Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH TEKNIK ANALISA PROTOZOOLOGI

ENCELOPHALITOZOON INTESTINALIS

Disusun oleh :
1. TAUSYIAH ANBIYA A.M NIM. P07134222001
2. PRASASTI RAHMA S NIM. P07134222015

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
2023
Epidemologi
Encelophalitozoon intestinalis merupakan jenis jamur atau parasite
interseluler obligate yang dapat menyebabkan penyakit mikrosporidiasis. Parasit
ini pada umumnya sangat patogen terhadap pasien yang menderita AIDS dan
dapat menyerang pada hewan vertebrata maupun invertebrata (Sharma, 2005)
Encelophalitozoon intestinalis dikatakan sebagai parasit intraseluler obligat karena
merupakan mikroorganisme parasit yang tidak dapat bereproduksi di luar sel
inang dan memaksa inang untuk membantu proses reproduksi. Encelophalitozoon
intestinalis termasuk salah satu spesies mikrosporidia yang telah diakui sebagai
patogen dengan hospes manusia di manasitus umum infeksi pada manusia adalah
di usus halus. Encephalitozoon (Septata) intestinalis, sebuah microsporidian yang
ditemukan di saluran usus pasien AIDS. Protozoa ini menyebabkan
mikrosporidiosis intestin adalah infeksi usus oportunistik yang menyebabkan
diare dan terjadi pada orang yang terkena HIV/AIDS. (Chu, 1996).
Encephalitozoon intestinalis menjadi salah satu agen penyebab paling
penting dari mikrosporidiosis manusia dan merupakan mekanisme penghindaran
kekebalan tubuh yang penting yang ditunjukkan oleh parasit ini. Sumber-sumber
mikrosporidia yang menginfeksi manusia dan cara penularannya, terutama untuk
Encephalitozoon intestinalis, tetap tidak pasti. Infeksi mikrosporidia bisa
menyebar ke seluruh tubuh melalui spora, yang dapat terhirup, tertelan, atau
masuk ke mata. Parasit ini dapat menyebar dari orang ke orang atau melalui
kontak dengan hewan. Di dalam tubuh, spora parasit masuk ke dalam sel dan
mengeluarkan zat yang akan menjadi spora. Pada akhirnya sel yang terinfeksi
akan pecah dan melepaskan spora-spora parasit ke seluruh tubuh, Orang atau
hewan yang terinfeksi mikrosporidia melepaskan spora ke lingkungan melalui
tinja, urin, dan ekskresi pernapasan, yang semuanya bisa menjadi sumber infeksi
penyakit. Manifestasi penyakit dilaporkan akibat infeksi Encelophalitozoon
intestinalis antara lain : enteritis, diare, perforasi usus kecil, kolangitis, kolesistitis.
nefritis, bronkitis, sinusitis, rinitis, keratokonjungtivitis, infeksi yang menyebar.
Parasit mikrosporidia ini tersebar luas di dunia baik di negaranegara maju
maupun berkembang. Spora mikrosporidia dapat ditemukan pada sumbersumber
air di negaranegara maju dan berkembang (Larsson, 2004). Diketahui bahwa
penyebaran penyakit oleh parasite Mikrosporidia tidak dipengaruhi oleh
perbedaan ras, jenis kelamin maupun umur.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa Mikrosporidia menyerang sekitar
39% penderita AIDS dan di Amerika Serikat sendiri, dilaporkan bahwa kasus
infeksi mikrosporidia menyerang pada orangorang dewasa dengan gangguan
kekebalan tubuh, terutama yang disebabkan oleh HIV. Jadi factor risiko yang
dapat meningkatkan infeksi mikrosporidia (Encephalitozoon intestinalis) pada
manusia adalah sistem imun yang lemah.

Siklus Hidup

Siklus hidup Encelophalitozoon intestinalis terdiri atas fase merogoni


(proliferatif), fase sporogoni, dan fase dewasa spora. Bentuk infektif
mikrosporidia adalah spora yang resisten dan dapat bertahan dalam waktu yang
lama di lingkungan. Pada awalnya, spora yang menginfeksi akan berkecambah
dan menghasilkan perpanjangan tubulus polar untuk berkontak dengan membran
sel inang. Spora akan menginfeksi sel inang dengan menyuntikkan sporoplasma
infektif ke dalam sel inang melalui tubulus polar tersebut. Di dalam sel inang,
sporoplasma yang disuntikkan akan mengalami fase merogoni (proliferatif),
ditandai dengan multipikasi yang luas baik melalui pembelahan biner atau
pembelahan ganda, yang nantinya sporoplasma akan berkembang menjadi meront.
Lokasi tahap perkembangan ini bisa terjadi di dalam sitoplasma inang atau dalam
vakuola parasitophorus (Encelophalitozoon intestinalis). Setelah Fase merogoni
(proliferatif), meront mengalami fase sporogoni, di mana dinding membran sel
meront menebal dan peralatan invasi berkembang. Lalu terbentuklah sporon yang
akhirnya menjadi spora dewasa ketika semua organel terpolarisasi. Ketika spora
dewasa bertambah jumlahnya dan sepenuhnya mengisi sitoplasma sel inang,
membran sel akan terganggu dan pecah kemudian melepaskan spora ke
sekitarnya. Spora dewasa yang lepas ini dapat menginfeksi sel-sel baru untuk
melanjutkan siklus hidupnya.

Morfologi

Spora Encephalitozoon intestinalis dapat berbentuk sferis, oval atau


memanjang. dan membentuk bentuk di dalam vakuola parasitofor yang terpisah.

Ukurannya beragam mulai dari 1 sampai 20 μm. Encephalitozoon intestinalis


merupakan spesies dengan ukuran genom terkecil di antara organisme eukariotik
yang diketahui. Vakuola adalah ciri khas dari spesies microsporidian ini. Spesies
mikrosporidia ini memiliki organel unik yaitu adanya tabung polar pada
plasmodium yang menjadi diagnostik dari Encephalitozoon intestinalis.

Spora berkisar dalam ukuran dari 1 hingga 10μm. Mantel spora terdiri dari
eksospora padat elektron (Ex), endospora lucent elektron (En) dan membran
plasma (Pm) yang lebih tipis di ujung depan spora. Sporoplasma (Sp)
mengandung inti tunggal (Nu), vakuola posterior (PV) dan ribosom. Filamen
polar melekat pada ujung anterior spora oleh cakram penahan (AD), dan dibagi
menjadi dua wilayah yakni manubroid atau bagian lurus (M), dan wilayah
posterior membentuk lima gulungan (PT) di sekitar sporoplasma. Filamen kutub
manubroid dikelilingi oleh polaroplast pipih (Pl) dan polaroplast vesikular
(VPl).Sisipan menggambarkan penampang gulungan tabung kutub (5 gulungan
dalam spora ini), menunjukkan berbagai lapisan konsentris dari kerapatan elektron
yang berbeda dan inti padat elektron yang ada dalam penampang tersebut.

Teknik Diagnosa
1. Pemeriksaan Mikroskopis
Diagnosa membutuhkan bantuan berupa mikroskop electron untuk melihat
spesimen biopsi usus halus. Penggunaan mikroskop elektron merupakan
pemeriksaan gold standard untuk identifikasi pasti organisme dengan mengetahui
bentuk tubulus dalam spora Mikrosporidia karena spora Mikrosporidia sulit
dibedakan dengan spora dari parasit lain seperti Toxoplasma gondii atau
Leishmania. Namun cara ini terlalu mahal dan memakan waktu yang lama
sehingga lebih sering digunakan pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya
dengan berbagai macam pewarnaan. Berbagai spesimen klinis yang dapat
digunakan untuk diagnosis adalah tinja, urin, sputum, bilasan bronkoavcolar,
sekresi nasal, cairan serebrospinal dan biopsi jaringan. Pemeriksaan 3 tinja dalam
sehari selama 3 hari perlu untuk menetapkan diagnosis mikropsoridiosis. Pada
pasien dengan Mikrosporidiosis diseminata, sebaiknya spesimen urin juga selalu
diperiksa. Spora mikrosporidia sering dikeluarkan secara periodik, maka untuk
pemeriksaan urin sebaiknya urin 24 jam.
a. Alat dan bahan
1. Mikroskop
2. Sampel feses
3. Wadah sampel
4. Stik
5. Handscoon
6. Objek glass
7. Deck glass
8. Pipet tetes
9. Eosin
b. Langkah kerja
1. Membuat sediaan feses dengan mengambil tetes Eosin dengan pipet tetes
lalu diteteskan di atas objek glass
2. Mengambil sedikit sampel feses menggunakan stik lalu diletakkan di atas
zat pewarna dan dihomogenkan
3. Tutup dengan deck glass sedemikian rupa hingga tidak terdapat
gelembung udara
4. Memeriksa sediaan dibawah mikroskop untuk mengamati parasit yang ada

2. Pemeriksaan PCR
Pilihan terbaik untuk diagnosis atau mengidentifikasi spesies
Mikrosporidia dapat dilakukan melalui PCR (Polymerase Chain Reaction) karena
dapat mendeteksi secara spesifik infeksi penyakit tersebut walaupun secara klinis
belum memperlihatkan gejala.
a. Alat dan bahan
1. Tabung reaksi
2. Termocycler
3. Sampel sputum
4. Buffer
5. DNA primer
6. DNA polimerase
b. Langkah kerja
1. Sampel yang sudah diambil dimasukkan ke dalam tabung reaksi
2. Tabung reaksi dimasukkan dalam Termocycler
3. Dalam Termocycler sampel pada tabung reaksi mengalami tahapan
denaturasi dengan proses pemanasan 98ºC
4. Selanjutnya dalam tahap annealing sampel diturunkan suhunya menjadi
60ºC sekitar 30 detik, DNA polymerase akan menempel pada DNA
primer
5. Sampel kembali dinaikkan suhunya menjadi 78ºC selama proses elongasi,
biasanya dikerjakan selama 10 menit
6. Kemudian sampel diturunkan suhunya sampai 4ºC sehingga terjadi
terminasi
7. Proses denaturasi, annealing, elongasi biasanya diulang 25-30 kali dan
sampel akan berlipat ganda
8. Hasil dari reaksi PCR dilakukan analisa apakah hasilnya positif atau
negatif

Pengobatan dan Pencegahan


Persediaan pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengobati infeksi
akibat parasite Encelophalitozoon intestinalis sangat terbatas; ini termasuk
albendazole dan fumagillin, yang setidaknya sebagian efektif dalam mengurangi
jumlah parasit (Didier, 2005 ;Didier dan Weiss, 2011). Pengobatan dengan
albendazole juga dapat menyembuhkan diare kronis yang terkait dengan infeksi
ini. Pengobatan dengan albendazole ini dapat berhasil menghilangkan infeksi
dalam beberapa kasus yang pernah ada. (Chu, 1996). Pada kasus yang sama
pengobatan juga dilakukan pemberian Pengobatan dengan azitromisin (250 mg
tiga kali sehari selama 4 minggu), metronidazole (500 mg tiga kali sehari selama 4
minggu), loperamide, dan tinctura opii, namun gagal meningkatkan kondisi
pasien. Dengan terapi albendazole (400 mg tiga kali sehari selama 2 minggu
lendir hidung dan gejala sinus membaik. Namun, diare tetap ada, dan tinja tetap
positif untuk ookista cryptosporidial. Setelah pengobatan albendazole, spesimen
tinja, lendir hidung, dan urin menjadi negatif untuk spora microsporidian.
(Sobottka, 1995). Pemberian cairan intravena, replesi elektrolit, rejimen diet dan
nutrisi dapat membantu pasien yang mengalami diare, sementara terapi
antiretroviral dapat membantu meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh.
Pencegahan yang dapat dilakukan terhadap parasite Encelophalitozoon
intestinalis adalah Inaktivasi mikrosporidian dengan panas dan disinfektan kimia
sangat penting, karena mikrosporidial sangat tahan terhadap lingkungan dan
beberapa studi epidemiologi telah mengidentifikasi bahwa kontak air sebagai
faktor risiko untuk mikrosporidiosis. Hal terpenting yang dapat mencegah infeksi
ini adalah dengan selalu menjaga kebersihan agar dapat terhindar dari berbagai
penyakit. (Furuya, 2009). Sering mencuci tangan dan membatasi kontak dengan
hewan sangat dianjurkan terutama bagi orang dengan defisiensi sistem imun.

Anda mungkin juga menyukai