Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN HASIL DISKUSI

FOCUS GROUP DISCUSSION

SKENARIO 3 : Layer Periode Produksi Mati Mendadak

Disusun Oleh :

Armanda Dwi Prayugo


13/349530/KH/7794

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. Judul / Topik Diskusi

“Layer Periode Produksi Mati Mendadak “

II. Tujuan Pembelajaran


A. Tujuan Instruksional umum
Mahasiswa mampu memahami MK yang dipelajari melalui implementasi integrasi dan
sinergi antar MK untuk saling melengkapi / meningkatkan / mempertajam dan berbagi
konsep keilmuan, keterampilan dan perilaku.
B. Tujuan Instruksional khusus
Memahami Virus ND meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, isolasi dan
isdentifikasi, serta penanganan dan pencegahan. Memahami penyakit cacing pada ayam
akibat Raillietina sp. meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, siklus hidup, diagnosis,
serta penanganannya. Memahami prinsip Biosecurity, penyusunan program vaksinasi
pada farm ayam, dan penggunaan desinfektan dan antibiotik pada ayam.

III. Skema Pembelajaran

FGD
Semester VIII

Ilmu Penyakit
Vaksinasi
Biosecurity
Penyakit Viral
Pada unggas Parasit
Pada unggas
Unggas

Sinergi dan intergrasi antar bidang ilmu untuk membangun pemahaman secara lebih dalam
dan komprehensif untuk mencapai kompetensi

Skenario 3 : Memahami Virus ND meliputi etiologi, patogenesis, gejala


klinis, diagnosis, isolasi dan isdentifikasi, serta penanganan dan
pencegahan. Memahami penyakit cacing pada ayam akibat Raillietina sp.
meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, siklus hidup, diagnosis, serta
penanganannya. Memahami prinsip Biosecurity, penyusunan program
vaksinasi pada farm ayam, dan penggunaan desinfektan dan antibiotik
pada ayam.
IV. Bahasan Diskusi
A. Penyakit Newcastle Disease (ND) pada Ayam
1. Penyebab
Newcastle Disease (ND) adalah penyakit yang sangat menular, dengan angka
kematian yang tinggi, disebabkan oleh virus RNA Avian Paramyxo Virus type 1
genus paramyxovirus dengan famili paramyxoviridae, virus ini bersifat
mengaglutinasikan sel-sel darah merah ayam. Nama lain untuk ND adalah tetelo,
pseudovogolpest, sampar ayam, Rhaniket, Pneumoencephalitis dan Tontaor furrens.
Newcastle Disease dipandang sebagai salah satu penyakit penting di bidang
perunggasan.

Gambar 1. Ayam mengalami tortikolis akibat ND. (Anonim, 2007)

2. Karakter penyakit
Penyakit ND menyerang semua unggas, pada ayam ras petelur, penyakit ini
menyerang anak ayam dan ayam remaja, dan dalam kasus yang buruk juga pada
ayam dewasa. Bila sudah menyerang dapat menimbulkan kematian hingga 80% dari
total ayam yang ada, bahkan bisa memusnahkan anak ayam dan ayam remaja
(Syawal, 2012).
Berdasarkan gejala klinik yang timbul pada ayam, ND dibagi atas 5 bentuk
yaitu Doyle, Beach, Beaudette, Hitchner, dan entrik asimptomatik (Tabbu, 2000) :
- Bentuk Doyle ditandai oleh adanya infeksi yang bersifat akut dan fatal pada
ayam semua umur. Bentuk ini bersifat adanya gannguan pencernaan akibat
perdarahan dan nekrosis pada saluran pencernaan sehinggga dikenal denagan
nama ND velogenik-visetropik (VVND).
- Bentuk Beach ditandai oleh adanya infeksi yang bersifat akut dan kerapkali
bersifat fatal pada ayam semua umur. Bentuk ini bersifat adanya gejala gangguan
pernapasan dan saraf sehingga disebut ND velogenik neutropik.
- Bentuk Beaudette merupakan suatu bentuk ND velogenik neutrotropik yang
kurang patogenik dan biasanya kematian hanya ditemukan pada ayam muda.
Virus ND penyebab infeksi pada bentuk ini tergolong tipe patologik mesogenik
dan dapat dipakai sebagai vaksin aktif untuk vaksinasi ulangan ND.
- Bentuk Hitchner ditandai oleh adanya infeksi pernapasan yang ringan atau tidak
tampak, yang ditimbulkan oleh virus dengan tipe patologik lentogenik, yang
biasanya digunakan sebagai vaksin aktif.
- Bentuk enterik asimptomatik merupakan infeksi pada usus, yang ditimbulkan
oleh virus ND tipe lentogenik. Bentuk ini tidak menimbulkan suatu gejala
penyakit tertentu.

3. Patogenisitas
Penularan virus penyebab penyakit ND dapat melalui udara, kontak dengan
ayam penderita virus yang mencemari makanan, air minum, dan peralatan kandang.
Penyebaran virus ini sangat cepat, baik dari ayam ke ayam maupun dari kandang ke
kandang. Ayam yang menderita penyakit ini akan akan menhasilkan telur yang
mengandung virus ND, sehingga telur yang mengandung virus tersebut tidak akan
menetas. Dua hari setelah virus menginfeksi ayam, ayam sudah menjadi sumber
penyakit yang siap menebar pada kelompoknya, dan dari kandang ke kandang lain
( Murtidjo, 1992).
Hiperemi, edema, hemorrhagi, trombosis, dan nekrosis pembuluh darah.
Hiperplasia sel-sel reticulohistiositik dan nekrosis multifokal pada hati. Nekrosis
pada lympha. Degenerasi lymphocyt bursa fabrisius. Nekrosis dan hemorragi pada
usus. Kongesti dan infiltrasi sel radang pada trachea. Hemorragi dan edema pada
bagian-bagian paru. Perivascular cuffing sel limposit dan nekrosis dari neuron pada
otak. (Tabbu,2000).

Gambar 2. Perivascular Cuffing pada otak


4. Gejala Klinis
Gejala penyakit ND sangat bervariatif tergantung tingkat keganasan virus
yang menyerangnya. Berdasarkan tingkat keganasannya, virus penyebab ND
dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu: velogenic viscerotropic (tipe Asiatik),
velogenic neurotropic (tipe Amerika), mesogenic, dan lentogenic. Gejala klinis yang
jelas atau sering muncul diantaranya adalah gangguan saluran pernafasan (seperti
cekrek atau ngorok, batuk, keluar lendir dari hidung), penurunan nafsu makan, feses
khas berwarna hijau dan kadang disertai gumpalan putih, gejala kelainan syaraf
terutama pada kaki, sayap, dan leher yang menjadikan leher terpelintir dan ayam
berputar-putar, kemudian angka kematian tinggi antara 50% sampai 100%. Pada
ayam layer / petelur yang sedang dalam masa produksi, dapat menurunkan produksi
telur secara drastis hingga sampai 50%. Selain kuantitas, kualitas telur juga berubah.
Kerabang telur berubah menjadi tidak normal (kasar, tipis, lembek, dan warna
memudar hingga putih), kualitas putih telur menurun, begitu pula dengan daya
tetasnya.
Jika dilakukan bedah bangkai pada ayam yang terinfeksi, maka akan
ditemukan beberapa perubahan diantaranya pada saluran pernafasan ada peningkatan
lendir atau eksudat, bisa juga sudah terjadi perdarahan, kantung udara keruh, dan
sudah terjadi pneumonia pada paru-parunya. Perubahan yang khas dapat dilihat pada
organ ventrikulus dan proventikulus, serta pada seka tonsilnya. Perdarahan juga
terjadi di seka tonsil. Sementara pada usus peradangan yang terjadi dapat berupa
khataralis (eksudatif), haemorraghies (perdarahan), atau gabungan keduanya. Pada
infeksi akut, perdarahan di usus ditemukan luas dan berbatas jelas. Pada ayam layer
yang sedang dalam masa produksi, dapat ditemukan peradangan pada (calon) kuning
telur, perdarahan, bentuk (calon) kuning telurnya menjadi tidak teratur, kadang-
kadang sudah pecah di rongga perut.

5. Diagnosa
Diagnosa penyakit ND sering dikelirukan dengan beberapa penyakit
pernafasan lainnya seperti IB, ILT, CRD, dan AI. Diagnosa laboratorium sudah
sewajarnya digunakan untuk meneguhkan diagnosa lapang. Diagnosa lab yang dapat
dilakukan untuk menilai infeksi penyakit ND diantaranya tes titer antibody dengan
HI test, uji ini yang paling mudah dan umum dilakukan.
Virus dapat diisolasi dari limpa, otak atau paru-paru melalui inokulasi
alantois dari telur berembrio umur 10 hari, virus dibedakan dengan yang lainnya
dengan menggunakan uji penghambatan-jerapan darah dan penghambatan
hemaglutinasi. Penentuan virulensi sangat diperlukan untuk isolat lapangan. Sebagai
tambahan atas indeks kerusakan syaraf dan rataan waktu kematian dari embrio ayam,
juga dipakai pembentukan plak dalam keadaan ada atau tidak adanya tripsin pada sel
ayam. Uji penghambatan-hemaglutinasi digunakan dalam diagnosis dan pemantauan
penyakit Newcastle kronis di negara tempat bentuk penyakit ini merupakan endemis.
(Fenner, 1995).

B. Penyakit Cacing Cestoda pada Ayam


1. Etiologi Raillietina sp
Termasuk golongan Cacing Cestoda pada Unggas dan burung. Spesies yang
sering ditemukan Raillietina tetragona, Raillietina echinobotrida, Raillietina
cistisellus. Hospes Intermediet dari parasit ini adalah semut genus Phidola dan
Tetramurium, kumbang tanah. Telur memiliki kapsula dan cacing dewasa memiliki
Scolex. Predileksi berada di Intestinum tenue pada ayam. Terdapat kantung
parenkimatosa dalam proglotid bunting masing-masing dengan satu atau beberapa
telur (Levine, 1994).

Gambar 3. Morfologi cacing (Bentuk scolex dan proglotid) dan telur cacing
Raillietina sp.
2. Patogenesis
Merupakan salah satu cacing pita paling patogenik karena sering
menimbulkan nodula tempat melekatnya pada dinding usus dan kadang-kadang
nodul ini dapat melubangi usus halus dan menyebabkan peritonitis. Beberapa
peneliti melaporkan adanya granuloma dengan diameter 1-6 mm pada tempat
perlekatan cacing pita tersebut dalam waktu enam bulan pasca infeksi.
3. Siklus Hidup
Telur tumbuh di tanah menjadi larva yang disebut onkosfer, yang dimakan
oleh semut, dan memasuki saluran pencernaan. Tahapan perkembangan didalam
hospes intermediete terdiri dari 5 tahap, yaitu (1) tahap onkosfer, (2) stadium lacuna,
(3) tahap systic cavity, (4) tahap pembentukan scolex dan (5) tahap sistiserkoid.
Sistiserkoid masuk kedalam tubuh ayam lalu berkembang dan memiliki proglotid
yang mengandung telur cacing. Telur dikeluarkan bersama feses.

Gambar 4. Siklus hidup cacing Raillietina sp.

4. Diagnosa
Diagnosis penyakit didasarkan atas gejala klinik yang tampak dan sejarah
timbulnya penyakit. Selain itu dapat pula dengan melakukan pemeriksaan tinja
secara mikroskopis dimana akan ditemukan proglottid masak yang lepas atau telur
cacing yang keluar bersama tinja. Kelemahan pemeriksaan ini adalah tidak selalu
berhasil karena progolttid masak tidak dikeluarkan bersama tinja terus-menerus.
Pada pemeriksaan pasca mati akan didapat diagnosis yang memuaskan karena
ditemukan spesies cacingnya. Teknik diagnosis yang lain adalah dengan melihat
bungkul-bungkul pada mukosa usus dimana cacing mengkaitkan diri pada infeksi R.
echinobothrida, Enteritis Catharallis chronica, hyperplasia dinding usus pada tempat
cacing melekatkan diri dan perdarahan serta pengelupasan selaput lendir usus.
C. Isolasi dan Identifikasi Virus ND
1. Konsep Sampling
Spesimen dapat berupa swab trakea atau kloaka dari ayam yang terduga sakit,
atau organ berupa otak dan paru-paru ayam yang baru mati dalam bahan larutan
pengawet seperti PBS. Pemeriksaan antibodi pada serum diperlukan pada waktu ayam
sakit dan untuk mengetahui status kekebalan ayam yang sudah divaksin diambilo
beberapa serum dari kelompok ayam yang sudah divaksin. Untuk pemeriksaan
patologik dapat mengambil sampel organ hati, trakea, otak, caeca tonsil, limpa yang
difiksasi dalam larutan buffer formalin 10%.

2. Uji Patotipe Virus


Teknik molekuler untuk mendiagnosa Virus Newcastle Disease dengan
Polymerase Chain Reaction (PCR) telah dikembangkan oleh Kary B. Mullis tahun
1985 dan menjadi teknik yang revolusioner. Pada awal perkembangannya metode
PCR hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, namun kemudian
dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula untuk melakukan
kuantitasi molekul mRNA. Saat ini metode PCR telah banyak digunakan untuk
berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Metode ini juga sering digunakan
untuk memisahkan gen-gen berkopi tunggal dari sekelompok sekuen genom. Dengan
menggunakan metode PCR, dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA
(110 bp, 5×109 mol) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama
220 menit. Hal ini menunjukkan bahwa pelipatgandaan suatu fragmen DNA dapat
dilakukan secara cepat. Kelebihan lain reaksi ini adalah dapat dilakukan
menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit, hanya sekitar 5 µg DNA
template (Kary et al. 1987).

3. Isolasi dan Identifikasi


Isolasi dilakukan dari swab trakea atau kloaka atau suspensi 10% dari otak,
paru-paru, dalam larutan NaCl fisiologis yang mengandung antibiotik diinokulasikan
pada telur ayam berembrio (TAB) umur 9 – 11 hari. Pasca inkubasi, cairan allantois
diperiksa terhadap adanya aglutinasi dengan uji Hemmaglutination (Uji HA).
Apabila uji HA postitif dapat dilanjutkan dengan identifikasi virus dengan uji
hambatan hemaglutinasi (Uji HI) atau uji Neutralisasi Virus (Uji VN) dengan serum
kebal terhadap ND. Bila salah satu dari kedua uji tersebut positif dapat dipastikan
bahwa isolat yang diperiksa adalah ND.
D. Penanganan dan Pencegahan
1. Penanganan Cacing
Pengobatan terhadap cacing pita pada ayam dapat dilakukan dengan butinorat
(dibutiltin dilaurat). Bahan tersebut dilaporkan efektif untuk mengobati penyakit
yang ditimbulkan oleh enam spesies cacing pita pada ayam yaitu Raillietina
cesticillus, Raillietina tetragona, Choanotaenia infundihulum, Davainea proglottina,
Hymenolepis carioca dan Amoehotaenia sphenoides. Obat tersebut dapat juga
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan piperazin dan fenotiazin melalui pakan.
Di samping itu, dapat juga diberikan beberapa turunan benzimidazol, misalnya
mebendazol, fenbendazol, dan albendazol bersama pakan atau melalui air minum
dengan hasil yang bervariasi. Suatu obat anti cacing pita harus merusak skoleks agar
cacing tersebut dapat mati. Jika skoleks masih berfungsi dan hanya segmen bagian
belakang yang dirusak, maka segmen baru dapat dibentuk lagi dan ayam akan ter-
infeksi lagi oleh cacing tersebut (Tabbu, 2000 ; Akoso, 2002).

2. Penanganan Penyakit ND
Penyakit ND tidak dapat diobati. Oleh karena itu ayam yang sudah terserang
sebaiknya cepat dimusnahkan karena dapat menulari ayam yang lain. Pengendalian
terbaik adalah dengan vaksinasi seperti vaksin strain F, K dan LaSota. Pola
pemberian vaksin adalah 4-4-4, maksudnya vaksin diberikan pada ayam berumur 4
hari, 4 minggu, 4 bulan dan seterusnya dilakukan 4 bulan sekali. (Sujionohadi, 2004)
Tindakan vaksinasi merupakan langkah yang tepat sebagai upaya pencegahan
terhadap penyakit ND. Program vaksinasi yang secara umum diterapkan, yaitu
- Infeksi lentogenik ayam pedaging, dicegah dengan pemberian vaksin
aerosol atau tetes mata pada anak ayam umur sehari dengan
menggunakan vaksin Hitchner B1 dan dilanjutkan dengan booster
melalui air minum atau secara aerosol.
- Pada infeksi lentogenik ayam pembibit dapat dicegah dengan
pemberian vaksin Hitchner B1 secara aerosol atau tetes mata pada
hari ke-10. Vaksinasi berikutnya dilakukan pada umur 24 hari dan 8
minggu dengan vaksin Hitchner B1 atau vaksin LaSota dalam air,
diikuti dengan pemberian vaksin emulsi multivalen yang diinaktivasi
dengan minyak pada umur 18 – 20 minggu. Vaksin multivalen ini
dapat diberikan lagi pada umur 45 minggu, tergantung kepada titer
antibodi kawanan ayam, resiko terjangkitnya penyakit dan
faktorfaktor lain yang berhubungan dengan pemeliharaan.

Tindakan pencegahan selain vaksinasi adalah sanitasi. Hal-hal yang perlu


diperhatikan, antara lain :
- Sebelum kandang dipakai, kandang dibersihkan kemudian dilabur
dengan kapur yang dibubuhi NaOH 2%. Desinfeksi kandang
dilakukan secara fumigasi dengan menggunakan fumigant berupa
formalin 1 – 2% dan KMnO4, dengan perbandingan 1 : 5000.
- Liter diupayakan tetap kering, bersih dengan ventilasi yang baik.
Bebaskan kandang dari hewan-hewan vektor yang bisa memindahkan
virus ND. Kandang diusahakan mendapat cukup sinar matahari.
- Hindari penggunaan karung bekas (4) DOC harus berasal dari
perusahaan pembibit yang bebas dari ND (5) di pintupintu masuk
disediakan tempat penghapus hamaan, baik untuk alat transportasi
maupun orang. (6) memberikan pakan yang cukup kuantitas maupun
kualitas.

E. Program Vaksinasi Ayam

Salah satu pendukung keberhasilan vaksinasi yakni metode vaksinasi, yang


mencakup program dan teknik vaksinasi. Penyusunan dan pelaksanaan program
vaksinasi bertujuan untuk memperoleh kekebalan yang tinggi terhadap penyakit dan
untuk mencegah beberapa penyakit tertentu pada peternakan tersebut. Program vaksinasi
tidaklah baku, namun dapat berbeda-beda di suatu wilayah. Hal ini tergantung dari jenis
ayam, jenis penyakit yang sering menyerang, tingkat keganasan penyakit di wilayah
tersebut, umur serangan penyakit, maupun kepadatan peternakan di daerah tersebut.

Dalam menyusun program vaksinasi ayam broiler ada beberapa vaksin yang
wajib diberikan terkait serangan penyakit yang cukup tinggi, seperti vaksin ND dan
Gumboro. Tetapi perlu dipertimbangkan pula kerawanan dan riwayat daerah tersebut,
misalnya terhadap serangan penyakit AI, IB maupun korisa. Program vaksinasi untuk
ayam layer tentu berbeda dengan ayam broiler terkait masa pemeliharaan ayam layer
yang lebih panjang. Ada beberapa vaksin yang wajib diberikan sebelum memasuki masa
produksi, seperti vaksin ND, Gumboro, AI, IB, EDS, dan korisa. Namun bukan berarti
vaksin lain tidak perlu diberikan, seperti ILT atau fowl pox (Anonim, 2016).
Penyusunan program vaksinasi ayam Frekuensi pemberian vaksin dalam 1
layer sebelum masa produksi periode pemeliharaan

Contoh pemberian program vaksinasi


pada ayam broiler

Gambar 5. Contoh penerapan program vaksinasi (Anonim, 2016).

Vaksinasi menjelang masa produksi bertujuan supaya antibodi protektif yang


dihasilkan dapat bertahan lama hingga puncak produksi. Maka pemilihan vaksin
menjelang masa produksi yakni vaksin inaktif. Tujuannya agar saat puncak produksi
tidak perlu dilakukan vaksinasi. Awal produksi sampai dengan puncak produksi
merupakan masa kritis masa produksi sehingga perlu meminimalisir stres salah satunya
efek vaksinasi misalnya saat proses handling/penanganan ayam. Penentuan jadwal
vaksinasi ulang setelah masuk masa produksi atau setelah puncak produksi lebih tepat
jika berdasarkan hasil pemantauan titer antibodi (Anonim, 2016).
F. Desinfektan, Antibiotik, dan Biosecurity
1. Desinfektan
Desinfeksi adalah suatu kegiatan untuk mematikan atau menghentikan
pertumbuhan hama penyakit pathogen yang terdapat pada bermacam-macam
permukaan (Benda hidup dan benda mati) dengan mengunakan desinfektansia.
Dalam melaksanakan kegiatan desinfeksi dan fumigasi beberapa hal yang harus
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
- Jenis bahan desinfeksi dan fumigasi harus efektif membunuh penyakit hewan
sasaran dan toksisitasnya rendah.
- Tidak merusak ataupun merubah fisik peralatan, benda atau material.
- Tidak merusak lingkungan.
- Tidak membahayakan /aman bagi petugas pelaksana.
- Biayanya terjangkau.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi daya kerja desinfektansia,


diantaranya ialah, Jenis desinfektansianya, Konsentrasi, Lama waktu exposure, pH,
Zat pelarut, Terdapatnya zat-zat organis (Lemak, sabun, protein, darah, nanah dan
sebagainya). Beberapa contoh desinfektan yang sering digunakan diindonesia :

- Agricid (Sediaan cair, setiap liter mengandung Povidon iodida 30 g. Sebagai


antiseptik dan desinfektan, dosis dan penggunaan lihat pada brosur kemasan.
Produksi Agrinusa Unggul Jaya).
- Agrigerm (Sediaan cair, setiap liter mengandung glutaral dehida 40 g,
glikosal 32 g, formaldehida 31,5 g, oimetil didesil ammonium khlorida 100
g. Untuk desinfeksi, dosis dan penggunaan lihat pada brosur kemasan.
Produksi Lab. Ceetal-perancis /Indovetraco makmur abadi).
- Aldecoc (Sediaan cair mengandung alcohol, cresol, perchlorethylene dan
detergen. Untuk desinfeksi termasuk parasit cacing. Dosis dan penggunaan
lihat pada brosur kemasan. Produksi Ewabo Chemikalien GmbH, Jerman
/Satwa Jawa Jaya).
- Bio Phene (Sediaan cair, komposisinya O-Phenylphenol 7,92 %, O-benzyl-p-
cholrophenol 9,97 %, P-tert-amylphenol 1,95 %. Sebagai desinfektansia
spray. Dosis dan penggunaan lihat pada brosur kemasan. Produksi Biosentry,
USA /Agro makmur Sentosa)
2. Antibiotik
Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut
ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel yaitu, broad spektrum, mempunyai
kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies dan narrow spectrum
hanyamampu membunuh mikroorganisme secara spesifik (Bezoenet al , 2000)
Terhadap sebagian besar penggunaan, antibiotika harus mempunyai aktivitas
spektrum yang luas (Martin, 1992; Tjay dan Raharja, 2005).
Bahwa antibiotika harus membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri
dari tipe yang berbeda. Antibiotika broad spektrum berguna karena adanya
gejala(simptom) yang sama yang disebabkan oleh bakteri dari spesies yang berbeda
dandari gejala yang muncul tidak mungkin menunggu isolasi, identifikasi organisme
penyebab sebelum terapi dimulai (Nhiem, 2005; Salyers dan Whitt, 2005)
Waktu pemberian antibiotik yang paling ideal adalah selama 24 jam.
Tujuannya ialah agar antibiotik senantiasa tersedia dalam tubuh ayam dan dapat
membasmi bakteri dengan baik. Namun karena saat malam hari kita tidak bisa
memastikan antibiotik terkonsumsi oleh ayam, maka minimal antibiotik diberikan
pagi hingga sore (12 jam) dengan cara dibagi menjadi dua bagian yaitu pagi-siang
dan siang-sore. Melalui dua kali pemberian ini maka stabilitas antibiotik di dalam air
minum tetap terjaga, karena antibiotik sensitif terhadap udara, panas dan cahaya
matahari.

Contohnya:
Jika konsumsi air minum ayam sehari 1.000 liter, maka Amoxitin yang
diperlukan adalah 500 gram.

Cara pemberian:
250 gram Amoxitin dilarutkan dalam 400 liter air minum untuk pagi-siang dan
sisa Amoxitin sebanyak 250 gram dilarutkan lagi dalam 400 liter untuk siang-
sore hari. Sisa air minum sebanyak 200 ml bisa diberikan untuk malam-pagi
hari tanpa ditambahkan obat. Pastikan obat habis terkonsumsi dalam rentang
waktu tersebut. Jika obat tidak habis terkonsumsi, misalkan karena cuaca
dingin sehingga konsumsi air minum menurun, kita dapat menurunkan jumlah
air minum pada keesokan harinya. Misalnya menjadi: 250 gram Amoxitin
dilarutkan dalam 300 liter air minum untuk pagi-siang dan sisa Amoxitin (250
gram) dilarutkan lagi dalam 300 liter untuk siang-sore hari.
3. Biosecurity
Biosecurity adalah kondisi dan upaya untuk memutuskan rantai masuknya
agen penyakit ke induk semang dan / atau upaya memastikan agen penyakit yang
ditemukan dalam suatu peternakan secepatnya dimusnahkan agar tidak menyebar di
dalam peternakan ataupun keluar peternakan /atau menjaga agen penyakit yang
disimpan dan diisolasi dalam suatu laboratorium tidak mengkontaminasi atau tidak
disalahgunakan misalnya untuk bioterorisme.
Dalam peternakan biosekuriti merupakan konsep integral yang
mempengaruhi suksesnya system produksi ternak khususnya dalam rangka
mengurangi resiko karena masuknya penyakit menular maupun tidak menular.
Apabila biosekuriti dilaksanakan secara baik, benar dan disiplin maka target
produktivuitas ternak dan efisiensi ekonomi akan tercapai karena kesehatan ternak
yang terjaga. Oleh karena itu sebagai bagian dari sistem manajemen peternakan
biosekuriti adalah sangat penting.
Ruang lingkup bisosecurity peternakan:
- Biosecurity konseptual. adalah dasar seluruh program pengendalian
penyakit sperti: Lokasi kandang suatu peternakan, pengaturan jenis
dan umur ternak.
- Biosekuriti struktural, adalah sesuatu yang berhubungan dengan
konstruksi kandang, arah kandang /tata letak peternakan,
pemisahan /batas-batas unit peternakan, pengaturan saluran limbah
peternakan, alat sanitasi dan dekontaminasi, sarana dan prasarana
kandang.
- Biosekuriti operasional, merupakan implementasi sistem operasional
dan prosedur (SOP) manajemen untuk pengendalian penyakit

Berikut beberapa hal penting dalam penerapan Biosecurity pada farm ayam :

- Isolasi
Merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan
ayam dari serangan kuman patogen penyebab penyakit. Isolasi ini
bertujuan untuk mencegah bibit penyakit masuk ke dalam suatu farm
dan menyebar keluar dari farm. Manajemen peternakan (manager/
pemilik farm) sangat berperan penting dalam penerapan isolasi ini,
contohnya dalam penetapan area bersih (wilayah yang harus terjaga
dari kemungkinan cemaran/ penularan penyakit) dan kotor (wilayah
yang kemungkinan banyak cemaran bibit penyakitnya).
- Pengaturan lalu lintas
Upaya pengaturan lalu lintas orang, peralatan, barang atau kendaraan
tamu agar tidak menyebarkan bibit penyakit masuk ke dalam
peternakan. Pengaturan lalu lintas ini berarti kita harus bisa mengatur
kapan DOC/ bibit, pakan, sapronak (obat, vaksin, peralatan
peternakan), litter/ sekam, kotak telur masuk ke dalam farm. Begitu
juga sebaliknya kita harus bisa mengatur bagaimana penanganan atau
pengeluaran bangkai ayam, litter keluar dari lingkungan kandang
serta kapan ayam harus dipanen atau diafkir. Pembatasan jumlah
orang dan kendaraan yang masuk ke dalam lingkungan kandang juga
masuk dalam konsep kedua ini.

- Sanitasi (pembersihan dan desinfeksi)


Tindakan yang sering dilakukan peternak untuk menjaga farm dari
infeksi penyakit adalah sanitasi. Sanitasi merupakan tindakan untuk
membunuh patogen atau bibit penyakit. Sanitasi yang paling sering
dilakukan peternak adalah dengan desinfeksi/ penyemprotan kandang
menggunakan desinfektan. Dengan asumsi desinfektan tersebut akan
membunuh bibit penyakit di kandang atau lingkungan kandang.
Sebenarnya tindakan sanitasi tidak hanya berkaitan dengan desinfeksi
saja, namun ada banyak kegiatan lain yang merupakan sanitasi,
seperti sebelum pekerja/tamu masuk ke dalam kandang mencuci
tangan menggunakan sabun, menggunakan baju khusus untuk
bekerja, menggunakan alas kaki (sandal/sepatu boots) khusus untuk
masuk ke dalam kandang, celup alas kaki dalam desinfektan (Antisep,
Medisep). Hal-hal sederhana itu sebenarnya juga dapat
meminimalkan terjadinya penularan penyakit.
V. Kesimpulan
A. Newcastle Disease (ND) adalah penyakit yang sangat menular, dengan angka kematian
yang tinggi, disebabkan oleh virus RNA Avian Paramyxo Virus type 1.
B. Isolasi virus ND dilakukan dari swab trakea atau kloaka atau suspensi 10% dari otak,
paru-paru, dalam larutan NaCl fisiologis yang mengandung antibiotik diinokulasikan
pada telur ayam berembrio (TAB) umur 9 – 11 hari.
C. Raillietina sp. termasuk golongan Cacing Cestoda pada Unggas dan burung.
D. Obat butironat dapat juga diberikan dalam bentuk kombinasi dengan piperazin dan
fenotiazin melalui pakan.
E. Pengendalian ND terbaik adalah dengan vaksinasi seperti vaksin strain F, K dan LaSota
F. Vaksinasi pada ayam menjelang masa produksi bertujuan supaya antibodi protektif yang
dihasilkan dapat bertahan lama hingga puncak produksi.

VI. Luaran Pembelajaran


A. Memahami Virus ND meliputi etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, isolasi dan
isdentifikasi, serta penanganan dan pencegahan
B. Memahami penyakit cacing pada ayam akibat Raillietina sp. meliputi etiologi,
patogenesis, gejala klinis, siklus hidup, diagnosis, serta penanganannya.
C. Memahami prinsip Biosecurity, penyusunan program vaksinasi pada farm ayam, dan
penggunaan desinfektan dan antibiotik pada ayam.

VII. Daftar Pustaka

Anonim, 2016. http://info.medion.co.id.

Akoso, B. T. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh
dam Peternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Akoso, B.T. 2002. Kesehatan Unggas. Cetakan kelima. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hal
91,92;130-133.

Alexander,D.J. 1991. ND and Other Paramyxovirus Injection in Disease of Poultry, 9th ed.
Edited by Calnek, B. J., dkk. Iowa State University Press, Armes, Iowa. USA.

Beard, C.W, and Hanson. 1984. Newcastle Disease in Disease of Poultry, 8th ed. Iowa State
University Press, Armes Iowa. USA.
Fenner, Frank J., dkk.1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. Academic Press INC.
California.

Jordan, F. T. W.1990. Poultry Diseases. Third Edition. Baillere Tindall. London.

Mitruka B. M. 1981. chlinical Bchemical and Hematological Reference Values Normal


Experimental Animals and Normal Humans. MASSON Publishing USA. New York.

Sujionohadi, Kliwon dan Ade Iwan Setiawan. 2004. Ayam Kampung Petelur. Penerbit
Swadaya. Jakarta

Kary, M dan Fred F. 1987. Specific synthesis of DNA in vitro via a polymerase-catalyzed
chain reaction. Di dalam: W Ray, editor. Book title. Ed ke-, Academic Press. hlm 335-350

Levine, N.D., 1994, Protozology Veteriner, diterjemahkan oleh Soeprapto, S., Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.Hal: 265, 317-323.

Tabbu, Charles R, 2000;2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Edisi Ke-1 dan Ke-
2. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Edisi Ke-1 Hal : 31-51, 232-245; Edisi Ke-2 Hal : 3-27.

Anda mungkin juga menyukai