Anda di halaman 1dari 16

DRS. REFAI, M.

KES

 TENTANGKU

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG

Tag Archives: Laporan praktikum virologi NDV


INOKULASI VIRUS PADA TELUR
AYAM BEREMBRIO

INOKULASI VIRUS PADA TELUR AYAM BEREMBRIO

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI


TLM 2017

KEMENTRIAN KESEHATA REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN ANALIS AKAESEHATAN PALEMBANG
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ternak ayam merupakan komoditas peternakan yang paling banyak dipelihara oleh para
peternak di pedesaan. Produk komoditas peternakan ini adalah sumber protein hewani yang
dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat secara luas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan,
permintaan akan produk peternakan (telur, daging, dan susu) terus meningkat. Ternak unggas
terutama ayam senantiasa mendapat ancaman yang serius dari berbagai macam penyakit. Di
antara penyakit-penyakit ayam, penyakit Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit yang
sangat penting di Indonesia, karena telah menyebar di seluruh Indonesia dan menimbulkan
kerugian besar. Penyakit ini menimbulkan kerugian yang sangat besar karena memiliki
tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Taufiqurahman etal., 2010).
Newcastle Disease atau disebut juga penyakit Tetelo, Pseudofowl pest, Pseudovogel
pest, avian distemper, avian pneumoenchephalitis, pseudopoultry plague dan ranikhet
disease. Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit viral yang sangat menular pada
unggas, bersifat sistemik yang melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis
unggas terutama ayam serta burung-burung liar dengan angka mortalitas yang tinggi 80-
100%.Newcastle disease adalah penyakit yang tersifat kompleks sehingga isolat strain virus
berbeda dapat menimbulkan variasi yang besar dalam derivat keparahan dari penyakit,
termasuk pada spesies unggas yang sama. Patogenesis Ayam yang terinfeksi mempunyai
peranan penting dalam penyebaran penyakit dan sebagai sumber infeksi. Mulanya virus
bereplikasi pada epitel mukosa dari saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan;
segera setelah infeksi virus menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum tulang yang
menyebabkan viremia skunder, ini menyebabkan infeksi pada organ seperti paru-paru, usus,
dan system syaraf pusat. Kesulitan bernafas dan sesak nafas timbul akibat penyumbatan pada
paru-paru dan kerusakan pada pusat pernafasan di otak (Alexander, 1991).
Sifat-sifat fisik virus ND antara lain virus ND mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi
dan melisikan eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus ND juga mampu mengaglutinasi
eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia. Virus ND bila dipanaskan pada suhu 56 0C
akan kehilangankemampuan untik mengaglutinasi eritrosit ayam, karena hemaglutininnya
rusak.Selain itu juga akan merusak infektivitas dan imunogenesitas virus (Beard dan Hanson,
1984).
B. Tujuan
Tujuan praktikum inokulasi virus pada telur ayam berembrio adalah untuk mengetahui
bagaimana cara menginokulasikan virus pada telur ayam berembrio dan mengetahui ciri-ciri
embrio ayam yang terinfeksi virus Newcastle Disease (ND).

II. MATERI DAN METODE

A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cawan petri, spuit injeksi 1 cc, jarum
pentul, senter, alat peneropong.
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu telur ayam berembrio umur 9-12
hari, alkohol 70 %, suspensi virus Newcastle Disease 0,1 cc dan 0,3 cc, lilin, dan korek api.

B. Metode
1. Disediakan telur ayam berembrio umur 9-12 hari.
2. Dilakukan peneropongan pada telur yang akan digunakan.
3. Ditentukan batas kantung udara dan letak dari embrio, lalu diberi tanda.
4. Dioleskan alkohol 70% pada cangkang batas kantung telur yang ditandai.
5. Diinokulasikan virus kedalam ruang alantois (melewati batas kantung udara) dengan
cara melubangi cangkang terlebih dahulu menggunakan jarum pentul.
6. Dimasukkan jarum injeksi ¾ inci dengan sudut 450 dan dinjeksikan 0,1 dan 0,3 cc
virus yang akan diinokulasikan.
7. Lubang ditutup kembali dengan menggunakan lilin.
8. Diinkubasi pada suhu 38-39 0c selama 4 hari.
9. Pada hari keempat embrio diamati dan dibandingkan dengan telur yang tidak
diinokulasikan virus.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Tabel 1. Hasil Pengamatan Inokulasi Virus Pada Telur Ayam BerembrioRombongan II

No Kelompok Titer virus Perubahan warna Lesi pada Lesi pada


0,1/0,3 (cc) hijau pada kaki embrio otot dan
buku
1 1 0,3 cc + +++ +++
2 2
3 3 0,1 cc ++ _ _
44550,3 cc___66

Keterangan :
(-) : tidak ada
(+) : ada sedikit
(++) : sedang
(+++) : banyak

B. Pembahasan
Newcastle disease virus (NDV) menyebabkan penyakit parah pada hampir semua burung dan
menyebabkan kerugian secara ekonomi. Newcastle disease virus (NDV) adalah anggota dari
genus Avulavirus dalam subfamili Paramyxovirinae dari famili Paramyxoviridae. NDV
memiliki RNA beruntai tunggal dengan tiga ukuran 15.186, 15.192, dan 15. 198 nukleotida
(nt) (Zhang et al., 2014). Klasifikasi dari Newcastle diseasevirus dalam Adi et al. (2008)
adalah sebagai berikut:
Group : Group V ( (-) ssRNA)
Order : Mononegavirales
Family : Paramyxoviridae
Genus : Avulavirus
Species: Newcastle disease virus
Newcastledisease (ND) juga di kenal dengan sampar ayam atau
tetelo.Newcastle disease (ND)biasanya berbentuk bola, meski tidak selalu (pleomorf) dengan
diameter 100 -300 nm. Genome virus ND ini adalah suatu rantai tunggal RNA. Virus ini
menyerang alat pernapasan, susunan jaringan syaraf, serta alat-alat reproduksi telur dan
menyebar dengan cepat serta menular pada banyak spesies unggas yang bersifat akut,
epidemik (mewabah) dan sangat patogen. Virus ND dibagi dua tipe yakni tipe Amerika dan
tipe Asia. Pembagian ini berdasarkan keganasannya dimana tipe Asia lebih ganas dan
biasanya terjadi pada musim hujan atau musin peralihan, dimana saat tersebut stamina ayam
menurun sehingga penyakit mudah masuk (Adiet al., 2008).
Penyakit tetelo disebabkan oleh virus yang berukuran 100-250 nm, yang tersusun dari
Ribonucleic Acid (RNA), protein dan lemak. Virus ini termasuk dalam Famili
Paramyxoviridae dengan genera Genus Pneumovirus atau Genus Paramyxovirus (PMV).
Genus Paramyxovirus mempunyai 9 serogroup, yaitu Paramyxovirus-1 sampai
Paramyxovirus-9. Serogroup yang paling penting dan paling patogen pada ayam adalah
Paramyxovirus-1 (dengan prototype Newcastle Disease Virus), Paramyxovirus-2 dan
Paramyxovirus-3. Serogroup lainnya yaitu Paramyxovirus-4, Paramyxovirus-5,
Paramyxovirus-5, Paramyxovirus-6, Paramyxovirus-7, Paramyxovirus-8 dan Paramyxovirus-
9 pada umumnya menyerang itik, angsa, merpati, betet, dan beberapa jenis burung Iainnya
(Saepulloh dan Darminto, 2005). Penyebaran penyakit penyakit tetelo melalui kontak
langsung dengan ayam yang sakit, kotoran, ransum, air minum, kandang, tempat ransum atau
minum, peralatan lainnya yang tercemar oleh kuman penyakit, melalui pengunjung, serangga,
burung liar dan udara. Penyebaran melalui udara dapat mencapai radius 5 km. Virus penyakit
tetelo dapat diisolasi dengan titer tinggi selama masa inkubasi sampai masa kesembuhan.
Virus penyakit tetelo terdapat pada udara yang keluar dari pernafasan ayam, kotoran, telur-
telur yang diproduksi selama gejala klinis dan dalam karkas selama infeksi akut sampai
kematian (Syukron et al., 2013).
Gejala Klinis Penyakit Newcastle Disease beragam dalam hal keganasan klinis dan
kemampuan menyebarnya. Sejumlah wabah khususnya pada ayam dewasa, gejala klinis
mungkin ringan. Gejala ringan ini tidak diikuti gangguan syaraf. Virus yang menyebabkan
bentuk penyakit ini disebut lentogenik. Wabah lain, penyakit ini dapat mempunyai angka
mortalitas sampai 25%, seringkali lebih tinggi pada unggas muda; virus yang demikian ini
disebut mesogenik. Tipe mesogenik menimbulkan gangguan pernapasan antara lain sesak
nafas, megap-megap, batuk dan bersin serta penurunan produksi telur dan penurunan daya
tetas. Wabah lainnya lagi terdapat angka kematian yang sangat tinggi kadang-kadang
mencapai 100% yang disebabkan oleh virus velogenik. Infeksi velogenik menyebabkan ayam
kehilangan nafsu makan, diare kehijauan, lesu, sesak nafas, megap-megap ngorok dan bersin.
Ayam juga bias mengalami kelumpuhan pada sebagian atau total. Kemampuan menyibak
virus F merupakanan faktor utama yang mempengaruhi virulensi.hemoragi pada Intestinum
Gejala klinis ND dibedakan menjadi 5 patotipe :
1. Bentuk Doyle merupakan bentuk per akut atau akut, menimbulkan kematian pada
ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Lesi menciri dengan adanya perdarahan
pada saluran pencernaan. Bentuk ini disebabkan oleh virus strain velogenik. Penyakit
ini terjadi secara tiba-tiba, ayam mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam
kelihatan lesu, respirasi meningkat, jaringan sekitar mata bengkak, diare dengan feses
hijau atau putih dapat bercampur darah, tortikalis, tremor otot, paralisa kaki dan
sayap.
2. Bentuk Beach atau velogenic neitropic Newcastle disease (VVND) bersifat akut,
menimbulkan gejala pernafasan dan syaraf, dan menimbulkan kematian ayam segala
umur dengan angka mortalitas 50 % pada ayam dewasa dan 90 % pada ayam muda.
3. Bentuk Baudette, kurang ganas dibandingkan bentuk Beach menyebabkan kematian
pada ayam muda, bentuk ini disebabkan oleh virus galur mesogenik. Pada ayam
dewasa ditandai dengan penurunan produksi telur biasanya terjadi 1-3 minggu.
4. Bentuk Hitchner disebabkan oleh virus ND galur lentogenik, gejala klinisnya bersifat
ringan atau tidak tampak jelas, tidak menimbulkan kematian pada ayam dewasa dan
biasanya dipakai sebagai vaksin.
5. Bentuk enteric asimptomatic merupakan bentuk yang tidak menunjukkan gejala klinis
dan gambaran patologis, tetapi ditandai dengan infeksi usus oleh virus-virus galur
lentogenik yang tidak menyebabkan penyakit (Alexander, 1991).
Keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa
kondisi yaitu rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah
inokulasi, volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari
kelompok dimana telur ayam berada. Sejalan dengan banyaknya sistem untuk isolai virus,
dibutuhkan cara untuk mendeteksi infeksi virus. Bukti tidak langsung dari infeksi virus pada
embrio ayam dapat diketahui dari satu atau lebih kejadian berikut yaitu kematian embrio,
pembentukan lesi pada CAM seperti edema atau perkembang plak, lesi pada embrio seperti
kekerdilan, hemoragi cutaneus, perkembangan otot dan buku yang abnormal, abnormalitas
pada organ visceral termasuk pembesaran hepar dan lien, perubahan warna kehijauan pada
kaki, nekrotik pada hepar (Purchase, 1989).
Macam-macam cara menginokulasikan virus ke embrio ayam yaitu :
1. In Ovo
Metode ini merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio. Metode ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
1. Inokulasi pada ruang chorioalantois
Biasanya digunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari. Jarum dimasukkan ¾ inci dengan
sudut 45º dan diinjeksikan 0,1-0,2 ml virus yang akan diinokulasikan. Setelah 40-48 jam
cairan telur yang sudah diinkubasi dapat diuji untuk hemaglutinasi dengan membuat lubang
kecil pada kerabang di pinggir dari rongga udara. Dengan alat semprot yang steril dan
jarumnya, diambil 0,1-0,2 ml cairannya. Campur 0,5 cairan telur dengan perbandingan yang
sama dari 10% suspensi dari sel darah yang di cuci bersih dalam plate. Putar plate dan lihat
aglutinasi setelah 1 menit. Cairan alantois yang terinfeksi dipanen setelah 1-4 hari inokulasi.
Untuk mencegah darah dalam cairan, embrio disimpan semalam dalam suhu 4ºC kemudian
injeksi kerabang dekat rongga udara dan buka kerabang tersebut dengan pinset steril.
Membran ditekan ke atas yolk sac dan cairan diambil dengan spuit dan dimasukkan ke dalam
cawan petri. Kultur cairan tersebut untuk menghindari cairan terkontaminasi bakteri. Contoh
virus yang diinokulasikan pada ruang chorioalantois ini antara lain, virus ND dan virus
influenza.
1. Inokulasi pada membran chorioalantois
Inokulasi pada embrio umur 10-11 hari adalah yang paling cocok. Telur diletakkan horizontal
di atas tempat telur. Desinfektan kerabang disekitar ruang udara dan daerah lain di atas
embrio telur. Buat lubang pada daerah tersebut dan diperdalam lagi hingga mencari membran
kerabang. Virus diinokulasikan pada membran korioalantois dan lubang ditutup dengan lilin
dan diinkubasi. Setelah 3-6 hari korioalantois membran yang terinfeksi dapat di panen
dengan mengeluarkan yolk sac dan embrio secara hati-hati tanpa membuat membran lepas
dari kerabang. Area inokulasi dapat di lihat dengan adanya lesi pada CAM sebelum dilepas
dari kerabang.
1. Inokulasi pada yolk sac
Inokulasi dilakukan pada embrio umur 5-7 hari. Post inokulasi diinkubasi selama 3-10 hari.
Virus diinokulasikan pada bagian yolk sack dan dijaga jangan sampai terkontaminasi bakteri.
Virus yang biasa diinokulasikan di bagian ini adalah virus rabies.
2. In Vitro
Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada kultur jaringan.
Kultur jaringan virus dimulai dengan kultivasi embrio anak ayam cincang didalam serum atau
larutan-larutan garam. Bila sel-sel hewan dikulturkan di wadah-wadah plastik atau kaca,
maka sel-sel tersebut akan melekatkan dirinya pada permukan wadah itu dan terus-menerus
membelah diri sampai seluruh daerah permukaan yang tertutupi medium terisi, maka
terbentuklah suatu lapisan tunggal sel dan dipergunakan untuk mengembangkan virus. Sel-sel
jaringan yang berbeda-beda lebih efektif untuk kultivasi beberapa virus ketimbang yang lain.
Pendekatan ini telah memungkinkan kultivasi banyak virus sebagai biakan murni dalam
jumlah besar untuk penelitian dan untuk produksi vaksin secara komersial. Juga luas
penggunaannya untuk isolasi dan perbanyakan virus dari bahan klinis. Vaksin yang disiapkan
dari kultur jaringan mempunyai keuntungan dibandingkan dengan yang disiapkan dari telur
ayam berembrio dalam hal mengurangi kemungkinan seorang pasien untuk mengembangkan
hipersensitivitas atau alergi terhadap albumin telur.
3. In Vivo
Virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Metode ini merupakan metode
yang pertama kali dalam menanam virus. Metode ini dapat digunakan untuk membedakan
virus yang dapat menimbulkan lesi yang hampir mirip misalnya FMDP atau Vesikular
Stomatitis pada sapi. Hewan laboratorium yang digunakan antara lain mencit, tikus putih,
kelinci ataupun marmut (Merchant and Packer, 1956).
Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah digunakan secara luas untuk
isolasi. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang
dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Membran kulit telur yang fibrinous
terdapat di bawah kerabang. Membran membatasi seluruh permukaan dalam telur dan
membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan
cangkang telur membantu mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara
terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan
pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi
embrio (Purchase, 1989).
Berdasarkan hasil praktikum, embrio ayam kelompok 1 dan 2 yang diinjeksi dengan titer
virus ND 0,3 cc mengalami sedikit perubahan warna hijau pada kaki, lesi pada embrio, dan
lesi pada otot dan buku. Embrio ayam kelompok 2 da 3 yang diinjeksi dengan titer virus ND
0,1 cc mengalami perubahan warna hijau pada kaki, tapi tidak mengalami lesi pada embrio
dan lesi pada otot dan bukunya. Sedangkan embrio ayam kelompok 5 dan 6 yang diinjeksi
dengan titer virus ND 0,3 cc tidak terlihat adanya gejala penyakit ND pada embrio tersebut.
Perbedaan gejala penyakit ND pada embrio ayam ini kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan titer virus yang diberikan pada embrio ayam atau disebabkan oleh beberapa faktor
seperti sistem kekebalan imun, selain itu umur embrio yang digunakan juga tidak sama
sehingga hasil yang didapatkan kelompok 1, 2 dan kelompok 5,6 berbeda, meskipun titer
virus yang digunakan sama yaitu 0,3 cc. Hal ini sesuai dengan pernyataan Adi et al. (2008),
keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi
yaitu rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi,
volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana
telur ayam berada. Fenner (1995) menambahkan bahwa produksi antibodi berlangsung
dengan cepat setelah terinfeksi NDV. Antibodi penghambat hemaglutinasi dapat diamati
dalam waktu 4-6 hari setelah infeksi. Antibodi yangberasal dari induk dapat melindungi anak
ayam sampai 3-4 minggu setelah menetas. Antibodi 0 IgA yang dihasilkan secara lokal
berperan penting dalam melindungi saluran pernafasan dan saluran pencernaan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Metode Inokulasi virus dapat dilakukan secara in ovo, in vivo, dan in vitro.
2. Inokulasi secara in ovo dapat dilakukan melalui inokulasi pada ruang chorioalantois,
membran chorioalantois, dan yolk sac.
3. Embrio yang terserang Newcastle Dissease Virus ditandai dengan pembentukan lesi
pada CAM seperti timbul plak, lesi pada embrio seperti kekerdilan, perubahan warna
kaki yang menjadi kehijauan, dan perkembangan otot serta buku yang abnormal.

B. Saran
Sebaiknya umur pada embrio yang digunakan sama sehingga dapat mengurangi perbedaan
pada embrio yang diinjeksikan dengan titer virus yang sama.

DAFTAR REFERENSI
Bagi temen-temen yang membutuhkan dafren lengkap, silahkan komen atau tulis email di
chatbox. Terimakasih

PENGAMATAN VIRUS PADA BAKTERIDENGAN METODE PLAQUE

Oleh :
Nama :
NIM :
Kelompok :
PLP :

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTRIAN KESEHATA REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN ANALIS AKAESEHATAN PALEMBANG
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian mengenai virus di pelopori oleh Adolf Meyer, seorang ilmuwan Jerman
pada tahun 1883. Virus adalah satu set dari satu atau lebih molekul genom berupa asam
nukleat (RNA atau DNA), yang dibungkus oleh selubung berupa protein dan hanya dapat
memperbanyak diri dalam sel inang. Virus didefinisikan organisme aseluler yang mempunyai
genom yang hanya bereplikasi dalam sel inang dengan menggunakan perangkat metabolisme
sel inang untuk membentuk seluruh komponen virus (Pelczar and Chan, 2008).
Pemahaman tentang virus dan perkembangbiakan virus perlu digunakan metode untuk
menghitung kualitas atau jumlah partikel virus.Partikel virus dihitung dengan menghitung
efek dari virus terhadap inang yang diinfeksinya.Istilah unit infeksi virus merupakan unit
terkecil yang menimbulkan efek yang dapat dideteksi pada saat virus tersebut ditempatkan
pada inang yang sesuai, dengan menentukan jumlah unit infeksi per volume cairan, maka
dapat dihitung jumlah partikel virusnya (Brock and Madigan, 1991).
Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui unit infeksi virus di antaranya
adalah plaque assay. Saat partikel virus memulai infeksinya pada lapisan sel inang yang
tumbuh menyebar di permukaan medium, zona lisis atau zona hambat akan muncul sehingga
akan terlihat wilayah yang terang pada lapisan sel inang. Wilayah terang ini dinamakan
sebagai plaque yang diasumsikan bahwa setiap plaque berasal dari satu partikel virus.Plaque
merupakan jendela pada lapisan sel inang yang hidup menyebar pada permukaan media
agar.Plaque dapat dilihat apabila partikel virus (bakteriofage) dicampur dengan lapisan tipis
inang bakteri yang ditumbuhkan pada media agar (Sihombing, 2002).

B. Tujuan

Tujuan praktikum Pengamatan Virus pada Bakteri dengan Metode Plaque adalah
untuk mengetahui ada tidaknya virus pada sampel yang melisiskan sel bakteri, yang terlihat
dari zona jernih atau adanya plaque yang terbentuk di dalam media NA yang telah
diinokulasi sampel dan bakteri E. coli.

I. MATERI DAN METODE

A. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pembakar spirtus, korek api,
wrapping, pipet ukur, botol steril, alumunium foil, inkubator,alkohol, sprayer, mikropipet,
tip, tabung reaksi, microcentrifuge tube, membran filter milipore 0,45 µm, erlenmeyer, dan
cawan petri.
Bahan yang digunakan adalah media Luria Bertani (LB), cutton bud steril, inokulum
E. coli, air sampel, Phosphate Buffer Saline (PBS),

B. Metode

Metode Pengkayaan Bakteriofag


1. Sampel air closet diambil dengan botol steril.
2. 7,5 ml media LB, 7,5 ml inokulum E. coli, dan 10 ml sampel air dari setiap kelompok
dimasukkan ke dalam erlenmeyer sehingga dihasilkan sampel air baru.
3. Sampel air diinkubasi 1x24 jam pada suhu 37oC dengan inkubator.
Metode Isolasi Bakteriofag
1. 75 ml sampel air dalam erlenmeyer disiapkan.
2. 1,5 ml sampel air dimasukkan ke dalam microcentrifuge tube (hingga 10 buah
microcentrifuge tube), kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 5
menit.
3. Hasil supernatan dikumpulkan dan disaring dengan membran filter milipore 0,45 µm
sehingga dihasilkan filtrat.
4. Filtrat diencerkan hingga pengenceran 10-6 dengan Phosphate Buffer Saline (tiap
pengenceran 0,9 ml).
5. Sebanyak 0,1 ml hasil pengenceran 10-5 dan 10-6 diambil dan masing – masing dimasukkan
dalam microcentrifuge tube baru, kemudian masing – masing pengenceran ditambahkan
0,5 ml E. colidan selanjutnya diinkubasi 10 menit pada suhu 37oC.
6. Masing – masing tabung diplatting secara pour plate dengan media Luria Bertani (LB).
7. Hasil platting diinkubasi selama 2x24 jam pada suhu 37oC.
8. Hasil yang didapatkan kemudian diamati plaque yang terbentuk di dalam media LB.
9. Jumlah plaque dihitung dan dimasukkan ke dalam rumus
𝜖𝑃𝑙𝑎𝑞𝑢𝑒
Plaque/ml = PFU’s/ml
𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
II. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Hasil PengamatanDeteksi Virus dengan Metode Plaque


Kel Plaque 10-5 PFU’s/ml Plaque 10-6 PFU’s/ml
1 6,67 x 106 1,67 x 107
2 3,16 x 106 2,16 x 107
3 2,8 x 108 3,4 x 106
4 6,67 x 105 6,67 x 106
5 2,3 x 106 8,3 x 106
6 - -

Gambar 1. Hasil plaque Gambar 2. Hasil plaque


pengenceran 10-6 pengenceran 10-5

B. Pembahasan

Plaque merupakan campuran partikel virus dengan lapisan tipis inang bakteri yang
ditumbuhkan dalam media agar.Metode plaque diperkenalkan pada tahun 1952 oleh
Rennato Dulbecco.Plaque merupakan uji virologis yang diperkenalkan untuk menghitung
dan mengukur infektivitas becteriophages.Uji plaque digunakan untuk melihat dan
mencatat kematian sel dalam kultur sel yang terinfeksi. Virus yang menginfeksi bakteri
(bakteriofage) adalah agen kematian substansial bakteri, sehingga mempengaruhi proses
biogeokimia global dan fluks energi. Bakteriofag mempunyai asam nukleat double-stranded
DNA.Bakteriofag memiliki kapsid yang berbentuk polyhedral dan diselubungi oleh protein.
Bakteriofag memiliki ekor seperti benang,tersusun atas protein, yang dapat mengenali
reseptor pada sel inang pada saat tahap pelekatan (Haq et al., 2012). Bakteriofag
mempunyai tingkat kelimpahan yang tinggi di alam.Bakteriofag dapat menginfeksi
sebanyak 1023/detik. Bakteriofag dianggap sebagai senjata biologis terhadap bakteri
patogen. Sifat antibakteri bakteriofag digunakan dalam terapi fag againstbakteri resisten
antibiotik pada manusia dan hewan. Selain itu, bakteriofag digunakan dalam vaksinasi
(Golec et al., 2014).
Perkembangbiakan virus atau dalam siklus hidupnya virus memerlukan lingkungan
sel yang hidup.Oleh karena itu, virus menginfeksi sel bakteri, sel hewan, atau sel tumbuhan
untuk bereproduksi. Menurut Campbell (2004) ada dua macam virus menginfeksi bakteri,
yaitu :
a. Infeksi secara litik
Infeksi secara litik melalui fase-fase sebagai berikut ini:
1. Fase adsorpsi dan infeksi
Faga akan melekat atau menginfeksi bagian tertentu dari dinding sel hospes,
daerah itu disebut daerah reseptor. Daerah ini khas bagi faga tertentu dan faga jenis
lain tidak dapat melekat di tempat tersebut. Virus tidak memiliki enzim untuk
metabolisme, tetapi memliki enzim lisozim yang berfungsi merusak atau melubangi
dinding sel hospes.Sesudah dinding sel hospes terhidrolisis oleh lisozim, maka
seluruh isi faga masuk ke dalam hospes.Faga kemudian merusak dan mengendalikan DNA
hospes.

2. Fase replikasi (fase sintesa)


DNA faga mengadakan replikasi (menyusun DNA) menggunakan DNA hospes
sebagai bahan, serta membentuk selubung protein, maka terbentuklah molekul
DNA baru virus yang lengkap dengan selubungnya.
3. Fase pembebasan virus (faga-faga baru)/ fase lisis.
Sesudah faga dewasa, sel hospes akan pecah (lisis), sehingga keluarlah virus atau faga
yang baru. Jumlah virus baru ini dapat mencapai sekitar 200.
b. Infeksi secara lisogenik
1. Fase adsorpsi dan infeksi
Faga menempel pada tempat yang spesifik.Virus melakukan penetrasi pada
hospes kemudian mengeluarkan DNA ke dalam tubuh hospes.
2. Fase penggabungan
DNA virus bersatu dengan DNA hospes membentuk profaga yang memiliki
sebagian besar gen yang berada dalam fase tidak aktif, tetapi sedikitnya ada satu gen
yang selalu aktif. Gen aktif berfungsi untuk mengkode protein reseptor yang berfungsi
menjaga agar sebagian gen profaga tidak aktif.
3. Fase pembelahan
Bila sel hospes membelah diri, profaga ikut membelah sehingga dua sel anakan
hospes juga mengandung profaga di dalam selnya. Hal ini akan berlangsung terus-
menerus selama sel bakteri yang mengandung profaga membelah.
Metode Plaque adalah salah satu metode yang digunakan untuk menguji adanya virus
yang melisiskan sel inang.Metode Plaque pertama kali dikembangkan oleh Renato
Dulbecco pada tahun 1952 untuk menghitung banyaknya bakteriofage.Metode Plaque
merupakan metode umum dalam melihat kuantitas infeksi virus dan substansi virus.Selain
itu, metode-metode lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya virus adalah
melalui PCR, dan pelacak DNA (Jawetz and Joseph, 1986). Metode plaque sering
digunakan karena lebih mudah dan sederhana, yaitu dengan melihat zona jernih dari biakan
bakteri yang ditumbuhkan. Zona jernih tersebut diakibatkan lisisnya bakteri akibat virus.
Kekurangan metode plaque adalah tidak terlalu akurat, karena susah membedakan antara
plaque yang terbentuk dengan media yang digunakan (Matrosovich et al., 2006).
Bakteriofag dapat digunakan dalam bidang kesehatan, menurut Putra (2012)
bakteriofag dapat digunakan untuk mengatasi kasus-kasus sebagai berikut :
a. Bakteriofag dapat digunakan pada pasien dengan imunitas yang buruk, faga
mampu membunuh bakteri secara langsung.
b. Bakteriofag dapat membunuh bakteri penginfeksi yang resisten terhadap
antibiotik.
c. Bakteriofag dapat digunakan sebagai desinfektan permukaan benda-benda yang
berpotensi menjadi sumber infeksi di rumah sakit.
Penggunaan bakteriofag pada kasus-kasus tersebut dapat menimbulkan efek samping
yaitu meningkatnya suhu tubuh hingga 38-39oC dan sakit kepala.Penggunaan bakteriofag
sebagai terapi harus didahului dengan penentuan spesies bakteri penyebab infeksi.Identifikasi
bakteri patogen dari sumber infeksi membutuhkan waktu beberapa hari, serta tidak selalu
dapat dilakukan (Putra, 2012).
Sampel yang digunakan pada praktikum kali ini adalah air kloset. Air kloset
diindikasikan memiliki kandungan Escherichia coli yang tinggi. Escherichia coli merupakan
bakteri coliform yang sering ditemukan pada tinja atau air yang tercemar. Penggunaan air
kloset ini diharapkan didapatkan konsentrasi Escherichia coli yang tinggi, sehingga plaque
yang terbentuk semakin banyak (Armon and Kott, 1993).Hasil praktikum pengamatan virus
pada bakteri dengan metode plaque didapat hasil, pada kelompok 1,2,3,4, dan 5 uji plaque
menunjukkan hasil positif.Uji plaque yang dilakukan kelompok 6 menunjukkan hasil
negatif.Interpretasi hasil positif ditandai dengan terbentuknya zona jernih pada media dengan
bulat penuh (lingkaran).Plaque terbentuk akibat lisisnya sel bakteri oleh bakteriofag.Semakin
banyak jumlah plaque yang terbentuk, maka bakteriofag yang terdapat didalam sampel dapat
dikatatakan memiliki konsentrasi yang tinggi.Tidak adanya plaque yang terbentuk
menunjukan hasil yang negatif, dengan kata lain tidak terdapat sel bakteri yang lisis akibat
terinfeksi virus yang terkandung dalam sampel air kloset.Reseptor pada sel E. coli diduga
tidak sesuai denganvirus yang terkandung dalam sampel air kloset praktikum ini. Plaque
merupakan daerah kecil yang bersih disebabkan oleh adanya pelisisan dinding sel bakteri
yang disebabkan oleh virus. Reseptor merupakan daerah khas tempat pelekatan virus bagi fag
tertentu. Fag jenis lain tidak dapat melekat pada reseptor yang tidak sesuai (Aryulina, 2009).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :


1. Metode plaque merupakan metode sederhana dalam pendeteksian adanya bakteriofag.
2. Hasil positif pada metode plaque ditandai dengan terbentuknya zona jernih berbentuk
lingkaran penuh dengan tepi rata.
3. Hasil praktikum pengamatan virus pada bakteri dengan metode plaque didapat hasil, pada
kelompok 1,2,3,4, dan 5 uji plaque menunjukkan hasil positif. Uji plaque yang dilakukan
kelompok 6 menunjukkan hasil negatif.

B. Saran

Sebaiknya setiap kelompok diberikan sampel air yang berbeda, agar dapat diketahui
perbandingan kandungan bakteriofag pada setiap sampel.

DAFTAR REFERENSI

Armon., R dan Kott., Y. 1993. A simple, rapid and sensitive presence/absence detection test
for bacteriophage in drinking water.Journal of applied bacteriology, 74(4), pp. 490-
496.
Aryulina, D. 2009. Biologi 1. Esis : Jakarta.
Brock, T.D., and Madigan, M.T. 1991.Biology of Microorganisms. Prentice-Hall
International :New Jersey.
Campbell, N. A. 2004. Biologi.Erlangga :Jakarta.
Golec, Piotr., Joanna Karczewska-Golec., Marcintos., and Grzegorz Wegrzyn.2014.
Bacteriophage T4 can Produce Progeny Virions in Extremely Slowly Growing
Escherichia coli host: Comparison of a Mathemathical Model With The Experimental
Data. FEMS Microbiolgy Letters, 351, pp. 156-161.
Haq, A., Irshad, U.l., W.N. Chaudhry, M.N. Akhtar., S. Andleeb, and I. Qadri. 2012.
Bacteriophages and Their Implications on Future Biotechnology: A Review. Virology
Journal, 9 (9), pp. 1-12.

Jawetz, E. and Joseph, L.M. 1986. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan Edisi 16. ECG,
Jakarta.

Matrosovich, M., T. Matrosovich, W. Garten and H. D. Klenk. 2006. New Lowviscosity


overlay Medium for Viral Plaque Assays. Virology Journal.,3 (63), pp. 1-7.

Pelczar., M.J and Chan., E.C.S. 2009. Dasar-dasar Mikrobiologi. UI Press:Jakarta.

Putra, B.E. dan Karuniawati A. 2012. Bakteriofag sebagai Potensi Baru Tata Laksana Infeksi
Bakteri Resisten. J Indon., Med., Assoc., 62(3). pp 113-117.

Sihombing, D. T. H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan.


PusatPenelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian IPB :Bogor.

Anda mungkin juga menyukai