Anda di halaman 1dari 96

PENUNTUN PRAKTIKUM

VIROLOGI SEMESTER V
T.A 2019 -2020

TIM PENYUSUN
I NYOMAN JIRNA, SKM., M.Si
NYOMAN MASTRA, SKM.,S.Pd., M.Si
BURHANNUDIN,S.Si., M.BIOMED
Drh. NI MADE RITHA KRISNA DEWI, S.Kh. M.Si

KEMEMTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
1
2019
Tim Penyusun

Penuntun praktikum ini disusun oleh:

1. I Nyoman Jirna, S.KM., M.Si


2. Nyoman Mastra, S.Pd., S.KM., M.Si
3. Burhannudin, S.Si., M. Biomed
4. Drh.Ni Md Ritha Krisna Dewi, S.Kh.M.Si

2
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat limpahan Karunia-Nya, kami

tim mikologi dapat menyelesaikan penyusunan PENUNTUN PRAKTIKUM VIROLOGI ini

dengan baik.

PENUNTUN PRAKTIKUM VIROLOGI dibuat untuk pemakaian internal kami di

Poltekkes Denpasar Jurusan Analis Kesehatan, dalam PENUNTUN PRAKTIKUM

VIROLOGI ini memuat judul dan jenis praktikum yang materinya disesuaikan dengan

kebutuhan pengetahuan mahasiswa dan ketersediaan fasilitas yang ada di laboratorium,

sehingga suatu saat dimungkinkan terjadi perubahan materi pada waktu kedepanya.

Kegiatan praktikum virologi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

ketrampilan mahasiswa dalam melakukan praktikum virologi. Hal ini diharapkan agar

mahasiswa setelah melaksanakan kegiatan dilaboratorium selanjutnya dapat melaksanakan

pula dilapangan.

Kami menyadari bahwa PENUNTUN PRAKTIKUM VIROLOGI masih sederhana dan

jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak

sangat kami harapkan.

Akhir kata, semoga PENUNTUN PRAKTIKUM VIROLOGI ini dapat memenuhi

tujuannya dan membantu mahasiswa dalam mempelajari praktikum virologi.

Denpasar, Agustus 2019


Penyusun

Tim Virologi

3
Daftar Isi

halaman

Kata Pengantar ................................................................................................. i

Daftar Isi ........................................................................................................... ii

BAB I PENYIAPAN INOKULUM ....................................................................... 1

BAB II INOKULASI DAN PANEN VIRUS PADA TELUR AYAM BERTUNAS .... 16

BAB III UJI HEMAGLUTINASI (UJI HA) ............................................................ 32

BAB IV UJI HEMAGLUTINASI HAMBATAN (HI) .............................................. 44

BAB V ISOLASI RNA ........................................................................................ 57

BAB VI ISOLASI DNA ....................................................................................... 64

BAB VII ELEKTROFORESIS....................................................................... 76

BAB VIII PCR ............................................................................................ 85

Daftar Pustaka .................................................................................................. 97

4
BAB I

PEMBUATAN INOKULUM

A. Latar Belakang

Manusia rentan dengan penyakit. Penyebabnya bisa beragam, salah satu yang sering
di jumpai adalah virus, yakni mikroba yang bersifat parasit dengan ukuran mikroskopik dan
cenderung bekerja dengan cara menginfeksi inangnya. Masalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus sudah menjadi masalah umum di berbagai belahan dunia. Virus
muncul dari materi non-hidup, secara terpisah dari dan secara parallel untuk bentuk-bentuk
kehidupan lain, mungkin dalam bentuk self-reproducing RNA ribozymes mirip dengan
viroid. Virus yang muncul dari sebelumnya, lebih kompeten selular bentuk kehidupan yang
menjadi parasit untuk sel inang dan kemudian kehilangan banyak fungsi mereka. Virus dapat
bertindak sebagai agen penyakit dan agen pewaris sifat. Sebagai agen penyakit,virus
memasuki sel dan menyebabkan perubahan-perubahn yang membahayakan bagi sel, yang
akhirnyadapat merusak atau bahkan menyebabkan kematian pada sel yang diinfekinya.
Sebagai agen pewarissifat, virus memasuki sel dan tinggal di dalam sel tersebut secara
permanen. Perubahan yangdiakibatkannya tidak membahayakan bagi sel atau bahkan bersifat
menguntungkan. Dalam beberapakasus, virus dapat bertindak sebagai agen penyakit atau
sebagai agen pewaris sifat tergantung darisel-sel inangnya dan kondisi lingkungan .

Bentuk virus bervariasi dari segi ukuran, bentuk dan komposisi kimiawinya. Bentuk
virus ada yang berbentuk bulat, oval, memanjang, silindariis, dan ada juga yang berbentuk T.
Ukuran Virus sangat kecil, hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron,
ukuran virus lebih kecil daripada bakteri. Ukurannya berkisar dari 0,02 mikrometer sampai
0,3 mikrometer (1 μm = 1/1000 mm). Unit pengukuran virus biasanya dinyatakan dalam
nanometer (nm). 1 nm adalah 1/1000 mikrometer dan seperjuta milimeter. Virus cacar
merupakan salah satu virus yang ukurannya terbesar yaitu berdiameter 200 nm, dan virus
polio merupakan virus terkecil yang hanya berukuran 28 nm.

5
Virus memanfaatkan metabolisme sel penjamu untuk membantu sintesis protein virus
dan virion baru; jenis sel yang dapat diinfeksi oleh virus dapat sedikit dapat banyak. Untuk
tujuan diagnosti, sebagian besar virus ditumbuhkan dalam biakan sel, baik turunan sel
sekunder atau kontinu; pemakaian telur embrionik dan hewan percobaan untuk membiakan
virus hanya dilakukan untuk investigasi khusus. Jenis biakan sel untuk mengembangbiakan
virus sering berasal dari jaringan tumor, yang dapat digunakan secara terus menerus.

Untuk mendeteksi adanya pertumbuhan virus, maka diperlukan pembuatan inokulum.


Pembuaan inokulum bertujuan untuk dapat mengindetifikasi virus yang terdapat pada suatu
bahan. Beberapa bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan inokulum, seperti darah,
jaringan, dan swab. Inokulum merupakan mikroorganisme atau pathogen yang diinokulasikan
ke dalam sebuah medium / inang, dimana mikroorganisme tersebut masih dalam keadan
hidup atau masih berada pada fase pertumbuhan. Dalam proses pembuatan inokulum,
terdapat proses inokulasi.

Inokulasi adalah proses atau tahap kegiatan pemindahan mirkoorganisme / pathogen


dri sumber asalnya ( inang ) ke sebuah medium yang baru dan telah disediakan sebelumnya
dengan sangat teliti dan hati – hati. Hal ini dimaksudkan untuk bisa mendapatkan biakan
mikroorganisme murni yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Sebuah inokulasi
dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan bila tingkat sterilisasi ruangan,
peralatan, tenaga pelaksana dan teknik yang digunakan benar – benar memenuhi standar serta
kriteria yang semestinya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu


bagaimana cara pembuatan inokulum dan apa manfaat dari pembuatan inokulum dengan
sampel serum, jaringan, dan swab ?

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui cara pembuatan inokulum serta manfaat dari pembuatan inokulum

dengan sampel serum, jaringan, dan swab.

6
2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui tahapan pembuatan inukulum dengan sampel serum, jaringan, dan

swab.

b. Untuk mengetahui penggunaan PBS ( Phospat Buffer Salin ) pada pembuatan inokulum

pada sampel serum, jaringan, dan swab

c. Untuk mengetahui manfaat penambahan antibiotik pada proses pembuatan inokulum pada

sampel serum, jaringan, dan swab.

D. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Virus
Virus berasal dari bahasa Yunani venom yang berarti racun. Virus dianggap benda
mati karena ia dapat dikristalkan, sedangkan virus dikatakan benda hidup karena virus dapat
memperbanyak diri (replikasi) dalam tubuh inang. Virus merupakan organisme non-seluler,
karena ia tidak memilki kelengkapan seperti sitoplasma, organel sel, dan tidak bisa membelah
diri sendiri. Secara umum virus merupakan partikel tersusun atas elemen genetik yang
mengandung salah satu asam nukleat yaitu asam deoksiribonukleat (DNA) atau asam
ribonukleat (RNA) yang dapat berada dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu secara
intraseluler dalam tubuh inang dan ekstrseluler diluar tubuh inang.

Partikel virus secara keseluruhan ketika berada di luar inang yang terdiri dari
asam nukleat yang dikelilingi oleh protein dikenal dengan nama virion. Virion tidak
melakukan aktivitas biosinteis dan reproduksi. Pada saat virion memasuki sel inang, baru
kemudian akan terjadi proses reproduksi. Virus ketika memasuki sel inang akan
mengambil alih aktivitas inang untuk menghasilkan komponen - komponen pembentuk
virus. Virus dapat bertindak sebagai agen penyakit dan agen pewaris sifat. Sebagai agen
penyakit, virus memasuki sel dan menyebabkan perubahan - perubahan yang membahayakan
bagi sel, yang akhirnya dapat merusak atau bahkan menyebabkan kematian pada sel
yang diinfeksinya. Sebagai agen pewaris sifat, virus memasuki sel dan tinggal di dalam
sel tersebut secara permanen. Berdasarkan sifat hidupnya maka virus dimasukan sebagai

7
parasit obligat, karena keberlangsungan hidupnya sangat tergandung pada materi genetic
inang.

2. Morfologi Virus
Ukuran virus lebih kecil dibandingkan dengan sel bakteri. Ukurannya berkisar dari
0,02 mikrometer sampai 0,3 mikrometer (1 µm = 1/1000 mm). Unit pengukuran virus
biasanya dinyatakan dalam nanometer (nm). 1 nm adalah 1/1000 mikrometer dan seperjuta
milimeter. Virus cacar merupakan salah satu virus yang ukurannya terbesar yaitu berdiameter
200 nm, dan virus polio merupakan virus terkecil yang hanya berukuran 28 nm.

3. Klasifikasi Virus
Partikel virus bervariasi dari segi ukuran, bentuk maupun komposisi kimiawinya.
Virus memiliki bentuk bermacam-macam. Ada yang bulat, batang, dan ada yang seperti huruf
T. virus yang berbentuk bulat misalnya virus influenza (Influenza virus) dan virus penyebab
AIDS (Human immunodeficiency virus / HIV). Virus yang berbentuk oval misalnya virus
rabies. Virus yang berbentuk batang misalnya virus mosaik tembakau (Tobacco mosaic virus
/ TMV). Virus yang berbentuk polihedral misalnya Adenovirus (penyebab penyakit demam).
Virus yang berbentuk T misalnya virus yang menyerang bakteri (Bakteriofage atau disingkat
fage).

Gambar 1 : bentuk – bentuk virus

Struktur utama virus adalah asam nukleat yang dapat berupa RNA (Ribonucleic acid)
atau DNA (Deoxyribonucleic acid) dan tak pernah keduanya. Materi genetic tersebut dapat
berbentuk rantai tunggal atau rantai ganda. Rantainya dapat berbentuk melingkar atau
linier. Virus bukan berupa sel (aseluler), virus tidak memiliki bagian – bagian sel seperti
membran plasma, sitoplasma, dan inti. Virus berupa partikel kecil yang disebut virion. Virus
tersusun dari asam nukleat dan selubung protein yang disebut kapsid. Kapsid tersusun dari
8
sub unit protein yang disebut kapsomer. Kapsid inilah yang member bentuk pada virus.
Kapsid dapat berbentuk batang yang merupakan susunan heliks (ulir) dari kapsomer,
berbentuk poliherdral (segi banyak), atau bentuk yang kompleks. Virus kompleks memiliki
bagian yang disebut kepala dan ekor. Kepala virus kompleks memiliki bentuk polihedral,
sedangkan bagian ekor terdiri dari tiga struktur yaitu selubung ekor, lempengan dasar, dan
serabut ekor. Lempengan dasar dan serabut ekor berfungsi untuk melekat pada sel yang
diinfeksi. Contoh virus kompleks adalah virus penyerang bakteri yang berbentuk huruf T
(bakteriofoge). Gabungan asam nukleat dan kapsid disebut nukleokapsid. Pada beberapa
virus, nukleokapsid diselubungi oleh membran yang disebut sampul virus. Sampul virus
tersusun dari lipid dan protein, berfungsi membantu virus memasuki sel. Contoh virus yang
memiliki sampul virus adalah virus influenza. Virus yang tidak memiliki sampul virus
disebut sebagai virus telanjang (3).

Gambar 2 : struktur virus berselubung

Gambar 3 : struktur virus bakteriofage

Berbagai jenis virus diklasifikasikan berdasarkan jenis sel inang. Inang spesifik
terutama ditentukan dari kesesuaian reseptor pada permukaan sel inang tempat virus melekat.
9
Berdasarkan jenis sel inangnya, virus diklasifikasikan dalam empat kelompok menurut (6)
yaitu: virus bakteri, virus mikroorganime eukariot, virus tumbuhan dan virus hewan.

No Klasifikasi Virus Keterangan

Virus bakteri adalah virus yang sel inangnya


adalah bakteri. Virus bakteri mengandung
1 Virus Bakteri
materi genetic berupa DNA. Contoh dari virus
bakteri ini adalah Escherichioa coli

Virus mikroorganisme eukariot adalah virus


yang sel inangnya berupa mikroorganisme
Virus mikroorganisme
2 yang tergolong eukariotik seperti protozoa
eukariot
dan jamur. Virus mikroorganisme eukariot ini
mengandung materi genetic berupa RNA.

Virus tumbuhan adalah virus yang sel


inangnya adalah tumbuhan yang sebagian
3 Virus Tumbuhan
besar mengandung RNA

Virus yang sel inangnya adalah sel hewan


atau sel manusia. Virus ini mengandung
4 Virus Hewan
DNA atau RNA. Contohnya adalah virus
rabies pada anjing
Tabel 1 : klasifikasi virus

Nama famili ditandai dengan akhiran viridae. Nama subfamili diberi akhiran virinae.
Nama akhiran genus diberi akhiran virus. Lwoff, Horne dan Tournier adalah ahli dalam
taksonomi virus, berdasarkan kriteria

1. Jenis asam nukleat (DNA/ RNA) berantai ganda/ tunggal

2. Ukuran & morfologi tmsk tipe simetri kapsid

10
3. Adanya enzim spesifik, terutama polimerase RNA & DNA yang penting bagi
replikasi genom

4. Kepekaan terhadap zat kimia dan keadaan fisik

5. Cara penyebaran alamiah

6. Gejala – gejala yang timbul

7. Ada tidaknya selubung

8. Banyaknya kapsomer untuk virus ikosohedarial / diameter nukleokapsid


untuk virus helikoidal

Saat ini telah lebih dari 61 famili virus diidentifikasi, 21 diantaranya


mempunyai anggota yang mampu menyerang manusia dan binatang.

4. Inokulum
Inokulum adalah mikroorganisme atau patogen yang diinokulasikan ke dalam sebuah
medium atau inang, dimana mikroorganisme tersebut masih dalam keadaan hidup atau masih
berada pada fase pertumbuhan yang sehat. Bahan untuk isolasi virus yang baik adalah jika
sampel diambil dalam keadaan segar, diambil saat infeksi pada fase akut. Sampel untuk
bahan pembuatan inokulum diambil dari organ-organ yang mengalami perubahan menciri.
Biasanya semakin menciri perubahan patologi anatominya maka semakin tinggi pula hasil
titer virus dipanen. Sampel organ diambil dalam keadaan segar, dan usahakan pengambilan
organ seseteril mungkin. Organ ditempatkan di dalam tabung kaca steril selanjutnya dibuat
inokulum untuk diinokulasikan pada media isolasi virus. Pada hewan yang masih hidup,
sampel pemeriksaan dapat diambil dengan menggunakan swab. Pada unggas diambil dari
swab trakea, swab kloaka. Pada mamalia juga dapat diambil dari swab kerongkongan, swab
vagina, swab preputium.

Spesimen untuk inokulasi makin cepat dikerjakan akan makin baik hasilnya. Apabila

spesimen tertunda lebih dari satu hari hendaknya disimpan pada suhu -70 0C. Spesimen
usapan diolah dengan mengaduknya dalam medium pengangkut, tinja dengan diaduk
berputar dan spesimen organ/jaringan dicincang halus dan dihomogenkan pada
centrifuge. Sebelum diinokulasikan, untuk menghilangkan bakteri dan jamur
pencemar disaring dengan membran dengan diameter pori 0,45 mikron atau dengan

11
penembahan antibiotika. Inokulum hendaknya dipertahankan pada suhu 4oC sampai
isolasi siap dilakukan.
Pembuatan inokulum menggunakan spesimen organ limpa pada anjing yang terinfeksi
paravovirus. Infeksi CPV, atau yang dikenal dengan penyakit Muntaber anjing, ditandai
dengan gejala muntah dan mencret berdarah pada anjing, yang berakhir dengan kematian
dalam waktu kurang dari 3 hari . Secara PA, kelainan banyak ditemukan pada jejenum dan
ileum. Bagian usus ini membengkak, terjadi pembendungan dan perdarahan. Lumen usus
menyempit, dan permukaan selaput lendir usus berisi cairan sereus granular hingga mukus
kental berwarna kuning hingga kecoklatan, Limfoglandula mesentericus membengkak.
Secara histopatologi, terlihat adanya degenerasi dan nekrosis sel epitel usus yang sangat
parah dan ditandai dengan atropi dan hilangnya vili dan kripta usus. Pada vili usus terlihat
ada pembendungan, atropi dan badan inklusi yang bersifat eosinofilik. Nekrosis sel juga
terjadi pada jaringan limfoid, limfoglandula, limpa dan timus. Pada sumsum tulang belakang,
terjadi nekrosis pada mieloid dan erythoid blast.

Virus canine parvovirus (CPV) termasuk dalam famili Parvoviridae. Diameter virus
CPV berkisar 20 nm, termasuk virus single stranded DNA, dan virionnya berbentuk partikel
ikosahedral serta tidak beramplop, Virus canine parvovirus (CPV) sangat stabil pada pH 3
hingga 9 dan pada suhu 60°C selama 60 menit. Karena virus ini tidak beramplop maka virus
ini sangat tahan terhadap pelarut lemak, tetapi virus CPV menjadi inaktif dalam formalin 1%,
beta-propiolakton, hidroksilamin, larutan hipoklorit 3%, dan sinar ultra violet. Virus canine
parvovirus (CPV) akan berkembang biak dengan baik pada biakan jaringan yang telah
ditripsinasi, sesuai dengan sifat virus itu yang menyenangi sel yang sedang aktif membelah.
Virus CPV dapat berbiak dengan baik pada beberapa jenis biakan jaringan lestari seperti
crandell feline kidney, canine foetal kidney, canine melanoma, canine fibroblastic cells, A72
canine fibroma, dan Mardin Darby canine kidney (MDCK) dan biakan jaringan primer fetus
anjing organ ginjal, jantung, paru-paru dan hati.

Bahan yang digunakan untuk isolasi virus (CPV) dapat berupa sampel feses yang
berasal dari anjing yang sakit, sampel berupa kerokan mukosa usus anjing yang mengalami
klinis kearah CPV, serum dari anjing yang sakit untuk pemeriksaan serologis. Pada hewan
yang mati, isi usus, usus, vesika urinaria, organ timus dan limpa, yang mengalami lesi juga
diambil untuk pemeriksaan virologis dan histo-patologis. Dalam feses terdapat kandungan
virus CPV dalam jumlah yang besar, sehingga feses merupakan salah satu bahan yang paling
12
baik digunakan untuk diagnosis. Pada organ limfoid seperti limpa timbul pula lesi,
dikarenakan virus tersebut memiliki sifat suka organ limfoid .

Pembuatan inokulum dilakukan didalam BSC (Biological Safety Cabinet), hal ini
bertujuan untuk mencegah atau meminimalisir adanya kontaminasi mikroorgaisme baik pada
sampel atau praktikan sendiri. BSC adalah perlindungan atau penghalang utama bagi individu
yang bekerja dengan bahan biohazardous. Prosedur laboratorium yang dapat menciptakan
biohazard harus selalu dilakukan di BSC karena melindungi para pekerja laboratorium dan
lingkungan dari aerosol atau tetesan yang dapat menyebarkan bahan biohazardous. Sampel
atau bahan hasil otopsi dan biopsi pertama-tama kira-kira satu gram jaringan yang diambil
tersebut dipotong kecil-kecil dengan gunting atau pisau bedah. Pengerjaan inokulum harus
dilakukan secara aseptic. Potongan jaringan digerus hingga jaringan benar – benar hancur
dalam larutan phosphate buffered saline (PBS), pH 7,0-7,4 hingga konsentrasi 10 – 20%
untuk mengeluarkan virus dari sel inang. Phospat Buffered Saline (PBS) merupakan larutan
fisiologis yang umum digunakan sebagai pelarut dalam penelitian biologi. Penggunaan PBS
merupakan solution berbasis air garam yang mengandung natrium klorida, natrium fosfat,
dan (dalam beberapa formulasi) klorida kalium dan fosfat kalium. Penggunaan PBS sebagai
buffer juga sering digunakan dalam aplikasi kultur sel, prosedur immunohistokimia, prosedur
mikrobiologi dan untuk pengenceran (19). Kemudian suspensi jaringan dipindahkan ke dalam
tabung pemusing steril (eppendorf) dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 10
– 15 menit. Sentrifugasi bertujuan untuk mengendapkan sisa organ gerusan. Supernatan dari
gerusan diambil karena virus berada pada supernatan yang disebabkan oleh berat jenis virus
lebih kecil daripada air. Supernatan ditambahkan antibiotika penisilin streptomisin untuk
membunuh bakteri yang mengkontaminasi yang terdapat pada organ maupun dari lingkungan
sekitar. Suspensi diinkubasi pada temperatur 370C selama lebih kurang 30 menit.

Pembuatan inoculum dengan menggunakan sampel sweb tenggorokan atau hidung.


Sampel sweb tenggorokan atau nasofaring umumnya merupakan sampel yang disukai untuk
isolasi virus atau deteksi RT-PCR. Salah satu contohnya yaitu isolasi virus influenza. Infeksi
virus influenza adalah penyakit serius yang disebabkan morbiditas dan mortalitas substansial,
terutama pada orang tua dan pasien dengan gangguan kronis tertentu. Saat mengambil usap
tenggorokan (atau hidung), apusan atau cotton swab steril harus dipegang dengan benar.
Cotton swab steril harus dipegang antara jempol dan jari pertama dan kedua dengan poros
yang menonjol di luar jarring jempol (seperti pensil) dan bukan di antara ibu jari dan jari

13
telunjuk dengan alas di telapak tangan tangan. Alasan utamanya adalah jika pasien membuat
gerakan sebagai reaksi terhadap swabbing swab akan meluncur keluar dari jalan yang
berbahaya jika dipegang dengan cara pertama ( dengan pasien diwakili oleh tangan terbuka
yang bersarung dari operator) tetapi tidak jika memegang yang kedua.

Pada kasus ini ketidaknyamanan akan terjadi dan pasien bisa terluka. Masukkan
cotton swab yang fleksibel dan berpori halus ke dalam lubang hidung dan kembali ke
nasofaring. Usap harus digeser lurus ke lubang hidung dengan kepala pasien dipegang sedikit
ke belakang. Cotton swab dimasukkan mengikuti dasar lubang hidung menuju lubang
pendengaran dan perlu memasukkan setidaknya 5-6 cm pada orang dewasa untuk
memastikan bahwa itu mencapai posterior faring. (jangan mengunakan penyeka berporos
kaku untuk metode sampling ini — poros fleksibel swab sangat penting). Biarkan kapas di
tempatnya selama beberapa detik, kemudian tarik perlahan dengan gerakan berputar.
Lakukan hal yang sama untuk lubang hidung yang lainnya. Selanjutnya masukkan cotton
swab ke mikrotube yang telah berisi media transport berupa media transport 199 sebanyak
500 ul. WHO merekomendasikan media transportasi viral (VTM) yang disiapkan secara lokal
yaitu media kultur jaringan 199 (A) secara luas digunakan untuk pengumpulan dan
transportasi spesimen klinis dari semua spesies. Untuk 1 L media kultur jaringan 199
mengandung 0,5% bovine serum albumin (BSA) tambahkan 2x106 IU benzylpenicillin, 200
mg streptomisin, 2x106 IU polymyxin B, 250 mg gentamicin dan 0,5x106 IU nistatin.
Sterilkan dengan penyaringan dan distribusikan dalam 1,0 - 2,0 volume ml dalam tabung
yang ditutup dengan sekrup. Media transport 199 digunakan untuk mengumpulkan,
mengawetkan dan mengirim spesimen untuk diagnosis infeksi virus avian influenza A
(H5N1) (23). Selanjutnya sampel dihomogenkan dengan cara mengocok mikrotube hingga
sampel tercampur dengan media transport 199 .

Tahap selanjutnya yaitu memindahkan sampel tersebut sebanyak 360 ul ke mikrotube


yang baru. Apabila campuran sampel kurang dari 360 ul maka ditambahkan larutan
pengencer berupa larutan PBS (Phosfat Buffer Saline) hingga volume sampel tercukupi.
Buffer membantu untuk mempertahankan konstan pH. Osmolaritas dan konsentrasi ion solusi
yang isotonik yaitu sesuai dengan tubuh manusia. Mekanisme buffer mempertahankan
osmolaritas sel karena Garam mengandung ion, yang menyeimbangkan jumlah ion garam di
dalam sel (24). Lalu ditambahkan antibiotic penisilin dan streptomisin yang telah dijadikan
satu sebanyak 40 ul. Antibiotik dan antifungi mengurangi risiko kontaminasi bakteri dan

14
jamur. Antibiotik kehilangan efeknya dari waktu ke waktu jika mereka terus di simpan pada
suhu 4° C dan atau mengalami pembekuan dan siklus mencair. Mereka harus ditambahkan
ke media transportasi ketika sampel sudah siap dikumpulkan atau ditambahkan selama
persiapan media yang kemudian harus dibekukan pada -20° C dan dicairkan hanya jika
diperlukan. Jika upaya untuk mengisolasi virus harus dilakukan, media transportasi yang
mengandung spesimen tidak boleh disimpan pada -20° C tetapi pada -70° C atau dalam unit
penyimpanan nitrogen cair (13). Setelah ditambahkan antibiotic, dihomogenkan dan suspensi
tersebut dieramkan pada temperature 37° C selama lebih kurang 30 menit.

Selain sampel sweb tenggorokan atau hidung juga digunakan sampel serum atau
plasma sebagai bahan inoculum. Spesimen "serba guna" terbaik untuk dikumpulkan adalah
serum. Sera akut dan konvalesen berguna untuk deteksi perubahan titer antibodi dan serum
dapat digunakan untuk mendeteksi RNA virus. Sebuah acutephase spesimen serum harus
diambil segera setelah timbulnya gejala klinis dan tidak lebih lama dari itu tujuh hari setelah
onset. EDTA-anticoagulated plasma juga bermanfaat untuk mendeteksi viral RNA dalam
darah dan mungkin lebih baik daripada serum untuk tujuan khusus ini karena EDTA
menonaktifkan RNA yang terdapat dalam sampel. Heparin tidak cocok sebagai antikoagulan
untuk jenis spesimen ini karena potensial menghambat reaksi PCR. Setidaknya 1 ml darah
utuh diperlukan untuk mendapatkan jumlah serum atau plasma yang cukup untuk tes. Ini
adalah maksimum yang harus diambil dari bayi. Namun spesimen yang lebih besar dari 3-5
ml harus diambil dari anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa karena ini akan
memungkinkan rentang tes yang lebih besar atau pengulangan tes yang harus dilakukan.
Darah harus dikumpulkan baik dengan menggunakan sistem penyedotan vakum atau jarum
suntik dan jarum. Spesimen harus dikumpulkan baik dalam tabung pemisah serum (SST) atau
tabung pembekuan (untuk serum) dan dalam tabung EDTA (untuk plasma). Apabila Sampel
serum atau darah tidak tapat dilakukan pemeriksaan segera, maka harus dibekukan pada suhu
-70 ° C untuk PCR dan pada suhu -20 ° C atau lebih rendah untuk penentuan antibody tetapi
mereka dapat disimpan pada suhu 4 ° C selama kurang lebih satu minggu.

Darah (wholeblood) dapat langsung digunakan sebagai inoculum, sedangkan untuk


mengisolasi virus yang berada bebas dalam plasma atau terikat dengan sel (cell
associated/cell bound) dilakukan dengan pemisahan komponen-komponen darah melalui
pemusingan dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Plasma dapat dipakai langsung
sebagai inoculum sedangkan buffy coat perlu di cuci sekurang – kurangnya tiga kali dengan

15
medium / larutan penyangga fosfat (PBS pH 7,2). Setelah mendapatkan plasma , dipipet
plasma sebanyak 360 ul ke tabung mikrotube dan tambahkan campuran antibiotik penisilin
dan streptomisin sebanyak 40 ul. Kemudian dihomogenkan dan suspense tersebut dieramkan
pada temperature 37° C selama lebih kurang 30 menit

E. ALAT DAN BAHAN

1. ALAT

a. Mikrotube
b. Mikropipet
c. Blue & Yellow tip
d. Spuit
e. Tabung dengan antikoagulan EDTA
f. Cotton Swab
g. Mortar
h. BSC (Biological Safety Cabinet)
2. BAHAN

a. Hasil biopsy (Limfe dari hewan percobaan anjing)


b. Swab hidung
c. Darah vena
d. Antibiotik Penisilin dan Streptomisin
e. Media Transport
f. PBS (Phospat Buffer Saline)
F. CARA KERJA

Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan dalam penyiapan inokulum dengan
menggunakan darah antikoagulan, swab hidung atau tenggorokan dan biopsy jaringan,
sebagai berikut :

A. Darah dengan Antikoagulan


1. Dipersiapkan alat dan bahan
2. Dilakukan pengambilan darah vena dengan menggunakan antikoagulan EDTA
3. Dilakukan pemusingan dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit

16
4. Plasma yang diperoleh dipipet sebanyak 360 µl dan ditampung pada
microtube
5. Ditambahkan 40 µl antibiotik ke dalam microtube tersebut.
6. Dihomogenkan larutan dalam microtube dengan menggunakan mikropipet.
7. Disimpan inokulum pada freezer dengan suhu – 850C.
B. Usapan Kapas (Cotton Swab)
1. Dipersiapkan alat dan bahan yang diperlukan
2. Diambil spesimen swab hidung dengan terlebih dahulu mencelupkan lidi
kapas steril ke dalam larutan NaCl kemudian lakukan swab pada hidung
probandus.
3. Dicelupkan kapas yang telah berisi swab specimen ke dalam microtube yang
telah berisi media transport sebanyak 500 µl dan dipatahkan lidi dari kapas
tersebut.
4. Didiamkan beberapa saat dan kemudian dipipet sebanyak 360 µl media
transport yang telah berisi specimen dan dimasukkan ke dalam microtube
steril.
5. Bila sediaan kurang dari volume 360 µl maka ditambahkan larutan NaCl/ PBS
hingga volumenya 360 µl.
6. Ditambahkan 40 µl antibiotik ke dalam tabung microtube tersebut dan
homogenisasi dengan mikropipet.
7. Disimpan inokulum di dalam freezer suhu -850C
C. Bahan Hasil Otopsi dan Biopsi
1. Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan
2. Diambil kira-kira 1 gram jaringan yang dipotong kecil-kecil dengan gunting
atau pisau bedah
3. Dihaluskan jaringan dengan mortar
4. Potongan jaringan yang telah halus ditambahkan larutan PBS hingga
konsentrasinya 10-20%.
5. Suspensi jaringan kemudian dipindahkan ke dalam tabung pemusing steril dan
dipusingkan dengan kecepatan 2500 rpm selama 10-15 menit. Supernatan
dipisahkan dari endapannya
6. Dipipet supernatant sebanyak 360 µl dan diletakkan pada mikrotube steril.

17
7. Diberi antibiotik penisilin dan streptomisin sebanyak 40 µl ke dalam suspensi
dengan dosis masing-masing 1000-5000 IU/mL dan 1000-5000 μg/mL.
8. Dihomogenkan larutan dalam microtube tersebut dengan mikropipet.
9. Disimpan inokulum di dalam freezer dengan suhu -850C.

BAB II
INOKULASI TAB

A. Latar Belakang

Beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus telah digambarkan beberaba abad yang lalu
dalam data-data arkeologik. Namun demikian, eksistensi virus baru diketahui pada akhir abad
19. Dmitri Iwannowski pada tahun 1982 merupakan orang pertama yang melaporkan
penularan infeksi oleh filtrate saringan bakteri pada tembakau dan menyebabkan penyakit
mosaic pada tanaman trsebut. Pada tahun 1898 Martinus Beijerink menyatakan bahwa
penyebab infeksi pada filtrate murni bakteri adalah jasad hidup dan tak berbentuk partikel
dengan nama Contagium vivum fluidum atau virus yang berarti racun.

Sejak saat itu, perkembangan virologi menjadi lebih pesat. Dalam bidang morfologi, Luria
dan Anderson pada tahun 1942 mempertunjukkan penggunaa mikroskop elektron untuk
melihat morfologi partikel virus, Williams dan Wyckoff pada tahun 1944 mempergunakan
teknik shadow casting pada penelitian virus dengan mikroskop elektron. Dalam bidang
reproduksi, Rivers pada tahun 1928 menyatakan bahwa untuk reproduksi virus diperlukan
sel hidup, Good, Pasteur, dan kawan-kawan menemukan teknik pembiakan virus dalam telur

18
ayam bertunas pada tahun 1946 dan dikembangkan oleh Beveridge dan Burnet untuk
mengasingkan dan membiakkan virus influenza, yang selanjutnya berkembang lagi menjadi
teknik hitung bintik (pock counting technique) dengan menghitung pock forming unit (PFU)
untuk menetapkan potensi virus vaccinia-variola. John Enders pada tahun 1952 berhasil
membiakkan virus Poliomielitis yang neurotropik di dalam biakan jaringan sel kera. Renato
Dulbecco menemukan teknik plaque untuk menentukan titer infektivitas virus secara in vitro
dengan menghitung plaque forming unit. Dalam bidang imunologi, Hirst (1941) menemukan
fenomena hemaglutinasi pada virus influenza, dan kemudian Theiler dan Smith, Sabin, serta
Enders berturut-turut mengembangkan vaksin virus demam kuning, poliomyelitis dan virus
morbili.

Masalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus sudah menjadi masalah umum di
berbagai belahan dunia. Virus dapat bertindak sebagai agen penyakit dan agen pewaris sifat.
Sebagai agen penyakit,virus memasuki sel dan menyebabkan perubahan-perubahn yang
membahayakan bagi sel, yang akhirnya dapat merusak atau bahkan menyebabkan kematian
pada sel yang diinfeksinya. Sebagai agen pewaris sifat, virus memasuki sel dan tinggal di
dalam sel tersebut secara permanen. Perubahan yang diakibatkannya tidak membahayakan
bagi sel atau bahkan bersifat menguntungkan. Dalam beberapa kasus, virus dapat bertindak
sebagai agen penyakit atau sebagai agen pewaris sifat tergantung dari sel-sel inangnya dan
kondisi lingkungan .

Virus merupakan mikroorganisme terkecil yang memiliki ukuran bervariasi mulai dari
poxvirus yang ukurannya ± 300 x 250 x 100 nm sampai parvovirus yang diameternya ± 20
nm. Poxvirus merupakan salah satu virus dengan materi genetik DNA yang dapat
menyebabkan penyakit cacar baik pada manusia maupun hewan vertebrata. Poxvirus
merupakan golongan virus yang dapat dikembangbiakkan pada selaput korioalantois telur
ayam bertunas yang nantinya membentuk badan inklusi berupa bintik (pox) yang berwarna
putih .

Parvovirus merupakan virus yang terdiri dari materi genetik DNA single strand yang tidak
memiliki envelope dan merupakan virus yang cukup mematikan bagi binatang seperti anjing
karena dapat dengan mudah menular dari anjing satu ke anjing lainnya baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui feses. Parvovirus dapat sebabkan terjadinya gastroenteritis,

19
muntah, kolaps, diare berdarah, hingga anoreksia. Parvovirus adalah salah satu virus yang
dapat dikembangbiakan dalam cairan alantois telur ayam bertunas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam laporan ini
yaitu bagaimana cara inokulasi virus serta panen virus pada cairan alantois dan membran
corio alantois (CAM) telur ayam bertunas?

C. Tujuan

1. Tujuan Instruksional Umum

Untuk mengetahui teknik dan cara inokulasi virus pada ruang alantois dan membran corio
alantois (CAM) telur ayam bertunas.

2. Tujuan Instruksional Khusus

a. Untuk dapat mengidentifikasi telur ayam bertunas yang baik digunakan untuk
inokulasi virus.

b. Untuk dapat mengidentifikasi embrio ayam yang telah terinfeksi virus serta
melakukan panen cairan alantois dan membran corio alantois yang telah mengandung
virus.

D. Landasan Pustaka

1. Telur Berembrio

Telah lama diketahui bahwa virus tidak dapat berkembang biak dalam media sintetik yang
terdiri dari bahan kimia. Virus hanya dapat berkembang biak dalam sistem sel hidup, yakni
hewan percobaan (ayam, marmut, dan kelinci), telur berembrio dan biakan sel atau biakan
jaringan. Telur berembrio digunakan sebagai bahan untuk membuat biakan sel fibroblast
embrio (CEF) .

Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah digunakan secara luas untuk
isolasi. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang
dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Membran kulit telur yang fibrinous
terdapat di bawah kerabang. Membran membatasi seluruh permukaan dalam telur dan
20
membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan
cangkang telur membantu mempertahankan interigitas mikrobiologi dari telur, sementara
terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan
pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio.
Pembentukan membran ini terjadi berdekatan dengan membran telur sepanjang telur. Selama
pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif besar disebut kantong allantois
yang mengandung 5-10 ml cairan allantoic. Embrio secara langsung dikelilingi oleh membran
amnion yang membentuk kantong amnion yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat
pada kantong kuning telur yang berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan
nutrisi untuk perkembangan embrio. Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari
patogen spesifik (spesific pathogen free flock) atau jika tidak mungkin dapat menggunakan
telur dari kelompok bebas antibodi ND Virus. Penggunaan telur dari kelompok antibodi
positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan berhasilnya isolasi virus .
Membran chorioallantoic - juga disebut chorioallantois atau disingkat CAM - adalah
membran vaskular yang ditemukan pada telur dari beberapa amniote, seperti burung dan
reptil. Ini dibentuk oleh fusi lapisan mesodermal dari dua struktur perkembangan: allantois
dan chorion. Pada mamalia, struktur ini membentuk plasenta. Tiga lapisan yang berbeda
membentuk membran chorioallantoic; ini disebut epitel korionik, mesenkim dan epitelium
alantois. Kapiler dan sinus darah ditemukan di antara sel epitel chorionic layer,
memungkinkan kontak dekat (dalam 0,2 μm) dengan udara yang ditemukan di pori-pori
membran sel telur. Akibatnya, membran chorioallantoic memungkinkan pertukaran gas,
seperti oksigen, untuk mengembangkan embrio.
Membran Chorioallantoic mengembangkan telur ayam secara rutin digunakan dalam
penelitian biologi dan biomedis untuk menyelidiki perkembangan, angiogenesis, tumor,
agen kemoterapi, dan untuk menyebarkan dan menyelidiki virus atau helminths .
Tes membran chorioallantoic embrio ayam telah menjadi model untuk mempelajari
neovaskularisasi sejak awal tahun 1970 ketika diadaptasi oleh Folkmann et al. Meskipun ada
banyak variasi yang dikembangkan selama bertahun-tahun, uji dasar dilakukan dengan
menanamkan selaput atau selubung yang mengandung senyawa yang menarik pada embrio
ayam chorioallantoic membran melalui lubang dipotong di kulit telur. Periode inkubasi
berikutnya berkisar dari 1-3 hari, tergantung pada senyawa, setelah itu angiogenesis waktu
dapat dikuantifikasi melalui analisis gambar atau metode deteksi kolorimetri. Uji CAM cepat,
sederhana secara teknis, dan tidak mahal. Namun, kelemahan utamanya adalah padat karya
21
karena banyaknya telur yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang konsisten. Peneliti
harus mencatat bahwa ini adalah sistem non-mamalia yang harus dipertimbangkan ketika
menafsirkan hasil .
Telur ayam berembrio merupakan salah satu media penumbuh berbagai jenis virus seperti
virus New Castle Disease (ND), Avian Influenza, dan Campak. Metode pengujian in vivo
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pengujian in vitro dengan menggunakan kultur
sel karena tidak memerlukan media dan kondisi laboratorium yang rumit sehingga biaya yang
dibutuhkan relatif murah. Telur berembrio sebagai suatu sistem biologis yang dinamis
diharapkan menggambarkan kondisi in vivo. Kondisi in vivo yang dimaksudkan adalah
adanya metabolisme dan perkembangan sel–sel embrio di dalam telur yang berlangsung terus
menerus. Bahan-bahan kimia, termasuk zat antivirus, juga dapat diinokulasikan ke dalam
telur. Efek bahan tersebut terhadap virus dan embrio dipengaruhi oleh umur embrio, aplikasi
rute pemberian terhadap bagian dari telur (embrio, alantois, kantung kuning telur, kantung
hawa, amnion), kemampuan penyerapan bahan oleh embrio, dan struktur farmakologi dari
bahan itu sendiri.

Rentang ekstrim untuk inokulasi adalah 6-15 hari embrio. Sebelum telur diinokulasi harus
diperiksa terlebih dahulu untuk menentukan bahwa embrio telah siap digunakan. Hal ini
dilakukan dengan Candling (diteropong) di ruang yang gelap. Setelah 5 atau 6 hari inkubasi,
pembuluh darah dari membran korio alantois akan terlihat transparan pada telur yang subur.

2. Mengembangbiakan virus
Virus sebagai makhluk hidup dapat dikembangbiakan di suatu laboratorium dengan teknik
tertentu, seperti:
a. Kultur sel atau jaringan
Kultur sel diperoleh dengan cara menumbuhkan sel yang diambil secara aseptik dari organ
tubuh hewan percobaan. Sel dari organ tersebut kemudian dipisah-pisahkan dengan
menggunakan enzim yang kemudian ditumbuhkan pada permukaan cawan petri. Sel-sel
tersebut kemudian menghasilkan substrat semacam glikoprotein yang berfungsi untuk
menempelkan sel pada permukaan media setelah diinkubasi pada temperatur ruangan. Media
yang digunakan untuk kultur sel terdiri dari asam amino, vitamin, garam, gula dan buffer
bikarbonat. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka ke dalam medium ditambahkan
serum dalam jumlah yang sedikit

22
b. Embrio ayam
Virus dapat dikembangbiakan pada telur ayam yang sudah berisi embrio dengan cara
menyuntikkan biakan virus tersebut dengan alat khusus dan kemudian diinkubasikan,
sehingga terbentuklah virus-virus baru.

3. Media Isolasi Virus: Telur Ayam Bertunas


Media yang digunakan untuk isolasi virus antara lain: telur ayam bertunas (TAB), biakan
sel, hewan percobaan maupun hospes alami. Telur ayam berembrio merupakan sistem yang
telah lama digunakan secara luas untuk isolasi. Embrio dan membran pendukungnya
menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang
berbeda. Telur merupakan sumber sel murah untuk isolasi virus, sehingga cara in ovo ini
sering digunakan dalam laboratorium. Telur ayam memiliki empat membran ekstra
embrional yaitu kantung vitelus, amnion, serosa dan alantois. Alantois mulai terdapat pada
janin ayam yang berumur 27 jam inkubasi, terjadi sebagai suatu divertikulum pada dasar
usus belakang di daerah kloaka yang mula-mula menyerupai kantung dan tumbuh cepat
sekali. Rongga alantois berisi cairan-cairan yang berasal dari kotoran-kotoran janin, ketika
selama pertumbuhan dilepaskan. Dinding alantois dibentuk oleh splanknopleura,
pendarahannya diatur oleh arteri dan vena alantois yang disebut vena dan arteri umbilikalis.
Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran membatasi
seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur.
Membran kulit telur bersama dengan cangkang telur memban untuk mempertahankan
intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas ke dalam dan ke luar telur.
Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang
berfungsi sebagai organ respirasi embrio. Telur ayam berembrio merupakan salah satu media
penumbuh berbagai jenis virus seperti virus Newcastle Disease (ND), Avian Influenza, dan
Campak. Alasan pemilihan telur ayam bertunas sebagai media isolasi Virus antara lain:
a. Mudah diperoleh
b. Relative bebas dari mikroorganisme pathogen
c. Peka terhadap infeksi virus ND dan AI
d. Dapat diberikan tanda (ditulis dengan pensil: kode isolat, asal isolat, tanggal inokulasi,
jenis penyakit).
Sebelum digunakan telur diperiksa (candling) terlebih dahulu dengan menggunakan candler
(teropong telur).
23
1. Candling Telur Ayam Bertunas
Pemeriksaan telur ayam bertunas disebut candling yang dilakukan pada ruangan gelap untuk
mengamati pergerakan embrionya.. Teropong telur (candler) dihidupkan lalu telur diperiksa
di depan Canler. Diamati pergerakan ambrio dan pembuluh darahnya. Telur yang fertile
ditandai dengan pergerakan aktif dan darahnya merah. Sebaliknya telur yang infertile
tidak ada pergerakan embrio dan pembuluh darahnya tampak hitam.

Gambar telur ayam bertunas

2. Isolasi Virus pada Telur Ayam Bertunas


Macam-macam cara menginokulasikan virus ke embrio ayam yaitu dapat dilakukan secara
(13) :
a. In Ovo
Metode ini merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio. Metode ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara antara lain inokulasi pada ruang chorioalantois, membrane
chorioalantois dan yolk sac.
b. In Vitro
Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada kultur jaringan.
c. In Vivo
Virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Hewan laboratorium yang
digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci atau marmut.
Jalur inokulasi yang umum dilakukan pada telur ayam bertunas diantaranya adalah :
a. Inokulasi melalui ruang alantois
b. Inokulaasi melalui membrane korioalantois (Chorioalantoic membrane= CAM)
c. Inokulasi kantong kuning telur (Yolk Sac)

24
d. Inokulasi melaui ruang amnion (amnionic cavity)
e. Inokulasi melalui otak (intracerebtum)
f. Inokulasi melalui pembuluh darah (intra vena)
Pada tinjauan pustaka ini akan dijelaskan cara inokulasi virus melalui ruang alantois dan
membran korioalantois (CAM).

1) Cara inokulasi virus melalui Ruang Alantois


Jalur inokulasi ini dipilih untuk virus: Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious
Bronchitis, Egg Drop Syndrome. Telur yang digunakan biasanya berumur 9-10 hari. Jalur
inokulasi adalah sebagai berikut:
a. Telur di candling untuk menentukan fertile atau tidak
b. Ditandai ruang udaranya dengan menggunakan pensil
c. Kulit telur didesinfeksi dengan alkohol 70%.
d. Dibuat lubang pada cangkang telur dengan menggunakan jarum penusuk
e. Dilakukan inokulasi 0.2 ml inokulum/ butir telur dengan menggunakan spuit dengan
jarum berukuran 1 ml.
f. Lubang tempat suntikan tadi ditutup dengan menggunakan kuteks
g. Diberikan label pada telur tentang isolat yang diisolasikan.
h. Telur diinkubasikan di inkubator bersuhu 37ºC dan diamati setiap hari dengan cara
di canding
i. Kematian telur kurang dari 24 jam diabaikan dan dianggap telur
terkontaminasi.
j. Telur yang mati lebih dari 24 jam atau telur dengan embrio yang sudah lemah
selanjutnya dimasukkan ke almari pendingin selama satu malam.
k. Dilakukan pemanenen cairan alantois.

2) Cara Inokulasi Virus Melalui Membrana Korioalantois (CAM)


Inokulasi melalui membrane korioalantois dilakukan untuk mengisolasi virus-virus yang
bersifat epiteliotrofik, misalnya: virus Marek, Gumboro, Distemper, Pox, Variola, Vaccinia.
Biasanya pertumbuhan virus bersifat lambat yang ditandai dengan pembentukan pox pada
CAM. Cara inokulasi CAM (12) :
a. Telur dipilih yang fertile dan berumur 11-13 hari
b. Dilakukan candling dan ditandai ruang udaranya dengan pensil.
25
c. Dibuat satu tanda (x) dibagian horizontal yang dekat dengan pembuluh darah.
d. Kulit telur didesinfeksi dengan alkohol 70 % kemudian dibuat lubang pada posisi
ruang udara alami dengan menggunakan jarum penusuk steril.
e. Dibuat lubang satu lagi di bagian horizontal yang diberikan tanda (point c).
f. Udara dihisap keluar dari lubang ruang udara alami (point d) untuk membuat
ruang udara buatan pada lubang (point e)
g. Diinokulasikan 0,1 ml inokulum melalui ruang udara buatan, lalu lubang tadi
didesinfeksi dan ditutup dengan kutek
h. Telur diinkubasikan pada inkubator bersuhu 37ºC dengan posisi horizontal, dan
diamati setiap hari selama maximal 5 hari.
i. Telur dipanen dan dimasukkan ke almari pendingin.

4. Panen Virus
Telur yang sudah diinokulasi virus selanjutnya dikeluarkan dari almari pendingin untuk
dipanen. Sebelum dipanen disediakan alat-alat bedah yang terdiri dari: gunting, pinset.
Disiapkan pula cawan petri, tabung steril, spatula, pipet Pasteur, sarung tangan dan masker,
satu kantong plastik tempat menampung sampah bekas panen (12).
1. Cara Panen Cairan Alantois
a. Telur dikeluarkan dari almari pendingin, lalu dipotong cangkang telur pada
bagian ruang udaranya secara melingkar dengan menggunakan gunting.
b. Dikuakkan selaput korioalantoisnya dengan menggunakan pinset sehingga
tampak embrio yang dikelilingi cairan alantois berwarna jernih. Apabila cairan
alantoisnya tampak keruh itu menandakan terjadi kontaminasi bakteri dan
tidak layak untuk diuji.
c. Cairan alantois dipanen dengan cara diisap dengan pipet steril dan
ditampung pada tabung steril. Embrio ditekan dengan spatula untuk
mendapatkan cairan yang bebih banyak, lalu cairan alantois ditampung pada
tabung steril kemudian diberi label untuk di uji HA/HI.
2. Cara Panen CAM
a. Telur dikeluarkan dari almari pendingin, lalukulit telur digunting melingkar
secara horizontal.
b. Embrio dikeluarkan dari cangkang telur dan ditampung pada cawan petri steril

26
c. Ambil selaput CAM yang menempel pada cangkang telur
danditempatkan pada cawan petri lain yang telah diisi PBS.
d. CAM dicuci dengan PBS, digoyang-goyangkan sampai bersih dan diamati
adanya bentuk pox pada CAM.
e. Bagian CAM yang terinfeksi (bentuk pox) kemudian dipotong dan disimpan
untuk bahan uji pada PCR atau uji AGPT.

5. Jenis Virus pada Telur Ayam Bertunas (TAB)


Telur ayam berembrio merupakan salah satu media penumbuh berbagai jenis virus.
Beberapa virus yang secara alami tidak tumbuh pada ayam, tetapi dapat tumbuh dan
memperbanyak diri pada telur ayam berembrio, misalnya virus distemper anjing dan kucing,
virus variola, virus campak dan virus herpes. Virus pada ayam juga dapat ditumbuhkan pada
telur ayam berembrio antara lain: virus tetelo (Newcastle disease virus), virus flu burung,
virus penyakit Marek, virus bronchitis (Infectious Bronchitis) walaupun dalam pertumbuhan
harus dilakukan pasase terlebih dulu supaya dapat tumbuh.
a) Virus Newcastle Disease (ND)
Newcastle disease (ND) merupakan penyakit menular yang sangat merugikan peternak
ayam. Penyakit ND disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1 (APMV-1), genus
Avulavirus famili Paramyxoviridae, merupakan virus RNA dengan genom serat tunggal
(single stranded/ss) dan berpolaritas negatif. Famili Paramyxoviridae berbentuk pleomorfik,
biasanya berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm, namun ada pula yang berbentuk
filamen, dan beramplop. Ada sembilan serotype dari avian Paramyxovirus yaitu APMV-1
sampai APMV-9. Berdasarkan atas virulensinya, virus ND (VND) dikelompokkan menjadi
tiga patotype yaitu: lentogenik adalah strain virus yang kurang virulen, mesogenik
merupakan strain virus dengan virulensi sedang, dan velogenik adalah strain virus ganas.
Strain velogenik dibedakan lagi menjadi bentuk neurotrofik dengan gejala gangguan saraf
dan kelainan pada sistem pernafasan, dan bentuk viserotrofik yang ditandai dengan kelainan
pada sistem pencernaan.
Masa inkubasi dan gejala klinis penyakit ND pada ayam bervariasi, tergantung pada strain
virus dan status kebal ayam saat terinfeksi. Pada infeksi virus strain lentogenik, penyakit
bersifat subklinis, atau ditandai dengan gangguan respirasi yang bersifat ringan seperti
bersin dan keluar leleran dari hidung. Infeksi virus strain mesogenik bersifat akut ditandai
dengan gangguan respirasi dan kelainan saraf. Gejala klinis pada ayam ditandai dengan
27
penurunan nafsu makan, jengger dan pial sianosis, pembengkakan di daerah kepala, bersin,
batuk, ngorok, dan diare putih kehijauan (15).
b) Virus Smallpox atau Variola
Poxviridae adalah keluarga virus yang mengandung DNA untai-ganda dengan morfologi
yang besar dan komplek, serta tidak bersegmen. Memiliki selubung yang mengandung
lemak, berbentuk bata (brick-shaped) atau ovoid virion, panjang 220-450 nm dan lebar 140-
260 nm. Poxvirus mengandung beberapa enzim dalam virionnya, termasuk polimerasi RNA
yang bergantung DNA (“DNA-dependent RNA polymerase”), dan seluruhnya bereplikasi di
dalam sitoplasma sel. Semua poxvirus cenderung menyababkan lesi kulit. Sebagian bersifat
patogen bagi manusia (cacar, vaksinia, moluskum kontagiosum); lainnya yang patogen bagi
hewan juga dapat menginfeksi manusia, misalnya cacar sapi, cacar monyet (16).
c) Avian Influenza
Influenza disebabkan oleh Orthomyxovirus (virus RNA). Avian influenza dapat ditemukan
dalam 2 bentuk, yaitu bentuk berat (highly pathogenic avian infuenza, HPAI) dan bentuk
ringan (low pathogenic avian influenza, LPAI). Bentuk akut (HPAI) ditandai oleh adanya
proses penyakit yang cepat dan disertai mortalitas tinggi; gangguan pernafasan; lakrimasi
yang berlebihan; sinutisis; edema didaerah kepala dan muka; perdarahan jaringan subkutan
yang diikuti oleh sianosis pada kulit, terutama di daerah muka, jengger, pial, dada, tungkai,
dan telapak kaki; diare; gangguan produksi telur; dan gangguan saraf. Pada HPAI bentuk
yang sangat akut, dapat terjadi kematian mendadak tanpa adanya gejala tertentu (4).
d) Virus Herpes (Marek)
Virus marek dan herpesvirus lainnya tidak memiliki hubungan antigenic, tetapi dapat
bereaksi silang antar virus marek ayam dengan herpesvirus kalkukn, herpesvirus simpleks,
virus audjezky, dan virus bovine rhinotracheitis. Virus marek dapat ditumbuhkan pada
bagian kuning telur atau selaput korioalantois telur ayam berembrio (TAB). Salah satu virus
yang menyebabkan terbentuknya tumor adalah virus Marek. Penyakit Marek merupakan
penyakit ayam yang secara alami menginfeksi ayam di lapangan. Penyakit ini disebabkan
oleh Herpesvirus yang bersifat onkogenik, berasosiasi dengan sel (cell- associated) dan
sangat menular. Virus ini tersebar di seluruh dunia. Infeksi virus Marek patogen pada ayam
yang rentan akan mengakibatkan tingkat kematiannya tinggi, penurunan produksi telur dan
imunosupresi. Penyakit Marek disebabkan oleh Alfa Herpesvirus yang menyebabkan tumor
(onkogenik) dengan sel targetnya adalah sel limfosit B menjadi lisis sedangkan sel limfosit T
menjadi tumor dan lisis (16).
28
e) Parvovirus B19
Karena bertambahnya umur, jumlah orang yang menderita penyakit syaraf di negara-negara
industri tumbuh secara konstan. Penuaan sistem kekebalan manusia adalah proses yang terus
menerus dan aktif yang melibatkan mekanisme yang diprakarsai oleh respon terhadap faktor
infeksi. Agen penular sering terlibat dalam perkembangan gangguan neurologis, dan
parvovirus B19 (B19V) manusia telah terbukti mempengaruhi sistem kekebalan. Selain
infeksi aktif yang menyebabkan kerusakan jaringan, banyak virus memiliki kemampuan
untuk bertahan di sel inang dalam keadaan laten. Ini khas dari B19V, yang biasanya tetap
diam di host setelah paparan utama pada anak usia dini dan, dengan demikian, mempengaruhi
persentase yang tinggi dari populasi manusia. Ketahanan jaringan seumur hidup dari B19V
asam deoksiribonukleat genomik (DNA) adalah hasil yang umum dari infeksi B19V,
membingungkan interpretasi hasil DNA B19V positif dalam jaringan padat. Setelah
menginfeksi inang, genom virus menetap di berbagai organ, termasuk sistem saraf pusat
(SSP). Akhir-akhir ini, semakin banyak penelitian melaporkan sindrom klinis terkait B19V
dengan manifestasi CNS, seperti myalgic encephalomyelitis, leukoensefalopati multifokal
progresif, ensefalitis, encephalopathy, atau meningoencephalitis, baik dalam imunokompeten
dan imunosupresif paten (17).

E. ALAT DAN BAHAN

1. Alat
Teropong telur , Sample cup, Inkubator , Lemari es, Pisau bedah (scalpel), Gunting lurus dan
lengkung, Penjepit/pinset, Kapas, Sarung tangan , Bio safety Cabinet, dan Refrigerator
2. Bahan
Telur ayam bertunas (berembrio), Inokulum, Alcohol 70%, danKutek

F. CARA KERJA

Teknik inokulasi pada Telur Bertunas

1) Penanganan awal telur bertunas

- Telur sebaiknya memiliki cangkang yang berwarna putih

- Telur sebaiknya bebas dari mikroorganisme pathogen (SPF)

29
- Sebelum diinokulasi, telur dieramkan pada pengenceran bertemperatur 370C -
400C dengan kelembaban 50-70% sampai mencapai umur tertentu

2) Pemeriksaan Telur

- Telur diperiksa pada ruangan gelap dengan menggunakan teropong telur

- Dilihat infertilitas, keadaan embrio (tunas) apakah mati atau sehat dan keadaan
pembuluh darah pada telur tersebut

3) Pemilihan Telur

- Telur yang dipilih adalah telur dengan embrio yang masih hidup dan sehat

4) Jalur dan teknik inokulasi telur bertunas :

a. Membran korioalantois (Chorioallantoic Membrane/CAM)

1) Diperiksa telur dengan embrio yang telah berumur 10-13 hari menggunakan
teropong telur dan ditandai daerah ruang udara alami dan daerah di salah satu
sisi telur yang bebas dari pembuluh darah

2) Dengan alat penusuk/bor telur, dibuat lubang pada cangkang telur didaerah
kantong udara secara alami dan pada daerah di salah satu sisi yang bebas dari
pembuluh darah sesuai dengan tanda sebelumnya. Pembuatan lubang pada sisi
telur tersebut hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga jarum tidak
nampak menembus membran

3) Dikeluarkan perlahan-lahan udara dari ruang udara alami dengan menghisap


dari karet (rubber teat). Dengan cara demikian akan terbentuk ruang udara
buatan pada salah satu sisi telur

4) Dengan menggunakan tuberculine syringe (1ml), disuntikkan inoculum


kedalam rongga udara buatan dengan dosis 0,1-0,8 ml

5) Ditutupi lubang yang terdapat pada cangkang dengan kuteks atau paraffin.
Dan diberikan label , dieramkan pada pengeram dengan temperatur 370C-400C
pada posisi horizontal selama ±7 hari

6) Dilakukan pengamatan setiap harinya terhadap perubahan yang terjadi.

30
 Panen Membran

1) Dimasukkan telur yang siap untuk dipanen ke dalam lemari es (-5)0C selama
beberapa jam untuk mengurangi perdarahan pada saat membuka telur

2) Dibuka dan dipotong cangkang telur di daerah kantong udara buatan dengan
gunting, dikeluarkan isi telur dan diperhatikan apakah CAM-nya masih
melekat pada bagian dalam kulit atau ikut bersama-sama isi telur. Kemudian
diambil membrane tersebut dengan pinset dan diletakkan dalam cawan petri

3) Diamati secara cermat adanya bercak-bercak putih (pock’s) pada CAM


tersebut.

b. Ruang Allantois (allantois cavity)

1) Digunakan telur ayam bertunas selama 8-11 hari

2) Dilakukan pengamatan telur terutama keadaan embrionya dengan teropong.


Ditandai daerah kantong udara dengan pensil

3) Dibuat lubang pada cangkang telur diatas garis perbatasan antara kantong udara
dengan daerah embrionya

4) Dilakukan inokulasi dengan menyuntikkan inoculum dengan syringe berukuran


1 ml dan langsung dimasukkan ke ruang allantois dengan dosis 0,1-0,2 ml/butir
telur

5) Ditutup lubang pada cangkang telur dengan kuteks, dan diberikan label
seperlunya, selanjutnya dieramkan kembali pada alat pengeram

6) Diamati telur setiap hari (bila perlu dua kali sehari)

 Panen Cairan Allantois

1) Dikeluarkan dari inkubator telur yang embrionya telah mati setelah


diinokulasikan dengan bahan pemeriksaan dan dimasukkan ke dalam almari es
selama beberapa jam

2) Dibuka dan dipotong dengan gunting cangkang telur di daerah kantong udara

31
3) Diisap cairan allantois dengan pipet pasteur atau pipet jenis lain dan
ditampung dengan tabung steril. Untuk menambahkan pengambilan cairan
allantois, maka ditekan embrio kearah samping bawah dengan spatula.

BAB III
UJI HEMAGLUTINASI (HA)

D. Latar Belakang

32
Virus berasal dari bahasa Yunani venom yang berarti racun. Virus merupakan suatu
partikel yang masih diperdebatkan statusnya apakah termasuk makhluk hidup atau benda
mati. Virus dianggap benda mati karena ia dapat dikristalkan, sedangkan virus dikatakan
benda hidup, karena virus dapat memperbanyak diri (replikasi) dalam tubuh inang. Virus
merupakan organisme non-seluler, karena ia tidak memiliki kelengkapan seperti sitoplasma,
organel sel, dan tidak bisa membelah diri sendiri. Secara umum virus merupakan partikel
tersusun atas elemen genetik yang mengandung salah satu asam nukleat yaitu asam
deoksiribonukleat (DNA) atau asam ribonukleat (RNA) yang dapat berada dalam dua kondisi
yang berbeda, yaitu secara intraseluler dalam tubuh inang dan ekstrseluler diluar tubuh inang
.

Virus merupakan mikroorganisme terkecil yang memiliki ukuran bervariasi mulai dari
poxvirus yang ukurannya ± 300 x 250 x 100 nm sampai parvovirus yang diameternya ± 20
nm. Poxvirus merupakan salah satu virus dengan materi genetik DNA yang dapat
menyebabkan penyakit cacar baik pada manusia maupun hewan vertebrata. Poxvirus
merupakan golongan virus yang dapat dikembangbiakkan pada selaput korioalantois telur
ayam bertunas yang nantinya membentuk badan inklusi berupa bintik (pox) yang berwarna
putih (2). Poxvirus mengandung beberapa enzim dalam virionnya, termasuk polimerasi RNA
yang bergantung DNA (“DNA-dependent RNA polymerase”), dan seluruhnya bereplikasi di
dalam sitoplasma sel. Semua poxvirus cenderung menyababkan lesi kulit. Sebagian bersifat
patogen bagi manusia (cacar, vaksinia, moluskum kontagiosum); lainnya yang patogen bagi
hewan juga dapat menginfeksi manusia, misalnya cacar sapi, cacar monyet (3).Parvovirus
merupakan virus yang terdiri dari materi genetik DNA single strand yang tidak memiliki
envelope dan merupakan virus yang cukup mematikan bagi binatang seperti anjing karena
dapat dengan mudah menular dari anjing satu ke anjing lainnya baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui feses. Parvovirus dapat sebabkan terjadinya gastroenteritis, muntah,
kolaps, diare berdarah, hingga anoreksia. Parvovirus adalah salah satu virus yang dapat
dikembangbiakan dalam cairan alantois telur ayam bertunas.

Secara umum, diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis penyakit hewan


, meliputi isolasi dan identifiksasi agen penyebab penyakit dari bahan tersangka, uji serologi
untuk mendeteksi dan mengukur antibody spesifik yang terbentuk selama kejadian penyakit ,
menemukan antigen virus dalam lesi dengan menggunakan antibody yang diwarnai dengan
flouresein atau peroksidase, dan pemeriksaan dengan mikroskop electron dari bahan
33
tersangka dengan pewarnaan positif dan negative guna mengenal dan mengetahui ukuran
partikel virus (5). Salah satu uji serologi yang digunakan yaitu uji HA (Hemagutinasi),
hemaglutinasi adalah terbentuknya agregat sel eritrosit oleh partikel hemaglutinin virus. Hal
ini dapat terjadi karena ikatan antara protein luar virus hemagglutinin dengan reseptor
permukaan eritrosit. Prinsip metodenya adalah mencampurkan satu sampai dua tetes virus
dengan suspensi eritrosit. Hemaglutinasi biasanya akan tampak dalam waktu satu menit pada
uji cepat. Proses hemaglutinasi sendiri berlangsung apabila virus dapat mengikat dua eritrosit
secara simultan sehingga terbentuk semacam jembatan silang (cross bridge). Hal ini
mengharuskan jumlah virus dan eritrosit yang ekuivalen .

E. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam


laporan ini antara lain :

1. Bagaimana cara melakukan Uji Hemaglutinasi (Uji HA) dengan metode cepat dan
metode mikrotiter?
2. Bagaimana cara menghitung titer pengenceran virus yang terkecil yang masih mampu
mengaglutinasi eritrosit ayam ?

F. Tujuan

3. Tujuan Instruksional Umum

Untuk mengetahui cara melakukan Uji Hemaglutinasi (Uji HA).

4. Tujuan Instruksional Khusus

c. Untuk dapat melakukan Uji Hemaglutinasi (Uji HA) dengan metode cepat dan
metode mikrotiter.
d. Untuk dapat menghitung titer pengenceran virus yang terkecil yang masih mampu
mengaglutinasi eritrosit ayam.

G. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian dan Sifat Virus

34
Virus adalah gen penyebab infeksi yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup, yaitu
pada sel hewan (temasuk manusia), tumbuhan, jamur, dan bakteri. Akar bahasa latin untuk
kata virus berati ‘racun’. Karena virus mampu menyebabkan berbagai macam penyakit dan
dapat menyebar di antara organisme. Virus adalah agen infeksius yang terlalu kecil untuk
dilihat dengan mikroskop cahaya dan mereka bukan sel, mereka tidak memiliki inti sel,
organel, atau sitoplasma. Virus merupakan mikroorganisme terkecil yang memiliki ukuran
bervariasi mulai dari 300 x 250 x 100 nm hingga berdiameter 20 nm. Virus yang berukuran
paling kecil adalah virus polio (Poliovirus). Panjang tubuhnya hanya 25 nm. Virus yang
berukuran paling besar adalah virus penyerang bakteri yang panjang tubuhnya 100 nm dan
virus mosaik tembakau (TMV) yang panjang tubuhnya 300 nm. Oleh karena ukuran
tubuhnya sangat renik, virus hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron.
Adapun sifat-sifat khusus dari virus yaitu:

1. Bahan genetik virus terdirir dari asam ribonukleat (RNA)natau asam


deoksiribonukleat (DNA), akan tetapi tidak terdiri dari kedua jenis asam nukleat
sekaligus.
2. Struktur virus secara relatif sangat sederhana, yaitu terdiiri dari pembungkus yang
mengelilingi/melindungi asam nukleat.
3. Virus melakukan reproduksi hanya dalam sel hidup, yaitu di dalam nukleus,
sitoplasma atau di dalam keduanya dan tidak mengadakan kegiatan metabolisme jika
berada di luar sel hidup.
4. Virus tidak mempunyai informasi genetik sistem Lipman untuk sintetik energi
berpotensi tinggi.
5. Virus tidak membelah diri dengan cara pembelahan biner. Partikel virus baru dibentuk
dengan suatu roses biosintesis majemuk yang dimulai dengan pemecahan suatu
partikel virus infektif menjadi lapisan protein pelindung dan komponen asam nukleat
infektif.
6. Asam nukleat partikel virus yang menginfeksi sel mengambil alih pengawasan system
enzim sel hospesnya, sehingga selaras dengan proses sintesis asam nukleat dan
protein virus.
7. Virus yang menginfeksi sel mempergunakan ribosom sel hospes untuk keperluan
metabolismenya.

35
8. Komponen-komponen utama virus dibentuk secara terpisah dan digabung di dalam sel
hospes tidak lama sebelum dibebaskan.
9. Selama proses pembebasan berlangsung, beberapa partikel virus akan mendapat
selubung luar yang mengandung lipid protein dan bahan-bahan lain yang sebagian
berasal dari sel hospes.
10. Partikel virus lengkap disebut virion dan terdiri dari inti asam nukleat yang dikelilingi
lapisan protein yang bersifat antigenik yang disebut kapsid dengan atau tanpa
selubung di luar kapsid.
Virus memiliki bentuk bermacam-macam. Ada yang bulat, batang, dan ada yang
seperti huruf T. Virus yang berbentuk bulat misalnya virus influenza (Influenza virus) dan
virus penyebab AIDS (Human immunodeficiency virus/HIV). Virus yang berbentuk oval
misalnya virus rabies. Virus yang berbentuk batang misalnya virus mosaik tembakau
(Tobacco mosaic virus/TMV). Virus yang berbentuk polihedral misalnya Adenovirus
(penyebab penyakit demam). Virus yang berbentuk T misalnya virus yang menyerang bakteri
(Bakteriofage atau disingkat fage.

A. Struktur dan Stabilitas Virus


Virus bukan berupa sel (aseluler), virus tidak memiliki bagian-bagian sel seperti
membran plasma, sitoplasma, dan inti. Virus berupa partikel kecil yang disebut virion. Virus
tersusun dari asam nukleat dan selubung protein yang disebut kapsid. Virus kompleks
memiliki bagian yang disebut kepala dan ekor. Kepala virus kompleks memiliki bentuk
polihedral, sedangkan bagian ekor terdiri dari tiga struktur yaitu selubung ekor, lempengan
dasar, dam serabut ekor. Lempengan dasar dan serabut ekor berfungsi untuk melekat pada sel
yang diinfeksi. Contoh virus kompleks adalah virus penyerang bakteri yang berbentuk huruf
T (bakteriofoge). Gabungan asam nukleat dan kapsid disebut nukleokapsid. Pada beberapa
virus, nukleokapsid diselubungi oleh membran yang disebut sampul virus. Sampul virus
tersusun dari lipid dan protein, berfungsi membantu virus memasuki sel. Contoh virus yang
memiliki sampul virus adalah virus influenza. Virus yang tidak memiliki sampul virus
disebut sebagai virus telanjang (9).

Asam nukleat adalah molekul pembawa informasi genetika. Virus hanya memiliki
satu jenis asam nukleat, yaitu DNA saja atau RNA saja, Materi genetik tersebut dapat
berbentuk rantai tunggal atau rantai ganda. Rantainya dapat berbentuk melingkar atau linier.

36
Selubung protein (Kapsid) adalah pembungkus asam nukleat. Kapsid tersusun dari sub unit
protein yang disebut kapsomer. Kapsid inilah yang member bentuk pada virus. Kapsid dapat
berbentuk batang yang merupakan susunan heliks (ulir) dari kapsomer, berbentuk polihedral
(segi banyak), atau bentuk yang kompleks (8).

B. Reproduksi Virus

Virus dapat berkembang biak dalam sel bakteri, sel hewan dan tumbuhan. Dengan
demikian, virus hanya dapat hidup secara parasit. Pada dasarnya reproduksi virus terjadi
melalui lima tahap, yaitu tahap pelekatan, penetrasi, replikasi, sintesis, pematangan dan
pelepasan (9).

1. Tahap pelekatan

Tahap pelekatan adalah saat partikel virus (virion) melekat pada sel yang
diinfeksi. Tempat pelekatan virus pada sel inang terjadi pada reseptor (protein khusus
pada membran plasma sel inang yang mengenali virus).

2. Tahap penetrasi

Tahap penetrasi adalah tahap virus atau materi genetik virus masuk kedalam
sitoplasma sel inang.

3. Tahap replikasi dan sintesis

Tahap replikasi dan sintesis adalah tahap terjadinya perbanyakan partikel virus
di dalam sel inang. Sel inang akan dikendalikan oleh materi genetik dari virus
sehingga sel dapat membuat komponen virus, yaitu asam nukleat dan protein untuk
kapsid.

4. Tahap pematangan

Tahap pematangan adalah tahap penyusunan asam nikleat dan protein virus
menjadi partikel virus utuh.

5. Tahap pelepasan

Tahap pelepasan adalah tahap partikel virus keluar dari sel inang dengan
memecahkan sel tersebut.

37
C. Uji Hemaglutinasi

Uji ini digunakan untuk mengetahui titer awal antigen yang akan digunakan dalam
uji hambatan hemaglutinasi. Selain itu juga digunakan untuk retitrasi antigen dengan
tujuan memastikan titer antigen yang digunakan.

Uji HA cepat biasanya digunkan untuk mengidentifikasi virus yang mampu


menghemaglutinasi eritrosit ayam. Sedangkan uji HA lambat digunakan untuk
mengetahui titer virus, kemampuan virus dalam menginfeksi yang ditandai dengan
adanya hemaglutinasi eritrosit. Titer virus dapat diketahui dengan melihat sumuran
terakhir pada nomor tertinggi (end point) yang menunjukan adanya hemaglutinasi positif.
Hal itu ditandai dengan adanya agregat-agregat di dasar sumur

Hemaglutinasi oleh virus ND dapat dihitung dan di bawah kondisi standar dalam
cairan dapat dilihat. Reaksi HA dapat dihambat oleh serum immune yang spesifik.
Beberapa strain virus ND dapat ditunjukkan virulensinya dalam aktivitas HA dengan
eritrosit mamalia dan dalam panas yang stabil. Antigen yang tidak signifikan tidak dapat
dilaporkan

H. ALAT DAN BAHAN


1. Pembuatan Suspensi Sel Darah Merah
Nama Alat dan Bahan Fungsi
Sebagai alat untuk memisahkan
Centrifuge
sel darah merah
Sebagai alat yang digunakan untuk
Tabung reaksi tempat menampung sel darah
merah yang akan dicentrifuge
Digunakan untuk pencucian sel
PBS pH 7,2
darah merah

38
Bahan spesimen yang akan
Suspensi sel darah merah 1% dibuatkan suspensi sel darah
merah

2. Uji Hemaglutinasi Cepat


Nama Alat dan Bahan Fungsi
Sebagai tempat untuk pemeriksaan
hemaglutinasi cepat (Tempat
untuk melihat terjadinya reaksi
Gelas Objek
aglutinasi antara suspensi antigen
virus dengan suspensi sel darah
merah 1%)
Sebagai alat yang digunakan untuk
memindahkan cairan/larutan dari
satu tempat ke tempat lainnya
Mikropipet 200 µl
dengan pengukuran volume yang
sangat kecil secara akurat dalam
satuan µl (microliter)
Sebagai pelengkap dari mikropipet
Yellow tip
ukuran 200 µl
Fungsi larutan PBS pada uji
hemaglutinasi cepat adalah
PBS pH 7,2 digunakan untuk pembuatan
kontrol dan sebagai larutan
penyangga
Suspensi antigen virus atau Bahan yang digunakan untuk
suspensi bahan pemeriksaan dilakukannya pemeriksaan
Digunakan untuk membuat virus-
virus yang mempunyai protein
Suspensi sel darah merah 1%
hemaglutinin bereaksi dengan
reseptor pada sel darah merah

39
3. Uji Hemaglutinasi (Teknik Mikrotiter)
Nama Alat dan Bahan Fungsi
Sebagai tempat untuk pemeriksaan
Mikroplate (Plat mikro button ‘U’) hemaglutinasi secara teknik
mikrotiter
Sebagai alat yang digunakan untuk
memindahkan cairan/larutan dari
satu tempat ke tempat lainnya
Mikropipet 200 µl
dengan pengukuran volume yang
sangat kecil secara akurat dalam
satuan µl (mikroliter)
Sebagai pelengkap dari mikropipet
Yellow tip
ukuran 200 µl
PBS pH 7,2 Sebagai larutan penyangga
Suspensi antigen virus atau Bahan yang digunakan untuk
suspensi bahan pemeriksaan dilakukannya pemeriksaan
Digunakan untuk membuat virus-
virus yang mempunyai protein
Suspensi sel darah merah 1%
hemaglutinin bereaksi dengan
reseptor pada sel darah merah

I. PROSEDUR KERJA

1. Pembuatan Sel Darah Merah


a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
b. Darah dengan antikoagulan pada tabung reaksi 10 ml selanjutnya dicuci
dengan menambahkan PBS pH 7,2 (atau NaCl fisiologis 0,9%), kemudian
dihomogenkan dengan mengaduknya membentuk angka “8”.
c. Selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 2500 – 3000 rpm selama 15 menit.
d. Dibuang bagian supernatan dan disisakan endapan (sel darah merah).
e. Endapan (sel darah merah) ditambahkan PBS pH 7,2 (atau NaCl fisiologis
0,9%), kemudian dihomogenkan dengan menganduknya membentuk angka
“8”.
40
f. Selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 2500 – 3000 rpm selama 15 menit.
g. Diulangi lagi sekali langkah pada huruf d, e, dan f.
h. Dibuang bagian supernatant (plasma darah) dan hanya tersisa bagian endapan
saja berupa sel darah merah.
i. Dilakukan penghitungan PCV (Percentase Cell per Volume) pada sel darah
merah tersebut.
j. Setelah diketahui nilai PCV dari sel darah tersebut, selanjutnya dilakukan
pengenceran dengan menambahkan PBS pH 7,2 (atau NaCl fisiologis 0,9%)
agar sel darah tersebut menjadi 1%.
Rumus Volumetrik :

V1. C1 = V2. C2

Contoh : Hasil penghitungan sel darah merah didapatkan Nilai PCV =


52%, untuk menjadikannya 1% bisa dibuat pengenceran
dengan perbandingan :

V1. C1 = V2. C2

1 ml . 52% = V2 . 1%

52 ml = V2

V2 = 52 ml

 Untuk mendapatkan sel darah merah 1%, dapat dilakukan dengan


perbandingan antara sel darah merah dengan pengencernya adalah 1 : 51
 Diambil 1 ml sel darah merah yang PCV 52% ditambahkan dengan 51 ml PBS
pH 7,2 (atau NaCl fisiologis 0,9%)

2. Uji Hemaglutinasi Cepat


a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
b. Diambil gelas obyek kemudian dibersihkan dengan tissue.
c. Diteteskan satu tetes suspensi antigen pada gelas obyek.
d. Kemudian diteteskan satu tetes suspensi sel darah merah didekatnya.

41
e. Selanjutnya dicampurkan kedua tetes tersebut dengan batang pengaduk
(misalnya batang korek api atau lidi) aduk selama beberapa saat hingga
tercampur merata.
f. Diamati reaksi yang terjadi.
g. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya Kristal seperti pasir pada
campuran tersebut (aglutinasi).
h. Dibuat control dengan cara suspensi sel darah 1% diganti dengan PBS pH 7,2
(atau NaCl fisiologis 0,9%).
i. Jika hasilnya positif pada uji HA cepat, dilanjutkan pada uji HA dengan teknik
mikrotiter.

3. Uji Hemaglutinasi (Teknik Mikrotiter)


a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
b. Diambil plat mikro “U” 96 sumuran.
c. Diisi setiap lubang (1 – 12) pada plat mikro masing-masing dengan 0,025 ml
(25 µl) PBS dengan menggunakan mikropipet.
d. Ditambahkan pada lubang pertama dan lubang kedua suspensi antigen
sebanyak 25 µl yang akan diuji dan selanjutnya buat pengencer seri kelipatan
dua mulai dari lubang kedua sampai lubang kesebelas dengan menggunakan
mikropipet. Pada sumur kesebelas, diambil 25 µl lalu dibuang sehingga
volumenya 25 µl.
e. Ditambahkan 0,025 ml (25 µl) PBS ke dalam tiap-tiap lubang (2 – 12) dan
selanjutnya diayak dengan pengayak mikro.
f. Kemudian ditambahkan ke dalam setiap lubang (1 – 12) masing-masing 0,05
ml (50 µl) suspensi sel darah merah 1% dan diayak kembali selama 30 detik.
g. Diinkubasikan pada suhu kamar selama 1 jam dan diamati timbul atau
tidaknya reaksi aglutinasi sel darah merah setiap 15 menit.
Catatan :

- Sumur 1 sebagai kontrol positif


- Sumur 12 sebagai kontrol negatif
Titer HA virus dinyatakan sebagai kebalikan dari pengencer tertinggi virus
yang masih mampu menimbulkan reaksi aglutinasi secara sempurna. Selanjutnya,

42
sebelum diidentifikasi lebih lanjut dalam uji HI, suspensi titer virus harus
diencerkan terlebih dahulu. Pada umumnya titer HA yang digunakan pada uji HI
adalah 4 unit HA.

J. Interpretasi Hasil
 Positif (+) : Tidak terjadi pengendapan eritrosit (eritrosit
menyebar atau tidak membentuk titik)
 Negatif (-) : Terjadi pengendapan eritrosit (terbentuk titik
ditengah-tengah)
Titer HA virus dinyatakan sebagai kebalikan dari pengencer tertinggi virus yang
masih menimbulkan reaksi aglutinasi secara sempurna. Semakin kekanan, konsentrasi
antigen semakin kecil, maka titernya semakin tinggi.

43
BAB IV

UJI HI (HEMAGLUTINATION INHIBITION)

A. Latar Belakang
Newcastle disease (ND) adalah penyakit pada unggas yang disebabkan oleh
virus yang termasuk dalam kelompok single-stranded RNA, family Paramyxoviridae,
genus Avulavirus, spesies Avian Paramyxovirus serogrup Avian Paramyxovirus Tipe
1 (APMV-1) Virus ini dapat dibedakan dari virus lainnya, karena adanya aktivitas
neuraminidase yang tidak dimiliki virus lain pada famili Paramyxoviridae. Aktifitas
biologis dari virus ND adalah adanya kemampuan untuk menghemaglutinasi sel darah
merah, mempunyai neuraminidase dan adanya kemampuan untuk menyebabkan
hemolisis pada sel darah merah Secara umum, diperlukan pemeriksaan laboratorium
untuk mendiagnosis penyakit yang disebabkan oleh virus, meliputi isolasi dan
identifiksasi agen penyebab penyakit dari bahan tersangka, uji serologi untuk
mendeteksi dan mengukur antibody spesifik yang terbentuk selama kejadian penyakit,
menemukan antigen virus dalam lesi dengan menggunakan antibody yang diwarnai
dengan flouresein atau peroksidase, dan pemeriksaan dengan mikroskop electron dari
bahan tersangka dengan pewarnaan positif dan negative guna mengenal dan
mengetahui ukuran partikel virus.

Uji serologi dilakukan untuk mengidentifikasi virus sebagai agen penyebab


penyakit, dengan menggunakan serum standar yang disebut dengan diagnose pasti.
Prinsip dasar uji serologi adalah terjadinya ikatan antara antigen dengan antibodi yang
homolog untuk membentuk ikatan antigen-antibodi komplek. Uji serologi juga
digunakan untuk mengukur titer antibodi hewan pascavaksinasi. Disamping itu uji
serologi juga dapat digunakan untuk mengetahui munculnya penyakit baru dengan
menggunakan serum dan antigen standar. Untuk penyakit yang sudah endemik,

44
dilakukan pengambilan serum sepasang (paired sera) yakni serum yang diambil dua
kali. Beberapa macam uji serologi yang dikenal diantaranya adalah uji HA, HI,
ELISA, AGPT, FAT, CFT, RIA. Uji hemaglutinasi (HA/HI) digunakan khusus untuk
virus-virus yang memiliki protein hemaglutinin pada amplopnya. Misalnya: Virus
Newcastle Disease, virus Avian Influenza, virus Parvo.

Hemaglutinasi adalah terbentuknya agregat sel eritrosit oleh partikel


hemaglutinin virus. Hal ini dapat terjadi karena ikatan antara protein luar virus
hemagglutinin dengan reseptor permukaan eritrosit. Prinsip metodenya adalah
mencampurkan satu sampai dua tetes virus dengan suspensi eritrosit. Hemaglutinasi
biasanya akan tampak dalam waktu satu menit pada uji cepat. Proses hemaglutinasi
sendiri berlangsung apabila virus dapat mengikat dua eritrosit secara simultan
sehingga terbentuk semacam jembatan silang. Hal ini mengharuskan jumlah virus dan
eritrosit yang ekuivalen.
Penentuan kuantifikasi antibodi dan identifikasi virus dapat dilakukan dengan
uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Uji ini memiliki prinsip mengukur level antibodi
dengan cara dilusi yang dapat mencegah hemaglutinasi eritrosit oleh virus. Komponen
dasar uji HI adalah antigen HA, serum yang didilusi dan konsentrasinya menurun, dan
suspensi eritrosit. HI test telah menjadi metode yang tepat dalam mendeteksi
kehadiran antibodi spesifik dalam serum yang terinfeksi atau dari individu yang
sembuh/ pulih dari sakit. Selanjutnya, dengan mendilusi (diencerkan) serum, jumlah
komparatif dari antibodi dapat ditentukan. Berdasarkan uraian diatas, maka praktikan
tertarik untuk melakukan pratikum pengukuran titer antibodi terhadap virus influenza
dengan menggunakan uji hambatan aglutinasi (HI).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
laporan ini antara lain :

1. Bagaimana cara melakukan Uji Hambatan Aglutinasi (Uji HI) ?


2. Bagaimana cara mengukur tingkat kekebalan atau titer antibodi terhadap virus
influenza.

45
C. Tujuan

5. Tujuan Instruksional Umum

Untuk mengetahui cara melakukan Uji Hambatan Aglutinasi (Uji HI).

6. Tujuan Instruksional Khusus

e. Untuk dapat melakukan Uji Hambatan Aglutinasi (Uji HI).


f. Untuk dapat mengamati ada tidaknya pertumbuhan virus.
g. Untuk dapat mengukur tingkat kekebalan atau titer antibodi terhadap virus influenza.

D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Virus
Virus berasal dari bahasa Yunani venom yang berarti racun. Virus dianggap
benda mati karena ia dapat dikristalkan, sedangkan virus dikatakan benda hidup
karena virus dapat memperbanyak diri (replikasi) dalam tubuh inang. Virus
merupakan organisme non-seluler, karena ia tidak memilki kelengkapan seperti
sitoplasma, organel sel, dan tidak bisa membelah diri sendiri. Secara umum virus
merupakan partikel tersusun atas elemen genetik yang mengandung salah satu asam
nukleat yaitu asam deoksiribonukleat (DNA) atau asam ribonukleat (RNA) yang
dapat berada dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu secara intraseluler dalam tubuh
inang dan ekstrseluler diluar tubuh inang (11).

Partikel virus secara keseluruhan ketika berada di luar inang yang terdiri
dari asam nukleat yang dikelilingi oleh protein dikenal dengan nama virion.
Virion tidak melakukan aktivitas biosinteis dan reproduksi. Pada saat virion
memasuki sel inang, baru kemudian akan terjadi proses reproduksi. Virus ketika
memasuki sel inang akan mengambil alih aktivitas inang untuk menghasilkan
komponen - komponen pembentuk virus. Virus dapat bertindak sebagai agen penyakit
dan agen pewaris sifat. Sebagai agen penyakit, virus memasuki sel dan menyebabkan
perubahan - perubahan yang membahayakan bagi sel, yang akhirnya dapat merusak
atau bahkan menyebabkan kematian pada sel yang diinfeksinya. Sebagai agen
pewaris sifat, virus memasuki sel dan tinggal di dalam sel tersebut secara permanen.

46
Berdasarkan sifat hidupnya maka virus dimasukan sebagai parasit obligat, karena
keberlangsungan hidupnya sangat tergandung pada materi genetic inang (12).

Adapun sifat-sifat khusus dari virus yaitu:(13)

11. Bahan genetik virus terdirir dari asam ribonukleat (RNA) atau asam deoksiribonukleat
(DNA), akan tetapi tidak terdiri dari kedua jenis asam nukleat sekaligus.
12. Struktur virus secara relatif sangat sederhana, yaitu terdiiri dari pembungkus yang
mengelilingi/melindungi asam nukleat.
13. Virus melakukan reproduksi hanya dalam sel hidup, yaitu di dalam nukleus,
sitoplasma atau di dalam keduanya dan tidak mengadakan kegiatan metabolisme jika
berada di luar sel hidup.
14. Virus tidak mempunyai informasi genetik sistem Lipman untuk sintetik energi
berpotensi tinggi.
15. Virus tidak membelah diri dengan cara pembelahan biner. Partikel virus baru dibentuk
dengan suatu roses biosintesis majemuk yang dimulai dengan pemecahan suatu
partikel virus infektif menjadi lapisan protein pelindung dan komponen asam nukleat
infektif.
16. Asam nukleat partikel virus yang menginfeksi sel mengambil alih pengawasan system
enzim sel hospesnya, sehingga selaras dengan proses sintesis asam nukleat dan
protein virus.
17. Virus yang menginfeksi sel mempergunakan ribosom sel hospes untuk keperluan
metabolismenya.
18. Komponen-komponen utama virus dibentuk secara terpisah dan digabung di dalam sel
hospes tidak lama sebelum dibebaskan.
19. Selama proses pembebasan berlangsung, beberapa partikel virus akan mendapat
selubung luar yang mengandung lipid protein dan bahan-bahan lain yang sebagian
berasal dari sel hospes.
20. Partikel virus lengkap disebut virion dan terdiri dari inti asam nukleat yang dikelilingi
lapisan protein yang bersifat antigenik yang disebut kapsid dengan atau tanpa
selubung di luar kapsid.
Virus memiliki bentuk bermacam-macam. Ada yang bulat, batang, dan ada
yang seperti huruf T. Virus yang berbentuk bulat misalnya virus influenza (Influenza
virus) dan virus penyebab AIDS (Human immunodeficiency virus/HIV). Virus yang
47
berbentuk oval misalnya virus rabies. Virus yang berbentuk batang misalnya virus
mosaik tembakau (Tobacco mosaic virus/TMV). Virus yang berbentuk polihedral
misalnya Adenovirus (penyebab penyakit demam). Virus yang berbentuk T misalnya
virus yang menyerang bakteri (Bakteriofage atau disingkat fage) (14).

7. Struktur dan Stabilitas Virus


Virus bukan berupa sel (aseluler), virus tidak memiliki bagian-bagian sel
seperti membran plasma, sitoplasma, dan inti. Virus berupa partikel kecil yang disebut
virion. Virus tersusun dari asam nukleat dan selubung protein yang disebut kapsid.
Virus kompleks memiliki bagian yang disebut kepala dan ekor. Kepala virus
kompleks memiliki bentuk polihedral, sedangkan bagian ekor terdiri dari tiga struktur
yaitu selubung ekor, lempengan dasar, dam serabut ekor. Lempengan dasar dan
serabut ekor berfungsi untuk melekat pada sel yang diinfeksi. Contoh virus kompleks
adalah virus penyerang bakteri yang berbentuk huruf T (bakteriofoge). Gabungan
asam nukleat dan kapsid disebut nukleokapsid. Pada beberapa virus, nukleokapsid
diselubungi oleh membran yang disebut sampul virus. Sampul virus tersusun dari
lipid dan protein, berfungsi membantu virus memasuki sel. Contoh virus yang
memiliki sampul virus adalah virus influenza. Virus yang tidak memiliki sampul virus
disebut sebagai virus telanjang (15).

Asam nukleat adalah molekul pembawa informasi genetika. Virus hanya


memiliki satu jenis asam nukleat, yaitu DNA saja atau RNA saja, Materi genetik
tersebut dapat berbentuk rantai tunggal atau rantai ganda. Rantainya dapat berbentuk
melingkar atau linier. Selubung protein (Kapsid) adalah pembungkus asam nukleat.
Kapsid tersusun dari sub unit protein yang disebut kapsomer. Kapsid inilah yang
member bentuk pada virus. Kapsid dapat berbentuk batang yang merupakan susunan
heliks (ulir) dari kapsomer, berbentuk polihedral (segi banyak), atau bentuk yang
kompleks (13).

8. Reproduksi Virus

Virus dapat berkembang biak dalam sel bakteri, sel hewan dan tumbuhan.
Dengan demikian, virus hanya dapat hidup secara parasit. Pada dasarnya reproduksi

48
virus terjadi melalui lima tahap, yaitu tahap pelekatan, penetrasi, replikasi, sintesis,
pematangan dan pelepasan (15).

1. Tahap pelekatan

Tahap pelekatan adalah saat partikel virus (virion) melekat pada sel yang
diinfeksi. Tempat pelekatan virus pada sel inang terjadi pada reseptor (protein
khusus pada membran plasma sel inang yang mengenali virus).

2. Tahap penetrasi

Tahap penetrasi adalah tahap virus atau materi genetik virus masuk kedalam
sitoplasma sel inang.

9. Tahap replikasi dan sintesis

Tahap replikasi dan sintesis adalah tahap terjadinya perbanyakan partikel virus
di dalam sel inang. Sel inang akan dikendalikan oleh materi genetik dari virus
sehingga sel dapat membuat komponen virus, yaitu asam nukleat dan protein untuk
kapsid.

10. Tahap pematangan

Tahap pematangan adalah tahap penyusunan asam nikleat dan protein virus
menjadi partikel virus utuh.

6. Tahap pelepasan

Tahap pelepasan adalah tahap partikel virus keluar dari sel inang dengan
memecahkan sel tersebut.

5. Uji Hambatan Hemaglutinasi


Antibodi adalah suatu substansi khusus yang dibentuk oleh tubuh sebagai respon
terhadap stimulasi antigen yang bersifat antigenik. Semua molekul antibodi termasuk ke
dalam kelas khusus protein serum yang disebut globulin, meskipun tidak semua globulin
serum merupakan antibodi. Antibodi disebut juga immunoglobulin (Ig) (16).
Antigen adalan senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat menstimulus
respon imun atau antibodi. Secara fungsional antigen terbagi menjadi imunogen atau hapten.
Imunogen adalah bahan yang dapat menimbulkan respon imun. Imunogen dapat diartikan
49
sebagai antigen yang dapat merangsang sistem imun dengan sangat kuat terutama dalam
konteks imunitas protektif terhadap organisme patogen. Sedangkan hapten adalah molekul
yang dapat bereaksi dengan antibodi tetapi tidak menstimulus pembentukan antibodi
langsung (16).
Antibodi dibentuk di dalam tubuh sebagai respon terhadap masuknya antigen
sehingga dapat mengenali dan mengikat antigen secara spesifik. Oleh sebab itu antibodi dapat
membantu proses perusakan dan pemusnahan antigen. Antibodi bersifat sangat spesifik
dalam mengenali determinan antigenik dari suatu antigen sehingga apabila suatu organisme
mempunyai beberapa determinan antigenik, maka tubuh akan memproduksi beberapa
antibodi sesuai dengan jenis epitop yang dimiliki oleh setiap mikroorganisme. Setiap antibodi
mempunyai sedikitnya dua situs identik yang dapat berikatan dengan determinan antigenik
yang disebut antigen-binding sites. Jumlah dari antigen-binding sites setiap antibodi disebut
valensi dari antibodi (16).
Antibodi dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel β akibat stimulus
dari antigen. Antibodi yang telah terbentuk secara spesifik akan mengikat antigen sejenis
yang masuk kembali ke dalam tubuh. Sel yang berperan dalam proses imun, yaitu sel limfosit
hanya dapat mengikat satu antigen atau grup antigen yang berkerabat dekat serupa. Setiap
individu memiliki kumpulan sel-sel limfosit yang berlainan dan dapat bereaksi dengan suatu
antigen secara spesifik. Bila antigen masuk ke dalam tubuh maka akan segera diikat oleh
reseptor yang sesuai yang terdapat pada permukaan sel limfosit, selanjutnya sel limfosit akan
berproliferasi membentuk satu klon. Sebagian dari sel klon akan membentuk antibodi dan
sebagian lainnya akan menyebar melalui peredaran darah dan kelenjar limfe ke dalam
jaringan tubuh sebagai cadangan sel yang sensitif terhadap antigen tersebut (memory cell).
Kemudian sel β tertentu akan berdifferensiasi dengan cepat dan mensekresi antibodi yang
spesifik terhadap antigen tertentu. Apabila antigen yang sama masuk untuk kedua kalinya ke
dalam tubuh, maka antigen akan dikenali oleh sel memory, sehingga mengakibatkan
terbentuknya zat anti yang lebih cepat dan lebih banyak (16).
Struktur dasar antibodi berbentuk seperti “Y” memiliki 4 rantai protein yang tersusun
dari dua rantai polipeptida ringan (light-chain) dan dua rantai polipeptida berat (heavy-chain)
yang identik. Setiap rantai-rantai ini akan dihubungkan oleh ikatan disulfida. Spesifikasi
antigen-antibodi dalam membentuk respon imun berada pada dua lengan dari Y dengan cara
membandingkan deretan asam amno dari molekul-molekul antibodi yang berbeda.

50
Percabangan yang terdapat pada Y ini mampu menentukan peran antibodi ternadap masuknya
antigen tertentu ke dalam tubuh melalui respon imun tubuh (16).
Uji serologi dapat dilakukan untuk mengidentifikasi virus guna menentukan agen
penyebab penyakit. Uji serologi dilakukan dengan menggunakan serum standar yang sudah
diketahui. Prinsip dasar uji serologi adalah terjadinya ikatan antara antigen dengan antibodi
yang homolog untuk membentuk ikatan antigen-antibodi komplek. Pada uji hemaglutinasi,
ikatan tersebut (kompleks antigen- antibodi homolog) dapat diketahui dengan menambahkan
sel darah merah 1% sebagai indikator uji (17).
Uji serologi juga dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi pascavaksinasi.
Darah diambil satu atau dua minggu setelah divaksinasi. Pada unggas pengambilan darah
dilakukan melalui vena brakialis (vena sayap), dengan menggunakan spuit 1 atau 3 ml
tergantung umurnya. Selanjutnya darah diletakkan pada posisi miring, dibiarkan sampai
serumnya keluar dengan sempurna. Serum yang keluar selanjutnya dipisahkan dan ditampung
dengan tabung mikro untuk diuji titer antibodinya (17).
Disamping itu uji serologi juga dapat digunakan untuk mengetahui munculnya
penyakit baru dengan menggunakan serum dan antigen standar. Untuk penyakit yang sudah
endemik, dilakukan pengambilan serum sepasang (paired sera) yakni serum yang diambil dua
kali. Pengambilan pertama saat penyakit berlangsung akut, sedangkan pengambilan serum
yang kedua dilakukan 2-4 minggu kemudian. Selanjutnya dibandingkan titer antibodinya.
Beberapa uji serologi yang dikenal, diantaranya adalah: (9)
a. Haemaglutination and Haemaglutination Inhibition Test (HA/HI)
b. Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
c. Agar Gel Presititation Test (AGPT)
d. Flourescent Antibody Technique (FAT)
e. Complement Fixation Test (CFT)
f. Radio Immuno Assay (RIA)

Uji hambatan hemaglutinasi ini digunakan untuk mengidentifikasi lebih lanjut virus
yang diuji pada uji HA. Disamping itu uji HI juga dapat juga digunakan untuk menentukan
titer antibodi pascavaksinasi. Uji HI positif ditandai dengan pengendapan sel darah merah
1%. Titer HI adalah pengenceran tertinggi serum yang mampu menghambat terjadinya
hemaglutinasi sempurna. Sel darah merah disini hanya sebagai indikator uji (9).

51
Uji hambatan hemaglutinasi (Hemagglutination-inhibition/HI) merupakan uji yang
dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi di dalam darah. Karena pada uji ini
digunakan antigen yang homolog sehingga akan terjadi ikatan antigen-antibodi, yang
kemudian virus tidak akan dapat melekat atau berikatan dengan reseptor membran sel darah
merah dan aglutinasi tidak akan terjadi. Uji HI mempunyai fungsi antara lain sebagai sarana
untuk mengidentifikasi jenis antibodi tertentu dengan melihat reaksi antar antigen homolog
yang telah diketahui dengan antibodinya, serta untuk mengetahui titer antibodi dengan cara
mereaksikannya antara serum yang ingin diketahui antibodinya dengan antigen standar yang
telah diketahui (16).
Uji HI memiliki dua metode yaitu metode α dan β. Metode α sering digunakan untuk
menguji jenis antigen dengan melakukan pengenceran pada antigen. Kelebihan dari metode
ini dapat mengidentifikasi antigen tanpa melakukan uji HA terlebih dahulu. Namun pada uji
ini dibutuhkan antibodi dalam jumlah banyak dan titer yang cukup tinggi. Sedang metode β
dapat digunakan untuk mengidentifikasi antibodi dan menghitung titer antibodi atau menguji
jenis antigen dengan melakukan pengenceran pada antibodi dengan jumlah antigen tetap,
jumlah antibodi yang digunakan sedikit dan dapat diketahui titer antibodinya, batas akhir
pada pengenceran tertinggi yang mampu menghambat terjadinya aglutinasi secara sempurna
disebut End point (16).
Uji HI dapat dilakukan secara makro atau mikrotitrasi, tergantung reagen-reagen yang
digunakan. Perbedaan dari kedua metode hanya pada volume reagen dan virus standar yang
digunakan. Pada makrotitrasi, virus standar yang digunakan yaitu 8HAU (Hemagglutination
Unit) atau 10 HAU, sedangkan pada mikrotitrasi virus standar yang digunakan 4 HAU (16).

E. ALAT DAN BAHAN

Alat
1. Plat mikro buttom “U”
2. Objek glass
3. Batang pengaduk atau lidi
4. Pipet mikro dan Tips 200 µl
5. Pengayak mikro (mikroshaker)
Bahan

52
1. Antigen atau suspense virus
2. Suspense sel darah merah 1 %
3. Larutan PBS pH 7,2 (atau NaCl fisiologis 0,9 %)
4. Akuadest
F. CARA KERJA

1. Pembuatan Sel Darah Merah


2. Darah dengan antikoagulan pada tabung reaksi 10 ml selanjutnya dicuci dengan
menambahkan PBS 7,2 (atau NaCl fisiologis 0,9%), kemudian dihomogenkan
dengan mengaduknya membentuk angka “8”
3. Selanjutnya dicentrifuge dengan kecepatan 2500 – 3000 rpm selama 15 menit
4. Bagian supernatant (plasma darah) dibuang dan sisakan endapan (sel darah merah)
5. Selanjutnya endapan (sel darah merah) ditambahkan PBS 7,2 (atau NaCl fisiologis
0,9%), kemudian dihomogenkan dengan mengaduknya membentuk angka “8”
6. Selanjutnya dicentrifuge dengan kecepatan 2500 – 3000 rpm selama 15 menit
7. Diulang sekali lagi langkah nomer 3,4 dan 5
8. Dibuang bagian supernatant (plasma darah) dan hanya tersisa bagian endapan saja
beruoa sel darah merah
9. Dilakukan perhitungan PCV (Precentase Cell per Volume) pada sel darah merah
tersebut
10. Setelah diketahui nilai PCV dari sel darah merah tersebut, selanjutnya dilakukan
pengenceran dengan menambahkan PBS 7,2 (atau NaCl fisiologis 0,9%) agar sel
darah merah tersebut memiliki konsentrasi 1 %

2. Uji Hambatan Aglutinasi (HI) Teknik Mikrotiter


1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Serum hendaknya dipanaskan pada suhu 56 C selama 30 menit sebelum digunakan.
Ini bertujuan untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat yang tidak spesifik
didalamnya.
3. Diambil plat mikro “U” 96 sumuran
4. Diisi setiap lubang (1 – 12) pada plat mikro masing-masing dengan 25 µl PBS
dengan menggunakan mikropipet

53
5. Ditambahkan serum pada lubang 1 dan 2 sebanyak 25 µl dan selanjutnya dibuat
pengenceran berseri kelipatan dua mulai dari lubang ke-2 sampai dengan lubang ke-
10 dengan menggunakan mikropipet
6. Ditambahkan 25 µl suspense antigen 4 unit HA ke dalam masing-masing lubang
sumuran (1 – 11) , sedangkan lubang 12 hanya diisi dengan 25 µl PBS
7. Ayak selama 30 detik dan selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar selama 30
menit
8. Setelah 30 menit pada suhu kamar, tambahkan ke dalam setiap lubang 1-12 masing-
masing 50 µl suspense sel darah merah 1 % dan diayak kembali selama 30 detik
9. Selanjutnya diinkubasikan plat mikro pada suhu kamar selama 1 jam dan dilanjutkan
dengan pembacaan setiap 15 menit dan timbul atau tidaknya reaksi aglutinasi sel
darah merah.

Untuk lebih jelasnya skema prosedur uji HI ditunjukkan sebagai berikut.

Reagen Lubang

(µL) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

PBS - 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25

Serum 25 25 buang

Antigen 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
4 HA

SDM 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50

1%

Keterangan : * : penambahan PBS ini bertujuan untuk menyeragamkan prosedur HI

INTERPRETASI HASIL

 Positif (+) : Terjadi pengendapan eritrosit


 Negative (-) : Tidak terjadi pengendapan eritrosit

54
Titer HI dinyatakan sebagai kebalikan dari pengencer tertinggi serum yang masih mampu
menghambat aktivitas hemaglutinasi virus secara sempurna.

Catatan :

Pada uji HI antigen yang dipakai adalah antigen 4 unit HA (4HA) sehingga jika titer antigen
yang didapat pada uji HA lebih dari 22 , dan untuk melanjutkannya ke uji HI maka antigen
tersebut dapat dilakukan pengenceran dengan rumus :

𝐓𝐈𝐓𝐄𝐑 𝐇𝐀 𝐓𝐄𝐑𝐓𝐈𝐍𝐆𝐆𝐈
22

Contoh :

Jika pada uji HA mikrotiter didapatkan titer antigen 28, maka untuk menjadikannya 22
melalui pengenceran dengan rumus :

Titer HA tertinggi 28
= 2
22 2

= 26

= 64

Jadi perbandingan pengencerannya adalah 1 : 63 , dapat dilakukan dengan cara mengambil 1


ml antigen dengan titer 28 dan selanjutnya ditambahkan dengan 63 ml pengencernya berupa
PB ph 7,2 (atau NaCl fisiologis 0,9 %) dengan demikian akan didapatkan antigen 4 unit HA.

55
BAB V

ISOLASI RNA

A. Latar Belakang

Pendekatan secara molekuler saat ini banyak dikembangkan untuk deteksi dan
identifikasi virus secara rutin karena dinilai cepat, spesifik dan sensitif. RT-PCR / PCR
merupakan salah satu teknik deteksi virus secara molekuler yang mengalami kemajuan
yang signifikan dalam teknologi deteksi RNA/DNA. Hal ini didukung oleh ketersediaan
sekuen nukleotida untuk desain primer PCR beberapa virus. Deteksi secara molekuler
sangat penting dalam karakterisasi patogen tanaman dimana akan menentukan teknik
deteksi secara cepat dari patogen tersebut. Namun keberhasilan dari teknik ini sangat
bergantung pada kualitas total RNA/DNA yang dihasilkan dari proses ekstraksi
RNA/DNA yang dilakukan. Proses ekstraksi RNA/DNA merupakan sebuah proses untuk
memisahkan komponen asam nukleat RNA/DNA dari komponen penyusun sel tanaman.
Tahapan yang panjang dalam proses ekstraksi seringkali menyebabkan terjadinya
56
kontaminasi antar sampel, sehingga hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang
diharapkan (Suehiro et al. 2005). Pada tanaman tertentu ekstraksi RNA sulit dan melalui
tahap pengerjaan yang merepotkan. sehingga menyebabkan kesulitan dalam karakterisasi
virus RNA tanaman secara molekuler (Marinho et al. 1998). Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam proses ekstraksi / isolasi DNA/RNA antara lain pemilihan metode
efektif, sederhana serta cepat dan bisa dilakukan untuk semua spesies; menghasilkan
DNA/RNA tanpa adanya kontaminan; tidak boleh mengubah struktur dan fungsi molekul
DNA/RNA. Sebuah metode yang cepat dan efisien pada isolasi RNA dengan kemurnian
tinggi penting untuk semua aplikasi down-stream berdasar RNA. Isolasi RNA total
merupakan langkah penting pertama dalam studi molekuler, termasuk konstruksi pustaka
cDNA dan ekspresi gen. Aktivitas gen yang tinggi pada jaringan atau sel disebabkan oleh
banyaknya jumlah salinan sekuen gen berupa messenger RNA (mRNA). Messenger RNA
dalam isolat RNA total dijadikan sebagai template reverse transcription untuk mengubah
mRNA menjadi complementary DNA (cDNA). Sintesis cDNA melibatkan reaksi
enzimatik yang kompleks, sehingga seringkali mempunyai efisiensi hasil rendah dan
klona cDNA yang dihasilkan tidak lengkap, misalkan tidak mengandung ujung 5'
(Yuwono 2006). Menurut Reece (2004), gen lengkap (full-length gene) mengandung
ujung 5’ yang mewakili awal sekuen gen (downstream) dan ujung 3’ mewakili akhir
sekuen gen (upstream). Daerah ujung 5’ gen mengandung sekuen promoter, sedangkan
daerah ujung 3’ gen mengandung sekuen terminator dan poli(A). Jika gen lengkap dapat
diperoleh, maka dapat dilakukan manipulasi terhadap gen tersebut .

Isolasi DNA/RNA merupakan langkah awal yang harus dikerjakan dalam rekayasa
genetika sebelum melangkah ke proses selanjutnya. Prinsip dasar isolasi total DNA/RNA
dari jaringan adalah dengan memecah dan mengekstraksi jaringan tersebut sehingga akan
terbentuk ekstrak sel yang terdiri atas sel-sel jaringan, DNA, dan RNA. Kemudian ekstrak
sel dipuri-fikasi sehingga dihasilkan pelet sel yang mengandung DNA/RNA total.
Prinsip-prinsip isolasi DNA plasmid hampir sama dengan isolasi total DNA/RNA dari
jaringan

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang didapat sebagai berikut :

57
1. Bagaimana cara melakukan isolasi RNA dari sampel 4HA yang mengandung
paramyxo virus dan influensa virus ?
C. Tujuan Praktikum

1. Tujuan Umum

Untuk dapat mengetahui cara melakukan Isolasin RNA dari sampel 4HA yang
mengandung paramyxo virus dan influenza virus

2. Tujuan Khusus

Untuk dapat melakukan Isolasi RNA dari sampel 4HA yang mengandung paramyxo
virus dan influensa virus
D. TINJAUAN PUSTAKA

Isolasi RNA
Asam nukleat adalah polinukleotida yang terdiri dari unit-unit mononukleotida,
jika unit-unit pembangunnya deoksinukleotida maka asam nukleat itu disebut
deoksiribonukleat (DNA) dan jika terdiri dari unit-unit mononukleotida disebut asam
ribonukleat (RNA). DNA dan RNA mempunyai sejumlah sifat kimia dan fisika yang
sama sebab antara unit-unit mononukleotida terdapat ikatan yang sama yaitu melalui
jembatan fosfodiester antara posisi 3′ suatu mononukleotida dan posisi 5′ pada
mononukleotida lainnya, Asam-asam nukleat seperti asam deoksiribosa nukleat
(DNA) dan asam ribonukleat (RNA) memberikan dasar kimia bagi pemindahan
keterangan di dalam semua sel. Asam nukleat merupakan molekul makro yang
memberi keterangan tiap asam nukleat mempunyai urutan nukleotida yang unik sama
seperti urutan asam amino yang unik dari suatu protein tertentu karena asam nukleat
merupakan rantai polimer yang tersusun dari satuan monomer yang disebut
nukleotida. Dua tipe utama asam nukleat adalah asam deoksiribonukleat (DNA) dan
asam ribonukleat (RNA)
Asam ribonukleat (RNA) merupakan senyawa yang berasal dari bahan genetik
dan memiliki peran utama dalam ekspresi gen. Dalam dogma pokok (central dogma)
genetika molekuler, RNA menjadi perantara antara informasi yang dibawa DNA dan
ekspresi fenotip yang diwujudkan dalam bentuk protein. Asam ribonukleotida (RNA)
adalah salah satu molekul asam nukleat yang dibentuk oleh asam dioksiribonukleotida
58
(DNA) yang berfungsi untuk mensintesis protein di dalam inti sel. RNA merupakan
polimer yang disebut polinukloetida. Setiap polinukleotida tersusun atas monomer-
monomer yang disebut nukleotida. Setiap nukleotida tersusun atas tiga bagian, yaitu
basa nitrogen, gula pentosa, dan gugus fosfat. Basa nitrogen pada RNA terdiri dari
adenin, guanin, sitosin, dan urasil. Urutan basa-basa nitrogen tersebut dapat
mengkode informasi genetik. Beberapa molekul RNA pada sel eukariota berperan
penting dalam proses sintesis protein, antara lain, yaitu mRNA, tRNA, rRNA, dan
snRNA. mRNA (mesengger RNA) berfungsi sebagai pembawa informasi yang
menentukan urutan asam amino protein dari DNA ke ribosom. tRNA (transfer RNA)
memiliki fungsi untuk mentranslasi kodon-kodon mRNA menjadi asam amino. rRNA
(ribosom RNA) mempunyai peran struktural dan katalitik (ribozim) dalam
ribosom.SnRNA (small nuclear RNA) mempunyai peran struktural dan katalitik
dalam spliosom, yaitu kompleks dari protein dan RNA yang menyambung pra-mRNA
dalam nukleus eukariotik.
Untuk mendapatkan RNA pada organisme yang akan diamati dengan cara
mengisolasi RNA dan untuk menghitung jumlah RNA dilakukan kuantifikasi RNA.
Isolasi RNA merupakan teknik untuk memperoleh RNA yang diharapkan bebas dari
kontaminan. Secara umum terdapat tiga dasar persyaratan isolasi RNA, yaitu
melisiskan membran sel untuk mengekspos RNA, pemisahan RNA dari zat-zat dan
molekul lainnya seperti DNA, lipid, protein, dan karbohidrat, dan pemulihan RNA
dalam bentuk murni (12). Isolasi RNA dapat di manfaatkan untuk mengetahui laju
pertumbuhan pada ikan, mendeteksi penyakit seperti virus, selain itu digunakan untuk
ekspresi gen dan isolasi gen. Ekstraksi atau isolasi asam nukleat adalah salah satu
teknik dasar yang harus dikuasai dalam mempelajari teknik biologi molekular.
Ekstraksi atau isolasi asam nukleat dapat membuang dan memisahkan asam nukleat
dari komponen sel lainnya (protein, karbohidrat, lemak, dll) sehingga asam nukleat
yang diperoleh dapat dianalisis atau dimodifikasi lebih lanjut dengan teknik biologi
molekular lainnya

Ekstraksi asam nukleat ini berguna untuk meneliti bahan yang bersifat mikro
dengan alat-alat yang bersifat mikro. Ada dua metode ekstraksi asam nukleat yaitu
ekstraksi DNA dan RNA. Kedua metode tersebut hampir mirip dalam prosesnya,
namun molekul RNA relatif pendek dan lebih sulit rusak dengan shearing sehingga

59
disrupsi sel dapat dilakukan dengan lebih agresif. Meskipun molekul RNA relatif
pendek, tetapi RNA sangat mudah didigesti oleh RNAse yang terdapat endogen
dengan konsentrasi yang bervariasi di dalam sel dan di eksogen di jari. Sehingga,
untuk ektraksi RNA harus menggunakan sarung tangan dan medium yang digunakan
untuk isolasi harus mengandung detergen kuat untuk segera mendenaturasi RNAse
yang ada

Proses deproteinisasi harus dilakukan secara lebih agresif karena RNA sering
berikatan kuat dengan protein. Penambahan DNase dapat digunakan untuk
menghilangkan DNA. RNA kemudian dipresipitasi dengan etanol. Reagen yang
sering digunakan untuk ekstraksi RNA adalah guanidinium thiocyanate yang
merupakan inhibitor kuat RNase dan merupakan denaturan protein. Integritas RNA
dapat dicek dengan elektroforesis menggunakan gel agarose. Spesies RNA yang
terbanyak (molekul rRNA) berukuran 23S dan 16S untuk prokariot dan 18S dan 28S
untuk eukariot. RNA tersebut akan tampak sebagai pita yang diskrit dalam gel
agarose dan mengindikasikan RNA lainnya masih utuh. Proses ini biasanya dilakukan
dalam keadaan denaturasi untuk mencegah terjadinya formasi struktur sekunder pada
RNA.
Aktivitas nuklease selama proses ekstraksi asam nukleat dapat dikurangi
dengan cara: Mempertahankan suhu inkubasi dan sentrifugasi di bawah suhu optimum
nuklease (370C), misalnya dengan mempertahankan larutan ekstrak pada suhu es atau
40C. Menginaktivasi nuklease pada permukaan gelas, air dan bahan habis pakai
dengan bahan kimia seperti DEPC (diethylpyrocarbonate). Selanjutnya inaktivasi dan
atau penghambatan secara kimiawi, misalnya dengan fenol atau garam guanidinium.
Penghilangan ion logam ko-faktor untuk nuklease dengan chelating agent. Untuk
mengisolasi mRNA eukariotik (yang hanya 2-5% dari RNA selular) dari campuran
molekular RNA total dapat dilakukan dengan afinitas kromatografi terhadap kolumn
oligo (dT)-selulosa. Pada konsentrasi garam yang tinggi, mRNA yang mengandung
ekor poli(A) akan berikatan dengan molekul oligo(dT) komplementer pada kolumn
afinitas, sehingga mRNA tetap tertinggal, sedangkan molekul RNA lainnya dapat
dicuci bersih dari kolumn menggunakan larutan tinggi garam. Selanjutnya, Mrna yang
terikat tadi dapat dilarutkan dengan garam berkonsentrasi rendah.

60
Virus murni harus tersedia agar dapat dilakukan studi-studi yang bermakna
mengenai sifat dan biologi molekuler agen yang diperiksa. Untuk melakukan
pemurnian, bahan awal biasanya merupakan medium biakan jaringan dalam volume
besar, cairan tubuh atau sel-sel yang terinfeksi. Langkah pertama sering meliputi
konsentrasi partikel virus melalui presipitasi dengan ammonium sulfat, etanol, atau
polietilen glikol atau ultrafiltrasi. Hemaglutinasi dan elusi dapat digunakan untuk
memekatkan orthomyxovirus. Setelah pemekatan, virus dapat dipisahkan dari bahan
penjamu dengan sentrifugasi diferensial, sentrifugasi gradient densitas, kromatografi
kolom, dan elektroforesis. Lebih dari satu langkah biasanya diperlukan untuk
mencapai pemurnian yang adekuat. Pemurnian awal akan membuang sebagian besar
bahan nonvirus. Virus-virus icosahedral lebih mudah dimurnikan daripada virus
berselubung. Populasi virus bersifat heterogen pada ukuran dan densitasnya karena
virus berselubung biasanya mengandung jumlah selubung berbeda-beda per partikel.
Sangat sulit untuk mendapatkan virus yang benar-benar murni. Sedikit bahan selular
cenderung menempel pada partikel dan ikut termurnikan. Kriteria minimal untuk
kemurnian adalah gambaran homogeny pada mikrograf electron dan kegagalan
prosedur pemurnian tambahan untuk membuang “kontaminan” tanpa mengurangi
infektivitas
RNA virus ada dalam beberapa bentuk. RNA dapat berupa molekul linear
tunggal (misal, picornavirus). Untuk virus lain (misal, orthomyxovirus), genom terdiri
dari beberapa segmen RNA yang mungkin terikat longgar di dalam virion. RNA yang
diisolasi dari virus dengan genom positive- sense (yaitu, piconavirus, togavirus )
bersifat infeksius, dan molekul berfungsi sebagai mRNA didalam sel yang terinfeksi .
RNA yang diisolasi dari virus RNA negative-sense, seperti rabdovirus dan
orthomyxovirus, tidak bersifat infeksius. Untuk family virus ini, virion membawa
RNA polymerase yang mentranskripsi molekul RNA polymerase yang mentranskripsi
molekul RNA genom ke dalam beberapa molekul RNA komplementer di dalam sel,
masing-masing dapat berperan sebagai mRNA.

E. Alat dan Bahan

ALAT

Mikrotube, Mikropipet, Blue tip, Rak mikrotube, BSC (Biological Safety Cabinet),
Beaker glass, Centrifuge, Inkubator, Petri dish, Freezer
61
BAHAN

Suspensi antigen virus 4 HA, Reagen Trizol, Larutan kloroform, Larutan Isoprofil
alkohol , Alkohol beku 70%, Aquabidest.

F. Cara Kerja

Adapun cara yang dapat dilakukan dalam isolasi virus RNA adalah sebagai berikut :

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Dimasukkan sebanyak 125 µl sampel dan 375 µl reagen Trizol ke dalam


mikrotube.

3. Diinkubasi campuran tersebut selama 5 menit dalam suhu kamar.

4. Ditambahkan 200 µl larutan kloroform dan diinkubasi 15 menit dalam suhu


kamar.

5. Dicentrifuge campuran dalam mikrotube dengan kecepatan 1200 rpm selama


15 menit.

6. Diambil supernatant dan ditampung ke dalam mikroube yang baru.

7. Ditambahkan 250 µl larutan Isoprofil alcohol dan diinkubasi selama 10 menit.

8. Dicentrifuge kembali campuran denan kecepatan 1200 rpm selama 10 menit.

9. Dibuang semua cairan yan terdapat pada mikrotube.

10. Ditambahkan 1000 µl alcohol beku 70% ke dalam mikrotube dan dicentrifuge
dengan kecepatan 7500 selama 5 menit.

11. Dibuang kembali semua cairan yang terpadat di dalam mikrotube dan dry
water di dalam incubator suhu 560C sela 5-10 menit.

12. Ditambahkan 20 µl Treated water (aquabidest steril) dan disimpan hasil isolasi
di dalam kulkas selama semalam dan setelah itu ditaruh di dalam freezer
sampai dilakukan pengujian lebih lanjut.

62
BAB VI

ISOLASI DNA

A. Latar Belakang
DNA merupakan informasi genetik pada makhluk hidup dan dapat diwariskan dari
generasi ke generasi dan berupa untai ganda yang berpilin. DNA pada sel hewan terdapat
di nukleus dan mitokondria, juga kloroplas pada sel tumbuhan. DNA dapat ditemukan
63
pada darah, cairan semen, urin, saliva, rambut, kuku, gigi, tulang, jaringan maupun feses.
DNA dapat dipelajari dengan menggunakan metode isolasi DNA, yaitu teknik yang
dilakukan untuk memisahkan DNA dengan zat lain dari suatu sel. Prinsip kerja dari
isolasi DNA adalah isolasi jaringan atau sampel, pelisisan dinding dan membran sel,
ekstraksi DNA, pengendapan DNA, pemurnian DNA dan pengawetan DNA .

Salah satu prinsip isolasi DNA yaitu dengan sentrifugasi. Sentrifugasi merupakan
teknik untuk memisahkan campuran berdasarkan berat molekul komponennya. Molekul
yang mempunyai berat molekul besar akan berada di bagian bawah tabung dan molekul
ringan akan berada pada bagian atas tabung. Hasil sentrifugasi akan menunjukkan dua
macam fraksi yang terpisah, yaitu supernatan pada bagian atas dan pelet pada bagian
bawah.

Isolasi DNA merupakan teknik ekstraksi DNA dari suatu sel sebagai tahap awal suatu
analisis genetik. Secara umum tahap isolasi DNA dimulai dari pengambilan sampel sel,
pelisisan membran dan atau dinding sel, ekstraksi DNA, presipitasi DNA, pemurnian
DNA, dan pengawetan DNA. DNA manusia dan hewan biasanya diperoleh dari darah dan
jaringan dalam. Namun DNA dapat juga diekstraksi dari cairan semen, saliva, akar
rambut, urin dan gigi. Isolasi DNA berfungsi sebagai media pembelajaran genetik dan
dapat mengetahui kelainan genetik yang diderita. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam proses isolasi DNA antara lain pemilihan metode efektif, sederhana
serta cepat dan bisa dilakukan untuk semua spesies, menghasilkan DNA tanpa adanya
kontaminan, tidak boleh mengubah struktur dan fungsi molekul DNA.

Molekul DNA dalam suatu sel dapat diekstraksi atau diisolasi untuk berbagai macam
keperluan seperti amplifikasi dan analisis DNA melalui elektroforesis. Isolasi DNA
dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan DNA dari bahan lain seperti protein, lemak,
dan karbohidrat. Prinsip utama dalam isolasi DNA ada tiga yakni penghancuran (lisis),
ektraksi atau pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta
pemurnian DNA. Hasil isolasi DNA dikatakan baik apabila didapatkan DNA yang murni
dan utuh. Pengukuran konsentrasi DNA maupun penentuan kemurniannya merupakan
suatu tahapan yang sangat diperlukan dari serangkaian proses isolasi DNA. Hal ini
dilakukan untuk melihat kandungan DNA yang diperoleh secara kuantitatif maupun untuk
melihat kontaminan yang mungkin masih ada dari isolate DNA yang diperoleh.

64
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang didapat yaitu :
Bagaimana cara melakukan isolasi DNA dari sampel jaringan hewan yang
mengandung parvovirus ?

C. Tujuan Praktikum
1. Tujuan Umum
Untuk dapat mengetahui cara melakukan isolasi DNA dari sampel jaringan hewan
yang mengandung parvovirus.
2. Tujuan Khusus

Untuk dapat melakukan isolasi DNA dari sampel jaringan hewan yang
mengandung parvovirus.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Virus DNA

Virus DNA merupakan virus yang memiliki materi genetik berupa DNA, virus yang
tergolong dalam kelompok ini adalah virus kelas I, II, VII. Beberapa contoh familia virus
yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Herpesviridae, Parvoviridae, dan Poxviridae.

a. Herpesviridae

Herpesviridae merupakan kelompok virus berukuran besar dengan materi genetic


DNA utas ganda sehingga dikelompokkan ke dalam kelas 1 dalam klasifikasi Baltimore.
Virus dalam kelompok ini dapat menyebabkan penyakit ganas dan juga dapat menyebabkan
kelainan pasca kelahiran pada bayi. Herpesviridae terbagi ke dalam beberapa genus, yaitu:

1. Alpha Herpesvirus
Virus yang termasuk dalam kelompok Alpha Herpesvirus biasanya
menyebabkan penyakit yang akut dengan gejala yang muncul saat itu juga. Infeksi
virus ini bersifat laten persisten disebabkan karena kemampuan genom virus ini untuk
berintegrasi dengan sel inang. Jika kondisi inang sedang lemah, maka ada

65
kemungkinan penyakit dapat muncul kembali pada tempat yang sama. Contoh dari
virus ini adalah Herpes simplex tipe 1 dan 2 serta Varicella zoster (VZ) virus.
2. Beta Herpesvirus
Yang termasuk kedalam kelompok Beta Herpesvirus biasanya menyebabkan
penyakit yang akut akan tetapi tidak ditemukan gejala pada carrier. Virus ini
menyebabkan infeksi pada bayi dan perkembangan abnormal (penyakit kongenital).
Contoh dari virus ini adalah Cytomegalovirus.
3. Gamma Herpesvirus
Virus yang termasuk kedalam kelompok Gamma Herpesvirus mampu
menyebabkan penyakit limphopoliperatif jinak dan ganas. Contoh dari virus ini
adalah Epstein-Barr virus.
b. Poxviridae

Poxviridae merupakan virus dengan materi genetic DNA untai ganda sehingga virus
ini termasuk dalah kelas I dalam klasifikasi Baltimore. Ciri khas dari virus ini adalah virus ini
memiliki morfologi besar dan kompleks. Virus yang terkenal dalam kelompok ini adalah
small pox. Small pox cukup terkenal karena menimbulkan pandemik yang sangat esar
diseluruh dunia. Namun sekarang virus small pox sudah dimusnahkan.

c. Parvoviridae

Parvoviridae merupakan virus dengan DNA utas tunggal polaritas positif atau
negative sehingga termasuk dalam kelas II dalam klasifikasi Baltimore. Virus ini tidak
memiliki selubung virus dan merupakan virus manusia yang berukuran paling kecil dengan
virion yang berdiameter antara 18 nm dan 25 nm dan memiliki kapsid ikosahedral simetri
kubikal dengan 32 kapsomer. Virus ini merupakan virus yang tidak sempurna sehingga perlu
berasosiasi dengan adenovirus sehingga sering disebut Adeno-asociated virus (AAV).

Di dalam famili Parvoviridae terdapat dua subgrup, yaitu subgrup A dan sub grup B.
Salah satu contoh kelompok ini adalah virus B-19 yang dapat menyebabkan cacat atau
keguguran pada janin. Replikasi virus ini hanya terjadi dalam sel-sel yang aktif membelah;
perakitan kapsid terjadi di dalam nukleus sel yang terinfeksi. Banyak parvovirus bereplikasi
secara autonom, tetapi virus satelit terkait-adeno bersifat detektif, memerlukan keberadaan
suatu adenovirus atau herpesvirus sebagai “pembantu” (12). Parvovirus manusia B19
bereplikasi di dalam sel-sel eritroid imatur dan menyebabkan beberapa dampak merugikan,

66
antara lain menimbulkan erythema infectiosum yang menghambat produksi eritrosit di dalam
sumsum tulang. Parvovirus B19 adalah penyebab krisis aplastik transien yang dapat
memperburuk anemia hemolitik kronis, misalnya pada pasien dengan penyakit sel sabit,
talasemia, dan anemia hemolotik didapat pada orang dewasa. Krisis aplastik transien dapat
juga terjadi setelah transplantasi sumsum tulang. Sindrom tersebut merupakan penghentian
tiba-tiba sintesa sel darah merah pada sumsum tulang dan ditunjukkan dengan tidak adanya
prekursor eritroid pada sumsum tulang kemudian diikuti oleh pemburukan anemia yang
cepat. Infeksi ini menurunkan produksi eritrosit sehingga penurunan kadar hemoglobin darah
tepi. Terhentinya produksi sel darah merah yang sementara menjadi jelas tampak hanya pada
pasien dengan anemi hemolitik kronis karena umur eritrositnya yang pendek.

Ciri khas dari B19V, yaitu virus ini biasanya tetap diam di host setelah paparan utama
pada anak usia dini dan, dengan demikian, mempengaruhi persentase yang tinggi dari
populasi manusia. Ketahanan jaringan seumur hidup dari B19V asam deoksiribonukleat
genomik (DNA) adalah hasil yang umum dari infeksi B19V, membingungkan interpretasi
hasil DNA B19V positif dalam jaringan padat. Setelah menginfeksi inang, genom virus
menetap di berbagai organ. Akhir-akhir ini, semakin banyak penelitian melaporkan sindrom
klinis terkait B19V dengan manifestasi CNS, seperti myalgic encephalomyelitis,
leukoensefalopati multifokal progresif, ensefalitis, encephalopathy, atau meningoencephalitis,
baik dalam imunokompeten dan imunosupresif paten.

Genom B19V mengkodekan protein, termasuk protein nonstruktural NS1, dan dua
protein struktural VP1 dan VP2. Beberapa jalur intraseluler mengatur siklus hidup virus
melalui sintesis makromolekul dari pola awal, ditandai dengan ekspresi umum protein NS1
dengan fungsi pengaturan penting, termasuk kontrol transkripsi dan replikasi virus, serta
kontribusinya terhadap kematian sel inang, ke pola terlambat, ditandai dengan ekspresi umum
dari protein VP. Diferensiasi dan keadaan fisiologis sel, serta tipe sel, sangat penting bagi
virus untuk menyelesaikan siklus produktif dan menginduksi apoptosis sel yang terinfeksi.
Kedua protein VP struktural diproduksi dan dikumpulkan sepanjang siklus replikasi virus.
B19V memiliki struktur sederhana yang terdiri dari protein yang disebutkan di atas dan
molekul DNA linear. Partikel-partikel virus yang tidak diselimuti hanya berdiameter 22
hingga 24 nm dan menunjukkan simetri ikosahedral, dan seringkali kedua kapsul kosong dan
penuh dapat dideteksi oleh pewarnaan negatif. mikroskopi elektron. Sayangnya, ukurannya
sangat dekat dengan ribosom di sitosol dan / atau untaian heterokromatin dalam nukleus,

67
yang membuatnya sulit untuk membedakannya, terutama dalam kasus viral load yang rendah.
Oleh karena itu, sangat sedikit gambar yang dapat diandalkan yang membuktikan keberadaan
virus dalam jaringan manusia telah diperoleh. Deteksi lokalisasi B19V yang tepat dalam
jaringan manusia menggunakan mikroskop elektron merupakan tantangan, tetapi dapat
memberikan informasi berharga tentang B19V dan interaksi makroorganisme.

2.7 DNA

DNA merupakan makromolekul berupa benang sangat panjang yang terbentuk dari
sejumlah besar deoksiribonukleotida, yang masing-masing tersusun dari satu basa, satu gula
dan satu gugus fosfat. Di samping itu, DNA juga mempunyai peran penting dalam pewarisan
sifat. DNA merupakan suatu senyawa kimia yang penting pada makhluk hidup. Tugas
utamanya membawa materi genetik dari suatu generasi ke generasi berikutnya. DNA juga
merupakan senyawa polinukleotida yang membawa sifat-sifat keturunan yang khas pada
kromosom. DNA penting dalam hal hereditas. Paket semua informasi genetik dan dibagikan
pada generasi berikutnya (15). Informasi genetik disusun dalam bentuk kodon yang berupa
tiga pasang basa nukelotida.

DNA pada makhluk hidup dapat ditemukan pada inti sel (nukleus), mitokondria, dan
klorofil. Pada manusia, DNA ditemukan pada inti sel dan mitokondria. DNA pada nukleus
berbentuk linear dan memiliki jumlah pasang basa sekitar tiga milyar, sedangkan DNA yang
berada di mitokondria (mtDNA) berbentuk sirkuler dan memiliki jumlah pasang basa lebih
sedikit yaitu sekitar 160.000. Namun, apabila terjadi mutasi pada DNA mitokondria, dapat
terjadi kerusakan pada sistem yang peka terhadap kebutuhan energi seperti sistem saraf dan
otot .

68
Gambar 1. DNA inti dan DNA mitokondria pada manusia

DNA merupakan molekul hereditas yang terdapat di semua organisme baik prokariot
maupun eukariot. Dalam virus, bahan genetik terdiri dari DNA atau RNA. Semua DNA sel
terdiri dari dua rantai polinukleotida berbentuk heliks ganda yang sangat panjang dan melilit
mengelilingi sumbu yang sama. Kedua untai heliks ganda itu berjalan dalam arah
berlawanan. Tulang punggung gula fosfat setiap untai terdapat dibagian luar heliks ganda,
sedangkan basa-basa purin dan pirimidin terdapat dibagian dalam. Hubungan kedua rantai itu
dipertahankan oleh ikatan hidrogen antara pasangan-pasangan basanya
DNA memiliki struktur pilinan utas ganda yang antiparalel dengan komponen-
komponennya, yaitu gula pentosa (deoksiribosa), gugus fosfat, dan pasangan basa. Pasangan
basa pada DNA terdiri atas dua macam, yaitu basa purin dan pirimidin. Basa purin terdiri atas
adenin (A) dan guanin (G) yang memiliki struktur cincin-ganda, sedangkan basa pirimidin
terdiri atas sitosin (C) dan timin (T) yang memiliki struktur cincin-tunggal. Ketika guanin
berikatan dengan sitosin, maka akan terbentuk tiga ikatan hidrogen, sedangkan ketika adenin
berikatan dengan timin maka hanya akan terbentuk dua ikatan hidrogen. Satu komponen
pem-bangun (building block) DNA terdiri atas satu gula pentosa, satu gugus fosfat dan satu
pasang basa yang disebut nukleotida

69
Gambar 2. Struktur dan
komponen untai ganda
DNA

2.8 Identifikasi DNA

Identifikasi DNA adalah upaya untuk membandingkan antara profil DNA barang
bukti dengan pembanding sehingga dapat disimpulkan apakah profil DNA barang bukti
cocok (match) dengan pembanding atau tidak. Pola pewarisan spesifik pada DNA inti dan
DNA mitokondria menentukan teknis identifikasi DNA. Identifikasi DNA inti dapat
dilakukan dari semua sel tubuh yang memiliki inti. Sampel yang didapatkan dari TKP harus
diperlakukan sebagai barang bukti. Oleh karena itu, pengumpulan sampel harus dilakukan
dengan hati-hati, disimpan dan diawetkan agar hasil pemeriksaan dapat digunakan dalam
pengadilan. Pengumpulan sampel yang buruk dapat menyebabkan DNA terdegradasi atau
fragmen DNA yang terlalu pendek sehingga sulit untuk dianalisis. Aspek penting lain adalah
menjaga agar sampel tidak terkontaminasi. Beberapa spesimen biologis yang sering
didapatkan pada TKP dan dijadikan material pemeriksaan DNA diantaranya adalah darah,
tulang, ketombe, rambut, feses, kuku, sidik jari, sekret hidung dan telinga, saliva, keringat,
urin, semen, dan cairan vagina. Tiap jenis spesimen biologis memiliki standar prosedur
pengambilan dan pengawetan sampel tersendiri .

2.9 Isolasi DNA

70
Asam nukleat adalah polinukleotida yang terdiri dari unit-unit mononukleotida, jika
unit-unit pembangunnya deoksinukleotida maka asam nukleat itu disebut deoksiribonukleat
(DNA) dan jika terdiri dari unit-unit mononukleotida disebut asam ribonukleat (RNA). DNA
dan RNA mempunyai sejumlah sifat kimia dan fisika yang sama sebab antara unit-unit
mononukleotida terdapat ikatan yang sama yaitu melalui jembatan fosfodiester antara posisi
3′ suatu mononukleotida dan posisi 5′ pada mononukleotida lainnya, Asam-asam nukleat
seperti asam deoksiribosa nukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA) memberikan dasar
kimia bagi pemindahan keterangan di dalam semua sel. Asam nukleat merupakan molekul
makro yang memberi keterangan tiap asam nukleat mempunyai urutan nukleotida yang unik
sama seperti urutan asam amino yang unik dari suatu protein tertentu karena asam nukleat
merupakan rantai polimer yang tersusun dari satuan monomer yang disebut nukleotida. Dua
tipe utama asam nukleat adalah asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA)
Ekstraksi atau isolasi asam nukleat adalah salah satu teknik dasar yang harus dikuasai
dalam mempelajari teknik biologi molekular. Ekstraksi atau isolasi asam nukleat dapat
membuang dan memisahkan asam nukleat dari komponen sel lainnya (protein, karbohidrat,
lemak, dll) sehingga asam nukleat yang diperoleh dapat dianalisis atau dimodifikasi lebih
lanjut dengan teknik biologi molekular lainnya. Ekstraksi asam nukleat ini berguna untuk
meneliti bahan yang bersifat mikro dengan alat-alat yang bersifat mikro.
Isolasi DNA merupakan salah satu teknik dasar dalam biologi molekuler yang dapat
dikembangkan menjadi penelitian-penelitian yang kompleks mengenai informasi genetik
yang dimiliki oleh suatu organisme. Informasi pada DNA disimpan dalam bentuk basa
nukleotida yaitu adenine (A), guanine (G), cytosine (C), dan timin (T). Setiap sekuen basa
nukleotida mengandung informasi genetik yang berperan dalam perkembangan dan
pengaturan organisme. Sebuah sel memiliki DNA yang merupakan materi genetik dan
bersifat herediter pada seluruh sistem kehidupan.Suatu sel lengkap dari materi genetik (DNA)
yang dimiliki oleh organisme dan terorganisasi menjadi kromosom disebut sebagai genom.
DNA dapat diisolasi, baik pada manusia, tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme. DNA
dapat di isolasi dari jaringan apapun yang mempunyai sel inti
Isolasi DNA merupakan tahapan pekerjaan awal yang harus dilakukan dalam berbagai
pemeriksaan analisis DNA. Keberhasilan proses isolasi DNA seringkali sangat menentukan
hasil pekerjaan selanjutnya. Proses ekstraksi untuk mendapatkan DNA berkualitas tinggi
merupakan satu kaidah dasar yang harus dipenuhi dalam analisis molekuler. Berbagai analisis
biologi molekuler memerlukan hasil isolasi DNA dengan tingkat kemurnian dan kualitas
71
yang baik. DNA hasil isolasi harus terbebas dari berbagai kontaminan seperti protein dan
RNA yang dapat menggangu berlangsungnya proses PCR. Oleh karena itu, metode isolasi
DNA yang tepat sangat diperlukan untuk mendapatkan DNA dengan kualitas dan kuantitas
yang baik. Kualitas DNA genom yang baik merupakan hal penting yang dibutuhkan dalam
aplikasi biologi molekuler. Aplikasi tersebut meliputi PCR (Polymerase Chain Reaction),
RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPD (Random Amplified
Polymorphic DNA), dan analisis molekuler yang lain. Berbagai teknik ekstraksi DNA telah
dikembangkan dari prinsip dasar sehingga saat ini muncul berbagai teknik ekstraksi dan
purifikasi DNA dalam bentuk kit yang prosesnya akan lebih mudah, cepat, dan sederhana.

Ekstraksi dan purifikasi DNA pada dasarnya merupakan serangkaian proses


pemisahan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Ekstraksi DNA pada organisme
eukaryot dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell wall),
penghilangan protein dan RNA (cell digestion), dan pengendapan DNA (precipitation) dan
pemanenan. Saat ini isolasi DNA secara teknis menjadi lebih mudah dengan munculnya
berbagai teknik ekstraksi dan purifikasi dalam bentuk kit. Isolasi DNA merupakan teknik
ekstraksi dan atau purifikasi DNA dari suatu sel sebagai tahap awal suatu analisis genetik.
Isolasi DNA diperlukan dengan tujuan untuk memisahkan DNA dari bahan lain seperti
protein, lemak, dan karbohidrat. Terdapat 3 prinsip utama dalam isolasi DNA yakni 1).
penghancuran (lisis), 2). esktraksi atau pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan
protein, serta 3). pemurnian DNA.

1. Pemecahan sel atau jaringan.


Tahapan ini dimaksudkan untuk mengeluarkan isi sel. Pemecahan dapat dilakukan secara
fisik, misalnya dengan freezethawing, homogenisasi dengan bead mill, ultrasonikasi, atau
penggerusan dalam nitrogen cair. Sel juga dapat dilisiskan secara kimiawi maupun
enzimatik. Lisis secara enzimatik biasanya menggunakan proteinase K, lisozim,
akromopeptidase, dan pronase E.
2. Ekstraksi DNA.
Tahap ini bertujuan untuk memisahkan asam nukleat dari komponen penyusun sel lainnya.
Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan reagen yang mengandung detergen (misalnya SDS
atau sarkosil), larutan yang mengandung NaCl dan berbagai buffer (biasanya Tris atau
buffer fosfat pH 7 atau 8). Pada tahap ini, berbagai modifikasi biasa dilakukan, meliputi

72
inkubasi pada temperatur tinggi, penambahan fenol atau kloroform, juga menggunakan
agen pengkhelat seperti EDTA yang berfungsi untuk menghambat enzim nuklease.
3. Presipitasi DNA.
Tahapan ini bertujuan mengisolasi DNA dari larutan yang digunakan selama ekstraksi.
Pengendapan DNA dapat dilakukan dengan menambahkan etanol dingin beserta NaCl yang
masih terdapat dalam ekstrak. Dari hasil pengendapan DNA akan diperoleh benang-benang
DNA berwarna putih (9).
E. Alat dan Bahan

3. Alat
Mikropipet , Yellow dan blue tip, Mikrotube ukuran 1 ½ ml – 2 ml,
Mini coulumn spin , Centrifuge, Inkubator , Vortex, Mortar , BSC (Biological
Safety Cabinet), Gelas kimia, Rak mikrotube
4. Bahan
Buffer AL, Buffer AW 1, Buffer AW 2, Buffer HE , Buffer ATL,
Proteinase K, Etanol 100 %, Sampel jaringan

F. Cara Kerja

Untuk Sampel Jaringan

1) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.


2) Digerus jaringan yang telah disiapkan pada mikrotube dengan menggunakan mortar.
3) Ditambahkan buffer ATL sebanyak 180 µl dan gerus kembali jaringan hingga halus.
4) Ditambahkan proteinase K sebanyak 20 µl.
5) Divortek selama 15-30 detik kemudian diinkubasi pada suhu 56ºC selama 1-3 jam
(namun dalam praktikum selama 30 menit).
6) Dicetrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 8000 rpm.
7) Ditambahkan buffer AL sebanyak 200 µl dan divortek kembali selama 15-30 detik.
8) Ditambahkan etanol 100% sebanyak 200 µl dan divortek kembali selama 15-30 detik.
9) Dimasukkan supernatan kedalam mini coulumn spin dan disentrifus selama 1 menit
dengan kecepatan 8000 rpm.
10) Dibuang cairan yang terdapat pada tabung mini coulumn dan dipindahkan filtrat pada
tabung mini coulumn/ mikrotube yang baru.

73
11) Ditambahkan buffer AW 1 sebanyak 500 µl dan disentrifus kembali selama 1 menit
dengan kecepatan 8000 rpm.
12) Dibuang cairan yang terdapat pada tabung mini coulumn dan dipindahkan filtrat pada
tabung mini coulumn yang baru atau mikrotube yang baru.
13) Ditambahkan buffer HE sebanyak 200 µl dan diinkubasi selama 1 menit pada suhu
ruang.
14) Disentrifus selama 2 menit dengan kecepatan 8000 rpm.
15) Selanjutnya cairan pada mini coulumn/ mikrotube tersebut akan diuji pada tahap
selanjutnya.

74
BAB VII

UJI ELEKTROFORESIS

A. Latar Belakang
DNA merupakan suatu senyawa kimia yang penting pada makhluk hidup. DNA
pada makhluk hidup dapat ditemukan pada inti sel (nukleus), mitokondria, dan klorofil.
Perbedaan ketiganya adalah DNA nukleus berbentuk linier dan berasosiasi sangat erat
dengan protein histon, sedangkan DNA mitokondria dan kloroplas berbentuk sirkular dan
tidak berasosiasi dengan protein histon. Selain itu DNA mitokondria dan kloroplas
memiliki ciri khas, yaitu hanya mewariskan sifat-sifat yang berasal dari garis ibu.
Sedangkan DNA nukleus memiliki pola pewarisan sifat dari kedua orangtua. Dilihat dari
organismenya, struktur DNA prokariot tidak memiliki protein histon dan berbentuk
sirkular, sedangkan DNA eukariot berbentuk linier dan memiliki protein histon. (1)

Isolasi DNA merupakan salah satu teknik dasar dalam biologi molekuler yang
dapat dikembangkan menjadi penelitian-penelitian yang kompleks mengenai informasi
genetik yang dimiliki oleh suatu organisme. Informasi pada DNA disimpan dalam bentuk
basa nukleotida yaitu adenine (A), guanine (G), cytosine (C), dan timin (T). Setiap sekuen
basa nukleotida mengandung informasi genetik yang berperan dalam perkembangan dan
pengaturan organisme. DNA dapat diisolasi, baik pada manusia, tumbuhan, hewan,
maupun mikroorganisme. DNA dapat di isolasi dari jaringan apapun yang mempunyai sel
inti (Syahrurachman, 2010).

Isolasi DNA merupakan tahapan pekerjaan awal yang harus dilakukan dalam
berbagai pemeriksaan analisis DNA. Keberhasilan proses isolasi DNA seringkali sangat
menentukan hasil pekerjaan selanjutnya. Proses ekstraksi untuk mendapatkan DNA
75
berkualitas tinggi merupakan satu kaidah dasar yang harus dipenuhi dalam analisis
molekuler. Berbagai analisis biologi molekuler memerlukan hasil isolasi DNA dengan
tingkat kemurnian dan kualitas yang baik. DNA hasil isolasi harus terbebas dari berbagai
kontaminan seperti protein dan RNA yang dapat menggangu berlangsungnya proses PCR.
Oleh karena itu, metode isolasi DNA yang tepat sangat diperlukan untuk mendapatkan
DNA dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Kualitas DNA genom yang baik
merupakan hal penting yang dibutuhkan dalam aplikasi biologi molekuler. Aplikasi
tersebut meliputi PCR (Polymerase Chain Reaction), RFLP (Restriction Fragment Length
Polymorphism), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), dan analisis molekuler
yang lain. (1)

DNA yang telah diisolasi, sebelum dilakukan uji PCR dilakukan uji kualitatif
untuk mengkonfirmasi apakah isolasi DNA bisa digunakan atau tidak untuk uji PCR. Uji
kualitatif setelah dilakukannya isolasi DNA yaitu menggunakan uji elektroforesis. Uji
Elektroforesis dengan Agarose merupakan metode standar untuk memisahkan,
mengidentifikasi, mengkarakterisasi dan purifikasi dari molekul DNA. Cara pemisahan
dengan elektroforesisi ini merupakan alat pendukung yang sangat pokok dalam teknologi
DNA rekombinan, dengan aplikasi yang begitu luas baik untuk pemisahan untai tunggal
atau untai ganda molekul DNA. (2)

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang didapat yaitu :
Bagaimana cara melakukan uji elektroforesis dari isolasi DNA yang
menggunakan sampel jaringan hewan yang mengandung parvovirus?

C. Tujuan Praktikum
1. Tujuan Umum
- Untuk mengetahui teknik pemisahan senyawa dengan metode elektroforesis.
- Untuk mengetahui cara mengukur fragmen DNA.

2. Tujuan Khusus

76
Untuk dapat memahami dan melakukan teknik pemisahan senyawa dengan
metode elektroforesis.

D. Tinjauan Pustaka
Elektroforesis

Elektroforesis adalah teknik pemisahan komponen/molekul bermuatan


berdasarkan perbedaan tingkat migrasinya dalam sebuah medan listrik. Kecepatan
molekul yang bergerak pada medan listrik tergantung pada muatan, bentuk dan
ukuran. Dengan demikian elektroforesis dapat digunakan untuk separasi
makromolekul (seperti protein dan asam nukleat). Elektroforesis untuk makromolekul
memerlukan matriks penyangga untuk mencegah terjadinya difusi karena timbulnya
panas dari arus listrik yang digunakan. Gel poliakrilamid dan agarosa merupakan
matriks penyangga yang banyak dipakai untuk pemisahan protein dan asam nukleat
(10).

Elektroforesis adalah suatu cara analisis kimiawi yang didasarkan pada


pergerakan molekul-molekul protein bermuatan di dalam medan

(Gambar 3 : Pita DNA Setelah Elektroforesis dan Diamati di Bawah Sinar UV)

listrik (titik isoelektrik). Pergerakan molekul dalam medan listrik dipengaruhi oleh
bentuk, ukuran, besar muatan dan sifat kimia dari molekul. Pemisahan dilakukan
berdasarkan perbedaan ukuran berat molekul dan muatan listrik yang dikandung oleh
makro-molekul tersebut. Bila arus listrik dialirkan pada suatu medium penyangga
yang telah berisi protein plasma maka komponen-komponen protein tersebut akan
mulai bermigrasi

Metode elektroforesis tersebut pada prinsipnya melibatkan fase stasioner yang


berupa gel agarosa dan fase gerak berupa buffer Tris-acetate EDTA (TAE) atau
77
Trisborat EDTA (TBE). TBE (Tris-borat EDTA) 1X, Tris/Borat merupakan buffer
yang umum digunakan sebagai buffer elektroforesis karena memiliki kapasitas
buffering yang tinggi pada titik isoelektriknya. Borat bertindak sebagai conducting
ion sehingga dapat mempertahankan kesetimbangan ion H+ dan OH- yang dihasilkan
oleh elektrode, hal ini berhubungan dengan fungsi buffer dalam menjaga
kesetimbangan pH saat migrasi fragmen DNA berlangsung, perubahan pH dapat
mendenaturasi struktur DNA sehingga merubah elektromobilitas DNA (10).

DNA merupakan molekul bermuatan negative, sehingga bila diletakkan di


medan listrik, DNA akan bergerak dari kutub negative ke kutub positif. Prinsip
inilah yang dipakai dalam elektroforesis untuk memisahkan molekul-molekul DNA.
Pergerakan ini kecepatannya tergantung dari: ukuran molekul DNA, kerapatan
(konsentrasi) gel yang dilalui DNA, dan arus listrik yang diberikan untuk
memigrasikan molekul DNA. Semakin kecil ukurannya, DNA akan bermigrasi
semakin cepat. Semakin rapat media (gel) yang digunakan semakin lambat
pergerakan DNA di dalam gel. Dan semakin kuat arus listrik yang diberikan akan
semakin cepat migrasi DNA. Pergerakan plasmid di dalam agarose juga berbeda
sesuai dengan bentuknya. Sehingga hasil elektroforesis plasmid di gel agarose akan
ada beberapa pita. Plasmid memiliki bentuk yang beragam, antara lain: Supercoiled
(covalently closed-circular), relaxed circula yang kedua ujung DNA menyatu dan
berbentuk sirkuler, dan nicked open circular yang terpotong pada salah satu sisi ujung
DNA. DNA yang akan dimigrasikan di gel agarose harus dicampur terlebih dahulu
dengan larutan penyangga muatan pewarna (loading buffer/dye). Visulisasi DNA
selanjutnya dilakukan di bawah paparan sinar ultraviolet setelah terlebih dahulu gel
dalam pembuatannya ditambahkan larutan etidium bromid. Cara lain untuk melihat
visualisasi DNA adalah gel direndam di dalam larutan etidium bromid sebelum
dipaparkan di atas sinar ultraviolet (10).

Teknik elektroforesis dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu: elektroforesis


larutan (moving boundary electrophoresis) dan elektroforesis daerah (zone
electrophoresis). Pada teknik elektroforesis larutan, larutan penyangga yang
mengandung makro-molekul ditempatkan dalam suatu kamar tertutup dan dialiri arus
listrik. Kecepatan migrasi dari makromolekul diukur dengan jalan melihat terjadinya
pemisahan dari molekul (terlihat seperti pita) di dalam pelarut. Sedangkan teknik

78
elektroforesis daerah adalah menggunakan suatu bahan padat yang berfungsi sebagai
media penunjang yang berisi (diberi) larutan penyangga. Media penunjang yang biasa
dipakai adalah gel agarose, gel pati, gel poliakrilamida dan kertas sellulose poliasetat.
Perlengkapan alat elektroforesis terdiri dari cetakan gel yang digunakan untuk
membuat gel agarose, alat pencetak sumur yang digunakan untuk membuat sumur-
sumur pada sisi atasdari gel agarosa, yaitu tempatmemasukkan DNA ke dalam gel,
tangki elektroforesis, dan sumber arus (15).

Elektroforesis digunakan untuk mengamati hasil amplifikasi dari DNA. Hasil


elektroforesis yang terlihat adalah terbentuknya band yang merupakan fragmen DNA
hasil amplifikasi dan menunjukkan potongan-potongan jumlah pasangan basanya.
Elektroforesis digunakan dengan tujuan untuk mengetahuiukuran dan bentuk suatu
partikel baik DNA, RNA dan protein. Selain itu, elektroforesis juga digunakan untuk
fraksionasi yang dapat digunakan untuk mengisolasi masing-masing komponen dari
campurannya, mempelajari fitogenetika, kekerabatan dan mempelajari penyakit yang
diturunkan. Elektroforesisdalam bidang genetika, digunakan untuk mengetahui
ukuran dan jumlah basa yangdikandung suatu sekuen DNA tertentu (11).

Sebelum melakukan metode elektroforesis guna mengetahui suatu populasi


ataupun sistematik dari suatu jenis hewan ataupun tumbuhan, sebaiknya didasari
terlebih dahulu dengan pengetahuan mengenai biokimia protein serta pengetahuan
tentang metode elektroforesis. Bila dilihat dari struktur protein, hampir sebagian besar
sel terbentuk dari protein, karena di dalam sel bahan ini mencapai lebih dari separuh
berat kering sel. Protein akan menentukan bentuk dan struktur sebuah sel serta
bertindak sebagai alat utama pengenalan antar molekul dan proses katalis. Walaupun
DNA menyimpan informasi yang dibutuhkan untuk sebuah sel, peran langsungnya
sangat kecil dalam proses-proses di dalam sel (15).

Konformasi tiga demensi sebuah molekul protein ditentukan oleh urutan asam
aminonya. Dalam hal ini struktur pelipatannya dimantapkan oleh interaksi-interaksi
nonkovalen antara bagian-bagian yang berbeda dalam rantai polipeptida. Asam-asam
amino dengan rantai-rantai samping yang hidrofobik cenderung menggerombol di
bagian sebelah dalam molekul, dan interaksi-interaksi ikatan hidrogen lokal antara
ikatan-ikatan peptids yang berdekatan menyebabkan terbentuknya alpha helix dan
beta sheet. Komputer, DNA dan mRNA dapat disamakan sebagai "perangkat lunak
79
atau software" yaitu rangkaian perintah yang diterima oleh sebuah sel dari induknya.
Sedangkan protein dan molekul-molekul RNA yang katalitik dapat dianggap sebagai
"perangkat keras atau hardware", yakni mesin pengeksekusi program-program yang
tersimpan dalam memori. DNA dan RNA adalah rantai-rantai nukleotida yang secara
kimia hampir tidak saling berbeda, sedangkan sebaliknya protein terbuat dari
campuran 20 macam asam amino yang sangat berlainan, masing-masing dengan sifat
kimianya yang khas. Keragaman inilah yang memungkinkan sifat kimia yang serba
canggih dimiliki oleh setiap protein, dan ini diduga dapat menjelaskan mengapa
evolusi telah memilih protein dari pada molekul RNA sebagai katalisator yang
terbesar reaksinya di dalam sel. Ada 16 asam amino yang berbeda yang digunakan
oleh hewan, dan masing-masing asam amino tersebut mempunyai rantai samping
yang berbeda pula. Rantai-rantai tersebut sangat berbeda dalam ukuran, bentuk, dan
perintah. Perintah tersebut dapat positif, negatif atau netral, bervariasi untuk asam
amino yang berbeda dan juga akan bervariasi dengan pH untuk setiap asam amino
(15).

E. ALAT DAN BAHAN

Alat

Satu set alat elektroforesis, Mikropipet dan tip, Gel Doc, Power Supply, Parafilm
Bahan

DNA Marker, Sampel Isolasi Jaringan, Sampel Isolasi Plasma, Ethidium Bromide (EtBr), Gel
Agarose,Loading Buffer (Loading dye),Buffer Tri-Asetat-EDTA (TAE), Akuades
F. CARA KERJA
Pembuatan Gel Agarose
1. Dibut TAE dengan kepekatan 1X dari buffer TAE 50X, dengan cara memipet
20 mL TAE 50X dilarutkan dalam 980 mL akuades
2. 1,5 gram bubuk agarose dilarutkan pada 150 ml Buffer TAE 1X.
3. Campuran tersebut dilarutkan dengan cara dipanaskan.
4. Setelah semua terlarut kemudian didiamkan pada suhu ruang.
5. Gel Comb dipasang pada tangki elektroforesis.

80
6. Larutan agarose dituangkan pada tangki elektroforesis dan didinginkan hingga
mengeras.
7. Setelah gel tersebut mengeras, sisir dapat diambil dan gel agarose siap untuk
digunakan.

Elektroforesis
1. Gel Agarose direndam dengan Buffer TAE.
2. Disiapkan kertas parafilm, ditambahkan dengan 2µl gel stain diatasnya.
3. Ditambahkan 2µl loading dye dicampur dan 5µl produk DNA pada parafilm
yang telah tersedia dengan bantuan mikropipet, lalu dicampurkan.
4. Campuran tersebut dituangkan ke sumur/well pada gel agarose
5. Sedangkan untuk 5µl DNA marker 100bp yang ditambahkan dengan 2 µl gel
stain dituangkan pada sumur/well pertama.
6. Tangki elektroforesis kemudian ditutup dan dihubungkan ke power supply.
7. Power Supply ( 250mA, 100V) dinyalakan selama 45 menit.
8. Hasil running diangkat menggunakan sarung tangan, kemudian
divisualisasikan pada UV transiluminator (UV Solo).

Pembacaan Pita DNA dengan UV Solo


1. Ditekan tombol power pada bagian kanan atas touch screen.

2. Dinyalakan UV solo dengan cahaya putih, buka pintu dan letakkan gel di atas
permukaan transiluminator. Tutup pintu kembali.

3. Diklik icon VisionWorks untuk membuka software.

4. Dinyalakan cahaya UV pada transilluminator pada bagian bawah kanan ON


(I). Digunakan nob untuk mengatur intensitas cahaya.

5. Pada software, tekan Start Preview untuk melihat gel. Untuk mengubah
posisi gel, dimatikan lampu UV dan tur posisi gel kembali.

6. Sambil melihat tampilan gel pada LCD, diatur kcerahan dengan memutar knob
F-Stop dan diatur focus lensa.

81
7. Penggunaan perbesaran optic maksimum yang bersamaan dengan bukaan
lensa besar (angka kecil) akan menghasilkan gambar yang tidak focus. Diatur
kembali cincin focus lensa untuk menjernihkan gambar.

8. Untuk memperbesar atau mengecilkan gambar, optic lensa dapat diputar


dengan cincin zoom pada lensa kamera.

9. Selain itu, dapat juga menggunakan software untuk memperbesar atau


mengecilkan gambar pada bagian gambar tertentu dengan tombol “+” dan “-“
pada sisi kanan gambar. Ditekan dan digeser sesuai ukuran yang diinginkan.

10. Gambar preview yang dibesar atau dikecilkan akan menjadi hasil gambar yang
diambil, disimpan, dan dicetak.

11. Ditekan Capture Mode untuk mengatur waktu ekspose UV saat melihat atau
mengambil gambar. Auto exposure dapat diatur dan memilih : Best Better
Good Minimum.

12. Ditekan tombol Histogram untuk pengaturan gambar (terang atau gelap) dan
dapat menekan tombol Reset untuk mengembalikannya seperti semula.
Diubah Auto Adjust ON akan mengatur histogram secara otomatis sehingga
mendapatkan hasil yang ideal.

13. Ditekan Action untuk mengambil langkah Start Preview, Start Capture, Do
Nothing.

14. Ditekan Start Capture untuk mengambil gambar.

15. Ditekan Done dan Save.

16. Gambar yang diambil akan tersimpan atau tercetak secara otomatis ataupun
dapat dilakukan manual dengan menekan tombol Save dan Print (otomatis
atau annual dapat diatur di setting). Gambar akan tersimpan dilokasi yang
telah diatur dalam setting.

17. Dimatikan lampu UV (transilluminator).

18. Dimatikan alat dengan menekan tombol Power pada bagian kanan atas touch
screen dan dikelurkan gel setelah UV Solo TS selesai digunakan.

82
BAB VIII

UJI PCR, RT PCR, DAN ELEKTROFORESISLatar Belakang


A. Latar Belakang

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis amplifikasi DNA
secara in vitro. Pada proses PCR diperlukan beberapa komponen utama, yaitu DNA cetakan,
Oligonukleotida primer, Deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP), Enzim DNA Polimerase, dan
Komponen pendukung lain adalah senyawa buffer. Teknik PCR dapat digunakan untuk
mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah juataan kali hanya dalam beberapa jam.

Elektroforesis adalah suatu cara analisis kimiawi yang didasarkan pada pergerakan
molekul-molekul protein bermuatan di dalam medan listrik (titik isoelektrik). Metode
elektroforesis banyak digunakan untuk memisahkan, mengidentifikasi dan memurnikan
fragmen DNA. Elektroforesis adalah migrasi ion-ion di bawah pengaruh medan listrik.
Senyawa-senyawa yang bermuatan listrik akan bergerak ke arah elektroda yang
mempunyai muatan yang berlawanan. DNA mempunyai muatan negatif dan mempunyai
rasiomuatan/massa yang konstan, sehingga kecepatan migrasi DNA selama elektroforesis

83
tergantung pada berat molekul DNA tersebut. Teknik elektroforesis merupakan teknik
sederhana dan cepat terbentuk.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang didapat sebagai berikut:
1. Bagaimana proses PCR pada sampel virus DNA dan proses RT-PCR RNA?
2. Bagaimanakah proses dan hasil elektroforesis pada sampel virus DNA dan RNA?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
- Untuk mengetahui proses PCR dan RT-PCR serta elektroforesis sampel virus DNA
dan RNA
2. Tujuan khusus
- Untuk dapat memahami dan melakukan proses PRC dan RT-PCR serta elektroforesis
sampel virus DNA dan RNA
- Untuk mengetahui hasil dari proses PCR dan RT-PCR serta elektroforesis sampel
virus DNA dan RNA.
D. Landasan Pustaka
PCR
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA
secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985.
Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi (memperbanyak) segmen DNA dalam
jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam dan untuk berbagai tujuan seperti kloning gen,
deteksi polimorfisme, mutagenesis, forensik dan deteksi alel spesifik.
Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: pra-denaturasi DNA templat, denaturasi
DNA templat, penempelan primer pada templat (annealing), pemanjangan primer (extension)
dan pemantapan (post extension). Tahap denaturasi sampai dengan tahap pemanjangan
primer merupakan tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi
jumlah DNA.
Untai ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal
dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada
primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA
digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers) dengan adanya dNTPs (dATP,
dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 –

84
40 siklus. Target DNA yang diinginkan (short ”target” product) akan meningkat secara
eksponensial setelah siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat
secara linier seperti tampak pada bagan di atas.
Komponen-komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA;
sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida
yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide
triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim polimerase DNA.
Kegunaan dari masing-masing komponen tersebut yaitu :
1. Templat DNA

Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk
pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa DNA
kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA templat
tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju. Penyiapan DNA templat untuk
proses PCR dapat dilakukan dengan menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara
melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode
standar yang ada. Pemilihan metode yang digunakan di dalam penyiapan DNA templat
tergantung dari tujuan eksperimen.

Pembuatan DNA templat dengan menggunakan metode lisis dapat digunakan


secara umum, dan metode ini merupakan cara yang cepat dan sederhana untuk
pendedahan DNA kromosom ataupun DNA plasmid. Prinsip metode lisis adalah
perusakan dinding sel tanpa harus merusak DNA yang diinginkan. Oleh karena itu
perusakan dinding sel umumnya dilakukan dengan cara memecahkan dinding sel
menggunakan buffer lisis. Komposisi buffer lisis yang digunakan tergantung dari jenis
sampel. Beberapa contoh buffer lisis yang biasa digunakan mempunyai komposisi
sebagai berikut: 5 mM Tris-Cl pH8,5; 0,1 mM EDTA pH 8,5; 0,5 % Tween-20 dan 100
ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis ini umumnya
digunakan untuk jenis sampel yang berasal dari biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut.
Contoh lain dari buffer lisis adalah buffer lisis K yang mempunyai komposisi sebagai
berikut: buffer PCR (50mM KCl, 10-20mM Tris-Cl dan 2,5mM MgCl2); 0,5 % Tween-20
dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis K ini
biasanya digunakan untuk melisis sampel yang berasal dari sel darah dan virus.

85
Selain dengan cara lisis, penyiapan DNA templat dapat dilakukan dengan cara
mengisolasi DNA kromosom ataupun DNA plasmid menurut metode standar yang
tergantung dari jenis sampel asal DNA tersebut diisolasi. Metode isolasi DNA kromosom
atau DNA plasmid memerlukan tahapan yang lebih kompleks dibandingkan dengan
penyiapan DNA dengan menggunakan metode lisis. Prinsip isolasi DNA kromosom atau
DNA plasmid adalah pemecahan dinding sel, yang diikuti dengan pemisahan DNA
kromosom / DNA plasmid dari komponen-komponen lain. Dengan demikian akan
diperoleh kualitas DNA yang lebih baik dan murni.

2. Primer

Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Di
dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan
diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang
diperlukan untuk proses eksistensi DNA.

Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah


diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau protein bisa
didapatkan dari database GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang
dituju belum diketahui maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis
homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan
kekerabatan yang terdekat. Dalam melakukan perancangan primer harus dipenuhi
kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Panjang primer

Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan


dipilih. Umumnya panjang primer berkisar antara 18 – 30 basa. Primer dengan
panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk
ukuran primer yang pendek kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer
di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan berkurangnya
spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada efektifitas dan
efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk panjang primer lebih dari 30 basa tidak akan
meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna dan ini akan menyebabkan lebih
mahal.

b. Komposisi primer
86
Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan
nukleotida yang sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan spesifisitas primer
yang dapat memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain. Kandungan (G+C))
(% jumlah G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C) DNA
target. Sebab primer dengan % (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu
berkompetisi untuk menempel secara efektif pada tempat yang dituju dengan
demikian akan menurunkan efisiensi proses PCR. Selain itu, urutan nukleotitda pada
ujung 3’ sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T lebih toleran terhadap mismatch
dari pada G atau C, dengan demikian akan dapat menurunkan spesifisitas primer.

c. Melting temperature (Tm)

Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA


terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer akan
berpengaruh sekali di dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan
dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat
dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) + 4(C+G)]. Sebaiknya Tm primer
berkisar antara 50 – 65oC.

d. Interaksi primer-primer

Interaksi primer-primer seperti self-homology dan cross-homology harus


dihindari. Demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang tidak
dikehendaki, ini semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi rendah dan di
samping itu konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang selama proses
karena terjadinya mispriming. Keadaan ini akan berpengaruh pada efisiensi proses
PCR.

3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates)

dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin


trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat), dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP
(deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block
DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus –
OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan untai
DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan.

87
4. Buffer PCR dan MgCl2

Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu
untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk
menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+, ion tersebut
berasal dari MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi
aktivitas DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer
dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam
proses PCR konsentrasi MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses.
Umumnya buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan. Tetapi
disarankan sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan
mudah dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang diperlukan.

5. Enzim Polimerase DNA

Enzim polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi


DNA. Pada proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA. Enzim
polimerase DNA yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari bakteri termofilik atau
hipertermofilik oleh karena itu enzim ini bersifat termostabil sampai temperatur 95oC.
Aktivitas polimerase DNA bergantung dari jenisnya dan dari mana bakteri tersebut
diisolasi. Sebagai contoh adalah enzim Pfu polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus
furiosus) mempunyai aktivitas spesifik 10x lebih kuat dibandingkan aktivitas spesifik
enzim Taq polimerase (diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis
polimerase DNA berkaitan erat dengan buffer PCR yang dipakai.

Dengan menggunakan teknik PCR, panjang fragmen DNA yang dapat


diamplifikasi mencapai 35 kilo basa. Amplifikasi fragmen DNA pendek (kurang dari tiga
kilo basa) relatif lebih mudah dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang
(lebih besar dari tiga kilo basa) memerlukan beberapa kondisi khusus, di antaranya adalah
diperlukan polimerase DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR dengan pH
dan kapasitas tinggi (High-salt buffer).

Keberhasilan amplifikasi dalam reaksi PCR ditentukan ada tidaknya primer


oligonukleotida yang menempel dan menyatu dengan DNA template. Primer akan menempel
pada DNA genom yang memiliki susunan basa nukleotida yang komplemen dengan susunan
basa pada primer. Di samping ditentukan ada tidaknya situs penempelan primer, keberhasilan
88
amplifikasi dipengaruhi pula oleh volume dan konsentrasi komponen dalam reaksi PCR,
antara lain enzim DNA polymerase, templat DNA, primer, dNTP, buffer, serta kondisi reaksi
PCR.
Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi proses PCR.
Secara umum optimasi proses PCR dapat dilakukan dengan cara memvariasikan kondisi yang
digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan erat dengan faktor-faktor
seperti jenis polimerase DNA; suhu; konsentrasi, dalam hal ini berkaitan dengan dNTPs,
MgCl2 dan DNA polimerase; buffer PCR dan waktu. Pada setiap melakukan PCR harus
dilakukan juga kontrol positif, ini diperlukan untuk memudahkan pemecahan masalah apabila
terjadi hal yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus dilakukan terhadap kontrol negatif
untuk menghindari kesalahan positif semu .
Metode PCR saat ini sudah cukup canggih, namun PCR masih dapat dimodifikasi
sehingga memberikan hasil yang lebih baik lagi. Macam-macam tipe dan modifikasi dari
PCR adalah Real-Time PCR, Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR),
Nested PCR, Multiplex-PCR, PCR-ELISA, Touchdown PCR, dan masih banyak jenis
modifikasi dari PCR ini, seperti : Allele-specific PCR, Assembly PCR, Assymetric PCR,
Dial-out PCR, Hot start PCR, dan lainnya .
a. Reverse Transcription - Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Reverse Transcription - Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah teknik yang
digunakan untuk mendeteksi ekspresi gen, amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan
analisis, maupun diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik. Teknik RT-PCR
merupakan teknik yang digunakan untuk mendeteksi virus yang memiliki genom RNA
seperti sebagian besar virus tumbuhan sehingga diperlukan modifikasi teknik PCR karena
molekul sasarannya adalah RNA. RT-PCR merupakan teknik PCR yang dapat
menggandakan RNA menjadi DNA. Teknik RT-PCR terdiri atas dua reaksi yaitu reaksi
transkripsi balik (reverse transcription) yang menggunakan genom RNA virus sebagai
cetakan dan menghasilkan cDNA primer (untai tunggal) serta reaksi penggandaan PCR.

Prinsip kerja dari RT-PCR ini adalah menggunakan sepasang primer, yang
berkomplemen dengan sequens yang jelas dari masing-masing dua untai cDNA. Primer
tersebut kemudian diperpanjang dengan bantuan enzim DNA polymerase dan akan
menghasilkan sebuah untai gandaan pada setiap siklusnya dan seterusnya mengikuti
amplifikasi logaritmik.

89
Teknik RT-PCR memerlukan enzim transcriptase balik (DNA polymerase) yang bisa
menggunakan molekul DNA (cDNA) sebagai cetakan untuk menyintesis molekul cDNA
yang komplementer dengan molekul RNA tersebut. Beberapa enzim yang bisa digunakan
antara lain mesophilic viral reverse transcriptase (RTase) yang dikode oleh virus avian
myoblastosis (AMV) maupun oleh virus moloney murine leukemia (M-MuLV), dan Tth
DNA polymerase. RTase yang dikode oleh AMV maupun M-MuLV bersifat sangat
prosesif dan mampu menyintesis cDNA sampai sepanjang 10 kb, sedangkan Tth DNA
polymerase mampu menyintesis cDNA sampai sepanjang 1-2 kb.

Berbeda dengan Tth DNA polymerase, enzim RTase AMV dan M-MuLV mempunyai
aktivitas RNAse H yang akan meyebabkan terjadinya degradasi RNA dalam hybrid RNA-
cDNA. Aktivitas semacam ini dapat merugikan jika berkompetisi dengan proses sintesis
DNA selama proses produksi untai pertama cDNA. Enzim RTase yang berasal dari M-MuLV
mempunyai akyivitas RNase H yang lebih rendah dibanding dengan yang berasal dari AMV.

Enzim M-MuLV mencapai aktivitas maksimum pada suhu 37o C, sedangkan


enzim AMV pada suhu 42oC dan Tth DNA polymerase mencapai aktivitas maksimum
pada suhu 60-70 oC. Penggunaan enzim M-M-MuLV kurang menguntungkan jika RNA
yang digunakan sebagai cetakan mempunyai struktur sekunder yang ekstensif. Di lain
pihak, penggunaan Tth DNA polymerase kurang menguntungkan jika ditinjau dari
kebutuhan enzim ini terhadap ion Mn karena ion Mn dapat mempengaruhi ketepatan
(fidelity) sintesis DNA. Meskipun demikian, enzim Tth DNA polymerase mempunyai
keunggulan karena dapat digunakan untuk reaksi transkripsi balik sekaligus proses PCR
dalam satu langkah reaksi.

Reaksi transkripsi balik dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa macam


primer menurut (13), yaitu:

1. Oligo (dT) sepanjang 12-18 nukleotida yang akan melekat pada ekor poli (A) pada
ujung 3‟ mRNA mamalia. Primer semacam ini pada umumnya akan menghasilkan
cDNA yang lengkap.
2. Heksanukleotida acak yang akan melekat pada cetakan mRNA yang komplementer
pada bagian manapun. Primer semacam ini akan menghasilkan cDNA yang tidak
lengkap (parsial).

90
3. Urutan nukleotida spesifikyang dapat digunakan secara selektif untuk menyalin
mRNA tertentu.

RT-PCR meliputi tiga tahap utama, yaitu :

1. Tahap pertama adalah reverse transcription (RT) atau transkripsi balik dimana RNA
ditranskrip balik menjadi cDNA menggunakan enzim reverse transcriptase dan
primer. Tahap ini sangat penting dalam kaitannya dengan performa PCR untuk
amplifikasi cDNA dengan bantuan DNA polymerase sebab DNA polymerase hanya
dapat bekerja pada templet yang berupa DNA. Tahapan RT (Reverse Transcripsion)
dapat dilakukan dalam tabung yang sama dengan PCR (one-step PCR) atau pada
tabung yang terpisah (two-step PCR) menggunakan suhu berkisar 40°C sampai 50°C,
tergantung pada karakteristik reverse transcriptase yang digunakan.
2. Tahap berikutnya adalah denaturasi dsDNA at 95°C, pada tahap ini dua untai DNA
akan terpisah dan primer dapat mengikat pada untai tersebut jika temperaturnya
diturunkan kemudian yang selanjutnya akan dimulai rantai reaksi baru. Kemudian
suhu diturunkan hingga mencapai suhu anealing yang bervariasi tergantung primer
yang digunakan, konsentrasi, probe dan konsentrasinya jika digunakan, dan juga
konsentrasi kation. Perhatian utama saat memilih temperatur anealing optimal adalah
melting temperature dari primer dan probe (jika digunakan). Temperatur annealing
dipilih untuk PCR tergantung langsung pada panjang dan komposisi dari primer
tersebut. Hal ini merupakan hasil dari perbedaan ikatan hidrokarbon antara A-T (2
ikatan) dan G-C (3 ikatan). Temperatur annealing biasanyaberkisar 5 derajat di bawah
Tm terendah dari pasangan primer yang digunakan.
3. Tahap akhir adalah Amplifikasi PCR yang merupakan proses dimana dilakukannya
perpanjangan DNA menggunakan Primer yang memerlukan Taq DNA polymerase
yang termostabil, biasanya pada suhu 72°C, yang merupakan suhu optimal untuk
aktivitas enzim polymerase. Lamanya masa inkubasi tiap temperatur, perubahan suhu
dan jumlah siklus dikontrol secara terprogram menggunakan programmable thermal
cycler. Analaisa produk PCR tergantung pada kebutuhann PCR. Jika menggunakan
PCR konvensional, maka produk PCR dapat dideteksi dengan agarose gel
electrophoresis dan ethidium bromide (atau dye nukleotida lainnya).

E. Alat Dan Bahan


1. Alat
91
Mikropipet dan tip, Lemari es, Mikrotube steril, Plat mikro, Alat PCR, Mesin
Elektroforesis
2. Bahan
1. Uji PCR
DNA template, Primer forward, Primer Reverse, (dnTP, Buffer, MgCl2, Enzim tag
polymerase, ddH2O ( aquabides) (PCR MIX)

2. Uji RT-PCR
dnTP , Buffer, MgCl2, Matrix Forward, Matrix Reverse, Enzim supercriptase III,
ddH2O ( aquabides),Template RNA
3. Uji elektroforesis
Gel agarosa 1 %, Marker, Staining gel , Loading dye, TAE 1X, Aquades ,
Sampel DNA, Camber
F. Cara Kerja
1. Uji PCR
a. Dipipet PCR mix sebanyak 4 µl dan dimasukkan kedalam PCR tube
b. Ditambahkan primer Forward sebanyak 0,6 µl
c. Ditambahkan primer reverse sebanyak 0,6 µl
d. Ditambahkan ddH2O ( aquabides) kedalam mikrotube sebanyak 12,8 µl
e. Selanjutnya ditambahkan DNA template sebanyak 2 µl
f. Setelah volume akhir telah sebanyak 20 µl kemudian digunakan untuk uji ke reaksi
PCR
g. Di dalam alat PCR di setting tahapan-tahapan reaksi sebagai berikut :
1. Tahap pre denaturasi disetting dengan suhu 94oC selama 7 menit
2. Tahap Denaturasi di setting dengan suhu 94oC selama 1 menit
3. Tahap anneling disetting dengan suhu 72oC selama 1,5 menit
4. Tahap post elongasi disetting dengan suhu 72oC selama 5 menit
5. Tahap Denaturasi hingga elongasi diulangi 35 X
h. Setelah itu ditunggu pengujian PCR hingga berakhir dan sampel disimpan di dalam
frezzer untuk dilanjutkan uji elektroforesis
2. Uji RT-PCR
a. Dipipet RT-PCR mix ( dnTP, Buffer, MgCl2) sebanyak 5 µl kedalam PCR tube
b. Kemudian ditambahkan matrix forward sebanyak 0,6 µl
92
c. Ditambahkan matrix reverse sebanyak 0,6 µl
d. Ditambahkan enzim supercriptase III sebanyak 0,25 µl
e. Ditambahkan ddH2O ( aquabides) sebanyak 2,25 µl
f. Ditambahkan RNA template sebanyak 1 µl
g. Apabila volume total sudah 10 µl dilanjutkan ke pengujian RT-PCR pada alat PCR
termocycle, adapun tahapan-tahapan uji RT-PCR yaitu :
1. Tahap predenaturasi menggunakan suhu 94oC selama 7 menit
2. Tahap denaturasi menggunakan suhu 94oC selama 1 menit
3. Tahap aneling menggunakan suhu 52oC selama 45 detik
4. Tahap elongasi menggunakan suhu 72oC selama 15 menit
5. Tahap post elongasi menggunakan suhu 72oC selama 5 menit
h. Optimasi suhu untuk pengujian RT-PCR yaitu 50oC selama 1 jam
i. Setelah sampel diuji RT-PCR, disimpan sampel ke dalam frezzer dengan suhu -22 oC
untuk dilanjutkan ke uji elektroforesis
3. Uji elektroforesis
1. Pembuatan media gel agarosa 1 %
a. Dilarutkan 1 gram agarosa dengan kepekatan TAE 1000 ml ( 980 ml aquades +
20 ml TAE)
b. Larutan kemudian dipanaskan hingga mendidih dan berwarna bening
c. Ditambahkan 3 µl etidium bromide
d. Dicetak larutan pada cetakan agar
e. Setelah mengeras gel agarosa diletakkan di dalam mesin elektroforesis yang telah
mengandung TAE 1X
2. Dicampur terlebih dahulu 5 µl sampel DNA + 2 µl staining gel + 2 µl Loading dye
3. Pada lubang pertama pada gel agarosa dimasukkan 100 bp DNA ladder sebagai
marker
4. Pada lubang selanjutnya dimasukkan DNA hasil implikasi yang telag dicampur
dengan staining gel dan loading dye
5. Diberi tegangan 100 V selama 30 menit pada mesin eletroforesis
6. Hasil visualisasi DNA dibaca pada UV transluminator
7. Hasil positif ditandai dengan adanya pita yang sejajar dengan pita control positif
8. Panjang DNA yang teramplifikasi dapat diketahui dengan membandingkan antara pita
yang timbul dan marker berupa 100 bp DNA ladder
93
9. Hasil elektroforesis kemudian didokumentasikan menggunakan kamera digital

DAFTAR PUSTAKA

1. Fatichah. Pemodelan epidemik menggunakan cellular automata. 2013. 1-8 p.


2. Irfan. Isolasi dan identifikasi virus Avian Influenza sub tipe H5 dari swab kloaka itik
yang diperdagangkan di pasar. 2016;
3. Winaya. Aspek patologis infeksi Parvovirus pada anak anjing di Kota Denpasar. 2013;
4. Pertiwi. Optimasi amplifikasi DNA menggunakan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) pada ikna karang anggota famili Pseudochromidae (Dottyback)untuk
identifikasi spesies secara molekular. 2015;
5. Novitasari E. Teknik Isolasi Dan Elektroforesis DNA Total Pada Kryptopterus apogon
(Bleeker 1851) Dari Sungai Kampar Kiri Dan Tapung Hilir Kabupaten Kampar
Provinsi Riau. 2014;
6. Murtiyaningsih H. Isolasi dna genom dan identifikasi kekerabatan genetik nanas
menggunakan RAPD (Random Amplified Polimorfic DNA). Agritop. 2017;15(1):83–
93.
7. Amanda UD, Cartealy IC. Isolasi RNA total dari mesokarp buah kelapa sawit (Elaeis
guineenssis Jacq. var. Tenera). 2015;1(April):171–6.
8. Aristyani S, Setyowati E, Ningtiyas EW, Karin P, Fauzi A, Listyorini D. Komparasi
pretreatment sampel jaringan hewan dengan perendaman berbagai jenis larutan
terhadap kuantitas konsentrasi isolat rna. 2016;(October).
9. Aqzayunarsih., Andriani, I., Rosana, A., Onny NR. OPTIMASI PCR :
KONSENTRASI PRIMER DAN VOLUME TEMPLAT DNA PADA AMPLIFIKASI
mtDNA IKAN MEDAKA Oryzias spp. DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
MAROS Aqzayunarsih. 2015;1–2.
10. Hutapea H, Retnoningrum D, Rachman EG. Teknik Long Polymerase Chain Reaction
( LPCR ) Untuk Perbanyakan Kerangka Teknik Long Polymerase Chain Reaction (
LPCR ) untuk Perbanyakan Kerangka Baca Terbuka Gen Pengkode Polimerase Virus
Hepatitis B Long Polymerase Chain Reaction Technique to Amplify . 2016;
11. Handoyo, D., Rudiretna A. PRINSIP UMUM DAN PELAKSANAAN
POLYMERASE CHAIN REACTION ( PCR ) [General Principles and
Implementation of Polymerase Chain Reaction]. 2014;9(1):17–29.
94
12. Laurencius S. MACAM-MACAM TIPE PCR Program Studi Magister Pendidikan
Biologi Angkatan 2013 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta,
Univ Negeri. 2013;
13. Dharmayanti D. Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain
Reaction dalam Mengidentifikasi Genom Avian Influenza dan Newcastle Diseases.
2014;24(1):16–29.
14. F SC. REVERSE TRANSCRIPTION AND POLYMERASE CHAIN REACTION :
PRINCIPLES AND APPLICATIONS IN DENTISTRY. 2014;12(1):1–11.
15. Joshi M, Deshpande JD. Polymerase Chain Reaction : Methods , Principles and
Application. Int J Biomed Res. 2016;1(5):81–97.
16. Ayu D, Nlpi D. Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain
Reaction dalam Mengidentifikasi Genom Avian Influenza dan Newcastle Diseases.
Wartazoa. 2014;24(1):16–29.
17. Handoyo D, Rudiretna A. Prinsip Umum Dan Pelaksanaan Polymerase Chain Reaction
(PCR). Unitas. 2014;9(1):17–29.
18. Yusuf ZK. Polymerase Chain Reaction (PCR). J Saintek. 2015;5(6):1–6.
19. Santos CF dos et al. Reverse Transcription and Polymerase Chain Reaction: Principles
and Applications in Dentistry. J Appl Oral Sci. 2014;12(1):1–11.
20. Masri M. DETEKSI VIRUS INFLUENZA TIPE A SUBTIPE H5N1 DARI APUSAN
TENGGOROKAN PENDERITA INFLUENZA LIKE ILLNESS (ILI) DI
MAKASSAR DENGAN TEKNIK REAL TIME RT-PCR. Tesis Univ Hasanuddin
Makasar. 2014;
21. Hasibuan E. Peranan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) Terhadap
Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Univ Sumatera Utara. 2015;1–17.
22. Hutahaean S. Penuntun praktikum BIOTEKNOLOGI. 2014;
23. EDVOTEK inc. Principles and Practice of Agarose Gel Electrophoresis. The
Biotechnology Education Company. 2003;
24. Atmar RL, Baxter BD, Dominguez EA, Taber LH. Comparison of Reverse
Transcription-PCR with Tissue Culture and Other Rapid Diagnostic Assays for
Detection of Type A Influenza Virus. J Clin Microbiol. 2014;34(10):2604–6.
25. Affymetrix. RT-PCR Master Mix ( 2X ). affymetrix inc. 2016;
26. Zahrial HT, Widayanti R. PENENTUAN SUBTIPE VIRUS AVIAN INFLUENZA
DENGAN METODE SINGLE STEP MULTIPLEX REVERSE TRANSCRIPTASE-
95
POLYMERASE CHAIN REACTION ( RT-PCR ) ISOLAT ASAL PROVINSI ACEH
Typing and Su .... PENENTUAN SUBTIPE VIRUS AVIAN INFLUENZA DENGAN
METODE SINGLE STEP MULTIPLEX. J Kedokt Hewan. 2014;8(1).
27. Susianti, Yuni S. Pratiwi, Hanna Goenawan MKS, Aziiz M. Rosdianto, Akbar Haqi
RL. Optimasi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Konvensional untuk Deteksi Level Ekspresi mRNA pada Otot Gastrocnemius Tikus
(Rattus norvegicus). Univ Padjadjaran. 2015;
28. WHO. WHO information for molecular diagnosis of influenza virus in humans -
update. 2011;1–38.

96

Anda mungkin juga menyukai