Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan (1) Definisi, (2) klasifikasi, (3) Etiologi, (4) Tanda dan gejala, (5)
Patofisiologi, (6) Pemeriksaan penunjang, (7) Penatalaksanaan medis, (8) penatalaksanaan
keperawatan , (9) Konsep asuhan keperawatan. Berikut ini penjelasan masing-masing
subbahasan tersebut.

2.1 Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus
pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit.
kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Menurut Farkhati
(2012) SLE merupakan penyakit autoimun yang bersifat sistemik. Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah gangguan imun radang kronis yang mempengaruhi kulit dan
orga tubuh lain.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit radang atau imflamasi


multisystem yang disebabkan oleh banyak faktor dan di karakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan. Terbentuknya autoantibodi terhadap Double Stranded Deoxyribose-Nucleid
Acid (dsDNA), berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah fisfolipid
dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanisme pengaktifan komplemen (
Hasdianah dkk 2014). Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit
autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan
pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi
periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang
muncul dan organ yang terlibat.

2.2 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, Systemic
Lupus Erythematosus, dan Lupus yang diindikasi obat :
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakra dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiectasia. Lesi ini timbul dikulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena
lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya
apendiks kulit secara menetap (Hasdianah dkk, 2014).
2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang ditandai dengan
produksi antibodi yang berlebihan terhadap komponen inti sel, dan menimbulkan
berbagai macam manifestasi klinis pada organ (Cleanthous, Tyagi, Isenberg, &
Newman, 2012).
3. Lupus yang diindikasi obat
Lupus disebakan oleh indikasi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen Human Leukocyte Antigen D Related (HLA DR-4) menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi ditubuh protein tubuh. Hal ini
di respon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibody antikulear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Hasdianah dkk,
2014).
4. Sindroma Overlap Undifferentiated Connentive Tissue (UCTD) dan Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD). Gejala LES disertai gejala penyakit autoimun lain (contoh:
artritis reumatoid, skleroderma, miositis)

2.3 Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum
diketahui, namun beberapa factor predisposisi
dapat berperan dalam patogenesis terjadinya
penyakit ini. Diantara beberapa faktor
predisposisi tersebut, sampai saat ini belum
diketahui faktor yang paling dominan berperan
dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini
beberapa faktor predisposisi yang berperan
dalam timbulnya penyakit SLE:
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun
abnormal sehingga timbul produk autoantibodi
yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar
2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,
risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.
b. Faktor Imunologi Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,
yaitu :
1. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal
ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenali perintah dari sel T.
2. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B
adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan
sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
3. Kelainan antibody Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibody yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat
estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut
terdiri dari:
1. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan
dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah.
3. Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
4. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
2.4 Tanda dan gejala
Dapat muncul pada berbagai sistem organ:
a. Muskuloskeletal (anggota gerak)
b. Mukokutan (kulit)
c. Ginjal
d. Hematologi (sel-sel darah)
e. Neuropsikiatri (sistem saraf)
f. Kardiorespirasi (jantung dan paru)

Organ dengan keterlibatan terbanyak:


1. Muskuloskeletal: nyeri sendi, peradangan sendi
2. Mukokutan: ruam pada pipi, sensitivitas terhadap sinar matahari, ulkus oral/sariawan
3. Ginjal: bengkak seluruh tubuh, BAK keruh/berbusa/kemerahan, gangguan fungsi ginjal
4. Hematologi: anemia, leukopenia, trombositopenia.

2.5 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada
SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus
tersebut berulang kembali.
Patway
2.6 Pemeriksaan penunjang
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti ds-DNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax
7. Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes
ANA. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-
100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis),
penyakit autoimun misalnya Mixed Connective Tissue Disease (MCTD), artritis
reumatoid, tiroiditis autoimun, atau keganasan. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan
segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik
termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes
ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan.Test Anti ds-DNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
2.7 Penatalaksanaan medis
1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/dbulan postpartum)
(metilprednisolon1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik
dilakukantapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral)
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/mluaspermukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu
2.8 Penatalaksanaan keperawatan
Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasannya sama seperti asuhan keperawatan
untuk pasien penyakit reumatik (lihat” penatalaksanaan keperawatan” pada “Artritis
reumatoid”). Diagnosis keperawatan utama berfokus pada keletihan, membuat integritas
kulit gangguan citra tubuh, dan defisiensi pengetahuan.
a. Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang terjadi dan proses
penyakit SLE yang tidak terduga; dorong pasien untuk berpatisifasi dalam kelompok
pendukung, yang dapat memberikan informasi mengenai penyakit, tips
penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan sosial.
b. Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari dan sinar ultrapiolet atau
untuk melindungi diri mereka dengan tabir surya dan pakaiaan.
c. Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena penyakit ini, ingatkan pasien
tentang pentingmya menjalani skrinning rutin secara berkala dan juga aktifitas untuk
meningkatkan kesehatan.
d. Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.
e. Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan medikasi yang telah
diterapkan, dan memahami perubahan serta kemungkinan efek samping yang
cenderung terjadi akibat penggunaan obat tersebut.
f. Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun karena mereka berisiko
tinggi mengalami gangguan sistemik, termasuk pada ginjal dan kardiovaskuler.

2.9 Konsep asuhan keperawatan


2.7.1 Pengkajian
Data-data yang di identifikasikan
masalah kesehatan yang dihadapi
penderita, meliputi
a. Biodata.
Dapat dikatakan 90 % penderita
lupus adalah perempuan, sisanya laki-laki. Pada umumnya awal
menderita lupus pada usia 15-45 tahun, meskipun lupus dapat terjadi pada
waktu bayi atau usia lanjut.
b. keluhan utama
Pasien mengeluhkan nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan,saat
beraktivitas klien merasa mudah lelah, klien merasa demam. :ipidan leher
memerah serta nyeri pada bagian yang memerah.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadapgaya hidup serta citra
diri pasien.
d. Riwayat sosial.
Partisipan merasa terikat oleh aturan minum obat, akibatnya segala aktifitas
juga dikaitkan masalah penyakit. Penyakit kronik dapat menyebabkan
perubahan kehidupan seseorang, perubahan tersebut dapat terjadi pada fisik dan
emosi atau psikologis. Partisipan menyatakan dahulu dia bekerja tapi ketika
menderita lupus berhenti kerja. Hal ini masalah bagi penderita, karena
fungsidan peran menjadi terganggu. Berdasarkan pendapat Rubin dan Roessler
(1995, dalam Porter, 2000), sebaiknya dipikirkan kembali untuk menempatkan
penderita lupus dalam aktivitas pekerjaan dengan tidak menimbulkan beban
fisik tetapi mempunyai kualitas kerja memuaskan bagi dirinya.
e. Pemeriksaan fisik.
1. Kulit Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
2. Kardiovaskuler Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan
efusi pleura.Lesieritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukkan gangguanvaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki
dan permukaan ekstensorlengan bawah atau sisi lateral tangan.
3. Sistem Muskuloskeletal Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
4. Sistem integumenLesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-
kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai
mukosa pipi atau palatumdurum.
5. Sistem pernafasanPleuritis atau efusi pleura.
6. Sistem vaskulerInflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematousdan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
7. Sistem Renal Edema dan hematuria.
8. Sistem saraf Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-
kejang, korea ataupunmanifestasi SSP lainnya
f. Pertumbuhan dan perkembangan.
a. Perubahan fungi seksual Kondisi kesehatan yang dianggap lemah dan
berbahaya bagi kesehatan partisipan, maka terjadi perubahan pola seksual.
Hal tersebut dinyatakan oleh partisipan kedua. Partisipan kelima juga
menyatakan terjadi perubahan pola seksual yang biasanya sebelum sakit,
seksual berartiberhubungan badan, tetapi karena kondisi sakit maka
terjadi perubahan pola dan metode.
b. Perubahan Fungsi reproduksi yang terkait dalam penelitian ini adalah
pada proses menstruasi. Lima orang partisipan menganggap perubahan
siklus pada mestruasi dianggap sebagai gangguan, terjadi perubahan
rentang siklus dan lamanya menstruasi. Hal ini meng- khawatirkan bagi
partisipan, mengingat berada pada masa reproduksi aktif.
g. Kebutuhan dasar (aktfitas sehari-hari)
Penggunaan nutrisi sebagai pengobatan komplementer dapat membantu
efektifitas dari pengobatan. Pada saat yang bersamaan dapat mengatasi efek
samping dari pengobatan. Nutrisi erat kaitannya dengan kesehatan yang optimal
dan peningkatan kualitas hidup. Pada penelitian ini, tujuan merubah nutrisi dari
jenis yang dilakukan partisipan dimaksudkan untuk mengurangi resiko
kekambuhan. Beberapa yang menyebabkan kekambuhan lupus adalah hidrazin
dan zat pewarna terutama mempengaruhi kulit (Acne Blemish Control, 2010).

2.7.2 Diagnosa keperawatan


1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit.
2. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa zat-zat penting
untuk tubuh
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

2.7.3 Intervensi keperawatan


a. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi/malar pada lapisan kulit
1. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi
dan amati perubahan.R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status
dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
2. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim.R/: mempertahankan kebersihan karena kulit yang
kering dapat menjadi barier infeksi.
3. Gunting kuku secara teratur.R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko
kerusakan dermal.
4. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif,
mis, duoderm, sesuai petunjuk.R/: dapat mengurangi kontaminasi bakteri,
meningkatkan proses penyembuhan.
5. Kolaborasigunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi. R/: digunakan
pada perawatan lesi kulit.
b. Perubahan nutrisi berhubungan dengan hati tidak dapat mensintesa zat-zat penting untuk
tubuh.
1. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.R/: lesi
mulut,tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan
kemampuan pasien mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.
2. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan sekresi.
Hindari obat kumur yang mengandung alcohol.R/: Mengurangi ketidaknyamanan
yang berhubungan dengan mual/muntah, lesi oral, pengeringan mukosa dan
halitosis. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
3. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi pemasukan
cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi. R/: lambung yang
penuh akan akan mengurangi napsu makan dan pemasukan makanan.
4. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin.R/: dapat meningkatkan napsu makan dan
perasaan sehat.
5. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan saat
mendekati waktu makan.R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan ketersediaan
energi untuk aktivitas makan.
6. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.R/: mempermudah proses menelan
dan mengurangi resiko aspirasi.
7. Catat pemasukan kalori. R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen atau
alternative metode pemberian makanan.
8. KolaborasiKonsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.R/: Menyediakan diet
berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat.
c. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
1. Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan. R/:
Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan
informasi.
2. Tinjau ulang cara penularan penyakit.R/: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi,
meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.
3. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien. R/: merangsang
pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
4. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R/: memberi
kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan
perubahan/individu.
5. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis, rumah sakit/pusat perawatan tempat
tinggal.R/: memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung
pemulihan dan kemandirian.

2.7.4 Evaluasi

Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan


keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan antara proses
dengan pedoman atau rencana proses tersebut. Sasaran evaluasi adalah sebagai berikut :
a. Proses asuhan keperawatan, berdasarkan kriteria atau rencana yang telah disusun)
b. Hasil tindakan keperawatan berdasarkan kriteria keberhasilan yang telah dirumuskan dalam
rencana evaluasi.
Terdapat 2 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :
- Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukan perbaikan atau kemajuan sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan.
- Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan itu tidak tercapai secara maksimal, sehingga perlu
dicari penyebab serta cara untuk mengatasinya.
Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukkan perubahan atau kemajuan
sama sekali bahkan timbul masalah baru dalam hal ini perawat perlu untuk mengkaji secara
lebih mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnosa, tindakan, dan faktor-faktor lain yang
tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan. Setelah seorang perawat
melakukan seluruh proses keperawatan dari pengkajian sampai dengan evaluasi kepada pasien,
seluruh tindakannya harus didokumentasikan dengan benar dalam dokumentasi keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai