Anda di halaman 1dari 9

INOKULASI VIRUS PADA TELUR AYAM BEREMBRIO

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

Nama : Mega Lestari


NIM : B1A015059
Kelompok :2
Rombongan :3
Asisten : Silviyatun Nimah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Newcastle (ND) adalah salah satu penyakit unggas yang paling
signifikan di dunia. Hal ini disebabkan oleh strain virus Newcastle disease virus
(NDV) yang mematikan, juga dikenal sebagai avian paramyxoviruses dari serotipe 1
(APMV-1) (Miller et. al., 2015). Meskipun banyak jenis unggas yang dilaporkan
dapat terserang ND, namun ayam merupakan jenis unggas yang paling rentan
terhadap ND. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk dalam kelompok
Avian paramyxovirus dari famili Paramyxoviridae (Darminto & Ronohardjo, 1996).
Pernyataan tersebut sependapat dengan Shohaimia et. al. (2015), bahwa penyakit
Newcastle (ND) adalah penyakit virus unggas yang sangat menular. Penyakit ini
hadir di seluruh dunia dan mempengaruhi banyak spesies burung yang menyebabkan
kerugian parah pada industri perunggasan. ND disebabkan oleh avian paramyxovirus
serotype-1 (APMV-1), yang termasuk dalam genus Avulavirus di keluarga
Paramyxoviridae. Genom APMV-1 selalu 15186, 15192 atau 15198 nukleotida
panjangnya.
Strain NDV dapat dikategorikan menjadi sangat ganas (velogenic),
intermediate (mesogenic) atau nonvirulent (lentogenic) berdasarkan patogenisitasnya
pada ayam dengan menggunakan Intracerebral Pathogenicity Index (ICPI)
(Shohaimia et. al., 2015). Menurut Darminto & Ronohardjo (1996), virus ND
dikelompokkan dalarn 4 galur, yaitu: velogenik (keganasannya paling tinggi),
mesogenik (keganasannya sedang), lentogenik (keganasannya paling rendah) dan
asimtomatik enterik (sama sekali tidak ganas). Sifat keganasan tersebut ternyata
memiliki hubungan dengan struktur antigen virus ND. Virus ND memiliki 6 jenis
protein yang dapat berperan sebagai antigen, yakni protein NP, P, M, F, HN dan L.
Keenam jenis protein tersebut, hanya dua jenis protein yang mempunyai peranan
dalam proses kekebalan, yakni protein F dan IIN, karena kedua protein tersebut
merangsang pembentukan antibodi protektif.
Struktur Newcastle disease virus (NDV) berbentuk pleomorfik, sebagian
besar berbentuk bulat kasar dengan diameter 100-500 nm tetapi juga ditemukan
dalam bentuk filamen dengan diameter 100 nm. Panjang virus paramyxovirus terlihat
bervariasi. Panjang genom virus ND sebesar 15.186 nukleotida. Genomnya yang
tidak bersegmen, bersifat single-stranded (ss) dan berpolaritas RNA negatif. Genom
virus ini mempunyai enam protein utama yang menyusunnya yaitu Nucleocapsid
protein (N), Phosphoprotein (P), Matrix protein (M), Fusion protein (F),
Hemaglutinin neuraminidase protein (HN) dan Large polymerase protein (L).
Terdapat dua protein non-struktural lainnya yang dihasilkan selama proses transkripsi
gen P yaitu V dan W. Protein N, P, HN dan F terletak di bagian luar envelope
sedangkan protein M terdapat di lapisan dalam virion (Hewajuli & Dharmayanti,
2015).
Mekanisme infeksi virus yaitu berawal dari protein HN berperan dalam tahap
penempelan virus ND pada reseptor sel inang yang mengandung sialic acid yaitu
glycoprotein dan glycolipid. Protein F sebagai perantara penempelan virus dengan
penyatuan virus dan membran sel inang. Selanjutnya, RNA virus dilepaskan ke
dalam sitoplasma kemudian terjadi replikasi. Proses masuknya virus ke dalam sel
melalui dua cara yaitu pertama, penyatuan secara langsung antara envelope virus
dengan membran plasma, dan yang kedua diperantarai oleh reseptor endositosis.
Penetrasi virus melalui reseptor endositosis tergantung pada kondisi pH-nya. Pada
paramyxoviruses, proses penyatuan membran virus dengan membran plasma inang
tidak tergantung pH, namun hasil penelitian lain menunjukkan penyatuan virus ND
dengan sel inang mampu meningkatkan pH, artinya penetrasi virus ND pada sel
inang juga dipengaruhi oleh kondisi pH (Snchez-Felipe et. al., 2014). Disamping
mempunyai reseptor yang cocok dengan virus ND, sel inang juga harus memiliki
enzim tripsin yang fungsinya mirip protease untuk memecah protein F0 menjadi F1
dan F2 pada infeksi ND avirulen walaupun protease tidak selalu diperlukan untuk
penempelan virus ND virulen. Penyebaran reseptor sel pada ayam yang peka
terhadap virus ND avirulen bersifat terbatas dan hanya ditemukan pada saluran
pencernaan dan pernafasan atas, sedangkan replikasi virus ND virulen terjadi di
sebagian besar jaringan inang (Hewajuli & Dharmayanti, 2015).
Macam-macam cara menginokulasikan virus ke embrio ayam yaitu :
1. In Ovo merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio. Metode ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
Inokulasi pada ruang chorioalantois
Biasanya digunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari. Jarum
dimasukkan inci dengan sudut 45 dan diinjeksikan 0,1-0,2 ml virus yang akan
diinokulasikan. Setelah 40-48 jam cairan telur yang sudah diinkubasi dapat diuji
untuk hemaglutinasi dengan membuat lubang kecil pada kerabang di pinggir dari
rongga udara. Dengan alat semprot yang steril dan jarumnya, diambil 0,1-0,2 ml
cairannya. Campur 0,5 cairan telur dengan perbandingan yang sama dari 10%
suspensi dari sel darah yang di cuci bersih dalam plate. Putar plate dan lihat
aglutinasi setelah 1 menit. Cairan alantois yang terinfeksi dipanen setelah 1-4 hari
inokulasi. Untuk mencegah darah dalam cairan, embrio disimpan semalam dalam
suhu 4C kemudian injeksi kerabang dekat rongga udara dan buka kerabang tersebut
dengan pinset steril. Membran ditekan ke atas yolk sac dan cairan diambil dengan
spuit dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Kultur cairan tersebut untuk
menghindari cairan terkontaminasi bakteri (Stephen,1980). Contoh virus yang
diinokulasikan pada ruang chorioalantois ini antara lain, virus ND dan virus
influenza.
Inokulasi pada membran chorioalantois
Inokulasi pada embrio umur 10-11 hari adalah yang paling cocok. Telur
diletakkan horizontal di atas tempat telur. Desinfektan kerabang disekitar ruang udara
dan daerah lain di atas embrio telur. Buat lubang pada daerah tersebut dan
diperdalam lagi hingga mencari membran kerabang. Virus diinokulasikan pada
membran korioalantois dan lubang ditutup dengan lilin dan diinkubasi. Setelah 3-6
hari korioalantois membran yang terinfeksi dapat di panen dengan mengeluarkan
yolk sac dan embrio secara hati-hati tanpa membuat membran lepas dari kerabang.
Area inokulasi dapat di lihat dengan adanya lesi pada CAM sebelum dilepas dari
kerabang (Stephen, 1980).
Inokulasi pada yolk sac
Inokulasi dilakukan pada embrio umur 5-7 hari. Post inokulasi diinkubasi
selama 3-10 hari. Virus diinokulasikan pada bagian yolk sac dan dijaga jangan
sampai terkontaminasi bakteri (Stephen, 1980). Virus yang biasa diinokulasikan di
bagian ini adalah virus rabies.
2. In Vitro
Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada
kultur jaringan. Kultur jaringan virus dimulai dengan kultivasi embrio anak ayam
cincang didalam serum atau larutan-larutan garam. Ini menuntun ke arah penggunaan
kultur jaringan murni sel-sel hewan yang dapat ditumbuhi virus. Kini sel hewan
dapat ditumbuhkan dengan cara yang serupa seperti yang digunakan untuk sel
bakteri. Bila sel-sel hewan dikulturkan di wadah-wadah plastik atau kaca, maka sel-
sel tersebut akan melekatkan dirinya pada permukan wadah itu dan terus-menerus
membelah diri sampai seluruh daerah permukaan yang tertutupi medium terisi.
Terbentuklah suatu lapisan tunggal sel dan dipergunakan untuk mengembangkan
virus. Sel-sel jaringan yang berbeda-beda lebih efektif untuk kultivasi beberapa virus
ketimbang yang lain. Pendekatan ini telah memungkinkan kultivasi banyak virus
sebagai biakan murni dalam jumlah besar untuk penelitian dan untuk produksi vaksin
secara komersial. Juga luas penggunaannya untuk isolasi dan perbanyakan virus dari
bahan klinis. Vaksin yang disiapkan dari kultur jaringan mempunyai keuntungan
dibandingkan dengan yang disiapkan dari telur ayam berembrio dalam hal
mengurangi kemungkinan seorang pasien untuk mengembangkan hipersensitivitas
atau alergi terhadap albumin telur (Merchant & Packer, 1956).
3. In Vivo
Virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Metode ini
merupakan metode yang pertama kali dalam menanam virus. Metode ini dapat
digunakan untuk membedakan virus yang dapat menimbulkan lesi yang hampir mirip
misalnya FMDP atau Vesikular Stomatitis pada sapi. Hewan laboratorium yang
digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci ataupun marmut (Merchant &
Packer, 1956).
.

B.

C. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah memberikan pemahaman tentang macam-


macam inokulasi virus, serta mengetahui bagaimana cara menginokulasikan virus
pada telur ayam berembrio, dan mengetahui ciri-ciri embrio ayam yang terinfeksi
virus Newcastle Disease (ND).

II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Alat yang digunakan pada acara praktikum ini adalah cawan petri, spuit
injeksi 1 cc, jarum pentul, senter, dan alat peneropong.
Bahan yang digunakan pada acara praktikum ini adalah telur ayam berembrio
umur 9-12 hari, alkohol 70 %, suspensi virus Newcastle Disease 0,1, 0,3, dan 0,5 cc,
lilin, bunsen dan korek api.

B. Cara Kerja

A. Deteksi telur ayam berembrio :


1. Telur ayam berembrio usia 6 hari disiapkan.
2. Telur diteropong dengan cahaya senter.
3.Embrio ayam usia 6 hari akan terlihat dengan penampakan sebagian dari
telur berwarna gelap ketika disinari.
B. Injeksi virus Newcastle Disease :
1. Disediakan telur ayam berembrio umur 9-12 hari..
2. Letak rongga chorioallantois ditandai dan diberi alkohol 70% .
3. Bagian telur yang sudah ditandai dan diberi alcohol 70% kemudian dilubangi
dengan jarum pentul.
4. Dimasukkan jarum injeksi inci dengan sudut 450 dan dinjeksikan 0,1, 0,3,
dan 0,5 cc virus yang akan diinokulasikan..
5. Lubang ditutup kembali dengan menggunakan lilin.
6. Diinkubasi pada suhu 37 0c selama 7 hari.
7. Pada hari ke 7 embrio diamati, dibandingkan dengan embrio telur yang tidak
diinokulasikan virus.

III.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Hasil Pengamatan Virus pada Bakteri dengan Metode Plaque


No Kelompok/Rombongan Jumlah Plaque (PFUs/ml)
1 1/III 10-2 = 0
10-3 = 0
2 2/ III 10-2 = 9 x 103
10-3 = 12 x 104
3 3/ III 10-2 = 1 x 103
10-3 = 0
4 4/ III 10-2 = 0
10-3 = 656 x 104
Berdasarkan tabel Hasil Pengamatan Virus pada Bakteri dengan Metode
Plaque yaitu bahwa untuk menguji adanya bakteriofage dapat digunakan metode
Plaque. Hal ini dapat teramati pada hasil kelompok 1 menunjukan negatif pada
kedua pengenceran. Hasil yang diperoleh dari kelompok 2 menunjukan positif pada
kedua pengenceran dengan 10-2 yaitu 9 x 103 dan 10-3 yaitu 12 x 104, pada kelompok
3 hasil positif ditunjukan pada pengenceran 10-2 yaitu 1 x 103, sedangkan pada
kelompok 4 hasil menunjukan positif pada pengenceran 10 -3 yaitu 656 x 104.
Menurut Smith, (1980) penghitungan jumlah virus yang menginfeksi tidak spesifik,
dikarenakan hanya diasumsikan bahwa satu zona jernih adalah satu virus.

Gambar 2. Hasil uji 10-2 Gambar 3. Hasil uji 10-3

Hasil uji pengamatan virus pada bakteri dengan metode plaque Gambar 2 dan
3 pada bakteri Escherichia coli adalah positif. Hal ini menunjukkan bahwa plaque
akan terlihat pada sel-sel yang mati atau rusak. Menurut Buana (2014), bahwa
bakteriofage merupakan virus yang menginfeksi bakteri dan mampu membunuh sel
bakteri secara langsung atau mengintegrasikan DNA virus ke dalam kromosom
bakteri inang, sehingga akan terbentuk plaque atau zona jernih. Kaufmann, (2002)
berpendapat bahwa metode plaque digunakan untuk menentukan jumlah unit
pembentuk plaque dalam sampel virus yang merupakan salah satu ukuran kuantitas
virus. Uji ini didasarkan pada metode mikrobiologi yang dilakukan dalam cawan
petri.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Adanya virus yang melisiskan sel bakteri yang terlihat dari terbentuknya zona
jernih atau adanya plaque yang terbentuk di dalam media LB yang telah
diinokulasi sampel dan bakteri Escherichia coli.
B. Saran

Disarankan untuk pengamatan harus dilakukan dengan teliti, agar tidak keliru
dalam menentukan ada tidaknya plaque.
DAFTAR REFERENSI

Addy, H. S., Askora, A., Kawasaki, T., Fujie, M., & Yamada, T. 2012. Utilization of
filamentous phage RSM3 to control bacterial wilt caused by Ralstonia
solanacearum. Plant Dis. 96(1), pp. 1204-1209.

Azizi, Norita, Fatitik. 2015. Isolasi Dan Karakterisasi Bakteriofag Yang Menginfeksi
Bakteri Ralstonia solanacearum. SKRIPSI. Universitas Negeri Jember.

Buana, E. O. G. H. N, & Wardani, A. K. 2014. Isolasi Bakteriofag Litik Sebagai


Agen Biosanitasi Pada Proses Pelisisan Bakteri Pembentuk Biofilm. Jurnal
Pangan dan Agroindustri. 2 (2), pp. 36-42.

Campbell, N. A. 2004. Biologi. Jakarta : Erlangga.

Deri, A. 2008. Jenis atau Macam Daur Infeksi Virus (Litik dan Lisogenik).
Yogyakarta: Kanisius.

Dulbecco, R., & Vogt, M. 1953. Beberapa permasalahan virologi hewan yang
dipelajari oleh teknik plaque Spring. Cold Harbor gejala. Quant. Biol 18.
273-279

Hatano, Ben, A. Kojima, T. Sata, & H. Katano. 2010. Virus detection using viro
adembeads, a rapid capture system for viruses, and plaque assay in
intentionally virus contaminated beverages. J. Infect. Dis. 63: 52-54

Irnaningtyas. 2013. Biologi Untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Erlangga.

Iswadi. 2012. Isolasi Fage Litik Spesifik Shigella sp.. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Biologi. 4(2), pp. 112-117.

Kaufmann, S.H., Kabelitz, D. 2002. Methods in Microbiology: Immunology of


Infection. Academic. 32(2).

Nindita, L. O. & Wardani, A. K. 2013. Purifikasi Phage Cocktail Serta Spektrum


Penghambatannya Terhadap Bakteri Penyebab Foodborne Disease. Jurnal
Teknologi Pertanian. 14(1), pp. 47-56

Suryati. 2007. Prosedur Diagnostik Dengan Metode Klasik Dan Metode Molekuler.
IPB: Bogor.

Smith, K.M. 1980. Introduction to Virology. London: Chapman and Hall.

Anda mungkin juga menyukai