Anda di halaman 1dari 5

Reaksi transfusi merupakan seluruh kejadian ikutan yang terjadi karena transfusi darah.

Setiap
respon negatif terhadap komponen transfusi darah dianggap sebagai reaksi transfusi. Secara
umum reaksi transfusi dapat dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu akut dan non-akut. Setiap jenis
reaksi tersebut dibagi lagi menjadi jenis reaksi yang lebih spesifik.

1. Reaksi Imun Akut


 Reaksi Hemolitik akut
Reaksi hemolitik akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas
(ketidakcocokan) sel darah merah, eritrosit donor mengalami lisis karena adanya
antibodi pada resipien (Sandler, S. 2021). Reaksi ini terjadi ketika antibodi
resepien berikatan dengan antigen eritrosit donor dan mengaktifkan komplemen,
membentuk membrane attack complex (C5-C9) dan melisiskan eritrosit donor.
Hemolisis dapat terjadi secara ekstravaskuler dan intravaskuler. Hemolisis
ekstravaskular terjadi akibat makrofag yang tearktivasi sehingga memfagositosis
ikatan antigen (Ag), antibodi (Ab) dan atau komplemen yang tidak membentuk
MAC. Pada hemolisis ekstravaskuler proses lisis lebih banyak terjadi di luar
pembuluh darah. Sedangkan hemolisis intravaskular terjadi karena adanya
aktivasi komplemen sampai membentuk membrane attachment complex (MAC)
sehingga sel darah merah lisis di dalam pembuluh darah (Maharani, E & Noviar,
G. 2018). Berbagai kompenen yang dilepaskan selama hemolisis seperti
interleukin (IL-1, IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF)-α  menjadi perantara
terjadinya demam, hipotensi dan aktivasi endotelial. Meskipun volume darah
inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi
berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin
meningkatkan risiko.(Sandler, S. 2021)
 Reaksi Non-hemolitik
Reaksi non-hemolitik sering didefinisikan sebagi reaksi peningkatan suhu tubuh
selama satu sampai dua jam setelah transfusi (Sandler, S. 2021). Reaksi tersebut
terjadi karena dilepaskannya sitokin dari sel lekosit sehingga terjadi peningkatan
suhu selama satu sampai dua jam setelah transfuse (Widyapuspita dan Boom,
2016). Biasanya disertai dengan rigor dan menggigil. Pada beberapa kasus dapat
dihubungkan dengan sesak ringan atau takipneu, nyeri kepada dan mual. Pasien
yang mendapat transfusi darah sering dalam keadaan imunosupresif atau memiliki
komorbid lain, karena itu harus dipertimbangkan kemungkinan peningkatan suhu
tidak berhubungan dengan penyakit yang mendasari ataupun reaksi transfusi lain
dan kontaminasi bakteri (Maharani, E & Noviar, G. 2018 ).
 Alergi
Reaksi alergi biasanya muncul sebagai ruam, urtikaria, atau pruritus. pada
pemeriksaan, reaksi ini tidak dapat dibedakan dari kebanyakan alergi makanan
atau obat. Reaksi alergi dimediasi oleh IgE dan biasanya dikaitkan dengan
hipersensitivitas terhadap protein alogenik dalam plasma, pada leukosit atau
trombosit, dan jarang pada alergen terlarut yang ditemukan dalam komponen
darah yang ditransfusikan (Sandler, S. 2021).
 Reaksi Anafilaktik dan anaphylactoid
Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid adalah reaksi hipersensitivitas pada respon
sistem imun Komplikasi ini jarang terjadi, namun dapat membahayakan jiwa
pasien. Reaksi anafilaktik dapat terjadi pada individu dengan defisiensi
immunoglobulin A (IgA) sehingga mempunyai anti-IgA dari paparan
sebelumnya. Gejala klinis reaksi anafilaktik berupa : batuk, sesak napas, mual,
muntah, sakit di bagian dada, hipotensi, diare, bisa menyebabkan shock, hilang
kesadaran yang dapat berujung pada kematian. Reaksi anaphylactoid dapat terjadi
pada individu dengan konsentrasi IgA normal, tetapi mempunyai beberapa jenis
IgA yang dapat bereaksi dengan bagian rantai ringan (light chain) IgA donor.
Reaksi anaphylactoid, biasanya tidak separah reaksi anafilaktik, dengan gejala
klinis seperti urtikaria dan sesak napas. (Maharani, E & Noviar, G. 2018 ).
 Transfusion related acute lung injury (TRALI)
TRALI merupakan reaksi transfusi yang dapat membahayakan jiwa pasien, hal ini
disebabkan karena organ yang diserang adalah paru-paru, sehingga pasien
mengalami sulit napas. Gejala klinis, biasanya terjadi pada kisaran 6 jam selama
proses transfusi. TRALI disebabkan oleh Ab terhadap lekosit (anti-HLA) atau Ab
terhadap sel netrofil (antiHNA) pada plasma donor. Ab yang berasal dari donor
diperoleh dari riwayat paparan Ag sebelumnya pada donor, yang disebabkan,
donor pernah transfusi darah sebelumnya atau donor mempunyai riwayat
melahirkan beberapa kali (wanita multipara) (Maharani, E & Noviar, G. 2018).

2. Reaksi Imun Lambat/Tunda


Butuh waktu sekitar 3 bulan bagi pasien untuk menghasilkan tingkat antibodi yang dapat
dideteksi setelah paparan pertama antigen sel darah merah asing melalui transfusi.
Setelah paparan ulang terhadap antigen yang sama, respons antibodi yang lebih cepat
dapat terjadi dari 3 hingga 21 hari kemudian. Produksi antibodi puncak biasanya terjadi
antara 7 dan 10 hari setelah terpapar. Sel darah merah yang ditransfusi yang mengandung
antigen menjalani hemolisis ekstravaskular oleh sistem retikuloendotelial limpa dan hati
selama beberapa jam hingga hari (Sandler, S. 2021).
 Reaksi Hemolitik Lambat
Reaksi hemolitik ini disebabkan karena respon imun sekunder terhadap Ag pada
sel darah merah donor. Jenis Ab pada respon imun sekunder, biasanya adalah
jenis IgG yang berada pada jumlah maksimal selama 3–7 hari setelah paparan
dengan Ag yang sesuai. Pada kisaran hari tersebut, sel darah merah donor masih
berada di aliran darah pasien, dan dapat dihancurkan secara cepat karena bereaksi
dengan Ab yang sesuai. Gejala klinis yang sering kali timbul pada pasien dengan
reaksi transfusi adalah demam dan gejala anemia (Maharani, E & Noviar, G.
2018)
 Aloimunisasi
Aloimunisasi terhadap antigen sel darah merah, sel darah putih, trombosit dan
protein plasma dapat terjadi secara tidak terduga setelah transfusi. Imunisasi
primer tidak menjadi jelas sampai beberapa hari atau minggu setelah terjadinya
imunisasi, dan biasanya tidak menimbulkan gejala atau perubahan fisiologis. Jika
komponen yang mengekspresikan antigen yang relevan ditransfusikan maka dapat
mempercepat penghapusan elemen seluler dari sirkulasi atau gejala sistemik.
Secara klinis, antibodi yang signifikan terhadap antigen sel darah merah akan
terdeteksi dengan tes sebelum transfusi. Aloimunisasi pada antigen dari sel darah
putih, platelet atau plasma hanya dapat dideteksi dengan pengujian khusus
(Maharani, E & Noviar, G. 2018)
 Transfusion-associated graft vs host disease (TA-GVHD)
Reaksi yang berakibat fatal namun jarang terjadi. Kondisi ini berlangsung ketika
limfosit T donor memicu sistem imun pasien. Sel limfosit donor dikenali sebagai
substani asing oleh sistem imun pasien, sehingga sel limfosit yang ditransfusikan
dihancurkan di dalam tubuh pasien.Terdapat tiga faktor yang dapat
mempengaruhi reaksi ini, yaitu; status imun pasien, kecocokan HLA antara donor
dan pasien, dan berapa banyak sel T yang teraktifkan karena proses transfusi.
Gejala klinis terjadi 1 – 6 minggu setelah transfusi, yaitu berupa : diare, sakit
pada bagian perut, mual dan muntah. Jika organ hati terkena, maka terjadi
peningkatan konsentrasi bilirubin. Warna kulit kemerahan jika reaksi
mempengaruhi kulit. Reaksi yang paling fatal terjadi, jika melibatkan sumsum
tulang (Esmeralda and Chozie, 2015; Maharani, E & Noviar, G. 2018).
 Post transfusion purpura (PTP)
PTP adalah reaksi transfusi yang melibatkan trombosit. PTP disebabkan oleh reaksi allo
Ab terhadap trombosit yang ditransfusikan. Melekatnya allo Ab pada permukaan
trombosit menjadi penyebab dekstruksi ekstravaskular oleh retikuloendotellial sistem
(RES), sehingga terjadi penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) (Maharani dan
Noviar, 2018). Gejala klinis dari PTP yaitu berupa purpura (kulit kemerahan) dan
trombositopenia yang terjadi dalam kurun waktu 1-2 minggu setelah transfusi.
Penurunan jumlah trombosit sampai 10.000/μL darah menyebabkan trombositopenia
berat. Reaksi tersebut mengakibatkan terjadinya hematuria, pendarahan pada saluran
cerna sehingga terjadi kondisi melena (Maharani dan Noviar, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Maharani, E. A., Noviar, G. (2018). Imunohematologi dan Bank Darah. Jakarta Selatan :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
Esmeralda, N. D. dan Chozie, N. A. (2015) “Laporan kasus berbasis bukti Efektivitas
Premedikasi untuk Pencegahan Reaksi Transfusi,” Sari Pediatri, 17(4), hal. 312–316.
Available at: https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/299/243.
Widyapuspita, O., & Boom, C. E. (2016). Manajemen Transfusi Perioperatif Pada Pasien
Bedah Jantung Dewasa dengan Mesin Pintas Jantung Paru. JAI (Jurnal Anestesiologi
Indonesia), 8(3), 188. https://doi.org/10.14710/jai.v8i3.19817

Sandler, S. (2021) ‘Transfusion Reactions’, Haematology, 12 January 2021 [online].


Available at: https://emedicine.medscape.com/article/206885-overview#a5

Anda mungkin juga menyukai