUS
Hasil pemeriksaan lab: Hb: 9,9 g/dl, hematokrit 30 g/dl, leukosit 3,7 rb/ul,
trombosit 166.000/ul dan LED 44 mm. Dari hasil pemeriksaan SGOT 95 g/dl,
SGPT 42, albumin 3,20 g/dl, globulin 2,90 g/dl, ureum darah 11 mg/dl, kreatinin
darah 0,2 mg/dl. Hasil Urinalisa menunjukkan epitel positif (+), protein urin
kuantitatif 229 mg/24 jam dan hasil pemeriksaan double stranded DNA
menunjukkan hasil positif.
Saat ini pasien mendapatkan terapi infus kaen I B 20 tts/mnt, Ibuprofen 3x 400
mg, omeprazole 1x40 mg, meftin syrup 2x5 ml, Lactulax syrup 3x5 ml, sunblock
SPF 30.
24
Jawaban
25
beta-2 adrenergik) yang bekerja dengan cara melemaskan otot-otot di
sekitar saluran pernafasan yang menyempit sehingga oksigen dapat
mengalis lebih lancar menuju paru-paru.
7. Ka-En 1B Infusion di indikasikan untuk perawatan Cairan dan nutrisi
pengganti, Kadar natrium yang rendah, Kadar kalium rendah, Kadar
magnesium yang rendah, Tingkat kalsium yang rendah, Darah dan
kehilangan cairan dan kondisi lainnya.
8. Pengenalan wajah adalah teknologi komputer untuk menentukan lokasi
wajah, ukuran wajah, deteksi fitur wajah dan pengabaian citra latar,
selanjutnya dilakukan identifikasi citra wajah.
9. Immunoglobulin berperan dalam mekanisme pertahanan, dan terbagi atas
lima kelas yaitu: IgA merupakan immunoglobulin yang banyak ditemukan
pada sekret dalam sistem pernafasan, pencernaan, dan saluran kemih. IgD
memiliki jumlah yang sedikit, tetapi fungsinya tidak diketahui IgE
merupakan immunoglobulin yang berperan pada infeksi cacing, tetapi
konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan alergi. IgG merupakan
immunoglobulin yang paling banyak jumlahnya dan berperan dalam
menyerang patogen seperti bakteri. IgM banyak ditemukan sebagai hasil
infeksi, lalu jumlahnya akan berkurang.
10. Sebagai obat non-steroid anti-inflamasi (NSAID) yang mengurangi sakit,
demam dan inflamasi. Digunakan sebagai inhibitor
siklooksigenaseselektif (IC50=14,9uM). Dapat menghambat PGH
synthase-1 dan PGH synthesa-2 dengan potensi yang dapat
diperbandingkan.
11. Sunblock mengandung mineral seperti zinc oxide atau titanium dioxide
yang membangun lapisan di atas permukaan kulit, berfungsi sebagai
dinding penghalang kulit dari sinar matahari. Tekstur lotion sunblock
lebih kental, berwarna putih susu, dan dapat terlihat jelas oleh mata.
Sunblock adalah rekomendasi perlindungan terbaik jika Anda memiliki
aktivitas berjam-jam di bawah sengatan matahari, seperti berenang atau
bermain di pantai.
26
1. Alasan diberikan sunblock spf 30 pada pasien.?
2. Lo
3. Lo
4. Diagnosa keperawatan
27
a. nyeri akut
b. hipertermi
c. kerusakan integritas kulit
d. defisit pengetahuan
e. intoleransi aktifitas
f. hambatan mobilitas fisik
g. resiko infeksi
h. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. LO
9. Pemeriksaan penunjang
a. Perhitungan sel darah lengkap
b. analisa urin
c. pemeriksaan ANA
d. Pemeriksaan imunologi
e. tes komplemen C3 dan C4
28
c. makanan dengan campuran bawang
1. Nyeri akut
klasifikasi 2. Hipertermi
1. Pemeriksaan Lab 3. Kerusakan
darah lengkap integritas kulit
:SGOT, SGPT, 4.defisit
pencegahan albumin, Pengetahuan
globulin, ureum 5. intoleransi
darah, kreatinin. aktivitas
2. Urinalisa 6. hambatan
Askep Pemeriksaan mobiitas fisik
penunjang 7. Resiko infeksi
Ds DNA
29
3.5 STEP V (LEARNING OBJECTIV)
Lo step 2 no : 2,3 dan 6
Jawaban :
3. Tidak boleh, karena lupus dapat menyerang seluruh organ tubuh termasuk
ginjal, sehingga konsumsi obat atau vitamin jika tanpa resep dari dokter
sebaiknya dihindari karena akan meningkatkan beban kerja untuk ginjal.
Lupus merupakan penyakit autoimun yaitu sistem pertahanan tubuh yang
seharusnya melindungi dari berbagai macam penyakit, menyerang dirinya
sendiri, sehingga bisa menyebabkan keluhan dari banyak organ seperti
ginjal, sendi, rambut, mukosa mulut, jantung dan organ lainnya.
6. Penyebab demam pasien lupus hilang timbul yaitu karena orang yang
terkena penyakit lupus sering kali mengalami demam hilang timbul lebih
dari 38 C. Hal ini terjadi sebagai respon tubuh terhadap peradangan dan
infeksi oleh karena itu, suhu tubuh akan meningkat melebihi normal.
30
3.6 ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS SLE
1. Pengkajian
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik di
fokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah di alami. Seperti
keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam / panas, anoreksia
efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rup perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura, lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
d. Sistem musculoskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.
e. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam yang berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung dan pipi.
f. Sistem pernapasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritomatous dan parpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosit.
h. Sistem renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem syaraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea atau manifestasi SPP lainnya.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
b. Keletihan b/d peningkatan aktifitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
c. Ganggun integritas kulit b/d perubahan fungsi, ballier kulit,
penumpukan, kompleks imun.
31
d. Kerusakan mobilitas fisik b/d penurunan rentang gerak, kelemahan otot,
rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
e. Gangguan citra tubuh b/d perubahan dan ketergantungan fisik serta
fisiologis yang di akibatkan penyakit kronik.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan: perbaikan dalam tingkat kenyamanan.
Intervensi:
32
1) Berikan penjelasan tentang keletihan.
5) Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan
suplemen.
33
4) Nasihati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir
surya.
34
Intervensi:
1) Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendali gejala
penyakit dan penanganannya.
4. Implementasi
Sesuai dengan intervensi.
5. Evaluasi
Sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil.
1. Identitas Pasien
Nama : An.M
Umur : 13 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat tanggal lahir :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
Suku/bangsa :
Sumber biaya :
35
Pekerjaan :
Hub. dengan pasien :
4. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
Pasien tampak butterfly rash pada wajah dan pada daerah T-
0
face, ekstremitas teraba hangat dengan suhu 38 C. Klien masih
merasa nyeri sendi seluruh tubuhnya dengan skala 7,nyeri sendi yang
dirasakan terasa lebih nyeri pagi hari saat bangun tidur. Pada seluruh
tubuh tampak rash.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pasien dirawat sejak 5 hari yang lalu, demam dirasakan hilang
timbul, klien mengeluh lemas, sendi terasa nyeri, rambut rontok
sejak 3 minggu yang lalu.
c. Riwayat penyakit keluarga
Tidak terkaji
36
6. Pemeriksaan penunjang
a. Albumin : 3,20 g/dl
b. Hemoglobin : 9,9 gr/dl
c. Leukosit : 3,7 rb /ul
d. Hematokrit : 30 g/dl
e. LED : 44 mm
f. Trombosit : 166.000/ul
g. SGOT : 95 g/dl
h. SGPT : 42 g/dl
i. Globulin : 2.90 g/dl
j. Ureum darah : 11 mg/dl
k. Kreatinin darah : 0,2 mg/dl
l. Epitel positif (+)
m. Protein urine kuantitatif 229 mg/24 jam
n. Double stranded DNA menunjukkan hasil positif.
7. Terapi :
a. Infus kaen 1B 20 tpm
b. Ibuprofen 3 x 400 mg
c. Omeprazole 1 x 40 mg
d. Meftin syrup 2x 5 ml
e. Lactulax syrup 3x 5 ml
f. Sunblock SPF 30.
B. Analisa Data
DO :
1. Ekstremitas teraba
hangat 38 0 C
2. Nyeri sendi dengan
skala nyeri 7
3. Seluruh tubuh tampak
rash
37
18 Ds : Pasien mengeluh lemas Gangguan Sensitifitas
Oktober integritas kulit terhadap
Do :
cahaya
2019
1. Terdapat butterfly rash matahari
2. T-face pada wajah
3. Ekstremitas teraba proses dari
hangat 38 0 C penyakit lupus
4. Hb 9,9 g/dl
5. Ht 30 g/dl
6. Leukosit 3,7 rb/ul
7. Trombosit 166.000/ul
8. LED 44 mm
18 DS : Defisit Kurang
Oktober pengetahuan terpaparnya
DO :
informasi
2019
1. pasien mengeluh
38
demam 3 minggu yang
lalu
2. Mengalami rontok
rambut 3 minggu yang
lalu
C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d kerusakan integritas tulang
2. Gangguan integritas kulit b.d sensitifitas terhadap cahaya matahari
proses dari penyakit lupus
3. Hipertermi b.d proses penyakit lupus
4. Risiko gangguan pertumbuhan b.d penyakit lupus
5. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi
D. Intervensi Keperawatan
39
relaksasi
6. Lakukan penilaian
terhadap perubahan subjek
pada rasa nyeri.
2. Gangguan Setelah dilakukan 1. Memberikan dukungan
integritas tindakan keperawatan perawatan diri
2. Melakukan pemberian obat
kulit b.d selama 3 x 24 jam
3. Memberikan edukasi
sensitifitas diharapkan masalah
perawatan diri
terhadap gangguan integritas 4. Memberikan obat kulit
5. Kolaborasi pemberian
cahaya kulit teratasi
NSAID dan kortikosteroid
matahari
6. Edukasi perawatan kulit
proses dari 7. Memonitor warna dan suhu
penyakit kulit
8. Memonitor ruam
lupus
9. Memonitor terjadinya infeksi
40
informasi deficit pengetahuan spesifik
2. Jelaskan gambaran tanda dan
teratasi
gejala yang biasa muncul
pada penyakit dengan cara
yang tepat
3. Sediakan informasi pada
pasien tentang
4. Identifikasi kemungkinan
penyebab
5. Hindari harapan yang kosong
BAB IV
41
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun
yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia& Lorraine,
2006 ). Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
beberapafaktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
genetik, imun, hormonal dan lingkungan. Penyakit lupus atau systemic lupus
erythematosus (SLE) prevalensinya dalam populasi tertentu kira – kira satu
kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi pada perempuan (kira –
kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia subur. systemic
lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti
ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita
muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa
reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1).
4.2 Saran
Perawat atau tenaga medis lain yang memberikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan SLE yang diderita pasien setiap petugas medis di
harapkan saling berkolaborasi. Setiap Rumah sakit diharapkan memiliki dan
memberikan fasilitas yang memadai untuk menangani klien dengan keluhan
tersebut. Semoga makalah ini dapat menjadi rujukan bagi kita untuk bisa
memberikan layanan kesehatan khususnya pada pasien Lupus yang lebih
optimal lagi.
42
DAFTAR PUSTAKA
Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s
Essentials ofPediatric Nursing).ED.6. Jakarta: EGC
43