Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jamur adalah mikroorganisme yang termasuk golongan eukariotik dan tidak termasuk
golongan tumbuhan. Ilmu yang mempelajari tentang jamur disebut mikologi. Mikologi
kedokteran adalah ilmu yang mempelajari jamur serta penyakit yang ditimbulkannya pada
manusia. Penyakit yang disebabkan oleh jamur disebut mikosis (Parasitologi FKUI, 2014).
Jamur besifat heterotropik, yaitu organisme yang tidak mempunyai klorofil sehingga
tidak dapat membuat makanannya sendiri melalui proses fotosintesis seperti tanaman. Unutk
memenuhi kebutuhan hidupnya, jamur memerlukan zat organic lain yang berasal dari hewan,
tumbuhan, dan lain-lain yang kemudian dengan menggunakan enzim zat organic tersebut
diubah dan dicerna menjadi zat anorganik. Zat anorganik inilah yang akan diserap jamur
sebagai makanannya (Parasitologi FKUI, 2014).
Pada umumnya, jamur hidup di tempat lembab. Jamur juga bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, sehingga jamur dapat ditemukan di semua tempat di seluruh dunia
termasuk gurun pasir yang panas. Di alam bebas terdapat lebih dari 100.000 spesies jamur dan
kurang dari 500 spesies diduga dapat meyebabkan penyakit pada manusia dan hewan.
Diperkirakan 100 spesies jamur tersebut bersifat pathogen terhadap manusia dan sekitar 100
spesies hidup komensal pada manusia (bersifat saprofit). Namun dalam keadaan yang
menguntungkan untuk pertumbuhan jamur, dapat menimbulkan kelainan kepada manusia
(Parasitologi FKUI, 2014).
Oleh karena adanya sifat jamur yang merugikan bagi manusia, maka penulis berpikir
bahwa dirasa perlu untuk membahas jamur yang mengakibatkan penyakit pada manusia.Oleh
karena itu, dalam makalah ini diangkat judul “ Mikologi Jamur Penyebab Sakit pada Manusia”
1.2 Rumusan masalah :
1. Bagaimanakah klasifikasi jamur ( fungi )?
2. Bagaimana mekanisme penularan infeksi jamur?
3. Bagaimana mekanisme Patogenesis infeksi Jamur ?
1.3 Manfaat :
1. Mahasiswa Mampu Menjelaskan klasifikasi jamur ( fungi )
2. Mahasiswa Mampu menjelaskan penularannya infeksi jamur
3. Mahasiswa Mampu menjelaskan Patogenesis infeksi Jamur

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan sifat jamur


Jamur adalah mikroorganisme yang termasuk golongan eukariotik dan tidak termasuk
golongan tumbuhan. Ilmu yang mempelajari tentang jamur disebut mikologi. Mikologi
kedokteran adalah ilmu yang mempelajari jamur serta penyakit yang ditimbulkannya pada
manusia. Penyakit yang disebabkan oleh jamur disebut mikosis (Parasitologi FKUI, 2014).
Jamur besifat heterotropik, yaitu organisme yang tidak mempunyai klorofil sehingga
tidak dapat membuat makanannya sendiri melalui proses fotosintesis seperti tanaman. Unutk
memenuhi kebutuhan hidupnya, jamur memerlukan zat organic lain yang berasal dari hewan,
tumbuhan, dan lain-lain yang kemudian dengan menggunakan enzim zat organic tersebut
diubah dan dicerna menjadi zat anorganik. Zat anorganik inilah yang akan diserap jamur
sebagai makanannya (Parasitologi FKUI, 2014).
Pada umumnya, jamur hidup di tempat lembab. Jamur juga bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, sehingga jamur dapat ditemukan di semua tempat di seluruh dunia
termasuk gurun pasir yang panas. Di alam bebas terdapat lebih dari 100.000 spesies jamur dan
kurang dari 500 spesies diduga dapat meyebabkan penyakit pada manusia dan hewan.
Diperkirakan 100 spesies jamur tersebut bersifat pathogen terhadap manusia dan sekitar 100
spesies hidup komensal pada manusia (bersifat saprofit). Namun dalam keadaan yang
menguntungkan untuk pertumbuhan jamur, dapat menimbulkan kelainan kepada manusia
(Parasitologi FKUI, 2014).

2.2 Morfologi Jamur


Jamur terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Khamir (ragi), yaitu sel-sel yang berbentuk lonjong, bulat, atau memanjang yang
berkembang biak dengan membentuk tunas dan membentuk koloni yang basah atau
berlendir.
b. Kapang, yang terdiri dari sel-sel memanjang dan bercabang yang disebut hifa. Hifa
tersebut dapat bersekat sehingga terbagi menjadi banyak sel, atau tidak bersekat yang
dsebut hifa senositik. Anyaman hifa disebut dengan miselium. Hifa dapat bersifat sebagai
hifa vegetative yang berfungsi mengambil makanan untuk pertumbuhan; bersifat hifa
reproduktif, yaitu membentuk spora udara; dan hifa udara yang berfungsi mengambil
oksigen.
Bentuk kapang atau khamir tidak mutlak, karena jamur dapat membentuk kedua sifat tersebut
dalam keadaan berbeda yang disebut jamur dimorfik (Parasitologi FKUI, 2014).

2
Jamur dapat menghasilkan spora. Spora dapat dibentuk secara seksual atau aseksual. Spora
aseksual disebut talospora, yaitu spora yang langsung dibentuk dari hifa produktif. Spora yang
termasuk talospra ialah:
a. Blastospora, yaitu spora yang berbentuk tunas pada permukaan sel, ujung hifa semu atau
pada sekat hifa semu, contohnya adalah Candida.
b. Artrospora, yaitu spora yang dibentuk langsung dari hifa banyak septum yang kemudian
mengadakan fragmentasi sehingga hifa tersebut terbagi menjadi banyak artrospora yang
berdinding tebal, contohnya adalah Oidiodendrom.
c. Klamidospora, yaitu spora yang dibentuk di ujung, di tengah atau menonjol ke lateral,
contohnya adalah Candida albicans, Dermatofita.
d. Aleuriospora, yaitu spora yang dibentuk pada ujung atau sisi dari hifa khusus yang disebut
konidiofora, contohnya Fusarium, Carvularia.
e. Sporangiospora , yaitu spora yang dibentuk di dalam ujung hifa yang menggelembung
yang disebut sporangium, contohnya adalah Rhizopus, Mucor, Absidia.
f. Konidia, yaitu spora yang dibentuk di ujung sterigma bentuk fialid. Sterigma dibentuk di
atas konidiofora. Konidia membentuk susunan kecil seperti rantai. Contohnya adalah
Penicillium (Parasitologi FKUI, 2014).
Sedangkan spora seksual dibentuk dari fusi dua sel atau hifa. Golongan spora seksual ini antara
lain:
a. Zigospora, yaitu spora yang dibentuk dari fusi dua hifa yang sejenis membentuk zigot dan
di dalam zigot terbentuk zigospora.
b. Oospora, yaitu spora yang dibentuk dari fusi dua hifa yang tidak sejenis (anteredium dan
oogonium).
c. Askospora, yaitu spora yang dibentuk di dalam askus sebagai fusi dua sel atau dua jenis
hifa.
d. Basidiospora, yaitu spora yang di bentuk pada basidium sebagai hasil fusi dua jenis hifa
(Parasitologi FKUI, 2014).

2.3 Klasifikasi Jamur

2.3.1 Klasifikasi berdasar sifat koloni, hifa, dan spora


Dalam buku Parasitologi (2014), klasifikasi jamur berdasarkan sifat koloni, hifa dan spora yang
dibentuk kapang atau khamir, jamur dapat dibagi menjadi beberapa kelas, yaitu:
a. Actinomycetes
Actinomycetes tergolong bakteri, tetapi penyakit yang ditimbulkannya mirip dengan jamur,
maka secraa tradisional dimasukkan dalam mikologi.

3
b. Myxomycetes
Bentuk vegetative terdiriatas sel-sel yang motil. Pada stadium lanjut sel-sel tersebut
bergabung dan membentuk bagian-bagian yang mirip dengan sporulasi jamur, maka kelas
ini digolongkan dalam mikologi.
c. Chytridiomycetes
Kapang dari kelas ini mempunyai hifa senositik. Salah satu spesies adalah pathogen pada
manusia (Rhinosporidium seeberi).
d. Zygomycetes
Bersama dengan oomycetes yang pathogen terhadap hewan air dan tumbuhan, dahulu
digolongkan dalam phycomycetes. Kelas kapang ini juga mempunyai hifa senositik.
Genus-genus dari ordo mucorales yang termauk kelas zyomycetes, yaitu Mucor, Rhizopus,
Absidia, Mortierella, dan Cunninghamella yang menyebabkan mikosis pada manusia dan
beberapa jenis binatang.
e. Ascomycetes
Kapang dari kelas ini berbentuk askospora dalam askus. Meskipun sebagian besar
merupakan saprofit atau penyebab penyakit tumbuh-tumbuhan, penyebab jamur sistemik
pada manusia juga termasuk kelas ini.
f. Basidiomycetes
Kapang dari kelas ini membentuk basidiospora. Meskipun sebagian besar kapang dari kelas
ini pathogen untuk pohon-pohon dan sejenis gandum, satu spesies yaitu Filobasidiella
neoformans merupakan salah satu pathogen bagi manusia.
g. Fungi imperfecti (Anamorphic fungi)
Jamur yang digolongkan ke dalam kelompok ini adalah semua jamur yang belum dikenal
stadium seksualnya. Jamurm jenis ini dibagi menjadi 3 kelas yaitu: hyphomycetes (konidia
diproduksi dari hifa), contohnya Aspergillus, Cladhophialophora, Fusarium,
Scedosporium, Phialophora, Microsporium, dan Trichophyton; ceolomycetes (konidia
diproduksi dari hifa sferikal yang di bagian ujungnya terbuka, contohnya Lasiodiplodia,
Pyrenochatea; blastomycetes (thalus terdiri dari blastspora atau hifa semu), contohnya
Candida.

2.3.2 Klasifikasi Berdasarkan Penyebab Mikosis pada Manusia


2.3.2.1 MIKOSIS SUPERFISIAL
1. Pityriasis Versicolor (Tinea Versicolor)
Pityriasis versicolor adalah suatu infeksi kronis superfisial yang ringan pada
stratum korneum yang disebabkan oleh Malassezia furfur dan mungkin spesies
Malassezia lain. Baik invasi pada kulit yang berlapisan tanduk maupun respon inang
adalah minimal. Terjadi macula tersendiri yang berigi-rigi dan hiper- atau

4
hipopigmentasi pada kulit, biasanya pada dada, punggung atas, lengan, atau perut.
Lesinya kronis dan terjadi sebagai bercak-bercak makular pada kulit yang berbeda
warna yang bisa membesar dan bergabung, tetapi sisik, peradangan dan iritasi minimal.
Tentu saja, “malapetaka” yang umum terjadi ini merupakan masalah kosmetik. (Jawetz,
2012)
Penyebab
Pitiriasis versikolor atau panu disebabkan oleh 7 spesies Malassezia yaitu
Malassezia furfur, Malasseia globosa (serovar.B. M. furfur), Malassezia obtuse,
Malassezia slooffiae, Malassezia sympodialis, Malassezia pachydermatis dan
Malassezia restricta (serovar C. M. furfur). Jamur ini sering ditemukan sebagai fsaprofit
pada kulit manusia.
Morfologi
Pada kulit penderita jamur tampak sebagai kelompok kecil, sel ragi bentuk lonjong
uniseluler atau bentuk bulat bertunas (4-8 um) dan hifa pendek, berseptum yang kadang
bercabang (diameter 2,5-4 um & panjangnya bervariasi). Bentuk ini dikenal sebagai
spaghetti dan meatball. Malassezia pachydermatis tidak membentuk hifa.. Pada biakan,
Malassezia membentuk koloni khamir, kering dan berwarna putih sampai krem.
Patologi dan Gejala Klinis
Jamur Malassezia bersifat lipofilik dimorfik yang membutuhkan lipid untuk
pertumbuhannya, sedangkan Malassezia pachydermatis bersifat non-lipofilik yang tidak
membutuhkan lipid.
Manusia mendapatkan infeksi bila sel Jamur Malassezia melekat pada kulit. Awal
infeksi jamur tampak sebagai sel ragi (saprofit) dan berubah menjadi patogen setelah sel
ragi menjadi miselium (hifa) sehingga menyebabkan timbulnya lesi di kulit. Terjadinya
kolonisasi jamur di kulit akibat pertumbuhan jamur meningkat. Hal ini sering
dihubungkan dengan beberapa faktor tertentu, seperti kulit yang berminyak,
prematuritas, pengobatan antimikrobial dalam waktu lama, kortikosteroid, penumpukan
glikogen ekstraseluler, infeksi kronik, keringat berlebihan, pemakaian pelumas kulit
kadang kehamilan. Lesi dimulai dengan bercak kecil tipis yang kemudian menjadi
banyak dan menyebar disertai sisik. Kelaianan kulit pada penderita panu tampak jelas,
sebab pada orang kulit berwarna panu merupakan bercak hipopigmentasi, sedangkan
pada orang kulit putih sebagai bercak hiperpigmentasi. Dengan demikian warna
kelainan kulit ini dapat bermacam-macam (versikolor). Kelainan kulit terutama pada
tubuh bagian atas (leher, muka, lengan, dada, perut, dan lain-lain), berupa bercak yang
bulat-bulat kecil (numular), atau bahkan lebar seperti plakat pada panu yang sudah
menahun. Gejala panu berupa rasa gatal bila berkeringat, meskipun demikian kadang-

5
kadang panu tidak memberikan gejala subjektif. Ada perasaan malu yang beralasan
kosmetik.

2. Tiena Nigra (Tinea Nigra Palmaris)


Tinea adalah infeksi kronis superfisial dan asimtomatis dari stratum
korneum yang disebabkan oleh jamu dematiaceous Hortaea (Exophiala) werneckii.
Kondisis ini lebih prevalen di wilayah berpantai hangat dan pada wanita muda. Lesi
tampak sebagai suatu diskolorasi gelap (coklat sampai hitam), seringkali di telapak
tangan. Pemeriksaan mikroskopik kerokan kulit dari tepi lesi akan memperlihatkan hifa
bersepta, bercabang, dan sel ragi yang bertunas dengan dinding sel termelanisasi. Tinea
nigra akan merespon pada pengobatan dengan cairan keratolitik, asam salisilat, atau
obat-obat antijamur Azol. (Jawetz, 2012)

3. Piedra
Kata "piedra" berarti batu. Piedra ialah infeksi jamur pada rambut, berupa benjolan
yang melekat erat pada rambut, berwarna hitam atau putih kekuningan. Ada dua macam
piedra yaitu piedra hitam dan piedra putih.
a. Piedra Hitam
Piedra hitam dimasukkan ke dalam kelompok penyakit Phaeohypomycoces, karena
jamur penyebabnya mempunyai hifa dan spora yang berwarna coklat-hitam.4
Penyebab

Piedra hitam ialah infeksi jamur pada rambut yang disebabkan oleh jamur
Piedraia hortae.
Morfologi
Jamur ini tergolong kelas ascomycetes dan membentuk spora seksual.
Potongan rambut yang terdapat nodul hitam bila diberi larutan KOH 10% jamur
tampak sebagai anyaman hifa berseptum warna coklat yang padat, askus dan
askospora. Askus terletak disekitar anyaman hifa coklat yang tampak berwarna
lebih jernih, berbentuk bulat atau lonjong dan berisi 2-8 askospora. Askospora
berbentuk lonjong memanjang agak melengkung dengan ujung meruncing.

b. Piedraria Hortae
Termasuk jamur Dematiaceae. Pada sediaan langsung dari koloni padat ini
terlihat hifa hitam berseptum. Dalam koloni yang padat tersebut juga dibentuk askus
yang berisi askospora.

6
Infeksi terjadi karena rambut kontak dengan spora jamur penyebab dan jamur
akan tumbuh membentuk koloni di sepanjang batang rambut. Piedra adalah penyakit
yang mengenai rambut, terutama rambut kepala. Kelainan berupa benjolan yang sangat
keras bewarna coklat kehitaman. Benjolan piedra sulit dilepaskan, bila dipaksa juga
maka rambut akan patah.
Penyakit ini tidak menimbulkan keluhan, tetapi bila rambut disisir selain mudah
patah sering terdengar bunyi karena benjolan atau nodul yang melekat erat pada rambut.

c. Piedra Putih
Penyebab
Piedra putih ialah infeksi jamur pada jamur yang disebabkan oleh
Trichosporon beigelii. Piedra putih ditemukan pada rambut ketiak dan pubis,
jarang mengenai rambut kepala.
Morfologi
Jamur penyebab piedra putih mempunyai hifa yang tidak berwarna
termasuk moniliaceae. Jamur berbentuk hifa berukuran 2-4 mikron, artrokonidia
dan blastokonidia.
Berbeda dengan piedra hitam, benjolan piedra putih terlihat lebih memanjang pada
rambut dan anyaman hifa tidak padat. Benjolan mudah dilepas dari rambut. Tidak
terlihat skus dalam massa jamur.
Patologi dan Gejala Klinis
Pada piedra putih, kelainan rambut tampak sebagai benjolan berwarna
putih kekuningan. Selain pada rambut kepala, dapat juga menyebabkan kelainan
pada rambut kumis dan rambut janggut.

2.3.2.2 MIKOSIS KUTAN


1. Dermatofitosis
Mikosis kutaneus disebabkan oleh infeksi jamur yang hanya menginfeksi bagian
permukaan berkeratin ( kulit,rambut,dan kuku). Yang paling penting adalah
dermatofit.Jamur yang menginfeksi terbagi kedalam group yang sama karena saling
berkerabat yang terbagi kedalam tiga jenus :microsporum, trichophyton, dan
epidermophyton.Dermatofit kemungkinan terbatas pada kulit yang mati karena
kebanyakan tidak mampu tumbuh pada suhu 370C atau dalam lingkungan yang
mengandung serum. Karena di permukaan, maka infeksi dari dermatofit telah dikenal
sejak dahulu kala. Di kulit, mereka didiagnosis berdasarkan adanya hyfa hyalin,
bercabang dan bersepta atau arthrokonidia. Untuk beberapa spesies dermatofit, tahap

7
reproduktif seksual menghasilkan ascospora dan termasuk dalam genus teleomorfik
arthrodema(Jawetz,at all. 2012).
Dermatofit digolongkan sebagai geofilik, zoofilik, atau anthropofilik berdasarkan
habitatnya.Spesies antropofilik, yang menyebabkan infeksi pada manusia dalam jumlah
yang paling besar, menyebabkan infeksikronik dan relatif ringan pada manusia,
menghasilkan beberapa konidia dalam biakan, dan mungkin sulit diberantas.Sebaliknya,
dermatofita zoofili dan geofili, yang kurang beradaptasi dengan pejamu manusia,
menimbulkaninfeksi inflamasi yang lebih akut vang cenderung sembuh lebih cepat.
Dermatofita ditularkan melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi atau dengan
hewan atau manusia yang terinfeksi(Jawetz,at all. 2012).
Spesies antropofili, yang menyebabkan infeksi pada manusia dalam jumlah yang
paling besar, menyebabkan infeksi kronik dan relatif ringan pada manusia,
menghasilkan beberapa konidia dalam biakan, dan dapat sulit dibasmi.Sebaliknya,
dermatofita zoofili dan geofili, yang kurang beradaptasi dengan pejamu manusia,
menimbulkaninfeksi inflamasi yang lebih akut vang cenderung sembuh lebih cepat.
Dermatofita ditularkan melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi atau dengan
hewan atau manusia yang terinfeksi.
Beberapa spesies arthropofilik, secara geografis terbatas, tetapi yang lainnya
bersifat global, seperti Epidermophyton floccosum, Trichophyton mentagrophites, T
rubrum, dan T tonsurans. Spesies geofilik yang paling sering ditemui adalah :
Microsporum gypseum.Spesies zoofilik kosmopolitan meliputi : M Canis (Pada anjing
dan kucing), M Galliinae( pada unggas), M nanum ( pada babi ), T equinum ( pada
kuda), dan T Verrucosum ( pada lembu ). Dermatomikosis merupakan penyakit jamur
pada kulit yang disebabkan oleh dermatofita dan beberapa jamur oportunistik seperti
Malasezzia, Candida (kecuali C. albicans), Trichosporon, Rhodutorula, Cryptococcus
atau Aspergillus, Geotrichum, Alternaria, dan lainnya. Berdasarkan lingkungan
hidupnya, dermatomikosis terbagi menjadi tiga golongan yakni : (1) superfisial, yang
berkembang pada stratum corneum, rambut, kuku, (2) subkutaneus, yang berkembang
pada dermis dan/atau jaringan subkutan, dan (3) deep/systemic, yang dapat menyebar
melalui hematogen serta menyebabkan infeksi oportunistik pada host dengan
immunocompromised(Jawetz,at all. 2012).
Mikosis superfisial juga dibagi menjadi dua, yaitu dermatofitosis dan non
dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi jamur dermatofita (spesies
microsporum, trichophyton, dan epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian
superfisial (stratum korneum), kuku dan rambut. Dermatofitosis terdiri dari tinea capitis,
tinea barbae, tinea cruris, tinea pedis et manum, tinea unguium dan tinea corporis.
Sedangkan non dermatofitosis terdiri dari pitiriasis versikolor, piedra hitam, piedra

8
putih, tinea nigra palmaris, otomikosis dan kerato mikosis.Secara umum, jamur
dermatofit dibagi menjadi tiga jenus, yaitu :
A. Trichopython :
Kingdom: Fungi
Division: Ascomycota
Class: Eurotiomycetes
Order: Onygenales
Family: Arthrodermataceae
Genus: Trichophyton

Gambar 1 Trichophyton
Sumber : (Jaweth, 2012)

Trichophyton adalah genus dari jamur, yang mencakup varietas parasit yang
menyebabkan tinea, termasuk kurap dan serupa Infeksi kuku, jenggot, kulit dan kulit
kepala. Jamur Trichophyton ditandai dengan perkembangan berdinding halus makro -
maupun microconidia. Macroconidia kebanyakan ditanggung lateral langsung pada
hyphae atau pada pendek pedicels, dan atau tebal-berdinding tipis, clavate ke
Fusiformis, dan berkisar dari 4 sampai 8 oleh 8-50 μm dalam ukuran. Macroconidia
hanya sedikit atau tidak ada dalam banyak spesies. Microconidia bulat, pyriform clavate
atau tidak teratur bentuknya, dan berkisar dari 2 sampai 3 oleh 2-4 μm dalam ukuran.

B. Microsporum

Kingdom: Fungi
Division: Ascomycota
Class: Eurotiomycetes
Order: Onygenales
Family: Arthrodermataceae
Genus : microspora

Gambar 2 Microsporum
Sumber : Jaweth, 2012

Microsporum adalah genus dari jamur yang menyebabkan tinea capitis, tinea
corporis, kurap, dan lain dermatophytoses (infeksi jamur kulit). Microsporum

9
membentuk macroconidia (besar struktur reproduksi aseksual) dan microconidia (kecil
aseksual struktur reproduksi) pada conidiophores pendek. Macroconidia berbentuk :
hialin, multiseptata, Fusiformis, berbentuk gelendong, dan berukuran 30 – 160 um,
dengan echinulate tipis atau dinding sel tebal. Bentuk, ukuran dan fitur dinding sel
adalah karakteristik penting untuk identifikasi spesies. Microconidia berbentuk hialin,
bersel tunggal, pyriform untuk clavate, berdinding halus, 2.5-3,5 oleh 4-7 um dalam
ukuran dan tidak diagnostik untuk setiap satu spesies. Pemisahan dari genus
Trichophyton pada dasarnya berdasarkan kekasaran dinding sel macroconidial,
meskipun dalam praktiknya sulit untuk mengamati(Jawetz,at all. 2012).
C. Epidermophyton :

Kingdom: Fungi
Phylum: Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Order : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Epidermophyton
Spesies : E. Floccosum

Gambar 3 Epidermophyton floccosum


Sumber : Jaweth, 2012

Epidermophyton adalah genus dari jamur yang menyebabkan mykosis dangkal dan
kulit, termasuk E. floccosum, dan menyebabkan tinea corporis (kurap), tinea cruris
(atlet gatal), tinea pedis (atlet kaki), dan unguium tinea (infeksi jamur dari kuku).

Dermatofita berdasarkan habitatnya


Antropofilik merupakan kelompok spesies dermatofita yang hanya
berkembang pada host manusia dan transmisi secara kontak langsung. Kulit yang
terinfeksi atau rambut pada pakaian, topi, sisir, kaus kaki, dan handuk juga dapat
menjadi sumber reservoir. Tidak seperti sporadic geofilik dan infeksi zoofilik, infeksi
antropofilik sering terjadi epidemik. Dermatofita ini juga telah beradapatasi pada
respon non inflamasi tubuh manusia (Jawetz,at all. 2012).
Zoofilik merupakan kelompok spesies dermatofita yang menular ke manusia
melalui hewan. Kucing, anjing, kelinci, babi, unggas, kuda, binatang ternak, dan
binatang lainnya merupakan sumber infeksi pada umumnya. Penularan dapat terjadi
melalui kontak langsung dengan hewan tersebut atau secara tidak langsung melalui
rambut hewan terinfeksi. Area terbuka seperti kulit kepala, janggut, wajah, dan lengan

10
menjadi tempat infeksi tersering. Microsporum canis sering menular pada manusia
melalui kucing dan anjing, sementara babi dan kelinci sering sebagai sumber infeksi
dari T. interdigitale. Adaptasi tubuh host terhadap infeksi dermatofita zoofilik
memungkinkan terjadinya infeksi tersembunyi (silent infections), namun dermatofita
ini cenderung menimbulkan respon inflamasi akut pada manusia.12 Geofilik
merupakan fungi yang menyebabkan infeksi saat manusia kontak langsung dengan
tanah. Microsporum gypseum merupakan dermatofita geofilik tersering yang
menginfeksi manusia. Ada kemungkinan penyebaran epidemik dikarenakan tingginya
virulensi dari golongan geofilik serta kemampuan untuk membentuk spora yang dapat
hidup lama dan berada di selimut atau alat kosmetik. Seperti infeksi zoofilik,
dermatofita geofilik cenderung menimbulkan respon inflamasi.14 Tampilan klinis
dermatofitosis tidak hanya bergantung pada penyebabnya, namun juga faktor host.
Penderita immunocompromised lebih rentan untuk terinfeksi dermatofita atau mikosis
sistemik.15,16 Menariknya, beratnya derajat dermatofitosis cenderung meningkat
dengan adanya infeksi HIV, tapi tidak diikuti dengan meningkatnya prevalensi.17
Faktor lain seperti usia, jenis kelamin, dan ras diperkirakan menjadi faktor-faktor yang
dapat menyebabkan infeksi, walaupun hubungan langsung faktor tersebut dengan
kerentanan terhadap dermatofita belum dapat dipastikan. Sebagai contoh, prevalensi
infeksi dermatofita lima kali lebih banyak terjadi pada pria dibandingan pada wanita.
Infeksi fungi superfisial telah menjadi masalah yang mendunia karena menjangkit
lebih dari 20%-25% total populasi manusia.18 Beberapa spesies menunjukkan
penyebaran yang tersebar sangat luas di seluruh dunia, walaupun spesies lainnya
terbatas secara geografis. Oleh karena itu, perbedaan geografis menjadi hal yang
penting pada infeksi fungi superfisial, seperti pada kasus capitis. Di Amerika Serikat,
Trichophyton tonsurans telah mengalahkan Microsporum audouinii sebagai penyebab
tersering capitis pada abad 20, dan M. canis sekarang menjadi penyebab kedua
tersering pada kasus capitis.19 Di Eropa, M. canis tetap menjadi penyebab tersering
capitis walaupun T. tonsurans menunjukkan peningkatan angka kejadian yang pesat.19
Etiologi yang berbeda terdapat di Afrika, dimana M. audouinii, Trichophyton
soundanense dan Trichophyton violaceum merupakan patogen yang paling sering
menyebabkan infeksi.21 Namun, perjalanan jarak jauh dan migrasi mempengaruhi pola
dinamis dari infeksi. Sebagai contoh, T. soundanense dan T. violaceum, dahulu hanya
terdapat di Afrika dan tidak ditemukan pada kasus capitis di Amerika Serikat hingga
tahun 2007.21 Adat istiadat setempat juga mempengaruhi angkat kejadian dan pola
dermatofitosis. Penggunaan sepatu dengan tingkat kelembaban tinggi seperti sepatu
boot pada negara industri, membuat angka kejadian tinea pedis dan onychomikosis
menjadi lebih umum pada daerah tersebut

11
Cara Penularan
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung.
Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung
jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat
melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau
air. Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di
kulit tergantung dari beberapa faktor :
 Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur
Antropofilik, Zoofilik atau Geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis
jamur ini berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia
maupun bagian-bagian dari tubuh Misalnya : Trikofiton rubrum jarang
menyerang rambut, Epidermatofiton flokosum paling sering menyerang lipat
pada bagian dalam(Jawetz,at all. 2012).
 Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang
jamur.
 Faktor-suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur,
tampak pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat
paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.
 Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana
terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang
lebih rendah, penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan
sosial dan ekonomi yang lebih baik.
 Faktor umur dan jenis kelamin
Penyakit Tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan
infeksi jamur di sela-sela jari dibanding pria dan hal ini banyak
berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada
faktor-faktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu dan
sebagainya) , faktor transpirasi serta pemakaian pakaian yang serba nilan,
dapat mempermudah penyakit jamur ini.
Patogenesis
Dermatofita memiliki enzim seperti keratinolytic protease, lipase dan lainnya
yang berperan sebagai faktor virulensi terhadap invasi ke kulit, rambut, kuku, dan juga

12
memanfaatkan keratin sebagai sumber nutrisi untuk bertahan hidup. Fase penting
dalam infeksi dermatofita adalah terikatnya dermatofita dengan jaringan keratin yang
diikuti oleh invasi dan pertumbuhan elemen myocelial. Terlepasnya mediator
proinflamasi sebagai konsekuensi dari degradasi keratin membuat tubuh host ikut
merespon dengan timbulnya gejala inflamasi. “Ringworm” atau gambaran morfologi
anuler dari Tinea corporis merupakan hasil dari respon inflamasi tubuh host terhadap
infeksi dermatofita yang kemudian diikuti berkurangnya elemen fungi pada plak, dan
pada banyak kasus juga diikuti oleh resolusi spontan dari infeksi(Jawetz,at all. 2012).
Beberapa Penyakit yang timbul akibat infeksi Dermatofit adalah:
A. Tinea Kruris
Tinea kruris merupakan golongan dermatofitosis pada lipat paha,
daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau
menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup
(Djuanda, 2010). Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di
daerah inguinal, yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal,
sehingga beberapa kepustakaan menyatakan inguinal intertrigo sebagai sinonim
dari tinea kruris (Adiguna, 2011).
Tinea kruris sering terdapat di daerah dengan iklim hangat, lembab,
dan faktor predisposisi meliputi sepatu tertutup dan sering terpapar. Tinea
kruris adalah invasi folikel rambut, ini paling sering terjadi pada musim panas,
pada pria muda, dan orang dengan pakaian ketat (Paramata, 2009). Spesies
trichophyton bertanggung jawab atas 80% kasus di Amerika Serikat.Sebelum
1960, agen etiologi yang paling umum adalah microsporum audouinii.
B. Tinea Pedis:
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita
didaerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari
tangan dan kaki serta daerah interdigital. Penyebab tersering T. rubrum, T.
mentagrophytes, E. floccosum. Ada 3 bentuk Tinea pedis
 Bentuk intertriginosa
keluhan yang tampak berupa maserasi, skuamasi serta erosi, di
celah-celah jari terutama jari IV dan jari V. Hal ini terjadi disebabkan
kelembaban di celah-ceIah jari tersebut membuat jamur-jamur hidup lebih
subur. Bila menahun dapat terjadi fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila
terjadi infeksi dapat menimbulkan selulitis atau erisipelas disertai gejala-
gejala umum.

13
 Bentuk hiperkeratosis
Disini lebih jelas tampak ialah terjadi penebalan kulit disertai sisik
terutama ditelapak kaki, tepi kaki dan punggung kaki. Bila
hiperkeratosisnya hebat dapat terjadi fisurafisura yang dalam pada bagian
lateral telapak kaki.
 Bentuk vesikuler subakut
Kelainan-kelainan yang timbul di mulai pada daerah sekitar antar
jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Tampak ada
vesikel dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit, diserta perasaan
gatal yang hebat. Bila vesikelvesikel ini memecah akan meninggalkan
skuama melingkar yang disebut Collorette. Bila terjadi infeksi akan
memperhebat dan memperberat keadaan sehingga dapat terjadi erisipelas.
Semua bentuk yang terdapat pada Tinea pedis, dapat terjadi pada Tinea
manus, yaitu dermatofitosis yang menyerang tangan. Penyebab utamanya
ialah : T .rubrum, T .mentagrofites, dan Epidermofiton flokosum. Tinea
manus dan Tinea pedis harus dibedakan dengan :
1. Dermatitis kontak akut alergis
2. Skabiasis
3. Psoriasis pustulosa
C. Tinea Kapitis (Scalp ring worm ;Tinea Tonsurans)
Biasanya penyakit ini banyak menyerang anak-anak dan sering ditularkan
melalui binatang- binatang peliharaan seperti kucing, anjing dan sebagainya.
Berdasarkan bentuk yangkhas Tinea Kapitis dibagi dalam 4 bentuk :
1. Gray pacth ring worm
Penyakit ini dimulai dengan papel merah kecil yang melebar ke
sekitarnya dan membentuk bercak yang berwarna pucat dan bersisik.
Warna rambut jadi abu-abu dan tidak mengkilat lagi, serta mudah patah
dan terlepas dari akarnya, sehingga menimbulkan alopesia setempat.
Dengan pemeriksaan sinar wood tampak flourisensi kekuning-kuningan
pada rambut yang sakit melalui batas "Grey pacth" tersebut. Jenis ini
biasanya disebabkan spesies mikrosporon dan trikofiton.
2. Black dot ring worm
Terutama disebabkan oleh Trikofiton Tonsurans, T. violaseum,
mentagrofites. infeksi jamur terjadi di dalam rambut (endotrik) atau luar
rambut (ektotrik) yang menyebabkan rambut putus tepat pada permukaan
kulit kepala. Ujung rambut tampak sebagai titik-titik hitam diatas
permukaan ulit, yang berwarna kelabu sehingga tarnpak sebagai gambaran

14
” back dot". Biasanya bentuk ini terdapat pada orang dewasa dan lebih
sering pada wanita. Rambut sekitar lesi juga jadi tidak bercahaya lagi
disebabkan kemungkinan sudah terkena infeksi penyebab utama adalah
Trikofiton tonsusurans dan T.violaseum.
3. Kerion
Bentuk ini adalah yang serius, karena disertai dengan radang yang
hebat yang bersifat lokal, sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul
kecil yang berkelompok dan kadang-kadang ditutupi sisik-sisik tebal.
Rambut di daerah ini putus-putus dan mudah dicabut. Bila kerion ini pecah
akan meninggalkan suatu daerah yang botak permanen oleh karena terjadi
sikatrik. Bentuk ini terutama disebabkan oleh Mikosporon kanis,
M.gipseum , T.tonsurans dan T. Violaseum.
4. Tinea favosa
Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah
kulit yang berwarna merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta
yang berbentuk cawan (skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus
"moussy odor". Rambut di atas skutula putus-putus dan mudah lepas dan
tidak mengkilat lagi. Bila menyembuh akan meninggalkan jaringan parut
dan alopesia yang permanen. Penyebab utamanya adalah Trikofiton
schoenleini, T. violasum dan T. gipsum. Oleh karena Tinea kapitis ini
sering menyerupai penyakit-penyakit kulit yang menyerang daerah kepala,
maka penyakit ini harus dibedakan dengan penyakit-penyakit bukan oleh
jamur seperti: Psoriasis vulgaris dan Dermatitis seboroika.
5. Tinea Korporis (Tinea circinata=Tinea glabrosa)
Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang yang kurang
mengerti kebersihan dan banyak bekerja ditempat panas, yang banyak
berkeringat serta kelembaban kulit yang lebih tinggi. Predileksi biasanya
terdapat dimuka, anggota gerak atas, dada, punggung dan anggota gerak
bawah. Bentuk yang klasik dimulai dengan lesi-lesi yang bulat atau
lonjong dengan tepi yang aktif. Dengan perkembangan ke arah luar maka
bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya dapat memberi gambaran yang
polisiklis, arsiner, atau sinsiner. Pada bagian tepi tampak aktif dengan
tanda-tanda eritema, adanya papel-papel dan vesikel, sedangkan pada
bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Bila tinea korporis ini menahun
tanda-tanda aktif jadi menghilang selanjutnya hanya meningggalkan
daerah-daerah yang hiperpigmentasi saja. Kelainan-kelainan ini dapat
terjadi bersama-sama dengan Tinea kruris.

15
Penyebab utamanya adalah : T.violaseum, T.rubrum,
T.metagrofites. Mikrosporon gipseum, M.kanis, M.audolini. penyakit ini
sering menyerupai :
a. Pitiriasis rosea
b. Psoriasis vulgaris
c. Morbus hansen tipe tuberkuloid
d. Lues stadium II bentuk makulo-papular.
6. Tinea Unguium (Onikomikosis = ring worm of the nails)
Penyakit ini dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung jamur
penyebab dan permulaan dari dekstruksi kuku. Subinguinal proksimal bila
dimulai dari pangkal kuku, Subinguinal distal bila di mulai dari tepi ujung
dan Leukonikia trikofita bila di mulai dari bawah kuku. Permukaan kuku
tampak suram tidak mengkilat lagi, rapuh dan disertai oleh subungual
hiperkeratosis. Dibawah kuku tampak adanya detritus yang banyak
mengandung elemen jamur. Onikomikosis ini merupakan penyakit jamur
yang kronik sekali, penderita minta pertolongan dokter setelah menderita
penyakit ini setelah beberapa lama, karena penyakit ini tidak memberikan
keluhan subjektif, tidak gatal, dan tidak sakit. Kadang-kadang penderita
baru datang berobat setelah seluruh kukunya sudah terkena
penyakit.Penyebab utama adalah : T.rubrum, T.metagrofites
7. Tinea Barbae
Penderita Tinea barbae ini biasanya mengeluh rasa gatal di daerah
jenggot, jambang dan kumis, disertai rambut-rambut di daerah itu menjadi
putus. Ada 2 bentuk yaitu superfisialis dan kerion
a. Superfisialis
Kelainan-kelainan berupa gejala eritem, papel dan skuama yang
mula-mula kecil selanjutnya meluas ke arab luar dan memberi gambaran
polisiklik, dengan bagian tepi yang aktif. Biasanya gambaran seperti ini
menyerupai tinea korporis.
b. Kerion
Bentuk ini membentuk lesi-lesi yang eritematous dengan ditutupi
krusta atau abses kecil dengan permukaan membasah oleh karena erosi.
Tinea barbae ini didiagnosa banding dengan :
1. Sikosis barbae (folikulitis oleh karena piokokus)
2. Karbunkel
3. Mikosis dalam

16
2. Kandidiasis
Beberapa spesies ragi genus kandida mampu menyebabkan kandidiasis. Kandidiasis
adalah mikosis sistemik yang paling sering terjadi dan agen yang paling sering ditemukan
adalah C albicans, C tropicalis, C parapsilosis, C glabrata, C guilliermondii, dan C
dubliniensis (Jawetz et al., 2004).
Kandidiasis adalah penyakit jamur yang bersifat akut atau subakut disebabkan
spesies candida, biasanya oleh spesies Candida albicans dan dapat mengenai mulut, vagina,
kulit, kuku, bronki atau paru, kadang-kadang menyebabkan septikemia, endokarditis atau
meningitis (Sanjaya et al., 2014).
Morfologi
Dalam kultur atau jaringan, Candida sp. Tumbuh sebagai sel ragi berbentuk oval dan
bertunas (ukuran 3-6 µm). Candida sp. juga membentuk pseudohifa ketika tunas-tunasnya
terus bertumbuh, tetapi gagal melepaskan diri sehingga menghasilkan rantai-rantai sel yang
panjang dan bertakik atau menyempit pada lokasi penyekatan antar sel. Tidak seperti spesies
Candida yang lain, C. albicans bersifat dimorfik; selain ragi dan pseudohifa. C. albicans
juga dapat menghasilkan hifa sejati. Di medium agar atau dalam 24 jam di suhu 37˚C atau
suhu ruang. Candida sp. membentuk koloni lunak bewarna krem dengan bau beragi.
Pseudohifa tampak sebagai sebentuk pertumbuhan dibawah permukaan agar. (Jawetz, 2012)
Candida albicans yaitu organisme yang memiliki dua wujud dan bentuk secara
simultan/dimorphic organism. Pertama adalah yeast-like state (non-invasif dan sugar
fermenting organism). Kedua adalah fungal form memproduksi root-like structure/struktur
seperti akar yang sangat panjang/rhizoids dan dapat memasuki mukosa (invasif). 4-5
Dinding sel Kandida dan juga C. albicans bersifat dinamis dengan struktur berlapis, terdiri
dari beberapa jenis karbohidrat berbeda. (Vandepitte, 2003)
Jamur Candida tumbuh dengan cepat pada suhu 25-37oC pada media perbenihan
sederhana sebagai sel oval dengan pembentukan tunas untuk memperbanyak diri, dan spora
jamur disebut blastospora atau sel ragi/sel khamir. Morfologi mikroskopis C. albicans
memperlihatkan pseudohyphae dengan cluster di sekitar blastokonidia bulat bersepta
panjang berukuran 3-7x3-14 μm. Jamur membentuk hifa semu/pseudohifa yang sebenarnya
adalah rangkaian blastospora yang bercabang, juga dapat membentuk hifa sejati.3-7
Pseudohifa dapat dilihat dengan media perbenihan khusus. Candidaalbicans dapat dikenali
dengan kemampuan untuk membentuk tabung benih/germ tubes dalam serum atau dengan
terbentuknya spora besar berdinding tebal yang dinamakan chlamydospore. Formasi
chlamydospore baru terlihat tumbuh pada suhu 30-37oC, yang memberi reaksi positif pada
pemeriksaan germ tube. Identifikasi akhir semua spesies jamur memerlukan uji biokimiawi.
(Sudoyo, 2009)

17
Patogenesis dan manifestasi klinis
Menurut Afridayanti (2014), menempelnya mikroorganisme dalam jaringan sel host
menjadi syarat mutlak untuk berkembangnya infeksi.Candida albicans berada dalam tubuh
manusia sebagai saprofit daninfeksi baru terjadi bila terdapat faktor predisposisi pada tubuh
pejamu. Faktor-faktor yang dihubungkan dengan meningkatnya kasus kandidiasis antara lain
disebabkan oleh :
1. Kondisi tubuh yang lemah atau keadaan umum yang buruk.
2. Penyakit tertentu, misalnya: diabetes mellitus
3. Kehamilan
4. Rangsangan setempat pada kulit oleh cairan yang terjadi terus menerus, misalnya oleh air.
5. Penggunaan obat di antaranya: antibiotik, kortikosteroid dan sitostatik.
Menurut Sutanto et al (2008), berdasarkan lokalisasinya kandidiosis dibagi menjadi:
1. Kandidiasis Superfisialis
Kandidiasis superfisial (kutan atau mukosa) terjadi melalui peningkatan jumlah
Candida lokal dan adanya kerusakan pada kulit atau epitel yang memungkinkan invasi lokal
oleh ragi dan pseudohifa (Jawetz et al., 2004). Infeksi superfisialis pada umumnya
disebabkan oleh Candida albicans (Sutanto et al., 2008).
a. Kandidiasis Kulit
Kelainan dapat ditemukan pada daerah yang hangat dan lembab. Disintegrasi
jaringan menyebabkan turunnya imunitas lokal yang akan menyebabkan kandidiasis kulit,
seperti pada sela jari kaki/tangan (kutu air), inguinal (pada kulit bayi yang tertutup popok
dan pada vagina perempuan) , perineum, bawah payudara dan ketiak (Sutanto et al.,
2008).
b. Kandidiasis Kuku
Kelainan yang terjadi adalah paronikia kronik (infeksi kulit sekitar kuku), kemerahan
di sekitar kuku dan bawah kuku disertai nyeri. Warna kuku berubah menjadi seperti susu
atau warna lain, rapuh, menebal dan permukaan tidak rata bahkan hingga lepas atau
hilangnya kuku. Hal tersebut terjadi pada satu, beberapa atau seluruh kuku (Sutanto et al.,
2008).
c. Kandidiasis Selaput Lendir
Kandidiasis mukosa dapat mengenai mukosa vagina, orofarings, esofagus dan
mukosa intestinal. Pada bayi sering ditemukan sebagai bercak putih seperti sisa susu di
bibir, lidah atau selaput lendir mulut. Keadaan tersebut dapat juga ditemukan pada orang
dewasa (Sutanto et al., 2008).
d. Kandidiasis Sistemik atau Invasif
Kandidiasis sistemik menyerang alat dalam seperti susunan saraf pusat, paru,
jantung dan endokard, endovaskuler, mata, hati, lien dan ginjal. Sumber infeksi biasanya

18
Candida yang semula saprofit di saluran cerna, saluran napas atas atau masuk bersama
pemakaian selang infus (Sutanto et al., 2008). Kandidiasis sistemik terjadi ketika
Candida masuk ke aliran darah dan pertahanan pejamu fagositik tidak adekuat untuk
menahan pertumbuhan dan penyebaran ragi. Dari sirkulasi kemudian menginfeksi ginjal,
melekat pada katup jantung dan infeksi di semua tempat (misal artritis, meningitis,
endoftalmitis) (Jawetz et al., 2004).
Diagnosis kandidiasis ditegakkan dengan menemukan elemen jamur atau isolasi jamur
dari bahan klinik, yaitu dari darah, sputum dan urin. Untuk pengobatannya sendiri dibagi
menjadi dua, yaitu pengobatan tropikal dengan larutan, salep dan krim serta pengobatan
sistemik yang diberikan secara oral atau intravena (Sutanto et al., 2008).

2.3.2.3 MIKOSIS SUBKUTAN

Fungi yang menyebabkan mikosis subkutaneus biasanya ditemukan dalam tanah


atau tumbuhan. Jamur ini masuk ke dalam kulit atau jaringan subkutan melalui inokulasi
traumatik oleh materi yang tercemar. Umumnya, lesi menjadi granulomatosa dan perlahan
meluas dari area inokulasi. Perluasan melalui saluran getah bening yang menyalir lesi
terjadi secara lambat, kecuali pada sporotrikosis. Mikosis ini biasanya terbatas terjadi
hanya di jaringan subkutan, tetapi pada kasus yang langka menjadi sistemik dan
mengancam nyawa. (Jawetz,at all. 2012)
1. Sporotrikosis
Sporothrix schenckii adalah jamur yang dimorfik menurut suhu dan hidup di
tumbuh-tumbuhan. Jamur ini dijumpai di berbagai macam tanaman – rumput, pohon, lumut
spagnum, semak-semak mawar, dan tanaman holtikultura lain. Dalam suhu sekitar, jamur
ini tumbuh sebagai kapang, menghasilkan konidia dan hifa berseptum dan bercabang, serta
dijumpai di dalam jaringan atau in vitro pada suhu 35 – 37°C sebagai ragi kecil yang
bertunas. Setelah masuk melalui trauma kulit, Sporothrix schenckii menyebabkan
sporotrikosis, suatu infeksi granulomatosa kronis. Episode awal ini biasanya diikuti oleh
penyebaran sekunder melalui penyaliran saluran dan kelenjar getah bening. (Jawetz,at all.
2012)
Morfologi dan Identifikasi
Sporothrix schenckii dapat tumbuh dengan baik pada medium agar rutin, dan suhu
ruang koloni mudanya berwarna kehitaman dan mengkilap, lalu mengerut dan kusam
ketika menua. Pigmentasi galurnya beragam, mulai dari hitam dan abu-abu hingga
keputihan. Organisme ini menghasilkan hifa yang berseptum dan bercabang serta konidia
unik berukuran kecil (3-5 µm) yang berkelompok dengan rapi di ujung konidiofora yang
mengecil. Isolatnya juga dapat membentuk konidia yang lebih besar langsung dari hifa.

19
Sporothrix schenckii merupakan jamur yag dimorfik menurut suhu, dan pada suhu 35°C
dalam medium yang kaya, jamur ini berubah sehingga tumbuh sebagai sel-sel ragi kecil
yag bertunas, sering kali berjumlah beberapa dan bentuknya beragam, tetapi lebih sering
fusiformis (sekitar 1-3 x 3-10 µm), seperti terlihat dalam gambar... (Jawetz,at all. 2012)

Gambar 4 Sporothrix schenckii


Sumber CDC. 2014

Patogenensis dan Gejala Klinis


Pada sporotrikosis subkutan terjadi lesi di tempat inokulasi sesudah terkontak
jamur Sporothrix schenckii dengan periode inkubasi beberapa hari sampai beberapa
minggu. Biasanya lesi awal berbentuk papul yang tidak nyeri pada jari-jari atau tangan,
kemudian timbul ulserasi dan dapat meluas sebagai suatu bercak verukosa yang berkrusta.
Selanjutnya jamur Sporothrix schenckii akan menyerang saluran limfatik, ditandai dengan
terbentuknya nodul sekunder asimtomatik sepanjang garis drainase limfatik, dan dapat
disertai pembesaran kelenjar getah bening regional. Nodul limfatik juga dapat mengalami
supurasi kemudian ulserasi. Bentuk sporotrikosis kulit lokal terfiksasi (localized
cutaneous) terlihat sebagai bercak tunggal paling sering pada lengan atau wajah dengan
permukaan verukosa yang berkrusta, tanpa kecenderungan menyebar melalui saluran
limfatik. Jenis ini mencerminkan adanya tingkat imunitas yang cukup tinggi (Lintong dan
Sumolang. 2010).
Biasanya ada penyakit sistemik ringan yang menyertai lesi ini, tetapi penyebaran
dapat saja terjadi terutama pada pasien yang mengalami kelemahan. Sporotrikosis paru
primer dapat terjadi, tetapi jarang, akibat inhalasi konidia. Manifestasi ini menyerupai
tuberkulosis kavitas kronis dan cenderung terjadi pada pasien dengan gangguan kekebalan
diperantarai sel. (Jawetz,at all. 2012)

20
Epidemiologi dan Pengendalian
Sporothrix schenckii dijumpai di seluruh dunia dalam hubungan yang erat dengan
tanaman. Contoh, banyak kasus infeksi jamur ini dikaitkan dengan kontak dengan lumut
spagnum, duri bunga maawar, kayu lapuk, jerami pinus, rumput di padang, dan vegetasi
lain. Sekitar 75% kasus terjadi pada lelaki, entah karena pajanannya yang lenih tinggi entah
karena ada perbedaan kerentanan yang terkait kromosom X. Angka kejadiannya lebih
tinggi di tengah pekerja bidang agrikultur, dan sporotrikosis dianggap sebagai risiko
pekerjaan bagi petugas hutan, ahli holtikultura, dan pekerja dalam bidang kerja yang
serupa. Pencegahannya mencangkup berbagai tindakan untuk meminimalisasi inokulasi
tidak sengaja dan penggunaan fungisida, jika sesuai, pada pohon. Hewan juga rentan
terinfeksi sporotrikosis. (Jawetz,at all. 2012)

2. Kromoblastomikosis
Kromoblastomikosis (kromomikosis) merupakan infeksi mikotik subkutan yang
disebabkan oleh inokulasi traumatik oleh salah satu dari lima agen jamur yang dikenaali
terdapat dalam tanah dan tanaman. Semuanya merupakan jamur dematiaseosa dan
memiliki dinding sel bermelanin: Phialophora verrucossa, Fonsecaea pedrosoi,
Rhinocladiella aquaspersa, Fonsecaea compacta, dan Cladophialophora carrionii.
Infeksinya bersifat kronis dan ditandai oleeh lesi granulomatosa progresif yang lambat
berkembang yang nantinya memicu hiperplasia jaringan epidermis. (Jawetz,at all. 2012)
Morfologi dan Identifikasi
Jamur-jamur dematiaseosa serupa dalam hal pigmentasi, struktur antigen,
morfologi, dan sifat fisiologisnya. Koloninya padat, berwarna coklat tua hingga hitam , dan
memiliki permukaan seperti beludru yang sering kali berkerut. Agen penyebab
kromoblastomikosis dikenali melalui tipe konidiasinya. Di dalam jaringan, fungi tersebut
tampak serupa, menghasilkan sel coklat sferis (berdiameter 4-12 µm) yang dinamakan
badan sklerotik atau badan muriform yang terbagi oleh septa transversal. Septa-septa pada
berbagai bidang yang berbeda disertai pemisahan yang tertunda dapat memunculkan
kelompok-kelompok yang terdiri dari empat hingga delapan sel (Gambar...). Sel yang
berada di dalam krusta atau eksudat superfisial dapat berkembang menjadi hifa berspeta
dan bercabang. (Jawetz,at all. 2012)

21
Gambar 5 Kromoblastomikosis
Sumber : Jawetz,at all. 2012

1. Phialophora verrucosa
Konidianya dihasilkan dari fialid berbentuk botol labu (flakshaped) dengan kolaret
berbentuk cangkir. Konidia matang berbentuk sferis hingga oval menonjol keluar dari
fialid dan biasanya berakumulasi di sekelilingnya. (Jawetz,at all. 2012)

Gambar 6 hialophora verrucosa


Sumber Jawetz,at all. 2012
2. Cladophialophora (Cladosporium)carrionii
Spesies Cladophialophora dan Cladosporium menghasilkan rantai-rantai konidia yang
bercabang pada pertunasan di distal (akropetalosa). Konidium yang berada di ujung rantai
memunculkan konidium berikutnya melalui proses pertunasan. Speies diidentifikasi
berdasarkan perbedaan panjang rantai serta bentuk dan ukuran konidia. C. carrionii
menghasilkan konidiospora panjang dengan rantai-rantai konidia oval yang panjang dan
bercabang. (Jawetz,at all. 2012)
3. Rhinocladiella aquaspersa
Spesies ini menghasilkan konidia lateral atau terminal dari sel konidiogenosa yang
memanjang – ini disebut proses simpodial. Konidianya berbentuk elips hingga seperti
gada. (Jawetz,at all. 2012)
22
4. Fonsecaea pedrosoi
Fonsecaea merupakan genus polimorfik. Isolatnya dapat terlihat seperti (1) fialid;
(2) rantai blastokonidia serupa dengan Cladosporium sp.; atau (3) konidiasi tipe
rhinocladiella yang simpodial.
Kebanyakan galur Fonsecaea. pedrosoi membentuk rantai-rantai blastokonidia
yang bercabang pendek serta konidia simpodial (Jawetz,at all. 2012)

Gambar 7 Fonsecaea pedroso


Sumber Jawetz,at all. 2012

5. Fonsecaea compacta
Blastokonidia yang dihasilkan oleh Fonsecaea. pedrosoi berbentuk hampir sferis, dengan
dasar yang luas yang menghubungkan konidianya. Struktur ini lebih kecil dan padat
dibandingkan dengan yang ada pada Fonsecaea. pedrosoi. (Jawetz,at all. 2012)
Patogenesis dan Gambaran Klinis
Jamur masuk ke dalam kulit melalui trauma, sering kali di tungkai atau kaki yang
tidak tertutupi. Selama bulanan hingga tahunan, lesi primernya menjadi verukosa dan
menyerupai kutil dengan perluasan di sepanjang sistem getah bening yang menyalirnya.
Nodul yang menyerupai bunga kol disertai abses berkrusta akhirnya akan menutupi area
bersangkutan. Ulserasi-ulserasi kecil atau “titik-titik hitam” materi hemopurulen terlihat
diatas permukaan berkutil. Elefantiasis terkadang, tetapi jarang, timul akibat infeksi
sekunder, obsruksi, dan fibrosis saluran getah bening. Sangat jarang terjadi penyebaran di
bagian lain tubuh, meski lesi satelit dapat muncul akibat penyebaran saluran getah bening
setempat atau autoinokulasi. Secara histologis, lesi bersifat granulomatosa dan dapat
terlihat badan sklerotik gelap di dalam leukosit atau sel raksasa. (Jawetz,at all. 2012)
Epidemiologi
Kromoblastomikosis dijumpai terutama di negara tropis. Jamur penyebabnya
secara alami bersifat saprofit, kemungkinan berada di dalam tanaman dan di dalam tanah.
Penyakit ini terutama menyerang tungkai pekerja kebun yang bertelanjang kaki setelah

23
jamur masuk melalui trauma. Kromoblastomikosis tidak menular. Pemakaian sepatu dan
perlindungan tungkai mungkin dapat mencegah infeksi. (Jawetz,at all. 2012)

3. Feohifomikosis
Feohifomikosis adalah istilah untuk infeksi yang bercirikan hifa berseptum dan
berpigmen gelap di dalam jaringan. Dapat terjadi infeksi kulit maupun sistemik. Bentuk
klinisnya bervariasi mulai dari kista soliter berkapsul di dalam jaringan subkutan hingga
sinusitis dan abses otak. Lebih dari 100 spesies kapang dematiaseus telah diketahui
menyebabkan berbagai macam infeksi feohifomikosis. Semuanya dalah kapang eksogenus
yang normalnya berada di alam. Beberapa penyebab tersering feohifomikosis subkutan,
antara lain Exophiala jeanselmei, Phialophora richardsiae, Bipolaris spicifera, dan
Wangiella dermatitidis. Spesies-spesies ini, beserta spesies yang lain (misal, Exserohilum
rostratum, Alternaria sp., dan Culvularia sp.) dapat juga dikaitkan dengan feohifomikosis
sistemik. Angka kejadian feohifomikosis dan rentang patogennya telah bertambah
beberapa tahun terakhir ini, baik pada pasien imunokompeten maupun luluh imun.
(Jawetz,at all. 2012)
Morfologi dan Identifikasi
Di dalam jaringan, hifanya berukuran besar (berdiameter 5-10 µm), sering
terpelintir dan dapat disertai oleh sel ragi, tetapi struktur ini dapat dibedakan dari jamur
lainnya karena mengandung melanin di dinding selnya (Jawetz,at all. 2012).

Gambar 8 Feohifomikosis
Sumber Jawetz,at all. 2012

Patogenesis dan Gambaran Klinis


Penyakit ini dapat mengenai jaringan di bawah kulit yang disebut feohifomikosis
subkutis. Namun selain menyerang jaringan subkutan, penyakit ini juga dapat menyerang

24
kulit dan biasa disebut feohifomikosis kutan, dan yang menyebar ke organ lain disebut
feohifomikosis sistemik. Yang terakhir sering mengenai otak dan disebut feohifomikosis
serebral (FKUI.2009).
Kelainan pada kulit berbentuk penebalan dengan permukaan tidak rata dan
biasanya berwarna hitam. bila mengenai jaringan subkutan akan berbentuk kista, dan yang
menyebar gejalanya tergantung organ yang terkena (FKUI.2009).
Pada umumnya, intrakonazol atau flusitosin merupakan obat pilihan untuk
feohifomikosis subkutan. Abses otak biasanya mematikan, tetapi jika ditemukan, ditangani
dengan amfoterisin B dan pembedahan. Penyebab utama feohifomikosis serebri adalah
Cladophialophora bantiana (Jawetz,at all. 2012).
Epidemiologi
Penyakit ini ditemukan di Amerika, Afrika, Eropa , Asia dan Australia. Jamur ini
terdapat di tanah, setiap orang dapat terkena infeksi (FKUI.2009).

4. Misetoma
Misetoma merupakan infeksi subkutan kronis yang dipicu oleh inokulasi satu dari
beberapa spesies jamur saprofit atau bakteri aktinomisetes yang normalnya ditemukan di
dalam tanah melalui trauma. Aktinomisetoma adalah misetoma yang disebabkan oleh
aktinomisetes; eumisetoma (maduromikosis, kaki Madura) adalah misetoma yang
disebabkan oleh jamur. Perjalanan penyakit dan gambaran klinis kedua jenis misetoma
tersebut serupa, tetapi aktinomisetoma lebih invasif, menyebar dari jaringan subkutan ke
otot yang berada di bawahnya. Tentu saja terapi keduanya berbeda (Jawetz,at all. 2012).
Morfologi dan Identifikasi
Jamur penyebab misetoma meliputi, di antara lainnya, Pseudallescheria boydii
(anamorf, Scedosporiumapiospermum), Madurella mycetomatis, Madurella grisea,
Exophiala jeanselmei, dan Acremonium falciforme. Di Amerika Serikat, spesies yang
banyak dijumpai adalah Pseudallescheria boydii yang bersifat homotalus dan mampu
menghasilkan askospora di dalam kultur. Exophiala jeanselmei dan Madurella sp.
merupakan kapang dematiaseosa. Kapang-kapang ini dikenali terutama melalui mode
konidiasinya. Pseudallescheria boydii juga dapat menyebabkan Pseudaleskeriasis, suatu
infeksi sistemik pada pasien luluh imun (Jawetz,at all. 2012).
Di dalam jaringan, granula misetoma dapat berukuran hingga 2 mm. Warna
granulanya dapat memberi informasi mengenai agen penyebab. Sebgai contoh, granula
misetoma yang disebabkan oleh Pseudallescheria boydii dan Acremonium falciforme
berwarna putih; granula Madurella grisea dan Exophiala jeanselmei berwarna hitam; dan
Madurella mycetomatis mengahsilkan granula merah gelap hingga hitam. Granula-granula
ini keras dan mengandung hifa yang bersepta (lebarnya 3-5 µm) dan saling berpilin.

25
Hifanya menunjukkan ciri khas, yaitu terpelintir dan membesar di tepi granula (Jawetz,at
all. 2012).
Patogenesis dan Gambaran Klinis
Misetoma timbul pascainokulasi dengan tanah yang terkontaminasi salah satu agen
penyebab melaui trauma. Jaringan subkutan kaki, tungkai bawah, tangan, dan daerah tubuh
lain yang terbuka merupakan yang paling sering terkena. Apapun penyebabnya, patologi
penyakit ini ditandai dengan supurasi dan pembetukan abses, granuloma dan pembentukan
sinus yang mengeluarkan cairan dan mengandung granula. Proses ini dapat menyebar
hingga ke otot dan tulang sekitar. Lesi yang tidak diterapi akan bertahan selama berthaun-
tahun dan semakin meluas ke dalam dan ke tepi, menyebabkan deformasi dan hilangnya
fungsi (Jawetz,at all. 2012).
Gambaran klinis yang menjadi ciri misetoma adalah pembengkakan setempat dan
sinus-sinus yang saling terhubung – sering kali mengeluarkan cairan – dan berisi banyak
granula yang merupakan mikrokoloni agen yang tertanam di dalam jaringan (Jawetz,at all.
2012).
P. boydii dapat, tetapi sangat jarang, menyebar dalam tubuh penjamu luluh imun
atau menyebabkan infeksi pada benda asing (misalnya, pacu jantung) (Jawetz,at all. 2012).
Epidemiologi dan Pengendalian
Misetoma dijumpai di seluruh dunia, tetapi lebih sering menyerang kaum miskin
yang tidak memakai sepatu. Misetoma hanya terjadi secara sporadis di luar daerah tropis
dan khususnya banyak dijumpai di India, Afrika, dan Amerika Latin. Organisme penyebab
misetoma ditemukan di dalam tanah dan pada tanaman. Oleh sebab itu, pekerja ladang
yang bertelanjang kaki sering terpajan. Pembersihan luka dengan baik dan pemakaian
sepatu merupakan tindak pengendalian yang tepat (Jawetz,at all. 2012).

2.3.2.4 MIKOSIS ENDEMIS


1. Koksidioidomikosis
Koksidioidomikosis disebabkan oleh Coccidioides posadasii dan Coccidioides
immitis yang merupakan kapang tanah yang tidak dapat dibedakan fenotipnya. Infeksi ini
biasanya sembuh sendiri dan dapat pula mematikan (Jawetz, 2012). Jamur ini bersifat
dimorfik yang terdapat di alam bebas (Parasitologi FKUI, 2008).
Morfologi
C. posadasii tidak mudah diidentifikasi karena manifestasi klinisnya sama dengan
C. immitis. Pada sebagian besar medium laboratorium, C. immitis menghasilkan koloni
seperti kapas berwarna putih hingga krem. Hifanya membentuk rantai-rantai artrokonidia
(artrospora) yang sering kali terbentuk berseling-seling dalam sel-sel sebuah hifa. Rantai-

26
rantai ini terfragmentasi menjadi atrokonidia individual yang mudah terbawa udara dan
sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Artrokonidia yang kecil
ini tetap viabel selama bertahun-tahun dan sangat menular. Setelah terinhalasi, artrokonidia
menjadi bulat dan membesar, membentuk sferula yang berisi endospora (Jawetz, 2012).

Gambar 9 Coccidioides immitis


Sumber: www.botit.botany.wisc.edu

Pada potongan histologis suatu jaringan, ditemukannya sferula mampu


menegakkan diagnosis C. immitis. Ketika matang, sferula memiliki dinding refraktil
ganda yang tebal dan dapat mencapai ukuran dengan diameter 8 µm. Sferula menjadi
terisi oleh endospora (berukuran 2-5 µm). Akhirnya, dindingnya akan pecah sehingga
melepaskan endospora yang akan berkembang menjadi sferula-sferula baru (Jawetz,
2012).

Gambar 10 Sferula yang berisi endospora


Sumber: www.botit.botany.wisc.edu
Patogenesis
Di bronkiolus, arthrokonidia membesar untuk membentuk sferula, berbentuk
bulat dengan dinding ganda kira-kira berdiameter 20-100 μm. Sferula mengalami
pembelahan internal dalam 48-72 jam dan menjadi terisi dengan ratusan hingga ribuan
endopsora. Pecahnya sferula menyebabkan pelepasan endospora yang matang untuk
membentuk lebih banyak sferula. Perubahan artrokonidium menjadi sferula
menghasilkan inflamasi pada lesi paru lokal. Ekstrak organisme C. immitis bereaksi
dengan komplemen, menyebabkan lepasnya mediator chemotaxis untuk neutrofil.

27
Beberapa endospora ditelan oleh makrofag memulai fase inflamasi akut. Jika infeksi
tidak dibersihkan selama proses ini, sekelompok limfosit baru dan histiosit turun di
lokasi infeksi, mengakibatkan terbentuknya granuloma dengan kehadiran sel-sel
raksasa. Ini adalah tahap peradangan kronis. Orang dengan penyakit parah mungkin
memiliki bentuk peradangan akut dan kronis (Duane, 2016).
Sejumlah penelitian telah menetapkan bahwa cell-mediated immunity by
lymphosit T penting untuk mengendalikan infeksi. Respon innate (neutrofil, makrofag
perlengketan sel, sel NK) juga memberikan kontribusi untuk pertahanan pejamu.
Aktivasi sel T dan pembentukan sitokin merangsang sel-sel inflamasi dan memfasilitasi
membunuh organisme. Th-1 sitokin, terutama interferon-gamma, membantu makrofag
membunuh endospora (Duane, 2016).
Kegagalan host untuk merespons dengan tepat menunjukkan kekurangan cell-
mediated immunity umum maupun spesifik. Faktor-faktor lain, seperti pembentukan
kekebalan-kompleks dan kelebihan antigen, juga dapat menyebabkan kegagalan host
respon. Beberapa artrokonidia yang difagosit diangkut ke getah bening dengan
makrofag dan dapat menyebabkan lymphangitis. Infeksi kecil ini mungkin 10 atau lebih
sedikit artrokonidia. Adanya sferula memicu reaksi inflamasi akut. Sferula bereaksi
dengan komplemen dan menyebabkan kemotaksis neutrofil, eosinofil (Duane, 2016).
Patogenitas organisme sebagian besar berhubungan dengan resistensi sferula
untuk diberantas oleh pejamu. Sferula dan endospora menghasilkan racun tidak
diketahui, dan sferula baru disebarkan dalam jaringan yang terinfeksi, supurasi progresif
dan nekrosis jaringan terjadi. Neutrofil dan sel mononuclear berusaha memfagositosis
organisme, dan sel-sel raksasa terbentuk untuk menyerang struktur jamur yang lebih
besar (Duane, 2016).
Tubuh merespon kehadiran atau aktivasi komplemen dengan melepas faktor
kemotaksis. Reaksi yang intens diikuti proses inflamasi. Namun, neutrofil dan makrofag
tidak mampu membunuh organisme karena resistensi sferula terhadap fagositosis. T-cell
mediated immunity penting untuk membunuh organisme; oleh karena itu, jika pejamu
mengalami defisiensi sel sistem imun dapat membuat sejumlah jamur sangat rentan
terhadap penyakit dan penyebaran (Duane, 2016).
Gejala Klinis
Inhalasi artrokonidia menyebabkan infeksi primer yang asimtomatis pada 60%
penderita. Satu-satunya bukti infeksi adalah terbentuknya presipitin serum serta
konversi uji kulit positif dalam 2-4 minggu. Presipitin akan berkurang, tapi uji kulit
sering kali tetap positif seumur hidup. Sekitar 40% individu lain mengalami penyakit
seperti influenza swasirna yang ditandai dengan demam, malaise, batuk, artralgia, dan
nyeri kepala. Kondisi tersebut disebut demam lembah, demam lembah San Joaquin,

28
atau reumatik gurun. Setelah 1-2 minggu, sekitar 15% pasien menunjukkan reaksi
hipersensitivitas, berupa ruam, eritema nodosum, atau eritema multiforme. Pada
pemeriksaan radiografi, pasien secara khas memperlihatkan adenopati hilus disertai
infiltrat paru, pneumonia, efusi pleura, atau nodul. Residu paru terjadi pada sekitar 5%,
biasanya dalam bentuk nodul solitar atau kavitas berdinding tipis (Jawetz, 2012).
Koksidioidomikosis terdapat dua bentuk yaitu koksidioidomikosis primer dan
koksidioidomikosis progresif. Koksidioidomikosis primer biasanya mengenai paru
dengan gejala menyerupai infeksi paru oleh organism lain. Sebagian besar tanpa
menimbukan gejala atau dengan gejala ringan dan sembuh sendiri. Pada infeksi
berikutnya, dapat timbul eritema nodosum dan eritema multiforme. Koksidioidomikosis
progresif adalah penyakit yang bila tidak diobati, berlangsung fatal. Hanya sebagain
kecil koksidioidomikosis primer yang menjadi koksidioidomikosis progresif dan
mneyebar ke otak, kulit atau organ lain. Penyakit primer yang menjadi progresif lebih
banyak terjadi pada orang yang kulit orang berwarna daripada kulit putih (Parasitologi
FKUI, 2008).
Koksidioidomikosis lebih sering terjadi pada kelompok rasial tertentu.
Kelompok ras yang berisiko tersebut (dalam urutan risiko terbesar hingga terkecil)
adalah ras Filipina, Afro-Amerika, Amerika Asli, Hispanik, dan Asia. Terdapat
komponen genetik dalam respon imun terhadap C. immitis. Lelaki lebih rentan terserang
dibandingkan wanita, kecuali perempuan hamil yang dapat saja memperlihatkan
perbedaan respon imun atau dampak langsung hormon seks pada jamur. Misal, C.
immitis mempunyai protein pengikat estrogen, dan peningkatan kadar estradiol serta
progesteron merangsang pertumbuhannya. Kaum muda dan tua juga meningkatkan
resikonya menderita penyakit ini. Oleh karena itu diperlukan respons imun selular untuk
resistansi yang cukup, penderita AIDS dan keadaan imunosupresi selular lainnya
berisiko untuk mengalami koksidioidomikosis diseminata (Jawetz, 2012).
Beberapa individu rnengalami penyakit paru kronik terapi progresif yang
ditandai dengan multiplikasi atau pembesaran nodul atau kavitas. Penyebaran biasanya
akan terjadi dalam setahun setelah infeksi primer. Sferula dan endospora menyebar
melalui perluasan langsung atau hematogen. Sejumlah tempat ekstraparu dapat terlibat,
tetapi organ yang paling sering terkena adalah kulit, tulang
dan sendi, serta meninges. Ada manifestasi klinis yang berbeda yang disebabkan oleh
infeksi C. immitis di setiap organ ini dan area lain di tubuh (Jawetz, 2012).
Pada pemeriksaan histologi, lesi akibat Coccidioides mengandung granuloma
tipikal dengan sel raksasa dan supurasi yang menyebar. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan menemukan sferula dan endospora. Perjalanan klinisnya sering ditandai dengan
remisi dan relaps (Jawetz, 2012).

29
Epidemiologi

Gambar 11 Persebaran Koksidioidomikosis


Sumber: www.cdc.gov

C. immitis merupakan endemik di daerah yang sangat kering, menyerupai Area


Kehidupan Gurun Sonora Bawah. Termasuk ke dalam area ini, antara lain berbagai
negara bagian di barat daya khususnya
lembah San Joaquin dan Sacramento di California, daerah di sekitar Tucson dan
Phoenix di Arizona, lembah Rio Grand-dan area lain yang serupa di Amerika Tengah
dan Selatan. Di dalam area-area ini tersebut, C. immitis dapat diisolasi dari tanah dan
hewan pengerat asli daerah tersebut, dan
tingkat reaktivitas uji kulit dalam masyarakat menunjukkan bahwa banyak manusia
yang telah terinfeksi. Angka infeksinya paling tinggi selama bulan-bulan kering
musim panas dan gugur, ketika ada banyak debu. Selama epidemi koksidioidomikosis
di lembah San Joaquin pada tahun I99I-I993, angka koksidioidomikosis meningkat
lebih dari 10 kali lipat. Peningkatan presipitasi di bulan musim semi dalam tahun-
tahun tersebut diperkirakan menjadi faktor stimulus lingkungan (Jawetz, 2012).
Penularan
Koksidioidomikosis menyebar melalui inhalasi yang mengandung artrospora.
Penyakit ini tidak menular dari orang ke orang lain, dan tidak ada bukti bahwa hewan
pengerat yang terinfeksi turut berperan dalam penyebarannya. Penyebaran terjadi bila
respons imun tidak cukup untuk menahan fokus paru. Pada kebanyakan orang, uji
kulit positif menandakan respons imun diperantarai sel yang kuat dan perlindungan
terhadap reinfeksi. Namun, apabila individu tersebut menjadi luluh imun akibat
mendapat obat sitotoksik atau akibat penyakit (misal, AIDS), penyebaran dapat timbul
bertahun-tahun setelah infeksi primer (penyakit reaktivasi) (Jawetz, 2012).

30
2. Histoplasmosis
Histoplasma capsulatum merupakan saprofit tanah dimorfik bergantung suhu
(thermally dimorphic) yang menyebabkan histoplasmosis, suatu infeksi mikotik paru
yang paling banyak dijumpai pada manusia dan hewan. Di alam, H. capsulatum
tumbuh sebagai kapang bersama habitat tanah dan burung, diperkaya dengan substrat
nitrogen alkali dalam guano (Jawetz, 2012).
Morfologi

Gambar 12 Histoplasma capsulatum


Sumber : www.elsalvadorperiod7.wikispaces.com

Pada suhu di bawah 370C, isolasi primer H. capsulatum sering memunculkan


kapang berwarna cokelat, tetapi tampilannya bervariasi. Kebanyakan isolasi lambat
bertumbuh, dan spesimennya memerlukan waktu inkubasi 4-12 minggu untuk
memunculkan koloni. Hifa hialin bersepta menghasilkan mikrokonidia (2-5 µm) dan
makrokonidia berdinding tebal, bulat, dan besar disertai penonjolan materi dinding sel
(8-16 µm) di perifernya. Di dalam jaringan atau in vitro pada medium yang kaya pada
suhu 370C, hifa dan konidianya berubah menjadi sel ragi kecil dan oval (2 x 4 µm). Di
dalam jaringan, ragi secara khas terlihat berada dalam makrofag, karena H.
capsulatum merupakan parasit intrasel fakultatif (Jawetz, 2012).
Patogenesis
Infeksi terjadi setelah mikrokonidia dari Histoplasma capsulatum terhirup ke
saluran pernapasan. Di ruang alveolar konidia dikenali dan difagosit oleh makrofag
alveous. Di dalam makrofag, konidia berubah menjadi ragi yang merupakan langkah
penting dalam patogenesis histoplasmosis. Selama dua minggu pertama, ragi
Histoplasma bermultiplikasi dalam alveolar makrofag dan menyebar ke seluruh sistem
retikuloendotelial. Sel dendritik menelan dan membunuh ragi dan mampu
mempresentasikan antigen Histoplasma dan merangsang limfosit T naive. Sel
dendritik berbanjar di jalan pernapasan dan dengan demikian terlibat di awal
pemusnahan Histoplasma. Dalam waktu 2 sampai 3 minggu, respon imun sel T-

31
dimediasi dihasilkan dan bertanggung jawab untuk menghentikan penyebaran dengan
membantu intraseluler membunuh ragi oleh efektor makrofag. Respon ini diatur
tergantung pada sejumlah sitokin seperti tumor necrosis factor-α ' (TNF-α), interferon-
γ dan interleukin (IL)-12. Sitokin-sitokin IL-10, IL-17, dan IL-23 juga muncul untuk
memainkan peran utama dalam koordinasi respon imun yang efektif untuk infeksi
Histoplasma. Jika kekebalan seluler rusak, jamur yang tersisa berkembang biak dan
menyebarkan seluruh tubuh, menyebabkan kerusakan jaringan dan gagal organ multi,
menyebabkan penyebaran progresif yang dapat berakibat fatal jika tidak diobati
(Kenneth dan Chadi, 2009).
Gambaran klinis
Pada lebih dari 95% kasus, respons imun diperantarai sel yang timbul
menyebabkan sekresi sitokin sehingga mengaktifkan makrofag untuk menghambat
pertumbuhan ragi di dalam sel. Beberapa orang, seperti orang imunokompeten yang
menghirup inokulum berat, mengalami histoplasmosis paru akut, yaitu sindrom seperti
flu yang sembuh sendiri, terdiri dari demam, menggigil, mialgia, nyeri kepala, dan
batuk nonproduktif. Pada pemeriksaan radiografi, sebagian besar penderita akan
menunjukkan limfadenopati hilum dan infiltrat atau nodul paru. Gejala tersebut hilang
secara spontan tanpa terapi, dan nodul granulomatosa di dalam paru atau tempat lain
sembuh dengan kalsifikasi (Jawetz, 2012).
Secara klinis, histoplasmosis terbagi menjadi empat jenis, yaitu
histoplasmosis asimptomatik, histoplasmosis pulmoner akut, histoplasmosis pulmoner
klinis, dan histoplasmosis diseminata yang merupakan bentuk terberat (Parasitologi
FKUI, 2008). Histoplasmosis paru kronis paling sering banyak dijumpai pada kaum
laki-laki dan biasanya proses reaktivasi, pecahnya lesi dorman yang didapat beberapa
tahun lalu. Reaktivasi ini biasanya dipercepat oleh kerusakan paru seperti emfisema.
Histopiasmosis diseminata berat terjadi pada sejumlah kecil individu yang terinfeksi-
khususnya bayi, lanjut usia, dan dan pasien luluh imun, termasuk penderita AIDS.
Sistem retikuloendotelium menjadi sistem yang terutama cenderung terkena, disertai
limfadenopati, pembesaran limpa dan hati, demam tinggi, anemia, dan angka
mortalitas yang tinggi jika tanpa terapi antiijamur. Dapat timbul ulkus mukokutan di
hidung, mulut, lidah, dan usus. Pada penderita tersebut, pemeriksaan histologis
mengungkap adanya area fokus nekrosis di dalam granuloma pada banyak organ. Ragi
dapat dijumpai dalam rnakrofag di darah, hati, limpa, dan sumsum tulang (Jawetz,
2012).
Epidemiologi
Angka kejadian histoplasmosis paling tinggi dijumpai di Amerika Serikat;
area endeminya meliputi negara bagian di tengah dan timur dan terutama Lembah

32
Sungai Ohio dan sebagian lembah Sungai Mississippi. Banyak wabah histoplasmosis
akut disebabkan oleh pajanan sejumlah besar orang
mengidap inokulum besar konidia. Wabah urban histoplasmosis terbesar terjadi di
Indianapolis (Jawetz, 2012).

Gambar 13 Persebaran histoplasmosis


Sumber: www.cdc.gov

Di beberapa area dengan endemi yang tinggi, 80-90% penduduknya


menunjukkan hasil uji kulit yang positif pada masa dewasa dini. Kebanyakan akan
mengalami kalsifikasi milier di paru. Di Afrika, selain patogen yang lazim, terdapat
varian yang stabil, H. capsulatum var duboisii, yang menyebabkan histoplasmosis
Afrika. Bentuk ini berbeda dengan penyakit yang biasa karena lebih sedikit
melibatkan paru, tetapi lebih banyak memunculkan lesi pada kulit dan tulang disertai
begitu banyak sel raksasa berisi ragi yang berukuran lebih besar dan bulat (Jawetz,
2012).
Penularan
Histoplasmosis masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi yang
mengandung konidia H. capsulatum. Di alam, H. capsulatum hidup sebagai saprofit
di tanah yang banyak mengandung nitrogen dengan konsentrasi tinggi, misalnya tanah
yang tercemar tinja ayam atau burung. Kelelawar dapat terinfeksi dan menebarkan
jamur melalui tinjanya (Parasitologi FKUI, 2008). Ini terjadi ketika H. capsulatum
terganggu habitat alaminya, yaitu tanah yang bercampur feses burung (misal, tempat
bertengger burung jalak, kandang ayam) atau guano kelelawar (goa). Keluarga burung
tidak terinfeksi, tetapi fesesnya menyediakan kondisi lingkungan yang sangat baik
untuk pertumbuhan jamur. Penyakit ini tidak ditularkan dari orang ke orang.
Penyemprotan formaldehid pada tanah yang terinfeksi dapat menghancurkan H.
capsulatum (Jawetz, 2012).

33
3. Blastomikosis
B. dermatitidis merupakan jamur dimorfik sesuai suhu yang tumbuh sebagai
kapang di dalam kultur, menghasilkan hifa hialin bersepta dan bercabang, serta konidia.
Pada suhu 370C atau di dalam pejamu, jamur ini berubah menjadi sel ragi besar dan
bertunas tunggal. B. dermatitidis menyebabkan blastomikosis, suatu infeksi kronis disertai
lesi granulomatosa dan supuratif yang bermula di dalam paru, kemudian dari paru dapat
menyebar ke organ manapun tetapi lebih sering ke kulit dan tulang (Jawetz, 2012).
Morfologi

Gambar 14 Kapang Blastomyces dermatitidis


Sumber: www.4.bp.blogspot.com

Gambar 15 Ragi Blastomyces dermatitidis


Sumber: www.medical-labs.net

Jika B. dermatitidis ditumbuhkan di agar Sabourad di suhu ruang, muncul


koloni berwarna putih atau kecokelatan, disertai hifa bercabang membawa konidia
bulat, ovoid atau piriformis (berdiameter 3-5 µm) di bagian ujung atau lateral
konidiofora yang melengkung. Klamidospora yang lebih besar juga dapat
dihasilkan. Di dalam jaringan atau kultur pada suhu 370C, B. dermatitidis tumbuh
sebagai ragi bulat (8-15 µm) berdinding tebal dan berinti banyak yang biasanya
menghasilkan satu tunas. Tunas dan ragi induknya melekat ke sautu dasar yang
lebar, dan tunasnya seringkali membesar hingga berukuran sama dengan ragi induk

34
sebelumnya akhirnya lepas. Koloni ragi lisut, seperti lilin dan bertekstur lembut
(Jawetz, 2012).
Patogenesis
Konidia diproduksi di fase kapang yang merupakan penyebab infeksi ketika
terhirup ke dalam alveoli, tempat dimana konidia berubah menjadi ragi. Beberapa
faktor host lokal dipicu setelah menghirup konidia. Makrofag alveolus dapat
memfagosit dan membunuh konidia, serta dapat menghambat transisi dari beberapa
inokulum ke tahap ragi. Neutrofil dan makrofag dapat memfagosit organisme fase
ragi yang menyebabkan respons campuran host cholangitis dan granulomatous yang
terlihat dalam sampel jaringan. Akhirnya, pengendalian infeksi dengan B.
dermatitidis terutama tergantung pada limfosit T yang telah menjadi sensitif terhadap
antigen Blastomyces dan mempersenjatai makrofag untuk membunuh ragi.
Kekebalan humoral berkembang, tetapi tidak penting untuk penahanan infeksi. Pada
awalnya dan dalam banyak kasus, klinis manifestasi blastomycosis adalah radang
paru-paru atau pneumonia. Namun, penyebaran hematogenous umumnya dapat
menyebabkan penyakit yang fokus pada lokasi tertentu atau menyebarkan infeksi.
Tidak semua organisme diberantas oleh respon imun, dan reaktivasi telah dilaporkan
sampai 40 tahun setelah awal infeksi (Jeannina dan Carol, 2009).
Gejala klinis
Manifestasi klinis yang paling umum adalah infiltrat paru disertai berbagai
gejala yang tidak dapat dibedakan dari infeksi saluran napas bawah akut lain
(demam, malaise, keringat malam, batuk, dan mialgia). Pasien juga sering menderita
pneumonia kronis. Pemeriksaan histologis mengungkap adanya reaksi
piogranulomatosa kronis dengan granuloma nonkaseosa dan neutrofil. Jika
penyebaran terjadi, sering terjadi lesi kulit pada permukaan yang terpapar. Lcsi dapat
berevolusi menjadi granuloma verukosa yang membentuk ulkus dengan tepi yang
senantiasa melebar dan parut sentral. Tepinya terisi mikroabses dan mempunyai tepi
yang jelas dan melengkung. Dijumpai pula lesi pada tulang, genitalia (prostat,
epididimis, dan testis), serta sistem saraf pusat; lokasi lain jarang terkena. Meski
pasien yang luluh imun, termasuk penderita AIDS, dapat mengalami blastomikosis,
penyakit ini tidak menyerang kelompok pasien ini sesering mikosis sistemik lain
(Jawetz, 2012).
Epidemiologi
Blastomikosis merupakan infeksi pada anjing (jarang menyerang hewan
lain) yang relatif umum dijumpai di daerah yang endemis. Penyakit ini dinamakan
blastomikosis Amerika Utara karena mewabah dan kasus kebanyakan dijumpai di
Amerika Serikat dan Kanada. Meski prevalensinya tinggi di Amerika Utara,

35
blastomikosis tercatat terjadi di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. Penyakit ini
endemis pada manusia dan anjing di Amerika Serikat bagian timur (Jawtz, 2012).

Gambar 16 Persebaran blastomikosis


Sumber: www.cdc.gov

Penularan
Blastomikosis masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi. Penyakit ini tidak dapat
ditularkan oleh hewan atau manusia (Jawetz, 2012).

4. Parakoksidioidomikosis
Paracoccidioides brasiliensis merupakan jamur dimorfik bergantung suhu
penyebab parakoksidioidomikosis yang terbatas keberadaannya di daerah endemis
Amerika Tengah dan Selatan (Jawetz, 2012).
Morfologi

Gambar 17 Paracoccidioides brasiliensis


Sumber: www.microbeworld.org

Kultur berbentuk kapang P. brasiliensis sangat lambat bertumbuh dan


menghasilkan klamidospora serta konidia. Gambarannya tidak jelas. Pada suhu 360C, di
medium yang kaya, jamur ini membentuk sel ragi besar bertunas yang bermultiplikasi
(berukuran hingga 30 µm). Raginya berukuran lebih besar dan berdinding lebih tipis
dibanding dengan B. dermatitidis. Tunasnya saling melekat dengan penghubung yang
sempit (Jawetz, 2012).

36
Patogenesis
Paru-paru adalah situs utama infeksi ketika menghirup conidia atau mycelial
fragmen. Setelah menghirup konidia, jamur berubah menjadi sel ragi dalam alveolar
makrofag. Transformasi ini menginduksi respon inflamasi yang spesifik, yang biasanya
membatasi penyakit saat ini. Oleh karena itu, pada kebanyakan pasien yang
immunokompeten, infeksi terjadi asimtomatik dan sembuh tanpa intervensi medis. Pada
sebagian kecil kasus, setelah periode inkubasi selama beberapa minggu hingga beberapa
dekade, jamur dapat menyebar melalui vena dan sistem limfatik, menyebabkan penyakit
granulomatous dalam beberapa jaringan (Duane, 2015).
Inokulasi langsung kulit atau selaput lendir mulut mungkin hasil dari penggunaan
ranting untuk membersihkan gigi, yang dipraktekkan di pedesaan Brasil. Mukosa usus
sebagai tempat langsung inokulasi jika Paracoccidioides tertelan. Lesi kulit dapat
dihasilkan dari ekstensi langsung, penyebaran hematogenous atau penyebaran limfatik
(Duane, 2015).
Gejala klinis
Pada kasus umum parakoksidioidomikosis kronis, raginya menyebar dari paru ke
organ lain, khususnya kulit dan jaringan mukokutan, kelenjar getah bening, limpa, hati,
adrenal, dan tempat lain. Banyak penderita mengeluhkan sariawan yang sakit di mukosa
mulut. Pemeriksaan histologis biasanya mengungkap baik granulose berkaseosa di
tengahnya ataupun mikroasbes. Ragi jamur ini sering terlihat pada sel raksasa atau
langsung berada di dalam eksudat dari lesi mukokutan (Jawetz, 2012).
Epidemiologi

Gambar 18 Persebaran geografi Parakoksidioidomikosis


Sumber: www.life-worldwide.org

37
Parakoksidioidomikosis terjadi terutama di pedalaman Amerika Latin, khususnya
diantara petani. Manifestasi penyakit jauh lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada
perempuan, tetapi infeksi dan reaktivitas sama kejadiannya pada keduanya (Jawetz, 2012).
Penularan
Parakoksidioidomikosis masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi. Penyakit ini
bukanlah penyakit yang menular (Jawetz, 2012).

2.3.2.5 MIKOSIS OPORTUNISTIK


1. Kriptokokosis
Cryptococcus neofarmans dan C. gattii merupakan ragi basidiomisetes yang
memiliki kapsul polisakarida yang besar. C. neofarmans dijumpai di seluruh dunia di alam
dan dapat dengan cepat diisolasi dari feses merpati yang kering. C. gattii lebih jarang
dijumpai dan biasanya berkaitan dengan pepohonan di area tropis. Kedua spesies tersebut
menyebabkan kriptokokosis yang terjadi setelah inhalasi sel ragi yang mongering atau
kemungkinan basidiospora yang berukuran lebih kecil. Dari paru, ragi neurotropis ini
biasanya berpindah ke system saraf pusat, menyebabkan meningoensefalitis. Akan tetapi,
ragi ini juga mampu menyerang organ lain (kulit, mata, prostat). C. neofarmans dijumpai
pada pasien imunokompeten tetapi lebih sering pada penderita HIV/AIDS, keganasan
hematogen, dan keadaan imunosupresif lain. C. gattii lebih jarang terjadi dan biasanya
berkaitan dengan pejamu yang tampaknya normal. (Jawetz, 2012)
Morfologi
Di dalam kultur, Cryptococcus sp. Menghasilkan koloni mukoid keputihan dalam
2-3 hari. Secara mikroskopis, dalam kultur atau klinis, sel ragi yang bulat dan bertunas
(diameter 5-10 µm) dikelilingi kapsul tebal yang tidak terwarnai. Semua spesies
Cryptococcus, termasuk beberapa spesies non pathogen, terbungkus di dalam kapsul dan
mengandung urease. (Jawetz, 2012)

Gambar 19 Cryptocococcus neoformans pada paru


Sumber Jawetz,2012

38
Patogenesis dan Manifestasi Klinik
Infeksi diawali dengan inhalasi sel ragi, yang di alam bersifat kering,
terenkapsulasi minimal, dan mudah menjadi aerosol. Infeksi paru primer dapat asimtomatis
atau menyerupai infeksi pernapasan mirip influenza, dan sering kali sembuh spontan. Pada
pasien luluh imun, ragi ini dapat memperbanyak diri dan menyebar ke bagian tubuh lain,
tetapi paling sering ke system saraf pusat, menyebabkan meningoensefalitis kriptokokus.
Lokasi penyebaran lain yang umum meliputi kulit, adrenal, tulang, mata, dan kelenjar
prostat. Reaksi peradangan biasanya minimal atau granulomatosa. (Jawetz, 2012)
Manifestasi klinis yang utama adalah meningitis kronis yang dapat menyerupai
tumor otak, abses otak, penyakit degenerasi system saraf pusat, atau meningiitis
mikobakteri atau jamur yang lain. Tekanan cairan serebrospinal dan protein dapat
meningkat dan hitung sel ikut naik, sementara glukosa tetap normal atau rendah. Penderita
mengeluh nyeri kepala, kaku leher, dan diseorentasi. Selain itu, bias terdapat lesi dikulit,
paru, atau organ lain.
Perjalanan penyakit meningitis kriptokokus dapat berfluktuasi dalam waktu yang
lama, tetapi semua kasus yang diterapi pada akhirnya mematikan. Sekitar 5-8% pasien
AIDS menderita meningitis kriptokokus. Infeksi ini tidak ditularkan dari orang ke orang.
(Jawetz, 2012)

2. Aspergilosis
Aspergilosis adalah satu spectrum penyakit yang disebabkan oleh sejumlah spesies
Aspergillus. Aspergillus sp. Merupakan saproba yang terdapat di mana-mana di alam
sehingga kasus aspergilosis terjadi di seluruh dunia. A. Fumigatus merupakan pathogen
pada manusia yang paling sering ditemukan, tetapi banyak jamur lain, termasuk A. falvus,
A. niger, A. terreus, dan A. lentulus juga mampun menyebabkan penyakit. Kapang ini
menghasilkan banyak konodia kecil yang mudah menjadi aerosol. Setelah konodia ini
terinhalasi, individu atopik sering mengalami reaksi alergi berat terhadap antigen konidia.
Pada pasien luluh imun khususnya penderita leukemia, pasien transplan sel punca, dan
individu yang menggunakan kortikosteroid konidia mampu bergerminasi dan
menghasilkan hifa yang menyerang paru dan jaringan lain. (Jawetz, 2012)
Morfologi
Aspergillus sp. Tumbuh cepat, menghasilkan hifa aerial yang memperlihatkan ciri
khas struktur konidia: konidiafora panjang denganvesikel di terminal, tempat fialid
menghasilkan rantai-rantai basipetal konidia. (Jawetz, 2012)

39
Gambar 20 Aspergillus pada paru
Sumber Jawetz,2012

Patogenesis
Di dalam paru, makrofag alveolar mampu membungkus dan menghancurkan
konidia. Akan tetapi makrofag hewan yang diberi kortikosteroid atau pasien luluh imun
telah berkurang kemampuannya menhan inokulum. Di dalam paru, konidia membengkak
dan tumbuh hingga menghasilkan hifa yang cenderung menyerang akvitas yang sudah ada
sebelumnya (aspergiloma atau bola jamur) atau pembuluh darah. (Jawetz, 2012)

3. Hyalohiphomikosis
hyalohyphomikosis istilah digunakan untuk merujuk pada infeksi yang disebabkan
oleh berbagai kelompok berwarna (hialin) atau cetakan berwarna ringan yang mengadopsi
bentuk septate hifa dalam jaringan. hyalohyphomycosis telah dikaitkan dengan berbagai
manifestasi klinis yang berbeda. infeksi lokal dapat terjadi di antara orang yang sehat,
sementara penyakit disebarluaskan biasanya terlihat pada individu immunocompromised.
Hyalohyphomycosis dicadangkan sebagai nama umum untuk infeksi yang disebabkan oleh
jamur hyalin biasa yang tidak penyebab lain infeksi nama, seperti aspergillosis. istilah juga
telah digunakan untuk menunjuk infeksi yang disebabkan oleh jamur yang membentuk
koloni berpigmen coklat atau spora dalam budaya, tapi menghasilkan hialin atau ringan
berwarna jaringan hifa.
Morfologi
Fusarium adalah salah satu genus cendawan berfilamen yang banyak ditemukan
pada tanaman dan tanah. Golongan Fusarium dicirikan dengan struktur tubuh berupa
miselium bercabang, hialin, dan bersekat (septat) dengan diameter 2-4 µm. (Seal, 2004).
Cendawan ini juga memiliki struktur fialid yang berupa monofialid ataupun polifialid dan
berbentuk soliter ataupun merupakan bagian dari sistem percabangan yang kompleks.
Reproduksi aseksual cendawan ini menggunakan mikrokonidia yang terletak pada
konidiospora yang tidak bercabang dan makrokonidia yang terletak pada konidiospora

40
bercabang dan tak bercabang. Makrokonidia dibentuk dari fialid, memiliki struktur halus
serta bentuk silindris, dan terdiri dari 2 atau lebih sel yang memiliki dinding sel tebal.
Sedangkan mikrokonidia yang dihasilkan umumnya terdiri dari 1-3 sel, berbentuk bulat
atau silinder, dan tersusun menjadi rantai atau gumpalan. (Wallace, 2007).
Patogenesis
Fusarium dapat menginfeksi manusia dan hewan secara aerosol (melalui udara)
apabila inang menghirup konidia dari cendawan patogen tersebut. Cara lain penyebaran
cendawan ini adalah melalui infeksi nosokomial dari pembuangan limbah air atau tanaman
di rumah sakit maupun melalui membran mukosa manusia. (Wallace, 2007). Spesies yang
umum menyerang manusia adalah F. solani, F. oxysporum, dan F. moniliforme yang
menyebabkan infeksi invasif dan superfisial pada manusia. (Lexie Nall, 1996). Cendawan
ini dapat menyerang individu dengan sistem imun rentan (imunospresif) maupun
imunokompeten. Individu dengan imunitas normal dapat terserang keratitis yang
menyebabkan infeksi lokal pada kornea, kulit, dan kuku. Umumnya, inang imunokompeten
akan terserang infeksi Fusarium yang terlokalisasi pada bagian tertentu, contohnya
peritonitis, onikomikosis, infeksi tulang, dan endoftalmitis. (Pfaller, 2009). Apabila
menyerang inang imunosupresif maka infeksi yang terjadi biasanya bersifat menyebar,
seperti infeksi sistem saraf pusat, pneumonia, sinusitis, abses otak, dan lain-lain.
(Kavanagh, 2007).

4. Mukormikosis (zigomikosis)
Istilah zigomikosis lebih disukai dbandingkan dengan mukormikosis dan
fikomikosis. Istilah fikomikosis dulu digunakan ketika zigomikosis, oomycetes dan chytrid
digolongkan bersama-sama kedalam divisi tunggal. Taksonomi modern membuat
kelompok ini tidak beranggota (kosong) dan oleh sebab itu istilah fikomikosis tidak dipakai
lagi. Kelas zigomikosis terdiri dari dua ordo, yaitu mucorales dan entomophthorales.
Mucorales biasanya menyerang orang yang imunokompeten. (Kwon, 1992)
Mukormikosis (zigomikosis) adalah mikosis oportunistik yang disebabkan oleh
sejumlah kapang yang dikelompokkan ke dalam ordo Murcorales darim filum zygomycota.
Jamur ini merupakan saproba termotoleran yang dijumpai dimana-mana. Infeksi ini sangat
jarang pada manusia tau hewan. Pada umumnya kasus mukormikosis pada manusia
dihubungkan dengan kondisi imunologisnya.. Patogen utama dalam kelompok jamur ini
adalah spesies genus Rhizopus, Rhizomucor, Absidia, Cunninghamella, Mucor, dan
lainnya. Akan tetapi, agen yang paling banyak dijumpai adalah Rhizopus oryzae. Berbagai
keadaan yang membuat pasien beresiko, antara lain adalah asidosis terutama yang
berkaitan dengan diabetes militus-leukimia, limfoma,terapi kortokosteroid, luka bakar

41
berat, imundefisiensi, dan penyakit lainnya yang menyebabkan kelemahan, serta dialisis
yang menggunakan kelator besi deferoxamine.(Rippon,1988)
Morfologi
Mucor Rhizopus dan Absidia termasuk jamur pertumbuhannya cepat. Pada agar
Sabouraud membentuk filamen seperti kapas. Dalam sediaan langsung dari koloni, tampak
hifa yang lebar senositik dan transporangium dalam berbagai stadium; ada yang berisi
cairan, granula atau spora sesuai umur sporangiumnya. (Wahyuningsih, 2013)

Gambar 21 Mucor Rhizopus(William McDonald, M.D.)


Sumber Jawetz,2012
Patogenesis dan manifestasi klinis
Cara transmisi terpenting adalah inhalasi spora jamur ke paru dan menyebabkan
kelainan di paru. Spora yang terhirup juga meyebabkan zigomikosis rinoserbral yang yang
merupakan bentuk utama klinis yang paling banyak ditemukan, yang berasal dari germinasi
sporangiospora di dalam saluran hidung dan invasi hifa kedalam pembuluh darah,
menyebabkan trombosis, infark dan nekrosis. Penyakit ini dapat berkembang dengan cepat
disertai invasi sinus, mata, tulang kranial, dan otak. Pembuluh darah dan saraf juga rusak,
dan pasien menderita edema pada daerah wajah, dan seulitis orbita. Mukormikosis toraks
timbul setelah inhalasi sporangiospora disertai invasi parenkim dan vaskulatur paru. Di
kedua lokasi tersebut, nekrosis iskemik meyebabkan kehancuran jaringan yang masif.
Proses ini terkait dengan kontaminasi penutup luka dan keadaan lain, tetapi lebih jarang.
(Jawetz, 2012)
Spora juga dapat tertelan masuk ke alat pencernaan dan menyebabkan zigomikosis
saluran cerna. Selain itu juga dapat terjadi zigomikosis kulit akibat trauma yang disebabkan
jarum suntik. Penggunaan narkotika intra vena biasanya mengandung zigomikosis katup
jantung dan otak.(Wahyuningsih, 2013)
Faktor resiko penting zigomikosis adalah ketoasidosis pada penderita diabetes
melitus. Imunitas yang terganggu pada pasien dengan tumor solid, leukimia dan limfoma
yang memicu kondisi imunokompromi akibat perburukan penyakit atau kemoterapi yang

42
menekan sistem kekebalan pada saat yang sama menimbulkan kondisi mirip diabetes.
Transplantasi organ solid maupun sumsum tulang belakang, dan pemberian antibiotik
spektrum luas srta penggunaan deferoksamin/desferioksamin sebagai kelator pada
kelebihan besi atau alumunium pada pasien gagal ginjal kronis yang melakukan dialisis
merupakan faktor resiko lain timbulnya zigomikosis. Pada luka bakar zigomikosis terjadi
karena kondisi psedodiabetes dan pemberian antibiotik sistemik maupun topikal sehingga
timbul zigomikosis kutis. (Wahyuningsih, 2013)
Zigomikosis rinoserebral yang sering ditemukan mula-mula memiliki gejala
sinusitis yang diikuti oleh penyebaran ke organ sekitar jaringan yang terkena berwarna
kemerahan, kemudian menjadi keunguan dan akhirnya menghitam karena nekrosis.
Nekrosis terjadi karena invasi jamur ke pembuuh darah mengakibatkan trombosis
kemudian kematian jaringan. Penyebaran ke jaringan periorbital menyebabkan udem
periorbital, propotosis, ‘menagis’ (tearing). Biasanya diikuti dengan nyeri, pandangan
kabur, dan akhirnya hilang pengelihatan bila nervus optikus terkena, jamur akan mudah
meyebar ke otak. Penyebaran juga dapat terjadi pada palatum durum dan jaringan
sekitarnya. (Jawetz, 2012)
Bentuk klinis lain adalah zigomikosis pulmoner. Leukima, limfoma dan diabetes
melitus merupakan penyakit dasar zigomikosis pulmoner. Bentuk kelainan dapat berupa
nodul soliter, mengenai lobus paru, pembentukan kavitasi dan lesi yang menyebar
Zigomikosis biasanya ditandai oleh hemoptisis akibat erosi arteria pulmoner. Jamur akan
menginvasi pembuluh darah dan menajadi penyebaran hematogen yang cepat dengan
angka kematian 96-100%. (Wahyuningsih, 2013)
Zigomikosisi kutaneus, dapat merupakan lesi primer atau penyebaran dari tempat
lain . lesi primer biasanya bersifat invasif lokal, mengenai jaringan kutan dan subkutan
bahkan dapat mengenai jaringan lemak, otot dan fasia. Selanjutnya dapat terjadi nekrosis
luas yang berakibat kematian. Zigomikosis gastrointestinal jarang ditemukan kelainan
dapat berupa kolonisasi gaster pada ulkus. Mortalitasnya rendah karena tidak terjadi invasi
pembuluh darah. Nekrosis gaster atau intestinal merupakan bentuk lain penyakit
zigomikosis gastrointestinal. Penyakit tersebut mortilitasnya tinggi karena terjadi invasi
kedalam mukosa, submukosa dan pembuluh darah. Ruptur ulkus dapat berakibat
peritonitis.(Wahyuningsih, 2013)
Pemeriksaaan langsung atau kuktur duh hidung, jaringan, atau sputum, akan
mengungkap adanya hifa yang lebar (10-15 µm) dengan ketebalan yang tidak rata,
percabangan yang tidak teratur, dan septa yang jarang-jarang. Jamur ini cepat tumbuh
dalam medium laboratorium, menghasilkan koloni berkapas yang banyak jumlahnya.
Identifikasi berdasarkan struktur sporanya. Terapi terdiri dari debriderman bedah yang
agresif, pemberian amfoterisisn B dengan cepat, dan pengendalian penyakit dasar. Ada

43
banyak pasien yang bertahan hidup, tetapi terdapat dampak residual seperti paralisis wajah
parsial atau kehilangan satu mata. (Jawetz, 2012)

5. Penisiliosis
Berbagai spesies Penicllium yang banyak ditemukan di lingkungan, hanya ada satu
spesies yang dimorfik, yaitu penicillium marneffei dan spesies ini muncul sebagai patogen
opertunitis yang endemis. Penicillium marneffei adalah jamur patogen yang muncul yang
dapat menyebabkan mikosis sistemik yang fatal pada pasien yang terinfeksi human
immunodeficiency virus (HIV). Infeksi P. marneffei endemik di Asia tropis, khususnya
Thailand, India timur laut, Cina, Hong Kong, Vietnam, dan Taiwan. Organisme ini adalah
organisme yang relatif baru dikenal mikosis Asia tenggara, yang ditemukan pada tahun
1956 P. marneffei telah berhasil diisolasi dari tanah dan terutama tanah yang berkaitan
dengan tikus bambu beserta habitatnya. Namun, penting peran tikus di alam dalam sejarah
jamur belum ditetapkan, diduga bahwa P. marneffei ada sebagai saprofit di tanah, dan
bahwa manusia, serta tikus bambu,terinfeksi melalui inhalasi dari konidioforngnya P.
marneffei sebagai penyakit manusia diakui hanya jika pandemi HIV tiba di Asia dan
prevalensi infeksi meningkat pada populasi lokal maupun pengunjung dari daerah di mana
infeksi tidak endemik. Penyakit ini, merupakan infeksi oportunistik ketiga yang paling
umum setelah tuberkulosis dan kriptokokosis, pada pasien dengan AIDS di Thailand utara.
manifestasi umum dari disebarluaskan infeksi P. marneffei pada pasien AIDS adalah
demam, anemia, penurunan berat badan, limfadenopati, hepatosplenomegali, tanda-tanda
pernapasan, dan lesi kulit. Pasien yang tidak menerima pengobatan antijamur yang sesuai
memiliki prognosis buruk; Namun, pengobatan primer dengan amfoterisin B dan
profilaksis sekunder dengan itrakonazol efektif. P. marneffei terinfeksi pasien yang HIV
membutuhkan terapi penekan yang panjang untuk mencegah kekambuhan. diagnosis
laboratorium infeksi P. marneffei membutuhkan demonstrasi mikroskopis.
(Vanittanakom,2006)
Morfologi
Di bawah mikroskop, P. marneffei muncul sebagai organisme uniseluler dengan
bulat untuk sel oval. Sel-sel ini dapat membagi dengan pembentukan dinding lintas dalam
makrofag, atau sebaliknya, untuk membentuk sel-sel memanjang ekstraseluler. Penicillium
marneffei adalah unik di antara lebih dari 400 spesies Penicillium dalam menjadi satu-
satunya yang menunjukkan termal dimorfisme. Jamur tumbuh dengan baik pada dextrose
agar. . Kemampuan untuk tumbuh sebagai miselium di 25 ° C dan sebagai ragi pada 37 ° C
adalah faktor virulensi prinsip organisme. Ketika tumbuh
pada 25 "C, pada kultur muncul mirip dengan spesies Penicillium. :tumbuh
kehijauan-kuning koloni miselium. Karakteristik yang menonjol adalah pigmen bata merah

44
larut yang berdifusi ke dalam medium. Beberapa Penicillium menghasilkan pigmen
tersebut. Untuk identifikasi mikologi definitif, Pada 37 ° C. Hifa yang bercabang dan
bersepta menghasilkan kondiofor aerial yang menagandung fialid dan rantai basipetal
konidia. Jamur mengasumsikan bentuk ragi, dalam kultur dan in vivo. Koloni gundul,
beige berwarna dan tidak menghasilkan pigmen merah. Mikroskopis, bentuk miselium
menyerupai lainnya
spesies Penicillium dengan konidiofor halus berdinding. Ragi bentuk yang bulat
telur atau memanjang berukuran sekitar 2x6 µm. bentuk serupa dapat diamati dalam
makrofag atau ekstrasel pada sampel jaringan dari pasien. Berbeda dengan ragi jamur
lainnya, mereka P. Marneffei dalam bentuk hifanya berubah menjadi ragi melalui
pembelahan, sehingga bahwa septum transversal sering terlihat dalam membagi sel. Hal ini
membantu untuk membedakan P. marneffei dari jamur dimorfik lainnya, terutama
Histoplasma capsulatum.(Vanittanakom,2006)

Gambar 22 P. marneffei mikroskopis. Gambar 23 P. marneffei dari hapusan darah pasien AIDS
Sumber Jawetz,2012 sumber Jawetz, 2012
Patogenesis dan Manifestasi Klinis
P. marneffei menjadi patogen paru primer yang menyebar ke organ lain dengan
penyebaran hematogen. Keparahan penyakit tergantung pada status imunologi dari host
atau pejamu. tanda-tanda klinis infeksi P.marneffei pada pasien HIV-positif dan HIV-
negatif berbeda. Pada kelompok HIV-positif, onset cepat dan keparahan gejala dengan
tidak adanya pengobatan dini yang mencolok. jaringan yang terinfeksi dapat menunjukkan
reaksi histopatologi yang berbeda. Pada pasien P. marneffei sel yeast tau khamir seperti
yang diketahui berikatan dengan baik intraseluler dan ekstraseluler di lingkungan dari
kedua makrofag dan histiosit. Pada intraseluler yeast berbentuk sel oval atau bulat dengan
diameter dari 2 -3 m, yang dikalikan dengan pembelahan biner. Sel-sel memanjang hingga
13 m dapat diamati pada ekstrasel. Pada pasien imunokompeten, reaksi granulomatosa dan
supuratif sering terlihat di paru-paru, kulit, hati, dan jaringan subkutan. Pembentukan
nekrosis sentral dan beberapa abses bisa dilihat dalam reaksi. Infeksi P. marneffei dapat
dianggap homolog dari histoplasmosis, karena keduanya P. marneffei dan Histoplasma
capsulatum mengeksploitasi makrofag sebagai sel inang, dan kedua organisme dapat
menyebabkan paru akut atau persisten. (Yuen, 1999)

45
Resiko infeksi utama adalah imunodefisiensi akibat HIV/AIDS, tuberkulosis, terpi
kortikosteroid atau penyakit limfoproliferatif. Tanda dan gejala dini tidak spesifik dan
mencangkup batuk, demanam, kelelahan, berat badan menurun, serta limfadenopati. Akan
tetapi 70% pasien dengan atau tanpa AIDS, menderita papula kutaneus atau subkutaneus,
pustula atau ruam yang seringkali berada di wajah. (Vanittanakom,2006)
Pasien yang terinfeksi P. marneffei memiliki sejarah klinis yang ditunjukkan dari
berbagai tingkat keparahan. Gejala dan tanda-tanda dari pasien yang terinfeksi HIV dengan
infeksi P. marneffei berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Chiang Mai University,
Thailand. Kebanyakan kasus ditunjukkan dengan demam, penurunan berat badan, lesi
kulit, limfadenopati generalisata, dan hepatomegali. tanda-tanda pernapasan juga diamati.
lesi yang diamati di 54 dari 63 pasien ini papula dengan nekrosis sentral, dan sisanya
adalah papula. Semua pasien diperoleh lesi pada wajah dan leher. bagian tubuh lain di
mana lesi kulit yang ditemukan termasuk ekstremitas atas dan ekstremitas bawah (Lima
puluh enam pasien (76%) menderita anemia, dengan tingkat hemoglobin diukur dari 10 g /
dl atau kurang. Dengan kemungkinan pengecualian dari lesi kulit, itu tidak mungkin untuk
unequivocallly temuan klinis ini tidak normal terhadap infeksi P. marneffei saja. Hal ini
karena mereka juga bisa disebabkan oleh infeksi oportunistik lain yang terkait dengan
infeksi HIV stadium, serta immunodefisiensi dari virus itu sendiri.(Vanittanakom,2006)
Beberapa pasien memiliki penisiliosis hati tanpa lesi kulit, Arthritis melibatkan
sendi-sendi perifer besar dan sendi kecil dari jari-jari dan beberapa sendi bengkak.
Beberapa lesi tulang litik yang melibatkan tulang pipih tengkorak, tulang panjang, dan
tulang kecil dari jari-jari juga terlihat Kesamaan lesi ini dengan yang diamati pada
penyakit menular sistemik lainnya, misalnya, kriptokokosis, blastomycosis, histoplasmosis
Afrika, dan tuberkulosis. (Yuen, 1999)

46
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jamur adalah mikroorganisme yang termasuk golongan eukariotik dan tidak termasuk
golongan tumbuhan. Meskipun beberapa jenis jamur menguntungkan bagi manusia contohnya
sebagai bahan makanan. Namun, beberapa jenis jamur dapat merugikan bagi manusia.
Contohnya beberapa jenis jamur tertentu yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia.
Entah itu karena spora jamur yang masuk ke tubuh karena terhirup, trauma, melekatnya spora
pada kulit yang akhirnya spora jamur itu akan berkembang dan tumbuh menjadi jamur.
Dalam proses pertumbuhan jamur dari spora pada tubuh manusia sering kali menimbulkan
gangguan pada tubuh manusia.
Beberapajenis infeksi jamur pada tubuh manusia, dapat ditularkan ke orang ain melalui
setuhan langsung apabila infeksi tersebut pada daerah kutan. Namun ada juga beberapa jamur
yang tidak menular dan penuaran hanya dengan trauma kulit yaitu jenis jamur yang
menginfeksi daerah subkutan manusia.
Penyebarang infeksi jamur pada manusiapun terjadi di seluruh dunia. Namun ada beberapa
jenis infeksi jamur yang hanya menyerang suatu daerah, yaitu jenis infeksi jamur endemis
dimana jamur hanya tumbuh pada suatu daerah tertentu yang memilki iklim yang cocok
dengan jamur tersebut.

3.2 Saran
Sebagai civitas akademik, kami perlu menambahkan waawasan pengetahuan, termasuk
juga kajian tetang jamur. Untuk itu, makalah ini kami susun, guna mempermudah
pembelajaran terkait mikologi. Namun, kami menyadari makalah ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu, saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan.

47
Daftar Pustaka

Baratawidjaja, K.G., dan Rengganis, Iris. 2014. Imunologi Dasar Edisi ke sebelas. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universita Indonesia
Duane, R Hospenthal. Paracoccidioidomycosis. Medscape Journal. Last update March 2015.
http://www.emedicine.medscape.com/article/. [Diakses 11 Maret 2017].
Duane, R Hospenthal. Coccidioidomycosis. Medscape Journal. Last update October 2016.
http://www.emedicine.medscape.com/article/. [Diakses 11 Maret 2017].
Elias J. Anaissie, Michael R. McGinnis, Michael A. Pfaller, 2009, Clinical mycology. Churchill
Livingstone.
Gupta AK, Kohli Y, Faergemann J, Summerbell associated with pitiriasis versikolor in Ontario,
Canada. J Med & Vet Mycol
Jawetz, et all. 2012. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Jeannina, et all. 2010. Blastomycosis. ATS Journal. Vol. 7, No. 3. http:// www.atsjournals.org/.
[Diakses 11 Maret 2017].
Kenneth, et all. 2010. Histoplasmosis. ATS Journal. Vol. 7 No. 3. http://www.atsjournals.org/
[Diakses 11 Maret 2017].
Lintong, P.M., dan Sumolang, I.V.. 2010. Sporotrikosis Limfokutan Diagnosis Histopatologi
Dan Sitologi. Manado: Jurnal Biomedik. Volume 2. Nomor 1 halaman 50-57
Weeks J, Moser SA, Elewski BE. Superficial cutaneous fungal infections. In: Dismukes WE, Pappas
PG, Sobel JD. Editors. Clinical Mycology. New York : Oxford University Press : 2003
Jawetz, Melnick dan Adelberg, 2012, Mikrobiologi Kedokteran, edisi 25, EGC, Jakarta.
Kwon-Chung KJ, Bennet JE, Medical mycologi, Philadelphia. Lea & Febringer, 1992: 441-63,
524-59
Malcolm D. Richardson, David W. Warnock, 2011, Fungal Infection: Diagnosis and Management,
Wiley-Blackwell, USA.
Paul H. Jacobs, Lexie Nall, 1996, Fungal disease: biology, immunology, and diagnosis. Informa
Healthcare. ISBN.
Paul J. Lee, Gholam A. Peyman, David V. Seal, 2004, Endophthalmitis: diagnosis and
management. Informa Healthcare.
Perfect HR, Schell WA, cox GM. Phaeohyphomycoses. In : Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD.
Editors. Clinical Mycology. New York : Oxford University Press; 2003
Rippon JW. Zygomycosis. Textbook of Medicine Mycology. 3𝑟𝑑 ed. Philapdelphia. WB.
Saunders.Co 1988: 681-710.748-53.
Staf Pengajar FK UI. 2013. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Sharon Wallace, 2007, "Fusarium". THE JOHNS HOPKINS MICROBIOLOGY NEWSLETTER

48
26
Vazquez JA. Rhodotorula, malassezia, trichosporon and other yeast-like fungi. In : Dismukes WE,
Pappas PG, Sobel JD. Editors. Clinical Mycology. New York : Oxford University Press : 2003

49

Anda mungkin juga menyukai