TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan (1) Definisi, (2) klasifikasi, (3) Etiologi, (4) Tanda dan gejala, (5)
Patofisiologi, (6) Pemeriksaan penunjang, (7) Penatalaksanaan medis, (8) penatalaksanaan
keperawatan , (9) Konsep asuhan keperawatan. Berikut ini penjelasan masing-masing
subbahasan tersebut.
2.1 Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus
pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit.
kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Menurut Farkhati
(2012) SLE merupakan penyakit autoimun yang bersifat sistemik. Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah gangguan imun radang kronis yang mempengaruhi kulit dan
orga tubuh lain.
2.2 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, Systemic
Lupus Erythematosus, dan Lupus yang diindikasi obat :
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakra dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiectasia. Lesi ini timbul dikulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena
lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya
apendiks kulit secara menetap (Hasdianah dkk, 2014).
2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit yang ditandai dengan
produksi antibodi yang berlebihan terhadap komponen inti sel, dan menimbulkan
berbagai macam manifestasi klinis pada organ (Cleanthous, Tyagi, Isenberg, &
Newman, 2012).
3. Lupus yang diindikasi obat
Lupus disebakan oleh indikasi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen Human Leukocyte Antigen D Related (HLA DR-4) menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi ditubuh protein tubuh. Hal ini
di respon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibody antikulear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Hasdianah dkk,
2014).
4. Sindroma Overlap Undifferentiated Connentive Tissue (UCTD) dan Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD). Gejala LES disertai gejala penyakit autoimun lain (contoh:
artritis reumatoid, skleroderma, miositis)
2.3 Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum
diketahui, namun beberapa factor predisposisi
dapat berperan dalam patogenesis terjadinya
penyakit ini. Diantara beberapa faktor
predisposisi tersebut, sampai saat ini belum
diketahui faktor yang paling dominan berperan
dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini
beberapa faktor predisposisi yang berperan
dalam timbulnya penyakit SLE:
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun
abnormal sehingga timbul produk autoantibodi
yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar
2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,
risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.
b. Faktor Imunologi Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,
yaitu :
1. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal
ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenali perintah dari sel T.
2. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B
adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan
sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
3. Kelainan antibody Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibody yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat
estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut
terdiri dari:
1. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan
dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah.
3. Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
4. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
2.4 Tanda dan gejala
Dapat muncul pada berbagai sistem organ:
a. Muskuloskeletal (anggota gerak)
b. Mukokutan (kulit)
c. Ginjal
d. Hematologi (sel-sel darah)
e. Neuropsikiatri (sistem saraf)
f. Kardiorespirasi (jantung dan paru)
2.5 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada
SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus
tersebut berulang kembali.
Patway
2.6 Pemeriksaan penunjang
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti ds-DNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax
7. Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes
ANA. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-
100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis),
penyakit autoimun misalnya Mixed Connective Tissue Disease (MCTD), artritis
reumatoid, tiroiditis autoimun, atau keganasan. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan
segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik
termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes
ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan.Test Anti ds-DNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
2.7 Penatalaksanaan medis
1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/dbulan postpartum)
(metilprednisolon1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik
dilakukantapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral)
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/mluaspermukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu
2.8 Penatalaksanaan keperawatan
Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasannya sama seperti asuhan keperawatan
untuk pasien penyakit reumatik (lihat” penatalaksanaan keperawatan” pada “Artritis
reumatoid”). Diagnosis keperawatan utama berfokus pada keletihan, membuat integritas
kulit gangguan citra tubuh, dan defisiensi pengetahuan.
a. Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang terjadi dan proses
penyakit SLE yang tidak terduga; dorong pasien untuk berpatisifasi dalam kelompok
pendukung, yang dapat memberikan informasi mengenai penyakit, tips
penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan sosial.
b. Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari dan sinar ultrapiolet atau
untuk melindungi diri mereka dengan tabir surya dan pakaiaan.
c. Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena penyakit ini, ingatkan pasien
tentang pentingmya menjalani skrinning rutin secara berkala dan juga aktifitas untuk
meningkatkan kesehatan.
d. Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.
e. Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan medikasi yang telah
diterapkan, dan memahami perubahan serta kemungkinan efek samping yang
cenderung terjadi akibat penggunaan obat tersebut.
f. Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun karena mereka berisiko
tinggi mengalami gangguan sistemik, termasuk pada ginjal dan kardiovaskuler.
2.7.4 Evaluasi